Anda di halaman 1dari 23

BASIS PENCATATAN PADA AKUNTANSI ANGGARAN

Makalah
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Sektor Publik

Dosen pengampu:
Dwi Ari Pertiwi, S.E., S.Pd., M.M

Oleh:
Yuliana afifah 1796154001
Alviya Rahayu 1796154012
Zetty Ma’summah 1796154017
Noval 1796154027

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Akuntansi Sektor Publik dengan judul “Basis Pencatatan
Pada Akuntansi Anggaran”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Akuntansi Sektor Publik dan Basis
Pencatatan Pada Akuntansi Anggaran ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Jombang, 22 Februari 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wacana tentang good governance pada organisasi pemerintahan atau
yang disebut dengan good goverment governance merupakan isu yang
paling mengemuka pada era reformasi sampai dengan sekarang ini.
Tuntutan masyrakat agar pengelolaan negara dijalankan dengan transparan
dan akuntabel sejalan dengan keinginan masyarakat internasional. Salah
satu kunci pengembangan di dalam tata kelola sektor publik selama lebih
dari 15 tahun adalah adanya dorongan yang kuat oleh lembaga-lembaga
internasional, seperti Organisation for Economic Corporation and
Development (OEDC, the International Monetery Fund (IMF), dan World
Bank, kepada negara-negara di dunia untuk mengganti sistem akuntansi
tradisionalnya dari akuntansi berbasis kas ke sistem akuntansi berbasi
akrual seperti pada sektor swasta. Tuntutan dari masyrakat interbasional
tersebut juga berdampak pada sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia.
Hasilnya, pada tahun 2010, Komite Standar Akuntansi Pemerintahan
(KSAP) menerbitkan standar akuntansi pemerintah berbasi akrual yang
ditetapkan melalui PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) menggantikan PP Nomor 24 Tahun 2005 yang
menggunakan basis kass menuju akrual (cash toward accrual).
Pada dasarnya, hanya terdapat dua basis akuntansi atau dasar akuntansi
yang dikenal dalam akuntansi, yaitu akuntansi berbasis kas (cash basisi)
dan akrual (accrual basis). Sedangkan, jika ada basis akuntansi yang lain
sperti basis kas modifikasian, atau akrual modofikasian atau kas menuju
akrual, merupakan modifikasi di antara basis kas dan basis akrual untuk
masa transisi (Halim dan Kusufi, 2012). Dasar akuntansi merupakan
metode pencatatan akuntansi yang digunakan dalam menentukan kapan
dan bagaimana mencatata transaksi ekonomi. Metode pencatatan tersebut
berbeda pada masalah waktu (timing) kapan transaksi ekonomi ke dalam
akun. Dalam akuntansi basis kas, transaksi tidak diakui/dicatat sampai
transaksi tersebut secara kas benar-benar diterima atau dikeluarkan.
Apabila transaksi tersebut tidak berpengaruh terhadap kas, maka transaksi
tersebut tidak akan dicatat. Padahal, kenyataannya suatu transaksi belum
tentu berpengaruh terhadap kas. Oleh karena itu, penerapan dasar
akuntansi ini dianggap banyak kelemahan, terutama laporan keuangan
yang dihasilkan tidak informatif. Laporan pertanggungjawaban yang tidak
informatif tentunya akan mengganggu terwujudnya pemerintahan yang
transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, penerapan sistem akuntansi
berbasis kas secara penih dianggap sudah tidak relevan lagi dengan
semangat menciptakan pemerintahan yang good govarnance.
Sedangkan, basis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui
transaksi dari peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa tersebut
terjadi. Transaksi dan perstiwa tersebut dicatat dalam akuntansi dan diakui
dalam laporan keuangan pada periode terjadinya (Halim dan Kusufi,
2012). Akuntansi berbasis akrual dianggap memiliki sejumlah manfaat
untuk organisasi sektor publik. Para pendukung penerapan basis akrual
dalam organisasi sektor publik, meyakini bahwa akuntansi akrual
mengakui beban ketika transaksi tersebut terjadi, dianggap menyediakan
gambaran operasional pemerintah secara lebih transparan (Boothe, 2007).
Namun demikian, penerapannya memiliki banyak kendala dan
memerlukan dana yang besar serta waktu yang panjang, bahkan dapat
melibihi periode masa jabatan kepala pemerintahan (presiden/
gubernur/bupati/walikota) dan anggota dewan legislatif (DPR/DPRD),
sehingga diperlukan juga komitmen dan dukungan politik dari para
pengambil kebijakan publik (Ritonga, 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana reformasi akuntansi keuangan Pemerintah di
Indonesia?
2. Apa pengertian basis kas dan basis akrual?
3. Bagaimana perkembangan akuntansi berbasis akrual di berbagai
negara?
4. Bagaimana Akuntansi pemerintahan berbasis akrual di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana reformasi akuntansi keuangan
Pemerintah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apa pengertian basis kas dan basis akrul.
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan akuntansi berbasis
akrual di berbagai negara.
4. Untuk mengetahui bgaaimana akuntansi pemerintahan berbasis
akrual di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjalanan Reformasi Akuntansi Keuangan Pemerintah Di


Indonesia
Perjalanan panjang penerapan akuntansi pemerintah di indonesia tidak
bisa lepas dari perkembangan social politik yang memengaruhi perubahan
sistem politik dan pemerintahan di indonesia. Perubahan sistem politk dan
pemerintahan tersebut berdampak pada perubahan aturan perundang-
undangan yang mengatur pengelolaan keuangan negara, termasuk
akuntansinya, karena penerapan sistem akuntansi pemerintah dari suatu
negara akan sangat bergantung pada peraturan perundang-udangan yang
berlaku pada negara yang bersangkutan.
Dalam konteks akuntansi pemerintah daerah, Ritonga
(2010)membaginya menjad tiga tahap, yaitu dari mulai tahun 1974 sampai
dengan saat ini.
a. Tahap pertama adalah periode mulai tahun 1974 sampai dengan 1999
yang dikenal sebagai masa akuntansi tradisional. Regulasi yang
menjadi acuan pada periode ini adalah UU Nomor 5 tahun 1974tentang
pokok-pokok pemerintahan di daerah, PP Nomor 5 tahun 1975 dan PP
Nomor 6 tahun 1975.
b. Tahap kedua yaitu periode tahun 2000 sampai dengan tahn 2005, yang
merupakan tahap reformasi akuntansi tahap pertama pada era otonomi
daerah. Pada periode tahap kedua ini regulasi yang menjadi acuan
adalah UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UUU Nomor 25 tahun 1999,
yang menjadi tonggak otonomi daerah. Aturan teknis yang mengatur
implementasi akuntansi pemerintah adalah PP Nomor 105 tahun 2000
Dan kepmendagri nomor 29 tahun 2002.
c. Tahap ketiga adalah tahap reformasi akuntansintahap lanjut (kedua),
yang dimulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Pada periode
ini,regulasi yang menjadi acuan adalah PP Nomor 24 tahun 2005 dan
PP Nomor 58 tahun 2005 yang merupakan penjabaran dari paket
undang-undang pengelolaan keuangan negara, yaitu UU Nomor 17
tahun 2003, UU Nomor 1 tahun 2004, UU Nomomr 32 tahun 2004,
dan UU Nomor 33 tahun 2004. Namun, di akhir tahun 2010, KSAP
menerbitkan SAP menggantikan PP Nomor 24 tahun 2005.

Dengan terbitnya PP Nomor 71 tahun 2010 merupakan titk awal


dimulainya tahap baru dalam perkembangan akuntansi pemerintahan, yaitu
tahap penerapan akuntansi pemerintahan bebasis akrual. Penerapan
akuntansi berbasis akrual ini masih dalam rangka memenuhi apa yang
diamanatkan dalam pasal 36 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan
negara. Meskipun,sebenarnya menurut undang-undang tersebut dinyatakan
selambat-lambatnya lima tahun setelah undang-undang tersebut ditetapkan
tahun 2008 entitas pemerintah sudah menerapkan akuntansi berbasis
akrual.

1) Tahap Pertama Periode Tahun 1974-1999


Pada priode ini bisa di sebut juga dengan periode prareformasi.
Pada masa ini belum uada undangan-undang yang mengatur secara
sepesifik tentang akuntansi pemerintahan. Semua pengelolaan
keuangan negara, termasuk akuntansi pemeerintahaanya diatur
menggunakan aturan perundang-undangan yang merupakan
warisan belanda. Penglolaan keuangan negara,termasuk di dalam
untuk keuangan daerah, didasarkan atas aturan-aturan yang
terhimpun dalam UU perbendaharaan indonesia (UUPI) atau
indonesia comptabiliteits wet (ICW). UUPI atau ICW ini mulai
diundangkan pada tanggal 10 juni 1927 dalam staatsblad 1925
Nomor 488, dan selanjutnya diubah dan diundangkan dalam
lembaran negara 1945 Nomor 6, 1954 Nomor 49 dan UU Nomor 9
tahun 1968 (sugijanto dkk., 1995), dan untuk keuangan daerah
diatur dalam UU Nomor 6 tahun 1974. Pada masa ini pemerintah
daerah menggunakan manual administrasi keuangan daerah
(MAKUDA), yang diberlakukan sejak tahun 1981, sebagai
panduan dan pedoman kerja untuk pengelolaan keuangan daerah.
Sistem pencatatan yang dilakukan masih sangat sederhana,
yaitu menggunakan sistem tata buku tunggal berbasis kas, sehingga
disebut juga periode sistem akuntansi tradisional yang lebih
berbentuk kegiatan “pembukuan” bukan kegiatan “akuntansi”. Tata
buku kas juga disebut dengan tata buku anggaran (stelsel kameral).
Informasi yang tidak terintegrasi dan tidak komprehensif
menjadikan informasi tersebut tidak dapat menjadi dasar
pengambilan keputusan yang berguna bagi manajer public dan
pengguna eksternal laporan keuangan pemerintah daerah. Apalagi
dengan tidak adanya pencatatan keuangan yang mencatat belanja
modal, mengakibatkan pemerintah daerah tidak dapat menyusun
neraca daerah.
2) Periode Reformasi Awal Antara Tahun 2000-2005
Pada periode kedua perjalanan praktik akuntansi pemerintahan
di indonesia ini juga tidak bisa lepas dari politik yang terjadi pada
saat itu. Pada periode ni merupakan masa reformasi dengan
ditandai jatuhnya rezim orde baru yang telah berkuasa selama 32
tahun. Gerakan reformasi ini tidak hanya sekedar menghasilkan
pergantian kekuasaa, melainkan juga diikuti gerakan reformasi di
segala bidang, termasuk reformas di bidang pengelolaan keuangan
negara (termasuk di dalamnya pengolaann keuangan daerah). Oleh
karena itu, pada masa ini juga disebut sebagai masa reformasi
tahap I.
Adanya dua undang-undang yang menjadi tonggak
diterapkannya otonomi aerah, yaitu UU Nomor 22 tahun 1999
tentang pemerintah daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, telah
melahirkan PP Nomor 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah dan kepmendagri nomor 29
tahun 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban,
dan pengawasan keuangan daerah, serta tata cara penyusunan
APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah, serta penyusunan
perhitungan APBD, menjadi acuan praktik akutansi pada masa ini.
Pada periode ini juga timbul kesadaran bahwa akuntansi memiliki
peranan penting dalam penglolaan keuangan daerah dibandingkan
sebelum reformasi yang lebih mementingkan kegiatan
perbendaharaan, yaitu kegiatan administrasi penerimaan dan
pengeluaran. Belum ada standard akuntans pemerintahan sehingga
terjadi kebingungan dan ketidakseragaman pelaksanaan akuntansi
pada tingkat pemerintah daerah. Pencatatan transaksi dengan
menggunakan sistem double entry dapat menghasilkan laporan
keuangan yang auditable dan traceable (herlanu,2007).
Begitu juga dengan basis akuntansi yang digunakan mengalami
pergesern dari basis kas menjadi basis akrual, sedangkan
modifikasi di antara kedua basos tersebut hanya merupakan transisi
(halim dan kusufi, 2012). Pemerintah daerahsudah harus
menyajikan laporan perhitungan APBD, neraca, laporan arus kas,
dan nota perhitungan APBD. Dengan adanya kewajiban untuk
menyajikan neraca sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban
kepala daerah, maka pada masa ini pemerintah daerah memulai
suatu upaya yang revolusoner, yaitu melakukan inventarisasi asset
dan sekaligus melakukan penilaian asset untuk menyajkan neraca
pemerintah daerah untuk pertama kalinya (ritonaga, 2010).
3) Periode Remormasi Lanjutan Antara Tahun 2005-2010
Pada periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya
yaitu melanjutkan reformasi penglolaan keuangan negara (daerah),
dengan diterbitkannya tiga paket undang-undang tentang keuangan
negara, yakni UU Nomor 17 takun 2003 tentang keuangan negara,
UU Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU
Nomor 15 tahun 2004 tentangpemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.peratura pemerintah ini menjadi
acuan bagi penyusun laporan keuangan, pemeriksa laporan
keuangan, dan pengguna laporan keuangan daerah (ritonaga,
2010). Sedangkan pada APBN, dengan adanya peraturan
pemerintah terseut, menyeabkan pencatatan pembukuan berubah
dari berbais kas menjadi berangsur-angsur berbasis akrual.
Perubahan mendasar pada sistem akuntansi pemerintahan
periode ini adalah perlunya penyusunan sistem akuntansi keuangan
daerah yang mensyaratkan adanya standard akuntansi
pemerintahan dan prosedur akuntansi keuangan daerah untuk
menjamin konsistensi dalam pelaporan keuangan. Pada periode ini
pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan menggunakan
basis cash toward accrual. Maksudnya adalaah, basis akuntansi
yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah untuk
pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam laporan
realisai anggaran (LRA) adalah basis kas sedangkan untuk
pengakuan asset, kewajiban, dan ekuitas dana yang disajikan dalam
neraca menggunakan basis akrual. Tentu saja, penerapan basis ini
memiliki keunggulan dalam pengendalian kas dan lebih
informative (dibandingkan basis kas penuh atau kas modifikasian),
tetapi masalahnya adalah antara anggaran dengan realisasinya tidak
dapat diperbandingkan.
4) Periode Penerapan Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
Antara Tahun 2010-Sekarang
Sama halnya dengan tahap ketiga, periode ini merupakan
lanjutan dari bagian reformasi keuangan negara (daerah), terutama
dalam hal akuntansi pemerintahan. Reformasi yang terjadi adalah
dimulainya penerapan akuntansi pemerintahan berbasis akrual
dengan dikeluarkannya PP Nomor 71 tahun 2010 tentang SAP,
yang menggantikan PP Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP, yang
telah berlaku selama lima tahun. Perubahan paling mendasar dari
kedua peraturan pemerintah tersebut adalah dengan ditetapkannya
PP Nomor 71 tahun 2010 maka dimulailah upaya untuk
menerapkan sistem akuntansi pemerintahan berbasis
akrual,berubah dari basis akuntansi sebelumnya , yaitu kas menuju
akrual. Perode ini dianggap lanjutan dari bagian reformasi
keuangan negara karena pada dasarnya penerapan basis akrual
telah diamanatkan oleh UU Nomor 17 tahun 2003 tentang
keuangan negara pasal 36 ayat 1 yang menyatakan:
“Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan
dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya
dalam 5 tahun.”
Begitu juga, ketentuan ini dipertegas lagi oleh pasal 70 ayat 2
UU Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.
“Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan
dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya
tahun anggaran 2008.”
Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, penerapan
akuntansi berbasis akrual seharusnya sudah dapat diterapkan
selambat-lambatnya tahun 2008, akan tetap tahun baru pada
tanggal 22 oktober 2010, KSAP menerbitkan SAP berbasis akrual
yang ditetapkan melalui PP Noor 71 tahun 2010 dan dapat
langsung ditetapkan untuk laporan keuangan pertanggungjawaban
tahun anggaran 2010.

B. Basis Kas dan Basis Akrual


BASIS KAS VERSUS BASIS AKRUAL: KONSEP DAN IMLEMENTASI
DALAM AKUNTANSI ANGGARAN

Kunci perbedaan antara sistem akuntansi kas dan akrual pada penerapan
sektor publik terletak pada sistem pencatatan. Sistem akuntansi kas mencatat
pendapatan dan beban di dalam periode terjadinya penerimaan dan pembayaran
kas. Sementara sistem akuntansi akrual mencatat pendapatan pada saat
pendapatan tersebut diperoleh (earned) kas diterima maupun tidak, dan beban
dicatat pada saat beban tersebut (incurred) kas dibayarkan atau tidak.

Dengan kata lain, akuntansi akuntansi berbasis kas adalah basis akuntansi
yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara
kas diterima atau dibayar, yang digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja,
dan pembiayaan. Sementara akuntansi akrual berarti bahwa pendapatan belanja,
pembiayaan, asset, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat
terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau ondisi lingkungan berpengaruh
pada keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas di
terima atau dibayar. Dalam sistem akrual harus diterapkan sistem alokasi yang
umumnya dilakukan secara subjektif abitrer jareba oembebanan biaya, pengakuan
pendapatan, dan prinsip “matching”-nya harus mematuhi prinsp ”time period”.

Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan mendasar


antara dua dasar akuntansi tersebut adalah terkait dengan waktu atau periode suatu
transaksi dicatat. Perbedaan antara dua sistem tersebut (basis kas dan akrual) akan
menjadi jelas dengan memberikan contoh ril keduanya dalam konteks rganisasi
pemerintah. Misalnya adalah pemerintah melaukan pembelian gedung
perkantoran. Menurut basis kas, pembelian gedung tersebut dicatat sebagai beban
secara penuh pada periode tahun di mana gedung tersebut dibeli. Sedangkan,
menurut basis akrual, beban dari pembelian gedung tersebut dicatat sebagai beban
penyusutan yang dicatat setiap tahunnya selama masa manfaat dari gedung
tersebut.

Kedua sistem akuntansi tersebut tentunya memiliki kelebihan dan


kelemahan ketika diterapkan di sektor publik.

Karakteristik Akuntansi kas Akuntansi Akrual


Operasionalisasi Relatif sederhana Relatif rumit/kompleks
Hubungannya dengan Relatif kuat Relatif lemah
sistem pendapatan dan
anggaran tradisional
Cakupan transaksi Hanya mencatat Mencatat transaksi
transaksi yang nonkas yang diestimasi
menghasilkan dengan baik
pembayaran dan
penerimaan kas
Waktu Hanya mencatat Mencatat pengaruh
transaksi yang terjadi estimasi di masa
pada periode akuntansi mendatang dari transaksi
yang relevan saat ini dan perubahan
kebijakan
Audit dan pengendalian Relatif sederhana Relatif harus dilakukan

Sistem akuntansi kas memang relatf sederhana dan mudah untuk


diimplementasikan dan dijalankan. Kelebihannya juga relatif mudah dalam audit
dan pengendaliannya. Namun, sistem ini hanya mencakup pada transaksi yang
menghasilkan pembayaran atau penerimaan kas, dan sistem ini hanya
mempertimbangkan transaksi yang terjadi pada periode akuntansi yang relevan.
Sedangkan, dalam penerapan sistem akuntansi akrual dikatakan relatif rumit
karena keharusan untuk melakukan audit dan pengendalian, kelebihannya dalam
sistem ini dapat mencakup pencatatan transaksi nonkas sebaik transaksi kas dan
mengakui pengaruh di masa mendatang (future effects) dari transaksi dan
perubahan kebijakan.

Tudor dan Mutiu (2007) berpendapat, bahwa keuntungan basis kas


memang sangat paling mudah dilaksanakan, objektif, sedikit pilihan untuk dibuat.
Sedangkan, kelemahannya adalah tidak ada usaha yang dilakukan untuk
menandingkan suatu beban dengan pendapatan yang dihasilkan atas pengeluaran
beban tersebut. Hal ini berarti bahwa laporan laba-rugi (surplus-defisit) serta
neraca bisa jadi tidak menggambarkan dengan baik aktivitas terkina serta kondisi
aktivitas saat ini. Sistem akuntansi kas dapat mengubah kebenaran operasi dari
aktivitas dan menggambarkan pendapatan tidak benar. Sehingga Ritungp (2010)
menyimpulkan tiga kelemahan mendasar sistem akuntansi berbasis kas, yaitu:

1. Informasi yang lebih kompleks tidak dapat dihasilkan;


2. hanya terfokus pada aliran kas dan mengabaikan aliran sumber daya
lain;
3. pertanggungjawaban kepada publik jadi terbatas hanya pada
penggunaan kas dan tidak pada sumber daya lainnya.

Pada sistem akuntansi berbasis akrual, Mardiasmo (2009) dan Ahyani


(2007) menyatakan bahwa pengaplikasisan sistem ini dalam sektor publik pada
dasarnya adalah untuk menentukan biaya pelayanan dan harga pelayanan publik,
yaitu untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan
pelayanan publik serta menentukan harga pelayanan yang akan dibebankan
kepada publik. Penerapan dasar akrual memberikan hasil yang lebih baik dan
memberikan keuntungan sebagai berikut (Ahyani, 2007 :35),
1. Memberikan ketelitian dalam penyajian laporan keuangan pemerintah
daerah dan memungkinkan untuk melakukan penilaian secara lengkap
terhadap kinerja pemerintah.
2. Lebih akurasi dalam melaporkan nilai asset, kewajiban, maupun
pembiayaan pemerintah
3. Memungkinkan dilakukan cus off (pemisahan suatu periode dengan
periode yang lain) secara lebih sempurna dan menginformasikan nilai-
nilai ekonomis yang terkandung dalam suatu periode tertentu
4. Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan pemerintah
dalam rangka akuntabilitas publik.

Bagaimana implikasi penerapan keduanya pada akuntansi anggaran?


Akuntansi anggaran merupakan teknik akuntansi yang paling berkembang dan
bayak digunakan di organisasi sektor publik, terutama pemerintah. Akuntansi
anggaran mencatat dan menyajikan akun operasinya sejajar dengan anggarannya.
Jumlah rekening belanja yang dianggarkan dikreditkan terbahdap rekening yang
sesuai kemudian apabila belanja tersebut direalisasikan maka akun tersebut
didebit kembali. Saldo yang ada dengan demikian menunjukkan jumlah anggaran
yang belum dibelanjakan. Teknik ini dapat membandingkan secara sistematik
dan kontinu jumlah anggaran dengan realisasi anggaran dengan bertujuan untuk
menekankan peran anggaran dalam siklus perencanaan, pengendalian, dan
akuntabilitas (Mardiasmo, 2009; 150; Ritonga, 2010: 15).

Teknik ini memiliki salah satu kelemahan yaitu teknik yang sangat
kompleks. Akan lebih mudah dan lebuh komprehensif apabila akun-akun yang
ada menunjukkan pendapatan dan biaya actual, serta anggaran menunjukkan
pendapatan dan biaya dianggarkan. Teknik akuntansi anggaran akan lebih mudah
diterapkan jika menggunakan basis kas dengan indikasi bahwa anggaran dan
realisasi dalam teknik ini harus selalu dibandingkan sehingga dapat dilakukan
tindakan koreksi apabila terdapat selisih.

Apabila dalam penerapan teknik akuntansi anggaran menggunakan basis


akrual, bukanlah sebuah perkara mudah untuk menerapkannya dalam sektr
publik dikarenakan akuntansi anggaran menyaratlan adanya pencatatan dan
penyajian akun operasinya sejajar dengan anggarannya. Artinya, bahwa teknik
akuntansi anggaran dapat membandingkan secara sistematis dan kontinu jumlah
anggaran dengan realisasi anggaran. Oleh karena itu, jika sistem akuntansinya
berbasis akrual, maka sistem penganggarannya menuntut berbasis akrual juga.
Dalam basis akrual, pendapatan pemerintah adalah hak pemerintah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih, dan belanja pemerintah adalah
kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Apabila sistem penganggarannya masih berbasis kas, maka antara anggaran
pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta realisasinya tidak dapat
diperbandingkan (Ritonga, 2010).

Untuk di Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 Pasal 36,


seharusnya sistem akuntansi berbasis akrual seharausnya sudah diterapkan
selambat-lambatnya lima tahun sejak undang-undang tersebut diterapkan.
Artinya, pada tahun 2008 seluruh entitas akuntansi dan pelaporan pada organisasi
pemerintahan di indonesia sudah menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual.
Namun, baru pada oktober 2008, KSAP menerbitkan SAP Berbasis Akrual yang
ditetapkan melalui PP Nomor 71 Tahun 2010 sebagai pengganti dari PP Nomor
24 tahun 2005.
C. Perkembangan Akuntansi Berbasis Akrual di Berbagai Negara
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa terdapat dorongan yang kuat dari
lembaga-lembaga internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk mengadopsi
akuntansi berbasis akrual dalam sektor public. Bahkan, negara-negara yang
tergabung dalam OECD juga didorong untuk menerapkan akuntansi akrual. IMF
merupakan lembaga yang paling terdepan dalam mendukung penerapan
akuntansi sektor public berbasis akrual. Saat ini IMF memiliki publikas statistic
yang dinamai Govarment Financial Statistic Manual, yang menyajikan statistic
pendapatan dan belanja pemerintah dalam basis akrual. Sementara, OECD pada
tahun 2002 secara khusus akan menerbitkan Journal of Budgeting OECD yang
berisi artikel yang membahas best practices penganggara dan pelaproran,
termasuk best practices dalam penerapan basis akrual. Pada tahun 2003, Blondal
(2003) dalam Boothe (2007) memperkirakan bahwa 5 dari 28 anggota OECD
telah mengadopsi akuntansi akrual penuh dan 2 negara telah mengadopsi basis
akrual modifikasian (yaitu tidak ada kapitalisasi atau depresiasi asset). Lebih lag,
3 dari 28 negara telah mengadopsi penganggaran akrual, dan 3 negara
mengadopsi basis akrual modifikasian (dalam Boothe, 2007)
Bambang Widjarjaso dalam seminarnya pada 18 Desember 2008 yang
berjudul “Penerapan Basis Akrual pada Akuntansi Pemerintah Indonesia: Sebuah
Kajian Pendahuluan” menyatakan bahwa hanya Selandia Baru dan Inggris yang
telah mampu menerapkan basis akrual. Bahkan Australia menyesal telah
menerapkannya karena ternyata manfaat yang diberikan dari aplikasi anggaran
menggunakan basis akrual sangat tidak sebanding. Hal ini mengisyarakatkan
bahwa untuk menerapkan basis akrual diperlukan kerja yang sangat keras.
Sejak Juli 2002 hanya tiga anggota Uni Eropa yang telah sukses secara
komplet melakukan peralihan kea rah akuntansi akrual. European Comomision
sendiri akan melakukan peralihan setelah 2005. Di Eropa, Reformasi akuntansi
akrual dimulai secara gradul (berangsur-angsur) sebagaimana disajikan berikut
ini.
Pada pemerintah level nasional, proses reformasi tlah dimulai pada enam
negara, antara lain Spanyol, Inggris, Finlandia, Sweda, Swiss, dan Prancis. Tiga
pemerintah nasional yaitu: Finlandia, Spanyol, dan Sewedia telah komplet
melakukan reformasi (persyaratan legal, system baru). Pada level lokal,reformasi
dilakukan semua negara, dan lima negara telah melakukan reformasi secara
komplet yaitu Finlandia, Prancis, Belanda, Inggri, dan Swiss.
Menurut Tudor dan Mutiu (2007), reformasi akuntansi akrual akan terjaddi
terlebih dahulu, kemudian akan diikuti oleh reformasi angaran akrual. Kemudian
kadar reformasi akuntansi akrual pada masing-masing negara akan memiliki level
yang berbeda-beda. Meningkatnya perbedaaan internasional dalam praktik
akuntansi sektor public mendukung adanya reformasi yang spesifik di tiap
negara.
Mardiasmo (2009) menambahkan bahwa negara yang berhasil dalam
menerapkan akuntansi akrual secara penuh adalah Selandia Baru yang telah
dilakukan sejak 2001. Sistem akuntansi akrual yang diterapkan di selandia baru
terbukti memberikan kontribusi ang besar dalam menghasilkan informasi yang
lebih komprehensif dibandingkan dibandingkan dengan sistem akuntansi berbasis
kas dalam hal kuantitas dan kualitasnya. Namun, beberapa negara juga
menunjukkan penerapan basis akuntansi akrual yang kurang berhasil seperti
Italia. Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan basis akrual dengan berhasil
tidak dapat dilakukan secara radikal. Aspek kompetensi SDM perlu dipersiapkan,
serta komitmen dan dukungan politik dari para pengambil keputusan di
pemerintah mutlak diperlukan, agar penerapan akuntansi berbasis akrual secara
penuh dapat berjalan dengan baik dan memberikan manfaat yang lebih besar.
Perlu analisis yang mendalam dan kompleks terhadap berbaga factor lingkungan
yang memengaruhinya, salah satunya adalah faktor sosiologi masyarakat negara
tersebut (Yamamot, 1997; dalam Mardiasmo 2009).

D. Akuntansi Pemerintahan Berbasi Akrual di Indonesia


Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Di Indonesia : Tinjauan Atas
Pp Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Sistem akuntansi pemerintahan di indonesia adalah menggunakan basis
akrual. Hal ini dengan jelas dinyatakan pada pasal 4 ayat 1 dan 2 PP
71/2010 yang berbunyi :
“Pemerintah menerapkan SAP Berbasis Akrual”
“SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan
dalam bentuk PSAP”
Lebih lanjut pada ayat 4 dinyatakan bahwa :
“PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tercantum dalam lampiran
I yang tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini”
Lampiran I yang dimaksud adalah SAP Berbasis Akrual yang terdiri
atas kerangka Konseptual dan PSAP yang ada pada Lampiran I PP Nomor
71 tahun 2010 adalah PSAP Berbasis Akrual. Penerapan basis akrual,
terutama untuk pengakuan pendapatan dan belanja, sudah merupakan
keharusan dan segera dilaksanakan karena telah menjadi ketentuan dalam
Pasal 36 ayat I UU Nomor 17 tahun 2003 dan pasal 70 ayat 2 UU Nomor 1
Tahun 2004. Bahkan, kedua undang-undang tersebut menentukan paling
lambat tahun 2008 akuntansi berbasis akrual sudah harus diterapkan, tetapi
baru ditahun 2010 KSAP selaku komite independen yang ditunjuk oleh
undang-undang untuk menyusun SAP, berhasil menerbitakan SAP
Berbasis Akrual. Itupun, entitas pemerintahan masih diperkenankan
menggunakan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual (sebagamana pada PP
Nomor 24 Tahun 2005) paling lama selama empat tahun sejak peraturan
pemerintah tersebut diundangkan bagi yang belum siap menerapkan SAP
Berbasis Akrual tersebut.
Bagaimana penerapan basis akrual menurut PP Nomor 71 Tahun 2010.
Pertanyaan ini meupakan pertanyaan yang mendasar,karena apakah
dengan adanya peraturan pemerintah tersebut dapat dikatakan bahwa
Indonesia telah menerapkan basis akrual? Tentunya hal ini tidak cukup
hanya dengan pertanyaan pada Pasal 4 diatas. Apalagi, pada pasal
sebelumnya, yaitu Pasal 1 ayat 8 dinyatakan:
“SAP Berbasis Akrual alah SAP yang mengakui pendapatan, beban,
aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial bebasis akrual serta
mengakui pendapatan, belanja dan pembiyayaan dalam pelaporan
pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam
APBNIAPBD”.
Pertanyaan di atas mengesankan adanya dua pelakuan terhadap
pengakuan pendapatan, serta adanya dua jenis pelaporan yang dihasilkan
dengan pelakuan yang berbeda pula. Oleh karena itu, perlu melihat lebih
jauh isi dari Kerangka Konseptual dan PSAP Berbasis Akrual tersebut.
Pada Kerangka Konseptual paragraf 42 dinyatakan :
“Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah
adalah basis akrual, untuk pengukuran pendapatan LO (maksudnya
adalah Laporan Operasional), beban, aset, kewajiban dan ekuitas”
Dari pertanyaan tersebut jelas bahwa basis akrual diterapkan untuk
akun tertentu saja, yaitu untuk pendapatan LO, beban, aset, kewajiban dan
ekuitas. Pendapat ini dipertegas dengan persyaratan pada paragraf 44
berikut.
“ Dalam hal anggaran disusun dan dilaksanakan berdasar basis kas,
maka LRA disusun berdasarkan basis kas Namun demikian bilamana
anggaran disusun dan dilaksanakan berdasarkan basis akrual, maka LRA
disusun berdasarkan basis akrual”.
Bahkan, dimungkinkan diterapkan dua basis akuntansi, basis kas dan
akrual, secara bersama-sama transaksi pendapatan, yaitu pendapatan
terkait dengan operasional menggunakan basis akrual dan pendapatan
terkait dengan pelaksanaan anggaran menggunakan basis kas, bukan basis
akrual penuh. Penerapan basis akrual penuh dapat dilakukan apabila
pelaksanaan anggaran juga menggunakan basis akrual. Namun, apakah
penganggaran berbasis akrual juga diatur dalam SAP tersebut? Apabila
penganggaran berbasis akrual diatur, maka SAP tersebut dapat dikatakan
berbasis akrual.
Namun kenyataannya hanya laporan realisasi anggaran (LRA) berbasis
kas yang diatur, yaitu di PSAP Nomor 02,dan tidak ada PSAP yang
mengatur LRA berbasis akrual. Hal ini berarti SAP berbasis akrual,
menurut pendapat penulis, basis akuntansi yang dihunakan bukanlah basis
akrual (penuh), tetapi tepatnya adalah basis akuntansi akrual modifikasian,
yaitu mencatat transaksi dengan menggunakan basis kas untuk transaksi-
transaksi tertentu dan menggunakan basis akrual untuk sebagian besar
transaksi (Halim dan Kasufi,2012). Karakteristik akrual modifikasian
terdapat pada SAP berbasis akrual tersebut, karena sebagian besar
transaksi, yaitu untuk laporan realisasi anggaran dan laporan perubahan
saldo anggaran lebih menggunakan basis kas. Penggunaan basis akrual
modifikasian juga disarankan oleh Mardiasmo (2009). Jadi, sebenarnya
penerapan PP Nomor 71 Tahun 2010 (SAP berbasis akrual) tidak dapat
dikatakan telah melaksanakan amanah dari pasal 36 ayat 1 UU Nomor 17
Tahun 2003 dan/atau pasal 70 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2004, yaitu
menerapkan akuntansi berbasis akrual secara penuh.
Penerapan akuntansi secara penuh pada entitas pemerintahan bukanlah
perkara yang mudah. Untuk menerapkannya perlu beberapa kondisi yang
hanya karena telah diamanatkan dalam undang-undang atau merupakan
keharusan akibat adanya dorongan dari lembaga-lembaga internasional
seperti IMF dan Bank dunia, tanpa mempertimbangkan kondisi dan
kebutuhan organisasi pemerintahan di Indonesia, sehingga biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari pada manfaat yang diperoleh. Kendala-
kendala yang dihadapi dan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi untuk
menerapkan akuntansi berbasis akrual akan dibahas pada sesi selanjutnya.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai