Seperti telah diutarakan pada awal tulisan, kebijakan kependudukan dapat dibedakan
ke dalam dua tujuan besar. Pertama, kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk. Kedua, kebijakan yang lebih bertujuan pada perbaikan tingkat sosial
dan ekonomi, seperti pengaturan migrasi, kebijakan pelayanan terhadap penduduk usia lanjut,
serta kebijakan-kebijakan berkualitas yang berkaitan dengan peningkatan pelayanan
kesehatan reproduksi.
Di negara-negara berkembang, pengertian kebijakan kependudukan sering
dihubungkan dengan program KB (family planning). Di negara-negara maju, khususnya di
negara-negara barat, pemerintah mengambil sikap tidak ikut campur dalam hal program KB.
Di negara-negara maju, usaha KB dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat atau LSM
dengan dana dari masyarakat pula. Prakarsa KB datang dari kalangan masyarakat yang
mempunyai pendidikan tinggi, pendapatan tinggi, serta status sosial yang lebih tinggi pula.
Oleh karena itu, pengetahuan, sikap positif terhadap KB, serta praktik KB dimulai dari
golongan atas menurun ke golongan menengah dan selanjutnya ke golongan bawah (buruh
dan petani) di desa-desa. Fenomena seperti yang terjadi di negara maju tersebut tampaknya
sesuai dengan teori modernitas yang beranggapan bahwa mempunyai banyak anak akan
menghambat karier dan perlu biaya yang tinggi untuk pendidikan serta peningkatan kualitas
hidup anak tersebut.
Sementara itu, di negara-negara berkembang pada mulanya peranan pemerintah
sangat menonjol di dalam pelaksanaan program KB. Seiring dengan bertambahnya usia
program KB dan berkembangnya kondisi sosial dan ekonomi penduduk, peranan organisasi
kemasyarakatan atau LSM dalam program KB pun meningkat.
Kebijakan Pronatalis versus Antinatalis
Kebijakan kependudukan yang berorientasi demografi secara umum sifatnya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kebijakan kependudukan yang pronatalis dan kebijakan
kependudukan yang antinatalis. Kebijakan kependudukan yang banyak dianut saat ini adalah
yang antinatalis. Kebijakan ini mempunyai tujuan untuk menurunkan angka kelahiran.
Negara-negara yang menjalankan program KB termasuk ke dalam kelompok negara yang
antinatalis.
Kebijakan kependudukan yang bersifat pronatalis saat ini umumnya dianut oleh
negara-negara yang telah mencapai tahap dibawah level penggantian penduduk (below
replacement level), yang mengalami tingkat pertumbuhan penduduk amat rendah bahkan
negatif. Pada masa lalu Prancis menerapkan kebijakan pronatalis, sesudah kalah perang dari
Jerman pada tahun 1871. Pada waktu itu, timbul gagasan untuk membalas kekalahan terhadap
Jerman. Keluarga-keluarga dianjurkan untuk memperbesar jumlah keluarga dengan
meningkatkan kelahiran. Berbagai subsidi maupun fasilitas-fasilitas diberikan oleh
pemerintah, namun hasilnya diragukan. Demikian pula dengan negara- negara yang dipimpin
oleh diktator-diktator yang menyiapkan perang menjelang Perang Dunia II, yaitu Rusia,
Jerman, Italia, dan Jepang, mempunyai kebijakan kependudukan yang pronatalis pada waktu
itu.
Sesudah Perang Dunia II, negara yang mempunyai kebijakan pronatalis antara lain
adalah Brasil, yang ingin mencapai penduduk 250 juta karena dianggap diperlukan untuk
masuk kelas negara besar. Penduduk yang besar dianggap penting untuk kepentingan
pertahanan negara. Di samping itu, negara-negara seperti Malaysia juga termasuk ke dalam
negara yang pronatalis, mengingat keinginan negara tersebut untuk meningkatkan jumlah
penduduknya yang dirasakan masih kurang, dari 22,7 juta menjadi sekitar 35 juta pada
pertengahan tahun 1999.
Negara-negara Asia terbagi dua dalam kebijakan kependudukannya. Negara-negara
Asia Selatan, Tenggara, dan Timur hampir semua mengikuti kebijakan antinatalis. Dari
Pakistan sampai Jepang hampir semuanya menjalankan program KB. Republik Rakyat Cina
(RRC) bahkan mempunyai kebijakan “hanya satu anak" untuk masing- masing keluarga
setelah penduduknya mencapai jumlah satu miliar. Akan tetapi dalam pelaksanaannya,
kebijakan ini mendapat kritikan luas terutama karena menyangkut masalah hak asasi
manusia.
Di negara-negara Asia Barat yang sebagian besar penduduknya bangsa Arab yang
beragama Islam, hanya Iran yang menjalankan kebijakan antinatalis. Negara-negara lainnya
tidak mempunyai kebijakan kependudukan yang jelas, kecuali Kuwait yang nyata-nyata
mempunyai kebijakan pronatalis.
Negara-negara di benua Eropa tidak mempunyai kebijakan kependudukan yang
dinyatakan secara resmi. Program-program yang mempunyai akibat pada bidang
kependudukan lebih bersifat sosial dan ekonomi atau sekadar menampung akibat-akibat
negatif dari tindakan masyarakat. Misalnya, legalisasi pengguguran kandungan terutama di
negara blok komunis, bukan bertujuan untuk menurunkan fertilitas melainkan ditujukan
untuk menghindari pengguguran kandungan secara tidak sah yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan membahayakan kesehatan ibu.
Negara Mesir dan Tunisia (berbangsa Arab) serta Ghana dan Kenya (mayoritas
berpenduduk kulit hitam) dapat dipandang sebagai negara-negara pelopor dalam hal
pelaksanaan program KB sebagai usaha peningkatan kesejahteraan keluarga di benua Afrika.
Meskipun dalam beberapa dekade yang lalu banyak negara Afrika merasa kekurangan jumlah
penduduk, saat ini tampaknya program KB makin banyak dilaksanakan khususnya di negara-
negara yang tingkat pertumbuhan penduduknya tinggi dan miskin.
Di Amerika Selatan, kebijakan kependudukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kebijakan pronatalis di sebagian besar negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama
Katolik dan kebijakan antinatalis di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama
Protestan. Akan tetapi, di beberapa negara yang agak maju seperti Cile dan Argentina, praktik
KB sudah meluas dalam masyarakat.
Sementara itu, negara-negara Amerika Latin mengikuti paham yang menyatakan
bahwa apabila keadaan sosial dan ekonomi diperbaiki, maka angka kelahiran akan turun,
seperti halnya dalam teori transisi demografi. Oleh karena itu, kegiatan KB tampaknya bukan
menjadi perhatian utama pemerintah dibandingkan upaya untuk meningkatkan kemajuan
dalam bidang sosial dan ekonomi.
Di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin program-program KB belum banyak
dilaksanakan, seperti di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur. Akan tetapi, kecenderungan ke
arah sikap antinatalis telah memasuki golongan-golongan terbatas masyarakatnya sehingga
akhirnya dapat mendorong ke arah kebijakan yang antinatalis.