Anda di halaman 1dari 36

LEUKOARAIOSIS

A. Pendahuluan

Leukoaraiosis pertama kali dideskripsikan oleh Hachinski 30 tahun yang lalu,


namun hal ini tetap menjadi topik penelitian yang penting dan dipelajari secara luas,
terutama mengenai etiologi dan korelasi klinisnya. Istilah leukoaraiosis mengacu pada
kelainan neuroimaging substansi putih, yang muncul sebagai area hipodens atau
hiperintens, yang terletak terutama di area periventrikular, dan ditemukan terutama pada
orang tua. Istilah ini awalnya diciptakan oleh Hachinski pada tahun 1987 (leuko - putih,
araiosis - menipiskan), dan mengacu pada kelainan iskemik yang diamati pada substansi
putih otak.1,2

Leukoaraiosis merupakan fenotip yang paling sering ditemukan pada penyakit


pembuluh darah kecil di serebri. Hal ini signifikan mengingat tingginya prevalensi (10-
27% pada subyek sehat berusia 50 hingga 75 tahun) dan dampak neuropsikiatri, seperti
gangguan kognitif, tingginya risiko strok iskemik, dan kematian. Hal ini juga dikaitkan
dengan pertambahan usia dan faktor risiko vaskuler, seperti hipertensi arteri. Meskipun
telah banyak usaha dilakukan, patogenesis leukoaraiosis masih belum dapat dipahami.
Hipotesis iskemik dan malfungsi sawar darah otak saling berlawanan satu sama lain.
Sehingga fokus dari patogenesis beralih menjadi disfungsi endotel, yang mungkin dapat
menjelaskan kedua mekanisme tersebut. Faktor risiko vaskuler yang hampir ditemukan
pada semua pasien leukoaraiosis, memiliki efek merusak pada endotel. Patogenesis
leukoaraiosis menunjukkan hubungan antara berbagai faktor. Disfungsi endotel sepertinya
inti dari patogenesis leukoaraiosis, yang menyebabkan iskemik kronik pada substansia
alba serebri dan disfungsi sawar darah otak. Rentannya genetik terhadap efek merusak
dari faktor risiko vaskuler pada fungsi endotel berperan penting disamping adanya dan
meluasnya faktor risiko vaskuler. Disfungsi endotel dapat menjadi kejadian pertama pada
patogenesis leukoaraiosis. Mengingat beban klinis dan sosio ekonomi dari leukoaraiosis,
pendekatan intervensi dilakukan dengan tujuan memperlambat atau menghentikan
perkembangan penyakit. Pada sudut pandang peneliti, intervensi harus fokus pada
penanganan faktor risiko vaskuler dan strategi untuk meningkatkan fungsi endotel pada
pasien dengan leukoaraiosis.1.2

1
White matter atau disebut juga dengan substansia alba merupakan bagian dari otak
yang berwarna putih yang merupakan bagian penghantar otak dan medula spinalis serta
tersusun sebagian besar oleh serat-serat bermielin. Penyakit yang menyerang substansia
alba mempunyai spektrum etiologi yang luas. Computed tomography (CT) maupun
magnetic resonance imaging (MRI) memberikan spesifitas pemeriksaan yang memuaskan
terhadap penyakit tersebut. Langkah pertama dalam proses membuat diagnosis tersebut
melalui pendekatan secara holistik.1.3

Leukoaraiosis merupakan tampakan patologis dari substansi putih (white matter)


otak, yang telah lama diyakini disebabkan oleh gangguan perfusi di dalam arteriol-arteriol
yang menembus struktur otak bagian dalam. Karena patogenesis yang kompleks dan
relevansi klinis, leukoaraiosis telah diteliti dalam berbagai penelitian. Mengenai implikasi
klinis leukoaraiosis, temuan neuroimaging ini sangat terkait dengan stroke iskemik,
perjalanan penyakit stroke iskemik yang tidak menguntungkan pada fase akut, hasil
jangka panjang yang lebih buruk, dan gangguan kognitif. Perubahan morfologis dalam
substansi putih bagian dalam yang secara kolektif digambarkan sebagai leukoaraiosis,
meskipun tampakannya homogen, mungkin disebabkan oleh berbagai penyebab, seperti
aterosklerosis, faktor neurotoksik termasuk terapi radiasi dan kemoterapi, dan infeksi
saraf. Berdasarkan pengalaman kami dan literatur baru-baru ini, kami menyajikan gejala
leukoaraiosis dan kelainan radiologis yang sama dari substansi putih otak.2,4

B. Defenisi
Leukoaraiosis merupakan istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan
perubahan diffuse dari substansia alba dengan batas yang ireguler pada populasi lanjut
usia dengan faktor risiko vaskuler. Perubahan yang ditemukan adalah gambaran
hipodense pada computed tomographic images (CT) dan hiperintensif pada magnetic
resonance images (MRI) dengan T2-weighted dan low-atenuated inversion recovery
(FLAIR). Gambaran tersebut secara langsung menunjukkan tingginya densitas proton dan
kandungan air pada substansia alba yang terkena. Perubahan susbtansia alba yang terlihat
yaitu bilateral, simetris, difus, dan terbatas pada daerah periventrikel yang meluas ke
tengah semioval.4,6
Penyakit pembuluh darah kecil serebri pertama kali dikenali pada akhir abad ke-19
(Binswanger dan Alzheimer), tetapi penyakit pembuluh darah serebri yang sekarang
sering ditemukan disebabkan oleh neurosifilis. Teknik radiologi yang berkembang pada
tahun 1970 memungkinkan untuk melihat lesi pertama pada substansia alba in vivo.4,6
1
Leukoaraiosis lebih sering ditemukan pada pasien yang telah terkena strok.
Diketahui juga bahwa adanya leukoaraiosis merupakan faktor risiko untuk kejadian
pertama dari strok. Hubungan antara leukoaraiosis dan strok dapat dilihat dari dua jalur
yang berbeda. Strok dan leukoaraiosis memiliki faktor risiko vaskuler yang sama. Pada
leukoaraiosis, terdapat gangguan perfusi kronik pada substansia alba, yang selanjutnya
dapat menyebabkan infark iskemik yang nyata. Terdapat hubungan yang kuat antara
leukoaraiosis dan infark lakunar, yaitu keduanya merupakan spektrum dari penyakit
pembuluh darah kecil serebri dan sering ditemukan pada pasien yang sama. Leukoaraiosis
juga dikaitkan dengan atrofi serebri. Perkembangan leukoaraiosis dikaitkan dengan
berkurangnya massa substansia alba dan substansia nigra; yang selanjutnya menyebabkan
pelebaran ventrikel serebri. Atrofi substansia nigra dapat dianggap sebagai dampak dari
differensiasi, karena hilangnya substansia alba subkortikal yang mengganggu hubungan
kortikosubkortikal.6,8

C. Anatomi

1
Gambar 1. Anatomi Otak

Otak dibagi menjadi empat bagian :

1. Cerebrum (Otak Besar)


Cerebrum adalah otak bagian terbesar dari otak manusia yang disebut
juga Cerebral Cortex, Forebrain (otak depan). Cerebrum membuat manusia memiliki
kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan
kemampuan visual.
Cerebrum terbagi menjadi 4 lobus yaitu :
 Lobus Frontal, berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan
gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas,
kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
 Lobus Parietal, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan,
sentuhan dan rasa sakit.
 Lobus Temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan
informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
 Lobus Occipital, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interprestasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.

1
Cerebrum dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan masing-masing belahan
mempunyai fungsi yang berbeda :
 Otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio,
kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Beberapa
pakar menyebutkan bahwa otak kiri merupakan pusat Intelligence Quotient (IQ).
 Otak kanan berfungsi dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya
sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi.
Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan,
memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis
kegiatan kreatif lainnya.7

2. Cerebellum (Otak Kecil)


Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat
menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.7

3. Brainstem (Batang Otak)


Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang.
Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung,
mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar
manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya.7

1
Batang otak terdiri dari tiga bagian yaitu :

 Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi
dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran. 
 Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan
menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi
otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
 Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama
dengan formasi retikular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.7

4. Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat


kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini
sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak
mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala,
hipocampus dan korteks limbik.

1
 
Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon,
memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang,
metabolisme dan juga memori jangka panjang.7

Gambar 2. Perbedaan posisi substantia abu-abu dan putih pada otak.

D. Histologi

Korteks serebri adalah bagian yang terdiri dari lapisan abu-abu otak yang

memiliki ketebalan bervariasi antara 1,5 – 4,55 mm, terbagi menjadi 6 lapis

(Eroschenko, 2008):

1. Molecular layer (zonal layer); lapisan ini sebagian besar berisi sel

neuron kecil (Cajal•Retzius cells) yang berperan dalam perkembangan

kortikal pola laminar

1
2. External granular layer; lapisan ini berisi banyak sel neuron

bergranular (nonpyramidal cells) dan sedikit sel piramidal yang dendrit

keduanya bercabang di dalam lapisan granular eksternal dan naik ke

atas ke lapisan molekuler

3. External pyramidal layer; lapisan ini mengandung banyak sel

piramidal dimana akson dari masing-masing sel akan muncul dari

dasar sel dan bergerak ke bawah menuju korteks putih, sedangkan

dendritnya akan muncul dari puncak sel dan bergerak menuju lapisan

granular eksterna serta lapisan molekuler dan terbagi menjadi cabang

terminal

4. Internal granular layer; seperti lapisan granular eksternal, lapisan ini

mengandung banyak sel nonpiramidal yang akan menerima impuls

aferen dari neuron thalamus dan membentuk external band of

Baillarger

5. Internal pyramidal layer; lapisan ini memiliki sel piramidal berukuran

sedang dan besar dimana sel terbesarnya disebut Betz cells, sel pada

lapisan ini akan membentuk internal band of Baillarger

6. Multiform layer; lapisan ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu, bagian

dalam, bagian bersel kecil dan bagian luar bersel besar.9

1
Gambar 3. Histologi Korteks Serebri (Eroschenko, 2008).

E. Etiologi

Leukoaraiosis disebabkan oleh hipoksia-iskemia yang berasal dari penyakit

pembuluh darah kecil, biasanya arteri-arteri thalamostriata dan arteri-arteri perforata

lainnya. Namun, terdapat kontroversi mengenai penyebab stenosis atau oklusi pembuluh

darah ini. Melalui penuaan, arteri-arteri kehilangan elastisitas akibat akumulasi plak

aterosklerotik, amiloid, dan hyalinisasi, yang mengarah pada iskemia dan gliosis dengan

konsekuensi gangguan neurotransmisi.9,10

Hipoksia-iskemia diduga berperan dalam etiologi leukoaraiosis; namun, belum

diketahui pasti apakah hal tersebut merupakan penyebab primer atau sekunder, yaitu

apakah penurunan aliran darah merupakan penyebab atau efek dari kerusakan sel saraf.

Hipotesis lain berfokus pada gangguan sawar darah-otak dan disfungsi endotel, dengan

gangguan hemodinamik dan kerusakan sawar darah-otak yang diinterpretasikan sebagai

bagian dari disfungsi endotel. Kerusakan sawar darah-otak ditunjukkan oleh

ditemukannya protein plasma seperti IgG, komplemen, dan fibrinogen pada pasien

dengan leukoaraiosis. Dengan demikian, kerusakan otak diduga disebabkan oleh efek

toksik dari protein darah pada sel-sel saraf.9,10

1
Meskipun patogenesis leukoaraiosis belum sepenuhnya dipahami, namun
prevalensinya diperkirakan meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada orang-
orang yang berusia di atas 60 tahun. Faktor risiko lain termasuk jenis kelamin wanita,
hipertensi, penyakit jantung, diabetes tipe 2, obesitas abdominal, hiperlipidemia,
hiperhomosisteinemia, stenosis karotis - pasien dengan stroke dan leukoaraiosis memiliki
peningkatan ketebalan kompleks intima-media, riwayat stroke, penggunaan tembakau,
penyalahgunaan alkohol, dan penyakit ginjal kronis. Terlebih lagi, beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa usia dan ketebalan intima-media lebih kuat terkait dengan
leukoaraiosis dibandingkan faktor risiko kardiovaskular lainnya, dan keparahan
aterosklerosis karotis menunjukkan keparahan lesi substansi putih. Leukoaraiosis
dikaitkan dengan stroke - terutama stroke lakunar, demensia vaskular, dan penyakit
Alzheimer. Peningkatan kekakuan arteri-arteri kecil pada pasien dengan penyakit
Alzheimer atau demensia vaskular menunjukkan hubungan sebab akibat antara temuan ini
dan penyakit-penyakit tersebut.13

Beberapa penelitian tidak menjelaskan hubungan antara leukoaraiosis dan faktor


risiko vaskuler, tetapi kondisi ini lebih sering ditemukan pada pasien dengan riwayat strok
dan gangguan kognitif vaskuler. Faktor risiko yang paling signifikan untuk leukoaraiosis
adalah penyakit serebrovaskuler dan kardiovaskuler. Prevalensi leukoaraiosis meningkat
seiring pertambahan usia. Terdapat hubungan antara hipertensi arteri dengan terapi
antihipertensi. Faktor risiko yang paling signifikan untuk leukoaraiosis adalah usia lanjut.
Meskipun leukoaraiosis dianggap sebagai kondisi patologis, tetapi kondisi ini juga dapat
ditemukan pada proses penuaan normal. Belum jelas pada usia berapa leukoaraiosis mulai
terbentuk. Berdasarkan sebagian besar penelitian, perubahan kecil pada substansia alba
dapat diperkirakan pada subjek usia lebih dari 50 atau 65 tahun. Kemungkinan, lebih
sering ditemukan pada ras hitam dibandingkan ras kaukasian karena tingginya prevalensi
hipertensi arteri pada ras hitam, dan kondisi ini biasanya jarang diterapi sehingga
meningkatkan tekanan darah arteri. Ras hitam juga cenderung lebih sering mengalami
dampak buruk dari hipertensi arteri.

Hipertensi arteri merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk


leukoaraiosis. Berdasarkan beberapa penelitian berbeda, kondisi ini ditemukan pada 24.6
hingga 54.9% pasien leukoaraiosis. Baik tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang
tinggi berperan pada kondisi ini. Tidak ada nilai batas untuk tekanan darah arteri dimana
1
leukoaraiosis mulai muncul.. Data yang dipublikasikan dari Amerika Serikat
menunjukkan bahwa tekanan nadi yang tinggi berpengaruh pada perkembangan gangguan
kognitif pada orang usia lebih dari 45 tahun.9,10

Diabetes melitus juga terlibat terutama pada pembentukan leukoaraisis


periventrikel. Tingginya kadar gula darah puasa berhubungan dengan leukoaraiosis.
Tingginya kadar insulin ditemukan pada pasien dengan DM dan leukoaraiosis dan
dianggap bahwa resistensi insulin dapat menjadi faktor risiko terjadinya leukoaraiosis.
Tetapi mekanisme patofisiologi dari kondisi ini masih belum jelas. Beberapa penelitian
belum menemukan hubungan yang signifikan antara leukoaraiosis dan DM. dislipidemia
(terutama peningkatan kadar LDL) merupakan faktor risiko penting untuk aterosklerosis
dalam pembuluh darah besar, sedangkan pengaruhnya pada kejadian leukoaraiosis masih
belum diketahui. Pada beberapa penelitian, nilai HDL yang rendah dan
hipertrigliseridemia dikaitkan dengan tingginya risiko kejadian leukoaraiosis. Merokok
berhubungan dengan leukoaraiosis pada beberapa penelitian saja.9,11

F. Patofisiologi
Aliran darah cerebri dan autoregulasi
Otak merupakan organ metabolik dengan autoregulasi otonom, yang
memungkinkan aliran darah serebral yang konstan meskipun terdapat fluktuasi pada
tekanan arteri rata-rata (MAP). Autoregulasi serebri dipengaruhi oleh arteri kecil serebri
dan arterior. Autoregulasi serebri terbagi menjadi mekanoregulasi dan kemoregulasi.
Mekanoregulasi bergantung pada tekanan transmural dan vasodilatasi endotel, sedangkan
kemoregulasi bergantung pada kadar CO2 serum. Vasodilatasi endotel pada dinding
vaskuler serebri memiliki amplitudo yang lebih besar dibandingkan daerah lain.
Mekanoregulasi merupakan mekanisme regulasi utama untuk aliran darah otak.
Kemoregulasi berperan pada aliran darah otak terutama saat kelainan metabolik dan, tidak
seperti mekanoregulasi, tidak dipengaruhi oleh fluktuasi MAP. Kedua mekanisme
autoregulasi ini berfungsi tanpa saling memengaruhi. Meskipun mekanisme selulernya
masih belum jelas, NO sepertinya berperan penting, karena NO dibutuhkan untuk
mempertahankan kemoregulasi aliran darah otak. Mekanisme regulasi sebagian besar
vaskuler dipertahankan oleh fungsi endotel. Gangguan fungsi endotel otak menyebabkan
berkurangnya pelepasan NO, sehingga memengaruhi relaksasi sel otot polos vaskuler
pada arteri kecil. Penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa
mekanoregulasi tidak menghilang meskipun terjadi penuaan dan adanya penyakit lain
1
yang memengaruhi endotel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemoregulasi aliran
darah otak bergantung pada integritas endotel. Kemoregulasi yang melemah ditemukan
pada pasien dengan disfungsi endotel serebri.10

Deregulasi tekanan darah arteri

Diketahui bahwa semua pasien leukoaraiosis yang simptomatik tidak memiliki


hipertensi arteri. Deregulasi tekanan darah arteri sangat kompleks dan mungkin berperan
dalam patogenesis leukoaraiosis. Pasien dengan leukoaraiosis memiliki tekanan darah
arteri yang lebih tinggi dan ritme sikardian tekanan darah arteri yang berbeda dengan
fluktuasi harian yang besar atau hilangnya penurunan tekanan darah arteri nokturnal yang
fisiologis. Hipotensi yang sering terjadi pada pasien leukoaraiosis yang simptomatik
menunjukkan gangguan autoregulasi serebral pada pasien dengan hipertensi arteri dan
tingginya risiko leukoaraiosis periventrikel. Mekanisme autoregulasi serebri
mempertahankan aliran darah otak yang konstan dengan interval MAP antara 60 dan 150
mmHg meskipun terdapat fluktuasi tekanan darah sistemik. Tidak seperti bagian tubuh
lain, arteri intrakranial dan ekstrakranial besar, bagian dari arteri karotis, berperan penting
pada regulasi resistensi vaskuler pada sirkulasi serebral. Respon fisiologis dari pembuluh
darah kecil otak berperan penting dalam autoregulasi. Responnya terhadap tekanan darah
arteri bergantung pada diameter pembuluh darah. Pada pasien dengan hipertensi arteri dan
arteriosklerotik, turunnya tekanan darah arteri menyebabkan aritmia jantung dan
gangguan autoregulasi dapat menyebabkan turunnya aliran darah otak akibat
ketidakmampuan pembuluh darah sklerotik untuk dilatasi. Pada pasien dengan hipertensi
arteri, batas autoregulasi bergeser ke atas. Turunnya tekanan darah arteri yang cepat pada
batas fisiologi dapat menyebabkan turunnya aliran darah otak di substansia alba pasien
dengan hipertensi arteri kronik. Pada kondisi ini, substansia alba pasien dengan hipertensi
arteri menjadi iskemik pada tekanan darah arteri yang seharusnya dianggap normal pada
normotensi. Selain itu, respon autoregulasi pembuluh darah di substansia alba pada hewan
coba kurang efisien dibandingkan dengan pembuluh darah substansia nigra, sehingga
pada tekanan darah arteri yang rendah, turunnya aliran darah serebri lebih jelas pada
substansia alba dibandingkan dengan substansia nigra.10

Ciri patologis dari leukoaraiosis


Edema, iskemik, dan perubahan degenerative pada substansia alba subkortikal
merupakan gambaran patologis utama dari leukoaraiosis yang terlihat pada CT atau MRI.
1
Iskemik yang terlibat pada pembentukan leukoaraiosis merupakan kejadian sementara
yang ditandai dengan turunnya aliran darah di daerah tersebut yang menyebabkan infark
inkomplit, skenario ini dapat diuji pada model eksperimental. Hipoperfusi serebral kronik
menyebabkan penipisan dan aktivasi glial di substansia alba. Vakuolisasi substansia alba
merupakan dampak dari ruang yang terbentuk dari pemisahan selubung myelin internal
dari axolemma dan juga dari peningkatan ruang ekstraseluler dan pembengkakan prosesus
astrositik. Semua perubahan tersebut muncul sebelum kerusakan saraf yang ireversibel
dengan eosinofilia yang menunjukkan bahwa kerusakan awal dari substansia alba tidak
bergantung pada kerusakan perikaryon neuronal. Pada tikus dengan oklusi arteri karotis
interna bilateral, dua jenis perubahan substansia alba yang terlihat yaitu astrogliosis
reaktif dan penipisan substansia alba. Sangat penting bahwa peningkatan akumulasi cairan
ekstraseluler dan astrogliosis merupakan dua perubahan patofisiologi utama pada daerah
leukoaraiosis yang terlihat pada CT dan MRI.10,11

Leukoaraiosis pada daerah yang berbeda di substansia alba serebri


Perkembangan leukoaraiosis disertai dengan pola yang mirip. Pada awalnya, lesi
periventrikel pada puncak kornu ventrikel lateral terjadi (capping) dan berkembang
hingga di sekitar ventrikel. Perubahan leukoaraiosis pada substansia alba bagian dalam
awalnya terlihat di lobus frontal, kemudian lobus paritooksipital, dan lebih jarnag pada
batang otak dan ganglia basalis. Kondisi ini jarang mengenai lobus temporal, tetapi
biasanya terlibat pada CADASIL. Pada awalnya, perubahan yang terlihat berupa
punctiform, tunggal, tetapi selanjutnya akan bergabung dan mengenai semua daerah.
Mekanisme terjadinya leukoaraiosis bergantung pada sirkulasi darah lokal pada daerah
substansia alba subkortikal.10,11

Hipotesis iskemik
Hubungan epidemiologi antara leukoaraiosis dan berbagai penyakit
serebrovaskuler terutama karena iskemik berperan pada kemunculan dan perkembangan
leukoaraiosis. Penuaan, hipertensi arteri kronik dan DM menyebabkan perubahan yang
serupa pada arteri dan arteriol penetran kecil pada substansia alba. Perubahan ini termasuk
pergantian sel otot polos dengan bahan fibrohyalinous disertai dengan penebalan dinding
pembuluh darah dan penyempitan lumen pembuluh darah (arteriolosklerosis).
Arteriolosklerosis yang ditemukan pada hampir semua area leukoaraiosis mungkin
merupakan salah satu alasan untuk gangguan aliran darah pada substansia alba yang

1
menyebabkan nekrosis dan kavitasi pada area iskemik lokal – infark lakunar – atau
penipisan difus substansia alba. Pada leukoaraiosis berkurangnya aliran darah ke
substansia alba juga ditemukan. Beberapa peneliti menjelaskan perubahan aliran darah
otak pada semua bagian otak atau hanya pada substansia nigra pasien dengan
leukoaraiosis. Hanya beberapa penelitian yang membandingkan aliran darah otak pada
area dengan dan tanpa leukoaraiosis. Salah satunya menemukan penurunan aliran darah
otak pada daerah leukoaraiosis dibandingkan dengan substansia alba normal.
Berkurangnya aliran darah pada pasien non-demensia dengan leukoaraiosis ditemukan di
substansia alba daerah frontal dan parietal tetapi tidak di lobus oksipital. Hal ini
menunjukkan fakta bahwa patogenesis leukoaraiosis mungkin bergantung pada lokasi
topografiknya dalam otak. Pada pasien dengan leukoaraiosis lokal, perubahan aliran darah
otak tidak terlihat; mungkin karena fakta bahwa patogenesis dari fase awal leukoaraiosis
berbeda dengan lesi difus yang meluas. Aliran darah otak dalam substansia alba yang
dinilai dengan perfusi MRI menurun pada daerah dimana tidak terdapat perubahan pada
T2-sequences. Sehingga secara keseluruhan kondisi ini lebih kompleks dari dugaan
sebelumnya. Dengan menggunakan teknik radiologi baru, perubahan yang signifikan pada
integritas substansia alba ditemukan pada daerah yang terlihat normal pada T2-weighted
sequences. Substansia alba dengan struktur yang normal tidak berarti berfungsi dengan
normal, sehingga mungkin aliran darah otak berkurang secara sekunder.10,11

Hipotesis kebocoran sawar darah otak


Hipotesis kedua menjelaskan bahwa malfungsi sawar darah otak menyebabkan
kerusakan pada substansia alba akibat efek toksik dari protein serum. Kelainan pada
endotelium menyebabkan protein serum masuk ke dalam dinding pembuluh darah yang
menyebabkan pembengkakan dan selanjutnya menyebabkan degenerasi hyaline dan
fibrosis. Hal ini selanjutnya menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah,
penyempitan lumen pembuluh darah, berkurangnya aliran darah dan iskemik kronik pada
substansia alba. Disfungsi endotel menyebabkan dekomposisi sawar darah otak.
Kandungan plasma yang harusnya tidak dapat menembus sawar darah otak akhirnya dapat
lewat dan masuk ke dalam intestisial serebri dan parenkim otak, merusak neuron, dan sel
glial. Daerah ini selanjutnya bermanifestasi sebagai leukoaraiosis pada pemeriksaan
CT/MRI dan pada spesimen patologis. Pada area leukoaraiosis, substansia alba dipenuhi
protein serum yang ekstravasasi seperti IgG, komplemen, dan fibrinogen. Hal ini
menunjukkan bahwa substansia alba yang rusah merupakan tempat kerusakan sawar

1
darah otak. Gambaran MRI dengan medium kontras menunjukkan berkurangnya
integritas sawar darah otak yang berkaitan dengan fase ekspresi leukoaraiosis.
Permeabilitas sawar darah otak meningkat pada area yang bahkan tidak menunjukkan
leukoaraiosis pada gambaran radiologi. Pada penelitian longitudinal, area leukoaraiosis
yang baru ditemukan pada daerah dengan perfusi darah yang abnormal atau perubahan
permeabilitas sawar darah otak.11

G. Klasifikasi
1. Leukoaraiosis jukstaventrikular
Jenis leukoaraiosis ini berjarak 3 mm dari ventrikel lateral dan bermula dari
ventrikel dimana terdapat banyak suplai darah, sehingga kondisi ini tidak diawali oleh
iskemik, tetapi diawali demyelinasi dengan gliosis subependimal dan kerusakan
ependim, dan yang lebih jarang terjadi yaitu ependymitis granular atau kongesti vena
akibat kolagenosis vena. Penelitian mendukung hipotesis dari “kebocoran” dinding
ventrikel. Jenis leukoaraiosis yang serupa di sekitar cornu ventrikel lateral ditemukan
pada pasien dengan hidrosefalus.12

2. Leukoaraiosis periventrikel
Cabang ventrikulofugal yang menyuplai bagian dari ganglia basalis, kapsula
interna, dan thalamus bercabang dari arteri dari sirkulus Willis. Cabang ventrikulofugal
berjalan menuju arteri penetran sentripetal dari sistem pial tetapi jarang membentuk
anastomosis dengan pembuluh darah tersebut. Leukoaraiosis yang berjarak lebih dari 3
mm dari ventrikel lateral biasanya terjadi akibat iskemik dan muncul sebagai dampak
dari infark mikrokistik dan penipisan myelin lokal. Substansia alba periventrikel yang
berjarak 3-13 mm dari ventrikel lateral merupakan daerah pembatas antara suplai darah
ventrikel dan kortikal, yang cenderung mengalami iskemik karena menurunnya aliran
darah otak baik sistemik maupun lokal. Substansia alba periventrikel cenderung
mengalami iskemik pada saat penurunan moderat dari aliran darah otak akibat
kurangnya anastomosis antara cabang dari arteri penetran medullai longus.
Leukoaraiosis periventrikel ini biasanya berhubungan dengan penyakit pada pembuluh
darah besar, aterosklerosis pada aorta atau arteri karotis interna, merokok,
hiperkolesterolemia, infarks miokardium, atau penyakit arteri perifer.12

3. Leukoaraiosis pada substansia alba profunda dan leukoaraiosis jukstakortikal

1
Substansia alba profunda berjarak lebih 13 mm dari ventrikel lateral disuplai oleh
arteri medullari yang bercabang tanpa kolateral dari cabang kortikal arteri serebri media
dan merupakan bagian dari penyakit pembuluh darah kecil serebri yang berhubungan
dengan fibrohyalinosis dan arteriolosklerosis akibat hiperhomosisteinemia dan
hipertensi arteri. Infark lakunar lebih sering ditemukan pada area ini dibandingkan
dengan area lain. Substansia alba yang terletak tepat di bawah korteks serebri dan
berjarak 3 hingga 4 mm (serabut U) disuplai oleh medullari serta arterior kortikomeduler
dan arteri yang terlibat pada jukstakortikal leukoaraiosis. Mekanisme terbentuknya
kondisi ini cukup beragam (demyelinasi) dan tidak selalu berasal dari iskemik. Pada
leukoaraiosis iskemik, serabut U akan menyebar.12

4. Gejala Klinik

Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara leukoaraiosis dan depresi


atau gangguan mood, serta kecacatan pada orang tua. Gambaran klinis pasien dengan
leukoaraiosis cukup beragam dan diantaranya termasuk defisit motorik, sering jatuh,
parkinsonisme, dan sindrom pseudobulbar.
Telah ditunjukkan bahwa sebagian besar pasien dengan defisit neurologis dan
leukoaraiosis juga memiliki gangguan kognitif. Leukoaraiosis juga dianggap sebagai
faktor risiko kematian yang independen pada orang dengan gangguan pembuluh darah.
Demikian pula, leukoaraiosis meningkatkan risiko stroke dan infark miokard, dan
memprediksi komplikasi stroke, seperti epilepsi, pneumonia pada fase akut stroke, dan
trauma akibat jatuh yang disebabkan oleh defisit motorik. Adanya leukoaraiosis tidak
mempengaruhi tatalaksana pasien setelah stroke atau serangan iskemik transien (TIA);
namun, perawatan yang memadai harus diberikan ketika memberikan antikoagulan oral
sebagai profilaksis sekunder dari stroke iskemik pada pasien dengan leukoaraiosis karena
adanya peningkatan risiko perdarahan intrakranial. Terlebih lagi, hipertensi merupakan
faktor risiko penyebab leukoaraiosis dan perdarahan intraserebral. Risiko perdarahan
tidak dapat diperkirakan berdasarkan lokasi atau tingkat keparahan leukoaraiosis, namun
luasnya leukoaraiosis mungkin berkorelasi dengan risiko perdarahan.13

5. Pemeriksaan Radiologi

Istilah leukoaraiosis telah diperkenalkan berdasarkan pencitraan computed


tomography (CT), namun lesi leukoaraiosis dapat divisualisasikan dengan magnetic

1
resonance imaging (MRI), terutama dengan SE T2, dan FLAIR. Biasanya, lesi
leukoaraiotik multifokal atau difus, dengan batas yang tidak jelas, paling sering terletak di
dekat ventrikel serebral atau di dalam pusat semioval dan tampak sebagai area hipodens
dibandingkan dengan substansi putih normal pada pencitraan CT. Pada MRI, lesi ini
tampak hiperintens pada pencitraan T2 dan FLAIR (Gambar 1 dan 2).12,13,14
Berdasarkan neuroimaging, keparahan leukoaraiosis dapat dinilai menggunakan
berbagai skala, tergantung pada modalitas pencitraan yang digunakan, yaitu CT atau MRI.
Lesi leukoaraiotik dapat ditemukan lebih awal pada MRI, oleh karena itu lesi ini tidak
selalu muncul bersamaan dengan defisit neurologis. Sebaliknya, korelasi antara tampakan
radiologis dan defisit neurologis dapat diamati pada kasus CT karena lesi yang ditemukan
pada CT menunjukkan tingkat keparahan neurodegenerasi yang lebih besar.13,14
Berbagai skala CT yang digunakan untuk menilai keparahan leukoaraiosis
diantaranya adalah skala yang dikembangkan oleh Erkinjunttiet dkk. pada tahun 1987,
Rezek dkk., serta skala yang diterbitkan pada 1991-1995 oleh Blennow dkk., Charletta
dkk., dan Lopez dkk. Namun, skala yang dikembangkan pada tahun 1992 oleh van
Swieten dkk. telah paling sering digunakan baik untuk CT maupun MRI. Dalam skala ini,
bagian "anterior" dan "posterior" dari setiap irisan otak dievaluasi secara terpisah pada
tingkat pleksus vaskular dari cornu ventrikel posterior, bagian tengah ventrikel lateral, dan
korona radiata, sesuai dengan skor berikut ini: 0 - tidak ada lesi, 1 - keterlibatan parsial
dari substansi putih, dan 2 - keterlibatan yang luas dari area subkortikal; skor maksimum
adalah 4 untuk bagian "anterior" dan "posterior". Melalui kemajuan MRI, beberapa skala
untuk modalitas ini telah diusulkan untuk menilai tingkat keparahan keterlibatan substansi
putih, mulai dari skala dikotomi sederhana hingga berbagai skala terperinci yang diajukan
oleh Awad dkk., Gerard dan Weisberg, Figiel dkk., Schmidt dkk., Scheltens dkk., Breteler
dkk., Victoroff dkk., Manolio dkk., dan Fukuda dkk. Perlu dicatat bahwa skala yang
dikembangkan oleh Fazekas dkk. pada tahun 1987 telah paling sering digunakan dalam
praktik klinis. Skala empat-poin ini menilai keterlibatan substansi putih periventrikular
(PVWM) dan keterlibatan substansi putih bagian dalam (DWM). Sistem penilaian untuk
substansi periventrikular adalah sebagai berikut: 0 - tidak ada lesi, 1 - "caps" atau lapisan
tipis-pensil, 2 - "halo" halus, dan 3 - sinyal periventrikular tidak beraturan yang meluas ke
substansi putih dalam. Sistem penilaian untuk substansi putih dalam adalah sebagai
berikut: 0 - tidak ada lesi, 1 - fokus punctata, 2 - konfluen awal, dan 3 - area konfluen
besar. Lesi substansi putih lanjutan, dengan skor 3, secara morfologis mirip dengan
leukoaraiosis.13,14

1
Sulit untuk memastikan skala mana yang paling tepat diantara berbagai skala yang
telah dijelaskan di atas. Beberapa dari skala tersebut menekankan ukuran dan jumlah lesi,
sedangkan skala yang lain menilai persentase keterlibatan substansi putih atau lesi seperti
halo dan pensil. Sebagian besar skala, setidaknya sampai derajat tertentu, merujuk ke area
anatomi di mana lesi leukoaraiotik cenderung terjadi. Karena resolusi jaringan yang lebih
baik, MRI memungkinkan analisis lesi leukoaraiotik yang lebih rinci. Mengenai skala
sederhana, evaluasi keparahan leukoaraiosis bisa menjadi sulit karena sifat subjektif dari
penilaian dan pengalaman penilai. Di sisi lain, menggunakan skala yang kompleks dan
memakan waktu mungkin tidak layak dalam pengaturan klinis yang sibuk. Berdasarkan
ulasan literatur yang relevan, kami menemukan bahwa skala van Swieten untuk CT dan
Fazekas untuk MRI menjadi yang paling sering digunakan dalam praktek klinis.13,14

Gambar 4. Pencitraan computed tomography otak pada irisan sistem ventrikel masing-masing
menunjukkan tingkat keparahan leukoaraiosis. A) Derajat 1 pada skala oleh van Swieten - lesi hipodens
kecil dapat terlihat di sekitar cornu anterior ventrikel serebral lateral. B) Derajat 2 pada skala oleh van
Swieten - lesi hipodens konfluen yang difus dapat terlihat di sekitar cornu posterior ventrikel serebral lateral

1
yang meluas ke korteks serebral. C) Derajat 3 pada skala oleh van Swieten - lesi yang meluas ke area
subkortikal terlihat di cornu posterior ventrikel lateral; lesi leukoaraiosis kurang jelas di bagian anterior
otak. D) Derajat 4 pada skala oleh van Swieten - lesi hipodens difus tampak di sekitar ventrikel dan di pusat
semioval

Gambar 5. MRI, T2, dan FLAIR otak pada irisan sistem ventrikel menunjukkan leukoaraiosis. A-B) Lesi
hiperintens ringan tampak sebagai fokus kecil yang tersebar dan buram – derajat 1 menurut Fazekas. C-D)
Lesi moderat tampak sebagai fokus konfluen dan tersebar dari intensitas sinyal abnormal di sekitar ventrikel
dan di area subkortikal – derajat 2 menurut Fazekas. E-F) Lesi leukoaraiotik yang berat tampak sebagai
fokus hiperintens yang konfluen dan tersebar – derajat 3 menurut Fazekas

6. Diagnosis Banding

1
Lesi yang mirip dengan leukoaraiosis dapat ditemukan pada pasien dewasa dengan
penyakit lain, seperti penyakit Alzheimer, demensia vaskular, angiopati amiloid,
arteriopati dominan autosomal serebral dengan infark subkortikal dan leukoensefalopati
(CADASIL), penyakit Binswanger, ensefalopati hipertensi, setelah kemoterapi, penyakit
jaringan lunak, multiple sclerosis, HIV, dan ensefalopati Hashimoto.
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia. Dimana
demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh
penyakit otak,yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien dengan
demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti
berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis dan visuospasial.
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara
epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58
tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih
dari 58 tahun disebut sebagai late onset.
Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara
progresif yang mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi penurunan ingatan jangka
pendek atau kemampuan belajar atau menyimpan informasi, penurunan kemampuan
berbahasa, kesulitan menemukan kata atau kesulitan memahami pertanyaan atau petunjuk,
ketidakmampuan menggambar atau mengenal gambar dua-tiga dimensi, dan lain-lain.

Magnetic resonance imaging: (a) axial T2-weighted and (b) and coronal T1weighted
images of a patient with severe frontotemporal dementia showing severe bilateral

1
frontotemporal atrophy with moderate hippocampal atrophy. The distinct clinical features
of the severe stage of frontotemporal dementia and dominant frontotemporal atrophy,
rather than parietal atrophy, differentiate frontotemporal dementia from Alzheimer’s
disease despite coexisting hippocampal atrophy in severe frontotemporal dementia.

2. Demensia Vaskuler

Kriteria Diagnosis untuk Demensia Vaskuler

A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang bermanifestasi oleh baik


1. Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru
dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2. Satu atau lebih gangguan kognitif berikut ;
a. Afasia ( gangguan bahasa)
b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik
walaupun fungsi motorik utuh)
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik utuh
d. Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan dan abstrak)
B. Defisit dalam kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan
gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu
penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya
C. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya; peningkatan refleks tendon dalam,
respon ekstensor palntar, palsi pseudobulbar, kelainan gaya berjalan, kelemahan pada
satu ekstremitas) atau atau tanda-tanda laboratorium adalah indikatif untuk penyakit
serebrovaskuler (misalnya infark multipel yang mengenai korteks dan subtannsia
putih dibawahnya) yang dianggap berhubungan secara etiologi dengan gangguan
D. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium

1
Vascular dementia is a heterogeneous group of disorders that can be caused by large-
vessel infarcts in strategic locations (mostly in the dominant hemisphere), by extensive
small-vessel disease and/or by bilateral thalamic lesions. Large-vessel vascular disease
(LVD), small-vessel vascular disease (SVD), thalamic disease (THAL)

3. Angiopati Amiloid
Cerebral amiloid angiopati (CAA) terdiri dari pengendapan amyloid di media dan
adventitia pembuluh darah kecil, terutama di meninges, korteks, dan kortikal. Insiden
pada otopsi dari deposit amiloid pembuluh darah di otak berhubungan dengan usia
populasi yang diteliti; angka 12 persen dirujuk pada pasien yang lebih tua dari 85 tahun
(perubahan yang sama hadir di lebih dari 25 persen dari individu dengan penyakit
Alzheimer). Hasil deposit ini dapat berupa beberapa perdarahan besar atau banyak
perdarahn kecil pada berbagai usia, terutama diendapkan pada hemisfer serebri. Ada
kecenderungan untuk perdarahan di bagian posterior otak1. Penegakan diagnosa CAA
diIndonesia masih sangat jarang, dikarenakan penggunaan MRI masih terbatas.
Menurut konsensus yang dicapai pada pertemuan Komite Nomenklatur dari
International Society of Amiloidosis, diadakan di Woods Hole tahun 2006, amiloid
didefinisikan sebagai material yang terdeposit secara in vivo , yang dapat dibedakan dari
non amyloid oleh karakteristik penampilan fibril pada mikroskopis elektron , pola khas
difraksi sinar-X dan reaksi pewarnaan histologis, terutama afinitas untuk pewarna Kongo

1
merah dengan menghasilkan birefringence hijau. Konstituen utama dari deposito amiloid
adalah fibril protein.
Nonenhanced CT membantu untuk mengetahui ada atau tidak gambaran ICH akut
dan memberikan informasi mengenai lokasi, ukuran, bentuk dan perpanjangan ICH. MRI
merupakan yang paling sensitif untuk mendeteksi perdarahan kronis pada kasus yang
diduga CAA. Setelah ICH, hemosiderin tetap disimpan dalam makrofag, menyebabkan
dephasing fokus sinyal magnetik , dan menyebabkan daerah mengandung hemosiderin
tampak gelap pada T2 gradient echo. Efek ini dapat lebih ditingkatkan dengan
menggunakan teknik pencitraan dengan tinggi sensitivitas untuk perbedaan dalam
kerentanan magnetik, seperti T2 tertimbang gradien-gema (GRE) urut..
MRI juga sensitif untuk mengidentifikasi peradangan yang berhubungan dengan
CAA dan perubahan iskemik dan penilaian perkembangan penyakit. Leukoaraiosis, istilah
radiologi yang menggambarkan perubahan pencitraan di materi putih otak yang
mendalam, bukanlah penemuan yang spesifik terlihat pada pasien dengan CAA dan dapat
disebabkan oleh demielinasi, infark atau edema. Pada pencitraan, Leukoaraiosis muncul
sebagai patchy atau konfluen, CT hipodens atau T2 / FLAIR (fluid attenuated inversion
recovery) hyperintense putih kelainan peduli dengan atau tanpa sparing serat U
subkortikal. Leukoaraiosis merupakan akibat sekunder dari iskemik materi putih dan
terlihat berhubungan dengan demensia; sedangkan, perubahan materi putih yang
memperpanjang melibatkan serat U yang umum pada pasien dengan penurunan kognitif
subakut dan berkaitan dengan efek massa karena edema inflamasi. perubahan materi putih
di CAA meningkat dari waktu ke waktu dan merupakan kontributor penting untuk beban
penyakit secara keseluruhan. CAA harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial
luas leukoencephalopathy terutama jika dikaitkan dengan demensia progresif atau
kerusakan kognitif3.

Gambaran perdarahan mikro pada CAA9

1
4. Arteriopati Dominan Autosomal Serebral

Cerebral autosomal dominan arteriopati dengan infark subcortikal dan


leukoencefalopati (CADASIL) adalah kelainan NOTCH3 yang berhubungan dengan
vaskulopati cerebral. Gejalanya hampit sama dengan gambaran yang telah dilaporkan
pada masa lalu termasuk seorang filosofi Friedrich Nietzche. Untuk mendiagnosisnya
tidaklah mudah selama gejala (stroke berulang, sering terjadi lacunar, pada dewasa muda
tanpa faktor resiko kardiovaskular, dementia vaskular, atau migrain berulang) dan temuan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) (infark cerebral, hiperintensitas substansia alba,
tipikal di lobus temporal antrior dan capsula eksterna) terjadi bersama dengan penyakit
lain. Selanjutnya, pola pewarisan genetik tidak selalu ada.

Vaskulopati dari CADASIL meliputi otak, kulit, dan otot dan karena itu, biopsi
pada jaringan tersebut termasul untuk diagnosis intra vitam. Tanda patologik, hanya
muncul sekitar 45% dari kasus, yaitu padat, granular osmiofilik (GOM) dengan noda
gelap pada dinding arteri, teridentifikasi oleh mikroskop elektron (REM).
Imunohistokimia NOTCH3 menjadi pertimbangan alternatif untuk EM pada biopsi kulit.

Diagnosis pasti untuk CADASIL diperlukan sebuah identifikasi dari mutasi


patogenik pada gen NOTCH3, sebuah gen yang besar dengan 33 exon. Jumlah mutasi
telah dilaporkan, kebanyakan lokasi dengan 23 exon dengan sandi 34-epidermal-growth-
factor-like(EGF-Like) berulang. 70% dari mutasi dikelompokan pada exon 3 dan 4,
tumbuh menjadi 90% jika kita analisis exon dari 2 sampai 6. Seringnya semua mutasi
didahului dengan kehilangan atau penambahan sistin. Delesi kecil, pemotongan mutasi
pada pita dikarenakan delesi pada frame, atau delesi framshift telah dilaporkan.

1
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. E
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 55 tahun
Alamat : Manado
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : S2
Status Pernikahan : Menikah
No. RM : 713209
Tanggal Masuk : 26 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 26 Juli 2019

II. Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan Utama : Sakit kepala

Anamnesis terpimpin : Dialami sejak +/- 1 tahun yang lalu dan dirasakan semakin
memberat bulan terakhir ini. Pasien mengaku kesulitan untuk mengingat kejadian-
kejadian di masa lalu. Demam (-), batuk (-), sesak (-). Riwayat hipertensi ada sejak 10
tahun lalu, minum obat teratur. Riwayat DM ada sejak 5 tahun lalu, minum obat teratur.
Riwayat trauma disangkal. BAB : biasa, BAK : lancar

III. Pemeriksaan Fisik :


Status Generalis : Sakit sedang / Gizi cukup / Sadar
Status Vitalis : Tekanan Darah: 140/80 mmHg
Frekuensi Nadi: 72 x / menit
Frekuensi Pernapasan: 20 x / menit
Suhu: 36,5 C
Status Lokalis
Kepala : Dalam batas normal
Thorax
Inspeksi : simetris kanan-kiri
Palpasi : vocal fremitus simetris
Perkusi : sonor, batas jantung kesan normal
Auskultasi : suara napas vesikuler,
ronkhi/wheezing(-),BJ regular
Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas : hangat, tidak tampak edema

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium ( 26 Juli 2019 )
Hb : 14,8 gr%
Leukosit : 8.0 x 106 /uL
Eritrosit : 4.81 x 106/uL
Trombosit : 373 x 103 /uL
GDS : 274 mg/dl
Ureum : 16 mg/dl
Creatinin : 1.07 mg/dl
SGOT : 24 mg/dl
SGPT : 34 mg/dl
Albumin : 4,4 mg/dl
HbsAg : Non Reaktif

V. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan MRI Kepala tanpa kontras :
Telah dilakukan pemeriksaan MRI Kepala T1W1 tanpa kontras, T2W1 dan FLAIR,
potongan axial, coronal dan sagittal serta MRA dengan hasil sebagai berikut :
- Tampak lesi hipointens T1W1 dan lesi hiperintens di T2W1 dan FLAIR pada corona
radiata bilateral disertai periventricular ventrikel lateralis bilateral
- Sulci dan gyri prominent pada lobus frontalis bilateral
- Posisi interhemisphere fissure tampak normal di midline
- Ventrikel lateralis bilateral melebar
- Sistem ventrikel lainnya dan ruang subarachnoid dalam batas normal
- Cerebellum dan pons dalam batas normal
- Kedua orbita : bentuk, ukuran, intensitas dan posisi dalam batas normal, baik bulbus
occuli, nervus, muscular dan jaringan retrobulber lainnya
- Sinus paranasalis dalam batas normal
- Tulang-tulang yang terscan intak
Kesan :
- Leukoaraiosis (small vessel infection)
- Focal brain atrophy

VI. Diagnosa:
o Cefalgia kronik ec ?
o Hipertensi grade I
o DM tipe 2

VII. Terapi :
o Amilodipine 10 mg 1x1
o Metformin 500 mg 2x1
o Analsik Tab 2x1
o Asam Traneksamat 2x1
o Mecobalamin 500 mcg 1x1

Diskusi
Pada kasus ini, seorang laki-laki datang ke RS dengan keluhan sakit kepala yang dialami
sejak 1 tahun lalu dan memberat sebulan terakhir. Pasien juga mengaku kesulitan untuk
mengingat kejadian di masa lalu di mana pasien mengalami gangguan memori. Hal ini sesuai
dengan gejala yang biasa didapatkan pada kasus leukoaraiosis. Adapun riwayat pasien memiliki
penyakit hipertensi dan DM lama yang merupakan salah satu factor resiko terjadinya
leukoaraiosis.
Pada pemeriksaan radiologi MRI brain didapatkan adanya lesi hipointens T1W1 dan lesi
hiperintens di T2W1 dan FLAIR pada corona radiata bilateral dan periventricular lateralis
bilateral. Lesi ini berbentuk diffuse dengan batas yang tidak jelas yang merupakan gambaran
penyakit leukoaraiosis.
Kesimpulan
Leukoaraiosis merupakan faktor risiko stroke iskemik yang signifikan serta gangguan
neurologis dan kognitif. Leukoaraiosis dan tingkat keparahannya, yang dapat dinilai melalui
berbagai skala, dikaitkan dengan hasil negatif pada fase akut stroke dan setelah stroke, dan
merupakan faktor risiko independen dari stroke berulang; dengan demikian, pasien dengan
leukoaraiosis memerlukan perawatan khusus. Berdasarkan literatur yang ada mengenai lesi
substansi putih (white matter) MRI-hiperintens dan CT-hipodense, kami menyarankan bahwa
leukoaraiosis harus didefinisikan ulang karena berbagai lesi substansi putih lainnya memiliki
tampakan neuroimaging serupa yang bukan merupakan akibat dari perubahan aterosklerotik pada
pembuluh kecil.
DAFTAR PUSTAKA

1. Grueter BE, Schulz UG. Age‐related cerebral white matter disease (leukoaraiosis): a
review. Postgrad Med J 2012, 1036:79–87. doi: 10.1136/postgradmedj‐2011‐
130307.

2. The LADIS study group. Deterioration of gait and balance overtime: the effects of
age‐ related white matter change – the LADIS study. Cerebrovasc Dis 2013,
35:544–53.

3. O’Sullivan M, Lythgoe DJ, Pereira A Cetal. Patterns of cerebral blood flow


reduction in patients with ischaemic leukoaraiosis. Neurology 2002, 59:321–6.

4. Wardlaw JM, Sandercock PA, Dennis M Setal. Is breakdown of the blood‐brain


barrier responsible for lacunar stroke, leukoaraiosis, and dementia? Stroke 2003,
34:806–12.

5. BirnsJ, JaroszJ, Markus H Setal.Cerebro vascular reactivity and dynamic


autoregulation in ischaemic subcortical white matter disease. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2009, 80:1093–8.

6. Zupan M, Šabović M, Zaletel M et al. The presence of cerebral and/or systemic


endothelial dysfunction in patients with leukoaraiosis – a case control pilot study.
BMC Neurol 2015, 15:158. doi: 10.1186/s12883‐015‐0416‐z.

7. Hachinski VC, Potter P, Merskey H. Leuko‐araiosis. Arch Neurol 1987, 44:21–3.

8. Van Swieten JC, Hijdra A, Koudstaal PJ et al. Grading white matter lesions on CT
and MRI: a simple scale. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1990, 53:1080–3.
9. Pantoni L, Garcia JH. Pathogenesis of leukoaraiosis: a review. Stroke 1997,
28(3):652–9.

10. Ben-Assayag E, Mijajlovic M, Shenhar-Tsarfaty S, et al. Leukoaraiosis is a chronic


atherosclerotic disease. Scientific World J 2012; 2012: 532141.

11. Helenius J, Tatlisumak T. Treatment of leukoaraiosis: a futuristic view. Current


Drug Targets 2007; 8: 839-845.

12. Mijajlović MD, Pavlović AM, Mirković MM, Šternić N. Connection between
leukoaraiosis and ischemic stroke. Curr Top Neurol Psychiatry Relat Discip 2011;
19: 41-47.
13. Kearney-Schwartz A, Rossignol P, Bracard S, et al. Vascular struc- ture and
function is correlated to cognitive performance and white matter hyperintensities in
older hypertensive patients with subjec- tive memory complaints. Stroke 2009; 40:
1229-1236.
14. Scheltens P, Erkinjunti T, Leys D, et al. White matter changes on CT and MRI: an
overview of visual rating scales. Eur Neurol 1998; 39: 8
10

Anda mungkin juga menyukai