Anda di halaman 1dari 45

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


Makassar, 23 November 2016

LAPORAN KELOMPOK PBL


“MODUL DEMAM”
BLOK INFEKSI TROPIS

Pembimbing : dr. Hanna Aulia Namirah


Disusun Oleh :
Kelompok 11

Fadli Sufandy 110 214 0016


Alghifari Sulkaf 110 214 0063
Citra Dewi 110 214 0077
Aridayanti Arifin 110 214 0090
Siti Aisyah Jusmadil 110 214 0095
Zahrah Nurwahida M 110 214 0101
Irna Novianti Irwan 110 214 0109
Try As’ad 110 214 0122
Icha Wulandari 110 214 0137
Husnul Khatimah 110 214 0146
Fadhillah Islamyah 110 214 0147

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016
KASUS
SKENARIO 3 :
Seorang anak perempuan berumur 7 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
demam sejak 2 hari yang lalu disertai nyei menelan, sesak napas dan ada
pembesaran di leher kanan, pasien merasa lemas dan lesu.

7 Langkah Penyelesaian Masalah

1. Mengklarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario diatas, kemudian


tentukan kata/kalimat kunci skenario diatas
2. Mengidentifikasi problem dasar skenario diatas dengan membuat beberapa
pertanyaan penting
3. Melakukan analisis dengan mengklarifikasi semua informasi yang didapat
4. Melakukan sintesis informasi yang terkumpul
5. Mahasiswa tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh kelompok
mahasiswa atas kasus diatas bila informasi belum cukup. Langkah 1 s/d 5
dilakukan dalam diskusi mandiri dan diskusi pertama bersama tutor
6. Mahasiswa mencari informasi tambahan informasi tentang kasus diatas
diluar kelompok tatap muka
7. Mahasiswa melaporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi baru
yang ditemukan
Langkah 7 dilakukan dalam kelompok dengan tutor.

A. KATA/KALIMAT KUNCI
- Anak perempuan 7 tahun
- Demam sejak 2 hari yang lalu
- Nyeri menelan
- Sesak napas
- Pemesaran di leher kanan
- Lemas dan lesu.

B. PERTANYAAN PENTING

1. Definisi dan klasifikasi demam

2. Patomekanisme demam, lesu dan lemas

3. Patomekaisme sesak napas dan nyeri menelan

4. Patomekanisme Pembesaran di leher kanan

5. Macam-macam penyakit tropis dengan keluhan demam

6. Langkah-langkah diagnosis

7. Diagnosis banding dari skenario

8. Penatalaksanaan awal dari kasus pada skenario

C. JAWABAN PERTANYAAN :

1. Definisi dan klasifikasi demam

Jawaban :

DEFINISI
International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal
Physiology mendefinisikan demam/ febris sebagai suatu keadaan peningkatan
suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari respons
pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau
benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-
kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara
patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat
hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis
demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata
suhu normal di tempat pencatatan.  Sebagai respons terhadap perubahan set
pointini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai
secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi
panas.1,2
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu
terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 – 06.00 dan tertinggi pada awal
malam hari pukul 16.00 – 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola
diurnal ini.1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan,
meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena
itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran
suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).3,4

Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat Rentang; rerata  Demam


Jenis termometer
pengukuran suhu normal (oC) (oC)
Aksila Air raksa, elektronik 34,7 – 37,3; 36,4 37,4
Sublingual Air raksa, elektronik 35,5 – 37,5; 36,6 37,6
Rektal Air raksa, elektronik 36,6 – 37,9; 37 38
Telinga Emisi infra merah 35,7 – 37,5; 36,6 37,6

Suhu rektal normal 0,27o – 0,38oC (0,5o – 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu
aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.5 Untuk kepentingan
klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38 oC, suhu oral
37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai
37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu
tubuh melampaui 41,1oC (106oF).5

POLA DEMAM
sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat
yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak
patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk
diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1Interpretasi pola demam sulit karena berbagai
alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik

Tabel 2. Pola demam  yang ditemukan pada penyakit pediatrik


Pola demam Penyakit
Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan
Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri
Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis
Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik
Quotidian Malaria karena P.vivax
Double quotidian Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid
arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)
Relapsing atau periodik Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis
Demam rekuren Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam,
dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1,2,6-8
Demam Kontinyu
Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu
tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)


Demam Remiten
Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe
demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik
untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya
bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten


Demam Intermiten
Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis
demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten

Demam Septik/ Hektik


Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. 
Demam Quotidian
Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam
yang terjadi setiap hari.

Demam Quotidian Ganda 
Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus
12 jam).

Gambar 4. Demam quotidian

Undulant Fever 
Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap
tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.
Prolonged Fever
Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama
demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya lebih dari 10 hari
untuk infeksi saluran nafas atas.
Demam Rekuren
Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular
pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus
urinarius) atau sistem organ multipel.
Demam Bifasik 
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis
merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk
leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-
bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan
demam Lassa).
Relapsing Fever dan Demam Periodik
 Demam Periodik
Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular
atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu
atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria
(istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila
demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan  brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria

 Relapsing Fever
Relapsing fever  adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam  rekuren yang
disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu
(louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)


Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba
berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi
yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne
fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit
kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat
disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 – 8 jam), yang
umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan
endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering
ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada
kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam
ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown.

Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan
Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu sebelum
awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.

Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887,
pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien
dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH.
Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 – 10 hari, diikuti
oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini
mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan
anemia hemolitik. 

Gambar 7.  Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

KLASIFIKASI DEMAM
Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis
masalah.2 Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut,
subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel 3.  dan Tabel
4. memperlihatkan tiga kelompok utama demam   yang ditemukan di praktek
pediatrik beserta definisi istilah yang digunakan.1

Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik
Klasifikasi Penyebab tersering Lama demam
pada umumnya
Demam dengan localizing
Infeksi saluran nafas atas <1 minggu
signs
Demam tanpa localizing Infeksi virus, infeksi saluran
<1minggu
signs kemih
Infeksi, juvenile idiopathic
Fever of unknown origin >1 minggu
arthritis

Tabel 4. Definisi istilah yang digunakan


Istilah Definisi
Demam Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang
dengan localization dapat didiagnosis setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisik
Demam Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang
tanpa localization jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik
Letargi Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi
dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik
dengan sekitarnya
Toxic appearance Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi
buruk, cyanosis, hipo atau hiperventilasi
Infeksi bakteri serius Menandakan penyakit yang serius, yang dapat
mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis,
sepsis, infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi
saluran kemih, pneumonia
Bakteremia dan Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam
septikemia darah, dibuktikan dengan biakan darah yang positif,
septikemia menunjukkan adanya invasi bakteri ke
jaringan, menyebabkan hipoperfusi jaringan dan
disfungsi organ

Demam dengan Localizing Signs


Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada pada
kategori ini (Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda
secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.1

Tabel 5. Penyebab utama demam karena penyakit localized signs


Kelompok Penyakit
Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis
atas herpetika
Pulmonal Bronkiolitis, pneumonia
Gastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Sistem saraf pusat Meningitis, encephalitis
Eksantem Campak, cacar air
Kolagen Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki
Neoplasma Leukemia, lymphoma
Tropis Kala azar, cickle cell anemia

Demam Tanpa Localizing Signs


Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak
ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi
virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti
ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan
bakteremia. Tabel 6.menunjukan penyebab paling sering kelompok ini.1 Demam
tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1
minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh
dokter anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan.6
Tabel 6. Penyebab umum demam tanpa localizing signs
Penyebab Contoh Petunjuk diagnosis
Infeksi Bakteremia/sepsis Tampak sakit, CRP tinggi,
leukositosis
Sebagian besar virus
(HH-6) Tampak baik, CRP normal, leukosit
normal
Infeksi saluran kemih
Dipstik urine
Malaria
Di daerah malaria
PUO Juvenile idiopathic Pre-articular, ruam,
(persistent arthritis splenomegali, antinuclear
pyrexia of factor tinggi, CRP tinggi
unknown
origin) atau
FUO
Pasca vaksinasi Vaksinasi triple, Waktu demam terjadi berhubungan
campak dengan waktu vaksinasi
Drug fever Sebagian besar obat Riwayat minum obat, diagnosis
eksklusi

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)


Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama
1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal
mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal
sebagai fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang
berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah
investigasi 1 minggu di rumah sakit.1

2. Patomekanisme demam, lesu dan lemas

Jawaban:

Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat
pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen.
Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti
mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan
pirogen yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A). Sumber
utama dari zat pirogen endogen adalah monosit, limfosit dan
neutrophil.Seluruh substansi di atas menyebabkan selsel fagosit
mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat 10
sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang
mirip interleukin, yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel
yang penting. Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun
local dan berhasil memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor
nekrosis factor α dan interferon α, interferon β serta interferon γ
merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam.
Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf
Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus
anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam arakidonat dari membrane
fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat
selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim
siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan
demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus . Enzim
sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu
siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua
isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi
regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang
mengkatalis pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan,
terutama pada selaput lender traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan
epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat
diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang, mitogenesis atau
onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid yang
merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada, 11
bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang bertanggung
jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2
mengkatalis pembentukan prostaglandin yang menyebabkan.Prostaglandin
E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang menyebabkan
demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron termosensitif.
Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang berperan
sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan
konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina ini akan
meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan prostaglandin di
susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh
menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat.
Gambar 1. Patofisiologi Demam

Anemia disebabkan oleh menurun nya kadar Hemoglobin dalam


eritrosit.Penurunan kadar hemoglobin tersebut disebabkan oleh banyak hal,
misalnya,pendarahan yg hebat, defisiensi zat gizi (zat besi, asam folat & vit. B12),
produksisel sel darah di sumsum tulang yg menurun, penghancuran sel darah
sebelum waktunya dengan jumlah yang banyak, dan sebagainya. Dengan adanya
penyebab – penyebab diatas, kadar hemoglobin dalam tubuh kita turun dari kadar
normal nya. Hemoglobin merupakan pengangkut oksigen untuk keseluruh
jaringan tubuh, dengan kadar hemoglobin turun, kadaroksigen pun turun secara
tidak langsung. Kadar oksigen yang turun menyebabkan, metabolisme sel turun,
dengan turun nya metabolisme sel, energy yang dihasilkan juga sedikit, sehingga
orang tersebut akan mudah lemah Karena kurang nya energy. Saat proses
metabolisme sel secara aerob tidak optimal,berlangsung proses metabolisme
anaerob. Pada metabolisme anaerob, energy yang dihasilkan sedikit dan
menghasilkan asam laktat yang menyebabkan oto tlelah. Berkurangnya
hemoglobin akan menyebabkan turunnya kadar oksigendalam darah karena fungsi
hemoglobin adalah mengikat oksigen dalam darah.Hal ini akan menyebabkan
penurunan oksigenisasi jaringan. Untuk menyesuaikan keadaan ini tubuh
akan memvasokonstriksi pembuluh darah untuk memaksimalkan pengiriman
oksigen ke organ-organ vital. Untuk pucat Keadaan seperti ini akan menyebabkan
pucat.

Gambar. 2 Patofisiologi Anemia

3. Patomekaisme sesak napas dan nyeri menelan

Jawaban :

Pada awalnya,bakteri memasuki tubuh melalui saluran pernapasan bagian


atas , tapi dapat juga masuk melalui kulit, saluran genital atau mata.
Kepekaan terhadap sel epitel pernapasan dapat sangat berkurang degan
menghalangi produksi dari dua pili kecil atau dengan menggunakan
antibody yang diarahkan terhadap mereka.

Mikroorganisme masuk melalui hidung,lalu berkembang pada sel epitel


mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil, kadang-kadang ditemukan
di kulit dan konjugtiva atau genital. Basil ini kemudian menghasilkan
eksotoksin, yang dilepaskan oleh endosom, sehingga menyebabkan reaksi
inflamasi local, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.
Toksinterdiri dari dua fragmen protein pembentuk. Fargmen B berikatan
dengan reseptor pada permukaan sel pejamu yang rentan dan sifat
proteoliiknya mmotong lapisan membrane lipid, sehingga membantu
fragmen A masuk kedalam sel pejamu. Selnjutnya akan terjadi peradangan
dan destruksi sel epitel yang akan diikuti oleh nekrosis. Pada daerah
nekrosis ini terbentuk fibin, yang kemudian diinfiltrasi oleh sel darah
putih, akibatnya terbentuk patchy exudat yang pada walnya dapat
terkelupas.

Pada keadaan lebih lnjut toksin akan diproduksi lebih banyaj sehingga
daerahnekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk jaringan
nekrotik, fibrin , sel epitel, sel leukosit , sel eritrosit yang berwarna abu-
abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau dipaksa
menimbulkan perdarahan. Selanjutnya membrane akan menyebar ke
bronchial, menyebabkan obstruksi saluran pernapsan dan terjadi dispneu.

4. Patomekanisme Pembesaran leher di kanan

Jawaban :

Kombinasi limfadenopati servikalis dan edema mukosa leher


menimbulkan "bull neck" appearance untuk banyak pasien yang terinfeksi
(gambar 1).1
Gambar 1 : bull neck appearance
Untuk itu, mekanisme limfadenopati dan edema mukosa adalah sebagai
berikut:

a. Limfadenopati

Sistem limfatik merupakan pusat fungsi efektif dari sistem kekebalan tubuh.
Makrofag dan sel antigen-presenting lainnya bermigrasi ke kelenjar getah
bening untuk menyajikan antigen yang ditemukan ke sel T dan B. Saat sel T
dan B mengenali antigen, mereka berproliferasi di dalam kelenjar getah
bening untuk menghasilkan respon imun yang efektif. Limfadenopati (lokal /
sistemik) merupakan konsekuensi dari proliferasi ini

Saat invasi langsung terjadi, kelenjar getah bening soliter menjadi terinfeksi
dengan bakteri atau antigen jenis lainnya. Dampak dari respon imun ini ialah
hiperplasia struktur kelenjar getah bening, proliferasi sel T dan B, dan
infiltrasi sel imun lainnya untuk mengatasi infeksi. Hal-hal tersebut
menyebabkan peradangan dan pembengkakan nodus limfatikus.

Pada keadaan infeksi sistemik, hiperplasia reaktif dapat terjadi. Sebuah


antigen (intraseluler atau ekstraseluler) stimulus dibawa ke kelenjar getah
bening dan disajikan ke sel T dan B, limfosit, dan sel-sel lain di nodus
limfatikus, menyebabkan proliferasi mereka.2

b. Edema mukosa serivikal

Perubahan vascular utama pada proses peradangan ialah peningkatan aliran


darah yang terjadi akibat dilatasi pembuluh darah dan peningkatan
permeabilitas vaskuler, kedua hal ini dirancang ntuk membawa sel darag dan
protein menuju tempat infeksi. Pada tahap awal, stimulus yang merugikan
seperti mikroba dihadapi oleh makrofag dan sel lain di aringan ikat, kemudian
akan diikuti reaksi vascular yang dipicu oleh interaksi ini dan akan
mendominasi fase awal.
i. Perubahan rongga vascular dan aliran darah
 Setelah vasokonstriksi sebentar (berlangsung hanya beberap detik)
terjadi vasdilatasi arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran
darah setempat sehingga pada bagian ujung daerah kapiler penuh
berisi darah. Ekspansi vascular ini akan menyebabkan eritema dan
rasa panas yang merupakan tanda khas radang akut.
 Pembuluh darah kecil menjadi leih permeable, dan cairan kaya
protein akan mengalir keluar ke jaringan ekstravaskuler. Hal ini
mengakibatkan peningkatan konsentrasi sel darah merah di darah
yang mengalir, sehingga meningkatkan viskositas darah dan
memperlambat aliran darah. Hal ini disebut stasis.
 Setelah timbulnya stasis, leukosit (terutama neutrophil) mulai
berkelompok pada permukaan vascular endotel pembuluh darah
(marginasi), yang merupakan langkah awal keluarnya leukosit ke
jaringan interstisium melalui endotel pembuluh darah.

ii. Peningkatan permeabilitas vascular


Peningkatan permeabilitas menyebabkan terjadinya aliran cairan kaya
protein dan sel darah ke jaringan ekstravaskular, mengakibatkan tekanan
osmotic cairan interstisium meningkat dan menyebabkan lebih banyak
air keluar dari darah ke dalam jaringan. Hasil penimbuan cairan kaya
protein ini disebut eksudat. Akumulasi cairan ekstravaskular
menyebabkan edema jaringan.
Kontraksi sel endotel menyebabkan terbentuknya celah antar sel pada
pembuluh darah kecil merupakan penyebab tersering peningkatan
permeabilitas vascular. Kontraksi sel endotel terjadi segera setelah
pengikatan dengan histamine, bradikinin, leukotrin, dan banyak mediator
ain untuk reseptr spesifik.3

5. Langkah-langkah diagnosis

Jawaban :

Anamnesis
- Identitas; nama, alamat, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, etnis, ras, negara
kelahiran.

- Keluhan utama; onset, durasi, letak infeksi, gejala, tanda.

- Keluhan penyerta

- Riwayat travelling; riwayat kontak dengan imigran atau pelancong,


periode 6 minggu sebelum onset atau tanggal munculnya keluhan.

- Riwayat paparan; riwayat kontak dengan kasus yang mungkin terjadi.

- Riwayat keluarga

- Riwayat berobat ke dokter gigi atau dokter lain

- Riwayat obat

- Riwayat vaksinasi; tanggal dan jenis vaksinasi, jumlah dosis difteri toxoid
yang didapatkan, nama pabrik vaksin. Jika tidak divaksinasi, tanyakan
alasannya.

Pemeriksaan Fisis

- Inspeksi
- Palpasi
- Auskultasi
- Tanda vital

Pemeriksaan Penunjang Diphteriae

1. Diagnose awal cepat dapat dilakukan dengan pewarnaan Gram dimana


akan ditemukan bakteri berbentuk batang, Gram +, tidak berkapsul,
berkelompok, dan tidak bergerak.
2. Kultur bakteri, melalui media Tellurite atau Loeffler, dengan sampel yang
diambil dari pseudomembran di orofaring hidung, tonsil kriptus, atau
ulserasi, di rongga mulut. Jika memungkinkan, swab diambil dari bagian
bawah pseudomembran, atau sedikit pseudomembran harus dilepaskan.
Aplikator cotton-tipped steril digunakan untuk menyeka tonsil faring Pada
medium Loeffler, C.diphteriae tumbuh dengan cepat membentuk koloni-
koloni kecil, granuler, berwarna hitam dan dilingkari warna abu-abu
coklat.
3. Pemeriksaan produksi toksin, dengan cara:
a. Elek immunodiffusion test. Produksi toksin bakteri dapat terdeteksi
dalam 18-48 jam dengan terbentuknya formasi precipitin band toxin-
antitoxin pada agar
b. Polymerase Chain Reaction Test (PCR), untuk mendeteksi pengaturan
gen dalam produksi toxin (dtxR) dan gen toxin difteri (tox).
c. Rapid Enzyme Immunoassay (Rapid EIA)
d. Shick test. Toxin difteri dalam jumlah sedikit diinjeksikan secara
intradermal. Setelah 48 dan 96 jam, dilakukan pembacaan. Reaksi kulit
nonspesifik umumnya memuncak setelah 48 jam. Pada 96 jam, reaksi
eritematous dengan beberapa nekrosis yang dapat terjadi
mengindikasikan adanya imunitas antitoxic yang cukup untuk
menetralkan toxin.
4. Tes serologik. Perhitungan serum antibody pasien dapat membantu
kemungkinan diagnosis difteri. Jika level antibody <0.01 IU/ml, imunitas
mungkin tidak ada. Tapi jika >0.01 IU/ml dianggap protektif dan difteri
bukan penyakit pasien. Level antibody difteri antara 0.01 IU/ml hingga
0.09 IU/ml mengindikasikan adanya imunitas.
5. Tes Darah Lengkap dan Urinalisis. Pada pasien difteri biasanya didapatkan
peningkatan leukosit dan proteinuria (1+ hingga 2+). Leukopenia dapat
disebabkan oleh adanya sepsis dari infeksi lain.
6. Electrocardiography, untuk mendeteksi adanya komplikasi berupa
myocarditis.

6. Diagnosis banding dari skenario

Jawaban :
DIFTERI

Definisi

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini. (1)

Etiologi

Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil


aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan
formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya,
isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang
menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.
diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan
menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah
dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang
berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan
berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (4)

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius
dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini
merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik.
Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene. (1)

Patogenesis dan patofisiologis

Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang


biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer
RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam
amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida
sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke
kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation
factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen
B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) +
H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses
traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (1)

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan


bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous
dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan
perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama
jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang
bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat
masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah
3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system
konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)

Manifestasi Klinis

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini biasanya


bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteria. (3)

Difteri Saluran Pernapasan

Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC.

Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat. (4)

Difteri Tonsil Faring

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri
kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih
kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull
neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu
sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur
dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane
akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (6)

Difteri Laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan


difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala
yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.

Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin


sangat mempengaruhi prognosa penderita.(3) Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media
loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro
(tes Elek). (1)
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada
difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri
lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat
dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai
dari tonsil dan menyebar ke uvula. (4)

Pengobatan Dan Penatalaksanaan.

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum


terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

A. Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7
dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer. (3)

B. Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)


Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6,
angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular


Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /

Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /

Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /

Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas
tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk


membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin,
rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada
populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang
dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.

Dosis :

 Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam


selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam
selama 14 hari.
 Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau
i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
 Amoksisilin.
 Rifampisin.
 Klindamisin.

Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit


diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-
kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit)
yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)
3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada


difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai
atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.

C. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap


baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

D. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji


Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (4)

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

Biakan Uji Schick Tindakan


(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan
status imunisasi

Prognosis

Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran


membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum.

Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian
tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena

(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,

(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,

(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria,
pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian
pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis
prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis >
25.000/prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%)
menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) .

Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan


pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan.

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya


dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas.
Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi
(Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP)
mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa
(yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis.
Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri
primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td
dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang
lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin
tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

MUMPS/PAROTITIS

DEFINISI

Mumps merupakan infeksi virus akut sistemik yang terutama mengenai


anak usia sekolah dan dewasa muda dengan menginfestasi klinis utama
pembesaran kelenjar parotis. Infeksi ini umunya bersifat ringan dan dapat sembuh
sendiri, sepertiga orang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis. Pada orang
dewasa dan usia tua manifestasi klinis biasanya lebih berat.

EPIDEMIOLOGI

Mumps endemis diseluruh dunia. Di Amerika Serikat mumps ditemukan


sepanjang tahun, namun insidensi puncak terjadi antara bulan Januari sampai Mei.
Pada Juni 2009 sampai Januari 2010 dilaporkan outbreak mumps di New York
dan New Jersey yang mencapai 1.521 kasus, dimana 91% pasien berusia >6 tahun
dan 85% pernah mendapat vaksin MMR (measles, mumps, rubella) 2 dosis.
Mumps jarang terjadi pada bayi dibawah satu tahun. Tidak ada pebedaan kejadian
parotitis antara pria dan wanita. Manusia merupakan satu-satunya hospes alamiah
virus ini dan tidak dikenal kondisi carrier.

VIROLOGI

Virus mumps merupakan famili Paramyxoviridae. Family ini mencakup :

 Rubulavirus (virus mumps) berbentuk sferis irregular dengan diameter 90-


300 nm.
 Paramyxovirus
 Morbilivirus
 Pneumavirus
Genom virus mengkode 8 protein. Terdapat 13 genotipe (A sampai M)
virus diketahui, namun hanya dikenal satu serotype virus mumps. Pada
suhu 40C virus dapat bertahan beberapa har, namun pada suhu -65 0C virus
dapat hidup berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.

PATOGENESIS

Transmisi virus terjadi melalui kontak langsung, droplet nuclei, muntahan


yang masuk melalui hidung atau mulut. Penularan virus mumps tidak semudah
virus measles atau varisela. Masa puncak penularan terjadi sesaat sebelum atau
saat timbul parotitis. Diperkirakan pada masa inkubasi, virus berproliferasi pada
epitel saluran napas bagian atas dan terjasi viremia, pada tahap selanjutnya
terlokalisasi pada kelenjar dan jaringan serat.

PATOLOGI

Pada pemeriksaan patologi kelnjar perotis yang terinfeksi virus mumps,


didapatkan edema interstisial dan eksudat serofibrinous yang didominasi oleh sek
mononukleus. Gambaran patologi pada pancreas atau testis yang terkena mirip
dengan parotis, kecuali perdarahan interstisial dan sel polimorfonukleus lebih
sering dijumpai pada okritis. Kadang-kadang didapatkan area yang mengalami
infak pada testis dan pada kasus berat terjadi atrofi epitel germinal disertai
hialinisai dan fibrosis. Pada ensefalitis mumps didapatkan demielinisasi
perivenous, perivaskular mononuclear cuffing, dan peningkatan sel mikroglia
dengan neuron yang relatif baik.

GAMBARAN KLINIS

Masa inkubasi mumps antara 2-4 minggu, kebanyakan 16-18 hari. Gejala
prodromal mencakup demam ringan, anoreksia, malaise, sakit kepala. Dalam
waktu 1 hari timbul sakit telinga dan nyeri pada kelenjar parotis unilateral. Dalam
waktu 2-3 hari kelenjar parotis membesar dan mencapai ukuran maksimal disertai
nyeri hebat. Umumnya kelnjar parotis yang lain membesar 1-2 hari kemudian.
Pembesaran parotis bias menyebabkan trismus dan kesulitan menelan. Setelah
parotis membesar maksimal, demam dan nyeri berkurang dan kelenjar perotis
kembali ke ukuran normal dalam waktu 1 minggu.

Tabel. Manifestasi Klinis Utama Mumps


Manisfestasi Frekuensi (%)
Kelenjar
Parotis 60-70
Adenitis submandibula/sublingual 10
Epidimo-orkitis 25 (pria setelah puber)
Ooforitis 5 (wanita setelah puber)
Pancreatitis 4
Neurologi
Pleositosis CSF asimptomatik 50
Meningitis aseptic 1-10
Ensefalitis 0,02-0,3
Ketulian sementara 4
Lain-lain
Abnormalitas EKG 5-15
Gangguan fungsi ginjal ringan 30-60
KOMPLIKASI

Infeksi virus mumps pada wanita hamil trimester pertama dapat


meningkatkan risiko kematian janin dalam kandungan dan berat badan lahir
rendah (7,7%), namun tidak menyebabkan malformasi fetus. Beberapa kasus
diabetes pada usia muda juga dilaporkan berhubungan dengan mumps.

DIAGNOSIS

Diagnosi mumps umumnya berdasarkan gambaran klinis yang khas yaitu


pembesaran dan nyeri pada kelenjar parotis disertai gejala konstitusional. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit normal atau leucopenia
dengan leukositosis relatiff. Umumnya pemeriksaan spesifik untuk kasus mumps
yang khas tidak diperlukan. Diagnosis defenitif ELISA atau peningkatan 4 kali
lipat serum fase akut dan fase konvalesen dengan tes CF, HAI, ELISA,
neutralisasi memastikan diagnosis. Metode RT-PCR merupakan teknik
pemeriksaan yang paling sensitive dan spesifik.

PENATALAKSANAAN

Terapi parotitis mumps simptomatik dan suportif. Diberikan analgesic-


antipiretik untuk mengurangi nyeri karena pembengkakan parotis dan
menurunkan demam. Pada pasien meningitis atau pancreatitis dengan intake yang
kurang atau muntah-muntah diperlukan pemberian cairan intravena. Sebuah
penelitian melaporkan bahwa pemberian interferon-alfa 2b pada 4 pasien dengan
orkitis mumps bilateral menunjukkan perbaikan gejala yang cepat dan tidak
terjadi atrofi testis atau oligospermiaselama pemantauan.

PENCEGAHAN

Untuk mencegah transmisi virus ke orang lain, pasien dengan mumps


sebaiknya diisolasi selama 5 hari setelah onset parotitis, meskipun upaya ini
kurang efektif karena virus dapat menyebar ke orang lain beberapa hari sebelum
muncul gejala klinis.
Dewasa ini digunakan imunisasi aktif dengan virus mumps yang
dilemahkan. Terdapat bebrapa strain vaksin seperti Jerryl-Lynn, Rubini, Urabe,
Leningrad, L-Zagreb. Vaksin ini diberikan secara subkutan dan memberikan
proteksi 95%. Pemeberian vaksin dianjurkan pada anak usia 12-15 bulan dan
diulang pada usia 46 tahun bersamaan dengan vaksin measles (MMR). Efek
samping vaksin MMR jarang terjadi. Seperti vaksin virus hidup lainnya, vaksin
mumps tidak boleh diberikan pada wanita hamil, pasien dengan terapi
imunosupresan, demam tinggi, keganasan, penyakit imunodefisiensi congenital
atau didapat. Vaksin MMR yang tersedia di Indonesia saat ini adalah Trimovax
merieuxTM dan MMR IITM.

TONSILO FARINGITIS

A. Definisi

Faringitis secara luas menyangkut tonsillitis, nasofaringitis, dan


tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya yang ditandai
dengan keluhan nyeri tenggorok.1

B. Etiologi

Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada


anak berusia ≤ 3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti
adenovirus, rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat menjadi penyebabnya.
Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah bakteri terbanyak penyebab
penyakit faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-
30% pada anak sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.
Mikroorganisme seperti klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat
menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi.1 Faringotonsilitis kronik
memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik di faring, seperti rhinitis
kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap dan
debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yang tidak
adekuat.2
C. Patogenesis

Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak


langsung dengan mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau
dengan benda yang terkontaminasi, serta melalui makanan merupakan cara
penularan yang kurang berperan. Penyebaran SBGA memerlukan penjamu
yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat.1,3

Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring


yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan eritem faring, tonsil,
atau keduanya. Infeksi streptococcus 1 ditandai dengan invasi lokal serta
penglepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus dan
SBHGA lebih banyak terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung atau
droplet dibandingkan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi
yang pendek yaitu 24-72 jam.1,2

D. Manifestasi Klinik

Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri


tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala
yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri
kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam tinggi dan
nyeri tenggorok. Gejala seperti rhinorrea, suara serak, batuk, konjungtivitis,
dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat
ditemukan pada anamnesa. Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien
tonsilofaringitis akut streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus
yaitu eritem pada tonsil dan faring yang disertai pembesaran tonsil. Faringitis
streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut disertai
mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, tonsil bengkak
dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri,
uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai impetigo sekunder, ruam
skarlatina, petekie palatum mole.1,4

Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah


berdarah, dan berwarna kelabu pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat
ditemukan ulkus di palatum mole, dan didnding faring serta eksudat di
palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam
berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik.1

E. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri
atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada
saat ini 2 terdapat metode cepat mendeteksi antigen streptococcus grup A
dengan sensitivitas dan spesivitas yang cukup tinggi.1,4

F. Tata laksana

Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi.4 Faringitis streptococcus grup A merupakan
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan
antibiotik. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi
suportif yang dapat diberikan. Pemberian obat kumur dan obat hisap pada
anak cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat
nyeri berlebih atau demam dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen.1
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah
penisislin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau
benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB30 kg).
Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti penisislin
pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama amoksisilin memiliki
rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2 selama
6 hari1. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30
mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat
digunakan untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita yang
alergi terhadap penisilin.4 Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah
digunakan secara luas untuk mengurangi frekuensi tonsillitis rekuren.
Indikator klinis yang digunakan adalah Children’s Hospital of Pittsburgh
Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorok
yang diterapi antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau
lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi dengan antibiotik selama 3
tahun sebelumnya. Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi
tambahan pada otitis media kronis dan berulang. Indikasi tonsiloadenektomi
yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apneu akibat pembesaran
adenotonsil.1,2,4

G. Komplikasi Kejadian

Komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi biasanya


menggambarkan perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring. Beberapa
kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis
bakteri dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas.
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara
hematogen. Akibat perluasan langsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis
media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau faringeal, atau
pneumonia. Penyebaran hematogen SBHGA dapat mengakibatkan
meningitis, osteomielitis, atau arthritis septic, sedangkan komplikasi non
supuratif berupa demam reumatik dan gromerulonefritis.1,4

7. Penatalaksanaan awal dari kasus pada skenario

Jawaban :

Penatalaksanaan awal

1. Dengan menggunakan antibiotik spectrum luas, antipiretik, dan


obat kumur yang mengandung desinfektan.
2. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.
3. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT
(difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria,
tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
4. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin
penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus
diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan
Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila
perlu dilakukan tonsilektomi.
5. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
 Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang
lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
 Pengobatan Khusus 
Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) 
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian
pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih
dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit
atau uji mata terlebih dahulu. 
Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakaneritromisin,Penisilin,
kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang
disertai gejala.
 Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar
hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin
umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.
 Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok
serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas
terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak
yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria.
 Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria
dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut
 Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5
hari dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan,
bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin
 Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,
kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan
obat simptomatik.
 Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk
menghindari komplikasi kantung selama 2-3 minggu atau
sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif. d. Pemberian
antipiretik.
2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
 Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur /
hisap.
 Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi
medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.

The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck


Surgery Clinical Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan
indikasi dilakukannya tonsilektomi yaitu:

1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan


menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial

3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan


sumbatan jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan
gangguan bicara.

4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil,


yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan Tonsilitis
berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus

6. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan

7. Otitis media efusa / otitis media supurataif

DAFTAR PUSTAKA

1. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam:  El-Radhi SA,


Carroll J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9.
Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.1-24.
2. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce
TG, penyunting. Moffet’s Pediatric infectious diseases: A problem-oriented
approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.h.318-73.
3. El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child
2006;91:351-6.
4. Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13.
5. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW,
penyunting. Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations.
Edisi ke-3. :Butterworths;1990.h.990-3.
6. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007.h.
7. Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am
1996;10:33-44
8. Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA,
penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott-Raven;1997.h.215-3
9. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit
Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
10. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
173-176
11. Ref:http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/127/jtptunimus-gdl-sriwulansa-
6326-2-babii.pdf
12. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 6. 2014. InternaPublishing.
Halaman 735-738.
13. Roni Naning dkk. Faringitis, Tonsillitis, Tonsilofaringitis Akut dalam
Respirologi Anak. Jakarta : IDAI. 2008
14. Rusmarjono dkk. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta :
FKUI. 2007
15. Simon H, Pediatrics, http://emedicine.medscape.com/article/803258overview
2010 (diakses tanggal 25 April 2011) Behrma R, Kliegman R, Arvin A. Nelson
Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC. 2000
16. Sudarmo, S dkk. Infeksi Streptococcus grup A dalam Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Jakarta : IDAI. 2008
17. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I edisi VI. Jakarta: InternaPublishing.
Halaman 647.
18. Vinata A. Siti IM, et al. A Patient with Suspected Diphteria: Case Report.
Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. Vol.1. No.2. May-August
2010. [cited November 5] Available from:
https://www.journal.itd.unair.ac.id/index.php/IJTID/article/download/27/28
19. Murphy, JR. Corynebacterium Diphteriae. In: Baron S, editor. Medical
Microbiology. 4th edition. Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at
Galveston; 1996. Chapter 32. [cited November 5, 2016] Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7971/#!po=73.5294
20. Tejpratap. Tiwari. VPD Surveillance Manual. 5th edition. 2011. Diphtheria:
Chapter 1-1. [cited November 5, 2016] Available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt01-dip.pdf
21. Dall L, Stanford JF. Fever, Chills, and Night Sweats. In: Walker HK, Hall
WD, Hurst JW, editors. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990. Chapter 21. [cited
November 5, 2016]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK324/#!po=67.8571
22. http://emedicine.medscape.com/article/782051-clinical
23. Dennis Mark, Bowen William Talbot, Cho Lucy. Mechanism of Clinical
Signs 2nd Edition. 2016. Australia: Elsevier. P: 332.
24. Kumar Vinay, Abbas K Abul, Aster Jon C., Buku Ajar Patologi Robbins Edisi
Sembilan. 2013. Singapore: Elsevier. Halaman 32-33.

Anda mungkin juga menyukai