Laporan PBL Modul 2 Blok TROPIS
Laporan PBL Modul 2 Blok TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016
KASUS
SKENARIO 3 :
Seorang anak perempuan berumur 7 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
demam sejak 2 hari yang lalu disertai nyei menelan, sesak napas dan ada
pembesaran di leher kanan, pasien merasa lemas dan lesu.
A. KATA/KALIMAT KUNCI
- Anak perempuan 7 tahun
- Demam sejak 2 hari yang lalu
- Nyeri menelan
- Sesak napas
- Pemesaran di leher kanan
- Lemas dan lesu.
B. PERTANYAAN PENTING
6. Langkah-langkah diagnosis
C. JAWABAN PERTANYAAN :
Jawaban :
DEFINISI
International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal
Physiology mendefinisikan demam/ febris sebagai suatu keadaan peningkatan
suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari respons
pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau
benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-
kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara
patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat
hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis
demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata
suhu normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan set
pointini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai
secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi
panas.1,2
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu
terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 – 06.00 dan tertinggi pada awal
malam hari pukul 16.00 – 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola
diurnal ini.1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan,
meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena
itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran
suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).3,4
Suhu rektal normal 0,27o – 0,38oC (0,5o – 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu
aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.5 Untuk kepentingan
klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38 oC, suhu oral
37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai
37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu
tubuh melampaui 41,1oC (106oF).5
POLA DEMAM
sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat
yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak
patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk
diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1Interpretasi pola demam sulit karena berbagai
alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik
Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam,
dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1,2,6-8
Demam Kontinyu
Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu
tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.
Demam Quotidian Ganda
Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus
12 jam).
Undulant Fever
Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap
tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.
Prolonged Fever
Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama
demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya lebih dari 10 hari
untuk infeksi saluran nafas atas.
Demam Rekuren
Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular
pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus
urinarius) atau sistem organ multipel.
Demam Bifasik
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis
merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk
leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-
bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan
demam Lassa).
Relapsing Fever dan Demam Periodik
Demam Periodik
Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular
atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu
atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria
(istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila
demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis.
Relapsing Fever
Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang
disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu
(louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).
Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan
Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu sebelum
awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887,
pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien
dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH.
Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 – 10 hari, diikuti
oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini
mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan
anemia hemolitik.
KLASIFIKASI DEMAM
Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis
masalah.2 Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut,
subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel 3. dan Tabel
4. memperlihatkan tiga kelompok utama demam yang ditemukan di praktek
pediatrik beserta definisi istilah yang digunakan.1
Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik
Klasifikasi Penyebab tersering Lama demam
pada umumnya
Demam dengan localizing
Infeksi saluran nafas atas <1 minggu
signs
Demam tanpa localizing Infeksi virus, infeksi saluran
<1minggu
signs kemih
Infeksi, juvenile idiopathic
Fever of unknown origin >1 minggu
arthritis
Jawaban:
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat
pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen.
Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti
mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan
pirogen yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A). Sumber
utama dari zat pirogen endogen adalah monosit, limfosit dan
neutrophil.Seluruh substansi di atas menyebabkan selsel fagosit
mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat 10
sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang
mirip interleukin, yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel
yang penting. Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun
local dan berhasil memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor
nekrosis factor α dan interferon α, interferon β serta interferon γ
merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam.
Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf
Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus
anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam arakidonat dari membrane
fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat
selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari enzim
siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan
demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus . Enzim
sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu
siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua
isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi
regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang
mengkatalis pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan,
terutama pada selaput lender traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan
epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat
diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang, mitogenesis atau
onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid yang
merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada, 11
bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang bertanggung
jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2
mengkatalis pembentukan prostaglandin yang menyebabkan.Prostaglandin
E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang menyebabkan
demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron termosensitif.
Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang berperan
sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan
konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina ini akan
meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan prostaglandin di
susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh
menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat.
Gambar 1. Patofisiologi Demam
Jawaban :
Pada keadaan lebih lnjut toksin akan diproduksi lebih banyaj sehingga
daerahnekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk jaringan
nekrotik, fibrin , sel epitel, sel leukosit , sel eritrosit yang berwarna abu-
abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau dipaksa
menimbulkan perdarahan. Selanjutnya membrane akan menyebar ke
bronchial, menyebabkan obstruksi saluran pernapsan dan terjadi dispneu.
Jawaban :
a. Limfadenopati
Sistem limfatik merupakan pusat fungsi efektif dari sistem kekebalan tubuh.
Makrofag dan sel antigen-presenting lainnya bermigrasi ke kelenjar getah
bening untuk menyajikan antigen yang ditemukan ke sel T dan B. Saat sel T
dan B mengenali antigen, mereka berproliferasi di dalam kelenjar getah
bening untuk menghasilkan respon imun yang efektif. Limfadenopati (lokal /
sistemik) merupakan konsekuensi dari proliferasi ini
Saat invasi langsung terjadi, kelenjar getah bening soliter menjadi terinfeksi
dengan bakteri atau antigen jenis lainnya. Dampak dari respon imun ini ialah
hiperplasia struktur kelenjar getah bening, proliferasi sel T dan B, dan
infiltrasi sel imun lainnya untuk mengatasi infeksi. Hal-hal tersebut
menyebabkan peradangan dan pembengkakan nodus limfatikus.
5. Langkah-langkah diagnosis
Jawaban :
Anamnesis
- Identitas; nama, alamat, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, etnis, ras, negara
kelahiran.
- Keluhan penyerta
- Riwayat keluarga
- Riwayat obat
- Riwayat vaksinasi; tanggal dan jenis vaksinasi, jumlah dosis difteri toxoid
yang didapatkan, nama pabrik vaksin. Jika tidak divaksinasi, tanyakan
alasannya.
Pemeriksaan Fisis
- Inspeksi
- Palpasi
- Auskultasi
- Tanda vital
Jawaban :
DIFTERI
Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini. (1)
Etiologi
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius
dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini
merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik.
Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene. (1)
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen
B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim
translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) +
H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses
traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (1)
Manifestasi Klinis
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC.
Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat. (4)
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri
kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih
kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull
neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu
sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur
dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane
akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (6)
Difteri Laring
Diagnosis
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7
dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer. (3)
B. Pengobatan Khusus
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas
tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)
2. Antibiotik
Dosis :
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.
C. Pengobatan Penyulit
D. Pengobatan Karier
Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian
tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria,
pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian
pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis
prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis >
25.000/prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%)
menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) .
Pencegahan
MUMPS/PAROTITIS
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
VIROLOGI
PATOGENESIS
PATOLOGI
GAMBARAN KLINIS
Masa inkubasi mumps antara 2-4 minggu, kebanyakan 16-18 hari. Gejala
prodromal mencakup demam ringan, anoreksia, malaise, sakit kepala. Dalam
waktu 1 hari timbul sakit telinga dan nyeri pada kelenjar parotis unilateral. Dalam
waktu 2-3 hari kelenjar parotis membesar dan mencapai ukuran maksimal disertai
nyeri hebat. Umumnya kelnjar parotis yang lain membesar 1-2 hari kemudian.
Pembesaran parotis bias menyebabkan trismus dan kesulitan menelan. Setelah
parotis membesar maksimal, demam dan nyeri berkurang dan kelenjar perotis
kembali ke ukuran normal dalam waktu 1 minggu.
DIAGNOSIS
PENATALAKSANAAN
PENCEGAHAN
TONSILO FARINGITIS
A. Definisi
B. Etiologi
D. Manifestasi Klinik
E. Diagnosis
F. Tata laksana
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi.4 Faringitis streptococcus grup A merupakan
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan
antibiotik. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi
suportif yang dapat diberikan. Pemberian obat kumur dan obat hisap pada
anak cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat
nyeri berlebih atau demam dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen.1
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah
penisislin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau
benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB30 kg).
Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti penisislin
pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama amoksisilin memiliki
rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2 selama
6 hari1. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30
mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat
digunakan untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita yang
alergi terhadap penisilin.4 Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah
digunakan secara luas untuk mengurangi frekuensi tonsillitis rekuren.
Indikator klinis yang digunakan adalah Children’s Hospital of Pittsburgh
Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorok
yang diterapi antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau
lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi dengan antibiotik selama 3
tahun sebelumnya. Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi
tambahan pada otitis media kronis dan berulang. Indikasi tonsiloadenektomi
yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apneu akibat pembesaran
adenotonsil.1,2,4
G. Komplikasi Kejadian
Jawaban :
Penatalaksanaan awal
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA