Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE LUNG EDEMA (ALO)

A. DEFINISI
Edema paru akut adalah keadaan darurat medis yang memerlukan
penanganan segera. Hal ini ditandai dengan dyspnoea dan hipoksia akibat
akumulasi cairan di paru-paru yang mengganggu pertukaran gas dan
kepatuhan paru-paru (Allen, 2017).
Edem paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus
paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan
intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga
terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan
mengakibatkan hipoksia (Huldani, 2014).
ALO juga dapat diartikan sebagai penumpukan cairan
(serous/serosanguineous) oleh karena adanya aliran cairan atau darah ke
ruang interstisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, bronkus, bronkiolus,
atau interstisial space melebihi cairan balik/kembali ke arah jantung atau
melalui limfatik (Kamila, 2013).

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2,
kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena
pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh
adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik
yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan
adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung
Kiri Cronic.
1. Cardiogenic Pulmonary Edema Edema paru kardiogenik
Ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada organ
jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung
memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi
dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh
fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan
oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-
sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari
otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang
abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah
yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini
dapat, pada gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluhpembuluh
darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar.
2. Non-Cardiogenic Pulmonary Edema Non-cardiogenic pulmonary
edema
Ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal berikut: - Acute
respiratory distress syndrome (ARDS) Pada ARDS, integritas dari
alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon peradangan
yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang
dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah. -
Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi
yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-
infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru. - Gagal
ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh
darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan
gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk
mengeluarkan kelebihan cairan tubuh. - High altitude pulmonary
edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke
ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet. - Trauma otak,
perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizureseizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada
akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary
edema(Kamila, 2013).

C. ETIOLOGI
1. Ketidakseimbangan Starling Forces:
a. Peningkatan tekanan kapiler paru: Edema paru akan terjadi hanya
apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi
tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg
pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena
pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman
dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini
antara lain:
1) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).
2) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena
gangguan fungsi ventrikel kiri.
3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion
pulmonary edema).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma Hipoalbuminemia sekunder oleh
karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit
dermatologi atau penyakit nutrisi. Tetapi hipoalbuminemia saja tidak
menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan
kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada
hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
c. Peningkatan tekanan negatif intersisial: Edema paru dapat terjadi
akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural, contoh yang
sering menjadi etiologi adalah: 1. Pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral). 2. Tekanan pleura yang
sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan
dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial: Sampai sekarang belum
ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome) Keadaan ini merupakan akibat langsung dari
kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi
medis maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan edema paru
akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan
Starling Force.
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alphanaphthyl thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik:
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
a. High Altitude Pulmonary Edema.
b. Neurogenic Pulmonary Edema.
c. Narcotic overdose.
d. Pulmonary embolism
e. Eclampsia
f. Post cardioversion
g. Post Anesthesia
h. Post Cardiopulmonary Bypass (Kamila, 2013).

D. PATOFISIOLOGI
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular
terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan
interstisial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik
protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar
dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain
itu, ketika cairan memasuki ruang interstisial, cairan tersebut akan dialirkan
ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh siistem
limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar
tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar
dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Huldani, 2014).
Terdapat dua mekanisme terjadinya edem paru (1):
1. Membran kapiler alveoli
Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke
dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe.
Dalam keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute
dari pembuluh darah ke ruangan interstisial. Studi eksperimental
membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi
paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q(iv-int)=Kf[(Piv-Pint) – df(Iiv-Iint)]
Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial
Piv = tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = tekanan hidrostatik interstisial
Iiv = tekanan osmotik koloid intravaskular
Iint = tekanan osmotik koloid interstisial
Df = koefisien refleksi protein
Kf = kondukstan hidraulik
2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di
daerah interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat
jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran
limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui
dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada
pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem
limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem
limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran
rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik,
sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan
untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang
dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai konsekuensi
terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh
darah akan terkompresi (Huldani, 2014).

Edem Paru Kardiogenik


Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru
lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura
visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler
endotel tetap normal, maka cairan edem ayng meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik
di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan
vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg)
menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25)
maka cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus.
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus
memburuk oleh proses sebagai berikut (3,4)
a. meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi,
menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin
memburuknya fungsi jantung
b. hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel
kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme
interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri
c. insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga
memperburuk fungsi jantung.

Penghapusan cairan edem dari ruang udara paru tergantung pada


transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel yang terdapat pada
membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas
distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang instrstisial dengan
cara Na/K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air
secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan
saluran air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Huldani,
2014).

Edem paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis
Acute Heart
Failure Syndrome (AHFS). AHFS ini didefinisikan sebagai munculnya gejala
dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang
tidak normal (Huldani, 2014).
Secara patofisiologi edem paru kardiogenik ditandai dengan transudai
cairan dengan
kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa
perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler
dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi,
hiposemia dan sesak nafas (Huldani, 2014).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di
paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki
pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas
karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat
melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya
saluran nafas yang tertutup (Huldani, 2014).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2,
edem interstisial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial
yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal
ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara
radiografik dan petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada derajat
ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh
darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah di
interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen
saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks nronkokonstriksi.
Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi aka mengakibatkan
terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin
memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya
hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler
paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Huldani,
2014).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari
edem paru tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal,
dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang
sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang
besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali
dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan
volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan
ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan.
Walaupun hiperkapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan
semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis
respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit
paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui
memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus
dengan pemantau yang ketat (Huldani, 2014).
Edem paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik maka sebaliknya edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan
alveolus. Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi
karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh
moleku besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edem tergantung
pada luasnya edem interstisial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel
alveolar dan acute lung injury di mana terjadi cedera epitel alveolar yang
menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan
alveolar (Huldani, 2014).

PATHWAY

factor kardiogenik
Factor Factor non
kardiogenik kardiogenik

ARDS Insufisiensi Infark Tidak diketahui


Gagal jantung kiri

Pneumonia Post Embolisme paru

Aspirasi asam lambung transplantasi


paru
Bahan toksik inhalan

Ketidakseimbangan
staling force

Tekanan kapiler Tekanan onkotik Tekanan negative Tekanan onkotik


paru meningkat plasma menurun interstitial interstitial
meningkat meningkat

Cairan pindah ke
interstitial

Akumulasi caira yang berlebih

Alveoli terisi Pemasangan alat


Cardiac output
cairan bantu nafas
menurun
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Serangan khas terjadi pada malam hari setelah berbaring selama
beberapa jam dan biasanya di dahului dengan rasa gelisah, ansictas
dan tidak dapat tidur.
2. Awitan sesak nafas mendadak dan rasa akfiksia (seperti kebiasaan
nafas) tangan menjadi dingin dan basah, bantalan kuku menjadi
sianotik dan warna kulit menjadi abu-abu.
3. Nadi cepat dan lemah, vena leher distensi.
4. Batuk hebat menyebabkan peningkatan jumlah sputum mokoid
5. Dengan makin berkembangnya edema paru, ansietas berkembang
menjadi mendekati, pasien muali bingung, kemudian stopor
6. Nafas menjadi bising dan basah (dapat tenggelam oleh cairan sendiri.
7. Heomamptec (batuk darah).
8. Ronchi.
9. Tekanan darah menurun.
10. Takhikardi

Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan


radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema
paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan
protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa
perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler,
dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi,
hipoksemia dan sesak nafas. Sering kali keadaan ini berlangsung dengan
derajat yang berbeda-beda.

1. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya
berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat
inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
2. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun
hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
3. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary
shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi pada kasus
yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati (Huldani,
2014).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteria koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru
normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya.
Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder akibat
peningkatan permeabilitas alveolarkapiler; pada manusia masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan Infark
Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal
ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara
radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan
lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-
kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti
pada cardiogenic shock lung. (Sjaharudin Harun & Sally Aman
Nasution,2006)

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorim yang relevan diperlukan untuk mengkaji
etiologi edem paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan
hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa
gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic
Peptide (BNP). BNP dan prekursornya pro BNP dapat digunakan
sebagai rapid test untuk menilai edem paru kardiogenik pada kondisi
gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary
artery occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left
ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung,
kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal
jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan
spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard dkk melaporkan bahwa nilai
BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling pressure (pasquate
2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu tes diagnosis untuk
menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan
terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian
menunjukan bahwa pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam
menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit lainnya.
2. Radiologi
Pada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus yang melebar,
pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai
tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema instrestisial
atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi (Cremers 2010, harun n
saly 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax postero-
anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler
> 85% ditemukan 80% pada kasus edem paru. Sedangkan vena
azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan
diameter > 10 mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi
foto thorax telentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm.
Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan
foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanay overload
cairan (6).
Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose
antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai
garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut
kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem septum interlobuler.
Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior
namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama
dengan pembuluh darah (6). Gambar foto thorax dapat dipakai untuk
membedakan edem paru kardiogenik dan edem paru non krdiogenik.
Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edem tidak
akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%.
Beberapa masalah teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan
spesifitas rontgen paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien
dan posisi film (10,22).
3. Ekhokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi
ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi fungsi miokard dan
fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab
edem paru (4,5,24,25)
4. EKG
Pemeriksaan EKG bias ormal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemik atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan
krisis hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edem paru kardiogenik tetapi
yang non iskemik biasanya menunjukan gambaran gelombang T
negative yang melebar dengan QT memanjang yang khas, dimana
akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam
1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi
beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara
lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak
yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding,
peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal
akibat perubahan metabolic atau katekolamin (4,5).
5. Katerisasi Pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (pulmonary artery occlusion
pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentukan penyebab edem paru akut (25).
G. PENATALAKSANAAN
1. Posisi setengah duduk
2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika i
bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara
3. Infuse emergensi
4. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Nitrogliserin sublingual atau iv.
6. Peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah > 95 mmHg bisa
diberikan iv mulai dosis 3-5 μg/kgBB. Jika tidak memberikan hasil
memuaskan, dapat diberikan nitroprusid.
7. Nitroprusid iv dimulai dosis 0,1 μg/kgBB/menit bila tidak member
respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan
klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien
yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi ke organorgan vital.
8. Morfin sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis
15 mg.
9. Diuretic : Furosemid 40-80 mg iv bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai
produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
10. -5μg/kgBB/menit atau Dobutamin 2-10μg/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons
klinis atau keduanya.
11. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien innfark miokardial.
12. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis,
atau tidak berhasil dengan terapi oksigen.
13. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. Operasi pada komplikasi akut
infark jantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan rupture dinding
ventrikel atau korda tendinae. (Baird, 2010).

H. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi pada edema paru,meliputi:


1. Gagal nafas
2. Asidosis respiratorik
3. Henti jantung (Muttaqin, 2008).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. PENGKAJIAN
1. Identitas penderita Identitas penderita meliputi nama, unsur jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku /
bangsa, alamat, tanggal dan jam masuk rumah sakit, diagnosa
medik.
2. Keluhan utama Klien biasanya mengeluh sesak nafas, badan
lemas
3. Riwayat penyakit sekarang Adanya sesak nafas (+) dan
kelemahan
4. Riwayat penyakit dahulu Klien biasanya pada riwayat penyakit
yang sama dengan yang dialami sekarang atau kadang-kadang
punya riwayat hipertensi, DM, infeksi paru, TB paru dan lain-lain
5. Riwayat penyakit keluarga Penyakit keturunan yang pernah
dialami keluarga seperti DM, penyakit lain seperti hipertensi.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Terjadi perubahan
penatalaksanaan dan pemeliharaan dan pemeliharaan sehingga
dapat menimbulkan perawatan diri
b. Pola nutrisi dan metabolisme Terjadi karena perubahan adanya
keluhan pasien berupa mual-muntah, kehilangan nafsu makan
c. Pola aktivitas dan latihan Pola pasien Alo akan terjadi kelemahan
pada seluruh anggota badan sehingga aktivitasnya di bantu
d. Pola eliminasi Pada klien Alo biasanya terjadi penurunan produksi
urine
e. Pola tidur dan istirahat Terjadi perubahan yang disebabkan sesak,
nyeri, mual-muntah, gelisah, cemas
f. Pola persepsi dan kognoiktif Pada kx ini mengalami penurunan
kesadaran yang disebabkan suplay O2 yang ke otak menurun
g. Pola persepsi diri Kx merasa dirinya tidak berdaya dan menarik diri
karena tidak bisa merasa apaapa
h. Pola hubungan dan peran Kx menarik diri dari lingkungan karena
menganggap dirinya tidak berarti
i. Pola produksi dan sexual Biasanya terjadi perubahan karena
adanya kelelahan dan penurunan kesadaran
j. Pola penanggulangan stress Adanya kegelisahan, kecemasan dan
ketakutan atau depresi yang disebabkan penyakit yang diderita
cara Kx dalam mengatasi masalah tesebut.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan Biasanya Kx tidak bisa mengerjakan
ibadahnya seperti biasanya karena disebabkan penyakit
7. Pemeriksaan fisik
a. Sistem Integumen: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat
dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat,
kemerahan
b. Sistem Pulmonal Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
c. Sistem Cardiovaskuler Subyektif : sakit dada Obyektif :Denyut nadi
meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun,
Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
d. Sistem Neurosensori Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran,
kejang Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal,
letargi
e. Sistem Musculoskeletal Subyektif : lemah, cepat lelah Obyektif :
tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
f. Sistem genitourinaria Subyektif : - Obyektif : produksi urine
menurun/normal,
g. Sistem digestif Subyektif : mual, kadang muntah Obyektif :
konsistensi feses normal/diare

B. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas
miokardial (penurunan).
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapileralveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)
3. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
4. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
5. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah).

C. INTERVENSI
1. Penurunan Curah Jantung
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
status sirkulasi baik yang ditunjukkan dengan skala, sebagai berikut:
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi ringan dari kisaran normal

No. Indikator 1 2 3 4 5
1. Tekanan darah sistol
2. Tekanan darah diastole
3. Tekanan nadi
4. Tekanan darah rata-rata
5. Saturasi oksigen
6. Capillary refill

Intervensi
1. Monitor pernafasan
a. Monitor suara nafas tambahan
b. Monitor saturasi oksigen
c. Auskultasi suara nafas
2. Menejemen elektrolit
a. Monitor tanda ketidakseimbangan elektrolit
b. Pertahankan kepatenan akses IV
c. Lakukan pengukuran untuk mengontrol kehilangan elektrolit
3. Terapi oksigen
a. Bersihkan mulut, hidung dan sekresi trakea dengan tepat
b. Pertahankan kepatenan jalan nafas
c. Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai penggunaan oksigen
tambahan

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta:Salemba Medika.
Huldani. 2014. Edem Paru Akut. Banjarmasin: Fakultas Kedokteran.
Allen, George. 2017. Managing acute pulmonary oedema
Kamila, Salma. 2013. Acute Lung Oedema (Alo). Malang: Fakultas Kedokteran.
Baird, Andrew. 2010. Acute pulmonary oedema Management in general practice. Chronic Heart
Failur.

Anda mungkin juga menyukai