Menjadikan Bahasa Gayo Sebagai Muatan Lo
Menjadikan Bahasa Gayo Sebagai Muatan Lo
Ada beberapa rekomendasi penting dari Seminar Asal Usul/Sejarah Gayo yang diadakan
di Belang Kejeren, Kabupaten Gayo Lues, tanggal 25-26 November 2014 yang lalu, diantaranya
membentuk Balai Bahasa Gayo, membuat qanun (peraturan daerah) bahasa Gayo, dan
menjadikan bahasa Gayo sebagai muatan lokal dalam kurikum pendidikan di sekolah di daerah
Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten
Bener Meriah, Lokop/Serbejadi (Aceh Timur), Kalul (Aceh Tamiang), Nagan Raya, Lhok Gayo
(Aceh Barat Daya), dan sebagian daerah Karo yang didiami orang Gayo (Propinsi Sumatera
Utara).
Hal tersebut dinilai tepat, sangat penting, urgent, dan relevan dengan kondisi terakhir
bahasa Gayo, saat ini. Lebih-lebih, menjadikan bahasa Gayo sebagai muatan lokal. Dengan
begitu, bahasa Gayo bisa terlembagakan melalui pendidikan. Proses pembelajaran dan
pengajaran bahasa Gayo pun bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Juga, berpengaruh positif
dan signifikan terhadap generasi muda Gayo selaku pemakai dan pewaris bahasa Gayo.
Pasalnya, masyarakat Gayo sudah mulai meninggalkan bahasa Gayo, dewasa ini. Saat yang
sama, mereka mulai beralih (code switching) dan menggunakan bahasa Indonesia mulai dalam
rumah tangga, lingkungan ketetanggaan, ruang publik, pemerintahan, pelbagai ranah formal,
sampai minimnya ruang kegayoan di media-media di Gayo.
Terkait penggunaan bahasa lingua franca Bangsa Indonesia ini sangat masif dipakai
generasi Gayo kelahiran 1970-an (sampai sekarang). Lebih khusus lagi, di Kabupaten Aceh
Tengah dimana masyarakatnya lebih heterogen (multi etnik, multi bahasa, dan multi budaya) dari
daerah Gayo lainnya. Fenomena dwi/multi bahasa jadi hal yang biasa di tempat ini. Generasi ini
—kelahiran 1970-an (sampai sekarang)—dianggap “generasi/orang tua modern Gayo.” Hampir
kebanyakan dari mereka mengajarkan anak-anaknya bahasa Indonesia di rumah. Apalagi, yang
nikah silang yang mana suaminya bukan orang Gayo. Penggunaan bahasa Indonesianya makin
besar. Karena “silsilah” langsung kebahasaannya bukan lagi Gayo. Sebaliknya, darah
kebahasaannya “nasabnya” mengikut ke suaminya. Otomatis, bahasa Gayo tidak lagi dituturkan.
Lebih luas, bahasa Indonesia dipakai dalam lingkungan ketetanggaan. Termasuk, oleh kakek-
nenek (awan anan) ke cucu-cicitnya (kumpu-piut) yang lahir tahun 1990-an (sampai sekarang)
yang memaksa mereka berbahasa Indonesia. Karena, cucu-cucu mereka tidak sepenuhnya paham
berbahasa Gayo saat pembicaraan berlangsung. Lebih-lebih, saat bahasa Gayo tempoe doloe
yang berkias dan bermuatan nilai sastra Gayo yang tinggi dipakai. Generasi periode ini—
kelahiran 1990-an sampai sekarang—semakin tidak paham.
Secara umum, kesadaran penggunaan, penyelamatan, dan pewarisan bahasa Gayo dari
masyarakat Gayo sendiri relatif rendah. Sementara itu, kualitas pengetahuan bahasa dan
kegayoan secara umum makin menurun. Sebab, generasi kelahiran 1930-an sampai dengan
kelahiran 1960-an mulai berkurang satu per satu (meninggal). Di saat yang sama, alih budaya
dari generasi tua ke generasi muda relatif kurang. Diperburuk lagi, kurangnya dukungan
dokumentasi tertulis tentang Gayo. Generasi muda Gayo pun pada umumnya tidak mau tahu
tentang persoalan ini. Ditambah lagi, peran lembaga keadatan/budaya terkait yang berdampak
dirasa cukup kurang. Kompleksitas “keakutan” permasalahan ini makin mengancam
kebertahanan dan keberlangsungan bahasa Gayo, sekarang. Khususnya lagi, pada masa-masa
mendatang.
Pelaksanaan muatan lokal ini sebetulnya sudah jadi amanah Undang-Undang Pemerintah
Aceh dan jadi kewajiban pemerintah kabupaten. Ditambah lagi, tanggung jawab moral dari hasil
Seminar Asal Usul/Sejarah Gayo 2014 yang begitu mendekatkan dan menguatkan emosi
kegayoan di kalangan masyarakat Gayo sendiri. Tinggal lagi, diperlukan political will dan
keseriusan dari wakil rakyat dan pemerintah kabupaten di Gayo untuk mewujudkannya.