Satjipto Rahardjo
(Bahan Diskusi dan Tugas Ilmu Negara Mahasiswa Fakultas Hukum UNTAN Ponianak
Kalimantan Barat)
1[1] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 hlm.1
2[2] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix
undangan tertulis, sedang disanubari masyarakat ada hukum yang tidak tertulis yang
mereka sepakati, seharusnya para penstudi hukum dan penegak hukum memandanh
hukum dengan konsep holistik atau sintesa antara hukum tertulis dan tak tertulis, atau
dalam tataran Al-Qur’an mensinergikan ayat-ayat kauliyah (yang tertulis) dengan ayat-
ayat kauniyah (yang ada pada alam semesta dan pada diri manusia) sehingga
keduanya adalah menjadi sebuah kebenaran, sehingga kita manusia mengatakan
maha benar Tuhan/Allah dengan segala firmanNya..
Demikian juga ketika kita melihat hukum dan keadilan pada hakekatnya
merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan
untuk mewujudkan keadilan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun
untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur
yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat,
hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan
masyarakat. Hukum gagal memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi
hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda (sign) tanpa makna.
Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang cenderung
menipu dan mengecewakan.
Salah satu penyebab kemandegan/stagnan yang terjadi didalam dunia hukum
adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah
tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang selaras dengan tabel hidup
karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan
baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. 3[3] Sehingga hukum hanya
dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-
undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah
hukum.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan
politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik
yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-
perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat
konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang
4[4] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,hlm. 373
5[5] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
Pemikiran hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut
keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila
proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia
sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama pada tataran realitas. Idealitas
itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti
sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi
kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan
hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum
bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan
hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the
letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual,
melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan
bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa
dilakukan.6[6]
B. Masalah Pokok
1. Bagaimana pandangan pemikiran hukum progresif mengenai keadilan?
2. Bagaimana landasan konseptual pemikiran hukum progresif?
6[6] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-
pemabatasan.7[7]
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana
terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitasnya, ukuran
rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh,
rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak
mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas. 8[8]
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya
menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup
berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui. 9[9]
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan
secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian
yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan
simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15
tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat
dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis
oleh petugas hukum/hakim.10[10]
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang
mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya
11[11] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006,
hlm. 270
12[12] Ibid, hlm. 272
13[13] Ibid, hlm. 276
D. Landasan Konseptual Pemikiran hukum progresif
Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum
menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari
konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan
sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap
upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai
dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. 14[14]
Kehadiran pemikiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan
sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.
Pemikiran Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching
for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang
sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang
bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap
kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Adalah keprihatinan Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia.
Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di
Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia
peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser
dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi.
Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya
kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo
mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk
mengatasinya?.15[15]
Agenda besar gagasan pemikiran hukum progresif adalah menempatkan
manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum.
Dengan kebijaksanaan pemikiran hukum progresif mengajak untuk memperhatikan
faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, pemikiran hukum progresif menempatkan
perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat.
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah,
mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada
cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”,
status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum
yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada
kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final,
maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan
manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari pemikiran hukum progresif adalah suatu institusi yang
bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat
17[17] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009,
hlm. 31
18[18] Ibid, 74
Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor
peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras
legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai
pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia
mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan
keadilan kepada siapapun.
4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
Pemikiran hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan”
yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-
positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan
“tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum,
maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi
hukum” maupun “rule breaking”.
Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut.
Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba
membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian
dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan
memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada
rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan
tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia
melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo. 19[19]
19[19] Ibid, 75
E. Kesimpulan
Keadilan menurut pemikiran hukum progresif adalah keadilan subtantif. Keadilan
yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban.
Nilai-nilai keadilan tersebut berasal lansung dari masyarakat dan bukan nilai-nilai
keadilan yang tekstual dan hitam putih yang memiliki makna terbatas. Bukan keadilan
prosedur yang didapat melalui berbagai macam prosedur-prosedur yang terkadang
mengaburkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.
Kaburnya tujuan hukum di Indonesia memerlukan langkah-langkah berani untuk
merubahnya. Salah satunya ialah dengan membumikan pemikiran hukum progresif.
Pemikiran Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching
for the truth) yang tidak pernah berhenti. Pemikiran Hukum progresif yang dapat
dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik
tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan
terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-
20, kemudian untuk memperkaya hasanah pemikiran progresif dari gagasan Satjipto
Rahardjo berikut ini penulis lampirkan berbagai artikel/makalah yang berupaya
menelusuri pemikiran hukum progresif Satjipto Rahardjo
DAFTAR PUSTAKA
Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in
Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone,
Jakarta, 2006
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya, 2005
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP,
Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009
Makalah:
Menuju Pemikiran Hukum Progresif di Indonesia
Oleh: Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, SH.
A Pendahuluan
Memasuki situasi transisi dan perubahan yang sangat cepat saat ini, hukum Indonesia
memiliki banyak catatan untuk dikaji. Satu yang hendak kita bicarakan pada bagian ini, yaitu
pandangan seorang yang dapat disebut pakar yang selama ini senantiasa melihat hukum melalui
cara pandang berbeda. Satjipto Rahardjo, barang kali bukan nama yang asing bagi kalangan
praktisi dan akademisi hukum di Indonesia. Buah karyanya dalam berbagai tulisan telah
memberikan nuansa baru bagi perkembangan hukum.
Ada beberapa alasan mengapa pemikiran beliau dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama,
alasan paling logis, bahwa salah satu penulis memiliki kedekatan (hubungan intelektual) dengan
beliau, sehingga cukup memudahkan untuk memetakan secara garis besar pemikiran beliau
tentang hukum di Indonesia. Kedua, sejauh ini beberapa pemikir lain di bidang hukum sudah
banyak diulas dalam beberapa buku, baik untuk tingkat dasar (pengantar) sampai tingkat lanjut
tentang hukum Indonesia, sebut saja beberapa tulisan dan karya Mochtar Kusumahatmadja,
Soerjono Soekanto dan lain-lain. Ketiga, orisinalitas pemikiran Satjipto Rahardjo mewakili
konteks berpikir kontemporer atau postmodernis, sesuai dengan tujuan penyusunan buku ini,
yaitu menyangkut perkembangan yang luar biasa pesat dalam ilmu dan hukum harus
mengantisipasi perkembantgan tersebut. Keempat, substansi pemikiran yang diajukan mengarah
kepada pembentukan teori hukum.
Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat
dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh
(holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang
eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang
hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar
logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science),(Satjipto
Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk
memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan untuk melihat
logika social dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang
harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini
menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto merupakan tragedi
pemikiran.
Satjipto Rahardjo merupakan salah satu pemikir hukum Indonesia yang cukup produktif.
Prof. Tjip, begitu orang-orang menyebutnya, lebih terkenal (khususnya) di dunia akademis
sebagai ‘Begawan Hukum’. Pemikirannya akan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik
lisan maupun tulisan, buku teks atau tercerai berai di berbagai surat kabar dalam bentuk artikel
dan makalah seminar/diskusi. Substansinya sangat beragam bahkan sangat luas, mulai dari hal
yang bersifat filosofis, sosiologis bahkan anthropologis dan religius. Ciri pemikirannya sesuai
dengan perkembangan saat ini dapat dimasukan ke dalam pemikir kontemporer dalam ilmu
hukum postmodernis sekaligus kritis.
Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebutnya sebagai
‘Pemikiran Hukum Progresif’, yaitu semacam refleksi dari perjalanan intelektualnya selama
menjadi musafir ilmu. Tulisan yang ada dalam buku ini, hanya berupa sketsa kecil dan bisa jadi
tidak dapat menggambarkan substansi, konsep dan pesan yang ada didalamnya. Karena fokusnya
lebih kepada kutipan-kutipan dari pidato emeritusnya, juga beberapa diskusi di ruang kelas dan
di ruang seminar, (khususnya dengan salah satu penulis buku ini), ketika mengikuti pendidikan
Program Doktor Ilmu Hukum di Undip Semarang.
Meskipun demikian, sebagai sebuah tulisan berbentuk sketsa hal ini cukup representative,
mengingat kedalam substansi yang dikemukakan dalam pidato emeritusnya dan juga materi
diskusi. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah
produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat
yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum
akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Proses pemaknaan itu
digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana
sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bagunannya sebuah teori, yang
dalam terminologi Kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatika”.
B. Profesi dan Ilmu
Bagi Satjipto Rahardjo, lahirnya program Pascasarjana dalam pendidikan hukum di
Indonesia, pada tahun 1980-an merupakan sebuah pembalikan paradigmatik (revolusioner)
dalam dunia pendidikan hukum, sebagaimana dijelaskan, “Dikatakan sebagai revolusi, oleh
karena sejak dibuka rechtshogeschool di jaman kolonial Belanda pada tahun 1922, maka
Indonesia hanya mengenal program profesi saja. Maka sungguh revolusionerlah sifat atau
kualitas perubahan pada pertengahan tahun 1980-an itu, mulai saat itu Indonesia tidak hanya
mengenal pendidikan profesi, melainkan juga keilmuan, khususnya dalam bidang hukum…”
Apalagi setelah dibukanya Program Doktor Ilmu Hukum, khususnya di UNDIP, maka
lebih jelaslah kedudukan hukum sebagai objek ilmu, dan mengokohkan eksistensi tentang
program keilmuan. Sehingga mereka yang hendak kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum
UNDIP, tidak harus memiliki latar belakang formal SI Hukum. Konsekuensi yang muncul,
bahwa para ilmuwan hukum akan diajak untuk menjelajah hukum secara luas yang intinya tidak
lain adalah searching for truth (pencarian kebenaran). Inilah sebuah inti pemikiran beliau, bahwa
setiap akademisi hukum memiliki kewajiban untuk upaya pencarian kebenaran. Pencarian
kebenaran inilah sebenarnya disebutnya sebagai proses pemaknaan terhadap hukum, dan ini pula
merupakan kesadaran visioner, bahwa tugas ilmuwan adalah mencerahkan masyarakat, sehingga
dunia pendidikan memberikan kontribusi dan tidak melakukan pemborosan.
Selama ini, khususnya sebelum lahirnya S2-S3, pendidikan hukum lebih bersifat kepada
apa yang disebutnya dengan Lawyers Law, atau Law for the lawyers atau Law for the
professional, setiap orang dibawa dan diarahkan untuk menjadi seorang profesional, dan sisi
buruknya muncul pandangan bahwa itulah satu-satunya kebenaran, bahwa hukum hanyalah ada
dalam wilayah yang disebut dengan “logika hukum”. Pandangan ini kemudian berkembang lebih
jauh bahkan mendominasi dan menghegemoni, sehingga setiap orang apabila berbicara hukum
seolah-olah hanya wilayah “logika hukum”itulah kebenaran, di luar wilayah itu bukanlah hukum.
Namun dengan munculnya pendidikan S2 dan S3, maka wilayah kebenaran (hukum) menjadi
jauh lebih luas daripada gambaran hukum yang sudah direduksi menjadi sekedar Lawyers Law.
Untuk melihat lebih jelas persoalan diatas, Satjipto Raharjo memberikan gambaran
tentang kajian dua domain pendidikan yang berbeda itu, dengan menjelaskan bahwa pendidikan
hukum Profesional, dan pendidikan S2 dan S3, akan melihat hukum sebagai berikut;
ILMU HUKUM
Sebenar Ilmu Ilmu Praktis
Science Ilmu Hukum Positif; What should be
Genuine Science: What is a law? considers as law?
Credo: in search for the truth, the truth
Praktis;
about law. Keterampilan/skill hukum positif;
Pencarian, Pembebasan dan pencerahan. Profesional Study; Lawyers Law-Law
Indefinitive; batas-batasnya kabur. for the lawyers.
Orientasi: komunitas dunia ilmu. Credo: “Rules and Logic”
Kesadaran: pencarian kebenaran meski Concern: What to do?, How to do?
pada saat yang sama kita tidak dapat Mempertahankan hukum positif Final
menggenggam kebenaran tersebut. definitive.
Sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada
pada wilayah yang labil, selalu berada pada suatu wilayah yang keos. Artinya disini teori bukan
sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai
perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai
wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Teori baru ini menurut Satjipto Rahardjo
pada dasarnya, akan memberikan tambahan ilmu, transformasi; bergerak, dan proses pemaknaan
baru, dengan demikian struktur ilmu berubah secara total.
A. Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagai sebuah upaya penataan ekonomi sebuah
negara dapat ditelusuri dalam kurun waktu yang lama. Bahkan pemikiran-pemikiran Adam
Smith yang disusun sejak abad ke-18 masih dijadikan rujukan bagi pembangunan ekonomi saat
ini, khususnya negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis.
Tetapi dalam penyelenggaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II
yang melantakkan sebagian besar negara, terutama negara-negara Eropa. Setelah Perang Dunia II
itulah, Eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan
untuk menata kembali perekonomiannya. Instrumen pembangunan (atau tepatnya rekonstruksi)
ini adalah program bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini
memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.22[22]
Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak dijalankan setelah Perang
Dunia II itu memiliki tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid, pertama,
pembangunan dipakai sebagai alat untuk menyebarkan tata ekonomi tunggal dunia, dimana
model ini mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Kedua,
pembangunan juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan
komunisme yang dianggap membahayakan kepentingan negara kapitalisme.23[23]
20[20] Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum & Pembangunan,
yang diampu oleh Prof. Erman Rajagukguk, SH.LLM.Ph.D, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
21[21] Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum
22[22] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis “Memetakan Perekonomian Indonesia”, Korupsi
Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002 hlm 01.
23[23] Ibid.
Proyek pembangunan setelah Perang Dunia II sarat dengan capaian-capaian material
dalam bidang ekonomi. Pembangunan dilukiskan sebagai sebuah proses menuju kemajuan
material perekonomian, sehingga ukuran-ukuran keberhasilannya dilihat dari indikator semacam
pertumbuhan akumulasi investasi dan tingkat konsumsi masyarakat. Dengan karakteristik
semacam itu, negara-negara yang memiliki akumulasi modal dan ketahanan ekonomi yang
mapan, akan semakin melakukan ekspansi ekonomi ke tiap-tiap negara yang berada pada zona
Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga lebih diartikan sebagai negara-negara yang secara ekonomi
masih miskin, atau negara-negara yang sedang berkembang. Konsep pembangunan Dunia Ketiga
tentunya memiliki tingkat harapan tersendiri dalam memenuhi sektor pembangunan ekonominya,
sehingga tidak dapat disetarakan dengan negara adikuasa yang telah berkembang dalam segala
aspek.
Bagi negara-negara Dunia Ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau
bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional;
sementara negara-negara adikuasa persoalannya adalah bagaimana secara sistematis dapat
melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan. 24[24] Sehingga
filsafat pembangunan seperti ini kerap disebut dengan istilah “fordisme”, yang merujuk kepada
upaya terciptanya masyarakat dunia yang makmur berdasarkan maksimasi kegunaan tanpa batas,
yang dibentuk melalui tiga elemen penting, yaitu rasionalitas, efesiensi, dan produksi/konsumsi
massal.25[25]
Tidak dapat dipungkiri filsafat pembangunan ekonomi Indonesia dalam pandangan dunia
internasional, bahwa Indonesia menjadi perhitungan negara yang sedang berkembang serta
identik dengan zona Dunia Ketiga. Pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia era Orde Baru
memang cukup banyak mendatangkan perubahan. Salah satu diantaranya adalah dalam bentuk
peningkatan pendapatan per kapita nasional. Bila pada tahun 1969 pendapatan per kapita
Indonesia baru mencapai US$ 70, maka berkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai
6,5 persen per tahun, pada tahun 1995 angka itu telah meningkat menjadi sekitar US$ 880, atau
24[24] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1995 hlm ix.
25[25] Ibid.
sekitar Rp. 2 juta per orang per tahun. Sejalan perkembangan waktu pendapatan pada sektor
pertanian, jasa dan industri semakin seimbang.26[26]
Tetapi bila dikaji lebih jauh, perjalan pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde
Baru yang mengesankan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan secara berarti, namun pada
prospek jangka panjang menyisakan tangisan dan penderitaan ekonomi secara sistemik. Hal ini
dapat di lihat krisis moneter yang bergejolak pada tahun 1998, serta diikuti dengan instabilitas
politik menjadikan Indonesia menjadi negara yang mengalami krisis berkepanjangan, dan sampai
hari ini dapat dirasakan dampak dari pembangunan ekonomi di bawah rezim Orde Baru. Salah
satunya ialah, negara ini dipaksa melakukan penyesuaian dengan mekanisme pasar terhadap
kenaikan harga minyak dunia. Tak heran ketika setiap waktu harga BBM (bahan bakar minyak)
akan selalu naik, disamping Indonesia saat ini bukan lagi sebagai negara eksportir minyak, di
lain hal sistem perekonomian yang masih terkesan hanya mengikuti poros mekanisme pasar,
tanpa ada kontrol yang akuratif. Alhasil mental negara ini menjadi rapuh, kesenjagangan sosial
makin terlihat tanpa batas, tingkat kriminalitas tiap tahun meningkat, serta yang lebih ironis lagi
ketahanan pangan menjadi problem yang selalu menghantui.
Kemudian timbul suatu pertanyaan dimana peran hukum sebagai bentuk perwujudan
instrumen regulasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia? Seharusnya hukum harus berperan
untuk mengerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana. Disini hukum berperan aktif
sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tol of social engineering). Artinya hukum dalam bidang
kehidupan yang nyata harus lebih difungsikan sebagai sarana sosial kontrol dalam kehidupan
masyarakat.27[27] Jika asumsi pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya Indonesia
disandarkan pada paradigma hukum progresif yang implementasinya responsif dan
mendatangkan kemanfaatan sosial, tentunya alur berfikir pembangunan ekonomi Indonesia tidak
serumit saat ini.
Tidak dapat dinafikan hukum progresif bukan instrumen ilmu ekonomi secara murni,
akan tetapi prospek pembangunan ekonomi tentunya tidak terlepas dari mekanisme hukum
dalam melakukan aktivitas ekonomi, yang hasil akhirnya dalam aspek hukum dapat memenuhi
nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Maka paradigma hukum progresif dapat dijadikan
batas apresiasi terhadap dinamika perkembangan arus globalisasi yang tidak saja terjadi pada
26[26] Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde
Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004 hlm 19.
27[27] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006 hlm 8.
sektor ekonomi dan tekhnologi, melainkan juga pada batas-batas tertentu, dan setiap negara
terpaksa mengikuti arus globalisasi hukum sebagai bentuk penyesuaian terhadap pembangunan
ekonomi melalui tujuan mekanisme pasar dan perdagangan internasional.
28[28] Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help
Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk,
Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005,
Dalam suatu negara program pembangunan yang baik adalah pembangunan yang
dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar pertumbuhan ekonomi
semata, juga harus memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia
warga negaranya yang telah diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik hak-hak
sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah,
sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah akan mampu menarik lahirnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan.
Dari berbagai studi mengenai hukum dan pembangunan dapat diketahui, setidaknnya
program pembangunan harus memenuhi kualitas hukum yang kondusif bagi perencanaan dan
pelaksanaannya, yaitu stabilitas (stability), kalkulasi yang terencana (predictability), keadilan
(fairness), pendidikan (education), dan pengembangan profesi hukum (the special development
abilities of the lawyer).29[29]
Stabilitas dan predictability adalah merupakan prasyarat untuk berfungsinya sistem
ekonomi. Predictability sangat berperan, terutama bagi negara-negara yang masyarakatnya baru
memasuki hubungan-hubungan ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional mereka.
Sedangkan prasyarat stabilitas berarti hukum berpotensi dan dapat menjaga keseimbangan
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan akan tercermin dari proses
hukum, persamaan dihadapan hukum, dan standar sikap/perlakuan pemerintah, dan lain-lain
akan mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan mencegah campur tangan pemerintah
yang terlalu dominan.30[30]
Sedangkan pendidikan dan pengembangan profesi hukum merupakan sesuatu keharusan
yang harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat berperan sebagai ahli hukum dalam
pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi.
Berbicara mengenai fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan ekonomi
suatu negara pada dasarnya tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan ekonomi
terhadap hukum atau sebaliknya, pendekatan hukum terhadap ekonomi, yang lazim dikenal
hlm. 127.
29[29] Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, Vol.
9, Thn 1989, hlm. 232. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi
Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 157.
30[30] Ibid.
dengan analisis ekonomi terhadap hukum. Salah satu contoh konkrit bahwa adanya elaborasi
keilmuan antar dua displin ilmu ekonomi dan hukum, ialah daya paksa arus globalisasi ekonomi
yang memaksa instrumen hukum sebagai regulasi mekanisme ekonomi menyesuaikan diri
terhadap perkembangan internasional, hal ini sering disebut dengan globalisasi hukum.
Sehingga materi muatan berbagai Undang-undang dan perjanjian-perjanjian sebagai
sumber hukum positif harus mengadopsi kaedah-kaedah dan diharmonisasikan dengan
ketentuan-ketentuan internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-batas negara, yang
dilakukan melalui ratifikasi perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta kovenan-kovenan
internasional, maupun hubungan-hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi ekonomi
baru.
Pendekatan hukum ekonomi bersifat dan menggunakan pendekatan-pendekatan
transnasional dan interdisipliner, dengan mengkhususkan diri pada hubungan-hubungan antara
masalah-masalah ekonomi dan sosial nasional dan regional serta internasional secara integral.
Atau dengan perkataan lain, pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus selaras dengan
arah dan kebijakan politik ekonomi pembangunan dan politik hukum pembangunan serta politik
pembangunan masyarakat secara intern dan transdisipliner secara holistik dan sistematik.31[31]
Sehingga dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum ekonomi (economic law)
merupakan bidang hukum yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat dan kepentingan
umum (public interest) sekaligus. Untuk itu pendekatan ekonomi terhadap hukum, akan menjadi
salah satu cara agar tidak terjadi ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dalam dan
antar negara dengan negara lainnya baik secara nasional, regional dan internasional.32[32]
Maka fungsi dan peran hukum dalam pembangunan dalam tahap legislasi nasional
dimasa mendatang perlu memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan
akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai
efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis.
Oleh karenanya ahli hukum yang terlibat sebagai pembuat undang-undang harus mampu
memadukan studi hukum dengan disiplin ilmu lainnya secara komprehensif, agar tertib sosial
bagi berfungsinya hukum karena terjadinya perubahan sosial dan tata pergaulan antar kelompok
31[31] Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001 hlm
25.
32[32] Ibid.
masyarakat, negara, antar negara, baik itu taraf nasional, regional dan internasional yang dalam
prosesnya dapat berjalan secara responsif terhadap prinsip keseimbangan kepentingan
pembangunan yang progresif.
C. Arus Globalisasi & Masa Depan Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga
Revolusi industri dianggap sebagai tonggak lahirnya ekonomi global, yang tidak lagi
memisahkan teori ekonomi sebagai acuan regulasi perekonomian negara. Teori ekonomi
diposisikan hanya sebagai saksi perasan pemikiran sejarah yang dapat dilihat pada pasca Perang
Dunia II dan berbagai keadaan yang berubah cepat, terutama dalam bidang perekonomian dunia
yang menghilangkan sekat negara, bangsa serta kewilayahan. Revolusi teknologi informasi juga
merupakan faktor pendukung utama perekonomian global atau biasa kita kenal dengan
globalisasi.
Arus globalisasi juga memaksa peran pembangunan ekonomi Dunia Ketiga untuk lebih
maju. Disamping itu, sumber daya alam yang dimiliki akan sangat berperan dalam melakukan
pembangunan ekonomi, tinggal bagaimana manajemen sumber daya manusia yang dimiliki
dapat melakukan pengelolaan terhadap aset produktif yang dapat mendukung pembangunan
ekonomi setiap negara.
Fenomena arus globalisasi yang paling nyata, bagaimana negara-negara yang sedang
berkembang pada Dunia Ketiga akan menjadi target kepentingan ekonomi negara adikuasa.
Belum lagi, masalah ’gap’ (kesenjangan) yang semakin melebar antara negara-negara
berkembang dan miskin dengan negara-negara maju maupun dengan Transnational Corporation
(TNC). Upaya penghapusan kemiskinan (Poverty Alleviation) sebagaimana banyak dinyatakan
secara retorik oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) kenyataannya hanyalah
sikap mengelabuhi publik (kebohongan publik) secara terang-terangan, mengapa demikian?
karena, dalam kenyataannya arah dan tujuan globalisasi dengan arah tujuan penghapusan
kemiskinan sangatlah bertolak belakang, bukan saja bertolak belakang, tetapi juga berlawanan
secara mendasar.33[33]
34[34] Ibid.
35[35] Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005 hlm 18.
penghapusan atas berbagai hambatan usaha disuatu negara akan semakin memperbesar (TNC)
dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya.36[36]
Dinegara kita pun tidak jauh dari apa yang terjadi pada negara-negara sedang
berkembang lainnya, memasuki dasawarsa 1980an kecenderungan ekonomi Indonesia semakin
terintegrasi kepada ekonomi global. Perlu kita ketahui banyak kejadian kasus globalisasi yang
kemudian menghancurkan baik dari segi kedaulatan nasional, hukum, dan jutaan rakyat
Indonesia. Krisis yang berlangsung hingga saat ini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan
korban terparah globalisasi.
Kasus ini tidak pernah diakui IMF dan Bank Dunia, dan para ekonom liberal yang selalu
menyalahkan kepada pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari KKN (Korupsi, Kolusi,
Nepotisme), Bad Governance dan lainya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang
sebenarnya, dan ada berbagai hal lain semacam liberalisasi ekonomi dan kapitalisme global yang
dipraktikan di Indonesia sebagai agenda besar deregulasi pelicin globalisai.
Dari kegagalan dan dampak globalisasi maka ada satu hal yang menjadi perhatian kita
bersama yaitu, berupa runtuhlah teori ekonomi sebab bila dilihat dari awal mulai globalisasi
yang merupakan perasan dasar dari teori Adam Smith (5 Juni 1723-Juli 1790) dengan bukunya
”An Inquiry into the nature and couses of the wealth of nations” dan biasa disingkat dengan
wealth of nation yang merupakan buku pertama tentang perekonomian modern dan merupakan
dasar perdagangan bebas serta kapitalisme.37[37]
36[36] Ibid. Perjuangan melawan globalisasi di meksiko di mulai saat kaum pribumi Indian di Chiapas
pada tahun 1994 dan bersamaan dengan penandatanganan NAFTA yang menurut kaum ZAPATISTA
sebagai ”Hukuman Mati” bagi Indian dan hadiah bagi orang kaya. Perlawanan ini dilakukan sebab
setelah IMF dan Bank Dunia masuk Meksiko, jumlah orang yang sangat miskin di daerah pinggiran
meningkat sampai sepertiganya, setengah dari total populasi tidak memiliki akses kepada sumber-
sumber perekonomian untuk memenuhi kebutuhan dasar.
37[37] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 56. Kemudian para pendukung
teori ini seperti dilaporkan dalam laporan tahunan yayasan Russel yang merupakan sponsor banyak
penelitian masalah kemasyarakatan menyatakan bahwa seorang ilmuwan ekonomi yang jengkel dengan
kecendrungan ”myopic” dalam disiplin ilmunya, yaitu kebutuhan masyarakat yang memerlukan jawaban
dan melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmu ekonomi datang dengan resep ekonomi teknis. Ketika
dihadapkan dengan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang semakin luas yang diperlukan adalah
pembenahan mekanisme pasar, seolah-olah mekanisme pasar dengan tidak adanya campur tangan
pemerintah persoalan akan selesai
Pendekatan yang dijelaskan arus globalisasi pada aspek pembangunan ekonomi Dunia
Ketiga terkesan hanya menciptakan ruang eksploitasi tak terhenti. Serta akan menjadikan dunia
matematis ekonomis dan tidak dapat pula menjelaskan sebagian dunia yang sudah global.
Padahal sudah sama-sama kita ketahui ilmu ekonomi merupakan ilmu sosial yang berangkat dari
realitas sosial bukan fisika atau aljabar yang serba pasti ditambah dengan pandangan teori
ekonomi yang kausalitas (sebab-akibat) misalnya, jika pemerintah menurunkan tingkat suku
bunga dan berharap dapat merangsang perekonomian, dengan maksud bisnis dapat meminjam
uang dan membuat investasi modal.
Sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya, globalisasi merupakan proyek normatif
yang dibalut melalui teori ekonomi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat yang sesuai
dengan logika pasar. Bangunan dasar globalisasi ini, menurut Bourdieu, tidak lebih sebagai
sebuah fiksi matematika murni yang didasarkan pada sebuah abstraksi luhur mengenai realitas.
Bentuk abstraksi ini dibangun konsepsi rasionalitas yang bercorak individual. Rasionalitas
individual, seperti halnya paradigma neoklasik, memandang individu-individu dalam rangka
memaksimumkan utilitas mereka melalui pilihan sarana yang terbaik guna melayani tujuan-
tujuan meraka. Dengan kata lain, individu-individu adalah unit-unit yang dapat mengambil
keputusan sendiri secara rasional dan otonom38[38]
Globalisasi merupakan sebuah tatanan rezim diskursif yang koheren, yang mampu
megkonstruksi pemahaman sosial mengenai otoritas. Atas nama program pengetahuan ilmiah,
globalisasi mengubah dirinya menjadi program politik untuk bertindak dan selanjutnya
menerapkan makna hegemonik terhadap tatanan dunia. Sebagai proyek politik, globalisasi
menuntun dunia untuk mencapai kesejahteraan universal berlandaskan pada utopia pasar bebas.
Singkatnya, globalisasi secara canggih mampu menggabungkan berbagai modal yang
dikuasainya (ekonomi, politik, militer, sosial, dan pengetahuan tekhnologi) untuk kemudian
membanguan kekuasaan dalam rangka memonopoli pemahaman atas kemajuan, pertumbuhan,
38[38] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis….Op.,Cit. hlm 28. Individu-individu menempati sistem
tersendiri yang berbeda dengan sistem di luarnya. Otonomisasi individu sebagai agregat rasional tidak
membutuhkan karakter kolektif dalam dirinya sendiri. Karena individu-individu memiliki kebebasan penuh untuk
menciptakan efisiensi dan kesejahteraan maksimum bagi dirinya sendiri. Globalisasi kurang lebih bersandar pada
asumsi ini, di mana pencapaian maksimum individu diutamakan sementara karakter sosial yang mengitarinya
diabaikan. Bagi Bourdieu, globalisasi dibentuk melalui teori ekonomi-politik murni yang teguh mempertahankan
oposisi antara logika khas ekonomi, di mana kompetisi dijadikan syarat bagi tercapainya efektivitas dan logika
sosial, dilain sisi, yang menekankan pada persoalan keadilan.
dan kesejahteraan. Sehingga masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga hanya menjadi
target pasar negara adikuasa melalui mekanisme pasar dan perdagangan internasional sebagai
bentuk paket arus globalisasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah masih ada jalan untuk menyelamatkan masa depan
pembangunan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga? Tentunya tulisan ini berangkat dari
gagasan awal bahwa perlu adanya mekanisme hukum yang progresif dalam memetakan
pembangunan ekonomi yang juga tidak mengeyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya
disamping faktor ekonomi secara murni, perlu kiranya instrumen hukum sebagai regulasi dapat
berfungsi lebih responsif terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam melakukan pembangunan
ekonomi pada setiap negara, khususnya di Indonesia.
39[39] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis
di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni
2002.
40[40] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.
pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya
kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan
sifat formalitasnya yang melekat.41[41]
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya di Indonesia,
kegagalan pembangunan ekonomi yang hanya disandarkan pada liberalisasi ekonomi dan itu
dibuktikan dengan arus globalisasi ekonomi memaksa Indonesia harus masuk kedalam poros
mekanisme pasar dan perdagangan Internasional. Akibatnya dibawah pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyhono (SBY) dengan tekanan dinamika ekonomi internasional tidak aneh ketika
pemerintah sekarang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai Jilid II, hal ini
dilakukan dengan dalih menyesuaikan harga minyak dunia yang melonjak naik secara drastis.
Sehingga pemerintah melakukan pengurangan alokasi subsidi BBM untuk menyelamatkan
APBN nasional.
Alasan-alasan diatas secara teknis ekonomis cukup bisa dimaklumi. Persoalannya
kebijakan menaikkan harga BBM harus realistis terhadap kondisi rakyat saat ini. Untuk sampai
pada keyakinan bahwa dampak kenaikan harga BBM secara simultan tak berdampak besar
terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu mengetahui secara
seksama kondisi daya tahan masyarakat. Artinya pemerintah terlebih dahulu melakukan general
chek up atas daya tahan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang
disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan
ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum. Karena
pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo
liberalisme belaka.42[42] Sehingga tak heran agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti
ini, yang pertama adalah melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan
41[41] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas,
Jakarta, 2003, hlm 22-25.
42[42] Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang
mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal
dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-
liberalis adalah, “liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi,
(stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkirkan dari penghalang jalan”.
Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh
dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.
pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral
pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah
positivisme hukum.
Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang berpusat pada
aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan
ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan
keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan
kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum
menjadi unjung tombak perubahan.43[43]
Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan,
tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.
Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena
pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang
ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak
hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan
interpretasi44[44] secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan
pada pencari keadilan.45[45]
Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti
positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan
yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.46[46]
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah suatu institusi
yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat
manusia bahagia”. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk
manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang
sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.
Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan
43[43] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No
2 September 2005, hlm 186.
44[44] Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
hlm 3-4.
45[45] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit.
46[46] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139-147.
manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah
untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa
masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi
tersebut di analogkan kepada undang-undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya
mengedepankan kepentingan invenstasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan
sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang
pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan
hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari
aturan tersebut.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum.
Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat,
bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum
yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undang-
undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat banyak, kecuali
hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan
dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan
perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Subtansi undang-undang itu
berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga
atau badan legislatife.
Terakhir adalah, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku
manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu
hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan,
bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.
Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah
bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau
stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-
undang. Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan
manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but
experience.47[47]
47[47] Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu
Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain
sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum
sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan
pada aspek mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun
kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah sesuatu ilmu ekonomi murni.
Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan, bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara
mekanistik dapat diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada
khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut.
48[48] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982 hlm 162.
global. Penumpukan kekuasaan di tangan para aktor globalisasi, berhubungan dengan
penguasaan sumber-sumber daya alam dalam masyarakat (dunia). Dengan terjadinya perlapisan
sosial, maka hukum pun sulit mempertahankan netralitasnya. Di sinilah Friedman menunjukkan
bahwa perlapisan sosial merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat
diskriminatif, baik pada substansi maupun pelaksanaannya dalam menjalankan sistem
pembangunan ekonomi global maupun nasional.49[49]
Maka paradigma hukum progresif selalu mencerna perubahan yang terjadi dalam
dinamika masyarakat. Dengan kualitas yang demikian itu, maka hukum progresif akan selalu
gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang
hakikat ilmu itu adalah mencari kebenaran. Setidaknya paradigma hukum progresif memberikan
jalan dengan berupa alternatif di tengah-tengah degradasi orientasi sistem pembangunan
ekonomi Indonesia saat ini. Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan secara
mendasar dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia
secara lebih berkeadilan, partisipatif dan berkesinambungan? Tulisan ini bermaksud menjawab
pertanyaan tersebut. Untuk itu peranan negara dalam politik pembangunan ekonomi Indonesia,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945, ditekankan pada segi
membuat peraturan perundang-undangan guna mengatur jalannya pembangunan ekonomi yang
berbasis kerakyatan. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa
lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke
tangan orang seorang yang memungkinkan dilakukannya penindasan rakyat banyak oleh
segelintir orang yang berkuasa.
Agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang diasumsikan sebagai agenda
pembanguanan ekonomi progresif, didasarkan atas upaya terus-menerus menciptakan
demokratisasi modal dengan penuh keseimbangan, keadilan serta kepastian demi kesejahteraan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Setidaknya terdapat empat agenda pembangunan
ekonomi kerakyatan yang perlu segera dilakukan. Keempat agenda pembangunan ekonomi
progresif tersebut, pertama, desentralisasi penguasaan sumber-sumber penerimaan negara
kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan melanjutkan reformasi fiskal
(pembaruan UU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, UU Perpajakan, dan UU Pajak dan
Retribusi Daerah). Dengan catatan kebijakan pembaruan formulasi ini merupakan refleksi dari
49[49] Ibid
amanat konstitusi Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945. 50[50] Kedua, pembatasan penguasaan dan
redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Selama ini, penguasaan
lahan pertanian secara berlebihan dilakukan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat
dan atau petani berdasai sebagaimana terjadi pada era Orde Baru harus segera diakhiri.51[51]
Ketiga, penciptaan struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya
persaingan secara berkeadilan. Struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya
persaingan secara berkeadilan merupakan satu-satunya institusi yang dapat diandalkan untuk
menghindari terjadinya konsentrasi ekonomi dan monopoli usaha di tangan segelintir pengusaha
besar. Untuk itu, UU Anti Monopoli harus lebih diupayakan secara optimal agar dapat menjamin
terwujudnya lingkungan usaha yang transparan dan kompetitif. 52[52] Kemudian yang keempat,
penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif sebagai upaya untuk mempertahankan
demokratisasi modal ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, penerapan sistem perpajakan yang
bersifat progresif ini juga diperlukan sebagai upaya untuk secara terus-menerus membentuk dana
sosial bagi anggota masyarakat yang rentan. Dengan adanya sumber dana pasti bagi
penyelenggaraan program perlindugan sosial maka tanggung jawab negara sebagai pemelihara
fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana yag diamanatkan oleh konstitusi akan dapat
dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan.53[53]
Dari kenyataan tersebut, bahwa konsep alternatif pembangunan ekonomi kerakyatan
dengan langkah progresif yang mencoba mencari penyelesaian terhadap krisis pembangunan
ekonomi yang terus-menerus terjadi di Indonesia, tampaknya masih merupakan konsep pinggiran
yang masih belum dijalankan sepenuhnya. Konsep ini masih harus di perjuangkan secara gigih,
dan mungkin akan memakan waktu yang lama sebelum pada akhirnya dapat dijalankan secara
efektif.
50[50] Revirsond Baswir, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara
Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.
51[51] Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak mengatur
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Hasil dari pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar
lahan pertanian di bawah penguasaan negara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para
petani penggarap yang memang menggantungkan kelangsungan segenap hidup anggota keluarganya
dari mengolah lahan pertanian. Ibid.
52[52] Ibid.
53[53] Ibid.
F. Simpulan
Sebagai simpulan kiranya patut dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan
yang mendasari keempat agenda gagasan alternatif pembangunan ekonomi progresif tersebut
memang tidak didasarkan pada paradigma sistem ekonomi neo-liberalisme, melainkan melalui
paradigma sistem ekonomi progresif. Artinya, pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia
tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan konglomerasi,
melainkan dilakukan pada kekuatan pemerintah daerah, mekanisme pasar berbasis kerakyatan,
usaha-usaha pertanian rakyat dan sistem perpajakan yang progresif. Diatas fondasi sistem
pembangunan ekonomi progresif itulah selanjutnya, bangunan ekonomi Indonesia yang adil,
partisipatif, dan berkesinambungan akan ditegakkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis Memetakan Perekonomian Indonesia, Korupsi
Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002.
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.
Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005.
Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001.
Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, 1989,
dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister
Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.
Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2004.
_______________, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara
Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.
Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.
_______________, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
_______________, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.
_______________, Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.
_______________, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982.
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, September
2005.
Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing
Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk,
Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH
UI, 2005.