Dosen:
Dr. Harmein Rahman, ST, MT
(196905081997021001)
Dr. Ir. Idwan Santoso, M.Sc., DIC.
(195804041984031023)
Asisten:
Malik Alghani (15014153)
Disusun Oleh:
Lufindria Razni Andayaningtyas (15014071)
Rayhan (15014135)
Diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah SI - 4243 Rekayasa Prasarana
Antar Moda
Disusun Oleh:
Lufindria Razni Andayaningtyas (NIM 15014071)
Rayhan (NIM 15014135)
Asisten:
Malik Alghani (NIM 15014153)
Dosen I Dosen II
Dr. Ir. Idwan Santoso, M.Sc., DIC. Dr. Harmein Rahman, ST, MT.
NIP. 195804041984031023 NIP 196905081997021001
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan tugas besar ini dengan baik. Laporan
Tugas Besar SI - 4243 Rekayasa Prasarana Antar Moda ini dibuat sebagai salah satu syarat
kelulusan Mata Kuliah SI - 4243 Rekayasa Prasarana Antar Moda. Laporan tugas besar ini
merupakan laporan yang berisi proses dan hasil aplikasi dari Mata Kuliah SI - 4243
Rekayasa Prasarana Antar Moda dalam merancang dan mendesain fasilitas sisi darat dan sisi
udara Bandara Chitose.
Penyelesaian laporan tugas besar ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang senantiasa
membantu, mendukung, serta memberikan kritik dan saran kepada kami dalam berbagai
bentuk. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua yang selalu mendoakan serta memberikan dukungannya dalam
proses penyelesaian laporan tugas besar ini.
2. Dosen Mata Kuliah SI - 4243 Rekayasa Prasarana Antar Moda, Dr. Ir. Idwan
Santoso, M.Sc., DIC. dan Dr. Harmein Rahman, ST, MT. yang telah
memberikan bantuan kepada kami dalam pembuatan laporan tugas besar ini.
3. Asisten tugas besar mata kuliah SI - 4243 Rekayasa Prasarana Antar Moda,
yaitu Malik Alghani yang telah memberikan revisi dan bimbingan selama
mengerjakan tugas besar.
Penulis menyadari bahwa laporan tugas besar ini masih belum sempurna, baik dari
segi isi maupun metode penulisan. Oleh karena itu, penulis tetap mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca apabila memang masih terdapat kesalahan dalam penulisan laporan
tugas besar ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pembaca dan semoga laporan tugas besar ini bermanfaat.
Lufindria Razni A
Rayhan
DAFTAR ISI
1.2 Tujuan
Tujuan dari laporan tugas besar ini adalah sebagai berikut:
1. Merancang orientasi arah runway
2. Merancang geometri runway, taxiway, dan apron
3. Merancang perkerasan runway, taxiway, dan apron
4. Merancang fasilitas sisi darat bandar udara (terminal penumpang)
5. Merancang layout bandara rencana
2.5.9 Clearway
Clearway adalah panjang landasan tambahan pada ujung runway. Clearway dapat
berada di atas tanah atau air dan dibawah kendali otoritas yang tepat agar pesawat dapat
mengetahui ketinggian awal setelah lepas lendas. Berdasarkan Aerodrome Design Manual
Part 1 yang diterbitkan ICAO, kriteria perancangan clearway antara lain:
1) Lokasi clearway adalah di ujung take off run available (TORA).
2) Panjang clearway tidak melebihi setengah panjang take off run available (TORA).
3) Lebar clearway setidaknya 75 m dari tiap sisi dari garis tengah runway.
4) Kemiringan clearway tidak boleh lebih dari 1,25%.
2.5.10 Stopway
Stopway adalah suatu daerah persegi di darat yang terletak di ujung take off runway
(TORA) yang ditujukan untuk mengantisipasi pesawat yang berhenti jika terjadi pembatalan
lepas landas. Stopway tidak harus tersedia. Oleh karena itu, panjang stopway tidak
ditentukan. Akan tetapi, jika stopway dibuat harus memiliki kekuatan perkerasan yang sama
dengan runway sehingga mampu menahan beban pesawat. Kriteria perancangan stopway
antara lain:
1) Stopway terletak pada ujung runway.
2) Lebar stopway harus sama dengan runway.
3) Pembatasan kemiringan 0,8% pada seperempat awal dan akhir landasan tidak berlaku
pada stopway.
4) Kemiringan stopway diukur dari ujung sebesar 0,3% setiap 30 m bagi kode bandara
nomor 3 atau 4.
Setelah melakukan proyeksi, jumlah penumpang pada jam puncak pun dihitung
dengan menggunakan faktor dari FAA seperti tabel di bawah ini.
Tabel 2. 6 Typical Peak Hour Passangers
Modulasi penumpang dilakukan dengan mengasumsikan load factor pesawat. Nilai
load factor yaitu berkisar antara 75-85%.
Segmen 1 (S1) adalah jarak yang dibutuhkan dari pendaratan di threshold ke maingear
touchdown. Segmen 2 (S2) adalah jarak yang dibutuhkan untuk transisi dari maingear
touchdown ke konfigurasi pengereman yang stabil. Jarak ini diasumsikan waktu transisi 10
detik dari kecepatan rata-rata pada saat mendarat. Segmen 3 adalah jarak yang dibutuhkan
untuk perlambatan pada pengereman normal ke kecepatan turnoff nominal. Jarak
pengereman tergantung pada asumsi perlambatan (a).
Konsep Linier
Konsep linear merupakan perkembangan dari konsep sedarhana, dan memungkinkan
untuk pesawat diparkir dengan posisi angled atau pararel. Namun posisi nose-in dan
nose-out lebih umum digunakan, untuk efisiensi luas apron. Posisi nose-in parking lebih
mudah dengan manuver yang dilakukan lebih sederhana untuk pesawat keluar dan masuk.
Push-out lebih sulit, karena mengganggu parkir disampingnya, dan membutuhkan operator
yang ahli. Posisi nose-in dan push-out digunakan karena jarak ruang antara terminal dan
apron lebih sedikit dan lebih efisien dalam penggunaan ruang apron dan penanganan
pesawat dan penumpang.
Konsep Pier
Konfigurasi apron dengan konsep ini memungkinkan untuk pesawat diparkir
pada kedua sisi pier. Posisi parkir pesawat dapat dilakukan dengan angled, pararel, ataupun
nose-in. Keuntungan dalam konsep ini adalah menjaga pintu- pintu gerbang di bawah satu
atap, memungkinkan kontak langsung dengan daerah pusat pengolahan dan tugas navigasi
yang lebih sederhana untu mentransfer penumpang. Jarak harus diperhatikan dengan baik.
Antar pier diperlukan jarak yang besar, untuk pengembangan bandara dengan pesawat yang
dilayani lebih besar.
Gambar 2. 13 Konfigurasi Apron Pier
Konsep Satelit
Konfigurasi ini terdiri dari satelit yang terdiri dari pintu pesawat dan terpisah dari
terminal penumpang. Penumpang dapat ke satelit untuk dapat masuk kedalam pesawat adan
dengan menggunakan terowongan bawah tanah ataupun terowongan elevated. Pesawat
dapat diparkir secara radial, pararel, ataupun konfigurasi lainnya. Apabila pesawat diparkir
secara radial, kebutuhan luas apron akan lebih besar, tetapi operasi pesawat akan menjadi
lebih mudah. Kelemahan konsep ini adalah apabila dibutuhkan pintu tambahan yang baru.
Konstruksi yang dilakukan adalah keseluruhan bandara.
Konsep Terbuka
Pada konfigurasi ini, apron memiliki posisi yang dekat dengan runway dan jauh
dari bangunan terminal. Dengan begitu, konsep ini secara keseluruhan dapat
mempersingkat jarak taxing dan manuver yang dilakukan oleh pesawat sedarhana.
Konsep ini membutuhkan transportasi darat untuk penumpang, bagasi, dan kargo
dikarenakan jarak yang jauh antara terminal dengan apron. Penggunaan konsep ini
umumnya digunakan untuk bandara militer.
Gambar 2. 15 Konfigurasi Apron Terbuka
Konsep Hybrid
Konfigurasi konsep ini adalah gabungan dari dua atau lebih konsep yang sebelumnya telah
dijelaskan. Penggabungan ini dilakukan antara konsep apron terbuka, dengan konsep apron
lainnya. Konsep ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan lalu lintas puncak.
Parallel Parking
Sistem parkir ini dengan pesawat yang posisinya sejajar dengan bangunan terminal. Sistem
ini merupakan sistem yang paling banyak membutuhkan ruang dan biasanya digunakan pada
bandara dengan lalu lintas rendah.
Nose-in parking
Sistem parkir ini dengan hidung pesawat yang menghadap tegak lurus dengan
bangunan terminal. Sistem parkir ini membutuhkan alat bantu traktor untuk pesawat saat
ingin meninggalkan area parkir. Namun kelebihannya memungkinkan jarak antar pesawat
dapat dikurangi sehingga cocok untuk volume lalu lintas yang tinggi.
Gambar 2. 20 Nose-in Parking
1. Mencari Data
Pada tahap ini, data-data bandara yang diperlukan adalah jumlah orang dan barang
serta pesawat yang keluar masuk bandara tiap harinya. Kemudian setelah didapat,
data ini diurutkan dari yang kepadatan terbanyak ke yang terkecil kemudian dipilih
10% arus tertinggi (peak hour). Arus tertinggi ini yang akan digunakan sebagai
pertimbangan desain selanjutnya.
2. Setelah data arus tertinggi didapat maka tahap selanjutnya adalah menentukan
metode yang akan dipilih. Metode yang dipilih disesuaikan dengan kondisi bandara
yang ada. Metode-metode ini adalah :
e. Penentuan jarak pemisah minimum. Jarak pemisah antara garis tengah dari taxiway
dan garis tengah dari runway tidak boleh kurang dari ketentuan dimensi pada Tabel
3.4.
Tabel 3. 4 Jarak Pemisah Minimum antar Taxiway dan antara Taxiway dengan
Objek (satuan m)
Gambar 3. 5 Jarak Pemisah ke Sebuah Objek
Tabel 3. 5 Jarak Pemisah Minimum antara Garis Tengah Taxiway/Apron dan Garis
Tengah Runway (satuan meter)
f. Penentuan Exit Taxiway. Exit taxiway terbagi menjadi 2 jenis, yaitu exit taxiway
bergeometrik tegak lurus dengan runway (right angle) dan rapid exit taxiway. Letak
pintu keluar exit taxiway bergantung pada jenis taxiway. Pada taxiway tegak lurus,
lokasi pintu keluar exit taxiway dapat berada di kedua ujung runway, sedangkan pada
rapid exit taxiway ditentukan berdasarkan Metode Tiga Segmen (Three Segment
Method). Gambar 3.6 merupakan gambaran mengenai Metode Tiga Segmen.
Gambar 3. 6 Three Segment Method
Keterangan:
Segmen 1 : jarak yang dibutuhkan dari landing threshold ke maingear touchdown
(S1)
Segmen 2 : jarak yang dibutuhkan untuk melakukan transmisi dari maingear
touchdown ke establish stabilized braking configuration (S2)
Segmen 3 : jarak yang dibutuhkan untuk perlambatan dalam keadaan pengereman
secara normal ke kecepatan nominal turnoff (S3).
Penentuan segmen 1 dilakukan berdasarkan kategori pesawat seperti berikut.
Aircraft category A and B
• S1 : 250 m
• Correction for slope : +30 m / -0.25%
• Correction for tailwind : +30 m / +5 kts
Aircraft category C and D
• S1 : 450 m
• Correction for slope : +50 m / -0.25%
• Correction for tailwind : +50 m / +5 kts
Penentuan segmen 2 dihitung dengan asumsi waktu transisi selama 10 detik. Berikut
adalah persamaan S2.
𝑆2 = 5 × (𝑉𝑡ℎ − 10)
Vth merupakan kecepatan pesawat saat melewati threshold dengan satuan knots.
Berikut adalah kecepatan pesawat saat melewati threshold berdasarkan kelompok
pesawat.
Group A : kurang dari 169 km/h (91 kt)
Group B : diantara 169 km/h (91 kt) dan 222 km/h (120 kt)
Group C : diantara 224 km/h (121 kt) dan 259 km/h (140 kt)
Group D : diantara 261 km/h (141 kt) dan 306 km/h (165 kt)
Panjang segmen 3 atau jarak pengereman ditentukan berdasakan asumsi perlambatan
sebesar 1,5 m/detik2. Berikut adalah persamaan S3.
(𝑉𝑡ℎ − 15)2 − 𝑉𝑒𝑥
2
𝑆3 =
8𝑎
Vex merupakan kecepatan nominal turnoff yang bernilai sesuai dengan kode pesawat.
Nilai kecepatan nominal turnoff untuk kode 1 atau 2 adalah 15 knots, sedangkan untuk
kode 3 atau 4 adalah 30 knots.
Selain jarak clearance, terdapat pula jarak pemisah minimum yang harus
direncanakan. Hal ini juga bergantung pada Aerodrome Reference Code dari pesawat
rencana. Tabel 3.8 digunakan untuk menentukan jarak pemisah minimum tersebut.
Tabel 3. 8 Jarak Pemisah Minimum
b. Penentuan panjang apron. Panjang apron bergantung pada konfigurasi parkir dari
pesawat.
c. Penentuan lebar apron. Lebar apron sama seperti panjang apron. Hal ini bergantung pada
konfigurasi parkir dari pesawat. Hal yang mempengaruhi panjang maupun lebar apron
yaitu jumlah pesawat, panjang sayap, jarak clearance, panjang pesawat, serta jarak dari
garis tengah apron taxiway ke objek.
d. Penentuan konfigurasi apron. Gambar 3.8 merupakan jenis konfigurasi apron beserta
clearance area yang dibutuhkan.
Gambar 3. 8 Jenis Konfigurasi Parkir Pesawat beserta Clearance Area yang Dibutuhkan
e. Penentuan luas apron. Luas apron yang dibutuhkan bergantung pada panjang dan lebar
apron yang telah direncanakan.
3.4 Kriteria Perancangan Geometri Fasilitas Sisi Darat
Berikut merupakan diagram alir kriteria perancangan geometri fasilitas sisi darat.
1 1
𝑡 = √𝐸𝑆𝑊𝐿 × ( − )
8.1 ∙ 𝐶𝐵𝑅 𝑝 ∙ 𝜋
Dimana :
t = Tebal perkerasan yang dibutuhkan (inci)
ESWL = Beban pesawat yang dipikul roda pendaratan tunggal
p = Tekanan udara pada roda
2. Metode mekanistik (AC 150/5320 - 6E)
FAA mengeluarkan peraturan mengenai perhitungan tebal perkerasan untuk landasan
pacu bandar udara. Berikut adalah langkah-langkah yang digunakan untuk metode
mekanistik.
a. Tentukan tipe pesawat rencana
Tipe pesawat rencana dapat ditentukan dari nilai maximum take off weight (MTOW).
Pesawat dengan nilai MTOWterbesar dan pesawat dengan jumlah keberangkatan
terbanyak dari seluruh pesawat yang melakukan take off di suatu bandar udara
merupakan pesawat rencana.
b. Tentukan nilai R2 (Dual Gear Departure)
Nilai R2 tergantung pada jenis konfigurasi roda pendaratan. FAA telah melakukan
pengelompokan jenis konfigurasi roda pendaratan untuk setiap pesawat. Jenis
konfigurasi roda pendaratan dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut ini.
Tabel 3. 9 Jenis Konfigurasi Roda Pendaratan Pesawat
Untuk menentukan R2 perlu dikethaui jenis konfigurasi roda pendaratan dan jumlah
keberangkatan tahunan pesawat yang akan ditinjau. Untuk menentukan R2,
digunakan rumus sebagai berikut
𝑅2 = 𝐴𝑛𝑛𝑢𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑝𝑎𝑟𝑡𝑢𝑟𝑒 ∙ 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖
Faktor konversi tersebut merupakan nilai konversi untuk menyamakan konfigurasi
roda pendaratan ke konfigurasi roda pendaratan dual gear. Berikut merupakan tabel
faktor konversi roda pendaratan terhadap keberangkatan tahunan (annual departure)
untuk beberapa konfigurasi roda pendaratan pesawat.
Tabel 3. 10 Tabel Faktor Konversi Roda Pendaratan Terhadap Keberangkatan
Tahunan
𝑊2
𝐿𝑜𝑔𝑅1 = 𝐿𝑜𝑔𝑅2 √
𝑊1
Keterangan:
R1 = Kedatangan tahunan ekivalen oleh pesawat yang ditinjau
R2 = Kedatangan tahunan yang telah difaktorkan terhadap landing gear
configuration
W2 = Wheel load pesawat rencana
W1 = Whel load pesawat yang akan ditinjau
g. Tentukan tebal perkerasan dengan memplot pada grafik
Perhitungan tebal perkerasan metode mekanistik FAA dengan cara memplot data
pada grafik kurva perkerasan untuk konfigurasi dual gear. nilai ketebalan perkerasan
didapatkan dengan memplot data CBR, equivalent annual departure serta MTOW
pesawat rencana. Berikut merupakan gambar kurva perkerasan untuk dual gear.
Gambar 3. 10 Kurva Perkerasan Flexible Pavement Untuk Dual Gear
Tipe Pesawat
A320
A322
A333
B735
B737
B738
B739
B744
B763
B772
B773
B788
Kemudian, tahap selanjutnya yaitu penentuan pesawat rencana. Pesawat rencana
ditentukan berdasarkan karakteristik dari data tipe pesawat pada tabel di atas. Tahap yang
dilakukan adalah penentuan Aerodrome Rederence Code Element dari setiap pesawat.
Penentuan Aerodrome Reference Code Element ditentukan berdasarkan wingspan dan
Aerofrome Reference Field Length pesawat rencana. Penentuan ARCE dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.
Tabel 4. 2 Klasifikasi kelompok nomor ARCE
Dengan demikian, berikut adalah klasifikasi pesawat yang terdapat pada data
berdasarkan karakterisitiknya.
Tabel 4. 4 Karakteristik serta Klasifikasi Pesawat
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, pesawat rencana terpilih yaitu Boeing B777-300. Hal
ini dikarenakan pesawat rencana dipilih berdasarkan klasifikasi ARCE yang memiliki ARFL
terbesar yaitu 3700 m.
Tahap selanjutnya yaitu penentuan crosswind izin. Nilai crosswind izin berdasarkan
ketentuan ICAO adalah sebagai berikut.
Tabel 4. 5 Nilai Crosswind izin berdasarkan ARCE
Berdasarkan Tabel 4.5, pesawat dengan ARCE 4E memiliki nilai crosswind izin
sebesar 20 knot. Nilai tersebut dikonversi terlebih dahulu menjadi 23,0153 mph.
Tahap berikutnya yaitu crosswind design. Penentuan orientasi runway ditentukan
dengan data angin. Data angin yang dibutuhkan yaitu arah, kecepatan, dan durasi (persentase
dalam setahun). Berikut adalah data angin yang digunakan dalam pengerjaan tugas besar ini.
Data angin pada Tabel 4.6 akan dibuat windrose. Langkah pertama untuk membuat
windrose adalah mengeplot nilai data angin ke dalam windrose dalam AutoCAD. Arah
orientasi runway nantinya ditentukan berdasarkan nilai usability hingga 95%. Penggambaran
AutoCAD dimulai dengan membuat lingkaran dengan skala sesuai nilai range angin. Setelah
itu, plot persentase tiap arah mata angin dalam lingkaran.
Gambar 4. 1 Windrose berdasarkan Data Angin
Langkah selanjutnya adalah menenntukan lebar runway pada windrose sebesar 2 kali
nilai ACW.
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑅𝑢𝑛𝑤𝑎𝑦 = 2 × 𝐴𝐶𝑊 = 2 × 23 = 46 𝑚𝑝ℎ
Lebar runway kemudian diplot pada lingkaran windrose dan diputar tiap 10˚. Tiap
putaran diukur nilai usability factor yang terlingkupi oleh lebar runway kita. Bila terdapat
area yang terpotong sebagian, maka harus ditentukan nilai bagian yang masuk coverage area
crosswind dengan rumus di bawah ini.
𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑖𝑛𝑔𝑘𝑢𝑝𝑖
𝑐𝑟𝑜𝑠𝑠𝑤𝑖𝑛𝑑 𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 = 𝑝𝑟𝑒𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑎𝑛𝑔𝑖𝑛 ×
𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Setiap batas kecepatan angin memiliki luas masing-masing juring yang berbeda.
Tabel 4.7 merupakan hasil perhitungan luas dari masing-masing juring pada windrose.
Tabel 4. 7 Data Luas pada Windrose
Berikut merupakan hasil rekapitulasi dari semua windrose yang telah dibuat dan nilai
usability factor pun terlampir pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 26 Rekapitulasi Usability Factor dari Seluruh Orientasi
Crosswind 2 dan 11
Direction 0-4 mph 4-8 mph 8-12 mph 12-18 mph 18-24 mph 24-31 mph 31-38 mph 38-47 mph
N 0,07 0,03 0,90 0,10 0 1,13002642 0,68 1,32
NNE 1,35 0,47 1,23 0,43 0,719107719 0,70443205 1,00 1,13
NE 1,25 0,85 1,04 0,76 0,865864397 0,39624303 1,17 0,82
ENE 1,22 0,12 0,84 1,35 0,675080716 0,07337834 0,56 0,10
E 0,87 0,65 1,19 1,23 1,100675081 0,70443205 1,36 0,01
ESE 0,81 0,60 0,91 1,35 1,203404755 0,52832404 0,41 0,15
SE 1,41 0,22 0,25 1,06 0,381567361 0,27883769 1,01 0,58
SSE 0,92 0,72 0,66 1,45 1,247431758 0,30818902 0,75 0,04
S 1,01 1,01 0,16 0,25 0,58702671 0,07337834 0,84 0,57
SSW 1,47 0,76 1,42 1,01 0,264162019 0,51364837 0,98 0,18
SW 0,69 0,59 1,23 0,45 1,174053419 0,63105371 1,06 1,09
WSW 1,03 0,29 0,54 1,47 0,425594365 0,05870267 0,30 0,05
W 1,35 0,65 0,13 1,47 0,498972703 1,14470208 0,98 1,23
WNW 1,38 0,69 0,66 0,44 1,452891107 1,10067508 0,26 1,39
NW 0,16 0,69 0,81 0,38 0,13208101 0,55767537 1,14 0,91
NNW 1,16 0,01 0,45 1,14 0,601702377 1,10067508 1,04 0,09
Total 16,1432345 8,350455 12,43029058 14,35280305 11,3296155 9,30437335 13,5428315 9,6569004
Usability Factor (%) 95,1105038
Berdasarkan Tabel 4.27, nilai usability factor dari windrose arah Utara 2 Timur serta
Selatan 7 Timur yaitu sebesar 95,1105038%. Hal tersebut telah mencakup nilai usability
factor yang dibutuhkan, yaitu 95%. Dengan demikian, perencanaan arah atau orientasi
runway yang dibuat yaitu Utara 2 Timur dan Selatan 7 Timur.
Selain itu, kode ARC juga dapat ditemukan pada Manual of Standards Part 139
Aerodromes-Australian Government atau Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara
KP No. 29 Tahun 2014. Berikut merupakan tabel kode ARC pesawat menurut Peraturan
Direktur Jendral Perhubungan Udara KP No. 29 Tahun 2014.
Tabel 4. 30 Kode ARC Pesawat Menurut KP No. 29 Tahun 2014.
Dengan demikian, menurut Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara KP No.
29 Tahun 2014, diketahui bahwa kode ARC untuk pesawat Boeing B777-300 adalah 4E.
Setelah didapatkan kode ARC pesawat rencana, dapat diketahui lebar runway. Menurut
Aerodrome Design Manual Part 1-ICAO, ketentuan mengenai lebar runway minimum dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. 31 Lebar Runway Berdasarkan ARC
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa untuk bandara dengan pesawat
rencana dengan kode ARC 4E, lebar runway minimumnya adalah 45 m.
4.2.3 Kemiringan Runway
Nilai slope untuk runway dihitung dengan cara membagi perbedaan elevasi maksimum
dengan elevasi minimum centre line landasan pacu dengan panjang landasan pacu.
Berdasarkan Aerodrome Design Manual Part 1-ICAO, besarnya longitudinal slope tidak
boleh melebihi:
a. 1 % untuk pesawat rencana dengan nomor kode ARC 3 atau 4
b. 2 % untuk pesawat rencana dengan nomor kode ARC 1 atau 2
Untuk beberapa kondisi, sebagian dari landasan pacu dapat memiliki longitudinal
slope yang berbeda. Namun, besarnya slope tersebut tidak boleh melebihi syarat berikut.
a. 1,25 % untuk pesawat rencana dengan nomor kode ARC 4. Namun untuk
longitudinal slope kuartal pertama dan terakhir dari panjang landasan pacu tidak
boleh melebihi 0,8 %.
b. 1,5 % untuk pesawat rencana dengan nomor kode ARC 3. Namun, untuk
longitudinal slope kuartal pertama dan terakhir dari panjang landasan pacu untuk
kategori pendekatan presisi II atau III tidak boleh melebihi 0,8 %.
c. 2 % untuk pesawat rencana dengan nomor kode ARC 1 atau 2
Oleh karena itu, longitudinal slope untuk runway bandara dengan pesawat rencana
Boeing B777-300 yang memiiki kode ARC 4E tidak boleh melebihi 1,25 %. Dimana, untuk
longitudinal slope kuartal pertama dan terakhir dari panjang landasan pacu tidak boleh
melebihi 0,8 %.
Sehingga pada tugas besar ini dipilih nilai take off run available (TORA) untuk
runwaynya merupakan sepanjang runway, yaitu 3418 m.
4.3 Analisis Jam Puncak
Analisis jam puncak merupakan metode proyeksi jumlah penumpang pesawat pada
saat jam puncak dari jumlah penumpang pesawat tahunan. Analisis jam puncak dilakukan
untuk menentukan volume saat jam puncak yang pada akhirnya berguna untuk memodelkan
luas apron dari jenis pesawat yang akan parkir di suatu bandara.
Dalam pengerjaan tugas besar ini, data yang diketahui pada Bandar Udara Chitose,
Sapporo adalah persentase pertumbuhan penumpang per tahun 2016 dan 2017 serta data
penumpang tahun 2015. Untuk memproyeksikan penumpang, maka data penumpang tahun
2016 dan 2017 perlu diketahui. Contoh perhitungan penumpang tahun 2016 dan 2017 adalah
sebagai berikut.
𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2016
= 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2015 × (1
+ 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2016)
𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2016 = 20461531 𝑥 (1 + 11,90%)
𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2016 = 22896453 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2017
= 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2016 × (1
+ 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2017)
𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2017 = 22896453 𝑥 (1 + 9,80%)
𝑃𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2017 = 25140306 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
Setelah diperoleh data penumpang tahunan 2016 dan 2017, dilakukan proyeksi deman
hingga tahun 2037. Dalam tugas besar kali ini, proyeksi dilakukan dengan menggunakan
metode regresi linear. Regresi dilakukan dengan menggunakan fitur data analysis pada
Microsoft Excel dengan varial X berupa tahun dan variabel Y berupa penumpang tahunan.
Dari hasil analisis, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut.
𝑌 = −4693372035 + 2339387,3𝑋
Dan dari persamaan tersebut, diperoleh jumlah penumpang hingga tahun rencana pelayanan
yang disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4. 32 Jumlah Penumpang Hingga Tahun Rencana
Berdasarkan tabel di atas, jumlah penumpang pada tahun 2037 sebanyak 71959897
penumpang. Dara penumpang tersebut digunakan untuk proses selanjutnya yaitu modulasi
pesawat. Mengacu standar yang diajukan oleh FAA, koefisien jam puncak berdasarkan
jumlah penumpang tahunan ditunjukkan oleh Tabel 4.33.
Tabel 4. 33 Typical Peak Hour Factor
Karena jumlah penumpang pada tahun 2037 bernilai lebih dari 30 juta penumpang per
tahun, sehingga akan digunakan nilai koefisien jam puncak sebesar 0,035. Nilai colume jam
puncak tahun rencana akan dihitung dengan rumus berikut:
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐽𝑎𝑚 𝑃𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 = 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 2037 × 𝑇𝑃𝐻𝑃 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐽𝑎𝑚 𝑃𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 = 71959897 × 0.035
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐽𝑎𝑚 𝑃𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = 2518596 penumpang per tahun
Setelah mendapat nilai volumr jam puncak per tahun, akan dihitung nilai volume jam
puncak per hari dengan rumus sebagai berikut :
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑗𝑎𝑚 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑗𝑎𝑚 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 =
365
2518596
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑗𝑎𝑚 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 = = 6900 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖
365
Tipe Pesawat Modul Pesawat Jumlah Pesawat Jumlah Penumpang Jumlah Pesawat (2017) Total Penumpang (2017)
A320 164 8 131 6 787
A332 293 1 234 4 938
B735 128 1 102 1 102
B737 149 2 119 0 0
B738 189 7 151 0 0
B739 220 1 176 2 352
B763 290 2 232 1 232
B772 313 4 250 0 0
DH8D 90 3 72 0 0
E170 72 3 58 0 0
Total 14 2411
Berdasarkan konfigurasi dari tahun buka ke tahun rencana, terdapat perubahan jumlah
pesawat yaitu dari 14 pesawat dengan rincian seperti Tabel 4.36 menjadi 38 pesawat dengan
rincian seperti Tabel 4.37.
Jumlah penumpang pada tahun buka (tahun 2017) yaitu 25140306 penumpang,
sedangkan pada tahun rencana (tahun 2037) yaitu 71959897 penumpang. Berikut adalah
perhitungan persentase peningkatan jumlah penumpang dari tahun buka ke tahun rencana
pelayanan.
% 𝑝𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔
(𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 − 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑏𝑢𝑘𝑎)
=
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑏𝑢𝑘𝑎
× 100%
(71959897 − 25140306 )
% 𝑝𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 = × 100%
25140306
% 𝑝𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 = 186,23%
Berdasarkan perhitungan di atas, besarnya peningkatan jumlah penumpang dari tahun
buka ke tahun rencana pelayanan yaitu 186,23%.
Selain itu, perlu diketahui pula lebar dari wingspan masing-masing pesawat untuk
menentukan luas apron. Berikut merupakan data lebar wingspan masing-masing pesawat
yang parkir di bandara.
Tabel 4. 41 Data Lebar Wingspan Pesawat
Komponen pembentuk luas apron adalah panjang dan lebar dari apron. Berdasarkan
data di atas, dapat dihitung lebar apron dengan rumus :
Lebar 𝑎𝑝𝑟𝑜𝑛 = 𝑐𝑙𝑒𝑎𝑟𝑎𝑛𝑐𝑒 + 𝑎𝑖𝑟𝑐𝑟𝑎𝑓𝑡 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ + 𝐴𝑝𝑟𝑜𝑛 𝑇𝑎𝑥𝑖𝑤𝑎𝑦 𝐶𝑒𝑛𝑡𝑟𝑒 𝐿𝑖𝑛𝑒 𝑡𝑜 𝑂𝑏𝑗𝑒𝑐𝑡
Lebar 𝑎𝑝𝑟𝑜𝑛 = 7.5 + 63.7 + 47.5 = 118,70 𝑚
Selanjutnya dapat dihitung lebar apron dengan rumus :
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑝𝑟𝑜𝑛 = (𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 × 𝑤𝑖𝑛𝑔𝑠𝑝𝑎𝑛) + (𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 + 1) × 𝑐𝑙𝑒𝑎𝑟𝑎𝑛𝑐𝑒
Berdasarkan pada perhitungan pada Tabel 4. 43 didapatkan Panjang apron total
sebesar 1978,7 m.
Tabel 4. 43 Perhitungan Panjang Apron
Jumlah Jumlah
Aircraft Lebar
Aircraft Code Panjang (m) Modul Pesawat x
Name Sayap (m)
(2037) Wingspan
A320 Airbus A320 35,8 37,57 6 214,8
A332 Airbus A330-200 60,3 63,6 6 361,8
B735 Boeing B737-500 28,9 31 0 0
B737 Boeing B737-700 34,3 33,6 6 205,8
B738 Boeing B737-800 34,3 39,5 7 240,1
B739 Boeing B737-900 34,3 42,1 0 0
B763 Boeing B767-300 47,6 48,5 7 333,2
B772 Boeing B777-200 60,9 63,7 5 304,5
DH8D Bombardier Dash 8 Q400 39,1 26,2 0 0
E170 Embraer E-Jet family E-170 26 29,9 1 26
Jumlah Modul Total 38 unit
Clearance 7,50 m
Panjang Apron Total 1978,7 m
Dengan mengasumsikan bentuk apron adalah persegi panjang, maka luas rencana dari
apron bandara adalah,
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑝𝑟𝑜𝑛 = 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑝𝑟𝑜𝑛 × 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑎𝑝𝑟𝑜𝑛
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑝𝑟𝑜𝑛 = 1978.7 × 118.70
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑝𝑟𝑜𝑛 = 234871.69 𝑚2
Data CBR :
CBR Subgrade 9%
CBR Subbase 20%
Selain itu, digunakan data pesawat yang terdiri dari data MTOW, gear type, dan
annual departure pesawat. Untuk menentukan annual departure pesawat, digunakan
rumus sebagai berikut :
𝐴𝑛𝑛𝑢𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑝𝑎𝑟𝑡𝑢𝑟𝑒 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑠𝑎𝑤𝑎𝑡 𝐽𝑎𝑚 𝑃𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘 × 365
Berdasarkan data jam puncak, dapat dihitung annual departure untuk masing-
masing pesawat. Berikut merupakan contoh perhitungan annual departure untuk
pesawat Airbus A320.
𝐴𝑛𝑛𝑢𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑝𝑎𝑟𝑡𝑢𝑟𝑒A320 = 6 𝑥 365 = 2200
Kemudian, lakukan perhitungan annual departure untuk masing-masing pesawat.
Berikut merupakan hasil perhitungan annual departure untuk setiap pesawat
Dari sumbu X bagian atas, tarik garis pada posisi CBR tanah dasar yang telah
ditentukan, yaitu sebesar 6% vertikal ke bawah hingga memotong kurva berat pesawat.
Dari titik perpotongan tersebut, tarik garis horizontal ke kanan hingga memotong
sumbu keberangkatan tahunan, selanjutnya tarik garis vertikal ke bawah hingga
memotong tebal total perkerasan.
Berikut merupakan contoh penentuan tebal total perkerasan dengan CBR tanah
dasar 6% untuk Airbus A332 dengan MTOW sebesar 507000 lbs, annual departure
sebanyak 2200 pesawat, dengan gear type berupa dual tandem. Karena Airbus A 332
memiliki gear type berupa dual tandem, akan digunakan grafik penentuan tebal
perkerasan untuk gear type berupa dual tandem.
Gambar 4. 25 Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Total untuk Airbus A332
Sehingga didapatkan tebal perkerasan total untuk pesawat Airbus A332 setebal
37,5 inch. Perhitungan tebal perkerasan lentur dilakukan untuk masing-masing
pesawat.
3. Menentukan tebal lapis pondasi bawah
Setelah mendapat tebal total, tentukan tebal lapis pondasi bawah. Tebal lapis
pondasi dapat ditentukan dengan menentukan tebal perkerasan dengan menggunakan
grafik. Dari sumbu X-atas, tarik garis pada posisi CBR lapis pondasi vertical yang
telah diketahui, yaitu 20%, vertikal ke bawah hingga memotong kurva berat pesawat.
Dari titik perpotongan tersebut, tarik garis horizontal ke kiri hingga memotong sumbu
keberangkatan tahunan, selanjutnya tarik garis vertikal ke bawah hingga memotong
tebal total perkerasan. Tebal lapis pondasi bawah didapat dengan mengurang tebal
total dengan tebal yang didapatkan pada kurva.
Berikut merupakan contoh penentuan tebal total perkerasan dengan CBR tanah
dasar 20% untuk Airbus A332 dengan MTOW sebesar 507000 lbs, annual departure
sebanyak 2200 pesawat, dengan gear type berupa dual tandem. Karena Airbus A 332
memiliki gear type berupa dual tandem, akan digunakan grafik penentuan tebal
perkerasan untuk gear type berupa dual tandem.
Gambar 4. 26 Penentuan Tebal Perkerasan untuk Airbus A332
Sehingga didapatkan tebal perkerasan untuk pesawat Airbus A332 setebal 22 inch.
Kemudian, untuk mendapat tebal lapis pondasi bawah, digunakan rumus sebagai
berikut
𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝐿𝑎𝑝𝑖𝑠 𝑃𝑜𝑛𝑑𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑎𝑤𝑎ℎ = 𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 − 𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑟𝑘𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎𝑛
Sehingga untuk pesawat Airbus A332, didapat tebal lapisan pondasi bawah
sebagai berikut
𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝐿𝑎𝑝𝑖𝑠 𝑃𝑜𝑛𝑑𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑎𝑤𝑎ℎ = 37.5 − 22
𝑻𝒆𝒃𝒂𝒍 𝑳𝒂𝒑𝒊𝒔 𝑷𝒐𝒏𝒅𝒂𝒔𝒊 𝑩𝒂𝒘𝒂𝒉 = 𝟏𝟓. 𝟓 𝒊𝒏𝒄𝒉
Perhitungan tebal lapis pondasi bawah dilakukan untuk masing-masing pesawat.
.
4. Menentukan tebal lapis permukaan
Berdasarkan metode ini, tebal lapis permukaan adalah 4 inch untuk daerah kritis
dan 3 inch untuk daerah non kritis.
5. Menentukan tebal lapis pondasi
Tebal lapis pondasi didapat dengan rumus sebagai berikut
𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝐿𝑎𝑝𝑖𝑠 𝑃𝑜𝑛𝑑𝑎𝑠𝑖 = 𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑟𝑘𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎𝑛 − 𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝐿𝑎𝑝𝑖𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛
Kemudian, tebal lapis pondasi harus dibandingkan dengan tebal minimum. Jika
tidak memenuhi tebal minimum digunakan tebal minimum untuk tebal minimum
lapisan pondasi. Berikut merupakan tabel yang digunakan untuk menentukan tebal
minimum lapis pondasi.
Tabel 4. 47 Tabel untuk Menentukan Tebal Minimum Lapis Pondasi
Kemudian, tentukan wheel load untuk setiap pesawat dengan rumus sebagai
berikut
𝑀𝑇𝑂𝑊 × 0.95
𝑊ℎ𝑒𝑒𝑙 𝐿𝑜𝑎𝑑 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑅𝑜𝑑𝑎 𝑇𝑢𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛
Dimana
Asumsi
Tebal Perkerasan kaku 6 inch
Modulus tanah dasar, k 100 pci
Concrete Flexural Strength 650 psi
Selain itu, digunakan data pesawat untuk menentukan ketebalan perkerasan kaku
bandara sebagai berikut
Tabel 4. 53 Data Pesawat
Berdasarkan grafik di atas, didapat modulus pondasi bawah (k) sebesar 210 pci.
3. Menentukan tebal lapis beton
Untuk menentukan tebal lapisan beton, digunakan grafik penentuan tebal lapisan
beton untuk pesawat dengan gear type tertentu. Untuk dual wheel gear, digunakan
grafik sebagai berikut
Berikut merupakan contoh penentuan tebal lapisan beton untuk pesawat Airbus
A332. Berdasarkan asumsi, digunakan concrete flexural strength sebesar 650 psi dan
modulus tanah dasar sebesar 210 pci. Sedangkan berdasarkan data pesawat, Airbus
A332 memiliki MTOW sebesar 507000 lbs, annual departure sebanyak 2200 pesawat,
dan gear type berupa dual tandem, sehingga digunakan grafik sebagai berikut.
Gambar 4. 29 Grafik untuk Menentukan Tebal Lapisan Beton
Sehingga, untuk Airbus A332, didapat tebal lapisan beton setebal 18,5 inchi.
Perhitungan dilakukan untuk masing-masing jenis pesawat.
Berikut merupakan hasil penentuan ketebalan perkerasan kaku untuk masing-
masing modul pesawat.
Tabel 4. 54 Penentuan Ketebalan Perkerasan Kaku
Ketebalan Ketebalan lapisan
Tipe Pesawat Gear Type MTOW*(lbs) Annual Departure
Beton (in) pondasi bawah (in)
A320 Dual Wheel 507000 2200 22,5 6
A332 Dual Tandem 507000 2200 18,5 6
B735 Dual Wheel 134000 0 0 0
B737 Dual Wheel 155000 2200 13,5 6
B738 Dual Wheel 156000 2600 13,7 6
B739 Dual Wheel 146000 0 0 0
B763 Dual Wheel 350000 2600 18,7 6
B772 Dual Tandem 634000 1900 19 6
DH8D Dual Wheel 68000 0 0 0
E170 Dual Wheel 86000 400 8 6
Kemudian, tentukan wheel load untuk setiap pesawat dengan rumus sebagai
berikut
𝑀𝑇𝑂𝑊 × 0.95
𝑊ℎ𝑒𝑒𝑙 𝐿𝑜𝑎𝑑 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑅𝑜𝑑𝑎 𝑇𝑢𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛
Dimana
Dari Tabel 4.55, didapatkan annual departure total ekivalensi sebesar 45125.
Kemudian, dicari tebal perkerasan dengan annual departure yang baru dengan
carbvbb bbbb
bn nnnbnnnnbn
yang sama dengan sebelumnya. Berikut merupakan hasil perhitungan tebal perkerasan
lentur setelah dilakukan ekivalensi:
Tabel 4. 57 Tebal Perkerasan Kaku setelah Ekivalensi
5. Setelah itu, kita mulai mencari tebal perkerasan optimum berdasarkan berat pesawat
rencana yang telah dimasukkan. Dalam perkerasan lentur, terdapat 4 lapisan yakni,
lapis perkerasan lentur aspal, lapis base, lapis subbase, dan subgrade. Pertama,
masukkan umur rencana perkerasan. Untuk pengerjaan tugas besar ini digunakan umur
rencana bandara adalah 20 tahun.
6. Kemudain input tipe layer perkerasan. Dalam perencanaan tebal perkerasan lentur
menggunakan software FAARFIELD v.1.4 ini digunakan tipe layer dengan tebal
coba-coba dengan acuan tebal minimum berdasarkan FAA AC No: 150/5320-6F.
Tabel 4. 59 Tipe Layer Perkerasan Lentur
Gambar 4. 31 Tebal Lapisan sebelum Optimasi
7. Kemudian klik design structure untuk melakukan running pada program. Software
FAARFIELD v1.4 akan melakukan optimasi tebal perkerasan minimum berdasarkan
pesawat rencana yang telah diinput sebelumnya. Hasil dari proses optimasi disajikan
dalam gambar berikut.
Berikut merupakan Airplane CDF Graph pada perkerasan lentur setelah dilakukan optimasi:
5. Setelah itu, kita mulai mencari tebal perkerasan optimum berdasarkan berat pesawat
rencana yang telah dimasukkan. Dalam perkerasan kaku, terdapat 4 lapisan yakni,
lapis beton, lapis base, lapis subbase, dan subgrade. Pertama, masukkan umur
rencana perkerasan. Untuk pengerjaan tugas besar ini digunakan umur rencana
bandara adalah 20 tahun.
6. Kemudian input tipe layer perkerasan. Dalam perencanaan tebal perkerasan rigid
menggunakan software FAARFIELD v.1.4 ini digunakan tipe layer dengan tebal
coba-coba dengan acuan tebal minimum berdasarkan FAA AC No: 150/5320-6F.
Tabel 4. 62Tipe Layer Perkerasan Kaku
8. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk perkerasan rigid, diperoleh tebal perkerasan
minimum untuk k=159 pci dan umur desain 20 tahun adalah sebagai berikut.
Tabel 4. 63 Hasil Perhitungan Perkerasan Kaku Menggunakan Software FAARFIELD 1.4
Berikut merupakan Airplane CDF Graph pada perkerasan lentur setelah dilakukan optimasi:
Untuk perkerasan kaku, berdasarkan kedua metode di atas, didapat tebal perkerasan
kaku berikut ini.
Tabel 4. 66 Hasil Perkerasan Kaku metode FAA AC 150/5320-6D
Menurut kedua data di atas, tebal perkerasan yang dipilih adalah tebal perkerasan
dengan metode FAA AC 150/5320-6F karena lebih ekonomis. Hal ini dikarenakan metode
tersebut menghasilkan nilai ketebalan lebih kecil. Selain itu, hasil tebal perkerasan dengan
metode ini pula cukup konservatif.
Dalam penentuan tebal perkerasan baik pada lentur maupun kaku, terdapat perbedaan
nilai yang diperoleh dari kedua metode tersebut. Perbedaan kedua metode penentuan tebal
perkerasan jalan disebabkan karena pendekatan dan metode yang digunakan. Pada metode
6-D, digunakan pendekatan grafik dimana nilai input data ditarik ke suatu nilai tertentu yang
sudah diketahui outputnya. Kesalahan pengamatan mungkin terjadi ketika nilai input data
tidak terdapat pada nilai tertentu yang telah diketahui outputnya. Pada metode 6-F, software
FAARFIELD v1.4 memiliki kemampuan konvergensi dan penambahan model sublayer P-
209 dan P-154 yang mengurangi tingkat diskontuitas dari proses penentuan tebal perkerasan.
BAB V
PERANCANGAN BANDAR UDARA FASILITAS SISI DARAT
Berdasarkan KM No. 47 Tahun 2002, fasilitas sisi darat suatu bandara adalah wilayah
bandara yang tidak berhubungan dengan kegiatan penerbangan secara langsung. Terminal
penumpang termasuk dalam fasilitas sisi darat. Terminal penumpang adalah semua bentuk
bangunan yang menjadi penghubung sistem transportasi darat dan sistem transportasi udara.
Terminal penumpang harus menampung harus mampu mengakomodasi kegiatan
operasional, administrasi, dan komersial, serta harus memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan operasional penerbangan. Fasilitas sisi darat pada bandar udara terdiri dari :
5.1 Kerb Keberangkatan dan Kedatangan
Kerb merupakan fasilitas tambahan untuk pejalan kaki yang membatasi daerah
bangunan terminal dengan daerah perkerasan jalan. Area kerb ini juga menjadi tempat untuk
menurunkan dan menaikkan penumpang dalam waktu singkat. Panjang kerb minimal dapat
dihitung dengan persamaan :
𝐿 = 0,095 × 𝑎 × 𝑝 × 1,1
Dengan:
L = panjang kerb keberangkatan/kedatangan (meter)
a = jumlah penumpang berangkat/tiba pada waktu jam puncak sebesar 3450
penumpang (penumpang berangkat dan datang dianggap dibagi rata 50:50
dari penumpang pada jam sibuk)
p = proporsi penumpang pengguna kendaraan pribadi (nilai p adalah 0,6)
Maka, panjang kerb dapat dihitung sebagai berikut,
𝐿 = 0,095 × 3450 × 0,6 × 1,1 = 217 𝑚
Selanjutnya, untuk perhitungan lebar kerb dapat dihitung dengan menggunakan tabel
berikut :
Tabel 5. 1 Lebar Kerb minimal
Penumpang pada jam sibuk adalah 3450 penumpang, sehingga lebar kerb dipilih
sebesar 10 m.
Maka, dapat dihitung Area Kerb sebagai berikut :
𝐴 = 𝑙 𝑥 𝑏 = 217 𝑥 10 = 2170 𝑚2
5.2 Hall Keberangkatan
Hall atau ruang keberangkatan harus cukup luas untuk menampung penumpang pada
waktu sibuk sebelum mereka ke check-in area. Luas hall keberangkatan minimal dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut,
𝐴 = 0,75 × [𝑎 (1 + 𝑓)] + 𝑏 × 1,1
Dengan:
A = luas hall keberangkatan (m2)
f = jumlah pengunjung per penumpang, diasumsikan nilai f adalah 2
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu jam puncak = 3450 penumpang
b = jumlah penumpang transfer, 20% dari nilai a = 691
Maka, luas hall keberangkatan dapat dihitung sebagai berikut,
𝐴 = 0,75 × [3450 (1 + 2)] + 691 × 1,1 = 8523 𝑚2
5.3 Check In Counter
Meja check-in harus dirancang agar dapat menampung segala peralatan yang
dibutuhkan untuk check-in. Jumlah minimal meja check-in dapat dihitung dengan
persamaan :
𝑎+𝑏
𝑁= × 𝑡1 × 1,1
60
Dengan:
N = jumlah meja
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu jam puncak = 3450 penumpang
b = jumlah penumpang transfer, 20% dari nilai a = 691
t1 = waktu pemrosesan check-in penumpang, 2 menit per penumpang
Maka, dapat dihitung jumlah minimal meja check-in sebagai berikut,
3450 + 691
𝑁= × 2 × 1,1 = 152
60
5.4 Area Check In
Area check-in harus dirancang agar dapat menampung segala peralatan yang
dibutuhkan untuk check-in. Luas minimal area check-in dapat dihitung dengan persamaan
𝐴 = 0,25 (𝑎 + 𝑏) × 1,1
Dengan:
A = area check-in (m2)
a = jumlah penumpang berangkat pada waktu jam puncak = 3450 penumpang
b = jumlah penumpang transfer, 20% dari nilai a = 691
Maka, dapat dihitung luas minimal area check-in sebagai berikut,
𝐴 = 0,25 (3450 + 691) × 1,1 = 1139 𝑚2
5.5 Counter Pemeriksaan Paspor
Pemeriksaan paspor diperlukan untuk terminal penumpang keberangkatan/kedatangan
internasional. Jumlah minimal meja pemeriksaan paspor dapat dihitung dengan persamaan :
𝑎+𝑏
𝑁= × 𝑡2 × 1,1
60
Dengan:
N adalah jumlah meja
a adalah jumlah penumpang berangkat/tiba pada waktu jam puncak = 3450
b adalah jumlah penumpang transfer, 20% dari nilai a - 691
t2 adalah waktu pemrosesan paspor penumpang, 0,5 menit per penumpang
Maka, dapat dihitung jumlah minimal meja pemeriksaan paspor sebagai berikut,
3450 + 691
𝑁= × 0,5 × 1,1 = 38
60
5.6 Area Pemeriksaan Paspor
Area pemeriksaan paspor harus dirancang agar dapat menampung segala peralatan
yang dibutuhkan untuk pemeriksaa paspor. Luas minimal area pemeriksaan paspor dapat
dihitung dengan persamaan :
𝐴 = 0,25 (𝑏 + 𝑐)
Dengan:
A adalah luas pemeriksaan paspor (m2)
b adalah jumlah penumpang transfer, 20% dari nilai a = 691
c adalah jumlah penumpang berangkat/tiba pada waktu jam puncak = 3450
Maka, dapat dihitung luas minimal area pemeriksaan paspor sebagai berikut,
𝐴 = 0,25 (𝑏 + 𝑐)
𝐴 = 0,25 (691 + 3450) = 1036 𝑚2
5.7 Pemeriksaan Keamanan Terpusat
Pada pemeriksaan keamanan, direncanakan jumlah unit x-ray sebagai salah satu
komponen penting. Jumlah minimal unit x-ray dapat dihitung dengan persamaan :
𝑎+𝑏
𝑁=
300
Dengan:
N adalah jumlah unit x-ray
a adalah jumlah penumpang berangkat/tiba pada waktu jam puncak = 3450
b adalah jumlah penumpang transfer, 20% dari nilai a = 691
Maka, dapat dihitung jumlah minimal unit x- ray sebagai berikut,
3450 + 691
𝑁= = 14
300
5.8 Pemeriksaan Keamanan Gate Hold Room
Pada pemeriksaan keamanan, direncanakan jumlah unit x-ray sebagai salah satu
komponen penting. Jumlah minimal unit x-ray dapat dihitung dengan persamaan :
𝑎+𝑏
𝑁=
300
Dengan:
N adalah jumlah unit x-ray
a adalah jumlah penumpang berangkat/tiba pada waktu jam puncak = 3450
b adalah jumlah penumpang transfer, 20% dari nilai a = 691
Maka, dapat dihitung jumlah minimal unit x- ray sebagai berikut,
3450 + 691
𝑁= = 14
300
5.9 Ruang Tunggu Keberangkatan
Ruang tunggu keberangkatan harus dapat menampung sejumlah penumpang dan
disesuaikan dengan durasi waktu tunggunya. Luas minimal ruang tunggu keberangkatan
dapat dihitung dengan persamaan :
(𝑢 × 𝑖)(𝑣 × 𝑘)
𝐴= 𝑐 × 1,1
30
Dengan:
A adalah luas ruang tunggu keberangkatan (m2)
u adalah rata-rata waktu menunggu terlama (60 menit)
i adalah proporsi penumpang menunggu terlama (0,6)
v adalah rata-rata waktu menunggu tercepat (20 menit)
k adalah proporsi penumpang menunggu tercepat (0,4)
c adalah jumlah penumpang datang pada jam puncak = 3450 penumpang
Maka, dapat dihitung luas minimal ruang tunggu keberangkatan sebagai berikut :
(60 × 0,5)(20 × 0,4)
𝐴 = 3450 × 1,1 = 36434 𝑚2
30
5.10 Jumlah Tempat Duduk
Jumlah minimal tempat duduk dapat dihitung dengan persamaan
𝑎
𝑁=
3
Dengan:
N adalah jumlah tempat duduk dibutuhkan
a adalah jumlah penumpang berangkat/tiba pada waktu jam puncak = 3450
Maka, dapat dihitung jumlah minimal tempat duduk sebagai berikut,
3450
𝑁= = 1151
3
5.11 Luas Toilet
Penempatan toilet pada ruang tunggu, hall keberangkatan dan kedatangan. Luas
minimal toilet dapat dihitung dengan persamaan
𝐴 = 0,2𝑎 × 1,1
Dengan:
A adalah luas toilet (m2)
a adalah jumlah penumpang berangkat/tiba pada waktu jam puncak = 3450
Maka, dapat dihitung luas minimal toilet dengan persamaan :
𝐴 = 0,2𝑎 × 1,1
𝐴 = 0,2 𝑥 3450 × 1,1 = 760 𝑚2
𝑐 × 𝑟
𝑁= (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑛𝑎𝑟𝑟𝑜𝑤 𝑏𝑜𝑑𝑦)
300
Dengan:
N adalah jumlah minmal baggage claim devices
c adalah jumlah penumpang tiba pada waktu jam puncak = 3450 penumpang
q adalah proporsi penumpang datang menggunakan wide body aircraft = 0,3
r adalah proporsi penumpang datang menggunakan narrow body aircraft = 0,7
Maka, dapat dihitung jumlah minimal baggage claim devices sebagai berikut,
3450 × 0,3
𝑁= = 3(𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑤𝑖𝑑𝑒 𝑏𝑜𝑑𝑦)
425
3450 × 0,7
𝑁= = 9 (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑛𝑎𝑟𝑟𝑜𝑤 𝑏𝑜𝑑𝑦)
300
Maka, dapat dihitung panjang baggage claim belt dapat dihitung sebagai berikut,
38 × 50
𝐿= = 634
3
5.15 Hall Kedatangan
Hall atau ruang kedatangan harus cukup luas untuk menampung penumpang datang
dan penjemput pada waktu sibuk. Luas hall kedatangan minimal dapat dihitung dengan
persamaan :
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengolahan data dan analisis, berikut adalah simpulan dari tugas besar
Rekyasa Prasarana Antarmoda pada Perancangan Bandar Udara.
1. Konfigurasi arah atau orientasi runway yang direncanakan yaitu Utara 2 Timur dan
Selatan 7 Timur.
2. Panjang runway minimum sebesar 3418 meter.
3. Jumlah penumpang dan modulasi pesawat pada saat jam puncak adalah sebagai
berikut.
5. Apron yang direncanakan memiliki konfigurasi nose-in dengan luas apron sebesar
234871.69 𝑚2.
6. Tebal perkerasan yang didesain menggunakan Metode FAA AC 150/5320-6D dan
FAA AC 150/5320-6F terdapat pada Tabel 4.64-4.67.
7. Perancangan fasilitas sisi darat terdapat pada tabel berikut
Tabel 6. 3 Fasilitas Sisi Darat
6.2 Saran
1. Sebaiknya penggunaan referensi untuk mendapatkan nilai ARFL harap disamakan,
karena terdapat perbedaan nilai ARFL dari satu sumber dengan sumber lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aerodrome Design Manual Part 1 Runways, Third Edition, International Civil Aviation
Organization, Montreal, 2006
Aerodrome Design Manual Part 2 Taxiways, Aprons and Holding Bays, Fourth Edition,
International Civil Aviation Organization, Montreal, 2005
Federal Aviation Administration (1995): Advisory Circular 150-5320-6D, Airport Pavement
Design and Evaluation, U.S. Department of Transportation, United States.
Federal Aviation Administration (2009): Advisory Circular 150-5320-6F, Airport Pavement
Design and Evaluation, U.S. Department of Transportation, United States.