Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

Oleh:

Reza Nofita Sari (1808320062)


Sacca Tiara Harlin (1808320081)
Nurhalimah Siregar (1808320086)
Mawarni Siahaan (1808320092)
M. Yoga Dwi A.S (1808320080)

Pembimbing:

dr. H. Supiono, Sp.P

SMF ILMU PARU

RUMAH SAKIT HAJI MEDAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,akhirnya penulis dapatmenyelesaikan
telaah jurnal ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di
Rumah Sakit Haji Medan

Laporan Kasus ini bertujuan agar melengkapi tugas dibagian SMF Ilmu
Paru Rumah Sakit Haji Medanyang judul “ TB Paru + HIV ” agar penulis dapat
memahami lebih dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan
Klinik SMFIlmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Haji Medan dan
mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis kepada pasien. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada dr.H.Supiono, Sp.Pyang telah membimbing
penulis dalam Laporan Kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Laporan Kasus ini masih memiliki


kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari
semua pihak yang membaca telaah jurnal ini. Harapan penulis semoga telaah
jurnal ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, 30 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 DESKRIPSI JURNAL...............................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru.......................................................................3

2.2 Definisi TB dan HIV.................................................................................6

2.3 Klasifikasi TB dan HIV.............................................................................6

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko HIV dan TB...................................................8

2.5 Patofisiologi TB dan HIV........................................................................10

2.6 Cara Mendiagnosa...................................................................................12

2.7 Tatalaksana TB dan HIV.........................................................................14

2.8 Prognosis.................................................................................................17

2.9 Komplikasi..............................................................................................15

2.10 Hubungan TB dengan HIV......................................................................18

BAB 3 LAPORAN KASUS.................................................................................19


DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberculosis yaitu suatu ancaman kesehatan yang serius, terutama bagi


orang yang hidup dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus).Orang yang
hidup dengan HIV lebih mungkin menjadi sakit karena TB. Di seluruh dunia, TB
merupakan salah satu penyebab utama kematian diantara orang dengan HIV.1

Sekitar 14 juta orang di seluruh dunia diperkirakan terinfeksi secara


permanen dengan HIV dan M. tuberculosis, dan TB tetap menjadi penyebab
utama kematian di antara orang yang hidup dengan HIV.Pada tahun 2015,
diperkirakan ada 10,4 juta kasus penyakit tuberkulosis secara global, termasuk 1,2
juta [11%] di antara orang yang hidup dengan HIV.Berdasarkan WHO 2013,
Infeksi HIV diperkirakan meningkatkan risiko TB 20 kali lipat dibandingkan
dengan orang tidak terkena HIV di negara dengan prevalensi HIV tinggi. Dari
perkiraan 8,7 juta orang yang mengembangkan TB secara global pada tahun 2012,
1,1 juta (13%) diperkirakan koinfeksi HIV.Dari 2,8 juta orang dengan TB yang
sebenarnya diskrining untuk HIV pada tahun 2012, 20% dites HIV-positif,
termasuk 42% orang dengan TB di Afrika.2,3

Sumber penularan infeksi HIV yaitu melalu kontak seksual, darah,


maupun vertikal dari ibu ke janin. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari
gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam
memastikan diagnosis TB paru pada penderita HIV adalah pemeriksaan BTA
dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.Untuk
daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dengan kemungkinan koinfeksi
TB-HIV konseling dan pemeriksaan HIV sangat diperlukan untuk seluruh kasus
TB sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Daerah dengan prevalensi yang
rendah, konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan pada pasien TB dengan
keluhan dan gejala HIV atau dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.5,7

Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus


diberikan segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB
dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan
paling lambat 8 minggu. Pasien TB-HIV yang tidak mendapatkan respon
pengobatan, harus dipikirkan adanya resistensi atau malabsorbsi obat sehingga
dosis yang diterima tidak cukup untuk terapi.7

BAB II

Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru

Gambar 2.1 Gambaran Paru Manusia

Paru-paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru-paru sebelah kiri mempunyai


dua lobus, yang dipisahkan oleh belahan yang miring. Lobus superior terletak di
atas dan di depan lobus inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan
mempunyai tiga lobus. Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan
posisi yang sama terhadap lobus inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh
suatu fisura horisontal menjadi lobus atas dan lobus tengah. Setiap lobus
selanjutnya dibagi menjadi segmen-segmen yang disebut bronko-pulmoner,
mereka dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-
masing satu arteri dan satu vena. Masing-masing segmen juga dibagi menjadi
unit-unit yang disebut lobulus.8

Fungsi utama paru adalah sebagai alat pernapasan yaitu melakukan


pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari
atmosfer kedalam paru-paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara dari alveolar ke
luar tubuh (ekspirasi).9

Secara anatomi, fungsi pernapasan ini dimulai dari hidung sampai ke


parenkim paru. Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang
berfungsi sebagai konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai
respirasi (pertukaran gas). Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen (O2) ke
sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke atmosfer. Proses ini terdiri dari 4
tahap yaitu :10

a) Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari
alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh, karena
masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan
walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume
residu. Volume ini penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk
mengaerasikan darah.

b) Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.

c) Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari
sel-sel.

d) Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Dari aspek fisiologis, ada dua macam pernapasan yaitu (Rahajoe dkk,
1994); a) Pernapasan luar (eksternal respiration) yaitu penyerapan O2 dan
pengeluaran CO2 dalam paru-paru. b) Pernapasan dalam (internal respiration)
yang aktifitas utamanya adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang
terjadi dalam sel.9

Untuk melakukan tugas pertukaran udara, organ pernapasan disusun oleh


beberapa komponen penting antara lain:10

a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot dan saraf perifer

b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran nafas, alveoli dan pembuluh darah.

c. Pleura viseralis dan pleura parietalis.

d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh arteri utama. Sebagai organ


pernapasan dalam melakukan tugasnya dibantu oleh sistem kardiovaskuler dan
sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai darah bagi paru
(perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2 dan CO2 sistem saraf pusat
berperan sebagai pengendali irama dan pola pernapasan.

Dalam mekanika pernapasan terdapat tiga tekanan yang berperan penting


dalam ventilasi:9

1. Tekanan atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh


berat udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Tekanan atmosfer
berkurang seiring dengan penambahan ketinggian diatas permukaan laut karna
lapisan-laisan dipermukaan bumi juga semakin menipis.

2. Tekanan intra-alveolus/ intrapulmonal (760 mmHg) adalah tekanan


didalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran
napas penghantar, udara cepat mengalir menuruni gradien tekanannya setiap
etekanan intra-alveolus berbeda dari atmosfer;udara terus mengalir sampai kedua
tekanan seimbang (ekuilibrium).

3. Tekanan intrapleura (756 mmHg) adalah tekanan didalam kantung


pleura. Ditimbulkan dari luar paru didalam rongga thoraks. Sebelum inspirasi
terlihat otot-otot pernapasan relaks dan besar tekanan intra-alveolus sama dengan
tekanan atmosfer. Pusat irama dasar pernapasan (dorsal respiratory group/DRG
group/DRG di formasio retikularis medula oblongata) mengirimkan impuls dari I
neuron I-DRG melalui n.phrenicus ke otot- otot inspirasi dan ke neuron E-VRG
(ventral respiratory group). Diafragma dan m.external intercostal berkontraksi →
rongga thorak membesar → tekanan transmural (intra-pleura & intra-alveolar)
meningkat → jaringan paru → tekanan intra-alveolar menurun → udara masuk ke
alveolus. Napas dalam melibatkan otot inspirasi tambahan :
M.sternocleidomastoideus dan M.scalenus

Pada akhir inspirasi otot-otot inspirasi relaks → tekanan transmural


(intrapleura intrapleura dan atmosfer) menurun → dinding dada menekan jaringan
paru → tekanan intra-alveolar meningkat → udara keluar. Impuls dari neuron E-
VRG menghambat neuron I-DRG sehingga menghentikan aktivitasnya dengan
penglepasan rangsangan inhibisi. Ekspirasi tenang tidak melibatkan otot-otot
ekspirasi. Ekspirasi aktif melibatkan otot-otot ekspirasi: M.internal intercostal dan
M.abdominalis.

2.2 Definisi TB dan HIV

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium


tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. HIV merupakan patogen yang menyerang sistem
imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+ dipermukaannya
seperti makrofag dan imfosit T.Adapun definisi HIV lainnya yaitu virus RNA
yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan
penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan)
HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid
(DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh,
memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya
menimbulkan tanda dan gejala AIDS.4,5

2.3 Klasifikasi TB dan HIV

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB meliputi 4 hal, yaitu:5

1. Berdasakan lokasinya yaitu: paru dan ekstra paru


2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahaknya yaitu: BTA positif atau BTA
negatif
3. Berdasarkan tipe pasiennya yaitu:
 Kasus baru: belum pernah mendapat OAT
 Kasus kambuh (relaps):
 Pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT telah
selesai pengobatan dan dikatakan sembuh. Namun didapatkan
BTA (+) atau kultur (+) kembali dan kembali konsumsi OAT
 Bila BTA (-), tetapi radiologi menunjukkan lesi
aktif/perburukan dan gejala klinis (+)
 Kasus default, yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat
selama ≥ 2 bulan dengan BTA (+)
 Kasus gagal, yaitu pasien dengan BTA (+) sebelumnya, tetap (+)
atau kembali lagi menjadi (+) pada akhir bulan ke 5 atau akhir
pengobatan OAT
 Kasus kronik, jika sputum BTA tetap (+) setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengawasan ketat
 Kasus bekas TB
4. Berdasarkan status HIV pasien yaitu: diagnosis TB paru dan ekstra paru
ditegakkan sebagai berikut:
 TB paru BTA (+), yaitu minimal 1 kali pemeriksaan dahak positif
 TB paru BTA (-), yaitu hasil dahak negatif dan gambaran klinis-
radiologis kearah TB atau BTA (-) dengan kultur TB (+)
 TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis, dan / atau histopatologis.

Klasifikasi penyakit HIV yaitu:4,5,6

1. Berdasarkan stadium klinis yaitu:


 Stadium klinis 1 : asimptomatik
 Stadium klinis 2 : sakit ringan
 Stadium klinis 3 : sakit sedang
 Stadium klinis 4 : sakit berat
2. Berdasarkan virus HIV yaitu:
 HIV-1
 HIV-2

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko HIV dan TB

a. Etiologi dan Faktor Risiko HIV/AIDS


Agen etiologi AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) adalah HIV
(Human Immunodeficiency Virus), yang termasuk family retrovirus manusia dan
subfamili lentivirus. HIV merupakan golongan retrovirus yang menggunakan
enzim reverse transcriptase untuk menuliskan RNA virus kedalam DNA yang
dimasukkan ke dalam genom host.11
HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa berisiko menular
melalui cairan tubuh tertentu, yaitu:
 Darah
 Air mani (cairan, bukan sperma)
 Cairan vagina
 Air susu ibu (ASI)
Kegiatan yang dapat menularkan HIV adalah:
 Hubungan seks tidak aman/tanpa kondom
 Penggunaan jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril secara
 bergantian
 Tindakan medis yang memakai peralatan yang tidak steril,
 misalnya, peralatan dokter gigi
 Penerimaan transfusi darah yang mengandung HIV
 Ibu HIV-positif pada bayinya, waktu dalam kandungan, ketika
 melahirkan atau menyusui.12

b. Etiologi dan Faktor Risiko TB


TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, aerob obligat
yang tumbuh lambat dan parasit intraseluler fakultatif. 13TB dapat menyebar dari
orang ke orang melalui droplet yang dilepaskan ke udara. Hal ini dapat terjadi
ketika seseorang dengan TB aktif yang tidak diobati, berbicara, bersin, meludah,
tertawa atau bernyanyi. Meskipun tuberkulosis menular, tidak mudah tertular.
individu jauh lebih mungkin terkena TB dari seseorang yang tinggal bersama
daripada dari orang asing. Sebagian besar orang dengan TB aktif yang sudah
menjalani pengobatan yang tepat cenderung tidak lagi menular.14

Terdapat faktor-faktor tertentu dapat meningkatkan risiko terjadinya TB,


salah satunya adalah sistem kekebalan tubuh yang melemah. Sistem kekebalan
tubuh yang sehat sering berhasil melawan bakteri TB, tetapi tubuh tidak dapat
melakukan pertahanan yang efektif jika daya tahan tubuh yang rendah. Sejumlah
penyakit, kondisi, dan obat-obatan dapat melemahkan sistem kekebalan Anda,
termasuk:

 HIV / AIDS
 Diabetes
 Penyakit ginjal berat
 Kanker tertentu
 Perawatan kanker, seperti kemoterapi
 Beberapa obat digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis, penyakit
Crohn dan psoriasis
 Malnutrisi
 Usia yang sangat muda atau lanjut.14

Beberapa hal yang dapat meningkatkna risiko TB pada HIV :

 Replikasi HIV meningkat di tempat infeksi M. tuberculosis, yang


mengarah pada peningkatan penyakit
 Tingkat HIV p24 yang lebih tinggi dalam cairan BAL (Bonchoalveolar
lavage) dari paru-paru yang terlibat TB dibandingkan pada cairan BAL
dari paru-paru yang tidak terlibat
 Replikasi HIV yang lebih besar pada makrofag yang terinfeksi M.
tuberculosis dan HIV daripada makrofag yang terinfeksi HIV saja
 HIV menginduksi TB primer atau yang diaktivasi kembali melalui
pembunuhan sel T CD4 dalam granuloma.
 Pada individu yang HIV positif dengan penurunan jumlah sel T CD4 lebih
rentan terhadap TB dibandingkan orang HIV positif yang memiliki lebih
banyak sel T CD4.
 Makrofag koinfeksi melepaskan TNF lebih sedikit dibandingkan makrofag
yang hanya terinfeksi M. tuberculosis
 HIV mengurangi kemampuan makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis.15

2.5 Patofisiologi HIV dan TB


Gambar 2.1 Patogenesis TuberkulosisGambar 2.2 Pathway
Pathophysiology
HIV/AIDS

Diketahui bahwa HIV merusak kemampuan untuk mengendalikan infeksi


M. Tuberculosis. Studi klinis memberikan bukti kuat bahwa HIV mengarah pada
peningkatan risiko pengembangan TB segera setelah infeksi HIV. Tidak hanya
orang HIV positif yang berisiko lebih besar tertular M. tuberculosis dan
mengembangkan TB aktif, namun mereka juga memiliki risiko kematian yang
meningkat karena TB. Diketahui bahwa Koinfeksi HIV / TB sangat merugikan.
Mekanisme di mana HIV mengganggu fungsi granuloma yang sudah matur dan
yang baru terbentuk, mengarah pada peningkatan morbiditas dan mortalitas orang
koinfeksi dibandingkan dengan orang dengan TB saja. Terdapat peningkatan
patologi terkait dengan koinfeksi HIV / TB yang disebabkan oleh gangguan
fungsional dari respon imun lokal dalam granuloma. Gangguan ini mungkin
menurunkan kemampuan granuloma terhadap M. tuberculosis, yang mengarah
pada peningkatan pertumbuhan bakteri yang lebih banyak dan penyebaran
mikobakteri dan patologi yang parah.15

Gambar 2.3 Mekanisme reaktivasi TB laten yang diinduksi HIV

Terdapat tahapan yang terjadi pada gambar diatas, yaitu : (Tahap 1)


Granuloma nekrotik berfungsi “normal” pada seseorang dengan TB laten. (Tahap
2) HIV memasuki granuloma dan menginduksi perubahan fungsional dalam sel T
dan makrofag. HIV juga membunuh sel T yang diaktifkan. (Tahap 3) Penurunan
jumlah sel T dan peningkatan disfungsi seluler menyebabkan gangguan
fungsional granuloma. Ini dapat menyebabkan peningkatan penyebaran. (Tahap
4a) Granuloma secara fungsional terganggu tidak lama setelah infeksi HIV
menyebabkan penyebaran M. tuberkulosis dan reaktivasi TB dini. (Tahap 4b)
Granuloma fibrosis untuk sementara waktu membangun kembali penahanan
granuloma, yang mencegah reaktivasi.5Koinfeksi HIV / Mycobacterium
tuberculosis disebut sebagai “danger-couple”. Mycobacterium tuberculosis dan
HIV telah berevolusi untuk saling mendukung dalam memfasilitasi patogenesis
penyakit.16

2.6 Cara Mendiagnosa


Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal
yang perludilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
* Pemeriksaan fisik.
* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
* Rontgen dada (thorax photo).
* Uji tuberkulin.
Diagnosis TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih.Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batukdarah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun,malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satubulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selainTB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orangyang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorangtersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secaramikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada
pasienanak.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilanpengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untukpenegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutanberupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S(sewaktu):Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertamakali. Pada saat pulang,suspek membawa sebuah pot dahak
untukmengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P(Pagi):Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelahbangun tidur. Pot dibawa dandiserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
• S(sewaktu):Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahakpagi.

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan


denganditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan
BTA melaluipemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lainseperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjangdiagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TBhanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalumemberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadioverdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu
menunjukkan aktifitaspenyakit.
Indikasi Pemeriksaan Foto ToraksPada sebagian besar TB paru, diagnosis
terutama ditegakkan dengan pemeriksaandahak secara mikroskopis dan tidak
memerlukan foto toraks. Namun pada kondisitertentu pemeriksaan foto toraks
perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagaiberikut:
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus
inipemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paruBTA positif.
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
padapemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelahpemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukanpenanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi
pericarditisatau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat
(untukmenyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

2.7 Tatalaksana

Pada penderita TB yang mendapat pengobatan, angka kematian pada


penderita HIV positif lebih tinggi daripada penderita dengan HIV negatif karena
pada penderita ini sistem imunnya lebih tertekan. Kasus kematian menurun pada
penderita yang mendapat terapi ARV. Prioritas utama pada penderita dengan ko-
infeksi TB-HIV adalah memulai terapi TB, diikuti dengan kotrimoksazol, dan
ARV.

- Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV:

Bila penderita belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera


dimulai. Jika penderita dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB-nya
sampai dapat ditoleransi (2-4 minggu) dan setelah itu diberi pengobatan ARV .

- Pengobatan pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV :

Bila penderita sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB


dimulai.

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Pengobatan TB pada pasien HIV menggunakan regimen :

Intensive phase treatment Continuation phase


2 months of HRZE 4 months of HR
Atau

Intensive phase treatment Continuation phase


2 months of HRZE 4 months of HRE

Rekomendasi dosis OAT lini- 1

Drug Recommended dose


Daily 3 times per week
Dose (mg/kg body Dose (mg/kg body
weight) weight)
Isoniazid 5(4-6) max : 300mg 10 (8-12)
Rifampisin 10 (8-12) max : 600mg 10 (8-12)
Pyrazinamide 25 (20-30) 35 ( 30-40)
Ethambutol 15 ( 15-20) 30 ( 25-35)
Streptomycin 15 (12-18) 15 ( 12-18)

 Pasien TB dengan status HIV positif harus menerima pengobatan TB


setiap hari setidaknya fase intensif
 Untuk fase lanjutan, frekuensi dosis optimal juga diberikan setiap hari
 Jika fase lanjutan harian tidak memungkinkan untuk pasien ini, dosis
3x/minggu selama fase kelanjutan adalah alternatif yang dapat diterima
 Dalam hal durasi terapi, rekomendasi untuk memperpanjang pengobatan
TB pada orang dengan HIV. Pada penelitian menunjukkan tingkat
kekambuhan yang lebih rendah pada ODHA yang diobati selama 8 bulan
atau lebih dibandingkan dengan rekomendasi saat ini yaitu 6 bulan.

2. Antiretroviral terapi (ARV)

ARV adalah obat yang menghambat replikasi HIV . Tujuan terapi ARV
adalah menekan replikasi HIV, dan menigkatkan limfosit CD4. Ada 4 golongan
ARV yaitu :

a. Penghambat masukya virus kedalam sel ( fusion inhibitor): contohnya


enfuvirtid (T-20) dan maravirus (MVC)
b. Reverse transcriptase inhibitor (RTI)
- Analog nukleosida ( NRTI) : contohnya analog yaitu tymin
( zidovidin /2DV/AZT) dan stavudin (d4T), analog cytosin yaitu
lamivudine (3TC) dan zalcitabin (ddC), analog guanine yaitu abacavir
(ABC)
- Analog nukleotida (NtRTI) : contohnya analog adenosine monofosfat
yaitu tenofovir
- Non nukleosida ( (NNRTI) : contohnya nevirapin (NVP) dan
efavirenz (EFV)
c. Protease inhibitor (PI) : contohnya saquinavir (SQV) , indinavir ( IDV),
dan nelfinavir ( NFV)
d. Integrase inhibitor : contohnya Raltegra (RGV) dan elvitegravir (EGV)

Terapi ARV untuk penderita ko-infeksi TB-HIV:

CD4 Panduan yang keterangan


dianjurkan
Berapapun jumlah CD4 Mulai terapi TB Mulai terapi ARV
segera setelah terapi TB
Gunakan panduan yang dapat ditoleransi (antara
mengandung EFV 2 minggu hingga 8
(AZT atau TDF) +3TC minggu)
+ EFV (600mg/hari)

Setelah OAT selesai


maka bila perlu EFV
dapat diganti dengan
NVP
CD4 tidak mungkin Mulai terapi TB Mulai terapi ARV
diperiksa segera setelah terapi TB
dapat ditoleransi (antara
2 minggu hingga 8
minggu)

Panduan terapi ARV bagi ODHA yang kemudian muncul TB :

Penatalaksanaan TB dan HIV pada saat yang bersamaan menimbulkan


interaksi obat antara rifamfisin dengan ARV golongan NNRTI dan PI. Interaksi
obat-obat ini mengakibatkan pengobatan ARV dan TB menjadi tidak efektif serta
meningkatkan toksisitas obat.

Panduan ARV Panduan ARV saat TB Pilihan terapi ARV


muncul
Lini pertama 2NRTI +EFV Teruskan dengan 2NRTI +
Lini pertama EFV
2NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau
teruskan dengan 2NRTI +
NVP.
Lini kedua 2NRTI + PI/r Mengingat rifampisin
tidak dapat digunakan
bersamaan dengan LPV/ir,
dianjurkan menggunakan
panduan OAT tanpa
rifampisin.Jika rifampisin
perlu diberikan maka
pilihan lain adalah
menggunakan LPV/r
dengan dosis
800mg/200mg dua kali
sehari. Perlu evaluasi
fungsi hati jika
menggunakan dosis ganda
LPV/r

3. Pencegahan infeksi opurtunistik

Dengan menggunakan kotrimoksasol. Pencegahan dengan kotrimoksasol


diberikan sebagai profilaksis primer ( untuk mencegah infeksi yang belum pernah
dialami) maupun profilaksis sekunder (untuk mencegah berulangnya suatu
infeksi).

- Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4+ kotrimoksasol diberikan


pada semua pasien segera setelah dinyatakan HIV positif. Dosis
1x960mg/hari dosis tunggal. Terapi kotrimoksasol dihentikan setelah
2 tahun penggunaan bila mendapatkan ARV
- Bila tersedia pemeriksaan hitung CD4+, kotrimoksasol diberikan pada
semua pasien HIV dengan CD4+ <200sel/mm 3. Dosisi
1x960mgmg/hari dosis tunggal. Terapi kotrimoksasol dihentikan bila
sel CD4+ meningkat >200sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali interval
6 bulan berturut-turut jika mendapat ARV. 17,18,19

2.8 Prognosis

TBC pada pasien HIV dapat disembuhkan. Namun, HIV meningkatkan


tingkat kematian terkait TB. Sebuah penelitan prospektif 12 tahun di san
fransisco menunjukkan tingkat fatalitas kasus TB secara signifikan lebih tinggi
untuk pasien ko-infeksi HIV dibandingkan pasien yang tidak terinfeksi HIV
20
( 22% dan 10%).

Menurut penelitian yang dilakukan pada populasi masyarakat di Brasil


yang mengidentifikasi prediktor kematian Tuberkulosis didapati dari 1541
individu yang dilaporkan menderita Tuberkulosis, 320 (5,9 %) meninggal dunia
(insidensi dan angka kematian masing-masing 98,6 dan 12,2/100 ribu penduduk).
Dimana risiko relatif kematian akibat Tuberkulosis adalah 9,8 untuk individu
berusia > 50 tahun, 9,0 untuk ko-infeksi TB/HIV, 3,0 untuk presentasi klinis TB
campuran dan 2,0 untuk putus obat.21

2.9 Komplikasi

Adapun komplikasi yang di akibatkan dari koinfeksi TB-HIV ini yakni

cedera pada hati yang diakibatkan dari obat, ruam di kulit karena obat, resitensi

terapi antiretroviral (ARV) yang sangat aktif hingga immune reconstruction

inflammatory syndrome.22

3.0 Hubungan antara Tuberkulosis dengan HIV/AIDS


Mycobacterium Tuberculosis memiliki komponen penting yaitu

Lipoarabinoman (LAM) yang memiliki kemampuan luas menghambat pengaruh

immunoregulator. LAM merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun

dari pospatidilinositol, berperan langsung dalam pengendalian pengaruh sistem

imun sehingga MTB tetap mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya.23

Dalam upaya mempertahankan kehidupannya tersebut MTB juga menekan

proliferasi limfosit T, menghambat aktivitas makrofag, dan menetralisasi

pengaruh toksik radikal bebas. Di sisi lain LAM mempengaruhi makrofag dan

sebagai induktor transkripsi mRNA sehingga mampu menginduksi produksi dan

sekresi sitokin termasuk TNF, granulocyte- macrophage- CSF, IL-1α, IL-1β, IL-6,

IL-8 dan IL-10. Pengaruh sitokin tersebut menghambat peran antimikrobial,

memicu gejala demam, mengakibatkan nekrosis jaringan. Tetapi LAM tidak

menginduksi transkripsi mRNA dari sitokin yang mestinya diproduksi limfosit

seperti limfositokin, IFN-γ, IL-2, IL-3, IL-4.3

Ada tiga mekanisme yang menyebabkan terjadinya TB pada penderita HIV,

yaitu reaktivasi, adanya infeksi baru yang progresif serta terinfeksi. Penurunan

CD4 yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi HIV akan mengakibatkan

reaktivasi kuman TB yang dorman.23

Pada penderita HIV jumlah serta fungsi sel CD4 menurun secara progresif,

serta gangguan pada fungsi makrofag dan monosit. CD4 dan makrofag merupakan

komponen yang memiliki peran utama dalam pertahanan tubuh terhadap

mikobakterium. Salah satu aktivator replikasi HIV di dalam sel limfosit TB adalah

tumor necrosis factor alfa. Sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang aktif dan
dalam proses pembentukan jaringan granuloma pada TB. Kadar bahan ini 3-10

kali lebih tinggi pada mereka yang terinfeksi TB dengan HIV-AIDS dibandingkan

dengan yang terinfeksi HIV saja tanpa TB. Tingginya kadar tumor necrosis factor

alfa ini menunjukkan bahwa aktivitas virus HIV juga dapat meningkat, yang

artinya memperburuk perjalanan penyakit AIDS.23

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. JP

Umur : 25 tahun

Jenis kelamin : Perempuan


Alamat : Dsn VIII Jl. Pendidikan gg Layulis Bandar Khalifah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Tanggal Masuk : 13 Oktober 2019

No. RM : 335532

II. ANAMNESIS

 KELUHAN UTAMA :

Mencret

 TELAAH

Seorang pasien datang ke RS Haji Medan dengan keluhan

mencret. Hal ini sudah dialami pasien sejak 1 minggu ini. Mencret

dirasakan secara terus-menerus dengan frekuensi >8x/ mencret dengan

konsistensi cair berisi ampas makanan.

Pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak berwarna

keputihan >2 minngu ini. Batuk dirasakan secara terus menerus. Batuk

berdarah di sangkal.

Selain itu pasien mengatakan adanya demam sejak 3 hari yang lalu

diikuti penurunan nafsu makan yang mengakibatkan badan pasien terasa

lemas. Serta di jumpai adanya mual dan muntah sesekali.

BAK: 3-4 kali/ hari, warna kuning pekat

BAB: >8 kali/ hari dengan konsistensi cair bercampur ampas makanan
Riwayat Penyakit Terdahulu : HIV

Riwayat Penggunaan Obat : ARV selama 2 bulan

Riwayat Penyakit Keluarga :-

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALISATA

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang

 Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)

 Tanda vital

o Tekanan Darah : 120 / 70 mmHg

o Nadi : 100 x/menit

o Suhu : 39 oC

o Pernapasan : 24 x/menit

 BB : 47 kg TB : 154 cm IMT : 19,8 kg/m2 Kesan: Normoweigh

1. Kepala

 Bentuk : Normochepali

 Pertumbuhan Rambut: Distribusi merata, warna hitam

 Deformitas : Tidak terdapat deformitas

a. Muka

 Sembab : Ya

 Pucat : Ya

 Kuning : Tidak dijumpai

 Parese : Tidak dijumpai


 Gangguan Lokal : Tidak dijumpai

b. Mata

 Bentuk : Normal, kedudukan bola mata simetris

 Konjungtiva : Anemis

 Sklera : Tidak ikterik

 Pupil : Bulat, isokor +/+, diameter 3 mm

c. Telinga

 Bentuk : Normal (eutrofilia)

 Liang telinga : Lapang

 Serumen : +/+

d. Hidung

 Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas

 Septum : Terletak di tengah dan simetris

 Mukosa hidung : Tidak terdapat hiperemis, konka nasalis eutrofi

 Cavum nasi : Perdarahan(-)

e. Mulut dan Tenggorok

 Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis

 Gigi-Geligi : Hygiene kurang baik

 Mukosa mulut : Normal, tidak hiperemis

 Lidah : Normoglosia, tidak kotor, tidak tremor

 Tonsil : T1/T1 tenang, tidak hiperemis

 Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di

tengah
 Gusi : Tidak ada perdarahan

f. Leher

 Bendungan vena : Tidak terdapat bendungan vena

 Kelenjar tiroid : Tidak membesar, mengikuti gerakan,

simetris

 Trakea : Di tengah

g. Kelenjar Getah Bening

 Tidak teraba pembesaran KGB

2. Thorax

 Thoraks anterior

o Inspeksi : Simetris tidak ada hemithorax yang tertinggal, dalam

keadaan statis maupun dinamis

o Palpasi : Gerak simetris pada kedua hemithorax vocal fremitus +/

+ suara kuat

o Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

o Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

 Thoraks posterior

o Inspeksi : Simetris tidak ada hemithorax yang tertinggal, dalam

keadaan statis maupun dinamis

o Palpasi : Gerak simetris pada kedua hemithorax vocal fremitus

kanan=kiri, tidak dijumpai nyeri tekan

o Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

o Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-


 Jantung

o Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis

o Palpasi : Teraba pulsasi ictus cordis pada ICS V linea

midclavicularis sinistra, thrill (-)

o Perkusi : Batas jantung kanan pada intercostal V

parasternal kanan, jantung kiri pada intercostal V

midclavicula kiri, pinggang jantung pada intercosta

III parasternal kiri

o Auskultasi : BJ I - II reguler, murmur(-), gallop(-)

3. Abdomen

 Inspeksi : Normal, tidak terdapat asites, smiling umbilicus (-),

efloresensi (-)

 Palpasi : Supel, massa (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

epigastrium (+), ballotement (-)

 Perkusi : Pekak pada keempat kuadran abdomen

 Auskultasi : Bising usus meningkat (+), shifting dullness (-)

4. Genitalia

 Tidak dilakukan pemeriksaan

5. Ekstremitas
 Tidak tampak deformitas

 Akral hangat pada keempat ekstremitas

 Edema (-)

 Sianosis (-)

 Turgor menurun

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 13-14 Oktober 2019 (rawat inap)

HASIL

PEMERIKSAAN 13/10/1 14/10/1 NILAI RUJUKAN

9 9

Hemoglobin 6,7 (L) 0 13.5-18.0 g/dl

20,6
Hematokrit 0 42 – 52 %
(L)

Eritrosit - 0 4.7 – 6.0 juta/ul

Leukosit 3.3 (L) 0 4.0-10.5 ribu/ul

Trombosit - 0 150-400 ribu/ul

MCV - 0 78-100 fl

MCH - 0 27 – 31 pg

MCHC - 0 31,5 – 35 g/dl

LED - 0 0-20

Diff count
Eos 1 - 1-3 %

Bas 0 - 0-1 %

Stab 0 - 2-6 %

Seg 77 (H) - 50-70 %

Lymph 17 (L) - 20-40 %

Mono 5 - 4-8 %

FAAL HATI

SGOT/ AST 75 (H) - P <40 U/L ; W<32 U/L

SGPT/ ALT 51 (H) - P <41 U/L ; W<33 U/L

FAAL GINJAL

Ureum 13 - < 50 mg/dl

P <0,7 – 1,2 mg/dl ;W< 0,6 -1,0


Creatinin 0,5 (L) -
mg/dl

IMUNOSEROLOGI

=< 2 : Negatif

3 : Borderline

Salmonella Typhi Score 2 - 4-5 : Positif indikasi Typhoid fever

>= 6 : Indikasi kuat infeksi Typhoid

Fever

PEMERIKSAAN HIV

HIV - Reaktif Nonreaktif


PEMERIKSAAN FOTO THORAKS

Keterangan : Sinus costoprenicus normal. Diafragma norma

Jantung : Besar dan bentuk normal

Paru : Infiltrat di parahiler


Kesan : Susp Peri Carnii Tuberculosis

DIAGNOSA KERJA

 Tuberkulosis Paru + HIV/AIDS

DIAGNOSA BANDING

 Pneumonia + CMV

 Bronchiectasis + Oropharygeal Candidiasis

 Sarkoidosis + Drug eruption

RENCANA DIAGNOSTIK

 Pemeriksaan darah lengkap

 AGDA

 Elektrolit

 Foto Thoraks

RENCANA TERAPI

1. IVFD RL 30 gtt/i

2. Inj Ceftriakson 1 gr/12 jam

3. Inj Ondansetron 8 gr/ 8 jam

4. Loperamid 4 mg 3x2 tab

5. Paracetamol 500 mg 3x1 tab

6. Cotrimoksazole 10 mg 2x1 tab

7. Ambroxol syr 3XCI

8. ARV
9. Rifampicin 300 mg 1x1 tab

10. INH 300 mg 1x1 tab

11. Ethambutol 500 mg 2x1 tab

12. Pirazinamid 500 mg 2x1 tab`

13. Vit B Compleks 1x1 tab

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for disease control and prevention. TB and HIV Coinfection. 2016.
CDC. Diakses melalui
https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/tbhivcoinfection.htm
2. Bruchfeld J, dkk. Tuberculosis and HIV Coinfection. NCBI. 2015. Diakses
melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4484961/
3. Tuberculosis and HIV. World Health Organization. 2019. Diakses melalui
https://www.who.int/hiv/topics/tb/about_tb/en/
4. Aditama TY,dkk. Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV.
Kementrian kesehatan RI. 2012.
5. Soemasto, et al, editors. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta:
essentials medicine; 2014.
6. Setiati,dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna publishing,
ed: 6 .
7. Wijaya IMK. Infeksi HIV (HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) Pada
Penderita Tuberkulosis. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III.2013.
hal.295-303
8. Snell, Richard S., 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Edisi 6. EGC.
Jakarta.
9. Sherwood, Laura Iee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC
10. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022
11. Paranta Y. HIV/AIDS. Diponegoro University. 2018
12. Green CW. Seri buku kecil hiv/aids (HIV dan TB). Spiritia. 2016
13. Herchline TE. What is the etiology of tuberculosis (TB). Medscape.2019
14. Tuberculosis. Mayo Clinic. 2019. Available from:
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/tuberculosis/symptoms-
causes/syc-20351250
15. Diedrich CR, Flynn JL. HIV-1/Mycobacterium tuberculosis Coinfection
Immunology: How Does HIV-1 Exacerbate Tuberculosis?. NCBI. 2011
16. Shankar EM, et al. HIV–Mycobacterium tuberculosis co-infection: a ‘danger-
couple model’ of disease pathogenesis. OXFORD Academic. 2014 
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Buku Petunjuk TB-HIV
untuk petugas kesehatan.
18. Treatment of Tuberculosis : Guidelines. 4th edition. Geneva : World Health
Organization; 2010.5, Co-management of HIV and active TB disease. Diakses
melalui : http://ncbi.nlm.nih.gov
19. Ajmala Indana E, Wulandari L. 2015. Terapi ARV pada penderita Ko-Infeksi
TB-HIV. Jurnal respirasi.
20. Kwan Candice K, Ernst Joel P. 2011. HIV and Tuberculosis: a deadly Human
Syndemic. Diakses melalui : http://ncbi.nlm.nih.gov
21. Domingos MP et al. Mortality, TB/HIV co-infection and treatment drop out:
predictors of tuberculosis prognosis in Recife, Pernambuco State, Brazil.
Cadernos de Saude Publica. 2008; 24(4):887-96
22. Ziyuan et al. Clinical complications antiretroviral therapy in HIV/TB patients
in referral hospital, China. Future Virology. 2017;12(2)
23. Mulyadi, Fitrika Y. Hubungan Tuberkulosis dengan HIV/AIDS. Jurnal PSIK.
2011; II(2): 162-166

Anda mungkin juga menyukai