Anda di halaman 1dari 8

UNIVERSITAS INDONESIA

KARAKTERISTIK DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA


DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KELOMPOK 1

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA PARALEL
DEPOK
SEPTEMBER 2018
Anggota Kelompok 1:

Adhine Jodya Satriaji (1606909933)


Adityawardhana Putra (1606909403)
Agustine Rarahere Noach (1606909486)
Ailsa Namira Imani (1606872306)
Ainunnisa Rezky Asokawati (1606910191)
Alayna Vienieasky (1606872350)
Alexander Samuel Paruhum (1606909435)
Andrea Theresia (1606910046)
Arafah Dira Prameswari (1606909971)
Ariq Irsyad Maulana (1606871884)
Audika Vania Ardini (1606872086)
Chrissie Margareta Ginting (1606909454)
David Gilbert H. (1606872243)
Davina Permata (1606909731)
Fahira Nabila (1606872344)
Hana Oktaviandri (1606909946)
Ikhsanul Fikri (1606910071)
Irma Rahmanisa (1606909265)
Jeremy Revadia Kristasurya (1606872016)
Jovanka Jeanettia (1606909990)
Meka Azzahra Larasati (1606871764)
Muhammad Abdul Jabar (1606910084)
Muhammad Agun Pratama (1606909725)
Muhammad Putra Gemilang (1606909574)
Muhammad Harman Pradana (1606910222)
Reysena Widya Lestari (1606909832)
Rizqy Agusta Primandana (1606909271)
Safira Ayudiatri (1606872155)
Trisha Ardhia Kirana (1606872035)
Trisha Naila Ihsan (1606910121)
Vini Rismayanti Putri (1606871796)
KARAKTERISTIK DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA DI PERADILAN TATA
USAHA NEGARA

1. POINT D’INTEREST, POINT D’ACTION


Tuntutan hak adalah tindakan yang dilakukan untuk mendapat perlindungan hukum dari
pengadilan guna mencegah eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan
menghakimi sendiri dilarang karena merupakan tindakan melaksanakan hak menurut kehendak
sendiri secara sewenang-wenang.1 Dalam hal ini, pihak yang mengajukan tuntutan hak harus
memiliki kepentingan akan perlindungan hukum. Kepentingan hukum dengan demikian
menjadi syarat utama akan diterimanya suatu tuntutan hak oleh pengadilan. Hal ini sesuai
dengan asas point d’interest, point d’action.2
Asas point d’interest, point d’action merupakan salah satu ciri khusus yang menjadi
karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Hukum Acara PTUN). Asas ini
berarti dalam gugatan harus ada kepentingan atau bila tidak ada kepentingan, tidak boleh
mengajukan gugatan (No Interest, No Action).3 Hal ini dikarenakan tanpa adanya kepentingan,
gugatan hanya akan merugikan umum, waktu tenaga, dan biaya tanpa ada manfaatnya bagi
siapa pun.4 Walaupun demikian, tuntutan hak yang mempunyai kepentingan hukum tidak
selalu dikabulkan oleh pengadilan karena hal tersebut bergantung pada pembuktian dan
pertimbangan hakim di pengadilan.5
Kepentingan dalam kaitannya dengan Hukum Acara PTUN mengandung dua arti,
yaitu:6
1. Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum.
Nilai di sini adalah nilai yang baik menguntungkan maupun merugikan, yang secara
nalar dapat timbul akan adanya suatu Keputusan TUN (KTUN) atau penolakan KTUN.
2. Kepentingan proses, yaitu apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses
gugatan yang bersangkutan.
Tujuan berproses adalah terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum.

1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2017),
hlm. 2.
2
Ibid., hlm. 55.
3
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta:
PT Primamedia Pustaka, 1999), hlm. 2.
4
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku II
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 35.
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, hlm. 55.
6
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang, hlm. 37.

1
Pihak yang berhak untuk melakukan gugatan atau tuntutan hak dalam Pasal 53 UU
PTUN adalah seseorang atau badan hukum perdata.7 Gugatan dalam PTUN umumnya bersifat
mandiri atau tidak accessoir terhadap hak subjektif. Gugatan ini bertujuan untuk melindungi
hak subjektif berdasarkan hukum publik atau untuk melindungi kepentingan-kepentingan
tertentu.8 Dalam hal ini, gugatan harus mengandung kepentingan yang dirugikan akibat suatu
KTUN yang bersifat Penetapan Tertulis.9

Orang atau badan hukum perdata yang dapat dirugikan oleh keluarnya suatu KTUN
secara konkret dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:10
• Kelompok pertama: orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang
dituju oleh suatu KTUN. Dalam hal ini, para penggugat terkena dampak langsung
akibat keputusan tersebut.
• Kelompok kedua: orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai
pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini meliputi:
1. individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan dan
2. organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan.
• Kelompok ketiga: badan atau jabatan TUN yang lain. Namun, UU tidak memberikan
hak bagi badan atau jabatan TUN untuk menggugat.

2. DOMINUS LITIS
(dominus=dominan; litis=perkara)
Asas dominus litis adalah salah satu asas penting dalam pemeriksaan di Peradilan Tata
Usaha Negara.11 Kata dominus litis secara etimologis berasal dari bahasa latin yang terdiri atas
2 kata, yakni dominus dan litis. Dominus memiliki arti dalam Roman Law sebagai kepemilikan
atas suatu barang atau warisan, dan juga berarti a lord, a feudal superior atau terjemahan
bebasnya adalah penguasa, dan dalam Civil Law sebagai seseorang yang memiliki sesuatu
sebagai haknya.12 Dominus juga dapat dimaknai sebagai the master of the suit.13 Sementara itu,

7
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 Tahun 2004, LN No. 35 Tahun 2004, TLN No. 4380, Ps. 53.
8
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang, hlm. 34.
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 35.
11
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2009), hlm. 71.
12
Henry Campbell Black, Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary. Eighth Ed. (St. Paul, MN:
West, a Thomson Business, 2004), hlm. 525.
13
Anonim, “The Law Dictionary: What is Dominus Litis?,” https://thelawdictionary.org/dominus-litis/,
diakses pada 14 September 2018.

2
litis berarti perkara hukum atau sengketa.14 Maka, dapat disimpulkan bahwa asas ini bermakna
ada yang dominan atau sebagai penguasa dalam penyelesaian suatu perkara.15
Dalam Hukum Acara PTUN, dominus litis atau penguasa perkaranya adalah hakim.16
Hal ini berakibat hakimlah yang memiliki peranan aktif sebagai penguasa perkara sehingga ia
dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiel.17 Kebenaran materiel ini dibebankan pada
hakim pencariannya karena KTUN yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif
yang harus sesuai tertib hukum yang berlaku.18 Maka pada hukum acara PTUN, selain
bermakna hakim sebagai penguasa perkara, asas dominus litis juga disinonimkan dengan asas
keaktifan hakim.19 Keaktifan hakim dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 58,20 Pasal 63 ayat
(2) butir a,b, Pasal 80 ayat (1), Pasal 85, Pasal 95 ayat (1), Pasal 103 ayat (1).21 Hal ini berbeda
dengan pengadilan pidana di mana yang menjadi penguasa perkara adalah jaksa, meskipun
belum diterapkan secara penuh dalam hukum KUHAP.22
Asas dominus litis diperlukan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai
kompensasi untuk menyeimbangkan kedudukan penggugat yang berada di bawah kedudukan
tergugat, kedudukan tergugat lebih kuat dari penggugat.23 Kompensasi perlu diberikan karena
kedudukan penggugat (orang atau Badan Hukum Perdata) diasumsikan dalam posisi yang lebih
lemah dibandingkan tergugat selaku pemegang kekuasaan publik. Pada saat pembuktian,
biasanya alat bukti yang diperlukan dalam proses persidangan tidak dimiliki oleh penggugat
yang pada umumnya adalah rakyat biasa, namun dimiliki oleh tergugat.24 Hal ini disebabkan
tergugat lebih memiliki kelengkapan fasilitas, informasi, sarana, dan prasarana dibandingkan

14
Anonim, “Latin Dictionary & Grammar Resources: Latin definition for: lis, litis,”, https://latin-
dictionary.net/definition/25761/lis-litis, diakses pada 14 September 2018.
15
Aju Putrijanti, “Prinsip Hakim Aktif (Domini Litis Principle) Dalam Peradilan Tata Usaha Negara,”
Masalah-masalah Hukum 3, (2013), hlm. 321.
16
Berdasarkan perkuliahan Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara di kelas Paralel Fakultas
Hukum Universitas Indonesia yang disampaikan oleh Prof. Anna Erliyana pada tanggal 10 September 2018.
17
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, hlm. 1.
18
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara.
19
W. Riawan Tjandra, Ibid. dan lihat juga Aju Putrijanti, Prinsip Hakim Aktif (Domini Litis Principle).
20
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara.
21
Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Ps. 58, Ps. 63 ayat (2) butir a-b,
Ps. 80 ayat (1), Ps. 85, Ps. 95 ayat (1), Ps. 103 ayat (1).
Pasal-pasal ini tidak mengalami perubahan, meskipun UU No. 5 Tahun 1986 telah mengalami dua kali
perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
22
Tim Pengkajian dan Pengembangan Kejaksaan Republik Indonesia, “Implementasi Dominus Litis
Penuntutan Dalam Kewenangan Kejaksaan,”,”
https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=3398&bc, diakses pada
13 September 2018.
23
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, hlm. 1.
24
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.

3
penggugat.25 Di sinilah peranan hakim yang aktif dalam mencari kebenaran materiel – salah
satunya dengan meminta bukti-bukti yang lengkap untuk diperiksa dan dipertimbangkan –
dibutuhkan.
Konsekuensi dari adanya penerapan asas ini adalah adanya kemungkinan hakim Tata
Usaha Negara untuk melakukan ultra petita, yang berarti hakim dapat memutus tentang hal-
hal yang berkaitan langsung dengan permasalahan pokok dalam gugatan, meskipun tidak
dimohonkan untuk diputus oleh tergugat. Ultra petita diperlukan agar hakim dapat
mempertimbangkan secara lengkap KTUN yang disengketakan guna menilai keabsahan
KTUN tersebut beserta akibat hukumnya, meskipun ada hal-hal yang berkaitan dengan
pengujian KTUN itu yang tidak dimasukkan sebagai dalil dalam gugatan oleh penggugat.26
Menurut Marbun, berkaitan dengan adanya kemungkinan dari penerapan ultra petita
sebagai konsekuensi dari penerapan asas dominus litis, ia menguraikan bahwa: “Adanya
tindakan hakim menyempurnakan atau melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak
kepadanya, berarti hakim telah melakukan ultra petita. Tindakan hakim demikian dapat
mengarah kepada tindakan reformatio in peius, maksudnya hakim justru memberikan putusan
yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat.”27 Dengan
demikian menurut Marbun, konsekuensi dari penerapan asas dominus litis adalah adanya ultra
petita yang dapat berujung pada tindakan reformatio in peius oleh hakim sebagai dominus litis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa asas point d’interest, point d’action berarti
dalam gugatan harus ada kepentingan karena tanpa adanya kepentingan, gugatan hanya akan
merugikan umum, waktu tenaga, dan biaya, tanpa ada manfaatnya bagi siapa pun. Kepentingan
tersebut adalah kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum
dan kepentingan proses. Pihak yang berhak untuk melakukan gugatan atau tuntutan hak
seseorang atau badan hukum perdata. Selain itu, asas dominus litis bermakna ada yang dominan
atau sebagai penguasa dalam penyelesaian suatu perkara, yaitu hakim. Hakim memiliki
peranan aktif sebagai penguasa perkara sehingga ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran
materiel. Asas ini diperlukan sebagai kompensasi untuk menyeimbangkan kedudukan
penggugat yang berada di bawah kedudukan tergugat, kedudukan tergugat lebih kuat dari
penggugat. Konsekuensi asas ini adalah adanya kemungkinan hakim untuk melakukan ultra
petita.

25
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara, hlm. 72.
26
Ibid.
27
Ibid., hlm. 73.

4
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Black, Henry Campbell, Bryan A. Garner (Ed.). Black’s Law Dictionary. Eighth Ed. St. Paul,
MN: West, a Thomson Business, 2004.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku
II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka,
2017.

Soemaryono dan Anna Erliyana. Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: PT Primamedia Pustaka, 1999.

Tjandra, W. Riawan. Peradilan Tata Usaha Negara PTUN Mendorong Terwujudnya


Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa. Yogyakarta: Penerbit Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 2009.

Jurnal

Putrijanti, Aju. “Prinsip Hakim Aktif (Domini Litis Principle) Dalam Peradilan Tata Usaha
Negara.” Jurnal Masalah-masalah Hukum 3 (2013). Hlm. 321.

Internet

Anonim. “The Law Dictionary: What is DOMINUS LITIS?”.


https://thelawdictionary.org/dominus-litis/. Diakses pada 14 September 2018.

Anonim. “Latin definition for: lis, litis.” Latin Dictionary & Grammar Resources. https://latin-
dictionary.net/definition/25761/lis-litis. Diakses pada 14 September 2018.

Tim Pengkajian dan Pengembangan Kejaksaan Republik Indonesia. “Implementasi Dominus


Litis Penuntutan Dalam Kewenangan Kejaksaan.”
https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&h
al=1&id=3398&bc. Diakses tanggal 13 September 2018.

5
Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 85 Tahun 1986,
LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344.

_______. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986


tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 9 Tahun 2004, LN No. 35
Tahun 2004, TLN No. 4380.

_______. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 51 Tahun 2009, LN No.
160 Tahun 2009, TLN No. 5079.

Anda mungkin juga menyukai