Anda di halaman 1dari 39

Keadilan Dalam Pandangan Pemikiran Hukum Progresif

Satjipto Rahardjo
(Bahan Diskusi dan Tugas Ilmu Negara Mahasiswa Fakultas Hukum UNTAN Ponianak
Kalimantan Barat)

Oleh Turiman Fachturahman Nur

A. Latar Belakang Masalah


Saat ini dunia hukum Indonesia memasuki penyakit kronis, yaitu ‘Carut Marut,
sedangkan pada tataran konstitusional UUD negara Indonesia menyatakan secara
tegas Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, negara demokrasi dengan
paham konstitusionlisme dan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, atau
penulis sebut Negara Hukum yang demokrasi konstitusional berdasarkan Teokrasi
sekaligus. Sebagai negara Hukum seharusnya hukum dijadikan panglima dalam
menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping kepastian dan
keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia atau memberikan
kemamfaatan kepada masyarakat. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah
sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup. 1
[1] Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan:
…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan,
sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan
manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks
hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri,
melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia. 2[2]

Namun didalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah


masalah krusial atau bisa dikatakan sedang mengalami penyakit pada tahan kronis,
sehingga yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum hanya dijadikan alat
untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat
untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai keadilan ditengah-
tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat dan bukan tujuan, atau mungkin para
penegak hukum hanya memandang hukum sama dengan peraturan perundang-

1[1] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 hlm.1
2[2] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix
undangan tertulis, sedang disanubari masyarakat ada hukum yang tidak tertulis yang
mereka sepakati, seharusnya para penstudi hukum dan penegak hukum memandanh
hukum dengan konsep holistik atau sintesa antara hukum tertulis dan tak tertulis, atau
dalam tataran Al-Qur’an mensinergikan ayat-ayat kauliyah (yang tertulis) dengan ayat-
ayat kauniyah (yang ada pada alam semesta dan pada diri manusia) sehingga
keduanya adalah menjadi sebuah kebenaran, sehingga kita manusia mengatakan
maha benar Tuhan/Allah dengan segala firmanNya..
Demikian juga ketika kita melihat hukum dan keadilan pada hakekatnya
merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan
untuk mewujudkan keadilan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun
untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur
yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat,
hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan
masyarakat. Hukum gagal memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi
hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda (sign) tanpa makna.
Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang cenderung
menipu dan mengecewakan.
Salah satu penyebab kemandegan/stagnan yang terjadi didalam dunia hukum
adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah
tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang selaras dengan tabel hidup
karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan
baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. 3[3] Sehingga hukum hanya
dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-
undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah
hukum.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan
politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik
yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-
perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat
konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang

3[3] Op Cit, Sabian Usman, 219


dilahirkannya berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara
otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks. 4[4]
Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan
bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem hukum
yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan lebih
mengedepankan keadilan ditengah masyarakat dari pada keadilan yang dikebiri oleh
Penguasa.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk
menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik
koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi
hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya
dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab,
seperti sila kedua Pancasila.5[5]
Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang
dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk
palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa
kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas
Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim
sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS
atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file
dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan. Isu umum yang terjadi di Indonesia,
penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-
nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang
popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum. UUD (ujung-ujung duit), pasal karet,
86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang
didalam institusi pengadilan.

4[4] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,hlm. 373
5[5] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
Pemikiran hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut
keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila
proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia
sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama pada tataran realitas. Idealitas
itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti
sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi
kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan
hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum
bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan
hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the
letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual,
melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan
bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa
dilakukan.6[6]

B. Masalah Pokok
1. Bagaimana pandangan pemikiran hukum progresif mengenai keadilan?
2. Bagaimana landasan konseptual pemikiran hukum progresif?

C. Pandangan Hukum Progresif Mengenai Keadilan


Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut
dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika
pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru
menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang
mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis.

6[6] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-
pemabatasan.7[7]
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana
terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitasnya, ukuran
rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh,
rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak
mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas. 8[8]
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya
menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup
berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui. 9[9]
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan
secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian
yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan
simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15
tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat
dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis
oleh petugas hukum/hakim.10[10]
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang
mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya

7[7] Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 345


8[8] Lebih jauh Arman mengemukakan bahwa dalam menetapkan putusannya hakim memang
harus mengedepankan rasa keadilan. Namun rasa keadilan masyarakat sebagaimana dituntut
sebagian orang agar dipenuhi oleh hakim, adalah tidak mudah. Bukan karena hakim tidak
bersedia, melainkan karena ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Satya Arinanto,
Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 340
9[9] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya,
2005, hlm.1
10[10] Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action”
Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm. 70
merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang
telah disepakati bersama.11[11]
Merumuskan konsep keadilan dalam pemikiran hukum progresif ialah
bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur.
Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur,
maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang
menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan
yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Bagaimana mungkin itu terjadi, karena kerusakan dan kemerosotan dalam
perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang
menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau
kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur
(heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-
galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti
itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.12[12]
Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang
dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting.
Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong
(encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang
progresif tersebut.
Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di
Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang atau kalah,
melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-
cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan
pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair
trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim
memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.13[13]

11[11] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006,
hlm. 270
12[12] Ibid, hlm. 272
13[13] Ibid, hlm. 276
D. Landasan Konseptual Pemikiran hukum progresif
Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum
menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari
konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan
sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap
upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai
dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. 14[14]
Kehadiran pemikiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan
sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.
Pemikiran Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching
for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang
sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang
bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap
kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Adalah keprihatinan Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia.
Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di
Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia
peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser
dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi.
Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya
kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo
mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk
mengatasinya?.15[15]
Agenda besar gagasan pemikiran hukum progresif adalah menempatkan
manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum.
Dengan kebijaksanaan pemikiran hukum progresif mengajak untuk memperhatikan
faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, pemikiran hukum progresif menempatkan
perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat.

14[14] Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 368


15[15] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 70
Disinilah arti penting pemahaman gagasan pemikiran hukum progesif, bahwa konsep
“hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh
(holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
Dengan demikian, gagasan pemikiran hukum progresif tidak semata-mata hanya
memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku
sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan
secara utuh berorientasi keadilan substantive.
1. Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis
Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum
sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa
institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law
in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
(pemikiran. penulis) Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi
yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya
untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu,
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi
yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada
tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa
diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada
rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi
(law as a process, law in the making).16[16]

Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah,
mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada
cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”,
status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum
yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada
kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final,
maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan
manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari pemikiran hukum progresif adalah suatu institusi yang
bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat

16[16] Ibid, hlm. 72


manusia bahagia.17[17] Pemikiran hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa
hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka
kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas,
yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.
Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka hukumlah yang
harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan
kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah
sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi
manusia. Oleh karena itu menurut pemikiran hukum progresif, hukum bukanlah tujuan
dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus
lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat
menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
Orientasi pemikiran hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan
perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang
logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan
peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun disini,
bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.
Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan
demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti
compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment
(tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim
yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat
putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan
perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan
membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek
kemanusiaan.18[18]

17[17] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009,
hlm. 31
18[18] Ibid, 74
Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor
peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras
legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai
pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia
mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan
keadilan kepada siapapun.
4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
Pemikiran hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan”
yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-
positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan
“tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum,
maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi
hukum” maupun “rule breaking”.
Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut.
Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba
membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian
dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan
memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada
rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan
tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia
melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo. 19[19]

Paradigma “pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada


tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika
kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika
peraturan” saja. Di sinilah pemikiran hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas.
Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali
“paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma pemikiran hukum progresif
bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat konsep pemikiran
hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas
serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.

19[19] Ibid, 75
E. Kesimpulan
Keadilan menurut pemikiran hukum progresif adalah keadilan subtantif. Keadilan
yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban.
Nilai-nilai keadilan tersebut berasal lansung dari masyarakat dan bukan nilai-nilai
keadilan yang tekstual dan hitam putih yang memiliki makna terbatas. Bukan keadilan
prosedur yang didapat melalui berbagai macam prosedur-prosedur yang terkadang
mengaburkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.
Kaburnya tujuan hukum di Indonesia memerlukan langkah-langkah berani untuk
merubahnya. Salah satunya ialah dengan membumikan pemikiran hukum progresif.
Pemikiran Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching
for the truth) yang tidak pernah berhenti. Pemikiran Hukum progresif yang dapat
dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik
tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan
terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-
20, kemudian untuk memperkaya hasanah pemikiran progresif dari gagasan Satjipto
Rahardjo berikut ini penulis lampirkan berbagai artikel/makalah yang berupaya
menelusuri pemikiran hukum progresif Satjipto Rahardjo

DAFTAR PUSTAKA
Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in
Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone,
Jakarta, 2006
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya, 2005
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP,
Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009
Makalah:
Menuju Pemikiran Hukum Progresif di Indonesia
Oleh: Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, SH.
A Pendahuluan
Memasuki situasi transisi dan perubahan yang sangat cepat saat ini, hukum Indonesia
memiliki banyak catatan untuk dikaji. Satu yang hendak kita bicarakan pada bagian ini, yaitu
pandangan seorang yang dapat disebut pakar yang selama ini senantiasa melihat hukum melalui
cara pandang berbeda. Satjipto Rahardjo, barang kali bukan nama yang asing bagi kalangan
praktisi dan akademisi hukum di Indonesia. Buah karyanya dalam berbagai tulisan telah
memberikan nuansa baru bagi perkembangan hukum.
Ada beberapa alasan mengapa pemikiran beliau dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama,
alasan paling logis, bahwa salah satu penulis memiliki kedekatan (hubungan intelektual) dengan
beliau, sehingga cukup memudahkan untuk memetakan secara garis besar pemikiran beliau
tentang hukum di Indonesia. Kedua, sejauh ini beberapa pemikir lain di bidang hukum sudah
banyak diulas dalam beberapa buku, baik untuk tingkat dasar (pengantar) sampai tingkat lanjut
tentang hukum Indonesia, sebut saja beberapa tulisan dan karya Mochtar Kusumahatmadja,
Soerjono Soekanto dan lain-lain. Ketiga, orisinalitas pemikiran Satjipto Rahardjo mewakili
konteks berpikir kontemporer atau postmodernis, sesuai dengan tujuan penyusunan buku ini,
yaitu menyangkut perkembangan yang luar biasa pesat dalam ilmu dan hukum harus
mengantisipasi perkembantgan tersebut. Keempat, substansi pemikiran yang diajukan mengarah
kepada pembentukan teori hukum.
Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat
dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh
(holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang
eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang
hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar
logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science),(Satjipto
Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk
memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan untuk melihat
logika social dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang
harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini
menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto merupakan tragedi
pemikiran.
Satjipto Rahardjo merupakan salah satu pemikir hukum Indonesia yang cukup produktif.
Prof. Tjip, begitu orang-orang menyebutnya, lebih terkenal (khususnya) di dunia akademis
sebagai ‘Begawan Hukum’. Pemikirannya akan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik
lisan maupun tulisan, buku teks atau tercerai berai di berbagai surat kabar dalam bentuk artikel
dan makalah seminar/diskusi. Substansinya sangat beragam bahkan sangat luas, mulai dari hal
yang bersifat filosofis, sosiologis bahkan anthropologis dan religius. Ciri pemikirannya sesuai
dengan perkembangan saat ini dapat dimasukan ke dalam pemikir kontemporer dalam ilmu
hukum postmodernis sekaligus kritis.
Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebutnya sebagai
‘Pemikiran Hukum Progresif’, yaitu semacam refleksi dari perjalanan intelektualnya selama
menjadi musafir ilmu. Tulisan yang ada dalam buku ini, hanya berupa sketsa kecil dan bisa jadi
tidak dapat menggambarkan substansi, konsep dan pesan yang ada didalamnya. Karena fokusnya
lebih kepada kutipan-kutipan dari pidato emeritusnya, juga beberapa diskusi di ruang kelas dan
di ruang seminar, (khususnya dengan salah satu penulis buku ini), ketika mengikuti pendidikan
Program Doktor Ilmu Hukum di Undip Semarang.
Meskipun demikian, sebagai sebuah tulisan berbentuk sketsa hal ini cukup representative,
mengingat kedalam substansi yang dikemukakan dalam pidato emeritusnya dan juga materi
diskusi. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah
produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat
yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum
akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Proses pemaknaan itu
digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana
sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bagunannya sebuah teori, yang
dalam terminologi Kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatika”.
B. Profesi dan Ilmu
Bagi Satjipto Rahardjo, lahirnya program Pascasarjana dalam pendidikan hukum di
Indonesia, pada tahun 1980-an merupakan sebuah pembalikan paradigmatik (revolusioner)
dalam dunia pendidikan hukum, sebagaimana dijelaskan, “Dikatakan sebagai revolusi, oleh
karena sejak dibuka rechtshogeschool di jaman kolonial Belanda pada tahun 1922, maka
Indonesia hanya mengenal program profesi saja. Maka sungguh revolusionerlah sifat atau
kualitas perubahan pada pertengahan tahun 1980-an itu, mulai saat itu Indonesia tidak hanya
mengenal pendidikan profesi, melainkan juga keilmuan, khususnya dalam bidang hukum…”
Apalagi setelah dibukanya Program Doktor Ilmu Hukum, khususnya di UNDIP, maka
lebih jelaslah kedudukan hukum sebagai objek ilmu, dan mengokohkan eksistensi tentang
program keilmuan. Sehingga mereka yang hendak kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum
UNDIP, tidak harus memiliki latar belakang formal SI Hukum. Konsekuensi yang muncul,
bahwa para ilmuwan hukum akan diajak untuk menjelajah hukum secara luas yang intinya tidak
lain adalah searching for truth (pencarian kebenaran). Inilah sebuah inti pemikiran beliau, bahwa
setiap akademisi hukum memiliki kewajiban untuk upaya pencarian kebenaran. Pencarian
kebenaran inilah sebenarnya disebutnya sebagai proses pemaknaan terhadap hukum, dan ini pula
merupakan kesadaran visioner, bahwa tugas ilmuwan adalah mencerahkan masyarakat, sehingga
dunia pendidikan memberikan kontribusi dan tidak melakukan pemborosan.
Selama ini, khususnya sebelum lahirnya S2-S3, pendidikan hukum lebih bersifat kepada
apa yang disebutnya dengan Lawyers Law, atau Law for the lawyers atau Law for the
professional, setiap orang dibawa dan diarahkan untuk menjadi seorang profesional, dan sisi
buruknya muncul pandangan bahwa itulah satu-satunya kebenaran, bahwa hukum hanyalah ada
dalam wilayah yang disebut dengan “logika hukum”. Pandangan ini kemudian berkembang lebih
jauh bahkan mendominasi dan menghegemoni, sehingga setiap orang apabila berbicara hukum
seolah-olah hanya wilayah “logika hukum”itulah kebenaran, di luar wilayah itu bukanlah hukum.
Namun dengan munculnya pendidikan S2 dan S3, maka wilayah kebenaran (hukum) menjadi
jauh lebih luas daripada gambaran hukum yang sudah direduksi menjadi sekedar Lawyers Law.
Untuk melihat lebih jelas persoalan diatas, Satjipto Raharjo memberikan gambaran
tentang kajian dua domain pendidikan yang berbeda itu, dengan menjelaskan bahwa pendidikan
hukum Profesional, dan pendidikan S2 dan S3, akan melihat hukum sebagai berikut;
ILMU HUKUM
Sebenar Ilmu Ilmu Praktis
Science Ilmu Hukum Positif; What should be
Genuine Science: What is a law? considers as law?
Credo: in search for the truth, the truth
Praktis;
about law. Keterampilan/skill hukum positif;
Pencarian, Pembebasan dan pencerahan.          Profesional Study; Lawyers Law-Law
Indefinitive; batas-batasnya kabur. for the lawyers.
Orientasi: komunitas dunia ilmu. Credo: “Rules and Logic”
Kesadaran: pencarian kebenaran meski Concern: What to do?, How to do?
pada saat yang sama kita tidak dapat         Mempertahankan hukum positif Final
menggenggam kebenaran tersebut. definitive.

C. Ilmu Hukum yang Selalu Bergeser


Penjelasan lain yang berkaitan dengan persoala diatas, adalah sikap ilmuwan yang harus
senantiasa menyikapi ilmu sebagai sesuatu yang terus berubah, bergerak dan mengalir, demikian
pula ilmu hukum. Garis perbatasan Ilmu Hukum selalu bergeser sebagaimana dijelaskan,
“… Maka menjadi tidak mengherankan bahwa baris perbatasan ilmu pengetahuan selalu
berubah, bergeser, lebih maju dan lebih maju ….”
Dengan mencontohkan pergeseran paradikmatik dalam ilmu fisika khususnya pemikitan
Newton yang terkenal dan pada waktu itu menghegomoni para fisikawan kemudian digantikan
oleh era baru dengan munculnya teori kuantum modern yang pada kenyataannya lebih mampu
menjawab persoalan-persoalan fisika yang tidak terpecahkan sebelumnya. Harus diakui bahwa
Fisika Newton telah memberikan jasa luar biasa besar terhadap persoalan-persoalan fisika yang
bersifat makro, logis, terukur dan melihat hubungan sebab akibat (mekanis), namun tidak mampu
menjawab persoalan mikro, yang bersifat relative, kabur, tidak pasti, namun lebih menyeluruh.
Lahirnya teori kuantum modern yang memecahkan kebuntuan dari teori fisika Newton tersebut,
selanjutnya merubah cara pandang ilmuwan tentang realitas alam semesta. Perubahan itu tentu
saja dimaknai secara bervariasi oleh setiap orang yang mencermatinya, namun hakekat utamanya
jelas bahwa lahirnya teori kuantum adalah penjelasan paling logis bahwa ilmu senantiasa berada
di tepi garis yang labil.
Satjipto Raharjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial,
termasuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi
perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat “dari yang
sederhana menjadi rumit” dan “dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan”. Inilah yang
disebutnya sebagai “pandangan holistik dalam ilmu (hukum). Pandangan holistik ini
memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang
saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja untuk
memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau
otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Edward O. Wilson
melalui tulisannya yaitu Consilience; The Unity of Knowledge, membawa kita kepada
pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan, sebagaimana dijelaskan Ian G. Barbour,
“Wilson berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan
(unifikasi) antara sains alam, sains sosial dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar
disiplin merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghinpun beberapa disiplin secara
luas dan anggun”.
Menurutnya tumbangnya era Newton mengisyaratkan suatu perubahan penting dalam
metodologi ilmu dan sebaiknya hukum juga memperhatikannya dengan cermat. Karena adanya
kesamaan antara metode Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode hukum
yang analytical-positivism atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam (dalam terminology Newton)
atau Hukum dalam terminologi positivistic (Kelsen dan Austin) dilihat sebagai suatu sistem yang
tersusun logis, teratur dan tanpa cacat. Dengan munculnya teori kuantum, bahkan teori keos,
imbasnya terasa sekali kepada perkembangan pemikiran hukum. Maka situasi atau yang selama
ini teramalkan dalam konsep yang dijelaskan diatas (Kelsen dan Austin) menjadi tatanan yang
tidak dapat diprediksi, acak, simpang siur, dan dramatis.
Gagasan fisika kuantum tersebut di atas dengan relativitasnya, membantu kita untuk tidak
memutlakan gagasan dan nilai yang kita pegang, tidak ada di dunia ini yang mutlak, yang paling
benar dan paling baik sendiri, yang mutlak hanya Allah. Pemutlakan terhadap kebenaran yang
relatif di atas itu pada dasarnya akan merusak kreativitas. Bagi Satjipto Rahardjo, teori bukanlah
harga mati, karena sejarah perkembangan ilmu pengetahuan telah membuktikan itu semua sejak
jaman Yunani hingga masa di era Postmodernini. Oleh karenanya ilmu hukum selalu berada
pada suatu pijakan yang sangat labil dan atau selalu berubah (the changing frontier of science)
dan ini pula yang disebutnya dengan “the state of the arts in science”. Oleh karena itu kalimat
yang senantiasa muncul adalah ‘hukum selalu mengalami referendum’.
Bagi Satjipto Raharjo, berpikir teoretis bagi para ilmuwan hukum adalah mutlak dan
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu gagasan beliau lebih kepada bagaimana para
ilmuwan hendaknya mengembangkan semangat untuk tetap menjaga cara berpikir yang
demikian itu, karena melalui jalur tersebut akan membawa kita semua sampai kepada apa yang
disebutnya dengan “The Formation of Theory” (membangun teori). Teori menurutnya adalah,
Giving name-explanation, given new meaning. Para lmuwan hukum seharusnya mencoba
berpikir kearah sana. Dan semua ilmuwan sangat terbuka/diundang untuk memasuki wilayah ini.
Teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau sebuah komunitas
memandang apa yang disebut hukum itu, artinya apa yang sedang terjadi atau perubahan yang
tengah terjadi dimana komunitas itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang
hukum. Misalnya saja lahirnya pemikiran positivistic dalam Ilmu Hukum sangat dipengaruhi
oleh perkembangan filsafat positivistic yang saat itu tengah booming. Satjipto Rahardjo
memberikan penjelasan tentang lahirnya sebuah teori dalam bagan sebagai berikut :
 

Sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada
pada wilayah yang labil, selalu berada pada suatu wilayah yang keos. Artinya disini teori bukan
sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai
perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai
wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Teori baru ini menurut Satjipto Rahardjo
pada dasarnya, akan memberikan tambahan ilmu, transformasi; bergerak, dan proses pemaknaan
baru, dengan demikian struktur ilmu berubah secara total.

D. Kritik Terhadap Hukum Modern


Satu hal yang cukup penting dari gagasan Satjipto Rahardjo, adalah kritiknya terhadap
dominasi hukum modern, yang telah mengerangkeng kecerdasan (berfikir) kebanyakan ilmuwan
hukum di Indonesia. Sejak munculnya hukum modern, seluruh tatanan social yang ada
mengalami perubahan luar biasa. Kemunculan hukum modern tidak terlepas dari munculnya
negara modern. Negara bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat, dan pada saat yang sama
kekuasaan negara menjadi sangat hegemonial, sehingga seluruh yang ada dalam lingkup
kekuasaan negara harus diberi label negara, undang-undang negara, peradilan negara, polisi
negara, hakim negara dan seterusnya. Bagi hukum ini merupakan sebuah puncak perkembangan
yang ujungnya berakhir pada dogmatisme hukum, liberalisme, kapitalisme, formalisme dan
kodifikasi.
Namun demikian Satjipto Rahardjo menjelaskan, bahwa memasuki akhir abad 20 dan
awal abad 21, nampak sebuah perubahan yang cukup penting, yaitu dimulainya perlawanan
terhadap dominasi atau kekuasaan negara tersebut. Dalam ilmu, pandangan ini muncul dan
diusung oleh para pemikir post-modernis, sehingga dengan demikian sifat hegemonal dari
Negara perlahan-lahan dibatasi, dan mulai muncul pluralisme dalam masyarakat, Negara tidak
lagi absolute kekuasaannya. Muncullah apa yang disebut dengan kearifan-kearifan lokal, bahwa
Negara ternyata bukan satu-satunya kebenaran. Inilah yang digambarkan oleh Satjipto Rahardjo
sebagai gambaran transformasi hukum yang mengalami “bifurcation” (pencabangan) dari corak
hukum yang bersifat formalism, rasional dan bertumpu pada prosedur, namun di samping itu
muncul pula apa pemikiran yang lebih mengedepankan substansial justice, sebagaimana
dijelaskan,
“Disinilah hukum modern berada di persimpangan sebab antara keadilan sudah diputuskan dan
hukum sudah diterapkan terdapat perbedaan yang sangat besar. Wilayah keadilan tidak persis
sama dengan wilayah hukum positif. Keadaan yang gawat tersebut tampil dengan menyolok
pada waktu kita berbicara tentang “supremasi hukum”. Apakah yang kita maksud? Supremasi
keadilan atau supremasi undang-undang? Keadaan persimpangan tersebut juga memunculkan
pengertian-pengertian seperti “formal justice” atau “legal justice” di satu pihak dan “substansial
justce” di pihak lain.
Inilah sebuah sketsa singkat pemikiran seorang yang selalu berada di jalan ilmu, upaya
dan semangat yang dikembangkan dengan terus berusaha mencermati perubahan yang terjadi,
khususnya di Indonesia, gagasan Satjipto Rahardjo tidak saja memperkaya khasanah
pengetahuan hukum tetapi lebih dari itu memberikan sebuah keteladanan bahwa kewajiban bagi
seorang ilmuwan adalah selalu bersikap rendah hati dan terbuka, serta memiliki semangat untuk
senantiasa berada pada jalur pencarian, pembebasan dan pencerahan. Itulah pesan yang
merupakan hakekat dari apa yang disebutnya “pemikiran hukum yang progresif”.
PARADIGMA HUKUM PROGRESIF;
ALTERNATIF PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 20
[20]

Oleh: M.shidqon pl 21[21]

A.   Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagai sebuah upaya penataan ekonomi sebuah
negara dapat ditelusuri dalam kurun waktu yang lama. Bahkan pemikiran-pemikiran Adam
Smith yang disusun sejak abad ke-18 masih dijadikan rujukan bagi pembangunan ekonomi saat
ini, khususnya negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis.
Tetapi dalam penyelenggaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II
yang melantakkan sebagian besar negara, terutama negara-negara Eropa. Setelah Perang Dunia II
itulah, Eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan
untuk menata kembali perekonomiannya. Instrumen pembangunan (atau tepatnya rekonstruksi)
ini adalah program bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini
memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.22[22]
Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak dijalankan setelah Perang
Dunia II itu memiliki tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid, pertama,
pembangunan dipakai sebagai alat untuk menyebarkan tata ekonomi tunggal dunia, dimana
model ini mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Kedua,
pembangunan juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan
komunisme yang dianggap membahayakan kepentingan negara kapitalisme.23[23]

20[20] Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum & Pembangunan,
yang diampu oleh Prof. Erman Rajagukguk, SH.LLM.Ph.D, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

21[21] Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum

22[22] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis “Memetakan Perekonomian Indonesia”, Korupsi
Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002 hlm 01.

23[23] Ibid.
Proyek pembangunan setelah Perang Dunia II sarat dengan capaian-capaian material
dalam bidang ekonomi. Pembangunan dilukiskan sebagai sebuah proses menuju kemajuan
material perekonomian, sehingga ukuran-ukuran keberhasilannya dilihat dari indikator semacam
pertumbuhan akumulasi investasi dan tingkat konsumsi masyarakat. Dengan karakteristik
semacam itu, negara-negara yang memiliki akumulasi modal dan ketahanan ekonomi yang
mapan, akan semakin melakukan ekspansi ekonomi ke tiap-tiap negara yang berada pada zona
Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga lebih diartikan sebagai negara-negara yang secara ekonomi
masih miskin, atau negara-negara yang sedang berkembang. Konsep pembangunan Dunia Ketiga
tentunya memiliki tingkat harapan tersendiri dalam memenuhi sektor pembangunan ekonominya,
sehingga tidak dapat disetarakan dengan negara adikuasa yang telah berkembang dalam segala
aspek.
Bagi negara-negara Dunia Ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau
bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional;
sementara negara-negara adikuasa persoalannya adalah bagaimana secara sistematis dapat
melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan. 24[24] Sehingga
filsafat pembangunan seperti ini kerap disebut dengan istilah “fordisme”, yang merujuk kepada
upaya terciptanya masyarakat dunia yang makmur berdasarkan maksimasi kegunaan tanpa batas,
yang dibentuk melalui tiga elemen penting, yaitu rasionalitas, efesiensi, dan produksi/konsumsi
massal.25[25]
Tidak dapat dipungkiri filsafat pembangunan ekonomi Indonesia dalam pandangan dunia
internasional, bahwa Indonesia menjadi perhitungan negara yang sedang berkembang serta
identik dengan zona Dunia Ketiga. Pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia era Orde Baru
memang cukup banyak mendatangkan perubahan. Salah satu diantaranya adalah dalam bentuk
peningkatan pendapatan per kapita nasional. Bila pada tahun 1969 pendapatan per kapita
Indonesia baru mencapai US$ 70, maka berkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai
6,5 persen per tahun, pada tahun 1995 angka itu telah meningkat menjadi sekitar US$ 880, atau

24[24] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1995 hlm ix.

25[25] Ibid.
sekitar Rp. 2 juta per orang per tahun. Sejalan perkembangan waktu pendapatan pada sektor
pertanian, jasa dan industri semakin seimbang.26[26]
Tetapi bila dikaji lebih jauh, perjalan pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde
Baru yang mengesankan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan secara berarti, namun pada
prospek jangka panjang menyisakan tangisan dan penderitaan ekonomi secara sistemik. Hal ini
dapat di lihat krisis moneter yang bergejolak pada tahun 1998, serta diikuti dengan instabilitas
politik menjadikan Indonesia menjadi negara yang mengalami krisis berkepanjangan, dan sampai
hari ini dapat dirasakan dampak dari pembangunan ekonomi di bawah rezim Orde Baru. Salah
satunya ialah, negara ini dipaksa melakukan penyesuaian dengan mekanisme pasar terhadap
kenaikan harga minyak dunia. Tak heran ketika setiap waktu harga BBM (bahan bakar minyak)
akan selalu naik, disamping Indonesia saat ini bukan lagi sebagai negara eksportir minyak, di
lain hal sistem perekonomian yang masih terkesan hanya mengikuti poros mekanisme pasar,
tanpa ada kontrol yang akuratif. Alhasil mental negara ini menjadi rapuh, kesenjagangan sosial
makin terlihat tanpa batas, tingkat kriminalitas tiap tahun meningkat, serta yang lebih ironis lagi
ketahanan pangan menjadi problem yang selalu menghantui.
Kemudian timbul suatu pertanyaan dimana peran hukum sebagai bentuk perwujudan
instrumen regulasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia? Seharusnya hukum harus berperan
untuk mengerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana. Disini hukum berperan aktif
sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tol of social engineering). Artinya hukum dalam bidang
kehidupan yang nyata harus lebih difungsikan sebagai sarana sosial kontrol dalam kehidupan
masyarakat.27[27] Jika asumsi pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya Indonesia
disandarkan pada paradigma hukum progresif yang implementasinya responsif dan
mendatangkan kemanfaatan sosial, tentunya alur berfikir pembangunan ekonomi Indonesia tidak
serumit saat ini.
Tidak dapat dinafikan hukum progresif bukan instrumen ilmu ekonomi secara murni,
akan tetapi prospek pembangunan ekonomi tentunya tidak terlepas dari mekanisme hukum
dalam melakukan aktivitas ekonomi, yang hasil akhirnya dalam aspek hukum dapat memenuhi
nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Maka paradigma hukum progresif dapat dijadikan
batas apresiasi terhadap dinamika perkembangan arus globalisasi yang tidak saja terjadi pada
26[26] Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde
Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004 hlm 19.
27[27] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006 hlm 8.
sektor ekonomi dan tekhnologi, melainkan juga pada batas-batas tertentu, dan setiap negara
terpaksa mengikuti arus globalisasi hukum sebagai bentuk penyesuaian terhadap pembangunan
ekonomi melalui tujuan mekanisme pasar dan perdagangan internasional.

B.   Fungsi & Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan


Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan ikrar dan
cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan negara ini ialah pancasila, yang dapat
diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia seutuhnya, serta strategi
pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, serta stabilitas
politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD
1945 bahwa; hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa,
menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu
melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan garis amanah konstitusi, maka makna pembangunan nasional harus mampu
mereduksi nilai keseimbangan pada setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Sejak awal
bangsa ini dihadapkan dengan tanggung jawab yang begitu besar, yaitu meneruskan perjuangan
pasca penjajahan kolonialisme dalam bentuk pembangunan nasional pada setiap dimensi sosial
masyarakat. Akan tetapi persoalannya apakah amanah yang mulia ini dapat begitu saja
dijalankan dengan mudah. Mungkin hal ini tidak perlu dijawab, karena realitas kehidupan saat
ini dapat menggambarkan potret Indonesia dalam menjalankan program pembangunan nasional
pasca merdeka dari penjajahan tahun 1945.
Setidaknya dapat dijelaskan secara umum ada beberapa tahapan atau tingkatan
pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai menjadi
negara maju, yaitu tahap pertama, unifikasi dengan titik berat bagaimana mencapai integrasi
politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tahap kedua industrialisasi dengan
fokus terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, kemudian tahap ketiga
negara kesejahteraan dimana tugas negara terutama adalah perlindungan masyarakat dan
kesejahteraan masyarakat.28[28]

28[28] Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help
Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk,
Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005,
Dalam suatu negara program pembangunan yang baik adalah pembangunan yang
dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar pertumbuhan ekonomi
semata, juga harus memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia
warga negaranya yang telah diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik hak-hak
sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah,
sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah akan mampu menarik lahirnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan.
Dari berbagai studi mengenai hukum dan pembangunan dapat diketahui, setidaknnya
program pembangunan harus memenuhi kualitas hukum yang kondusif bagi perencanaan dan
pelaksanaannya, yaitu stabilitas (stability), kalkulasi yang terencana (predictability), keadilan
(fairness), pendidikan (education), dan pengembangan profesi hukum (the special development
abilities of the lawyer).29[29]
Stabilitas dan predictability adalah merupakan prasyarat untuk berfungsinya sistem
ekonomi. Predictability sangat berperan, terutama bagi negara-negara yang masyarakatnya baru
memasuki hubungan-hubungan ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional mereka.
Sedangkan prasyarat stabilitas berarti hukum berpotensi dan dapat menjaga keseimbangan
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan akan tercermin dari proses
hukum, persamaan dihadapan hukum, dan standar sikap/perlakuan pemerintah, dan lain-lain
akan mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan mencegah campur tangan pemerintah
yang terlalu dominan.30[30]
Sedangkan pendidikan dan pengembangan profesi hukum merupakan sesuatu keharusan
yang harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat berperan sebagai ahli hukum dalam
pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi.
Berbicara mengenai fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan ekonomi
suatu negara pada dasarnya tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan ekonomi
terhadap hukum atau sebaliknya, pendekatan hukum terhadap ekonomi, yang lazim dikenal
hlm. 127.

29[29] Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, Vol.
9, Thn 1989, hlm. 232. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi
Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 157.

30[30] Ibid.
dengan analisis ekonomi terhadap hukum. Salah satu contoh konkrit bahwa adanya elaborasi
keilmuan antar dua displin ilmu ekonomi dan hukum, ialah daya paksa arus globalisasi ekonomi
yang memaksa instrumen hukum sebagai regulasi mekanisme ekonomi menyesuaikan diri
terhadap perkembangan internasional, hal ini sering disebut dengan globalisasi hukum.
Sehingga materi muatan berbagai Undang-undang dan perjanjian-perjanjian sebagai
sumber hukum positif harus mengadopsi kaedah-kaedah dan diharmonisasikan dengan
ketentuan-ketentuan internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-batas negara, yang
dilakukan melalui ratifikasi perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta kovenan-kovenan
internasional, maupun hubungan-hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi ekonomi
baru.
Pendekatan hukum ekonomi bersifat dan menggunakan pendekatan-pendekatan
transnasional dan interdisipliner, dengan mengkhususkan diri pada hubungan-hubungan antara
masalah-masalah ekonomi dan sosial nasional dan regional serta internasional secara integral.
Atau dengan perkataan lain, pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus selaras dengan
arah dan kebijakan politik ekonomi pembangunan dan politik hukum pembangunan serta politik
pembangunan masyarakat secara intern dan transdisipliner secara holistik dan sistematik.31[31]
Sehingga dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum ekonomi (economic law)
merupakan bidang hukum yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat dan kepentingan
umum (public interest) sekaligus. Untuk itu pendekatan ekonomi terhadap hukum, akan menjadi
salah satu cara agar tidak terjadi ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dalam dan
antar negara dengan negara lainnya baik secara nasional, regional dan internasional.32[32]
Maka fungsi dan peran hukum dalam pembangunan dalam tahap legislasi nasional
dimasa mendatang perlu memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan
akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai
efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis.
Oleh karenanya ahli hukum yang terlibat sebagai pembuat undang-undang harus mampu
memadukan studi hukum dengan disiplin ilmu lainnya secara komprehensif, agar tertib sosial
bagi berfungsinya hukum karena terjadinya perubahan sosial dan tata pergaulan antar kelompok

31[31] Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001 hlm
25.

32[32] Ibid.
masyarakat, negara, antar negara, baik itu taraf nasional, regional dan internasional yang dalam
prosesnya dapat berjalan secara responsif terhadap prinsip keseimbangan kepentingan
pembangunan yang progresif.

C.   Arus Globalisasi & Masa Depan Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga
Revolusi industri dianggap sebagai tonggak lahirnya ekonomi global, yang tidak lagi
memisahkan teori ekonomi sebagai acuan regulasi perekonomian negara. Teori ekonomi
diposisikan hanya sebagai saksi perasan pemikiran sejarah yang dapat dilihat pada pasca Perang
Dunia II dan berbagai keadaan yang berubah cepat, terutama dalam bidang perekonomian dunia
yang menghilangkan sekat negara, bangsa serta kewilayahan. Revolusi teknologi informasi juga
merupakan faktor pendukung utama perekonomian global atau biasa kita kenal dengan
globalisasi.
Arus globalisasi juga memaksa peran pembangunan ekonomi Dunia Ketiga untuk lebih
maju. Disamping itu, sumber daya alam yang dimiliki akan sangat berperan dalam melakukan
pembangunan ekonomi, tinggal bagaimana manajemen sumber daya manusia yang dimiliki
dapat melakukan pengelolaan terhadap aset produktif yang dapat mendukung pembangunan
ekonomi setiap negara.
Fenomena arus globalisasi yang paling nyata, bagaimana negara-negara yang sedang
berkembang pada Dunia Ketiga akan menjadi target kepentingan ekonomi negara adikuasa.
Belum lagi, masalah ’gap’ (kesenjangan) yang semakin melebar antara negara-negara
berkembang dan miskin dengan negara-negara maju maupun dengan Transnational Corporation
(TNC). Upaya penghapusan kemiskinan (Poverty Alleviation) sebagaimana banyak dinyatakan
secara retorik oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) kenyataannya hanyalah
sikap mengelabuhi publik (kebohongan publik) secara terang-terangan, mengapa demikian?
karena, dalam kenyataannya arah dan tujuan globalisasi dengan arah tujuan penghapusan
kemiskinan sangatlah bertolak belakang, bukan saja bertolak belakang, tetapi juga berlawanan
secara mendasar.33[33]

33[33] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 46.


Globalisasi adalah mengenai pembukaan pasar seluas luasnya di seluruh dunia melalui
berbagai instrumen termasuk Bank Dunia, IMF, MNC, TNC, WTO, dan lembaga sejenis lainya,
dan ”PASAR” tidak pernah memikirkan aspek sosial termasuk aspek perubahan pengaturan
sumber daya manusia dan kecenderungannya justru hanya pada agenda penghapusan
kemiskinan, penciptaan pasar untuk bagaimana menghasilkan profit dan profit, bukti paling jelas
adalah liberalisasi sektor keuangan oleh IMF dan Bank Dunia pada tahun 1980an yang kini
menjadi sebab utama krisis ekonomi, pelarian modal keluar negeri, serta beban utang meningkat
tajam dan volatilitas keuangan tidak berkesudahan yang membangkrutkan bangsa-bangsa negara
berkembang dan miskin hanya dalam hitungan hari.34[34]
Kemudian dari regulasi dan berbagai kenyataan untuk memperjelas fakta permasalahan.
Maka, berikut sederet masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga yang menjadi korban
globalisasi hukum yang menyengsarakan, diantaranya Venezuela dengan krisis ekonominya
yang terjadi akibat dari masuknya kepentingan globalisasi dengan alasan pasar bebas dan
”TANGAN TUHAN” atas mekanisme pasar yang mengaturnya. Krisis Venezuela terjadi sebab
salah satu produsen terbesar minyak dunia ini dikuasai oleh perusahaan minyak Amerika, dan
negara-negara Eropa. Seharusnya negara yang memiliki jutaan bahkan milyaran barel minyak ini
harus lebih sejahtera, ternyata 80% penduduknya adalah masyarakat miskin, dan Hugo Chaves
berpendapat bahwa kemakmuran akan dapat tercapai apabila perusahaan minyak dikelola sendiri
bukan dikelola oleh pihak asing.35[35]
Tidak jauh dari Venezuela negara tetangganya Meksiko juga mengalami hal yang sama
barang kali lebih parah, IMF dan Bank Dunia mengatur kemudahan investasi lewat penanaman
modal asing 100% penguasaan dan monopoli HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Dalam hal
ini terkait dengan perdagangan dunia, yaitu berupa memberikan hak istimewa bagi individu atau
perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk dan Hak Cipta, maka berbagai barang
temuan dapat di kuasai siapa saja yang mendaftarkan terlebih dahulu, syaratnya merupakan
temuan baru, mengandung langkah inovatif dan dapat diterapkan dalam industri (produksi
massal). Sehingga teknologi dapat dikuasai terus menerus serta berbagai kemudahan untuk
menguasai negara dalam berbagai sektor terutama barang publik. Semua kemudahan tersebut dan

34[34] Ibid.

35[35] Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005 hlm 18.
penghapusan atas berbagai hambatan usaha disuatu negara akan semakin memperbesar (TNC)
dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya.36[36]
Dinegara kita pun tidak jauh dari apa yang terjadi pada negara-negara sedang
berkembang lainnya, memasuki dasawarsa 1980an kecenderungan ekonomi Indonesia semakin
terintegrasi kepada ekonomi global. Perlu kita ketahui banyak kejadian kasus globalisasi yang
kemudian menghancurkan baik dari segi kedaulatan nasional, hukum, dan jutaan rakyat
Indonesia. Krisis yang berlangsung hingga saat ini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan
korban terparah globalisasi.
Kasus ini tidak pernah diakui IMF dan Bank Dunia, dan para ekonom liberal yang selalu
menyalahkan kepada pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari KKN (Korupsi, Kolusi,
Nepotisme), Bad Governance dan lainya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang
sebenarnya, dan ada berbagai hal lain semacam liberalisasi ekonomi dan kapitalisme global yang
dipraktikan di Indonesia sebagai agenda besar deregulasi pelicin globalisai.
Dari kegagalan dan dampak globalisasi maka ada satu hal yang menjadi perhatian kita
bersama yaitu, berupa runtuhlah teori ekonomi sebab bila dilihat dari awal mulai globalisasi
yang merupakan perasan dasar dari teori Adam Smith (5 Juni 1723-Juli 1790) dengan bukunya
”An Inquiry into the nature and couses of the wealth of nations” dan biasa disingkat dengan
wealth of nation yang merupakan buku pertama tentang perekonomian modern dan merupakan
dasar perdagangan bebas serta kapitalisme.37[37]

36[36] Ibid. Perjuangan melawan globalisasi di meksiko di mulai saat kaum pribumi Indian di Chiapas
pada tahun 1994 dan bersamaan dengan penandatanganan NAFTA yang menurut kaum ZAPATISTA
sebagai ”Hukuman Mati” bagi Indian dan hadiah bagi orang kaya. Perlawanan ini dilakukan sebab
setelah IMF dan Bank Dunia masuk Meksiko, jumlah orang yang sangat miskin di daerah pinggiran
meningkat sampai sepertiganya, setengah dari total populasi tidak memiliki akses kepada sumber-
sumber perekonomian untuk memenuhi kebutuhan dasar.

37[37] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 56. Kemudian para pendukung
teori ini seperti dilaporkan dalam laporan tahunan yayasan Russel yang merupakan sponsor banyak
penelitian masalah kemasyarakatan menyatakan bahwa seorang ilmuwan ekonomi yang jengkel dengan
kecendrungan ”myopic” dalam disiplin ilmunya, yaitu kebutuhan masyarakat yang memerlukan jawaban
dan melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmu ekonomi datang dengan resep ekonomi teknis. Ketika
dihadapkan dengan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang semakin luas yang diperlukan adalah
pembenahan mekanisme pasar, seolah-olah mekanisme pasar dengan tidak adanya campur tangan
pemerintah persoalan akan selesai
Pendekatan yang dijelaskan arus globalisasi pada aspek pembangunan ekonomi Dunia
Ketiga terkesan hanya menciptakan ruang eksploitasi tak terhenti. Serta akan menjadikan dunia
matematis ekonomis dan tidak dapat pula menjelaskan sebagian dunia yang sudah global.
Padahal sudah sama-sama kita ketahui ilmu ekonomi merupakan ilmu sosial yang berangkat dari
realitas sosial bukan fisika atau aljabar yang serba pasti ditambah dengan pandangan teori
ekonomi yang kausalitas (sebab-akibat) misalnya, jika pemerintah menurunkan tingkat suku
bunga dan berharap dapat merangsang perekonomian, dengan maksud bisnis dapat meminjam
uang dan membuat investasi modal.
Sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya, globalisasi merupakan proyek normatif
yang dibalut melalui teori ekonomi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat yang sesuai
dengan logika pasar. Bangunan dasar globalisasi ini, menurut Bourdieu, tidak lebih sebagai
sebuah fiksi matematika murni yang didasarkan pada sebuah abstraksi luhur mengenai realitas.
Bentuk abstraksi ini dibangun konsepsi rasionalitas yang bercorak individual. Rasionalitas
individual, seperti halnya paradigma neoklasik, memandang individu-individu dalam rangka
memaksimumkan utilitas mereka melalui pilihan sarana yang terbaik guna melayani tujuan-
tujuan meraka. Dengan kata lain, individu-individu adalah unit-unit yang dapat mengambil
keputusan sendiri secara rasional dan otonom38[38]
Globalisasi merupakan sebuah tatanan rezim diskursif yang koheren, yang mampu
megkonstruksi pemahaman sosial mengenai otoritas. Atas nama program pengetahuan ilmiah,
globalisasi mengubah dirinya menjadi program politik untuk bertindak dan selanjutnya
menerapkan makna hegemonik terhadap tatanan dunia. Sebagai proyek politik, globalisasi
menuntun dunia untuk mencapai kesejahteraan universal berlandaskan pada utopia pasar bebas.
Singkatnya, globalisasi secara canggih mampu menggabungkan berbagai modal yang
dikuasainya (ekonomi, politik, militer, sosial, dan pengetahuan tekhnologi) untuk kemudian
membanguan kekuasaan dalam rangka memonopoli pemahaman atas kemajuan, pertumbuhan,

38[38] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis….Op.,Cit. hlm 28. Individu-individu menempati sistem
tersendiri yang berbeda dengan sistem di luarnya. Otonomisasi individu sebagai agregat rasional tidak
membutuhkan karakter kolektif dalam dirinya sendiri. Karena individu-individu memiliki kebebasan penuh untuk
menciptakan efisiensi dan kesejahteraan maksimum bagi dirinya sendiri. Globalisasi kurang lebih bersandar pada
asumsi ini, di mana pencapaian maksimum individu diutamakan sementara karakter sosial yang mengitarinya
diabaikan. Bagi Bourdieu, globalisasi dibentuk melalui teori ekonomi-politik murni yang teguh mempertahankan
oposisi antara logika khas ekonomi, di mana kompetisi dijadikan syarat bagi tercapainya efektivitas dan logika
sosial, dilain sisi, yang menekankan pada persoalan keadilan.
dan kesejahteraan. Sehingga masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga hanya menjadi
target pasar negara adikuasa melalui mekanisme pasar dan perdagangan internasional sebagai
bentuk paket arus globalisasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah masih ada jalan untuk menyelamatkan masa depan
pembangunan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga? Tentunya tulisan ini berangkat dari
gagasan awal bahwa perlu adanya mekanisme hukum yang progresif dalam memetakan
pembangunan ekonomi yang juga tidak mengeyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya
disamping faktor ekonomi secara murni, perlu kiranya instrumen hukum sebagai regulasi dapat
berfungsi lebih responsif terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam melakukan pembangunan
ekonomi pada setiap negara, khususnya di Indonesia.

D.   Memahami Paradigma Hukum Progresif


Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang
dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum
progresif.39[39] Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat
menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit,
dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress
yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu
menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia
penegak hukum itu sendiri.40[40]
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan
sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif
adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-
yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik
tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap
kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses

39[39] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis
di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni
2002.

40[40] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.
pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya
kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan
sifat formalitasnya yang melekat.41[41]
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya di Indonesia,
kegagalan pembangunan ekonomi yang hanya disandarkan pada liberalisasi ekonomi dan itu
dibuktikan dengan arus globalisasi ekonomi memaksa Indonesia harus masuk kedalam poros
mekanisme pasar dan perdagangan Internasional. Akibatnya dibawah pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyhono (SBY) dengan tekanan dinamika ekonomi internasional tidak aneh ketika
pemerintah sekarang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai Jilid II, hal ini
dilakukan dengan dalih menyesuaikan harga minyak dunia yang melonjak naik secara drastis.
Sehingga pemerintah melakukan pengurangan alokasi subsidi BBM untuk menyelamatkan
APBN nasional.
Alasan-alasan diatas secara teknis ekonomis cukup bisa dimaklumi. Persoalannya
kebijakan menaikkan harga BBM harus realistis terhadap kondisi rakyat saat ini. Untuk sampai
pada keyakinan bahwa dampak kenaikan harga BBM secara simultan tak berdampak besar
terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu mengetahui secara
seksama kondisi daya tahan masyarakat. Artinya pemerintah terlebih dahulu melakukan general
chek up atas daya tahan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang
disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan
ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum. Karena
pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo
liberalisme belaka.42[42] Sehingga tak heran agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti
ini, yang pertama adalah melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan

41[41] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas,
Jakarta, 2003, hlm 22-25.

42[42] Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang
mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal
dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-
liberalis adalah, “liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi,
(stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkirkan dari penghalang jalan”.
Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh
dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.
pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral
pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah
positivisme hukum.
Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang berpusat pada
aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan
ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan
keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan
kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum
menjadi unjung tombak perubahan.43[43]
Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan,
tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.
Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena
pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang
ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak
hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan
interpretasi44[44] secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan
pada pencari keadilan.45[45]
Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti
positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan
yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.46[46]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah suatu institusi
yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat
manusia bahagia”. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk
manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang
sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.
Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan
43[43] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No
2 September 2005, hlm 186.

44[44] Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
hlm 3-4.
45[45] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit.
46[46] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139-147.
manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah
untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa
masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi
tersebut di analogkan kepada undang-undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya
mengedepankan kepentingan invenstasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan
sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang
pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan
hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari
aturan tersebut.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum.
Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat,
bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum
yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undang-
undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat banyak, kecuali
hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan
dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan
perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Subtansi undang-undang itu
berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga
atau badan legislatife.
Terakhir adalah, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku
manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu
hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan,
bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.
Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah
bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau
stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-
undang. Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan
manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but
experience.47[47]

47[47] Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu
Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain
sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum
sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan
pada aspek mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun
kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah sesuatu ilmu ekonomi murni.
Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan, bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara
mekanistik dapat diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada
khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut.

E.   Alternatif Pembangunan Ekonomi Progresif


Secara konstitusional sistem pembangunan ekonomi Indonesia didasarkan pada prinsip
keseimbangan, kepastian dan keadilan yang kemudian semua itu dikelola dan diatur oleh negara.
Dengan pemahaman seperti itu bahwa bangsa ini mempunyai cita-cita bersama untuk
mendapatkan hak kedaulatan ekonomi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Bertolak dari itu,
hak kedaulatan ekonomi secara eksplisit dapat dilihat pada Pasal 33 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945
yang secara utuh dan menyeluruh dapat dijadikan orientasi sistem perekonomian Indonesia.
Amanat konstitusi ini dapat dipahami tidak hanya dimaksudkan sebagai landasan yuridis sistem
perekonomian Indonesia, melainkan sekaligus sebagai dasar bagi penyelenggaraan demokrasi
pembangunan ekonomi Indonesia.
Ketika melihat konsep dasar dari Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 dalam kerangka
hukum progresif, sejatinya masih berada pada optik sosiologis bahwa hukum diperuntukkan
melayani kepentingan masyarakat. Seperti halnya yang disebutkan dalam amanat konstitusi
tersebut “bahwa bumi, air dan kekayaan alam beserta cabang-cabang produksi yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Pada hakikatnya gagasan ini adalah suatu proses memberi bentuk terhadap
sejumlah keinginan hak kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia. Dengan demikian yang lebih
dikedepankan adalah membuat suatu bangunan perundang-undangan yang memiliki orientasi
pada kebijakan pembangunan ekonomi dengan struktur rasional dan bertolak dari potret struktur
social masyarakat. Paradigma yang demikian itu tentunya dalam menghadapi masalah, tanpa
meninggalkan subjek akar rumput masalah.
Terlepas dari kejelasan bentuk serta tujuan sistem pembangunan ekonomi Indonesia
tersebut, suatu hal kiranya perlu ditegaskan disini. Dengan ditetapkannya Pasal 33 ayat 1,2 dan 3
UUD 1945 sebagai konsep dasar tujuan dari pembangunan ekonomi Indonesia, hal itu tidak serta
merta merupakan penolakan terhadap ketidakhadiran investor asing dengan melakukan aktivitas
ekonomi melalui perusahaan yang tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akan
tetapi persoalannya kehadiran perusahaan asing yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi
terhadap sumber daya alam yang dimiliki, justru membuat Pasal 33 UUD 1945 ini tidak lagi
memiliki legitimasi kedaulatan ekonomi kerakyatan. Karena antara mewujudkan cita-cita
demokratisasi pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan berdasarkan amanat konstitusi,
akan selalu bersitegang dengan realitas yang sampai sejauh ini perusahaan asing hanya mengeruk
kekayaan alam kita, tanpa memberikan kontribusi secara seimbang dengan apa yang sudah
menjadi hak bangsa ini. Tentu bangsa ini tidak selalu menutup mata, bagaimana bisa potret yang
terjadi di papua, kekayaan alam yang berlimpah ruah, dan freport sebagai perusahaan asing dari
Amerika Serikat yang melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam di papua hanya sekian
persen saja hasil dari penambangan dapat dinikmati oleh rakyat papua. Terbukti fenomena
busung lapar menjadi ancaman bagi rakyat papua, dan persoalan ini menjadi indikator kegagalan
sistem pembangunan ekonomi saat ini.
Ilmu hukum progresif memperhatikan kesenjangan sosial yang terjadi dengan motif
pembangunan ekonomi, dilakukan melalui sistem ekonomi neo-liberalisme. Di balik prinsip-
prinsip dasar dari sistem ekonomi neo-liberalisme, terlihat jelas bahwa antara faktor kerakusan
manusia sebagai embrio munculnya paham positivisme hukum pada sektor sistem ekonomi
tersebut, sesungguhnya merupakan mata rantai yang terkait erat di antara satu dengan lainnya.
Kehadiran globalisasi sebagai proses kapitalisasi ekonomi liberal, tidak lain berakar pada
perilaku manusia individu yang mengumbar nafsu keserakahan duniawi, dan tidak segan-segan
mengorbankan kepentingan masyarakat keseluruhan.48[48]
Globalisasi telah memunculkan pembagian kekuasaan yang tidak merata dan tidak
seimbang. Sebagian besar kekuasaan dalam pembuatan hukum maupun penegakan hukum
berada di tangan para aktor globalisasi, sedangkan para pelaku ekonomi di negara-negara
berkembang semakin memberikan tekanan ekonomi. Kondisi demikian itu memberikan bukti
bahwa sistem perekonomian menjadi faktor pendorong terjadinya perlapisan sosial dalam skala

48[48] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982 hlm 162.
global. Penumpukan kekuasaan di tangan para aktor globalisasi, berhubungan dengan
penguasaan sumber-sumber daya alam dalam masyarakat (dunia). Dengan terjadinya perlapisan
sosial, maka hukum pun sulit mempertahankan netralitasnya. Di sinilah Friedman menunjukkan
bahwa perlapisan sosial merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat
diskriminatif, baik pada substansi maupun pelaksanaannya dalam menjalankan sistem
pembangunan ekonomi global maupun nasional.49[49]
Maka paradigma hukum progresif selalu mencerna perubahan yang terjadi dalam
dinamika masyarakat. Dengan kualitas yang demikian itu, maka hukum progresif akan selalu
gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang
hakikat ilmu itu adalah mencari kebenaran. Setidaknya paradigma hukum progresif memberikan
jalan dengan berupa alternatif di tengah-tengah degradasi orientasi sistem pembangunan
ekonomi Indonesia saat ini. Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan secara
mendasar dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia
secara lebih berkeadilan, partisipatif dan berkesinambungan? Tulisan ini bermaksud menjawab
pertanyaan tersebut. Untuk itu peranan negara dalam politik pembangunan ekonomi Indonesia,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945, ditekankan pada segi
membuat peraturan perundang-undangan guna mengatur jalannya pembangunan ekonomi yang
berbasis kerakyatan. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa
lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke
tangan orang seorang yang memungkinkan dilakukannya penindasan rakyat banyak oleh
segelintir orang yang berkuasa.
Agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang diasumsikan sebagai agenda
pembanguanan ekonomi progresif, didasarkan atas upaya terus-menerus menciptakan
demokratisasi modal dengan penuh keseimbangan, keadilan serta kepastian demi kesejahteraan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Setidaknya terdapat empat agenda pembangunan
ekonomi kerakyatan yang perlu segera dilakukan. Keempat agenda pembangunan ekonomi
progresif tersebut, pertama, desentralisasi penguasaan sumber-sumber penerimaan negara
kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan melanjutkan reformasi fiskal
(pembaruan UU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, UU Perpajakan, dan UU Pajak dan
Retribusi Daerah). Dengan catatan kebijakan pembaruan formulasi ini merupakan refleksi dari

49[49] Ibid
amanat konstitusi Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945. 50[50] Kedua, pembatasan penguasaan dan
redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Selama ini, penguasaan
lahan pertanian secara berlebihan dilakukan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat
dan atau petani berdasai sebagaimana terjadi pada era Orde Baru harus segera diakhiri.51[51]
Ketiga, penciptaan struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya
persaingan secara berkeadilan. Struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya
persaingan secara berkeadilan merupakan satu-satunya institusi yang dapat diandalkan untuk
menghindari terjadinya konsentrasi ekonomi dan monopoli usaha di tangan segelintir pengusaha
besar. Untuk itu, UU Anti Monopoli harus lebih diupayakan secara optimal agar dapat menjamin
terwujudnya lingkungan usaha yang transparan dan kompetitif. 52[52] Kemudian yang keempat,
penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif sebagai upaya untuk mempertahankan
demokratisasi modal ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, penerapan sistem perpajakan yang
bersifat progresif ini juga diperlukan sebagai upaya untuk secara terus-menerus membentuk dana
sosial bagi anggota masyarakat yang rentan. Dengan adanya sumber dana pasti bagi
penyelenggaraan program perlindugan sosial maka tanggung jawab negara sebagai pemelihara
fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana yag diamanatkan oleh konstitusi akan dapat
dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan.53[53]
Dari kenyataan tersebut, bahwa konsep alternatif pembangunan ekonomi kerakyatan
dengan langkah progresif yang mencoba mencari penyelesaian terhadap krisis pembangunan
ekonomi yang terus-menerus terjadi di Indonesia, tampaknya masih merupakan konsep pinggiran
yang masih belum dijalankan sepenuhnya. Konsep ini masih harus di perjuangkan secara gigih,
dan mungkin akan memakan waktu yang lama sebelum pada akhirnya dapat dijalankan secara
efektif.

50[50] Revirsond Baswir, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara
Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.
51[51] Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak mengatur
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Hasil dari pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar
lahan pertanian di bawah penguasaan negara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para
petani penggarap yang memang menggantungkan kelangsungan segenap hidup anggota keluarganya
dari mengolah lahan pertanian. Ibid.
52[52] Ibid.
53[53] Ibid.
F.    Simpulan
Sebagai simpulan kiranya patut dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan
yang mendasari keempat agenda gagasan alternatif pembangunan ekonomi progresif tersebut
memang tidak didasarkan pada paradigma sistem ekonomi neo-liberalisme, melainkan melalui
paradigma sistem ekonomi progresif. Artinya, pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia
tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan konglomerasi,
melainkan dilakukan pada kekuatan pemerintah daerah, mekanisme pasar berbasis kerakyatan,
usaha-usaha pertanian rakyat dan sistem perpajakan yang progresif. Diatas fondasi sistem
pembangunan ekonomi progresif itulah selanjutnya, bangunan ekonomi Indonesia yang adil,
partisipatif, dan berkesinambungan akan ditegakkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis Memetakan Perekonomian Indonesia, Korupsi
Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002.
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.
Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005.
Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001.
Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, 1989,
dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister
Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.
Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2004.
_______________, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara
Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.
Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.
_______________, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
_______________, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
_______________, Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.
_______________, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, September
2005.
Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing
Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk,
Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH
UI, 2005.

Anda mungkin juga menyukai