Anda di halaman 1dari 362

Kolektor E-book https://www.facebook.

com/groups/Kolektorebook/

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 0
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ILMU ANGIN SAKTI


(Sin Hong Hoat)
Karya : Chin Yung
Saduran : Boe Beng

JILID : 1 - 10

CETAKAN PERTAMA U.P.KRESNO


JAKARTA 1974

Image Sources : Awie Dermawan


Rewrite & edited : Yosa Upk
Distribution & Archive : Yon Setiono

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 1
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

DISCLAIMER

Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para


pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi pengetahuan
dan pengalaman.

Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk melestarikan


buku-buku yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari
kepunahan, dengan cara mengalih mediakan dalam bentuk
digital.

Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media


diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,
maupun kondisi fisik.

Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari


kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek buku
yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan kedalam
bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital sesuai
kebutuhan.

Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari


buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.

Salam pustaka!

Team Kolektor E-Book

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 2
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ILMU ANGIN SAKTI


(Sin Hong Hoat)
Saduran : Boe Beng

JILID 1

HARI BARU SAJA menjelang sore, ketika disebelah barat kota


Kee-bin terjadi suatu kegaduhan. Tampak udara terbakar oleh warna
marong dan lelatu (bunga api) yang berhamburan menjulang tinggi,
diselang-selingi suara-suara teriakan yang sayup-sayup ber-
kumandang:
―Api! Api! Tolong! Tolong ! Apiiiiii !!‖
Nyatalah bahwa ditempat itu telah terjadi kebakaran hebat,
sebuah rumah besar sedang dimakan api yang bergulung-gulung
mengerikan. Dan dari arah tempat terjadinya kebakaran itu, terlihat
dua orang laki-laki yang berlari-larian seraya tidak henti-hentinya
mulutnya berteriak: ―Api! Api! Tolong ! Tolong ! Apiiiiii !!‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 3
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ganjil sekali kejadian ini. Dua orang laki-laki itu hanya


berteriak-teriak minta tolong, meneriakan kebakaran akan tetapi
mereka sendiri bukannya memberikan pertolongan, tetapi
sebaliknya berlarian berebut cepat-cepat untuk meninggalkan
tempat terjadinya bencana itu.
Justru saat itu, dari kejauhan tampak seorang laki-laki piauw-su
yang agaknya agaknya baru kembali dari mengantar piauw,
bergegas memburu kearah tempat terjadinya kebakaran, hingga ia
berpapasan dengan kedua orang yang sedang berlarian kabur itu.
Piauw-su itu adalah Lie Kie Pok penduduk kota Siu-ciu. Demi
mendengar teriakan kedua orang yang berlarian itu, maka ia cepat-
cepat menanyakan rumah siapa yang terbakar.
―Rumah Sun Liok Hok? Cepat-cepatlah, tolonglah mereka
bertiga saudara yang masih terkepung api diatas loteng!‖
Demikianlah kedua orang itu memberikan keterangan.
Mendengar keterangan demikian, Lie Kie Pok menjadi sangat
terkejut. Terkejut sekali karena Sun Liok Hok adalah sahabat
karibnya. Disamping itu, iapun sangat mendongkol terhadap sikap
kedua laki-laki yang berlarian pergi itu. Maka ia berseru
memanggil:
―Hai sobat! Mengapa kalian tidak membantu memadamkan
api?‖
―Jangan salah paham saudara, api berkobar terlalu besar, aku
hendak memanggil kawan-kawan untuk memadamkannya!‖.
Begitulah seorang diantara kedua orang itu menjawab dengan nada
gugup.
―Harap Thio toako menanti saja disana !‖ sahut yang seorang
lagi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 4
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sejenak Lie Kie Pok keheranan. Mengapa orang itu memanggil


Thio toako? Akan tetapi sebentar kemudian terpikir olehnya, bahwa
mungkin orang-orang itu telah salah lihat, karena hari memang
sudah mulai gelap lagi pula, sekaliannya berada dalam keadaan
serba terburu-buru.
Lie Kie Pok tak sempat untuk banyak berpikir lagi. Tanpa
bersangsi ia menjawab? ―Baik!‖ sambil kemudian berlari cepat-
cepat menuju kearah tempat kebakaran dimana kemudian ia melihat
api sedang berkobar semakin hebat.
Disekitar rumah itu, memang tampak banyak orang yang
berdiri berkelompok-kelompok. Tetapi anehnya, mereka ini tampak
seperti sedang menonton bencana itu belaka, dan tidak berbuat
sesuatu walaupun diatas loteng terlihat dua orang perempuan
sedang berteriak-teriak panik minta tolong dari kepungan api yang
bergulung-gulung.
―Hayo tolonglah mereka! Kasihan . .tolonglah mereka ! Aduh !
jilatan api sudah makin dekat.‖ Begitulah orang-orang yang
berkelompok itu berseru-seru, akau tetapi tidak seorangpun diantara
mereka tampak berusaha memberikan pertolongan.
Kelakuan mereka ini semua membikin Lie Kie Pok tambah
mendongkol belaka. Orang diatas loteng sudah hampir mati
tertembus api tetapi mereka ini banya membuka mulut, berteriak
dan berkasihan belaka.
Sekuat-kuatnya Lie Kie Pok mendesak maju diantara kelompok
―penonton‖ itu. Kemudian tanpa banyak bicara, ia segera
menggunakan ilmu Peng-pok jie siau atau Garuda terbang
menembus kedua lapis langit, melayang keatas lankan loteng
tersebut.
Sebagian besar dari lankan itu sudah habis terbakar. Dari
tempat itu, Lie Kie Pok berloncatan melintasi jilatan lidah api

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 5
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

memburu kearah dua perempuan yang sudah hampir mati ketakutan


itu. Begitulah, maka kedua perempuan itu menjadi sangat bergirang
hati demi melihat pertolongan yang akan diberikan orang terhadap
dirinya.
Lie Kie Pok tak usah memikirkan tentang larangan adat istiadat
tentang dua orang laki-laki dan perempuan yang bersentuhan
sebelum kawin, tanpa pikir lagi ia segera menyambar tubuh kedua
perempuan itu, kemudian memanggulnya, untuk dibawanya
melompat menuruni loteng dengan menggunakan gerak ―Oh-tiap
cie hoa‖.
Setelah Lie Kie Pok berbasil menyelamatkan kedua perempuan
itu, barulah orang-orang yang berkelompok dibawah itu,
berbondong-bondong mendatangi untuk menyadarkan kedua
perempuan itu yang menjadi pingsan karena kegirangan.
―Diatas masih ada beberapa orang lagi yang harus ditolong!
Harap tuan-tuan sudi menolong kedua perempuan ini‖ Kata Lie Kie
Pok seraya memutar tubuh untuk kembali lompat melayang keatas
loteng. Teringat olehnya, bahwa Sun Liok Hok sahabatnya tentu
masih berada disana.
Akan tetapi, hingga beberapa lama Lie Kie Pok mencari,
hasilnya sia-sia saja, ia tidak menemukan seorangpun diloteng
maupun disekitar tempat itu, sedangkan nyala api kian membesar
membakar apa saja yang lantas ditelannya dengan gulungan lidah
api yang berkobar. Tangga loteng sudah hampir habis, sementara
api terus menggulung kepertengahan rumah.
―Celaka sekali‖, keluhnya. ―Ternyata takdir telah
mengharuskan Liok Hok terbinasa ditembus api‖
Dalam penasarannya itu, Lie Kie Pok menerjang pintu loteng
yang sudah seluruhnya dimakan api. Tapi di dalam kamar, tidak

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 6
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

seorangpun ia menemukan orang, kecuali mayat seorang bujang


perempuan yang telah mati hangus.
Jenggot, kumis dan pakaiannya telah ada yang hangus terbakar.
Sedangkan orang yang dicari sudah tak ada lagi, dilain pihak api
sudah melanda habis seluruh rumah itu, maka Lie Kie Pok buru-
buru menerobos api berlompat turun kebawah.
Waktu itu, ketika Lie Kie Pok baru saja mendaratkan kakinya
ketanah, tampaklah dua orang lelaki tua yang datang menghampiri,
sambil mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang telah
diberikan. Lie Kie Pok mengetahui bahwa dua orang lelaki itu
memang famili dari kedua perempuan ibu dan anak itu. Lie Kie Pok
menjawab hormat.
―Untuk hal itu, kedua Lohu tak perlu memikirkannya lagi.
Sudah selayaknya kita saling menolong sesamanya. Cuma yang
harus disayangkan adalah Liok hiantit yang harus menerima
kematian dengan cara yang demikian menyedihkan. Yah. dia
meninggal tanpa dapat diketahui dimana jasadnya…..‖
―Hei, bagaimana? Apakah tuan Lie tidak mengetahui kalau
Liok Hok telah pergi ke Hoo lam sejak akhir-akhir ini?‖ Tanya
salah seorang diantara kedua lelaki tua itu, dengan sikap keheranan.
―Tidak. Apakah yang terjadi sebenarnya!‖ Lie Kie Pok
menjawab sambil menggelengkan kepala.
Kedua orang tua itu yang bernama Kiu Seng Houw dan Kiu
Bun lantas menjelaskan kepada Kie Pok tentang duduknya perkara.
Bahwa sejak beberapa hari yang lampau, hingga sekarang Sun Liok
Hok belum kembali dari perjalanannya ke Hoo-lam, dengan
demikian maka jiwanya sebenarnya tidak kurang suatu apa.
Sebaliknya, engko piauw-nya yang justeru baru datang dari San-see
telah menggantikan Lio Hok, binasa ditelan api.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 7
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mendengar keterangan yang demikian, lega juga hati Lie Kie


Pok. Sedikitnya hatinya agak terhibur. Oleh karena itu selang
beberapa lama ia berkata: ―Syukurlah kalau begitu. Tetapi, harap
disampaikan juga rasa duka citaku kepada mereka yang menderita
bencana ini‖
Kemudian setelah api dapat dipadamkan dan orang-orang yang
mengalami cidera telah diangkut ke rumah sanak familinya untuk
diobati, barulah Lie Kie Pok minta diri kepada semua orang untuk
meneruskan perjalanan pulang ke rumahnya.
Untuk mengenal lebih jauh siapa adanya piauwsu Lie Kie Pok
ini maka marilah kita meninjau kota Siu-ciu dimana pendekar she
Lie ini tinggal.
Benar, memang Lie Kie Pok adalah seorang piawsu yang
tinggal dikota Siu-ciu. Ia berasal dari Hok-kian, maka tidaklah
mengherankan apabila ia mengerti ilmu silat Siauw-lim secara
mendalam sekali. Namanya sudah termashur ibarat dapat
menggetarkan dunia kang-ouw, terutama dikalangan piauwsu. Oleh
karena ini ia berhasil mengangkat namanya berkat ilmu goloknya
yang tinggi, maka ia digelari orang sebagai Song-to, atau si Golok
Besar. Karena memang senjatanya golok, juga besar dan dahsyat.
Pada usia mencapai dua puluh tiga tahun. Lie Kie Pok pernah
jatuh cinta pada seorang puteri hartawan yang bernama Song Bun
Nio. Karena puteri itupun ternyata juga menyukainya, maka
keduanya lantas mengikat diri, memasuki jenjang perkawinan.
Dari buah perkawinan mereka ini, dua tahun kemudian mereka
dianugerahi seorang putera yang kemudian diberi nama Lie Sin
Hong. Sepuluh tahun kemudian sejak kelahiran puterinya itu,
mereka kemudian pindah ke Siu-ciu, dari Hok-kian kota asal
kelahiran mereka.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 8
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Di Si-ciu, Song-to Lie Kie Pok melanjutkan usahanya sebagai


piauw-su atau pengantar barang kiriman. Hingga usianya mencapai
Empat puluh tahun, belum pernah ia mengalami kegagalan
dalam pekerjaannya ini. Sedangkan Sin Hong, puteranya telah
tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, jujur cerdas, dan
sebagai seorang anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tua.
Kesemuanya ini membuat sang ayah dan ibu sangat
menyayangi putera tunggalnya ini. Disamping pekerjaannya
memimpin piauw-kiok itu. Lie Kie Pok mendidik putera
kesayangannya dengan ilmu silat sejak anak itu berusia enam tahun.
Hingga pada usia lima belas tahun maka Lie Sin Hong telah
mewarisi tujuh bagian dari kepandaian ayahnya. Sedangkan Song-to
Lie Kie P0k sendiri berkat pengalamannya yang makin bertambah
dalam pekerjaannya, maka namanya kian hari kian termasbur, baik
dikalangan kang-ouw ataupun dikalangan piauw-su. Oleh karena
itu, disamping banyak orang yang mengagumi sepak terjangnya,
disegani dan dihormati kawan, tidak sedikit pula orang yang
mendendam kepadanya.
Pada suatu sore, ketika Lie Kie Pok sedang dalam perjalanan
pulang sehabis mengantar piauw di Utara, setibanya di kota Kee bin
ia melihat disebelah barat kota, asap kebakaran yang bergulung
tinggi.
Lie Kie Pok terkejut, ia ingat bahwa arah tempatnya kebakaran
itu mengingatkan dia pada rumah seorang sahabatnya yaitu Sun
Liok Hok. Itulah sebabnya maka piauw-su itu lantas memburu
datang, hingga akhirnya berpapasan dengan kedua prang laki-laki
yang sedang berlarian menjauh dimana mereka menduga Lie Kie
Pok sebagai seorang yang dipanggil Thio toako.
Sesampainya di rumah, sesudah berganti pakaian Lie Kie Pok
lantas mengobati luka-lukanya bekas terbakar itu dengan bubuk

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 9
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

keluaran Siauw-lim. Lalu ia menuturkan kejadian yang baru saja


dialami itu kepada anak isterinya, sehingga membuat ibu dan anak
menjadi sangat kagum akan kerelaan suaminya menolong jiwa
orang dan bersedih akan kemalangan yang telah menimpa keluaga
Sun itu.
Hari-haripun berjalan pesat tanpa terasa tiga puluh hari berlalu
sudah sejak peristiwa itu.
Ketika itu di daerah pegunungan Pat Kong San banyak terdapat
serigala yang acap kali mengganggu pada orang-orang yang
kebetulan lewat disitu. Maka untuk kebaikan orang banyak Song-to
Lie Kie Pok lalu pergi ke gunung tersebut, membasmi habis seluruh
kawanan binatang buas itu hingga selanjutnya orang yang melalui
gunung itu tidak lagi mendapat gangguan-gangguan lagi.
Kemudian atas permintaan yang sangat dari berbagai
perkumpulan anak muda yang mengagumi kelihaian Lie Kie Pok,
dan karena tidak ada alasan untuk menolaknya, disamping Kie Pok
Piauwkiok, Lie Kie Pok membuka Kie Pok Bu-koan.
Hingga selanjutnya apabila warta itu tersebut luas, maka
berdatanganlah pemuda-pemuda dari dalam kota Siu-ciu maupun
dari lain-lain kota memasuki Kie Pok Bu-koan untuk kemudian
dibawah pimpinan Song-to Lie Kie Pok mereka mempelajari ilmu
silat Siauw-lim. Hingga belum berselang beberapa bulan Kie Pok
Bu-koan telah menjadi semakin terkenal dari Siu-ciu sampai ke
delapan propinsi sekitarnya.
Harus diketahui bahwa nama Kie Pok Bu-koan menjadi
terkenal oleh karena disamping dia memang sangat lihai, juga dia
adalah orang yang manis budi pekertinya. Dalam memberikan
pelajarannya ia tidak memandang bulan, dan tidak membeda-
bedakan baik orang yang belajar padanya itu asli penduduk Siu-ciu
atau bukan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 10
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Malah dalam memberikan pelajarannya itu sangat teliti.


Seluruh kepandaiannya diberikan kepada siapa saja yang sangat
mengikuti, kecuali ………. hanya ada kecualinya, dan inilah cacad
satu-satunya.
Diantara kepanduan yang dimilikinya itu ia masih memiliki
kepandaian simpanan, dan kepandaian inilah kiranya yang telah
membuat namanya menjadi sangat terkenal sebagai jagoan yang tak
pernah terkalahkan…….
Ilmu simpanan tersebut memang sangat hebat. Pernah dengan
ilmu simpanan ini Song-to Lie Kie Pok pada waktu dua puluh tahun
yang lalu telah berhasil membinasakan tiga orang loocianpwe dari
Ceng Hong Pai.
Dalam memiliki ilmu simpanan itu, Song-to Lie Kie Pok
pernah bersumpah didepan gurunya, bahwa kecuali kepada
puteranya yang boleh cuma diwariskan lima belas jurus (jadi tidak
seluruhnya) ia tidak akan menurunkan ilmu tersebut kepada
siapapun.
Sebenarnya ilmu simpanan itu sederhana saja gerakannya,
terdiri dari delapan belas jurus dan aslinya bernama Cap Peh Lo
Hoan Ong. Akan tetapi sebab dalam hidupnya Lie Kie Pok selalu
mempergunakan sebuah golok besar, maka nama itu kemudian
dirubahnya menjadi Cap Peh Lo Hoan To, atau berarti delapan belas
jurus ilmu golok.
Demikianlah, walaupun kepada muridnya yang paling disayang
sekalipun, tanpa kecuali ilmu simpanan tersebut tidak diberikan.
Demikianlah sungguh harus disayangkan, hingga di Siu-ciu selain
Lie Kie Pok sendiri dan puteranya Lie Sin Hong yang hanya
mengerti lima belas jurus belaka, tak ada lagi orang ketiga yang
memahami jurus Cap Peh Lo Hoan To, hingga mereka cuma dapat
mendengar saja, tidak melihat, bahwa menurut kabar angin Lie Kie

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 11
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pok memiliki sejenis ilmu golok yang sangat hebat yang disebut
sebagai Cap Peh Lo Hoan To.
Itulah kiranya, karena hal-hal tersebut diatas, dibelakang hari
Lie Kie Pok akan mengalami peristiwa yang akan menggemparkan
seluruh dunia rimba persilatan.
Pada suatu hari karena ia harus pergi ke daerah barat untuk
mengirimkan barang-barang piauw, maka iapun segera bersiap-
siap. Namun karena entah suatu sebab penyakit apa, ia tidak dapat
berjalan, sehingga terpaksa tugas itu ia wakilkan kepada puteranya
untuk melaksanakannya, sedang ia sendiri lantas memanggil tabib
untuk berobat.
Dua hari kemudian, karena Lie Kie Pok belum sembuh benar
dari penyakitnya, maka ia mengutus Beng Su Hoo seorang murid
yang paling disayang dan dipercaya untuk menyelesaikan suatu
urusan yang sangat penting.
Beng Su Hoo dalam perjalanannya pulang menyelesaikan
tugasnya, singgah disebuah rumah makan kenalannya, untuk
mengisi perut. Hampir semua orang telah mengenal adanya Beng
Su Hoo sebagai murid Song-to Lie Kie Pok yang namanya sangat
tenar dan disegani itu. Oleh karena itu, pemilik rumah makan ketika
melihat kedatangan Beng Su Hoo segera menyambutnya dengan
penuh hormat.
―Sudah lama tidak berjumpa, apakah selama ini Beng ya baik-
baik saja?‖ tanya pemilik rumah makan itu dengan roman muka
ramah. Yang kemudian disahuti oleh Beng Su Hoo dengan penuh
hormat pula.
Justru pada saat itulah seorang pemuda lain yang juga sedang
bersantap disitu, memperhatikan Beng Su Hoo dengan penuh
selidik. Ketika pemilik rumah makan itu menghampiri padanya, ia
bertanya tentang siapakah pemuda yang sangat dihormati itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 12
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pemilik rumah makan itu lantas menerangkan, bahwa pemuda


yarg baru muncul itu adalah seorang murid Song-to Lie Kie Pok
yang bernama Beng Su Hoo.
Mendengar keterangan demikian, maka pemuda yang bertanya
itu tampak kegirangan.
―Ah, sungguh kebetulan sekali!‖ katanya ―Sudah lama memang
aku sedang mencari jalan untuk dapat berguru kepada Lie kauw-su.
Sungguh kebetulan, kalau sekarang aku dapat bertemu dengan salah
seorang muridnya. Dengan demikian aku dapat mengharapkan
pertolongannya untuk menghadap Lie Kauwsu !‖ Begitulah dia
berbisik-bisik seorang diri.
―Apakah tuan sudi memperkenalkan diriku dengan Beng
toako?‖ bertanya pemuda itu kepada pemilik restoran itu.
Sementara itu, Beng Su Hoo yang sejak tadi mendengar
pembicaraan kedua orang itu lantas menghampiri tempat duduk
pemuda itu.
Dengan hormat iapun lalu menanyakan maksud dan tujuan,
serta pemuda itu.
Melihat sikap Beng Su Hoo yang maris budi itu, maka
sipemuda cepat-cepat mengangkat kedua tangannya menghormat,
seraya berkata :
―Siauw-te berasal dari Hoo lam, nama saya Bun Kauw she
Lian. Sudah lama siauw-te mengagumi gurumu, dan sudah lama
siauwte bermaksud untuk berguru kepadanya, akan tetapi sampai
sekarang, maksud siauwte ini belum kesampaian. Kebetulan sekali
hari ini, kita disini dapat bertemu, dan apabila toako tidak
berkeberatan maka aku mobon pertolongan toako untuk mengantar
aku menghadap Lie Kauwsu, dan sudi pula menjadi orang perantara

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 13
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

agar aku dapat diterima menjadi muridnya. Untuk kebaikan toako


nanti, sebelumnya aku mengucapkan banyak-banya terima kasih!‖
Beng Su Hoo yang memang sedang bermaksud hendak pulang
ke Siu-ciu dengan segera meluluskan permintaan pemuda yang
mengaku bernama Lian Bun Kauw dari Hoo-lam itu.
Begitulah, setelah mereka selesai bersantap, keduanya lantas
berpamitan kepada pemilik rumah makan untuk kemudian masing-
masing mencemplak kudanya menuju kota Siu-ciu.
Setibanya dikota tujuan, Su Hoo segera membawa Bun Kauw
menghadap gurunya dan menerangkan maksud kedatangan pemuda
Hoo-lam itu.
Song-to Lie Kie Pok yang ketika itu sudah sembuh dari
penyakitnya itu, setelah mendengar penuturan muridnya lantas
tertawa bergelak-gelak, seraya berkata kepada pemuda Hoo-lam itu:
―Lohu disini sebenarnya cuma mempunyai nama kosong
belaka, maka keliru sekali kalau Lian-heng mengira aku memiliki
kepandaian yang demikian tinggi seperti yang Lian-heng duga.
Karena itu aku kuatirkan kalau nanti dibelakang hari Lian-heng
akan menyesal apabila berguru pada Lohu sekarang, maka menurut
pendapatku adalah lebih baik kalau saudara mencari guru yang lain
saja yang benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi‖
Demikianlah Song-to Lie Kie Pok bersikap merendahkan diri,
akan tetapi juga secara halus menolak permintaan pemuda yang
bernama Lian Bun Kauw itu.
Tetapi, karena pemuda dari Hoo-lam itu meminta dengan
sangat terutama sekali Su Hoo membantu permohonan pemuda itu,
akhirnya Lie Kie Pok kehabisan akal untuk menolak, dan kemudian
meluluskan juga.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 14
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pemuda itu setelah mendengar permohonannya diluluskan, lalu


iapun menghaturkan terima kasih. Kemudian ia lekas-lekas pergi
membeli lilin dan hio untuk melakukan sembahyang pada langit dan
buni, bersumpah bahwa ia telah mengangkat guru kepada Lie Kie
Pok.
Setelah itu, barulah ia pergi mendapatkan lain-lain pemuda
yang sekarang telah menjadi suhengnya. Demikianlah, sejak saat
itu, Lian Bun Kauw telah menjadi salah seorang murid diantara
kurang lebih tiga puluh pemuda murid Kie Pok Bu-koan, untuk
belajar ilmu dibawah pimpinan Lie Kie Pok.
Haripun berjalan cepat tanpa terasa. Sebulan sudah Lian Bun
Kauw belajar dalam perguruan Kie Pok Bu-koan
Ternyata Lian Bun Kauw yang walaupun telah bernsia dua
puluh sembilan tahun, ia sangat rajin dan memiliki kecerdasan otak
yang luar biasa. Lebih- lebih karena sebelum memasuki Kie Pok
Bu-koan dia telah mengerti sedikit-sedikit ilmu silat, maka dengan
segera walaupun dia merupakan seorang ―anak baru‖ dapatlah
berhasil mengalahkan suheng-suhengya yang terlebih dahulu
belajar. Disampig itu, ia sangat menaruh perhatian terhadap Lie Kie
Pok gurunya.
Kecuali itu, karena sikapnya yang ramah tamah dan rendah hati
maka Lian Bun Kauw sangat disukai oleh suheng-suhengnya.
Namun demikian sikap Lie Kie Pok terhadap Lian Bin Kauw sangat
dingin dan tak acuh sehingga murid-muridnya yang lain jadi tak
habis pikir.
Sering Beng Su Hoo menanyakan sikap gurunya yang
demikian, akan tetapi ia selalu mendapat jawaban senyuman yang
meragukan dari gurunya, tanpa keterangan lain lagi.
Dilain pihak Lian Bun Kauw yang mendapat perlakuan
demikian, bukannya gusar ataupun sakit hati sebaliknya bahkan ia

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 15
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

semakin tambah rajin, dan semakin menunjukkan hormatnya


kepada guru. Bahkan, apabila suatu saat ia keluar rumah, selalu ia
kembali keperguruan dengan membawakan arak wangi ataupun
makanan yang lezat untuk dihaturkan kepada gurunya. Anehnya,
Lie Kie Pok yarg mendapatkan penghormatan demikian rupa, tidak
berubah sikapnya, tetap saja acuh tak acuh dan dingin bagai es.
Sementara itu, hubungan antara Beng Su Hoo dan Lian Bun
Kauw semakin rapat. Mereka menjadi sahabat yang sangat karib,
didalam latihan-latihanpun mereka saling memberikan nasihat-
nasihat apabila satu pihak masih melakukan kekurangan didalam
melatih ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh guru mereka.
Pada suatu hari, sedang mereka mempelajari ilmu yang baru
saja diajarkan, Lian Bun Kauw bertanya kepada Beng Su Hoo :
―Sudah lama kudengar, kabarnya suhu memiliki ilmu simpanan
yang disebut Cap Peh Lo Hoan To, cuma aku sangsikan entah kabar
itu benar tidak. Apakah toa-hia juga mengetahuinya?‖
Mendengar pertanyaan demikian, memangnya Beng Su Hoo
juga mengetahui segera menjawab : ‖Yah memang aku juga pernah
mendengarnya.‖
―Kalau begitu, bersediakah toa-hia menanyakan kepada suhu?.
kata-katanya Cap Peh Lo Hoan To dijalankan? Aku sendiri tak
berani menanya karena tampaknya suhu selalu mencurigai diriku‖
kata Lian Bun Kauw pula, sambil melirik.
Mendengar permohonan itu, tanpa banyak bertanya melit-melit
Beng Su Hoo menyanggupi. Ketika Beng Su Hoo hendak lantas
bangkit berdiri dari duduknya, maka Lian Bun Kauw cepat-cepat
mencegahnya.
―Sabar toa-hia, tak perlu tergesa-gesa. Sesungguhnya suhu
tampaknya sangat mencurigai diriku maka kalau kau menyangka

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 16
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

secara begini serentak, tentu suhu akan mengetahui bahwa soal ini
berasal dari aku. Akibatnya, bukannya dia mau menjelaskan
kepadamu, akan tetapi akan gagallah segala-galanya!‖
Sambil berkata demikian Lian Bun Kauw berbisik-bisik. ―Maka
sebaiknya menurut pendapatku, yang pertama kali harus kita
lakukan ialah bersama-sama mengumpulkan uang sekedar pembeli
arak dan sayuran yang baik, yang nanti kita sediakan pada hari
ulang tahun suhu. Dan nanti, apabila suhu sudah dalam keadaan
mabuk, kita pura-pura meminta kesediaannya untuk memainkan
ilmu yang hebat itu. Kukira cara itulah satu-satunya cara yang
paling baik. Cuma toa-hia entah suka melakukannya atau tidak‖.
―Tentu saja akan kulakukan‖, sahut Beng Su Hoo tak dipikir
panjang lagi, ―Apalagi hal ini ada gunanya bagi kita bersama‖.
Setelah semupakat, maka mereka berdua lalu pergi menemui
saudara-saudara seperguruan mereka untuk merceritakan rencana
mereka itu. Ternyata kawan-kawan merekapun tidak berkeberatan
sebab kebanyakan dari merekapun ingin sekali melihat ilmu golok
yang kabarnya luar biasa itu. Mereka sama sekali tidak menduga
bahwa dibalik itu sebenarnya Lian Bun Kauw mempunyai suatu
maksud tertentu.
Demikianlah, dalam tempo setengah hari mereka telah berhasil
mengumpulkan sejumlah uang yang dimaksud. Sore itu juga
mereka lantas pergi membeli barang-barang yang diperlukan.
Cepat sekali dua haripun telah berlalu. Hari itu rumah keluarga
Lie telah ramai dengan para murid Kie Pok Bu-koan yang saat itu
sedang memeriahkan ulang tahun guru mereka. Peringatan ulang
tahun itu dirayakan secara sederhana saja, tidak menyebar surat
undangan kepada handai taulan Lie Kie Pok.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 17
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Diruangan tengah, Song-to Lie Kie Pok tampak sangat gembira


melihat murid-muridnya yang begitu menaruh perhatian besar atas
dirinya. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa dirinya kini
sedang hendak diperdayai oleh murid yang justru dicurigai olehnya.
Dia minum sepuas-puasnya.
Setelah pesta makan minum berjalan beberapa lama, tibalah
saat yang ditunggu-tunggu oleh para murid Kie Pok Bu koan.
Sedang Lie Kie Pok berada dalam keadaan setengah sinting karena
terlampau banyak menenggak air kata-kata. Lian Bun Kauw yang
menduga saatnya telah tiba, segera mengedip Beng Su Hoo, untuk
mulai menjalan kan tipu muslihatnya.
Dengan segera Su Hoo maju menghampiri gurunya, sambil
berlutut lantas berkata : ―Suhu sebenarnya kami semua takkan
berani mengajukan permintaan ini, kalau tidak pada hari lahir Suhu
sebagai sekarang ini ...‖ tanpa terasa jantung Su Hoo berdebaran
keras.
―... Tetapi karena sebagaimana teecu telah katakan tadi ... hari
ini adalah hari baik bulan baik, maka kami mohon agar Suhu tidak
berkeberatan untuk mempertunjukkan…… mempertunjuk ...‖
―Mempertunjukkan apa?‖ Kie Pok. Membentak tingkahnya
benar-benar menunjukkan bahwa ia dalam keadaan sudah sinting.
―……….aa..aa tidak berkeberatan untuk pertunjukkan sualu ilmu ...
ilmu yang selama ini Suhu belum turunkan kepada Teecu, seperti
Cap….. Cap…..‖
―Ha… ha… ha…. sudah kuduga…. Aku sudah menebaknya!‖
begitulah akibat hebatnya pengarah alkohol pada dirinya, maka Lie
Kie Pok telah menjadi lupa daratan, tak ingat lagi ia, bahwa sebagai
seorang guru kenamaan sebenarnya ia berkewajiban untuk melarang
murid-muridnya dari pengaruh minuman keras.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 18
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Bukankah yang kau maksudkan Cep Peh Lo Hoan To?‖ Lie


Kie Pok menegaskan.
Melihat tingkah laku sang guru yang benar-benar sudah lupa
daratan dan dari gerakannya tampak ia sudah mulai hendak bersilat,
maka para murid menjadi sangat kegirangan, terutama pemuda yang
bernama Lian Bun Kauw itu, benar-benar ia mencurahkan seluruh
perhatiannya mengawasi.
―Memanglah benar kalau orang mengatakan bahwa pada jaman
ini, Cap Peh Lo Hoan To telah lenyap dari muka bumi. Karena
meskipun ilmu ini aku pahami sekarang, bila dibanding dengan apa
yang pertama kali disiarkan oleh Tat Mo Siansu sendiri, boleh
dikatakan ilmu silat Lo Hoan Kun yang sekarang, masih kalah jauh
baik mengenai kelihaian ataupun keindahannya‖, demikianlah
Song-to Lie Kie Pok memulai dengan pembicaraannya.
―Kalau begitu ternyata anggapan-anggapan orang vang
mengatakan bahwa Lo Hoan Kun yang sekarang hanya tinggal
kulitnya saja, tidak benar?‖ Lun Bun Kauw yang melihat tipunya
telah berbasil ikut menyeletuk. ―Cuma kami semua belum pernah
melihat bagaimana sebenarnya jalan-jalan pukulan yang demikian
termashur itu. Maka bila suhu tidak berkeberatan sudilah suhu
memperlihatkan kepada kami para murid sekalian‖
Memangnya Song-to Lie Kie Pok sudah mabuk seratus persen,
maka tanpa pikir panjang lagi berkata sambil tertawa : ―Oh, jadi
kalian ingin mengetahainya? Baiklah untuk menambah pengertian
kalian akan kuperlibatkan kepada kalian kedelapan belas jurus ilmu
itu. Cuma, cuma …..‖
―Cuma apa suhu?‖ tanya sekalian murid itu dengan hati
berdebar.
―Cuma sayang puteraku tidak ada bersama kalian hingga ia
tidak dapat menyaksikan ketiga jurus yang terakhir yang belum

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 19
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pernah kuterangkan kepadanya‖ Song-to Lie Kie Pok celingukan


mencari-cari ―Hai, Sin Hong! Sin Hong!‖.
Begitulah ia memanggil-manggil puteranya. Ia tidak ingat sama
sekali bahwa puteranya tengah mewakili dirinya mengantar piauw
ke daerah barat sejak dua bulan yang lalu ……….
―Murid-muridku ! apakah puteraku belum kembali?‖ tanyanya
berteriak.
―Belum suhu, puteramu belum kembali‖ sahut murid-murid itu
hampir serempak.
―Tapi suhu, bukankah yang tiga jurus itu boleh diterangkan saja
nanti setelah dia pulang?‖ Bun Kauw menyeletuk dengan tidak
sabar.
―Ya, baik. Baik perhatikanlah !‖
Setelah berkata demikian, maka Song-to Lie Kie Pok segera
menanggalkan baju luarnya, lalu tanpa menyadari bahaya yang akan
mengancam dirinya dibelakang hari nanti, lantas menggerakkan
tangannya bersilat menuruti jurus-jurus Cap Peh Lo Hoan To.
Berar-benar Cap Peh Lo Hoan To bukanlah nama kosong
belaka. Gerakan-gerakannya sederhana, tidak sulit untuk
dipahamkan. Akan tetapi dibalik itu, dibalik gerakan-gerakan yang
sederhana itu, tersembunyi suatu tenaga yang luar biasa serta
banyak pecahannya. Dan yang meyakinkan ilmu itu harus memiliki
kegesitan yang sangat tinggi. Demikianlah, di tengah ruangan itu
dalam keadaan lupa daratan Song-to Lie Kie Pok telah
memperhatikan Cap Peh Lo Hoan To yang menurut sumpahnya
tidak sembarangan dipertunjukkan.
Sekalian murid-muridnya menjadi semakin kagum dan memuji-
muji akan kehebatan gurunya, hingga Lie Kie Pok tengah
menjalankannya, setelah mendengar dirinya dipuji-puji dan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 20
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dikagumi oleh para murid, segera iapun meneruskan gerakan-


gerakan ilmu itu dari awal sampai akhir tapa ada satu juruspun yang
dilewatkannya.
Sedang murid-murid Kie Pok Bu-koan tenggelam dalam
kekaguman, adalah cuma Lian Bun Kauw sipemuda Hoo-lam yang
memiliki kecerdasan otak luar biasa, duduk diam sambil
mencurahkan seluruh perhatiannya pada kedelapan belas jurus Cap
Peh Lo Hoan To yang saat itu dijalankan dengan tangan kosong.
Diam-diam pemuda Hoo-lam itu mengucap syukur dalam hati
ia berkata : ―Ayah, kau harus menghaturkan rasa syukurmu kepada
Tuhan yang Maha Adil yang telah memberikan jalan kepada
puteramu ini hingga dapat memahami benar-benar seluruh jurus
Cap Peh Lo Hoan To yang sangat kau takuti itu.‖
Sementara itu, setelah selesai menjalankan seluruh jurus-jurus
ilmu silat simpanannya itu, Lie Kie Pok segera kembali ketempat
duduknya dengan paras muka tak berubah, dan napasnyapun tidak
tersengal-sengal.
Pada saat itu juga Lian Bun Kauw mengambil tiga cawan arak
yang segera dihaturkannya kepada
Sementara itu, setelah selesai menjalankan seluruh jurus-jurus
ilmu silat simpanannya itu, Lie Kie Pok segera kembali gurunya,
dan kemudian diteguknya habis.
Sampai hari lewat jauh malam barulah makan minum itu
berakhir.
Hari berikutnya, mendadak Lian Bun Kauw telah menghilang
dari perguruan. Hingga dua hari ia ditunggu-tunggu, tidak juga
tampak kembali, makin Song-to Lie Kie Pok jadi sangat terkejut. Ia
sadar bahwa kini ia telah tertipu oleh murid yang selama ini telah
dicurigainya itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 21
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Lie Kie Pok marah-marah, dengan muka merah padam ia


menggebrak meja sambil berseru : ―Aku sudah kena tipu! Aku
tertipu!!‖ Akan tetapi sadarpun sudah tak ada gunanya lagi. Lian
Bun Kauw, pemuda yang sejak semula kedatangannya telah
dicurigai, kini telah pergi. Pergi setelah ia berhasil mencuri lihat
Cap Peh Lo Hoan To secara lengkap delapan belas jurus.
Lie Kie Pok berusaha mengingat-ingat untuk mengenali siapa
adanya pemuda yang mengaku berasal dari Hoo-lam itu, akan tetapi
tentu saja ia tidak berhasil mengenalinya. Sungguh tak terkira,
betapa guru itu akan terkejut, andaikata ia dapat mengetahui bahwa
sebenarnya Lian Bun Kauw anak salah seorang dari ketiga
locianpwe yang dua puluh tahun yang lalu pernah dihancur
binasakaa olehnya.
Setelah buntu ingatannya, maka sambil berteriak-teriak Lie Kie
Pok menyuruh orang untuk memanggil Beng Su Hoo. Sesaat
kemudian murid kesayangannya itu telah datang menghadap.
―Hmm ! Bagus benar perbuatanmu ya?‖ Song-to Lie Kie Pok
mendamprat menumpahkan kemarahannya kepada murid yang
disayanginya. ―Sebenarnya mengapa kau bawa-bawa bajingan itu?‖
―Setelah ia berani meloloh aku sampai mabuk, ia berani juga
mencuri kedelapan belas jurus ilmu simpananku ! Sekarang dengan
enak saja kau biarkan dia minggat dari sini !‖
―Bagaimana mencurinya, suhu?‖ tanya Su Hoo yang menjadi
takut bercampur keheraran mendengar kata-kata gurunya itu.
―Dasar goblok ! Sungguh tak punya otak! Apakah kau tidak
tahu bahwa bajingnn itu mempunyai kecerdasan otak seratus kali
lipat dari pada kau?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 22
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Beng Su Hoo terperanjat. Sekarang barulah ia sadar bahwa


kawan yang telah dianggapnya sebagai saudara itu kiranya telah
menipunya!
―Dulupun ia itu sebenarnya sudah hendak menolak
permohonannya! Tapi apa mau dikata kau malah membantu dia
membujuk diriku untuk menerima dia. Sekarang setelah terjadi hal
seperti ini, apakah kau hendak berdiam diri Saja?‖ bentak Lie Kie
Pok yang belum hilang marahnya.
Beng Su Hoo demi melihat gurunya yang telah menjadi
demikian gusar terhadap dirinya, buru-buru ia berlutut sambil
berkata gemetaran.
―Sebenarnya sungguh teecu tak pernah menduga, mimpipun
tidak, bahwa pemuda itu bukan manusia baik-baik. Sebab selama
lama dia berdiam dalam perguruan ini, selama itu dia tidak pernah
melakukan sesuatu yang patut dicurigai. Akan tetapi kenyataan dia
telah membuat suhu sangat menyesal, dan semuanya ini akibat
kecerebohan teecu masukkan racun kedalam tempat ini. Oleh
karena itu, teecu bersedia menanggung segala akibatnya, teecu akan
mencari dia hingga ketemu, dan bila perlu untuk menebus dosa
teecu, teecu rela mengorbankan jiwa teecu‖
Mendengar jawaban muridnya yang demikian, lagi pula
memang Bcng Su Hoo juga tidak bisa terlalu disalahkan, maka
kemarahan Lie Kie Pok agak surut. Dengan menghela napas ia
berkata penuh penyesalan:
―Sejak semula aku telah menduga bahwa bajingan itu bukan
manusia baik-baik. Tetapi untuk membuktikan kata-kata dalam
hatiku sengaja aku telah menerima dia menjadi murid. Siapa
sangka, ternyata dugaanku tidak meleset sama sekali......‖
Sehabis berkata, Le Kie Pok menghela napas pula, seraya
berusaha untuk mengingat-ingat siapa gerangan pemuda bajingan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 23
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

itu. Akau tetapi walau bagaimanapun ia memeras otak, tetap ia tidak


dapat memecahkan teka-teki ingatannya itu. Dia tetap tidak dapat
mengenali anak siapakah pemuda yang mengaku bernama Lian
Bun Kauw itu.
―Yah.... apa hendak dikata .....‖, Lie Kie Pok melanjutkan
penyesalannya. ―Semuanya telah terjadi, rupanya takdir yang telah
membuat diriku tanpa sadar telah melanggar sumpahku - Ahhhh . .
huh . . huhu . . uhhh . . " begitulah penyesalan yang terlalu besar
telah membuaat pendekar perkasa itu menjatuhkan diri berlutut
sambil menangis tersedu-sedu.
Sedang Beng Su Hoo dai menjublak, hanya dapat mengawasi
belaka, tanpa dapat berbuat suatu apa.
―Suhu ‖, dengan masih berlutut, Song to Lie Kie Pok berkata
berteriak-teriak, ―Karena teccu telah melanggar sumpah, maka teecu
bersedia untuk menjalani hukuman apapun yang hendak dijatuhkan
kepada teecu.......‖
Ketika melihat keeadaan gurunya yang demikian, maka tanpa
terasa Beng Su Hoo menjadi sangat bersedih, dan akhirnya ikut-
ikutan menangis menggerung-gerung, Hingga membuat ruang
belajar silat itu menjadi ramai dengan suara tangisan dua orang itu,
guru dan murid. Hal itu membuat seluruh penghuni perguruan itu
menjadi bingung, dan sibuk baik pegawai maupun murid Kie Pok
Bu-koan berusaha menghibur kedua orang yang menangis itu.
Kejadian ini semuanya lelah menyadarkan mereka semua akan
kebusukan Lian Bun Kauw, orang yang selama ini mereka anngap
baik-baik.
Sebenarnya siapa pemuda she Lian yang mengaku berasal dari
Hoo-lam itu?

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 24
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sebagai kita telah mengetahui, bahwa pada dua puluh tahun


yang lalu Song-to Lie Kie Pok pernah melakukan pertempuran
dengan tiga orang cianpwe yang rata-rata sudah berusia lima puluh
tahunan. Bertiga mereka itu sebenarnya adalah tiga ketua utama
partai Ceng Hong Pai. Mereka ini sebenarnya memiliki kepandaian
tunggal yang istimewa.
Akibat hasutan seorang murid mereka, ketiga cianpwe itu kena
dibakar, kemudian mereka bertiga turun gunung untuk mengukur
tenaga dengan Song-to Lie Kio Pok.
Ketika itu Song-to Lie Kie Pok baru saja empat bulan keluar
dari pintu perguruan di Siong-san. Usianyapun sedarg segar-segar
baru meningkat dua puluh tahun lebih. Dalam usia demikian ia
adalah murid turunan langsung dari Beng Beng Hoat-su ketua
Siauw Lim Pai yang ilmu kepandaian dan kesaktiannya tak ada
tandingan.
Demikianlah, hanya dengan mempergunakan delapan jurus dari
Cap Peh Lo Hoan To, Lie Kie Pok telah berhasil menghancur
binasakan ketiga cianpwe itu.
Kejadian ini sudah terlalu lama berlalu. Lie Kie Pok telah
melupakannya, dia ia tidak menyadari bahwa salah seorang dari
ketiga cianpwe yang bernama Ong Go Lo-couw mempunyai
seorang putera yang saat itu berusia delapan tahun. Dan anak itu
adalah yang sekarang kita kenal sebagai Lin Bun Kauw, yang
sebenarnya bernama Ong Kauw Lian.
Ong Kauw Lian walaupun saat itu baru berusia 8 tahun, akan
tetapi memiliki kecerdasan otak yang hampir menyamai orang
dewasa. Demikianlah tahun itu juga ia meninggalkan kampung
halamannya, mencari pembunuh ayahnya itu,
Dua tahun kemudian, tengah dalam perjala nannya ke Ouw-pak
ia telah bertemu dengan sutee dari ayahnya, yaitu Kim Bian Ho Lie

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 25
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

An Hwie Cian. Si Rase bermuka Emas. An Hwie Cian ini


menyadari bahwa kepandaiannya berada setingkat dibawah
suhengya, lagi pula ia tahu bahwa kebinasaan ketiga suhengnya itu
adalah akibat kecerobohan mereka sendiri, maka ia tidak berdaya
untuk membalaskan Sakit hati subeng-suhengnya itu. Itulah
sebabnya, ketika dalam perjalanannya ke daerah Ouw-pak ia
menemukan putera suhengnya, segera ia mengajaknya kembali ke
Ceng Hong San.
Kepada Ong Kauw Lian Si Rase Bermuka Emas An Hwie Cian
menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya. Sehingga pada usia 23
tahun, Ong Kauw Lian telah dapat mewarisi seluruh ilmu
kepandaian yang diturunkan kepadanya, baik ginkang, lweekang
maupun gwakang,
Demikianlah, Kim Bian Ho Lie An Hwie Cian lantas
menjelaskan bahwa yang telah membunuh ayah Ong Kauw Lian
adalah murid kepala dari Beng Beng Hoat-su yang bernama Lio Kie
Pok. Juga dijelaskan pula bahwa kematian ketiga suheng-suhengnya
adalah karena ilmu silat Cap Peh Lo Hoan To dari Song-to Lie Kie
Pok yang sangat lihay itu. Maka apabila Ong Kauw Lian bermaksud
membalaskan sakit hati ayahnya, ia harus menguasai dulu Cap Peh
Lo Hoan To barulah akan dapat mengalahkan Song-to Lie Kie Pok
yang sekarang berdiam dl Siu-ciu.
Begitulah kisah selanjutnya secara kebetulan Oog Kauw Lian
telah bertemu dengan murid Lie Kie Pok yang ternama Beng Su
Hoo, hingga untuk selanjutnya ia diterima murid di Kie Pok Bu-
koan, yang kemudian berakhir dengan pesta ulang tahun Lie Kie
Pok itu.
Setelah berhasil ―mencuri‖ delapan belas jurus Cap Peh Lo
Hoan To, tanpa sejuruspun yang luput dari ingatannya, maka pada
keesokan harinya Ong Kauw Lian secara diam-diam telah
menghilang dari Kie Pok Bu-koan. Dengan segera pemuda ini

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 26
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lantas pergi langsung mendaki gunung Ceng Hong San, untuk


segera meyakini Cap Peh Lo Hoan To.
Setibanya di Ceng Hong San, didapatkannya keadaan gunung
sangat sunyi, sebab beberapa hari yang lalu Kim Bin Ho LieAn
Hwie Cian pergi turun gunung untuk mencari obat-obatan bersama
puterinya. Pekerjaan ini memang sering di lakukannya, hampir
setiap setengah tahun sekali.
Demikianlah, seorang diri Ong Kauw Lian sejak hari itu lantas
melatih diri dengan Cap Peh Lo Hoan To dengan sekeras hati. Ia
mempunyai kecerdasan yang benar-benar luar biasa, serta
mempunyai otak yang benar-benar terbuka. Maka dengan tekad
yang menyala-nyala untuk dapat membalaskan dendam ayahnya,
dua bulan kemudian Ong Kauw Lian telah berhasil merubah Cap
Peh Lo Hoan To menjadi Sha Cap Lak To. Kemudian pada bulan
berikutnya, dengan ditambahi dengan jurus-jurus paling lihay dari
Ceng Hong Pai, ia telah merubah Sha Cap Lak To atau Sha Cap Lak
Lo Hoan To menjadi suatu bentuk ilmu pedang yang dinamakan
Ceng Hong Kiam Hoat yang terdiri dari seratus delapan jurus.
Dan....... sungguh dahsyat, Ceng Hong Kiam Hoat ini, seratus kali
lipat lebih lihay dari pada ilmu golok Cap Peh Lo Hoan To.
Pada suatu hari, setelah lama empat bulan ia meyakinkan diri di
Ceng Hong San, dan setelah puas mematangkan diri dengan lima
pedang Ceng Hong Kiam Hoat, maka diputuskannyalah untuk
mewujudkan cita-citanya mencari musuh besarnya tanpa menunggu
kembalinya sang paman.
Dengan mempergunakan ginkanguya yang sangat tinggi, dalam
waktu dua hari dua malam Ong Kauw Lian telah berhasil tiba di
Siu-ciu, kota dimana musuh besarnya atau bekas ―gurunya" itu
tinggal.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 27
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tengah dalam perjalanannya menuju Kie Pok Bu-koan, tiba-


tiba dari arah belakang ia merasakan adanya beberapa benda yang
memancarkan hawa dingin menyerang dari tiga jurusan, atas,
tengah dan bawah. Berbareng itu terdengar suara bentakan yang
masih dikenal benar oleh Ong Kauw Lian.
Dengan segera Ong Kauw Lian menyadari bahwa ketiga benda
yang menyerang itu adalah sejenis hui-piauw atau piauw terbang.
Dengan sangat cepatnya Ong Kauw Lian memutar tubuhnya
dengan menggunakan jurus Poan Liong Jiauw Po atau naga
bertindak, dari partainya. Iapun mengulur lehernya untuk
menangkap senjata rahasia yang mengarah perut dengan giginya,
sedang kedua tangannya bergerak menyambar kedua piauw yang
lain, Dengan demikian ia telah mempertunjukkan kepandaiannya
yang hebat, hingga membuat sekalian orang yang menyaksikan
menjadi sangat kagum..
Orang yang membokong tadi tidak lain Beng Su Hoo adanya,
yang menjadi sangat terkejut melihat kegesitan orang yang pernah
menjadi suteenya itu. Sebelum ia tahu apa yang harus dilakukan
selanjutnya, maka tampak berkelebat sesosok bayangan yang tiba-
tiba saja telah tiba dihadapannya sambil tertawa-tawa, yaitu Ong
Kauw Lian atau yang dikenal oleh Beng Su Hoo sebagai Lian Bun
Kauw.
Sambil tertawa-tawa haha hihi, entah mengejek enteh gembira
atau entah menghina, Ong Kauw Lian berkata : ―Beng toa-hia
mengapa kau begitu kejam? Lupakah pada persaudaraan kita?
seharusnya kau bangga memiliki saudara yang berilmu kepandaian
tinggi, tinggi sekali.....hahaha......‖
Rupanya sengaja Lian Bun Kauw mengerahkan tenaga
lweekangnya sehingga suara tawanya terdengar sangat nyaring
menyakitkan telinga, sehingga orang-orang disekitarnya menjadi

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 28
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

gempar, sedangkan Beng Su Hoo sendiri menjadi benar-benar


terpaku diam.
Belum habis gema suara tawanya, Ong Kauw Lian telah
menotok jalan darah tai-twie-hiat Beng Su Hoo pada bagian
lambung. Ong Kauw Lian menotok sedemikian rupa sehingga orang
yang ditotoknya tak dapat berbuat apa-apa, tetapi masih dapat
berjalan sebagai biasa, seperti orang yang tak kurang suatu apa.
Setelah itu, Ong Kauw Lian membentak, mengeluarkan suara
memerintah : ―Lekas kau pulang. Sampaikan kepada gurumu bahwa
aku putera Ong Go Lo-couw nanti malam akan mengadakan
kunjungan!‖. Sehabis berkata demikian ia segera berkelebat pergi,
menghilang diantara wuwungan-wuwungan rumah.
Sementara itu, Beng Su Hoo yang berada seorang diri dalam
keadaan tertotok, seakan ada yang menyuruh, segera menggerakkan
kedua kakinya untuk berjalan, menuju Kie Pok Bu-koan.
Semua anggota Kie Pok Bu-koan menjadi terheran-heran
melihat tingkah laku Beng Su Hoo yang seperti orang linglung,
memasuki perguruan dengan langkah linglung,
―Hai, Su Hoo suheng, mengapa kau?‖ seorang suteenya
bertanya, akan tetapi tidak mendapat jawaban.
Seseorang yang mengira bahwa Beng Su Hoo telah kemasukan
hantu, cepat-cepat masuk kedalam untuk melapor kepada Song-to
Lie Kie Pok, yang ketika itu sedang berada dikamar semedhinya.
Mendengar laporan itu, Song-to Lie Kie Pok setengah percaya
setengah tidak. Lekas-lekas ia keluar untuk membuktikan sendiri
apa yang sebenarnya terjadi.
Kekagetan guru itu menjadi lebih tak terkira demi melihat
dengan mata kepala sendiri, murid kesayangannya, Beng Su Hoo,
wajahnya tampak pucat seperti kapas sedang gerakan jalannyapun

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 29
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tidak wajar. Setelah ditelitinya sebentar, mata Song-to Lie Kie Pok
melihat pada bagian lambung muridnya tampak sebuah bekas
totokan. Akan tetapi ia tidak dapat menduga, orang sakti dari
manakah yang telah dapat melakukan totokan pada tai-twie-hiat
sehingga mengakibatkah keadaan demikian rupa, sebab biasanya
orang yang ditotok pada bagian lambungnya seperti itu, tidak
berakibat begitu aneh.
Tanpa terasa, hatinya tergetar Song-to Lie Kie Pok` menduga
bahwa ia telah kedatangan seseorang angkatan lama yang
berkepandaian sangat tinggi. Sungguh bermimpipun tak mungkin ia
dapat mengira bahwa yang telah melakukan perbuatan itu adalah
seorang pemuda yang empat bulan yang lalu masih menjadi salah
seorang muridnya, yang justru sekarang sedang dicari-carinya.
Keadaan Beng Su Hoo kian bertambah payah. Song-to Lie Kie
Pok segera memerintahkan beberapa orang muridnya untuk
membawa Beng Su Hoo kedalam kamarnya, untuk kemudian
dibaringkan diatas pembaringan batu.
Cepat-cepat dibukanya baju si murid yang sudah tak sadarkan
diri lagi. Dilihatnya jelas sekarang setelah beberapa saat memeriksa
dengan teliti bahwa disebelah kanan dari urat tai-twie-hiat
muridnya, terdapat sebuah totokan yang sangat kecil sekali, sebesar
tajamnya jarum. Keheranannya semakin bertambah-tambah.
Song-to Lie Kie Pok berusaha untuk mengingat-ngingat,
siapakah kiranya orang yang memiliki ilmu totokan demikian.
Dihubung-hubungkannya totokan itu dengan totokan yang pernah
disaksikannya pada dua puluh tahun yang lalu. Akirnya soal ini
terpecahkan juga, ia merasa pasti bahwa totokan itu adalah ilmu
totokan kaum Ceng Hong Pai, cuma yang terlihat olehnya sekarang
jauh lebih hebat daripada yang dulu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 30
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah kepastiatnya itu, maka Song-to Lie Kie Pok meminta


sebatang jarum kepada salah seorang muridnya. Setelah itu, iapun
bekerja cepat, menusuk-nusukan jarum itu disekeliling bekas
totokan berpuluh-puluh kali. Dalam sekejap saja, kain putih pelapis
pembaringan telah menjadi merah oleh darah yang menetes-netes
keluar dari kulit lambung simurid.
Usaha ini ada juga sedikit faedahnya. Beberapa saat kemudian
Beng Su Hoo tampak mulai bergerak-gerak. Sambil meronta
perlahan, ia tampak berusaha dengan susah payah untuk dapat
berkata-kata. Lie Kie Pok berusaha untuk mencegahnya, akan tetapi
si murid telah mendahuluinya :
―Suhu ..... berjaga-jagalah ..... nanti mal.....‖ sampai disini Beng
Su Hoo bethenti berbisik, karena ternyata kemudian seluruh
tubuhnya menjadi kaku, dan jiwanya telah melayang, tewas akibat
totokan seseorang yang pernah menjadi saudara, kawan yang pernah
ditolongnya setengah tahun yang lalu.
Melihat kematian murid kesayangannya yang begitu
mengenaskan, maka tanpa terasa, menitiklah air mata Song-to Lie
Kie Pok. Teringatlah olehnya betapa hubungan kasih sayang antara
dirinya dengan murid ini yang bo1eh dikata sudah sebagai anak
kandung sendiri.
Sepanjang hari, Lie Kie Pok mengucurkah air mata kemudian
menyesali kematian muridnya itu, hingga haripun telah menjelang
sore.
Selelah seorang muridnya datang memberitahukan bahwa hari
sudah datang malam, dan waktu makan sudah tiba, barulah Song- to
Lie Kie Pok meninggalkan jenazah muridnya dengan hati berat,
kemudian dengan ditemani isterinya ia bersantap malam.
Selesai bersantap malam, kembali Song-to Lie Kie Pok
memasuki kamar semedhinya untuk menentramkan pikirannya yang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 31
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

baru saja tergoncang Beberapa saaat semedhi maka haripun menjadi


malam.
Keadaan perguruan itu sunyi senyap, kecuali suara jengkerik
yang mengerik dipekarangan terdengar nyaring bersahutan.
Namun orang yang dinantikan seperti yang dikatakan oleh Su
Hoo sesaat sebelum ajalnya, belum juga muncul. Hati Song-to Lie
Kie Pot agak tergetar juga, sebab ia menyadari bila seseorang
hendak mengadakan kunjungan pada malam hari maka dapatlah
dipastikan bahwa orang itu sedikitnya tentu tergolong dari tingkatan
tinggi yang tentu berkepandaian sangat lihai pula.
Kembali telah dilalui waktu satu jam, hari sudah menjelang
pagi kira-kira pukul tiga sekarang. Saat itu Lie Kie Pok merasa pasti
bahwa saat inilah orang itu akan muncul. Ia pun lalu bersiap-sedia.
Golok besarnya yang tajam berkilat-kilat disiapkan disebelah kanan
duduknya. Namun keadaan disekelilingnya masih juga sunyi saja,
tiada terdengar suara apapun yang mencurigakan hingga kembali
beberapa saat berlalu dengan ketegangan belaka.
Ketika itu. justru ia sedang memusatkan pikirannya, memasang
telinga dan membuka matanya ... tiba-tiba tanpa diketahui dari
mana asalnya, tahu-tahu dihadapannya telah berdiri seseorang yang
sebelumnya benar-benar tak pernah diduganya.
Orang itu bergerak secepat angin, dengan sepasang mata agak
juling dan muka merah padam karena api kemarahan, ternyata
bukan lain adalah ―Lian Bun Kauw‖ seorang bekas muridnya
sendiri yang telah menghilang beberapa bulan yang lalu itu,
Selama beberapa bulan ini Song-to Lie Kie Pok telah
mengembara kelima propinsi untuk mencari bekas murid yang telah
memperdayakannya itu, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 32
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kini tiba-tiba pemuda itu telah muncul dengan begitu


mendadak seakan dapat mudah begitu saja muncul seperti setan,
maka diam- diam Song-to Lie Kie Pok merasa terkejut.
Namun Song-to Lie Kie Pok adalah seorang jago yang telah
duapuluhan tahun malang melintang didunia kangouw, yang boleh
dibilang telah kenyang dengan pengalaman menghadapi
pertempuran besar ataupun kecil dimana-mana, maka sesaat
kemudian ia dapat menguasai dirinya dengan baik.
―Bukan kau yang bernama Lian Bun Kauw, bekas muridku
yang menghilang enam bulan yang lalu setelah mencuri
kepandaianku?‖ Lie Kie Pok menegur demikian, akan tetapi hatinya
tak habis pikir. Mungkinkah dengan mencuri lihat delapan belas
Jurus Gap Peh Lo Hoan To saja, pemuda bekas mudidnya itu akan
dapat begini lihay? Hmm... Apakah kau orangnya, yang dikatakan
oleh muridku, akan- mengunjungi malam ini?‖
Pemuda itu Cuma mendengus bengis. Song-to Lie Kie Pok
teringat sesuatu yaitu bekas totokan pada lambung Beng Su Hoo.
Maka hatinya berdebar, lalu tanyanya pula :
―Apakah kau anak murid Ceng Hong Pai?‖
―Tidak salah! Aku adalah putera dari salah seorang ketiga
cianpwe yang telah kau bunuh pada duapuluh tahun yang lalu.
Bersiaplah kau untuk kuantarkan menghadap Giam Lo Ong !‖ sahut
pemuda itu dengan suara gemetaran menahan marah.
Mendengar jawaban itu, serentak timbul bermacam-macam
perasaan yang mengaduk didalam dadanya. Kaget, heran dan gusar
bermunculan silih berganti. Akhirnya perasaan gusarlah yang
muncul membangkitkan hawa amarah. Dengan cepat ia telah
menyambar goloknya, sambil kemudian dengan mengeluarkan
bentakan keras iapun lalu membacok dengan satu gerakan dari Cap

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 33
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pek Lo Hoan To jurus kesembilan, yang disebut Sat Liong Hok


Houw atau ilmu membacok naga menaklukan harimau.
Akan tetapi dengan sangat mudahnya Lian Bun Kauw telah
dapat berkelit untuk kemudian menjejakkan kakinya melompat
sejauh empat tombak lebih. Melibat kelihaian sibekas murid ini,
Song-to Lie Kie Pok bukannya menjadi kagum, sebaliknya bahkan
makin gusar.
―Hmmh! Bagus sekali perbuatanmu !‖ bentaknya. ―Setelah kau
berani mencuri delapan belas jurus Cap Peh La Hoan To dariku,
sekarang kau hendak mencobai! Murid tidak tidak punya liangsim!
Murid keparat !‖
―Mengapa tanpa sebab kau membunuhi suhengmu secara
begitu keji?‖ begitulah Lie Kie Pok melanjutkan caciannya.
Bekas murid itu hanya tersenyum bengis, sehingga membuat
Lie Kie Pok bertambah kalap belaka. Sehingga goloknya terayun
pula, membacok dengan cepat sambil membentak-bentak.
―Ketahuilah olehmu, hai murid keparat ! walaupun kau telah
menjadi manusia dengan seribu kepala dua ribu tangan, aku Song-
to Lie Kie Pok takkan menjadi takut !‖
Namun untuk serangan yang kedua kali inipun dengan
mudahnya sibekas murid itu dapat menelitinya dengan mudah.
Bahkan ia masih sempat memperdengarkan suara tertawa penuh
ejekan.
Ketika tampak mulutnya berkemai-kemik, maka selanjutnya
Lian Bun Kauw telah mencabut pedaognya. Lalu terdengar kata-
katanya yang gemetaran :
―Lie Kie Pok! Memang aku telah mencuri kepandaian
tunggalmu! Dan dengan kepandaian tunggalmu ini aku hendak
membunuhmu untuk membalaskan sakit hati ayahku... !‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 34
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Diam!‖ bentak Lie Kie Pok dengan suara menggeledek. Bukan


main gusarnya mendengar bekas murid itu telah berani memanggil
dengan sebutan namanya saja. ―Mari, kita coba-coba ! Golokku
akan membunuh setiap murid murtad !‖
―Ha ha ha kau hendak membunuhku?" Bekas murid itu tertawa
mengejek. ―Dapatkah kau membunuhku? Hahaha ...ayah, dapatkah
manusia she Lie ini membunuhku...." Demikianlah Liati Bun Kauw
atau Ong KauW Lian berkata-kata seorang diri, sambil kemudian
berlutut kepalanya menengadah keatas seakan-akan pemuda itu
sedang bersembahyang. Terdengar ia menyebut-nyebit Ong Go Lo-
couw berulang-ulang, sehingga membuat Song-to Lie Kie Pok
bertambah terkejut. Timbul pertanyaan dalam hatinya, benarkah
pemuda yang pernah menjadi muridnya itu adalah anak Ong Go Lo-
couw?.
Sementara itu, pemuda itu masih kedengaran berkata-kata
seorang diri: ―Maka sekararg, tenteramkanlah dirimu ayah,
ijinkanlah sekarang anakmu melaksanakan tugasmu ‖
Song to Lie Kie Pok telah mendapat kepastian bahwa pemuda
itu benar adalah putera Ong Go Lo-couw, orang tua yang pernah
dibunuhnya, maka iapun bersiaga, goloknya dilintangkan didepan
dada. Dengan sikap Tui Cung Bong Goat, jago golok besar ini siap
menanti serangan, bahkan bila perlu menyerang lebih dahulu.
Setelah menanti beberapa saat, tampak pemuda itu mulai
berrgerak bangkit dan menghampiri. Song-to Lie Kie Pok tanpa
membuang waktu lagi segera mcnerjang dan kemudian
menyabetkan goloknya.
Song-to Lie Kie Pok terkenal dengan ilmu goloknya yang
termashyur yaitu Cap Peh Lo Hoan To yang dahsyat itu. Kali ini ia
menyerang dengan satu jurus yang mematikan, menghajar dada si
pemuda sebelah kiri pada jalan darah kie bun hoat.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 35
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sekonyong-konyong, Ong Kauw Lian putera Ong Go Lo-couw


itu sebaliknya dari menangkis
Bahkan tampak ia bergerak secara aneh dan sangat cepay, tahu-
tahu ia telah menggigit punggung golok lawan dengan giginya,
sambil membarengi menggerakkan tangannya menjotos.
Song-to Lie Kie Pok terperanjat ia bermaksud meloncat
menghindar akan tetapi mendadak ia merasakan pergelangan
tangannya sangat nyeri, ia tahu, bahwa pemuda itu telah
menggunakan jutus kedua Cap Peh Lo Hoan To namun yang
membuatnya tak habis mengerti mengapa jurus itu sangat berlainan
dan aneh sekali. Sama sekali Song-to Lie Kie Pok tidak mengetahui
bahwa Cap Peh Lo Hoan To telah dirubah menjadi ilmu pedang
Ceng Hong Kiam Hoat dan Ceng Hong Kun Hoat.
Puluhan tahun Lie Kie Pok berkelana di kalangan kang-ouw
sebagal seorang piauw-su, akan tetapi belum pernah ia melihat
orang memilik ilmu silat yang demikian lihai dan aneh.
Sementara itu, sebenarnya waktu goloknya digigit lawan,
pergelangan tangan Lie Kie Pok telah ditotok, hingga kesamutan
dan sangat nyeri.
Tanpa membuang ketika lagi. Ong Kauw Lian lantas
menggerakkan tangan kanannya untuk menghajar batok kepala jago
golok itu sambi tertawa keras.
Song-to Lie Kie Pok menggeram keras seperti harimau terluka,
sambil mengempos semangatnya mengirim pukulan dahsyat kearah
dada lawan. Dalam gusarnya itu ia telah melancarkan pukulan yang
mematikan yaitu jurus keenam belas dari Cap Peh Lo Hoan To yang
disebut Hang Liong Hok Houw atau pukulan membinasakan naga
barimau.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 36
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Saat itu, si pemuda yang lelah berhasil mengubah ilmu pedang


Ceng Hoog Kun Hoa terdengar mengeluarkan teriakan aneh, dan
tubuhnya meloncat mundur dengan cepat, untuk kemudian dengan
menotolkan kedua kakinya ke tanah ia sudah melompat kembali
kedepan berhadapan lagi dengan Soig-to Lie Kie Pok.
―Aku lidak percaya bahwa kau sanggup menahan tiga jurus
Ceng Hong Kun Hoatku !‖ Si pemuda berseru.
Pukulan Hang Liong Hok Houw dari Song-to Lie Kie Pok yang
baru saja dilancarkan ini mempunyai tenaga pukulan kurang lebih
sembilan ratusan kati. Dan seumur hidupnya, pukulan tersebut
boleh dikatakan belum pernah meleset. Bahkan dengan pukulan
itulah Ong Go locouw maupun kedua saudaranya mengalami
kebinasaan.
Namun hebatnya, pemuda ini begitu mudah dapat memunahkan
pukulan itu sehingga kecuali membuat Song-to Lie Kie Pok
terkejut, juga berbareng kuatir. Dalam hati ia semakin penasaran
mungkin dalam waktu yang begitu singkat si pemuda telah dapat
mengubah Cap Peh Lo Hoan To?
Cepat bagaikan sambaran kilat. Ong Kauw Lian memenuhi
ucapannya tadi. Segera kedua tangannva menyambar, mengancam
batok kepala lawan. Selagi Lie Kie Pok hendak berkelit, tiba-tiba
kepalanya telah tercekal keras oleh kedua telapak tangan Ong Kauw
Lian, untuk kemudian tanpa berdaya apa-apa ketika sipemuda
menggentaknya jago golok itu telah terbaring jatuh……dengan
kepala yang telah terpisah dari badannya.
Setelah berhasil membunuh musuh besar yang dua puluh tahun
dicari-carinya itu, maka sambil memperdengarkan suara tawa yang
menyeramkan Ong Kauw Lian berkelebat sambil menenteng kepala
musuh besarnya itu, untuk kemudian bayangan tubuhnya
menghilang dalam gelap.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 37
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sementara itu, para anggota Kie Pok Bu-koan yang mendengar


suara ribut-ribut dalam kamar guru mereka, segera terkumpul dan
menyerbu kearah kamar pemimpin itu. Akan tetapi kedatangan
mereka terlambat. Justeru mereka baru memasuki kamar sang guru,
maka mereka melihat sesosok bayangan yang berkelebat pergi
sambil memperdengarkan suara tawa yang menyeramkan sekali,
yang mereka agaknya mengenal baik suara itu. Merela menjadi
sangat terkejut ketika melibat ke lantai kamar, tertampaklah
sebatang tubuh tergeletak tanpa kepala. Maka segera meledaklah
suara ratap tangis yang memilukan demi mereka mendapat
kenyataaa bahwa yang telah terbinasa itu adalah guru mereka
sendiri ...
Tubuh Lie Kie Pok lantas dibaringkan berendeng dengan
jenazah Su Hoo diatas pembaringan batu. Demikianlah akhir hidup
seorang jago golok yang termashur itu, seakan kena dimakan
sumpah! Mati akibat ilmu yang dirahasiakan dengan kepala dan
badan terpisah akibat pembalasan dendam.
Song Bun Nio isteri Lie Kie Pok demi mendengar kematian
suaminya yang demikian mengenaskan, menjadi sangat berduka,
dan berkali-kali ia jatuh pingsan.

****

Bencana ini semua terjadi di Siu-ciu, sehingga walaupun Kie


Pok Bu-koan gempar dengan ratap tangis dan banjir air mata, akan
tetapi takkan dapat didengar oleh Lie Sin Hong putera tungal
pendekar golok itu, yang kini sedang dalam perjalanannya
menunaikan tugas mengantarkan piauw ke daerah barat, ke suatu
kota yang terletak diperbatasan antara Birma dan Tiongkok.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 38
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kita mengetahui bahwa pada kira-kira enam bulan yang lalu


putera tunggal Song-to Lie Kie Pok ini mengantarkan piauw itu
dikarenakan ayahnya saat itu sedang terganggu kesehatannya.
Ketika itu di daerah perbatasan Tiongkok dan Birma sedang
hebat-hebatnya dilanda oleh api peperangan yang ditimbulkan oleh
adanya pemberontakan disana. Hingga walaupun Kie Pok Bu-koan
atau nama Kie Pok Piauwkok namanya sedang sangat mashurnya,
akan tetapi tak luput Lie Sin Hong mengalami banyak gangguan,
hingga bagaikan sebuah angkatan perang yang harus menundukkan
banyak benteng-benteng musuh, pemuda ini telah berkali-kali
melakukan pertempuran besar yang selalu dimenangkan olehnya
dengan gilang gemilang. Dan tugas mengantarkan piauw itu dapat
juga diselesaikan dengan baik dalam waktu empat bulan.
Perjalanan yang memakan waktu dan tenaga itu, akhirnya
membuat sipemuda dapat pulang kembali kekota kediamannya
dalam waktu enam bulan.
Ketika ia memasuki kota Siu-ciu, ia menjadi bingung telah
hampir setiap orang tampil mendatangi dirinya, bahkan ada pula
bebetapa orang yang mengenakan pakaian berkabung.
Pemuda ini menjadi sangat heran dan terkejut, ketik tiba-tiba
beberapa orang tiba-tiba saja menubruk kearah dirinya sambil
menangis terisak-isak, tanpa ada seorangpun yang berkata-kata.
Timbullah firasat buruk dihatinya. Mata setelah ia berhasil
melepaskan dirinya dari rangkulan orang-orang itu, cepat-cepat ia
berlari menuju pulang dengan hati cemas dan waswas.
―Mungkinkah ayah telah meninggal dunia akibat penyakitnya
itu? Atau barangkali ayah yang memiliki kepandaian tiada duanya
dikolong langit ini telah dikalahkan orang, dan mengalami
kebinasaan?‖ Demikianlah sepanjang perjalanannya pulang ini,
sipemuda dikejar-kejar oleh pertanyaan-pertanyaan, hingga ia tiba

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 39
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pada pintu pekarangan rumahnya dan mempercepat larinya


memasuki rumahnya.
Segera ia dapat melihat diataa meja sembahyang, ayahnya yang
sangat dicintainya itu tampak tergeletak tanpa kepala. Seketika
dunia bagaikan berputar, dan pandangan matanya jadi gelap. Dalam
kagetnya disaat itu juga Lie Sin Hong roboh pingsan.
Ketika tersadar dari pingsannya, maka Lie Sin Hong melihat
dirinya dikelilingi oleh berpuluh-puluh orang yang berpakaian serba
putih sedang menangis tersedu-sedu.
Dengan segera pemuda itu menangis menggerung-gerung,
meratap sepus-puasnya, hingga akhirnya ia teringat pada ibunya
yang belum ditemuinya. Segera ia berlari-lari ke kamar ibunya.
Setelah sampai segera ditolaknya pintu kamar sambil berseru :
―Ibu!‖
Sunyi sepi, tiada terdengar jawaban.
―Ibu., aku pulang !‖ Sekali lagi si pemuda berseru-seru
memanggil, akan tetapi seperti juga tadi, tiada terdengar jawaban.
―Ibuuu… Ibuuu…. Ibuuu….!‖ demikianlah akhirnya Lie Sin
Hong berseru-seru dengan kalap.
―Siangkong, beliau telah menyusul ke alam baka…..‖ tiba-tiba
terdengar suara Keng-ma pembantu kepercayaan ibunya berkata
sambil menangis sesenggukan.
Bagaikan berkali-kali disambar guntur, seketika pemuda itu
jatuh pingsan lagi. Sungguh patut dikasihani, jauh-jauh dari tanah
barat ia pulang dengan selamat tiba dikampung kediamannya.
Perasaan rindu kepada kedua orang turnya sangatlah besar. Sudah
terbayang didalam ingatannya, betapa ia akan bercerita dengan
gembira dihadapan kedua orang tua yang sangat dicintainya itu
tentang pengalaman-pengalaman selama perjalanannya ke daerah

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 40
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

barat. Namun, siapa sangka ternyata kepulangannya ini


mendapatkan sambutan yang begini menyedihkan, disambut oleh
bencana hebat yang tentu saja akan menghancurkan seluruh
kegembiraannya.
Memang benar, isteri Song-to Lie Kie Pok atau ibu Sin Hong
telah meninggal dunia, agaknya akibat goncangan hatinya oleh
kedukaan membuat wanita itu tak sanggup untuk hidup lebih lama
lagi.
Dan kini, untuk yang keempat kalinya, warga Kie Pok Bu-koan
kembali berada dalam kerepotan. Kali ini mereka sibuk berusaha
untuk menyadarkan putera tunggal almarhum kedua majikannya.
Mereka sangat cemas kalau-kalau nanti kongcu mereka mengalami
nasib seperti ibunya. Maka segera dipanggilnya seorang sinshe dari
Siu-ciu. Setelah sinshe itu memeriksa, barulah mereka merasa lega.
ketika mendengar keterangan bahwa keadaan sang kongcu tidaklah
berbahaya.

****

JILID 2

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 41
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

BENAR SAJA, menjelang sore Sin Hong tampak enggerak-


gerakkan tangannya. Untuk kemudian mpak ia membuka kedua
matanya, hingga membuat orang-orang yang mengelilinginya jadi
kegirangan.
Sementara itu, kembali Lie Sin Hong menyebut-nyebut nama
ayah dan ibunya, lalu menangis pula, menggerung-gerung.
―Siangkong, sudahlah….‖ Keng-ma berusaha menghiburnya.
―Bukankah kau seorang laki-laki, adalah lebih baik kau
membalaskan sakit hati ayah ibu, dari pada menangis yang hanya
akan melemahkan semangatmu belaka‖.
Lie Sin Hong tersentak, bagaikan terkena hajaran cambuk
rasanya mendengar penuturan yang membakar semangat itu.
Tersadarlah ia kini, sadar bahwa dialah seorang putera tunggal,
putera satu-satunya yang telah ditinggal oleh kedua orang tuanya.
Pemuda ini menjadi terbakar oleh api kemarahan dan dendam
demi akhirnya ia mengetahui bahwa kematian ayahnya adalah
dilakukan oleh bekas murid Kie Pok Bu-koan sendiri.
Tiga hari kemudian, dengan membekal sepuluh potong emas,
pada keesokan harinya Lie Sin Hong walaupun dengan hati berat,
meninggalkan kota Siu-ciu untuk memenuhi kewajiban sebagai
seorang anak yang berbakti. Peralatan gedung Kie Pok Bu-koan
dipercayakan kepada Keng-ma serta beberapa orang suhengnya,
sebab kepergiannya kali ini tidak ketahuan kapan ia bakal kembali
lagi.
Sambil berjalan ia teringat bahwa ia baru mewarisi lima belas
jurus Cap Peh Lo Hoan To yang diturunkan oleh ayahnya, sehingga
diam-diam ia menyesali ayahnya yang tidak menurunkan seluruh
ilmu kepandaian itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 42
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun dilain saat, hatinya agak terhibur, bila teringat bahwa ia


telah mewarisi tujuh bagian dari ilmu silat ayahnya, sedangkan
musuh yang dicarinya hanyalah seorang bekas murid yang baru dua
bulan belajar di Kie Pok Bu-koan.
Sama sekali tak terpikir olehnya, bahwa kekalahan ayahnya
bukanlah disebabkan oleh usianya yang sudah tua, akan tetapi
justeru lawan sesungguhnya memiliki kepandaian yang jauh lebih
tinggi.
Seperti orang buta yang kehilangan tongkat Lie Sin Hong
berjalan tanpa mengetahui arah tujuan. Ia tak tahu harus pergi
kemana, sedangkan bayangan orang yang membunuh ayahnya
itupun dia ketahui samar-samar dari gambaran para suhengnya yang
memberikan keterangan dengan kata-kata belaka.
Sementara itu, berita kematian Song-to Lie Kie Pok dalam
beberapa hari saja telah tersebar luas, dari segala lapisan masyarakat
ataupun golongan Rimba Persilatan mengetahuinya. Mereka
kebanyakan ikut berduka kecuali beberapa orang yang merasa
kegirangan yaitu orang-orang yang pernah dipecundangi oleh
almarhum Song-to Lie Kie Pok.
Dalam perjalanannya mencari pembunuh ayahnya itu, Lie Sin
Hong telah tiba dikota Teng Hong Koan. Lalu iapun mengambil
jalan menuju kearah timur.
Sesudah melalui gunung Teng Hong San maka ia telah tiba
dibagian barat kota Hoo-lam.
Sebagian telah dituturkan didepan, bahwa berita kematian
Song-to Lie Kie Pok kecuali menimbulkan perasaan ikut
berbelasungkawa bagi orang-orang golongan lurus, juga tidak
mustahil pula bahkan sebaliknya menggembirakan lawan-lawannya,
terutama orang- orang yang pernah dipecundangi oleh pendekar
golok besar itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 43
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Diantara orang-orang yang pernah dikalahkan itu, terdapat pula


dua bersaudara Keng atau Keng Sie Heng Tee yang masing-masing
bernama Keng Ciauw Lam dan Keng Ciauw Hie adiknya.
Mereka berdua ini adalah murid-murid murtad dari Bu-tong
Sie- lo, atau empat ketua dari Bu Tong Pai, tingkat kedua.
Semula mereka menguasai daerah sebelah barat Hoo-lam.
Daerah ini kira-kira pada sepuluh tahun yang lalu terpaksa
ditinggalkan karena mereka telah dikalahkan oleh Song-to Lie Kie
Pok.
Dengan kekalahannya ini, semula mereka berusaha untuk
menuntut balas hingga mereka untuk itu, sepuluh tahun
mengasingkan diri didaerah barat untuk meyakinkan ilmu silat
mereka. Apa hendak dikata, sebelum mereka mencapai maksudnya,
kini mereka telah mendengar bahwa musuhnya itu telah terbinasa,
dibunuh oleh bekas muridnya sendiri.
Demikianlah, karena merekapun sesungguhnya tidak terlalu,
mendendam sebab mereka sadar akan kesalahan perbuatannya,
merekapun cuma kembali menguasai daerah operasi mereka sediri
sebagai semula.
Pada suatu hari, sedang mereka berdua duduk-duduk didalam
gua dengan diterangi enam batang lilin mereka berbicara mengenai
hal ilmu silat, mendadak keenam batang lilin yang sedang menyala
berkobar itu tahu-tahu padam dengan seketika. Padahal tidak terasa
ada angin yang bertiup, atau tidak terlihat ada orang yang
meniupnya. Merekapun jadi terkejut berbareng jeri, berpikir bahwa
ada orang yang tanpa terlihat bayangannya telah dapat
memadamkan enam batang lilin sekaligus, tentu orang tersebut
berilmu kepandaian sangat tinggi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 44
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Cianpwe manakah yang telah berkenan hendak memberikan


pelajaran?‖ Akhirnya Toa Keng Heng Tee berteriak, suaranya
berkumandang nyaring dalam gelap.
Tiada jawaban, keadaan kembali sunyi senyap, serta gelap
gulita.
―Siapakah yang datang? Jangan main sembunyi-sembunyi,
jawab!‖ Keng Ciauw Hie yang adatnya barangasan, membentak
dengan suara kasar.
Tetap tidak terdengar suara jawaban, tidak juga desir angin.
Akan tetapi, sedang kedua bersaudara Keng itu bermaksud hendak
melompat keluar gua, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara yang
dingin berasal dari tempat dimana tadi mereka duduk.
Terkejut mereka tidak terkatakan. Mungkin kata ada makhluk
yang dapat bergerak begitu cepat, tanpa kesiur angin ataupun
kelebatnya bayangan? Timbullah dugaan mereka bahwa yang telah
bersuara itu tentulah sebangsa siluman.
Sedang mereka tahu benar keadaan kamar gua itu, yang hanya
memiliki sebuah pintu masuk. Tak mungkin orang masuk melalui
jalan yang lain. Namun mereka tak dapat tinggal diam. Mereka
bersiap sedia, sebab mereka tidak mengetahui apa maksud
kedatangan orang dengan cara menggelap itu.
Hingga karena habis kesabaran, Jie Keng Heng Tee Keng
Ciauw Hie segera melontarkan dua belas biji cin-lian cu atau biji
teratai perak kearah tempat duduk mereka tadi.
Ssrrr……. ssrrr…… ssrrr... demikianlah biji-biji teratai perak
itu berhamburan.
Namun, hasilnya hanyalah menambah keheranan mereka
belaka, kedua belas senjata rahasia itu lenyap tanpa bekas.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 45
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Aneh sekali. Andaikata ―tetamu‖ tak diundang itu berkelit,


setidaknya tentu akan menimbulkan suara benturan senjata rahasia
itu membentur dinding gua. Akan tetapi, biji-biji teratai itu seakan
mengenai tempat kosong, lenyap tanpa suara lagi.
Selang beberapa saat, maka terdengarlah suara tawa yang
dingin meremangkan bulu roma. Kedua saudara Keng itu tersentak
kaget, kiranya semua senjata rahasia itu telah kena disambuti oleh
tetamu itu.
Sepanjang pengalaman hidupnya, tak pernah Keng Ciauw Hie
mengalami kejadian yang demikian hebat. Selama sepuluh tahun ia
melatih diri di daerah barat, terutama sekali ia memperdalam ilmu
mempergunakan senjata rahasia teraiai perak itu, Dan selama
berpuluh-puluh tahun ia berkelana, tak pernah ada orang yang
mampu menyanggupi sekian banyak senjata rahasia yang
dilontarkan sekaligus.
Keng Ciauw Lam melihat kegagalan saudara mudanya itu. Dan
diam-diam ia merasa sangat kuatir bahwa lawan yang sangat lihai
itu akan menjadi lebih berbahaya bila keadaan tetap gelap gulita
seperti ini. Maka segera ia menyalakan sebatang lilin yang terdekat.
Kamar gua itu kembali terang. Namun anehnya, tetamu yang
tadi nyata-nyata berada dalam ruangan itu, kini tidak tampak lagi.
Dalam kagetnya ini, ia mendengar suara tawa menyombong
dibarengi ucapan yang mengatakan bahwa dialah orang yang telah
membunuh Song-to Lie Kie Pok.
Sedangkan apabila kedua saudara itu melihat keatas meja,
mereka melibat sebuah bungkusan terletak disitu, yang
menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung.
Menyaksikan kebebatan tetamu tak diundang itu, maka mereka
tanpa terasa jadi bergidik. Mereka insyaf, bahwa andaikata orang itu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 46
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menghendaki jiwa mereka, sungguh terlalu mudah, ibarat


membalikkan telapak tangan saja.
Mereka memeriksa bungkusan diatas meja itu. Dan kembali
mereka terkejut, ketika mereka membuka bungkusan itu maka
terlibat olehnya sebuah kepala manusia yang telah rusak dengan
sebuah surat dalam sampul. Apabila mereka meneliti, kiranya
kepala itu adalah kepala Song-to Lie Kie Pok adanya.
Diatas sampul surat itu terdapat sebuah tulisan yang berisi
peringatan : ―Yang tidak berkepentingan dilarang membaca surat
ini!‖
Sedangkan pada sudut yang lain dari sampul itu, terdapat
sebuah tulisan yang bernada memerintah : ―Serahkan surat dan
kepala ini kepada seaeorang yang beberapa hari lagi akan lewat
ditempat ini!‖
Setelah membaca tulisan-tulisan ini, Keng Sie Heng Tee untuk
sesaat saling berpandangan. Mereka menjadi ragu-ragu akan berita
yang mengatakan bahwa Song-to Lie Kie Pok mengalami
kebinasaan ditangan bekas muridnya yang berusia belum tiga puluh
tahun. Memang orang tidak mudah untuk mempercayai kenyataan
yang telah dicapai oleh Ong Kauw Lian yang menjadi sangat lihai
luar biasa itu.
Sejak berhasilnya membinasakan musuh besar ayahnya, Ong
Kauw Lian lantas cepat-cepat meninggalkan kota Siu-ciu. Dalam
waktu yang sangat singkat, berkat ginkangnya yang telah mencapai
tingkat sangat tinggi, maka sebentar saja ia telah menghilang dari
pandangan penduduk kota itu.
Ia tidak langsung menuju ke Ceng Hong San melainkan ketika
tiba disebelah timur kota Hoo-lam, ia memasuki sebuah bio yang
bernama Kwan Tee Sio. Disitu, setelah meletakkan kepala Song-to

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 47
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Lie Kie Pok dibawah patung Kwan Kong dan mengeluarkan pedang
peninggalan ayahnya Ong Kiauw Lian melakukan sembahyang.
Selesai sembahyang, karena haripun sudah malam dan ia
merasa letih, maka iapun bermalam dalam kelenteng itu untuk
beristirahat.
Keesokan karinya, pada waktu bari fajar, barulah ia
melanjutkan perjalanannya. Pada waktu tengah hari maka ia telah
lewati kota Hoo-lam.
Sebelumnya, ia pernah mendapat keterangan yang mengatakan
bahwa disebelah barat kota, ada dua perampok yang bekerja tanpa
anak buah, yang terkenal dengan julukan Keng Sie Heng Tee.
Tetang hal ini ia mendengar keterangan dari susioknya.
Dan ia mengetahui pula bahwa kedua Saudara Keng itu pernah
mempunyai dendam hati terhadap Lie Kie Pok.
Tengah ia berjalan sambil mengingat-ngingat demikian, ia
melihat berkelebatnya seseorang yang wajahnya mirip dengan Lie
Kie Pok. Hati Oug Kauw Lian jadi tertarik. Karena itu, maka iapun
membayangi kepergian orang itu, yang ternyata menuju sebuah
hotel.
Pada malam harinya iapun mendatangi hotel dimana pemuda
berusia lima belas tahunan itu bermalam. Dengan mempergunakan
ginkangnya yang sangat tinggi, maka ia dapat menemukan kamar
sipemuda tanpa orang didatangi itu menyadarinya.
Ong Kiauw Lian mengadi sangat terkejut ketika ia melubangi
kertas penutup jendela dan mengintai kedalam kamar, maka ia
melihat pemuda yang diintainya itu sedang berlutut sambil
menangis tersedu-sedu, memanggil manggil nama Lie Kie Pok
dan nama Ong Kiauw Lian sendiri dengan nama yang dipakai
dalam perguruan Kie Pok Bu-koan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 48
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dalam saat itu timbulah keinginannya untuk membabat rumput


sampai ke akar-akarnya. Iapun lalu meacabut pedangnya untuk
mewujudkan pikirannya itu.
Akan tetapi, sedang pedangnya sebentar lagi akan menghirup
darah pemuda dalam kamar itu, tiba-tiba terdengar teriakkan
seorang bocah yang menyayat memilukan.
Seakan terbetot oleh besi berani, maka Ong Kiauw Lian tidak
jadi menebaskan pedangnya, akan tetapi sebaliknya melompat turun
untuk menghampiri tempat anak kecil yang meratap-ratap itu.
―Ayah… ibu... dimana kau . .? Aku lapar ayah …. lapar …‖
suara itu begitu kering dan parau keluar dari mulut seorang bocah
berusia kira-kira 8 tahun yang menggeletak terkapar dilantai dengan
tubuh kurus kering, seolah-olah tinggal tulang pembalut kulit
belaka.
Dengan napas tersengal-sengal bocah itu merintih-rintih,
―Aduh….. ibu….. aduh…..‖ tampak anak itu berusaha untuk
merayap bangun, akan tetapi belum berhasil maksudnya itu, ia telah
tersungkur jatuh kembali.
Ong Kauw Lian si pembunuh Lie Kie Pok itu, dengan mata tak
berkedip memandangi keadaan si anak yang mengenaskan itu. Rasa
kemanusiaannya terbetot oleh kesengsaraan yang dipertunjukkan
oleh bocah sengsara itu, dan hatinya keheranan melihat sepasang
mata si bocah yang berkilat-kilat.
Dalam sekejap itu ia lupa, bahkan tadi ia hendak membunuh
orang. Segera ia membungkukkan badan mengangkat tubuh si
bocah yarg kurus kering itu. Ketika ia memperhatikan wajah anak
itu, ia terkejut juga girang, sebab kecuali sepasang mata sibocah
yang berkilat-kilat tajam luar biasa, ternyata bocah itu memiliki
tanda bakat baik dalam tubuhnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 49
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ia terkejut ketika ia meraba nadi bocah itu ternyata napas bocah


itu kira-kira tinggal beberapa titikan saja. Lupa ia akan maksudnya
membunuh orang, seketika dibawanya anak itu menuju sebuah
kamar untuk dibaringkan.
Tiga hari tiga malam, Ong Kauw Lian terpaksa harus
menunggui sibocah yang penyakitan itu, sehingga mangsanya yang
menginap di kamar sebelah, kini telah pergi.
Dua hari kemudian, setelah ternyata bocab itu benar-benar telah
sembuh barulah Ong Kauw Lian meninggalkan hotel itu. Lewat
setengah harian maka tibalah ia di Hoo lam barat, dimana tinggal
Keng Sie Heng Tee si kedua saudara perampok itu.
Setelah melakukan penyelidikan, maka pada malam harinya
Ong Kauw Lian menyatroni gua kedua perampok itu, yang
kebetulan malam itu mereka sedang berunding tentang ilmu silat.
Begitulah, dengan menggunakan tipu Dewa suci hembusan
angin, hasil ciptaan serdiri yang merupakan salah satu dari jurus
Ceng Hong Hoat Sut, iapun mengumpulkan lweekang kedalam
perutnya, untuk kemudian meniup sehingga berhasil memadamkan
enam batang lilin tanpa menimbulkan suara desiran angin sama
sekali.
Sedangkan ia sendiri setelab meruntuhkan semangat kedua
saudara Keng itu, segera melanjutkan perjalanannya ke Cheng Hong
San sambil tetapi menggendong bocah delapan tahunan itu untuk
meyakinkan Ceng Hong Kiam Hoat dan Ceng Hoat Kunnya.
Sekalian mendidik anak yang dianggapnya sangat berbakat itu.
Sementara itu, Keng Sie Heng Tee yang mengalami peristiwa
menyeramkan itu, menjadi serba bingung. Untuk beberapa lama
mereka menjublak diam tak berani berkata-kata.
Baru selang beberapa saat, Keng Ciauw Lam menyeletuk :

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 50
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Eh. Hie Tee, sudahlah. Mari kita simpan kepala ini, jangan
sampai nanti digerayangi tikus. Kita nantikan beberapa hari disini
untuk menanti siapa sebenarnya orang yang dikatakan oleh Cin
itu...‖

Demikianlah, Keng Sie Hong Tee menantikan sampai berlalu


tempo tiga hari. Namun orang yang dimaksud belum juga muncul,
sementara bau busuk kepala yang ditinggalkan orang, semakin
menghebat.
Pada hari kelima setelah mereka berdua sudah tidak tahan oleh
bau bacin itu, maka mereka memutuskan uniuk meninggalkan
tempat itu.
Mereka tak berani sembarangan membuang kepala rusak itu,
karena mereka ngeri akan akibatnya.
Setelah menunggu hingga hari ketujuh maka mereka menulis
surat yang mereka tinggalkan bersama bungkusan kepala itu, dan
mereka kembali mengembara ke daerah barat untuk memperdalam
ilmu mereka.
****
Kini marilah kita kembali kepada Lie Sin Hong yang telah kita
tinggalkan sejak di Hoo-lam timur.
Tiba di tempat itu, haripun telah senja. Disebuah tanjakan, ia
menemukan sebuah rumah tanah berbentuk sebagai gua, ia heran
berbareng curiga, karena ketika ia baru saja hendak masuk kedalam
gua ia telah diserang oleh bau busuk yang sangat menusuk hidung.
Sin Hong mengurungkan maksudnya memasuki gua itu, lalu
berlari-lari menjauhi sambil menekap hidungnya. Justru ketika ia
baru saja berniat untuk meninggalkan tempat itu berkelebat suatu
ingatan dikepalanya, cerita almarhum ayahnya yang mengatakan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 51
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bahwa ada segolongan orang yang suka menculik sesamanya untuk


dijual sebagai bakso. Karena pikiran yang demikian maka segera ia
membalikkan badan untuk kembali ke tempat tadi guna melakukan
penyelidikan, bila perlu melakukan pembasmian.
Gua itu ternyata berbentuk seperti rumah sebuah pertapaan.
Panjangnya kira-kira dua tumbak lebarnya setengah tumbak lebih.
Heran ia. Mungkinkah sebuah pertapaan boleh dipergunakan
sebagai tempat menyimpan bangkai?
Karena hendak cepat-cepat meninggalkan tempat itu, maka
dengan mengeraskan hati dia memencet hidungnya keras-keras,
sipemuda memasuki gua untuk memeriksa.
Lie Sin Hoog terkejut, karena baru saja ia memasuki mulut gua,
maka dilihatnya diatas sebuah meja yang berada didepan pintu,
ditataki selapis kain putih yang sudah kotor oleh darah yang
menghitam kering, terlihat sebuah kepala manusia. Ia heran, sebab
walaupun kepala manusia itu sudah rusak benar, akan tetapi rasa-
rasa ia mengenalnya.
Maka dengan menahan perut yang seakan hendak muntah-
muntah, ia menghampiri meja itu. Ia melihat sehelai kertas bertulis
dan sebuah sampul surat terdapat disitu. Keheranannya kian
bertambah.
Lie Sin Hong segera mengambil surat yang tak bersampul itu,
dan membacanya. Seketika, hampir saja ia menjerit kaget, demi
terbaca isi surat yang menerangkan bahwa kepala manusia yang
tergeletak di meja itu adalah kepala Song-to Lie Kie Pok.
Dijelaskannya pula disitu, tentang kelihaian orang yang membunuh
Lie Kie Pok, yang diduga mempunyai ilmu siluman. Sedang
dibawah sekali surat itu terdapat sebuah kata-kata yang berbunyi
Keng sie Heng Tee.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 52
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Separuh mempercayai surat itu, dengan mata basah si pemuda


membuka sampul surat yang satu lagi. Gemetar tangannya ketika
membaca surat itu.
Disaat itu juga Lie Sin Hong menangis menggerung-gerung.
Air mata yang mengucur adalah air mata dendam yang berkilat.
Lalu dengan menghilangkan rasa mual maupun jijik, diangkatnya
kepala yang tergeletak diatas meja itu, yang memang tidak lain
adalah kepala Song-to Lie Kie Pok.
Sekali lagi Lie Sin Hong meyakinkan kepala itu. Setelah ia
yakin benar bahwa kepala ini memang kepala ayahnya, maka
kemudian ia membakarnya. Selanjutnya, didepan abu kepala
ayahnya, Lie Sin Hong menangis menggerung-gerung sambil
bersumpah untuk membalas sakit hati ayahnya itu.
Setelah memohon restu, maka sipemuda lantas menanam abu
itu dibawah pohon kwi, untuk kemudian ia melanjutkan
perjalanannya.
Beberapa hari kemudian, setelah kira-kira sepuluh hari ia
menempuh perjalanan, sepuluh hari, maka ia telah berada dalam
perjalanan menuju gunung Ceng Hong San. Berjalan pula dua hari,
maka ia telah mencapai lereng gunung.
Dari suatu tempat yang agak menjulang tinggi, Lie Sin Hong
melihat kejauhan tampak asap bergumpal-gumpal naik ke udara.
Hatinya girang, dan berdebaran keras.
Namun beberapa saat kemudian, bila ia teringat akan kata-kata
Keng Sie Heng Tee dalam surat itu, kegirangannya segera lenyap,
berubah tinggal debaran jantungnya saja. Ia tahu bahwa kedua
saudara Keng sendiri tidak berdaya ketika dipermainkan oleh
―cianpwe‖ yang menitip surat itu. bukankah itu berarti orang yang
dicarinya itu berkepandaian sangat tinggi?

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 53
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akan tetapi Lie Sin Hong tidak mengenal takut. Untuk


membalaskan sakit hati ayahnya masakah ia harus mundur hanya
karena surat itu saja?
Dengan menekan debaran jantungnya, sipemuda mempercepat
jalannya, bertekad untuk mengadu jiwa dengan pembunuh ayahnya
yang ternyata kini telah diketahuinya berdasar surat bersampul itu
yang bernama Ong Kauw Lian.
Belum berjalan beberapa lama, cuaca mendadak berubah gelap.
Kiranya belum memasuki daerah yang penuh ditumbuh pohon-
pohon cemara yang rimbun. Pohon-pohon itu berdaun lebat, dan
batangnya tinggi-tinggi seperti pencakar langit.
Kini ia berada dijalan yang dikanan kirinya ditumbuhi pohon
cemara, seakan diapit. Pohon-pohon cemara yang berwarna hijau
bagai selimut yang melapisi seluruh tanah pegunungan itu. Kecuali
jalan-jalan sangat sempit, juga naik turun dan berliku-liku.
Belum lama ia berjalan, mendadak telinganya mendengar suara
rintihan yang berasal dari sebatang pohon cemara. Dengan terkejut,
cepat-cepat Sin Hong menghampiri suara rintihan itu.
Maka dilain saat si pemuda melihat dibawah rindangnya
sebatang pohon cemara, tampaklah laki-laki berusia sekitar empat
puluh tahun, sedang duduk menyender dengan napas empas-empis.
Orang itu memakai jubah pertapa sedangkan mulutnya tak berhenti
hentinya merintih kesakitan.
―Siapa kau?‖ tanya Sin Hong yang lalu menghampiri,
berjongkok dengan maksud untuk memberikan pertolongan. Orang
yang terluka itu agaknya mengucapkan beberapa patah kalimat yang
tak jelas terdengar maka Sin Hong semakin mendekati.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 54
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sekonyong-konyong orang berjubah pertapa itu melonjorkan


kedua tangannya kedepan sambil berkata tersendat-sendat:
―Bukankah kau berdiri dihadapanku ini bernama Lie Sin Hong?‖
Lie Sin Hong tersentak mundur setindak, terkejut melihat
lengan yang kiranya tampak berlubang-lubang dan mengalirkan
darah warna kehitam-hitaman. Sedangkan mukanya yang juga
basah kuyup berwarna kehitaman pula, oleh sebab keringat yang
kehitam- hitaman, bukan darah.
Tidak salah lagi, tentu orang itu baru saja melakukan
pertarungan hebat yang berakhir dengan kekalahan hebat baginya.
Akan tetapi siapakah orang itu? Mengapa ia mengenal nama si
pemuda? Dan siapakah musuh orang itu, yang begitu kejam?
Orang yang memakai baju pertapa itu mengawasi sipemuda
dengan sinar mata guram, untuk kemudian mengulangi
pertanyaannya ketika pertanyaannya yang pertama tadi tidak
mendapat jawaban.
Akhirnya, setelah menetapkan hati, Lie Sin Hong memberikan
jawabannya :
―Yah, lopeh benar aku Lie Sin Hong? Bagaimana lopeh dapat
mengenal namaku? Siapakah lopeh sebenarnya?‖
Kelihatan orang setengah tua itJ kegirangan akan tetapi secepat
itu pula ia menjadi tampak sangat cemas. Katanya : ―Sin Hong.
Bukankah kau putera Song-to Lie Kie Pok?‖
―Benar, tidak salah !‖ Sin HoDg tidak menyangkal. ―Habis
siapakah sebenarnya, dan mengapa lopeh menderita seperti
ini?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 55
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Karena mendengar orang menyebut nama ayah, Lie Sin Hong


kembali menangis, kemudian berkata: ―Tetapi...lopeh...ayah,
ayahku telah.‖ pemuda itu terus menangis menggerung-gerung.
―Aku juga mengetahuinya ! Dan bukankah kau kemari hendak
menuntut balas?‖
Lie Sin Hong semakin keheranan. Kiranya lelaki setengah umur
itu telah begitu banyak mengetahui tentang dirinya.
―Lopeh, benar-benar aku tidak mengerti. Bukankah diantara
kita baru saja saling bertemu, bagaimana lopeh dapat mengetahui
semua itu?‖ Tanya Sin Hong mendesak.
―Anak……. Aku sebenarnya adalah paman dari orang yang
telah membunuh ayahmu…. Namaku An Hwie Cian…..‖
Sin Hong menjadi lebih-lebih terkejut. Ia memang pernah
mendengar nama itu dari penuturan ayahnya, ―Lopeh, jadi siapakah
yang telah membuatmu jadi begini rupa?‖
―Tunggu dulu, anak muda, jangan potong pembicaraan‖ kata
lelaki setengah umur itu yang benar adalah Kim Bin Ho Lie An
Hwie Cian.
―Pada delapan belas hari yang lalu, dia, musuhmu itu, telah
pulang. Dia memberitahukan kepadaku bagaimana ia dalam dua
gebrakan saja berhasil membinasakan musuh besarnya yang berarti
musuhku pula, memang perasaaaku waktu itu sangat bangga
sekali.‖
Mendengar penuturan An Hwie Cian sampai disini, sebenarnya
Sin Hong bermaksud untuk membunuh lelaki setengah tua itu. Akan
tetapi melihat keadaan orang yang sudah tak berdaya itu, hatinya tak
tega. Bukankah tak usah disabet golok orang itupun sebentar lagi
akan mati!

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 56
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Maka timbul niat sipemuda untuk meninggalkan saja orang tua


itu. Ketika mendadak terjadi sesuatu yang sangat tidak terduga.
Lelaki setengah tua yang hampir mati itu telah meronta dari
duduknya, kemudian menyambar tangan Sin Hong cepat-cepat,
kemudian mencekalnya keras-keras, sehingga sipemuda tak berhasil
melepaskan lengannya dari cekalan orang itu.
Sin Hong terkejut bercampur murka. Ia membentak : ―Apa
maksudmu?‖
―Jangan naik keatas !‖ Sahut An Hwie Cian dengan suara serak.
―Dengan kepandaianmu seperti ini, percuma saja kau menemui
musuh besarmu yang berarti hanya mengantarkan nyawa belaka !‖.
Sebenarnya masih meluap kemarahan sipemuda ketika itu.
Akan tetapi melihat orang yang tidak bermaksud jahat terhadap
dirinya, maka walaupun dengan kasar, Sin Hong menyahut :
―Baik!‖
―Bagus ! kau dengarkan dulu ceritaku sampai selesai…..‖ kata
An Hwie Cian selanjutnya.
―Memang semula aku memuji akan kemajuan keponakanku
itu‖ begitulah An Hwie Cian memulai ceritanya. ―Diam-diam aku
mengucap syukur, akan ketinggian ilmu keturunan saudaraku itu
Akan tetapi beberapa orang sahabat yang mengatakan bahwa
katanya, keponakanku itu tidak saja membunuh ayahmu, akan tetapi
secara tidak langsung juga membunuh ibumu...‖
Sampat di sini telinganya mendengar cerita orang, maka hati
Sin Hong bagaikan akan meledak akibat kemarahannya.
―…… dan juga salah seorang saudara seperguruannya…….‖
begitulah dengan bersikap seakan-akan tidak melihat perubahan
muka sipemuda, An Hwie Cian melanjutkan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 57
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Hari itu, kalau tak salah adalah hari kelima belas sejak
keponakanku itu pulang ke gunung. Aku maki dia habis-habisan,
kucaci dan kumarahi, akan tetapi dia diam saja. Dengan tidak
dijawabnya caci makiku itu, kukira dia telah insyaf, maka akupun
tidak memarahinya lagi‖ An Hwie Cian berhenti sebentar untuk
menghapus keringat hitam dimukanya, untuk kemudian
melanjutkannya lagi.
―Akan tetapi, keesokan harinya telah datang pula seorang
sahabatku yang mengatakan bagaimana kejinya keponakanku itu
mempermainkan kepala ayahmu‖.
Tanpa terasa lagi Sin Hong telah meloncat sangat tinggi, sekira
tiga tombak, dengan isi dada seakan bergolak,
―Aku harap kau jangan berlaku demikian, tenanglah …..‖ kata-
kata ini ditujukan kepada Sin Hong, hingga dilain saat pemuda
itupun sudah kembali berdiri terpaku.
―Mendengar cerita itu, akupun menjadi gusar sekali‖ An Hwie
Cian melanjutkan ―Aku katakan kepadanya, bahwa aku seorang
kesatria! Aku caci dia habis-habisan, hingga akhirnya kuusir dia!
Pada saat itulah karena kemarahan yang tak terkendali, aku telah
melayangkan tangan mengancam dadanya……….‖
Sampai disini, An Hwie Cian mengatur napasnya kembali yang
tampak memburu. Setelah itu barulah ia melanjutkan pula.
―Namun ternyata kepandaiannya benar-benar telah berubah
sama sekali! Ilmu kepandaiannya benar-benar membuat kagum.
Aku jadi benar-benar terperanjat ketika pukulanku hampir mengenai
dadanya, tahu-tahu dia telah menghilang entah kemana. Sedang aku
kebingungan hendak memukul kemana tiba-tiba aku merasa
tubuhku menjadi lemas…….‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 58
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tanpa terasa mendengar kehebatan musuhnya itu Sin Hong


memperdengarkan suara pekikan.
―Untuk selanjutnya, dia menghadiahkan pada dua lenganku ini
dengan dua belas biji gin-lian-cu yang mengakibatkan muka dan
keringat itu menjadi hitam seperti ini.....‖ tampak wajah An Hwie
Cian menegang marah. ―Selanjutnya aku diusir dari tempatku,
sambil ditertawakan olehnya. Dikatakannya bahwa aku tidak
berguna sama sekali ………….‖
Bercerita sampai disini, napas An Hwie Cian kembali
memburu. Sedangkan Lie Sin Hong bungkam seribu bahasa, bahkan
diam-diam ikut bertambah marah kepada murid yang berperangai
buruk itu. Namun dibalik itu, iapun mengagumi kepandaian bekas
murid ayahnya itu. Ia baru sadar sekarang, bahwa kekalahan
ayahnya bukanlah disebabkan ketuaan usianya semata-mata akan
tetapi juga karena kalah dalam hal ilmu kepandaian. Hingga karena
itu. Sin Hong merasa sangat bersedih dan putus asa, seakan-akan
sakit hati ayahnya tak mungkin ia dapat membalaskannya.
Ia ingat yang Keng Sie Heng Tee pernah menuturkan ilmu
kepandaian manusia bernama Ong Kauw Lian itu, yang hebat luar
biasa, seolah-olah memiliki ilmu siluman. Sedangkan sekarang,
paman guru simanusia murtad itu sendiri mengatakan hal-hal yang
sama. Hingga ia tak mungkin menyaksikan lagi, tentu kepandaian
lawannya sangat luar biasa.
―Kau tahu?‖ Lelaki setengah umur itu melanjutkan kata-
katanya. ―Sebenarnya disaat itu juga aku bermaksud menghabisi
jiwaku sendiri karena malu. Akan tetapi aku teringat akan
dirimu…....!‖
―Mengapa lopeh mengingat diriku?‖ Sin Hong bertanya
bimbang.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 59
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Ya aku ingat akan dirimu yang kudengar kabar hendak


mendaki gunung ini!‖
Terkejut Sin Hong mendengar keterangan bahwa mengenai
kepergiannya itu ternyata telah tersebar luas.
―Demikianlah, aku tak jadi membunuh diri. Dengan segera aku
mengerahkan lweekangku ke kepala, akupun menuruni puncak
gunung ini. Hingga disini aku hampir kehabisan tenaga, dan duduk
menantikan kedatanganmu‖.
Semua penuturan lelaki setengah tua itu masuk dalam perhatian
Sin Hong. Tanpa sadar ia menghela napas, bersyukur kepada orang
setengah tua itu sebab andaikata tidak bertemu dengan dia, entah
bagaimana jadinya nasib dirinya.
―Jadi lopeh telah dua hari menantikan saya? tanyanya.
Orang setengah tua bekas ketua Ceng Hong San itu
menganggukkan kepala. Tampak ia tersenyum puas. ―Benar aku
telah menantikan kau disini dua hari lamanya, karena aku merasa
pasti bahwa kau tentu akan melewati tempat ini. Maksudku untuk
memberitahu kepadamu, bahwa untuk saat ini kau harus bersabar.‖
―Janganlah kau mencari padanya, dulu…..?‖
Berkata sampai disini An Hwie Cian tersenyum puas.
Kemudian tanpa ragu-ragu ia melanjutkan bicaranya: ―Disini aku
terangkan kepadamu bahwa secara tidak langsung aku telah
menyelamatkan jiwamu‖
Lie Sin Hong mengangguk-anggukkan kepalanya untuk
kemudian menghaturkan terima kasih.
―Maka dari itu ...hmmm ehmmm...sekarang aku mengharapkan
bantuanmu…………‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 60
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Jangan kuatir lopeh, aku tentu akan menggendongmu


menuruni gunung ini‖ sahut Sin Hong cepat. Ia menduga bahwa
lelaki setengah tua itu membutuhkan tenaganya.
Tetapi mendadak siorang tua tertawa terbahak-bahak. Lama
tertawanya itu, hingga puas, barulah ia berkata:
―Anak muda, kau salah sangka. Aku bukan mengharapkan
bantuanmu menuruni gunung. Lagi pula, jikalau aku mau apakah
kau mampu melakukannya,?‖
Merah padam wajah Sin Hong mendengar ejekan itu. Akan
tetapi ia diam saja, sebab ia tahu bahwa orang tua itu berkata benar
belaka.
―Anak muda, jangan kau marah. Aku hanya main-main,‖ kata
Kim Bin Ho Lie lebih lanjut ―untuk kesedianmu itu aku mengucap
banyak-banyak terima kasih. Tetapi hendaklah kau ketahui bahwa
umurku hanyalah tinggal beberapa tarikan napas saja……‖
Kata-kata itu mengejutkan benar bagi Sin Hong. Tak disangka
bahwa si lelaki setengah tua yang umurnya tinggal beberapa kali
tarikan napas itu masih bisa tertawa-tawa.
Sesudah itu, maka An Hwie Cian melanjutkan kata-katanya,
kali ini ia berkata dengan sungguh suogguh.
―Dengarlah baik-baik. Aku harap, dari sini pergilah kau ke Soa
tang. Carilah seorang gadis yang kira-kira seusia denganmu……
namanya An Siu Lian…..‖ sambil mengulurkan tangan, maka iapun
memberikan sepucuk surat kepada Sin Hong lalu melanjutkan
bicara. ―Serahkanlah surat ini kepadanya. Nanti dengan dia, kalau
kau mengingini kau dapat bersama-sama‖ tiba-tiba An Hwie Cian si
rase muka emas itu berhenti berkata, Kedua tangannya ditekankan
kedada dan matanya dimeramkan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 61
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Melihat ini cepat-cepat Sin Hong mengeluarkan tangannya


hendak membantu mengurut dada orang itu, akan tetapi tampak An
Hwie Cian mengebaskan tangannya sambil berkata terputus-putus
―….pu .. teri ... ku ...‖ kemudian terus diam. Sejenak itu
napasnyapun berhenti, sebelum ia menyelesaikan kata-katanya yang
tadinya hendak diuapkan ; ... d e ... ngan dia….pergi . . ke Thai …..
san…‖
Demikianlah An Hwie Cian tiba pada akhir hidupnya,
meninggalkan dunia yang kotor ini di bawah tangan orang yang
pernah dirawatnya sejak berusia 11 tahun. Malah kepada orang itu
ia telah menurunkan seluruh kepandaiannya.
Setelah mendapat kenyataan bahwa orang setengah tua itu
benar-benar telah menemui ajalnya, untuk beberapa saat Sin Hong
berdiri terpaku. Ia bingung tak lahu apa yang harus diperbuatnya.
Ditatapnya surat pemberian orang itu, untuk sejenak hatinya ragu-
ragu. Bukankah ayahnya meninggal akibat perbuatan salah seorang
murid Ceng Hong Pai?
Akan tetapi, ketika ia bermaksud meninggalkan jenazah itu,
timbullah ingatannya akan pertolongan orang itu. Bukankah dia
telah menyelamatkan jiwanya, walaupun dengau cara tidak
langsung?
―Dialam baka, ayahpun tentu akan mentertawakan diriku jika
aku meninggalkan mayat An Hwie Cian begitu saja ―, katanya
dalam hati.
Lalu, diputuskannya untuk menguburkan jenazah An Hwie
Cian. Dengan mempergunakan golok, Sin Hong menggali tanah.
Dan dilain saat maka telah selesailah acara penguburan yang sangat
sederhana itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 62
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah itu, dengan mempergunakan segumpal hio Sin Hong


berlutut melakukan sambahyang didepan kuburan Si Rase Bermuka
Emas itu, seorang bekas ketua Ceng Hong Pai. Selesai itu barulah ia
menuruni gunung menuju suatu tempat yang dimaksudkan oleh An
Hwie Cian, yaitu Shoatang.
Beberapa hari berjalan, maka tibalah Sin Hong di wilayah
perbatasan Shoatang, yaitu sebelah barat propinsi Tit-lee.
Shoatang adalah kota hidup yang ramai untuk perhubungan
antara daerah-daerah sebelah barat dan timur. Penduduknya padat
perdaganganpun sangat ramai. Disitu terutama diperdagangkan
orang adalah rempah-rempah yang didatangkan dari daerah lain.
Disini Sin Hong berjalan seraya matanya mengawasi kekanan
dan kekiri. Siu-ciu kota kediamannya, boleh dikata tergolong kota
yang ramai akan tetapi bila dibandingkan dengan Shoatang ini,
keramaiannya terpaut sangat jauh.
Ketika melewati sebuah restoran, maka masuklah Sin Hong
kedalamnya untuk memilih tempat duduk. Ia memesan sepiring nasi
dan empat kati mie.
Tengah asyiknya ia makan, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut
diluar restoran.
Ternyata yang membuat keributan itu adalah dua orang jongos
dengan seorang pemuda yang tubuhnya kurus dan berpakaian
compang camping.
Pemuda itu berusia kira-kira sebaya dengan Sin Hong.
Kepalanya ditutupi dengan kopiah kain yang telah pecah-pecah
serta sudah kumal benar, mukanyapun hitam kotor, hingga tak dapat
dilihat tegas wajahnya.
Didaerah Shoatang ini, sekalipun di musim semi, hawa sangat
dingin dan pemuda itu tidak bersepatu, jadi jelaslah bahwa ia

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 63
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

seorang yang sangat melarat. Pada tangannya, ia menggenggam


sepotong ubi. Ia mengawasi kedua jongos ita sambil tertawa, hingga
giginya yang bagus tampak tidak sepadan dengaa keadaan yang
kotor dan compang-camping.
―Mau apa lagi?‖ bentak salah seorang jongos itu, ―Mengapa
tidak lekas-lekas pergi?‖
―Baiklah pergi? Tentu pergi . . .‖ kata pemuda itu seraya
membalikkan tubuhnya, bermaksud hendak berlalu.
―Hai lepas ubi itu!‖ teriak kedua jongos itu.
Pemuda berpakaian kumal itupun melepaskan ubi dari
tangannya. Akan tetapi karena tangannya kotor, maka tampaklah
bekas tiga jarinya pada ubi itu, hitam lagi kotor. Tentu saja kue itu
tak dapat dijual lagi.
Kedua jongos itu sangat marah. ―Seeerr !‖ kepalannya
melayang. Pemuda itu menghindar hingga kepalan jongos itu lewat
diatas kepalanya.
Sementara itu, Lie Sin Hong yang pikirannya sedang kacau,
sejak tadi ia menyaksikan kelakuan kedua jongos dan pemuda
kotor. Melihat keadaan si pemuda yang terancam bahaya, tak
sampai hati Sin Hong membiarkan saja, ia tahu bahwa pemuda yang
bagus barisan giginya itu tentu sudah lapar sekali.
―Jangan ! Jangan !‖ serunya, mencegah kegalakan kedua jongos
tersebut. ―Aku yang akan membayar, biarkan dia makan!‖ Lalu
dijemputnya ubi yang kotor ditanah itu, untuk kemudian
diberikannya kepada seekor anjing, tentu saja binatang itu cepat-
cepat menubruknya, kemudian memakannya dengan lahap sambil
menginbas-ngibaskan ekornya.
―Sayang...sayang sekali...‖ seorang jongos tadi menggerutu.
―Ubi selezat itu, diumpankan kepada anjing...‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 64
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun Sin Hong tidak memperdulikan jongos-jongos itu,


bahkan dengan sikap yang ramah, diberikannya dua potong ubi
yang masih hangat kepada pemuda kotor itu, barulah dia kembali
kemejanya untuk meneruskan makannya. Akan tetapi pemuda kotor
itu mengikutinya, hingga membuat Sin Hong jadi kikuk.
―Mari makan bersama‖ kata Sin Hong mengundang.
―Baik!‖ sahut sipemuda kotor itu sambil tertawa. ―Aku
sendirian tidak gembira. Justeru aku sedang mencari kawan‖
pemuda yang berlidah pegunungan itu berkata menyerocos. ―Heh
sahabat, jongos itu menyebalkan sekali bukan?‖
Sin Hong diam saja, hanya
"Mari makan bersama" kata Sin Hong mengguman dari
bicaranya ia dapat mengenali dari mana asal pemuda kumal itu.
Pemuda berpakaian kotor itu tampaknya berasal dari Siu-ciu, yaitu
daerah Ceng Hong Koan.
Ketika pemuda kotor itu telah mengambil tempat duduk di
sampingnya maka Sin Hong meneriaki jongos untuk memesan
tambahan makanan.
Kedua jongos itu agaknya belum hilang dari kemendongkolan-
nya tadi, dan ia melayani dengan sikap acuh. Mungkin karena
melihat kawan baru Sin Hong hanyalah seorang penjemis.
―Apakah mentang-mentang aku melarat lantas tidak patut untuk
makan masakanmu?‖ tegur si pemuda kolor tersinggung.
―Yah benar cepat! sediakan!‖ bentak Sin Hong pula. Ia muak
melihat kelakuan jonggos-jongos itu. Mereka itu mengawasi kearah
pakaian Sin Hong yang serba indah, kemudian memanggut-
manggutkan kepalanya, untuk selanjutnya berkata berulang-ulang:
―Baik! Baik! Baik!‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 65
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sambil bersantap, maka pemuda kotor itu tak henti-hentinya


berbicara, tentang segala apa saja yang ada di Ceng Hong Koan. Hal
itu justeru menggembirakan Sin Hong, sebab ia teringat akan pesan
An Hwi Ciang dari Ceng Hong San untuk mencari seorang gadis
yang bernama An Siu Lian
Dan sekarang, duduk makan bersama-sama dengan pemuda itu,
yang ternyata mengaku berasal dari Ceng Hong Koan, bahkan dia
pandai sekali berbicara dengan kalimat yang rapih dan suara yang
enak didengar. Smpai-sampai hampir saja Sin Hong terlanjur
menerangkan maksud kedatangannya ke Shoatang ini.
―Kukira tadi ia hanya bodoh dan rudin saja, tidak tahunya
terpelajar juga‖ kata Sin Hong dalam hati.
Suatu kali, karena gembira mengobrol ia cekal tangan sipemuda
kurus itu dengan keras. Heran ia, ketika merasai tangan tersebut
terasa lembut dan hangat, sedangkan pemuda kurus itu sendiri
tersenyum lalu menundukkan kepalanya.
Selang beberapa saat, tiba-tiba pemuda kurus itu menarik
tangan Sin Hong sambil berkata :
―Sudah terlalu lama kita duduk-duduk disini. Makanan sudah
habis, mari kita pergi !‖
―Tunggu dulu! Makanan belum dibayar !‖ kata Sin Hong.
―O, Iya aku lupa‖, membenarkan pemuda melarat itu.
Dan apabila kuasa restoran itu menghitung, ternyata makanan
yang telah mereka habiskan tidak kurang dari seharga delapan puluh
tahil sembilan bun.
Untuk membayarnya Sin Hong mengeluarkan sepotong emas
yang kemudian ditukarnya dengan dua ratus lima puluh tahil uang
perak. Selesai membayar, Sin Hong memberikan persen sepuluh

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 66
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tahil kepada jongos dan kuasa restoran itu, sehingga mereka


menjadi sangat kegirangan. Dengan amat hormatnya mereka
mengantar tamu itu keluar dari restoran. Tiba di luar, maka
tampaklah salju yang telah memenuhi jalan besar.
―Aku telah terlalu banyak merepotkanmu, barulah aku permisi
sekarang‖ kata sipemuda kurus seraya memberi hormat untuk minta
diri.
Sejak semula memang Sin Hong memang menaruh kasihan
pada pemuda yang berpakaian compang-camping itu. Sedang hawa
sangatlah dingin. Maka ia membuka baju luarnya kemudian
dipakaikan pada tubuh pemuda kurus itu. Lalu berkata :
―Saudara, walaupun kita baru berkenalan akan tetapi kita sudah
seperti sahabat lama. Maka kuharap sukalah kau memakai baju ini‖.
Seraya berkata demikian, Sin Hong menyesapkan dua potong emas
kedalam saku baju luarnya itu. Sedang pemuda itu tanpa mengucap
suatu apa, lantas mengeloyor pergi.
Baru berjalan beberapa langkah, pemuda kurus itu menoleh
kebelakang. Demi dilihatnya Sin Hong yang masih berdiri bengong
memandangi, maka pemuda itu menggapaikan tangannya.
Sin Hong menghampiri, seraya katanya : ―Saudaraku, apakah
masih ada kekurangan sesuatu?‖
Pemuda itu tersenyum. ―Kita sudah ngobrol dan makan
bersama seperti sahabat lama. Tetapi kita belum berkenalan, itulah
aneh. Siapakah she dan nama kakak yang mulia?‖
―O, iya! Benar, benar! Kita belum berkenalan‖, sahut Sin Hong.
―Ya aku lupa. Aku she Lie, namaku Sin Hong. Kau sendiri,
hian-tee?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 67
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tampaknya anak muda itu terkejut mendengar orang mengaku


she Lie. Akan tetapi hal itu hanya sesaat, selanjutnya anak muda itu
menjawab sambil tersenyum :
―Namaku Lian she Siu………………….‖
―Sekarang Saudaraku hendak kemana?‖ tanya Sin Hong pula.
―Apakah An hian-tee hendak kembali ke Ceng hong?‖
Anak muda yang mengaku bernama Siu Lian An itu
menggelengkan kepala. ―Aku tidak niat untuk pulang ke Ceng Hong
dahulu,‖ sahutnya ―Eh, toako, aku merasa lapar lagi.‖ begitulah
anak muda itu sengaja memalingkan pembicaraan agaknya ia tidak
senang menyebut-nyebut nama Ceng hong koan.
―Baiklah. Mari aku temani kau...‖ kata Sin Hong, yang tidak
merasa aneh ataupun kesal. Entah mengapa, hatinya merasa sangat
lekat kepada pemuda yang rudin tetapi periang itu.
Kali ini arak muda itulah yang mengajak Sio Hong memasuki
sebuah restoran Tai-liong lauw. Hanya kali ini, tampaknya anak
muda itu makan lebih lahap pula.
Sambil bersantap, tak henti-hentinya mereka bercakap-cakap
kian kemari mengenai hal apa saja. Ketika mendengar penuturan
Sin Hong tentang kematian Lie Kie Pok, maka anak muda yang
bernama Lian An itu menundukan kepalanya, entah apa yang
dipikirkan akan tetapi tampaknya ia berubah cemas.
―Ehh, hiantee, rumahmu dimana?‖ tanya Sin Hong. Ia tidak
melihat perubahan muka orang yang diajaknya bicara itu ―Mengapa
kau tidak pulang saja? Disini hawanya sangat kurang sehat‖
―Ah tidak. Aku tidak mau pulang. Disana ada bajingan yang
selalu menggoda aku!‖ sahut Lian An seraya wajahnya memerah
seperti orang kemalu-maluan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 68
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Bajingan apa?‖ Sin Hong keheranan. ―Apakah kau tidak


sanggup melawan dia? Jangan takut, mari kuantar kau biar kuajar
adat bajingan itu !‖
Mendengar kata-kata Sin Hong anak muda itu tersenyum,
senyum yang mengandung ejekan. Hanya untung, Sin Hong tidak
memperhatikan hal itu.
―An hiantee. Apakah ibumu dirumah tidak mengharap-
harapkan kau?‖ tanya Sin Hong pula.
―Aku tidak punya ibu. Beliau meninggal dunia sejak aku
berusia enam tahun....‖ jawab anak muda itu dengan kepala tunduk.
Ketika mendengar bahwa kawan bicaranya itupun sudah tidak
mempunyai ibu, maka Sin Hong jadi teringat kepada ibunya sendiri
yang mengalami kematian dengan cara yang sangat mengenaskan.
Tanpa sadar ia menghela napas berkali-kali, untuk kemudian
meminta maaf kepada anak muda itu.
―Ayahmu?‖ tanya Sin Hong pula, setelah beberapa lama
mereka terdiam.
―Yah justeru itu. Karena ayah pergi, maka aku jadi tak tahan
akan gangguan-gangguan bajingan itu. Seminggu setelah ayah
pergi, aku menyusul untuk mencarinya. Akan tetapi aku tersesat,
hingga berbulan-bulan aku tidak dapat mencarinya sampai akhirnya
aku tiba ditempat ini‖.
Sedang kedua anak muda itu asyik tercakap-cakap di tangga
loteng terdengar suara dekat-dekat kaki lalu tampaklah seorang
lelaki tua.
Laki-laki tua itu berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Pakaiannya sangat mentereng, indah sekali, sehingga tidak sesuai
dengan kerut-merut pada mukanya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 69
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ia memakai topi yang bentuknya aneh seperti topi seorang


tukang tenung. Bajunya bersulam beruang benang emas yang indah.
Juga mengenakan kaca mata putih, yang justeru biji matanya yang
berkilat-kilat tajam tertampak dari luar, mengurut-urut jenggotnya
yang lemas terurai, laki-laki tua itu memandangi tajam kearah Sin
Hong dan Lian An yang sedang asyik bercakap-cakap.
Beberapa saat ia meneliti kedua pemuda itu, maka ia
menghampiri untuk kemudian mengambil tempat duduk diantara
kedua pemuda itu, sambil tersenyum-senyum ganjil.
―Lopeh, kalau hendak makan, makanlah sepuasnya. Mengapa
mengawasi orang saja?‖ tegur Sin Hong dengan sikap hormat,
―Aku……tidak‖ sahut orang tua itu. ―Aku hanya sedang
tertarik pada kalian, sebab kulihat pada air mukamu sebagai muka
orang yang dirundung malang. Anak muda, cobalah berterus terang
apakah agaknya yang membuatmu susah?‖
Sin Hong terkejut mendengar kata-kata itu. Ia jadi kagum.
Sedang ia bermaksud hendak berkata, orang tua itu telah
mendahului sambil bertepuk tangan.
―Tidak salah. Sinar matamu menunjukkan bahwa kau baru saja
ditinggal seseorang‖.
Bertambah-tambah rasa kagum Sin Hong kepada orang tua itu,
hingga tak terkendalikan pula ia segera berkata : ―Lopeh ramalanmu
memang benar. Aku memang baru saja ditinggal oleh seseorang
…..‖
―Apa kataku, haaaa , ,? Tidak percuma aku dijuluki Koa , , Koa
., eh, anak muda, kalau tak salah yang kau tangisi bukanlah itu
orang tuamu . .?‖ Orag tua itu tampak girang benar mendapat pujian
tentang ramalannya yang tepat.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 70
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tentang ramalan bahwa Sin Hong menangisi orang tuanya itu


hanyalah ramalan hitung-hitungan belaka, sekedar untuk menghibur
anak muda itu. Akan tetapi orang tua itu menjadi kaget ketika
mendengar jawaban Sin Hong.
―Benar lopeh. Yang baru kutangisi bukanlah orang tuaku, tetapi
adalah orang itu yang kuanggap telah berjasa terhadap diriku…..‖
―Hah? Bukan orang tuamu? Habis apakah paman atau kakakmu?‖
Tanya orang tua itu pula.
―Paman bukan, kakakpun bukan. Juga bukan saudaraku Sedang
ayahku…… ayahku.‖ Sampai disini Sin Hong menghentikan kata-
katanya. Ia tak berani menceritakan kematian ayahnya kepada orang
yang baru saja beberapa saat dikenalnya.
―Dan dalam beberapa jam saja, orang itu terus mati‖, kata
orang tua itu.
―Siapakah dia itu?‖
―Dia hebat sekali bagiku Walaupun dia adalah paman dari
orang yang telah membunuh ayahku, akan tetapi budinya takkan
kulupakan sampai diakhir hidupku. Dan untuk dia itulah maka
untuk membalas budinya aku berjanji untuk menemukan puterinya.
Ai siocia…….‖
Baru Sin Hong berkata demikian, maka pemuda kurus yang
mengaku bernama Siu Lian An yang kebetulan sedang menyuap
nasi, seketika ia tersenggruk. Nasi berhamburan dari mulutnya ke
meja dan ke bajunya, bahkan sebagian ada yang muncrat kemuka
dan baju bersulam orang tua tukang koamia itu. Hingga kotorlah
baju yang indah itu oleh serpih-serpihan nasi.
Mula-mula orang tua itu agaknya akan marah. Akan tetapi
mendadak ia terkejut melihat sipemuda berpakaian compang-
camping itu tampak gemetar dan wajahnya pucat bagai kertas.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 71
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sementara itu, Sin Hong melihat temannya itu terhuyung


ditempat duduknya akan pingsan, maka cepat-cepat ia mengulurkan
tangan hendak mengurut dada sipemuda kurus itu. Akan tetapi si
anak muda telah mengebaskan tangan mencegat. Sementara itu
siorang tua tukang koamia itu tertawa tergelak Sambil berkata
keras: ―Sudah kuduga…….sudah kuduga…….‖
―Lopeh!‖ tanpa terasa Sin Hong telah membentak, mengira
bahwa orang tua itu tidak mengenal aturan sopan santun.
Orang tua itu tidak marah bahkan terus tertawa sambil berkata:
―Anak muda, kau telah dipermainkan, tapi kau tak tahu?‖
Berkata sampai disini, tukang koamia itu menunjuk kearah
sipemuda kurus sambil melanjutkan bicira. ―Dia bukan seorang
pemuda, melainkan seorang pemudi‖ Pada akhir kalimatnya situa
tertawa semakin keras, terkekeh-kekeh membuat Sin Hong untuk
beberapa saat terbungkam mengawasi temannya.
Sementara itu ―sipemuda kurus‖ yang merasa rahasianya telah
dibongkar orang, menjadi kemalu-maluan dan menundukkan
kepalanya- ―Benar toako. Tidak salah dugaan orang tua itu!‖
katanya seraya membuka kopiah bututnya sehingga rambutnya yang
panjang hitam mengkilap tergerai sebawah, membuat Sin Hong
beberapa saat terpesona tak bisa berkata barang sepatah.
Sementara itu, orang tua tukang koamia itu masih juga tertawa
tak habis-habisnya. Barulah selang beberapa saat, setelah itu puas
tertawa, ia berkata sambil mencekal pundak Sin Hong.
―Anak muda, tadi kau belum menjawah pertanyaanku.
Siapakah sebenarnya orang yang telah kau tangisi itu?‖
Sin Hong terkejut. Dibawah cekalan orang itu ternyata ia tidak
dapat berbuat suatu apa. Orang tua yang mengaku sebagai tukang
koamia itu bertubuh kurus, akan tetapi cekalannya pada pundak Sin

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 72
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Hong terasa sangat kuat sebagai tang baja, makin lama Sin
Hong merasa makin nyeri kesakitan, Akhirnya ia menjawab juga :
―Dia yang sangat kuhormati, bernama Hwie Cian, penghuni
Ceng Hong……‖
Belum selesai Sin Hong berkata, mendadak ia telah dikejutkan
oleh suara ―bruuuk‖ dan berkesiurnya angin keras, Kiranya kawan
baru itu telah jatuh pingsan, sementara lelaki tua yang mengaku
sebagai tukang koamia itu telah berkelebat pergi entah kemana.
Menyadari kawan yang jatuh pingsan itu adalah seorang
pemudi, maka Sin Hong, jadi gugup. Tanpa pedulikan kemana
perginya si tukang tenung, maka Sin Hong cepat-cepat mengambil
topi kain yang menggeletak dilantai. Setelah itu dicelupkannya
kedalam tee- ow, untuk kemudian dipergunakan untuk mengusapi
dahi si‖pemudi‖ yang berbedak arang.
Apabila telah beberapa kali mengusap maka Sin Hong
mendapat kenyataan bahwa wajah yang semula kotor kini telah
berubah menjadi sebentuk wajah yang putih mulus, dan sangat
cantik yang membuat pemuda ini terpesona, diam dengan mata tak
berkedip.
Teringatlah olehnya, betapa ketika tadi ia mencekal lengan
temannya, terasa lengan itu lembut dan hangat. Serta ini ia menjadi
malu dengan sendirinya ketika secara tak sengaja ia tadi meraba
dada temannya itu.
Tengah Sin Hong terhanyut oleh lamunannya terdengarlah
sipemudi berkata dengan suaranya yang halus, agaknya ia telah
tersadar :
―Toako, benarkah An Hwie Cian telah meninggal dunia?‖
―Hian…..‘‘ semula Sin Hong hendak memanggilnya dengan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 73
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sebutan hiante, akan tetapi ia segera teringat bahwa temannya itu


adalah seorang wanita, maka ia segera merubah sebutann ya.
―A……. adik, memang benar, beberapa hari yang lalu aku telah
menangisi An Hwie Cian yang telah terbinasa, dan aku pula yang
menguburnya‖. Sin Hong menjelaskan, ―Ada hubungan apakah
denganmu?‖ Mengapa engkau lantas jatuh pingsan?‖ Rupanya Sin
Hong masih belum menyadari siapa adanya gadis yang berdandanan
sebagai pemuda itu.
―Toako, baru saja kau mengatakan bahwa kau hendak mencari
puteri An Hwie Cian untuk menyampaikan surat, benarkah?‖ tanya
gadis itu dengan suaranya yang tersedu-sedan.
―Benar !‖ Sin Hong keheranan melihat si pemudi menangis.
―Toako….. akulah puterinya…..‖ karena tak dapat
mengendalikan perasaannya lagi, maka pemudi yang mengaku
sebagai puteri An Hwie Cian itu lantas menangis sejadi-jadinya,
membuat sekalian orang yang berada didalam rumah makan itu
mengawasi dengan heran.
Sedangkan Sin Hong, untuk sesaat tak dapat berkata suatu apa.
Hatinya ragu-ragu, antara percaya dan tidak. Barulah sesaat
kemudian pemuda itu bertanya : ―Benarkah kau puteri An Hwie
Cian?‖
―Toako untuk apakah aku membobongimu? Ada untung apakah
itu mengakui ayah seseorang yang telah meninggal dunia?‖
Pertanyaan yang merupakan jawaban ini membuat Sin Hong jadi
gugup.
―Bukan….. bukan begitu maksudku ... jangan kau salah
paham...‖ kata pemuda itu terputus-putus.
―Mari suratku! Mana surat itu, mari!‖ pemudi itu mendesak
sambil masih juga menangis.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 74
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong menyesal telah mengeluarkan pertanyaan yang


mengandung kesangsian itu. Lalu tanpa ragu-ragu lagi, ia lantas
memberikan surat pemberian An Hwie Cian kepada pemudi itu,
katanya : ―Maafkan aku……. aku tidak bermaksud……‖
Namun si pemuda yang mengaku sebagai puteri An Hwie Cian
itu selelah menerima surat itu, tanpa mempedulikan lagi lantas
berlari keluar restoran. Sin Hong termangu memandangi punggung
si pemudi tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Beberapa saat kemudian barulah dia tersadar ketika seorang
jongos menegur untuk mengadakan perhitungan harga makanan,
cepat-cepat Sin Hong membayarnya. Disaat itu Sin Hong baru ingat
akan si tua tukang koamia yang tadi menghilang entah kemana ia
mencoba untuk mengenali kembali lelaki tua yang berkaca mata
putih itu, namun ia tidak mengenalinya dengan pasti.
Sementara itu, ketika ia hendak keluar restoran, dilihatnya
seseorang yang sedang menaiki tangga loteng. Melihat siapa yang
datang, hatinya menjadi girang, karena dia tidak lain adalah si
pemudi. Dengan tertawa, Sin Hong menghampiri, seraya bertanya :
―Ada sesuatu yang ketinggalan?‖
Tanpa menjawab, pemudi itu lantas mengangsurkan surat
ditangannya kepada Sin Hong. ―Bacalah !‖
Sementara Sin Hong menerima surat itu kembali, maka si
pemudi berjalan menuju tempat duduknya. Sin Hong mengikuti dari
belakang.
―Apakah artinya ini, An-jie?‖ Tanya Sin Hong, sambil
membaca isi surat itu.
Isi surat itu membuat Sin Hong berpikir keras, tak dapat ia
segera memutuskan pendapatnya, karena dalam surat itu tertulis
agar Sin Hong bersama Siu Lian pergi menaiki gunung Thian-san

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 75
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bersama-sama untuk mencari guru An Hwie Cian yaitu Mie Ing


Tianglo. Dalam keterangan yang lain terdapat pula kata-kata yang
meyakinkan bahwa sipemudi ini adalah puteri Si Rase Bermuka
Emas, yang ternama An Siu Lian, sehingga diam-diam Sin Hong
merasa malu sendirinya, mengingat bahwa dirinya telah kena
diingusi oleh si pemudi sejak tadi-tadi, tanpa disadarinya sama
sekali.
―Baiklah !‖ kata Sin Hong pada akhirnya, ―Sebab yang
membunuh ayahku adalah Ong Kauw Lian, bukannya Ceng Hong
Pai!‖ Lagi pula hatinya berkata lain : ―Bukankah kesempatan ini
dapat pula berguna untuk memperdalam ilmuku?‖
―Lian-jie!Marilah kita pergi bersamal‖ ajak Sin Hong kemudian
sambil menjabat tangan gadis itu.
Akan tetapi, belum mereka melangkah setindak dari tempatnya,
tiba-tiba ditangga loteng terdengar derap kaki orang, kemudian
muncullah empat orang, tiga laki-laki dan seorang perempuan.
Dua diantara ketiga laki-laki itu berusia masih muda, mungkin
kira-kira delapan atau sembilan belas tahun. Keduanya berwajah
cakap sekali. Sedang satunya lagi, agaknya suami wanita itu,
berusia sekitar empat puluh tahun.
Lagak mereka ini, semuanya congkak sekali. Bergantian
dipandanginya Sin Hong dan Siu Lian dengan tatapan mata
memandang rendah. Melihat Siu Lian yang berwajah cantik akan
tetapi berpakaian penuh tambalan, maka seorang diantara lelaki itu
yang berhidung mancung mengerutkan kening sambil menunjuk
sesuatu tempat duduk yang berhadapan dengan meja Sin Hong dan
Siu Lian.
Oleh karena itu, maka dua orang jongos lantas bergegas
merapikan tempat duduk yang ditunjuk oleh mereka, sekaligus juga
menanyakan makanan apa yang mereka pesan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 76
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong mengawasi sejenak, akan tetapi sesudah itu ia tak


peduli lagi. Ketika ia memindahkan perhatiannya pada Siu Lan,
kebetulan sekali puteri An Hwie Cian itu sendiri memandang
kearahnya. Akhirnya kedua pandangan mata mereka bertemu, untuk
beberapa saat, untuk kemudian kedua muda mudi itu menandukkan
kepala masing-masing dengan jantung berdebar.
Untuk beberapa saat kedua muda mudi ini lupa akan tugas
mereka untuk bersama-sama mendaki gunung Thai-san. Ketika
seorang jongos datang untuk menanyakan makanan apa yang
dipesan, barulah kedua muda mudi itu bangkit dari duduknya untuk
berlalu.
Lekas-lekas keduanya meninggalkan tempat duduknya masing-
masing. Sin Hong berjalan didepan Siu Lian dibelakang. Keduanya
ini harus melewati keempat tetamu yang baru datang itu, justeru
itulah Sin Hong sangat mendongkol sekali melihat sikap mereka
yang selalu mengawasi Siu Lian dengan penuh selidik seperti orang
bercuriga tetapi juga mencemooh.
Perasaan mendongkol itulah yang membuat Sin Hong ingin
buru-buru meninggalkan restoran itu secepatnya. Hingga ia tidak
menyadari bahwa ada orang yang melintangkan kakinya memotong
langkah.
Karena itu maka tak ampun lagi kakinya keserimpet, tubuhnya
terhuyung kedepan. Justeru keempat orang tamu baru itu duduk
pada mulut loteng, maka tubuh Sm Hong yang terjerunuk kedepan,
tak terkendalikan lagi lantas melayang jatuh kebawah, serta dapat
dipastikan kepalanya akan hancur berantakan apabila membentur
lantai restoran bagian bawah.
Namun Sin Hong adalah putera tunggal Song-to Lie Kie Pok.
Sejak usia delapan tahun, ia telah digembeleng dengan ilmu silat

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 77
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tingkat tinggi, hingga dalam hal ginkangnyapun ia sudah tergolong


mencapai tingkat tinggi pula.
Demikianlah disaat tubuhnya hampir membentur tangga
pertengahan loteng, maka cepat bagaikan kilat ia mengulur
tangannya dan dengan mempergunakan jurus It Ho Ciang Thian
atau burung Ho menerjang langit, ia menjejak, tubuhnya lantas
mengapung tinggi beberapa tombak ke udara, untuk kemudian
menukik dengan kepala dibawah kaki diatas, hingga selanjutnya
mendarat dengan selamat dilantai dengan tidak kurang suatu apa.
Kejadian ini berlangsung dengan sangat cepatnya, hingga
hanya orang-orang yang berilmu tinggi saja yang dapat melihat
kemahiran si pemuda dalam hal ginkang. Sedangkan orang-orang
yang lain hanya kagum belaka, manggut-manggut ataupun memuji.
Begitu kakinya mendarat di lantai, seketika Sin Hong telah
berada dimulut loteng kembali. Justeru pada saat itulah Siu Lian
sedang dipermainkan oleh kedua anak muda sementara lelaki
perempuan setengah tua itu hanya memandangi sambil tertawa-tawa
belaka.
Cepat sekali Sin Hong bergerak. Tubuhnya melesat kearah
kedua anak muda yang sedang mempermainkan Siu Lian. Kedua
tangannya menyambar dengan cepat kearah kedua arak muda yang
kurang ajar itu.
Mereka terkejut melihat datangnya serangan kilat itu. Lebih-
lebih setelah mereka melihat bahwa yang telah menyerang itu
adalah pemuda yang tadi kakinya diserempet oleh mereka.
Cepat-cepat kedua anak muda itu melepaskan Siu Lian, lalu
membungkukkan tubuh menghindari serangan. Setelah itu secara
serempak mereka menyerang kearah Sin Hong dengan pukulan-
pukulannya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 78
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun diluar dugaan mereka, pemuda yang mereka pandang


ringan itu ternyata gerakannya sangat gesit sekali. Kedua anak
muda itu boleh gesit, akan tetapi Sin Hong sepuluh kali lebih gesit
dari mereka. Serangan mereka dapat diegosi oleh Sin Hong dengan
mudah sementara pemuda putera Song-to Lie Kie Pok ini telah
melontarkan dua buah pukulannya kearah dua dada lawannya.
Kedua anak muda itu terkejut, tak mungkin mereka dapat
menghindari ataupun menangkis serangan susulan Sin Hong, maka
dalam gugupnya mereka menjejakkan kakinya ke lantai dan
tubuhnya melayang mundur dengan cepat. Gerakan itu mengejutkan
Siu Lian. Untuk sejenak ia tercengang karena gerakan menghindar
semacam itu adalah gerak tipu Ceng Hong Pai.
Dilain pihak, Sin Hong agaknya tidak kehabisan akal.
Berbicara tentang giakang, agaknya kedua anak muda itu bukan
lawan pemuda Siu-ciu ini.
―Bagus !‖ Sin Hong berseru, sambil pada detik itu pula
tubuhnya telah melayang maju merangsek dengan tidak memberi
kesempatan kepada kedua lawannya untuk turun mendarat di lantai,
kedua kepalannya menghajar kearah muka kedua lawannya itu.
Sedang tubuh belum sempat menginjak lantai, maka tak
mungkin lagi kedua anak muda itu menghindari serangan. Tak
ampun lagi, kedua muka mereka terhajar dengan jitu oleh kepalan
Sin Hong dengan keras, hingga keduanya lantas terbanting roboh
sambil menjerit kesakitan. Sin Hong belum sempat bergerak lebih
lanjut, ketika merasakan adanya kesiur angin tajam yang menyerang
punggungnya.
Putera Song-to Lie Kie Pok yang telah mewarisi lima belas
jurus Cap Peh Lo Hoan To yang mashur itu, tidak menjadi gugup.
Ia bukan hanya melompat keatas menghindari, akan tetapi dengan
menggunakan jurus keenam dalan Cap Peh Lo Hoan To, yaitu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 79
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tonggeret menggelindingkan badan maka tubuhnya berjumpalitan


kedepan dengan gerakan yang indah sekali, dan serangan
membokong itu telah mengenai tempat kosong.
Terkejut bukan main sipenyerang gelap itu yang ternyata
adalah siwanita setengah umur, melihat Sin Hong melakukan
gerakan yang berasal dari gerak silat Siauw Lim itu. Tampak wajah
wanita itu tentu datang mengeroyok, dengan cepat telah
mendahuluinya, melontarkan tendangan kearah pundak lawan,
Untuk kegesitah Sin Hong kali ini, terpaksa si wanita melompat
gugup ke kanan, barulah ia dapat menyelamatkan diri dari serangan.
Hal ini membuat kedua anak muda bekas pecundang Sin Hong
menjadi kagum berbareng juga menyesal yang tadi mereka
memandang ringan pada pemuda lawan mereka itu.
Ternyata pertarungan antara perempuan setengah tua itu dengan
Sin Hong ternyata berjalan seimbang. Sin Hong lebih lincah dari
lawannya karena usianya yang masih muda. Melihat jejaknya gagal,
maka dengan garakan Im-yang-kun tangan kanannya bergerak
mengancam dada lawan.
Siwanita tak mau kalah cepat, segera mengegos sambil
melanjutkan gerakan tangannya menerjang. Pertempuran ini
berjalan semakin cepat dan seru. Hingga akhirnya terdengar suara
baju yang memberebet sobek diiringi pekikan terkejut siwanita.
Setelah mengalami kejadian ini, maka siwanita merubah
gerakannya. Kini ditangannya telah tergenggam sebatang pedang.
Lalu dengan wajah merah padam, wanita itu membabatkan
pedangnya dengan gencar.

****

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 80
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

JILID 3

TENTU saja Sin Hong tak berani berlaku khayal. Dengan


CEpat dilolosnya golok kecil di pinggangnya. Menyusul kemudian
terdengar suara nyaring, ―trang!‖ Golok dan pedang saling bentur
dengan keras, menimbulkan suara berisik.
Keduanya terhuyung mundur beberapa langkah, Sin Hong
cepat mempergunakan kesempatan itu, dengan mendahului
menyerang dengan mempergunakan kelima belas jurus Cap Peh Lo
Hoan To.
Dengan segera mulai tampak bahwa Sin Houg berada diatas
angia. Jurus-jurus dahsyat Cap Peh Lo Hoan To nya, walaupun baru
lima belas jurus yang dimilikinya akan tetapi sudah cukup baginya
membuat lawan terdesak dan kerepotan.
Segera Sin Hong melihat suatu lowongan pada diri lawan.
Goloknya yang bergerak dari kiri kekanan, mendadak dirubahnya,
membuat sebuah lingkaran yang mengurung siwanita. Sekali
diputar, maka golok itu telah digetarkan menyambar pundak kanan
musuh…..

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 81
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Trang !‖ Namun dalam detik yang berbahaya bagi siwanita.


kiranya golok Sin Hong telah diputar oleh suatu sinar kilat yang
datang meluncur sangat cepat, Sin Hong merasakan tangannya agak
tergetar, kiranya si laki-laki setengah tua itupun telah turun
membantui isterinya
Senjata si lelaki tidak hanya berhenti sampai disitu, akan tetapi
terus meluncur mengancam dada Sin Hong. Cepat bagaikan kilat
Sin Hong mengangkat goloknya menangkis, lalu diteruskan
dengan bentakannya yang membarengi gerakan goloknya
mengirimkan tiga serangan ganda, bagian atas tengah dan bawah.
Kiranya sisuami itu dengan memutarkan pedangnya, telah
dapat memunahkan serangan Sin Hong.
Sin Hong penasaran, ia putar goloknya, menyabatdengan keras
ke arah tujuh bagian tubuh lawan, namun laki-laki setengah tua itu
sudah dapat mengelakannya dengan baik.
Disini ternyata bahwa kepandaian mereka boleh dibilang
seimbang akan tetapi cukup membuat laki-laki selengah tua itu
terkejut juga, dimana lawannya yang masih muda itu ternyata
sanggup memberikan perlawanan hingga puluhan jurus, tanpa dapat
didesak sama sekali.
Setelah selesai mengatur jalan napasnya kembali, si wanita
yang melihat suaminya belum berhasil merobohkan lawannya,
segera pula maju mengerubut. Tentu saja kali ini menbuat Sin Hong
jadi kuatir. Melawan si suami saja belum tentu dapat memenangkan
pertarungan, apalagi dengan suami isreri itu turun bersama-sama.
Tak lama antaranya, maka tampaklah Sin Hong mulai
kepayahan. Diam-diam pemuda ini menyadari bahwa pertarungan
itu harus segera diakhiri.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 82
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tiba-tiba satu diantara ketiga orang yang tengah bertempur itu


tampak mencelat tinggi sekali, dan dengan kecepatan luar biasa,
telah meluncur kearah Siu Lian yang saat itu sedang berdiri
bengong.
Sebelum Siu Lian menyadari apa yang akan terjadi maka
bayangan yang berkelebat kearahnya itu telah menotok jalan
darahnya, untuk kemudian dengan gerakan yang sangat cepat pula,
bayangan itu telah merangkul pinggang sigadis untuk digondolnya
pergi.
Dengan tanpa menuruni anak tangga, maka bayangan itu yang
ternyata adalah Sin Hong telah berada diluar restoran dan cepat luar
biasa telah melompat kepunggung kuda putih. Dan pada detik
selanjutnya kuda itu telah melancarkan lari dengan cepat.
Kedua orang laki-laki perempuan itu boleh gesit dan tangkas,
akan tetapi menghadapi ginkang putera Song-to Lie Kie Pok yang
sangat lihay itu, mereka tidak berdaya apa- apa. Demikianlah ketika
mereka sudah tidak dapat melihat bayangan lawannya lagi.
Untuk mengejar sudah tak mungkin lagi, dan melihat
dipihaknya tidak menderita cidera suatu apa, maka sambil menghela
napas mereka kembali memasuki restoran.
Lie Sin Hong membedal kudanya semakin cepat. Hingga
sebentar saja ia menoleh kebelakang, rumah makan itu tampak
tinggal bayangan samar-samar belaka, untuk kemudian lenyap dari
pandangan sama sekali.
Les kuda dipegang ditangan kanan, sedangkan tangan kiri
merangkul pinggang sinona yang kini telah dibebaskan dari
celakannya. Hati si pemuda berdebar keras, entah mengapa, sejak
perkenalannya yang beberapa saat itu, ia berat untuk berpisah
dengannya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 83
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Membalapkan kuda kira-kira dua jam, kuda putih yang entah


milik siapa itu telah terpisah lebih dua ratus lie dari Shoatang. Tiba
disini, setelah yakin bahwa tidak ada orang yang mengejarnya,
barulah Sin Hong menarik kendali kuda.
Sin Hong melompat turun dari kuda, diikuti oleh si gadis yang
juga merasa telah sama-sama lekat hatinya. Sambil berpegangan
tangan muda-mudi ini berdiri dihadapan, tanpa dapat mengucapkan
sepatah kata jua, walaupun sebenarnya apa yang ingin mereka
katakan sebenarnya terlampau banyak. Mereka tak tahu dengan cara
bagaimana hendak memulai pembicaraan. hanyalah hati mereka
belaka yang membisikkan isi kalbunya masing-masing.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka telah tersadar, segera si
pemudi menarik tangannya dengan wajah yang memerah, hingga
pipinyapun tampak merah jambu, menunduk tersipu-sipu.
Sin Hong masih berdiri mematung, ketika Siu Lian mengambil
sapu tangan dari dalam pelana kuda, lalu pergi ke sebuah kali kecil
untuk mencelupkan sapu tangan itu. Setelah itu barulah ia kembali
sambil berkata:
―Kau pakailah sapu tangan ini…….‖
Sin Hong mengerti maksud gadis itu, dan menerima sapu
tangan itu, untuk selanjutnya si pemuda telah menyeka bersih wajah
Siu Lian. Sekonyong-konyong sedang Sin Hong dengan hati
gembira mengusapi wajah sigadis, maka sigadis telah bertanya:
―Tahukah Toako, siapa kedua orang yang tadi bertempur
denganmu?‖
Lie Sin Hong menggelengkan kepalanya.
―Mereka adalah saudara-saudara seperguruanku!‖ Siu Lan
menerangkan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 84
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Bagaimana kau mengetahui?‖ tanya Sin Hong.


―Kulihat dari gerakan ilmu silat mereka, sejalan benar dengan
ilmu silat ayahku…..‖
―Tapi mengapa perbuatan mereka begitu tak mengenal aturan?‖
pertanyaan Sin Hong ini tidak mendapat jawaban, bahkan Siu Lian
berkata lain: ―Toako! tidak dapat tidak, kita barus kembali ke
Shoatang.‖
―Kembali?‖ Sin Hong terperanjat. ―Kita kembali kesana?‖
―Benar !‖ sahut sinona. ―Aku merasa pasti bahwa mereka adalah
suheng-suhengku !‖
Sin Hong terdiam, ragu-ragu. Sebenarnya ia tidak suka untuk
menjumpai orang-orang yang baru saja berbentrok dengannya, atau
tetapi untuk berpisah dengan sinona, o. terlebih-lebih tidak suka ia.
―Bagaimana?‖ Siu Lian bertanya menegaskan.
―Tapi bagaimana kalau mereka mengeroyok aku lagi?‖ Sin
Hong masih sangsi.
―Apabila mereka melukai dirimu, akan kuterjang mereka,
biarlah kita mati bersama-sama !‖ Kata Siu Lian dengan nada yang
tegas meyakinkan sekali, sehingga membuat semangat Sin Hong
terlonjak, lalu dengan gembira ia menjawab : ―Lian jie, untuk
selama-lamanya aku akan mendengar kata-katamu. Sampai matipun
aku tak mau berpisah darimu lagi !‖
An Siu Lian mengangguk puas. Sesaat kemudian mereka
berdua telah berada dipunggung kuda putih tegap itu. Binatang
itupun meluncur kembali berlari diatas jalan yang tadi ditempuh
mereka sewaktu meninggalkan restoran itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 85
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Begitu turun dari punggung kuda. Siu Lian membimbing


tangan Sin Hong untuk memasuki restoran dan disambut oleh
jongos rumah makan itu dengan gembira.
―Kau baik-baik saja tuan?‖ tegur seorang jongos.
―Keempat orang itu memang bukan orang baik-baik. Mereka
sudah pergi. Tuan hendak dahar apa?‖ kata jongos yang lain.
―Apa? Mereka sudah pergi?‖ tanya Siu Lian terkejut.
―Betul. Mereka pergi kearah yang bersamaan dengan tuan, akan
tetapi mereka mengambil jalan sebelah sana……‖, jongos itu
menjelaskan.
―Sudah berapa lama mereka pergi?‖ tanya Sin Hong.
―Kira-kira tiga jam yang lalu!‖
―Mari kita susul mereka!‖ An Siu Lian mengajak Sin Hong
dengan menarik tangan pemuda itu, Lie Sin Hong menurut. Mereka
lantas membalapkan kudanya melalui jalan yang ditunjukkan oleh
jongos tadi. Tentu saja jongos-jongos itu menjadi keheranan melihat
muda mudi yang tadi melarikan diri dari kejaran empat orang itu,
kini malah justru hendak pergi menyusul dengan tergesa-gesa.
Sampai datang waktu magrib, Sin Hong membalapkan kudanya
sambil memasang mata dan telinga, akan tetapi orang-orang yang
disusulnya belum juga tampak.
Mereka menduga bahwa orang-orang yang dikejarnya itu tentu
telah meagambil jalan lain, oleh karena itu merekapun merubah
arah lari kudanya. Akan tetapi hingga hari menjadi gelap, tetap saja
belum dapat menemukan jejak mereka. Hingga terbitlah dugaan
pada hati Sin Hong. Ia berkata : ―Kita hendak pergi ke Thai-san, apa
tidak mungkin merekapun sedang pergi ke sana juga?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 86
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

An Siu Lian sependapat juga. Dan segera merekapun mengarah


perjalanan mereka menuju kesana. Akan tetapi karena hari sudah
gelap, maka malam itu mereka memasuki sebuah dusun untuk
mencari tempat menginap.
Pagi berikutnya, mereka membeli seekor kuda pula, sehingga
dengan demikian mereka dapat leluasa melakukan pengejaran.
Walaupun cara itu sebenarnya kurang menyenangkan dibanding
dengan saling rangkul sepanjang jalan, akan tetapi adalah lebih
daripada terus-terusan memberati kuda putih itu dengan beban dua
orang di punggungnya. Dengan masing-masing menunggangi
seekor kuda, maka perjalanan mereka jadi lebih cepat.
Lie Sin Hong sebenarnya adalah seorang piauwsu, sebagaimana
dia sering mewakili pekerjaan ayahnya. Membuat perjalanan-
perjalanan semacam itu memang menyenangkan baginya, apalagi
ditemani seorang gadis pujaan hatinya itu.
Seringkali, apalagi mereka telah lelah terlalu banyak
melakukan perjalanan, mereka lantas beristirahat, mengambil
tempat duduk yang teduh, untuk duduk-duduk pada tempat yang
sepi, selama itu, ikatan-ikatan hati mereka semakin erat, tali cinta
mulai samar- samar terasa mengikat dihati masing-masing‖
Namun, sebagaimaaa mereka adalah muda-mudi turunan
pendekar yang tahu menjaga diri tentu saja tidak berbuat sesuatu
yang melanggar susila ataupun adat sopan santun. Apabila mereka
menginap di hotel, mereka menyewa dua kamar yang bersisian,
kecuali agar mereka dapat saling menjaga, juga sesungguhnya agar
selalu dapat bercakap, berbisik-bisik, melahirkan getaran hatinya
masing-masing.
Setelah melakukan perjalanan kira-kira enam minggu lamanya
tibalah mereka pada suatu tanah pegunungan. Dan alangkah

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 87
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

gembiranya mereka demi mendapatkan kenyataan bahwa


pegunungan itu justeru adalah pegunungan Tai-san.
Jalan-jalan disitu, amatlah berbahaya Puncak dan tinggi
menjulang, sedangkan lembahnya curam menyeramkan. Kecuali itu,
jalannya penuh dengan liku-liku yang terkadang memerlukan
mereka berjalan sangat hati-hati.
Kiranya sesuai dengan namanya, Thai-san sungguh sangat
luasnya. Beberapa puncaknya terselimuti ataupun salju, mirip
dengan raksasa berbulu putih yang menyeramkan akan tetapi juga
indah.
Setelah menempuh waktu kira-kira dua minggu tibalah kini
mereka pada jalan yang menuju jalan puncak. Disitu hanya terdapat
sebuan jalan saja, berkelak kelok seperti ular berenang. Dengan
diapit oleh sepasang puncak yang hampir berdampingan, jalan kecil
itu sempit sekali, lebarnya tidak lebih dari dua kaki, Kecuali itu juga
penuh dengan liku-liku yang licin dan berbatu-batu ataupun naik,
maka pada jalan ini mereka terpaksa turun dari kuda, dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Mereka terus melanjutkan perjalanan sesuat dengan petunjuk
dalam surat peninggalan mendiang An Hwie Cian.
Tak lama kemudian tibalah mereka itu di suata tempat yang
datar, jalanpun sudah tidak terlalu berbahaya lagi. Kiranya mereka
telab tiba dipuncaknya gunung Thai san. Maka selanjutnya mereka
lantas beristirahat.
Ternyata puncak gunung ini merupakan suatu tanah datar, tidak
turun naik ataupun bertanah batu-batu cadas. Hanya pada ketika ini
hati Sin Hong berdebaran keras.
Tepat saat magrib, mereka telah tiba pada suatu tanjakan, sesuai
dengan petunjuk dalam surat itu, maka mereka mendapatkan sebuah

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 88
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

gua pertapaan yang terbuat dari batu seluruhnya. Mereka menjadi


keheranan mendapat kenyataan babwa gua tersebut ternyata sunyi-
sunyi belaka.
Keduanya tidak berani lancang memasuki gua. Mereka menjadi
sangat cemas, ketika hari semakin gelap, udarapun terasa sangat
dingin. Akan tetapi mereka telah sekian lamanya menempuh
perjalanan, sehingga karena letih, mereka tertidur dimulut gua.
Kira-kira tengah malam, Sin Hong tersentak dari tidurnya,
karena sebuah mimpi buruk. Ditengoknya gadis teman
seperjalanannya, Siu Lian yang saat itu tidur dengan kaki telanjang
tanpa sepatu. Dengan hati sedih dan susah Sin Hong cepat-cepat
membuka sepatu, dan mengenakannya pada kaki gadis pujaan
hatinya itu.
Untuk beberapa saat Sin Hong menatapi wajah sigadis, yang
saat itu dalam keadaan terpejam tidur. Alangkah lembut dan
cantiknya gadis ini. wajahnya yang gemilang bagai rembulan dan
bibirnya yang merah merekah tidak mustahil dia menjadi pujaan
hati setiap pemuda yang pernah mengenalnya.
Setelah puas memandangi wajah pujaan hatinya itu, maka Sin
Hong membaringkan tubuh untuk melanjutkan tidurnya. Namun,
karena terlalu banyak pikiran yang mengaduk-aduk dikepalanya,
maka baru beberapa larna kemudian ia dapat tertidur kembali.
Waktu fajar keesokan harinya. Sin Hong bangun lebih dulu dari
kawannya. Ia menanti dengan sabar sampai akhirnya sigadis terjaga
dengan sendirinya. Siu Lian menjadi terkejut juga girang, untuk
kemudian mengucapkan terima kasih untuk sepatu yang telah
dilekatkan dikakinya.
Diam-diam hati gadis ini merasa sangat bersyukur, ia yakin
benar bahwa pemuda itu seorang pemuda yang baik hati,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 89
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

peribudinya tinggi, tidak juga kurang ajar. Maka tanpa disadari ia


telah benar-benar terpikat hatinya.
Hari itu mereka menanti hingga matahari sudah naik diatas
kepala belum juga tampak adanya tanda-tanda orang yang berada
didalam gua. Hingga mereka menjadi sangsi. Akhirnya, ketika hari
mulai hampir malam, habislah kesabaran mereka. Demikianlah,
selanjutnya mereka bermaksud untuk menerobos masuk kedalam
gua itu.
Dengan cara beriringan, Sin Hong berjalan didepan, mereka
memasuki gua dengan hati berdegup keras.
Berjalan kira-kira lima puluh langkah kedalam, tibalah mereka
pada suatu tanah datar yang luas. Didepan mulut gua itu hanya
cukup untuk satu badan manusia saja, akan tetapi ditempat ini,
ternyata keadaannya jauh berbeda, luas dan darar. Hanya anehnya,
gua yang tampaknya menandakan dihuni oleh manusia itu,
keadaannya sepi-sepi saja, lengang seakan-akan tidak berpenghuni
Sehingga keadaan ini, dengan suasana yang sudah mulai gelap,
menjadi terasa menyeramkan.
Akhirnya, karena bingungnya terpaksa An Siu Lian melanggar
pesan ayahnya dalam surat, berteriak-teriak memaaggil : ―Su .....
cooouaw ! Suuucoooouw!‖ Semula gadis ini memanggil perlahan-
lahan, akan tetapi ketika tidak mendapat jawaban iapun lantas
berseru-seru sekuat-kuatnya. Namun tidak juga mendapatkan
jawaban, kecuali gema suaranya sendiri yang kembali terdengar
bergaung.
Mereka jadi penasaran. Dan merekapun melakukan
penyelidikan kedalam gua itu, menerobos masuk kebagian yang
lebih dalam lagi Setelah berjalan-jalan berliku-liku kira-kira sejam
lamanya, tibalah mereka pada sebuah jalan yang lebar, yang
merupakan sebuah lorong. Kiranya lorong itupun buntu. Ketika

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 90
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mereka memeriksa dinding batu yang mengapit kanan kiri lorong


kiranya mereka mendapatkan sebuah lubang yang besar. Dan
apabila mereka melongok kedalam lubang itu, kiranya disitu
terdapat sebuah kamar. Merekapun memasuki kamar tersebut.
Ternyata kamar gua itu terang, tidak seperti jalan-jalan ataupun
lorong-lorongnya. Sinar bulan dapat menembusi beberapa lubang
yang terdapat pada langit-langit kamar, sehingga mereka dapat
melihat segala apa saja yang terdapat didalamnya.
Tiba-tiba Siu Lian menjerit kaget, sambil jarinya menunjuk
kearah sebuah sudut, begitupun Sin Hong tidak kurang terkejutnya.
Mereka melihat pada pojokan kamar itu, sebuah tengkorak manusia
yang masih duduk bersila, sedangkan pada selipan jari tangannya
yang tinggal tulang belulang itu terdapat sehelai kertas.
Mereka melihat pada pojokan kamar itu, sebuah tengkorak
manusia yang masih duduk bersila.....
Adapun kerangka manusia itu, karena lantai kamar yang
bergoyang-goyang karena terinjak oleh kedua muda-mudi itu,
seketika ambruk menjerunuk, sehingga kerangka manusia itu kini
lelah berubah menjadi tulang-tulang yang berserakan.
Kejadian ini hampir saja membuat Siu Lian berlari karena
ketakutan. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa ada yang menarik
tangannya, disusul suara bisikan Sin Hong : ―Lian-jie jangan takut.
Tulang-tulang kerangka itu kemungkinan besar adalah salah
seorang paman gurumu. Mari kita baca surat itu !‖
Dalam gugupnya itu, Siu Lian hendak mengambil surat itu,
mengoreknya dari tumpukan tulang, dengan tangannya. Akan tetapi
Sin Hong yang mempunyai banyak pengalaman sebagai piauwsu
segera memperingatkannya : ―Jangan sentuh !‖ teriaknya. ―Tidak
mustahil barang-barang itu beracun !‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 91
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Seraya berkata demikian, Sin Hong mengambil sebatang kayu


lantas dipergunakannya untuk mengorek-orek tulang belulang itu.
Kiranya tepat sekali dugaan Sin Hong. Kayu yang
dipergunakan untuk mengorek-orek tulang itu menjadi hangus, dan
membuat mereka menjadi bergidik ngeri. Dapatlah dibayangkan
betapa andaikata tadi Siu Lan tidak dicegah menyentuh tulang-
tulang tersebut.
Selanjutnya, surat itu dibiarkan tergeletak, dan berdua mereka
muda mudi itu membaca dari tempatnya berdiri, Isi surat itu kira-
kira beginilah bunyinya :
Kepada yang mendapatkan surat ini, harap lekas-lekas
menyampaikan kepada Bin Ho Lie An Hwie Cian ketua Ceng
Hong Pai di Ceng Hong San, bahwa seorang muridnya yang be
nama Ong Kauw Lian, dengan membawa kawan telah berani
menghina dan bahkan membunuh kakek gurunya sendiri.
Pesan Warisan. Mie Ing Tiangloo.
Selesai membaca surat itu, tanpa terasa air mata Siu Lian
berderaian turun. Kemudian gadis itu menangis menggerung-
gerung. Ia tahu bahwa kakek gurunya ini adalah satu-satunya orang
yang paling diandalkan, kiranya diapun telah tewas oleh perbuatan
Ong Kauw Lian pula. Lantas siapakah orangnya yang akan sanggup
menghadapi ―bajingan‖ itu?
Sementara itu, seperti orang yang kehabisan akal, Sin Hong
berdiri mematung, bungkam, dan tak tahu apa yang harus diperbuat.
Untuk sementara pikirannya menjadi buntu, akan tetapi dibalik itu,
ia mengagumi juga kelihaian Ong Kauw Lian dengan mencuri
delapan belas jurus ilmu golok Song-to Lie Kie Pok, kiranya
kepandaiannya telah menjadi demikian hebat. Cita-cita Sin Hong
untuk membalaskan sakit hati ayahnya bila menghadapi kenyataan,
tampaknya akan menjadi lebih sulit lagi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 92
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tengah Sin Hong melamun demikian, terdengar Siu Lian


berkata nyaring : ―Toako. Tak mungkin kita akan diam bigini saja.
Marilah kita pergi ketanah barat, masakah di kolong langit ini tak
ada orang yang dapat menandingi ilmu kepandaiannya?‖
―Benar Lian-jie‖, sebut Sin Hong yang telah tergugah
semangatnya. ―Marilah kita tinggalkan tempat ini !‖
Beberapa saat kemudian, setelah mereka selesai mengubur
tulang-tulang kerangka manusia itu sebagaimana mestinya, maka
mereka segera meninggalkan tempat pusat Ceng Hong Pai itu.
Mereka berdua mengambil jalan dari mana tadi mereka datang,
untuk kemudian setelah sampai dikaki gunung, mereka memutar,
mengikuti aliran sebuah sungai. Dan malampun tiba.
Kebetulan mereka menemukan sebuah batu yang besar, maka
disitulah mereka beristirahat merebahkan diri. Karena letihnya,
maka dalam waktu singkat mereka lantas sudah tertidur pulas.
Pagi berikutnya, setelah mereka mendapa kan kuda masing-
masing yang kemarin mereka tinggalkan, mereka melanjutkan
perjalanan.
Disepanjang jalan mereka tidak henti-hentinya bercakap-cakap,
bertukar pikiran, menceritakan pengalaman masing-masing selama
mereka belum berkenalan.
Mendengar cerita Sin Hong mengenai kematan ayahnya, maka
kebencian Siu Lian terhadap Ong Kauw Lian semakin membesar.
Tertusuk hati dara ini ketika ia mendengar kisah betapa kejinya
seorang murid murtad sebagai Ong Kauw Lian itu telah
membinasakan guru maupun suhengnya sendiri, bahkan dia pula
yang menjadi penyebab kematian Lie Sie ibu Sin Hong.
Ketika penuturan Sin Hong sampai pada diri Kim Bin Ho Lie
An Hwie Cian yang menemukan nasib malang terbinasa ditangan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 93
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

keponakan murid sendiri, maka air mata Siu Lian mengucur deras
tak tertahan.
Mereka kedua muda mudi ini, semula adalah berdiri pada pihak
yang bermusuhan, yaitu antara Ceng Hong Pai dan Kie Pok Bu-
koan. Akan tetapi dengan adanya kematian Song-to Lie Kie Pok
maupun An Hwie Cian yang terbinasa ditangan Ong Kauw Lian,
maka kedua muda mudi ini boleh dikata telah melupakan seluruh
pertentangan lama. Mereka begitu karib seakan-akan diantara
mereka tidak pernah terdapat benih permusuhan, bahkan kini secara
diam-diam diantara mereka telah terjalin suatu benih asmara.
Setelah menempuh perjalanan kira-kira lebih seminggu, mereka
mendapatkan jalan-jalan yang tidak berlika-liku lagi, datar, tidak
terdapat batu-batuan cadas yang mengganggu bahkan jalanpun tidak
sempit lagi.
Di kanan kiri jalan tumbuh pohon-pohon besar yang rindang
daunnya. Dan ketika mereka menyelidiki mereka menjadi
kegirangan ketika mendapatkan kenyataan bahwa mereka telah
sampai pada perbatasan daerah Tibet.
Pada suatu hari tibalah mereka di sebelah barat kota Ie Pien.
Saat itu sudah mendekati hari raya Toa yang udarapun mulai panas.
Sedang mereka mencari tempat meneduh, mendadak mereka
mendengar suara gemericiknya air. Ketika mereka menemukan
sebuah kali, hingga keduanyapun jadi kegirangan.
Kali itu berair bening, bagaikan kaca! dasar kali tampak jelas
terlihat oleh mata, bahkan ikan-ikan yang berenang-renang kian
kemari, tampak menyenangkan sekali. Sedang pada kedua tebing
kali itu, tumbuhlah tumbuh-timbuhan berakar, yang akarnya
berjuraian meroyok turun, mencegah air kali.
Karena girangnya, keduanyapun mandi, menceburkan diri
kekali tanpa ingat membuka pakaiannya terlebih dahulu. Puas

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 94
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mandi- mandi merekapun berjemur ditepian, dibawah sinar


matahari yang hangat. Tanpa terasa, tiba-tiba cuaca menjadi gelap.
Sedang suasana gelap menuruni bumi, maka tiba-tiba terdengar
suara guntur sambung menyambung. Cuaca berubah menjadi gelap
pekat sementara kilat dan guntur semakin hebat sambar menyambar.
―Takutkah, Lian jie?‖ Tanya Sin Hong.
―Aku tokh ada bersamamu, apa yang dapat kutakutkan‖ sahut
dara itu yang membuat Sin Hotg merasa bangga hatinya.
Hujan turun dengan lebat. Kedua muda mudi itu mengambil
tempat mereka bernaung itu tidak terdapat orang lain, dengan
demikian mereka tidak menaruh perhatian kepada siapapun kecuali
pada diri mereka sendiri.
Demikianlah, setelah hujan yang turun bagaikan dicurahkan
dari langit itu mereda, cuaca menjadi terang kembali, kiranya hari
masih siang, maka merekapun melanjutkan perjalanan.
Sebulan mereka menempuh perjalanan, maka tibalah mereka
pada suatu pegunungan yang daerahnya diliputi salju. Dari rumah
seorang pend duk dusun maka ia menukar kuda-kuda mereka
dengan seperangkat pakaian tebal. Dan ketika mereka menanyakan
dimana meraka berada sekarang, kiranya mereka telah tiba didaerah
Tibet timur, dan kini mereka telah menginjakkan kakinya didaerah
pegunungan Thang-ala-san.
Pegunungan Thang-ala-san adalah suatu pegunungan yang
selain diliputi oleh salju abadi. Menurut cerita orang-orang dusun,
di tempat tersebut, di tempat-tempat yang tinggi ataupun yang sukar
dilalui manusia, banyak bersemayam orang-orang berilmu tinggi.
Penduduk menasehati muda-mudi itu untuk menggagalkan
maksudnya untuk mendaki puncak gunung yang berbahaya itu, atau
tetapi muda-mudi itu tetap berkeras untuk melanjutkan perjalanan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 95
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Para penduduk menambahi cerita-ceritanya dengan adanya


penghuni-penghuni puncak gunuog maupun lereng-lereng yang
banyak terdapat gua-gua yang dalam, katanya disitu kecuali tinggal
banyak pertapa-pertapa sakti ataupun raksasa yang doyan makan
daging manusia. Akan tetapi bagaimana pemuda-pemudi itu dapat
menerima cerita lamunan seperti itu? Mereka bertekad untuk
menemukan seorang guru yang pandai, dan halangan apapun
mereka takkan hiraukan lagi.
Demikianlah, tidak menghiraukan pada nasehat para orang
dusun, kedua muda-mudi itu melanjutkan perjalanan menuju
puncak.
Disekitar gunung Thang-ala-san terdapat banyak puncak yang
menjulang tinggi. Selama mereka pada bagian yang tinggi-tinggi
ini, mereda merasa seakan-akan dunia menjadi sempit, dan berjalan
diantara pohon-pohon besar mereka mendapatkan bayangan-
bayangan yang serba menyeramkan.
Sesudah melewati puncak tertinggi, barulah mereka tiba pada
sebidang tanah datar, dimana dari tempat itu bila mereka
memandang kebawah, tampaklah puncak pegunungan yang lain
bagaikan beruang putih yang indah dipandang mata.
―Untunglah kita tidak meladeni segala cerita-cerita kosong
penduduk-perduduk dusun itu‖, kata Siu Lian ―Andaikata tidak,
agaknya kita takkan dapat melihat pemandangan yang seindah ini‖.
―Tetapi Lian jie‖, sahut Sin Hong. ―Daerah pegunungan ini
adalah daerah yang masih asing bagi kita. Tidak mustahil pula,
andaikata cerita para penduduk dusun itu ada juga benarnya. Oleh
karena itu kita tak boleh kurang hati-hati‖. Siu Lian membenarkan.
Saat ini, mereka sedang menuruni sebuah lembah, dimana
disekeliling tempat itu terdapat tumbuh-tumbuhan liar yang tumbuh.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 96
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tiba-tiba dari balik sebuah pohon yang besar, tampak me lesat suatu
bayangan besar yang menyambar kearah mereka terdua.
Mereka terperanjat bukan buatan, ketika mendapat kenyataan
bahwa bayangan yang sedang menyambar itu adalah seekor
beruang.
Beruang itu besar sekali, bulu tubuhnya putih seluruhnya
bagaikan salju, hanya moncongnya belaka yang berwarna hitam.
Melihat bentuk dan buasnya binatang itu. kedua muda mudi itu
menjadi sangat cemas.
Akan tetapi Sin Hong, putera Song-to Lie Kie Pok ini, tidak
tinggal diam. Dengan mempergunakan tenaga lweekang yang telah
diperhitungkan, ia melontarkan tubuh Siu Lian kedalam sebuah gua
kecil yang terletak pada jarak beberapa tombak dari tempatnya
berdiri. Sedang ia sendiridengan mempergunakan gerak jurus It Hoo
Cong Thian, maka badannya melesat naik setinggi beberapa tombak
keatas. Ketika tubuhnya masih mengapung diudara, maka dia
menengok kebawah. Dan............ betapa terkejutnya ia demi
menyaksikan dengan nyata bahwa beruang itu tidak berjumlah
hanya seekor, akan tetapi tidak kurang dari tiga puluh ekor.
Kemudian, ketika ia menoleh kearah tempat Siu Lian,
kekagetannya makin menjadi-jadi demi melihat bahwa Siu Lian
tidak berada di tempat itu lagi.
Akan tetapi ia tidak dapat terlama-lama berpikir. Tubuhnya kini
telah melayang turun. Maka secepatnya ia telah mencabut golok.
Beruang yang pertama tadi, karena tubrukannya luput, tampak
menjadi marah. Ia mengeluarkan suara gerengan yang gemuruh,
berbareng dengan tubuhnya yang menerkam pula dengan cepat.
Kuku-kuku kaki depannya yang berbonggol-bonggol dan runcing
itu mengancam dada sipemuda.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 97
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun, Sin Hong bergerak lebih cepat. Dengan mudah ia


melompat kekanan menghindari serangan, selanjutnya ia telah
membalas menyerang dengan bacokan goloknya mengincar
punggung binatang itu. Nyata sekali bahwa dalam hal kegesitan dan
kecekatan binatang itu bukanlah lawan Sin Hong si Putera Song-to
Lie Kie Pok. Sebelum binatang itu dapat menghindar, punggungnya
telah putus terbabat golok, hingga binatang itu memperdengarkan
suara pekikan mengguntur, untuk selanjutnya roboh binasa.
Akan tetapi tidak begitu mudah Sin Hong dapat membebaskan
dirinya dari ancaman bahaya, baru saja beruang pertama dapat
roboh dibinasakan, maka berlompatanlah datang, kira-kira 9 ekor
beruang menerjang kearahnya.
Kesembilan beruang itu agaknya luar biasa, mereka seakan-
akan mempunyai akal pikiran seperti manusia. Mereka tidak begitu
saja datang lantas menyerang, akan tetapi mereka mengepung Sin
Hong dari segala penjuru sehingga membuat pemuda itu mau tidak
mau jadi kerepotan juga.
Benar juga, dengan ilmu goloknya yang telah mencapai tingkat
tinggi, sekali putar dan tabas, Sin Hong dapat merobohkan beberapa
ekor binatang buas itu. Akan tetapi binatang itu jumlahnya terlalu
banyak. Satu roboh, yang datang menyerbu lebih dari tiga. Roboh
tiga, maka berlompatanlah mereka binatang-binatang itu tak
terbilang banyaknya.
Namun Lie Sin Hong tak mau putus asa. Tentu saja ia tidak
sudi menemui ajal dicabik-cabik oleh binatang buas itu. Ketika
enam ekor beruang menerkam dalam waktu serempak, maka Sin
Hong memutar tubuhnya, goloknya bekerja menuruti jurus pertama
Cap Peh Lo Hoan To. Hebat sekali akibat jurus itu. Mana saja
beruang yang datang terlebih dulu, pasti segera roboh binasa dengan
seketika. Dan dalam sekejap saja, keenam ekor beruang itu telah
tergeletak ditanah tak berkutik.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 98
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Demikianlah selanjutnya dengan mempergunakan Cap Peh Lo


Han To jurus demi jurus Sin Hong telah berhasil membunuh setiap
beruang yang datang kepadanya. Hingga hampir seluruh binatang
pegunungan itu habis dibinasakan olehnya, kecuali beberapa ekor
yang kemudian karena takut telah melarikan diri kedalam hutan.
Sedang Sin Hong sendiri, segera teringat akan keselamatan Siu
Lian. Cepat ia berlari ke arah gua kecil dimana tadi ia melemparkan
dara itu. Dikiranya, gadis itu telah menyembunyikan diri kedalam
gua karena takut pada binatang-binatang itu. Maka ia
memanggilnya :
―Lian-jie! Dimanakah kau? Lian jie !‖
Diluar dugaannya, begitu ia memasuki gua itu dibuat menjadi
tercekat hatinya cemas dan kuatir. Dirasakannya seluruh tubuhnya
menjadi dingin seperti menyentuh es !
Gua itu tidak kecil ! Sebaliknya bahkan sangat luas serta
berbatu- batu yang banyak berserakan. Sedangkan diri Siu Lian
tidak ditemukan disitu, walaupun bayangannya.
Tergoncang hati Sin Hong. Dalam kebingungannya itu, kaki
dan tangannya jadi gemetar, pandangan matapun berkunang-kunang
berputaran. Untuk beberapa saat pemuda ini tak dapat menguasai
dirinya.
―Lian-jiiiie! Lianjiiieee !‖ Teriaknya memanggil-manggil
dengan suara gemetar.
―Lian jiiieee !‖ Akan tetapi tidak terdengar jawaban. Hanya
gema suaranya sendiri saja yang kembali datang membuat suasana
jadi lebih menegangsan.
―Lian jiie !‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 99
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sampai serak Sin Hong memanggil-manggil hasilnya nihil


belaka. Hingga hampir-hampir pemuda itu berputus asa.
Mendadak dalam keputus-asannya itu ia melihat sesuatu yang
menarik perhatiannya. Diantara batu-batu yang berserakan didalam
gua itu, terdapat bekas kaki. Dan ketika Sin Hong meneliti, betapa
terkejutnya ia, ketika ternyata bahwa bekas tapak kaki itu ada dua
macam tapak kaki manusia dan bekas tapak kaki binatang.
Walau bagaimanapun, Sin Hong lantas menyusuri jejak-jejak
itu. Akan tetapi aneh bin ajaib, jejak itu lenyap kira-kira pada
pertengahan gua. Bahkan disitu menunjukkan tanda-tanda telah
terjadi pergumulan. Melihat ini, lemaslah tulang sendi sipemuda.
Bayangan-bayangan nasib yang mengerikan mengenai diri sidara,
terbayang dimatanya.
Kembali sipemuda memanggil-manggil, sambil berlarian kian
kemari memeriksa keadaan seluruh gua tersebut, akan tetapi
hasilnya nihil belaka, Siu Lian tetap lenyap tak ketahuan dimana
jejaknya.
Dalam bingung dan putus asanya ini, Sin Hong lantas
mendapatkan sebuah batu besar, Disitu ia duduk dengan lesu.
Ketika terasa perutnya jadi lapar, maka si pemuda mengisinya
dengan daging-daging kering bekal yang dibawanya dari penduduk
dusun. Lumayan daging kering yang dimakannya tanpa selera itu
dapat pula menghilangkan pengaruh perut yang keroncongan. Akan
tetapi sesudah itu ia berasa ngantuk lalu direbahkan badannya diatas
batu itu.
Namun, bayangan cantik dan sikap yang gagah dari Siu Lian
selalu bermain didepan matanya. Walaupun sipemuda berusaha
memejamkan matanya, akan tetapi sebaliknya dari bisa tidur bahkan
rasa mengantuk itu jadi hilang sama sekali.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 100
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Makin berusaha untuk berdiam, hatinya semakin gelisah.


Dalam baringnya, sipemuda membalik kekiri kekanan. mengkurap
atau menelentang, dan kegelisahan itu kiranya semakin
mencengkam hatinya. Akhirnya ia tergolek saja, dengan mata
terpentang lebar, menelentang menatapi langit-langit gua.
Mendadak pada sebuah dinding terlihat olehnya sesuatu yang
menarik hatinya. Segera dihampirinya. benda itu. setelah
dibersihkannya dari debu yang melekat, ternyata benda itu adalah
sebuab lukisan yang indah, berbentuk seekor monyet yang sedang
duduk dengan kakinya yang dilonjorkan kedepan.
Aneh sekali, gerakan monyet dalam lukisan itu seakan-akan
dapat mempengaruhi Sin Hong, mengingatkannya pada sesuatu.
Tanpa disadarinya, Sin Hong telah menirukan gerak binatang dalam
gambar itu. Seketika sipemuda terperanjat. Kiranya gerakan monyet
itu mirip sekali dengan gerakan silat Siauw-lim.
Bahkan ketika ia mengulang-ulangi dan memperdalam gerakan
itu, hasilnya ternyata lebih hebat dari gerakan yang pernah diajarkan
oleh ayahnya sendiri !
Karena girangnya. Sin Hong lantas membuka baju luarnya,
dipergunakannya untuk membersihkan dan menggosok-gosok
lukisan itu yang kiranya ternyata adalah sebuah ukiran.
Lie Sin Hong mempunyai kecerdasan otak yang agak lumayan
juga. Karena ukiran itu didapatkannya hanya sebuah maka dalam
waktu yang tidak lama, segera ia dapat menghafalnya dengan baik,
Setelah puas mengulang-ulangi gerakan menurut petunjuk dalam
lukisan itu, akhirnya ia menjadi bosan. Dan oleh karena itu
timbullah keinginannya untuk mencari ukiran-ukiran yang lain.
Dengan mencoba-coba, ia membersihkan dan menggosok-
gosok dinding disebelah ukiran yang pertama tadi. Kegembiraannya
Semakin bertambah-tambah ketika akhirnya ia menemukan ukiran

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 101
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

yang lain pula, yang berbentuk seekor monyet pula akan tetapi
dalam gerakan yang merupakan sambungan dari pada gerakan
dalam ukiran monyet yang pertama.
Karena penemuan yang kedua inilah maka Sin Hong menduga
pasti banyak ukiran-ukiran semacam itu terdapat disitu. Dengan
segera iapun lantas membersihkan bagian dinding yang lain, yang
ternyata dugaan itu benar belaka. Pada tempat yang lain terdapat
juga lukisan yang serupa akan tetapi yang gerakan monyet itu
merupakan saling hubungan dengan gerak-gerak ukiran satu dengan
yang lain.
Kiranya, memang kepergian Lie Sin Hong menuju tanah barat
ini adalah untuk mencari guru silat yarg pandai. Guru yang pandai
itu belum ditemukannya, akan tetapi ia mendapatkan kenyataan
bahwa ukiran-ukiran sekian banyak itupun merupakan pelajaran
ilmu silat yang aneh dan luar biasa. Demikianlah, maka tanpa pikir
lagi, iapun segera meniru dan melakukan setiap gerakan
menurutkan petunjuk dalam lukisan-lukisan monyet tersebut.
Tak dapat dilukiskan betapa girargnya Sin Hong, ketika
mendapat kenyataan bahwa ilmu pukulan yang diperoleh dari
lukisan-lukisan itu ternyata sangat luar biasa. Setiap gerakan yang
berubah-ubah menyesatkan ternyata banyak sekati cabang-
cabangnya yang indah dan aneh, hingga setelah dia merasa yakin
dan menghafal benar setiap jurus itu, ia yakin bahwa gerakan-
gerakan itu jauh lebih tinggi daripada Cap Peh Lo Hoan Kun.
Pertama-tama yang terasa olehnya setelah melatih gerakan-
gerakan itu ialah tubuhnya terasa semakin enteng.
Begitulah Sin Hong melatih diri dengan tekun hingga tanpa
terasa hari telah berganti. Barulah setelah tubuhnya terasa sangat
letih, Sin Hong lantas istirahat.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 102
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akan tetapi justru saat itulah, ia teringat pada Siu Lian. Sin
Hong jadi terkejut, terus melompat keluar rumah. Matahari telah
naik tinggi, dan Sin Hong berterial-teriak memanggil: ―Siu Lian!
Siu Lian!‖
Seperti juga kemarin, maka panggilan Sin Hong tidak mendapat
jawaban, tinggal suara sendiri yang melenyap ditelan oleh luasnya
alam pegunungan.
Akhirnya karena bosan dan hampir putus asa maka Sin Hong
kembali untuk memasuki gua. Hingga akhirnya ia tersadar akan
adanya bahaya mengancam. Dari arah semak-semak sebelah kiri,
tampak melesat sebentuk senjata, berwarna kuning berkilauan. Dan
pada saat yang bersamaan itu pula dari arah sebelah kanan terasa
kesiur angin tajam datang menyambar.
Benar-benar saat itu Sin Hong berada dalam bahaya yang
menjepit. Tak mungkin lagi ia berkelit, sebab sisi kanan kirinya
telah terkurung. Maka dalam gentingnya ancaman itu Sin Hong
cepat-cepat menotolkan kakinya ketanah, selanjutnya tubuhnya
mengapung keudara. Goloknya telah terpegang ditangan, dan begitu
tubuhnya meluncur turun, diputarnya senjata itu untuk melindungi
diri.
Baru saja sipemuda meletakkan kakinya di tanah, mendadak
lima bayangan manusia telah menerjang tiba. Tiga orang dari
sebelah kiri, sedang dua orang lagi yang menyerang dari sebelah
kanan adalah suami isteri setengah tua yang pernah ditemui di
rumah makan di Shoatang.
Isteri setengah tua itu berkata menbentak : ―Penculik kecil!
Serahkan sumoaiku !‖
Sin Hong menangkis serangan suami isteri itu, seraya berseru :

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 103
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Jie wie toako, aku belum pernah berkenalan dengan kalian,


mengapa tanpa sebab menuduhku menculik sumoi mu !‖
―Bangsat! Tak ada penjahat mengakui dosa! Awas pedang!‖
Dan membarengi bentakannya itu, si wanita telah meluncurkan
pedangnya ke dada Sin Hong.
―Uh, keji !‖ Sin Kong berteriak seraya memutar golok,
selanjutnya bagaikan berkelebatannya bayangan kilat, maka golok
itu telah bergerak menurut jurus-jurus yang baru dipelajarinya
kemarin.
Dengan seketika kedua suami isteri itu melompat mundur
kebelakang untuk melindungi diri sambil terkejut. Mereka sungguh
tak mengira bahwa pemuda yang baru sebulan yang lalu itu pernah
bergebrak dengan merela kini telah mendapat kemajuan begitu
pesat.
Dalam waktu beberapa gebrakan saja, Sin Hong dapat membuat
suami isteri itu terdesak hebat. Mereka ini memang murid-murid
Ceng Hong Pai, sebagai yang pernah dikatakan oleh Siu Lian. Si
suami bernama Tung han Taihiap Tan Cian Po, pertahanannya telah
kocar-kacir, jalan napasnyapun sudah tak teratur lagi. Begitu pula
dengan isterinya Hoo Siok Eng.
Keduanya telah bermandi keringat, sementara itu hanya dapat
main mundur atau berkelit belaka, sama sekali tidak mampu balas
menyerang.
―Celaka !‖ Tiba-tiba terdengar wanita itu berteriak kaget,
pedangnya telah terpental, melayang terbang ke udara beberapa
tombak. Pada detik yang bersamaan tampak sinar golok berkelebat,
tahu-tahu si wanita menjerit kesakitan, pergelangan tangannya telah
terluka berdarah.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 104
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Untuk menghindarkanserangan susulan, maka si wanita hendak


menotolkan kakinya meloncat pergi, akan tetapi sebelum
maksudnya sampai, segulung sinar golok telah mendahului
mengancam tenggorokannya. Si wanita terkejut bukan buatan,
bahkan ia hampir putus asa. Mendadak sekali, pada saat siwanita
menghadapi mautnya itu terlihat sesosok bayangan tinggi besar
yang menggerakkan tongkatnya menahan gerakan golok.
Kiranya tongkat tersebut dapat bergerak lebih cepat, dan tahu-
tahu telah mengancam jalan darah kie-bun-hiat dari Sin Hong.
Melihat serangan yang demikian hebatnya, maka Sin Hong cepat-
cepat menarik kembali senjatanya, dipergunakan untuk menangkis
tongkat.
Terdengarlah bunyi beradunya senjata berkelontrangan nyaring
untuk selanjutkan tampak selembar cahaya putih berkilat melayang
keudara. Kiranya itulah golok Sin Hong terlepas dari cekalan.
Rupanya walaupun dalam hal ilmu silat Sin Hong mungkin
sepuluh kali lipat lebih tinggi dari lawannya, akan tetapi dalam hal
tenaga dalam ia masih harus mengakui keunggulan lawan.
Akan tetapi Sin Hong pantang meayerah. Pada saat itu, Tan
Cian Po sedang mengangkat pedangnya menyerang. Sin Hong
berlaku cepat. Dengan tidak menunggu datangnya serangan, Sio
Hong telah melayang cepat kearah sisi kanan Cian Po.
Dengan kelima jari tangan kiri memukul pergelangan tangan,
maka tangan kanannya mengancam muka Cian Po. Andaikata
pertempuran ini terjadi tiga hari yang lalu, agaknya siang-siang Sin
Hong tentu sudah dapat dikalahkan oleh suami isteri itu.
Maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kemajuan yang
diperoleh itu dengan petunjuk-petunjuk ilmu silat melalui lukisan-
lukisan dalam dinding gua itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 105
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Begitu terkena pukulan, maka pedang Cia Po terlepas dari


cekalan, dan dilain saat senjata itu telah berada di tangan Sin Hong
yang kemudian dipergunakan untuk menyerang dada sipendekar
dari daerah Tungkiam dan Hankiang.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi Cian Po ini, tiba-tiba
terdengar suara gerengan yang sangat keras dari orang yang
bersenjatakan tongkat itu. Dia ini adalah orang asing dimana di
kepalanya dia mengenakan ubel-ubel (udeng-udeng), mencelat
memberikan pertolongan kepada Cian Po.
Sementara itu bersamaan dengan tikaman pedangnya ke dada,
Sin Hong melancarkan pukulan tangan kirinya ke perut Cian Po.
Kedua tikaman dan pukulan yang dilancarkan sekaligus itu adalah
jurus kelima belas dan keenam belas pada lukisan gambar monyet
itu yang dipelajari kemarin.
Tetapi sayang sekali, sebelum kedua serangannya ini mengenai
sasaran, Sin Hong merasakan adanya sambaran angin keras yang
mengancam salah satu jalan darah yang dapat membinasakan
dirinya.
Untuk menolong dirinya, tanpa pikir panjang lagi Sin Hong
membatalkan serangan mautnya. Cepat bagaikan kilat ia melompat
kekanan seraya memutar pedang rampasannya, menikam kearah
tenggorokan orang asing yang berhidung bengkung seperti paruh
burung betet itu.
Bukan buatan terkejutnya orang asing itu, melihat kelihaian
sipemuda. Namun kiranya ia telah cukup banyak pengalaman.
Setelah serangannya tersebut gagal, maka disilangkannya
tongkatnya membalik guna menangkis serangan sipemuda yang
hampir mencelakakan jiwanya itu.
Sin Hong sudah dapat merasakan kemahiran tenaga dalam
orang asing itu, maka ia tidak mau membenturkan senjatanya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 106
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sebaliknya, dengan kelincahannya ia merubah serangannya


mencuat keatas, mengancam kedua biji mata lawan.
Perubahan serangan sangat cepat dan dasyat itu membuat
keempat orang Ceng Hong Pai itu menjadi tak habis pikir. Sebulan
yang lalu Sin Hong belum berhitung lawan yang berbahaya, akan
tetapi sekarang hanya dalam jangka waktu yang tidak panjang,
ternyata pemuda ini telah begitu lihai.
Tidak mustahil apabila pemuda itu telah berjumpa dengan
seorang cianpwe yang sakti, begitulah pikir mereka. Tetapi,
walaupun bagaimana, orang asing itu memang dalam hal
pemgalaman yang diperolehnya dari pertarungan-pertarungan besar
maupun kecil yang pernah dilakukannya.
Demikianlah, dengan cepat sekali tongkatnya disabetkan dari
atas kebawah, sehingga dengan demikian ia dapat mengunci
gerakan pedang Sin Hong yang segan melakukan benturan tenaga.
Setiap serangan Sin Hong dapat dipunahkan bahkan tongkat
orang asing itu dapat bergerak demikian rupa, hingga apabila Sin
Hong hanya mengandalkan jurus-jurus yang baru diperolehnya
kemarin itu, punggungnya akan terancam bahaya.
Sedang orang asing itu bergembira melihat dirinya akan segera
memperoleh kemenangan, sekonyong-konyong sinar pedang Sin
Hong telah berubah menjadi segulung sinar yaag melindungi
tubuhnya dengan ketat.
Itulah ilmu golok Cap Peh Loh Hoan To yang saat itu telah
digabung dengan gerakan-gerakan ilmu silat yang diperolehnya dari
lukisan-lukisan itu. Sungguh hebat, dalam sekejap saja, tubuh
sipemuda seakan telah dipagari tembok sinar pedang yang sangat
rapat.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 107
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Orang asing berhidung benikung itu tersentak mundur dengan


kaget. Sungguh tak menduga bahwa sipemuda dapat merubah
gerakannya demikian hebatnya. Dan menyerang hingga membela
diri! Demikianlah, serangan orang asing itu menjadi gagal, hingga
ia menjadi penasaran dan gusar.
Dalam gusarnya itu, orang asing ini menggerakan tongkatnya
dengan sekuat tenaga, menyapu kearah lawan. Sekali tongkatnya
menyapu maka dua belas jalan darah Sin Hong terancam bahaya.
Untuk serangannya yang terakhir ini, si orang asing telah
menggunakan pengerahan tenaga lwekangnya, sebab ia tahu bahwa
kelemahan adalah dalam hal tenaga dalam. Dengan sangat cepatnya
dan seakan tak dapat ditabas, serangan itu meluncur terus
menghantam dua belas jalan darah maut sipemuda.
Belum sempat Sin Hong mengeluarkan jurus-jurus
gabungannya yang lain, maka serangan orang asing itu telah datang
tak mungkin diegosi lagi. Sin Hong mengambil keputusan nekad.
Keadaan sudah tak mungkin dapat dihindari maka ia memutar
tubuhnya cepat-cepat dengan maksud menerima pukulan tongkat itu
dengan punggungnya !
Akan tetapi rupanya ajal belum waktunya menghinggapi tubuh
sipemuda. Pada detik keselamatan jiwa Sin Hong hanya tergantung
pada seutas rambut, mendadak terdengar suatu teriakan yang sangat
keras, yang menggetarkan semua benda yang kedapatan disitu.
Tidak terkecuali, orang yang berada disitu merasa badannya tergetar
hebat, termasuk Sin Hong maupun orang asing itu.
Hanya untung bagi Sin Hong, ia dapat bergerak sangat cepat, ia
menetapkan hati, meloncat kesamping sambil menyontekkan
pedangnya, hingga dapat merobek lengan baju orang asing itu.
―Bocah dari mana kau, ha?‖ Bentak orang asing itu dengan
kaget dan gusarnya. Apabila memperhatikan nada suara dan cara

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 108
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

berpakaiannya, agaknya dia ini orang Turki adanya, yaitu suatu


bangsa yang menghuni jazirah barat dari benua Asia ini,
Sin Hong belum sempat menyahut, tetapi telah terdengar suara
tawa yang aneh dari puncak pohon.
―Tua bangka Karra Gamalye, tak tahu malu mengerubuti
seorang bocah ingusan.‖ Demikianlah suara aneh itu menegur.
―Tiga tua bangka dan dua anjing kecil mengeroyok seorang bocah
hahaha.......‖
Lie Sin Hong dan kelima orang lainnya, tidak terkecuali Karra
Gamalye orang Turki itu semuanya memandang keatas dengan
terkejut. Segeralah mereka melibat seseorang yang berjenggot
panjang sedang duduk bersila dipuncak yang sangat tinggi.
Badan orang itu kate, sehingga jenggotnya yang panjang itu
melebihi panjang badannya. Tidak berapa jauh dari tempat kate
berjenggot ini, tampak pula duduk lima orang yang lain, yang
sikapnya juga tampak aneh-aneh.
Agaknya keenam orang aneh itu telah sejak tadi hadir ditempat
itu, hingga mereka dapat melihat pertarungan dibawah tadi.
Menggetarnya sekalian benda-benda, dan melesetnya serangan
Karra Gamalye si orang Turki itu, adalah akibat teriakan si orang
kate berjenggot. Mengingat gagalnya serangan tadi, maka si orang
Turki jadi sangat murka, dadanya seakan meledak saking marahnya.
Dengan tidak membuka suara lagi, Karra Gamalye telah
menjejakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya melesat keatas dengan
sangat cepat untuk menjambak jenggot orang kate yang
dianggapnya jahil itu.
Tetapi, dengan tenang sekali, orang kate itu tiba-tiba telah
berpindah tempat ke puncak pohon lain sambil berkata mengejek :

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 109
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Dengan seorang bocah ingusan kau tidak dapat berbuat apa-


apa, buat apa aku meladeni kau?‖
Mendengar kata-kata yang sangat mengejek itu, bukan buatan
marahnya Karra Gamalye. Tetapi ketika sedang bermaksud untuk
mengejar orang berjenggot itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan
Tung-han Taihiap.
Karra Gimalye menjadi sangat terkejut, demi melihat muka
kawannya itu menjadi bersemu ungu, suatu tanda bahwa sang
kawan telah terkena serangan beracun! Karra Gamalye
mengurungkan niatnya untuk mengejar si kate berjenggot lebih
jauh.
Dan segera menghampiri kedua suami isteri itu, serta memberi
isyarat kepada kedua pemuda, putera mereka untuk meninggalkan
tempat itu.
Namun baru saja ia berjalan kira-kira sepuluh tombak, dari atas
pohon terdengar suara orang tertawa aneh sambil berkata;
―Hai tua bangka! Apakah kau membutuhkan obat pemunah?‖
Bersamaan dengan kata-kata itu, maka dari atas pohon tampak
melayang sebuah bungkusan, yang meluncur kearah punggung
Karra Gamalye yang dibareagi suara tertahan; ―sambut !‖
Karra Gatnalye belum sempat menyadari apa yang akan terjadi,
tiba-tiba sekali, ―buukk!‖ tiada dapat dielakkan lagi, punggung
orang Turki itu telah kena dihajar oleh ―senjata rahasia‖ yang
berwujud sebuah bungkusan tersebut, hingga tak ampun lagi orang
yang bertubuh tinggi besar itu terguling roboh, hingga beberapa
tombak jauhnya.
Akan tetapi hebatnya, justru Karra Gamalye tidak merasa sakit
sama sekali akibat sambitan itu. Justru hal inilah yang membuat
orang Turki itu bertambah gentar.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 110
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dalam pada itu, ia mengamat-amati ―senjata rahasia‖ yang


telah membuat kehilangan muka itu. Kiranya benda itu hanyalah
sebuah bungkusan yang berisi obat-obatan. Maka segera
dijemputnya pemuda itu, untuk kemudian berlari-lari mendapatkan
Tung-han Tai hiap.
Dikala itu, Sin Hong memperhatikan segala yang terjadi atas
diri orang Turki itu. Lalu ia memandang keatas, dimana terlihat
keenam orang tadi masih tetap berada ditempatnya.
Dalam hati Sin Hong berkata; ―Mereka ini adalah orang-orang
berkepandaian tinggi, untuk keperluan apakah mereka mendatangi
gunung Thang-ala-san. Apakah manusia-manusia sakti yang pernah
diceritakan orang dusun kepada kami, tempo hari? Ataukah mereka
ini dari satu rombongan atau bukan?‖
Sedang asyiknya menduga-duga demikian, Sin Hong tiba-tiba
dikejutkan oleh suara sikerdil yang keras sekali mengaum: ―Hai
anak muda! Kau memiliki ilmu silat yang aku pernah melihatnya
apakah boleh dapat mencuri?‖
Tergetar Sin Hong mendengar pertanyan yang menuduh itu,
yang membuat ia menduga bahwa sikate itu tentulah penghuni
gunung ini. Disaat itu juga, sipemuda jadi kecewa, mengingat
bahwa maksudnya untuk mempelajari ilmu silat dalam lukisan itu,
ada kemungkinannya bakal gagal. Karena keenam orang aneh itu,
terutama sikate telah menuduhnya demikian.
―Nyata-nyata sikate tadi telah memberikan pertolongan,
menyelamatkan aku dari serangan orang asing itu. Akan tetapi
mengapa sekarang ia berbalik menuduh?‖ tanya Sin Hong dalam
hati.
Justeru pada saat itu sebelum Sin Hong sempat memberikan
jawaban, sekonyong-konyong terdengar suara seseorang yang
datangnya dari arah puncak pohon yang lain :

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 111
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Hai orang kate she Auwyang, jangan berkata tak keruan !


Dengan bukti apa kau lancang menuduh bocah yang putih bersih itu
sebagai pencuri?‖
Demikianlah, suara itu memang beralasan juga, hingga untuk
sementara waktu sikate jadi terbungkam, hanya matanya saja yang
tajam mengawasi kearah Sin Hing. Barulah kemudian ia
membalikkan tubuh mengawasi orang yang telah menyemprotnya
barusan.
―Kiranya kau, si mata sipit‖, demikian si kate menggerutu,
sedang sikapnya menjadi berubah sengit ketika mengetahui bahwa
orang itulah yang telah menegurnya tadi.
―Kepandaianmu sudah melebihi kepandaian semua kalangan
rimba persilatan di negerimu. Aku Auwyang Siang Yong sungguh
tak mengerti, untuk keperluan apakah kau datang ke daerah ini
dengan menyeberangi lautan?'
Girang hati Sin Hong mendapat kenyataan itu. Bukankah dari
pembicaraan itu nyata bahwa mereka berasal dari lain golongan?
Lebih-lebih ketika pemuda ini memperhatikan lebih lanjut, ia
melihat keempat orang yang lainpun sedang saling pelototkan mata
dengan sikap seakan-akan hendak bertempur.
―Mengherankan sekali‖ kata Sin Hong dalam hati ―Mereka itu
tampaknya hendak saling baku hantam, dan bermusuhan. Namun,
kalau hanya hendak saling mengadu kepandaian, mengapa mereka
harus memilih gunung ini yang letaknya jauh dari pergaulan
manusia?‖
―Auwyang Siang Yong‖, si orang bermata sipit itu berkata :
―Seenaknya saja kau bicara. Lihatlah jelas, bukalah matamu lebar-
lebar, apakah daerah pegunungan ini termasuk daerah Tionggoan?

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 112
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Apakah juga tempat ini, gunung Thang-ala-san, letaknya


berdekatan dengan tempat kakak ayahmu Auwyang Keng Liak
bersemayam? Dan, haha, untuk keperluan apakah jauh-jauh kau
datang mendaki pegunungan ini?‖
―Diam !‖ bentak si kate dengan marah.
―Kau boleh mencaci, bahkan boleh membunuhku kalau kau
becus !‖ sambung Auwyang Siaug Yong. ―Tapi awas ! Jangan kau
sebut-sebut nama pamanku disini! Aku sangat mengagumi kau telah
mempertunjukkan kepandaianmu mempergunakan am-gie dan
lweekangmu! Dan aku tahu bahwa ilmu kepandaianku masih
dangkal, baru enam bagian saja dari kepandaian pamanku. Tetapi
melihat pertunjukkan yang kau pamerkan tadi, aku menjadi gatal
tangan. Aku menyadari bahwa aku bukanlah tandinganmu karena
kau adalah seorang ahli silat nomor satu dari pulau sembilan ! Oleh
karena itu, melulu hanya karena keinginanku untuk menambah
pengetahuan, aku mohon beberapa pengajaran dari kau! Yaitu ilmu
silat pedang bengkok dari pulau sembilan yang termashur itu.
Sudikah Balghangadar?‖
Demikianlah tantangan Auwyang Siang Yong dengan cara
merendah itu sekaligus ia telah mengejek. Sementara itu, keempat
orang lain yang berada ditempat yang lain pula itu, benar-benar
sudah siap hendak bertarung.
Sementara itu tampaknya Sin Hong sudah tidak diperdulikan
lagi. Demi ia melihat hal yang demikian, cepat-cepat ia pergi
menyembunyikan diri di balik sebuah pohon besar, untuk
selanjutnya mengintai permainan apakah yang akan dipertunjukkan
oleh keenam orang aneh itu.
―Auwyang Siang Yong, kau terlalu memuji !‖ Sesaat kemudian
Sin Hong mendengar jawaban dari Balghangadar, Siorang sipit dari
seberang lautan itu memecah kesunyian.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 113
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Suara itu, tampaknya merendah akan tetapi jelas dibarengi


dengan pengerahan tenaga lwekang yang tinggi, hingga suaranya
menggema sampai kekaki gunung. Dengan segera Sin Hong
menekap telinganya dengan kedua belah tangan.
―Tak sanggup aku menerima pujianmu itu! Kau Siang Yong
sudi memberikan pelajaran kepadaku, inilah yang benar-benar
untuk meminta saja aku takkan berani.
Sungguh suatu kehormatan yang sangat besar bagiku! Hingga
perjalananku ke Thang-ala-san ini, walaupun tidak berhasil
mendapatkan barang itu, aku rasa tidak sia-sia. Auwyang Siang
Yong kita adalah orang-orang rimba persilaian dari negeri yang
berlainan, kukira tak perlukah kita saling merendah.
Karena aku sudah menduga, begitu juga guruku, bahwa untuk
mendapatkan barang itu, kita harus melakukan adu tenaga terlebih
dahulu. Didaerah Tionggoan sebelah utara, orang yang memiliki
kepandaian sebagai Auwyang cianpwe hanyalah kau,
keponakannya, maka juga dari sejak lama seluruh rakyat negeriku
telah mengagumi dirimu.
Sekarang kau sudi hendak memberikan pelajaran kepadaku, maka
aku Balghangadar sebagai wakil dari rakyat merasa sangat
bersyukur. Baiklah kita tak usah membuang-buang waktu lagi.
Apakah saudara Siang Yong hendak mempertunjukkan Sat-tui Kiu-
wan mu yang termashur itu? Silahkan!‖
Kata-kata ini walaupun diucapkan saling susul dengan napas
perlahan, akan tetapi jelas dapat menembus telapakan tangan Sin
Hong. Dapatlah dibayangkan betapa hebatnya tenaga dalam orang
bermata sipit itu.
―Sungguh dalam pengetahuanmu, Balghangadar. Sebelum kita
bertanding kau sudah mengetahui kebisasaku. Memang tidak salah

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 114
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lagi, karena kau meminta akan kuturuti keinginanmu itu. Bersiap-


siaplah !‖
―Baik !‖
Kedua orang itu tengah bersiap-siap, dan saling memperhatikan
gerakan apa yang akan dilancarkan oleh lawannya. Tiba-tiba
diantara kedua puncak pohon dimana kedua lawan berlainan negeri
itu mengambil tempat, tampak berterbangan belasan ekor burung
pegunungan yang besar-besar.
Burung ini sangat pesat terbangnya. Dalam sekejap saja mereka
telah terbang menjauh sekitar delapan atau sembilan tombak, tetapi
sekonyong-konyong seperti ditarik oleh tenaga besi berani yang
sangat kuat, binatang-binatang itu mendadak berhenti maju.
Sayapnya saja yang mengelepar-gelepar, untuk selanjutnya
tanpa dapat ditahan lagi, binatang-binatang itu terbang mundur
dengan sangar cepat kearah tempat dimana Balghangadar siorang
sipit itu duduk bersila.
Terlihat orang asing itu menggerakkan telapak tangannya
menarik, dengan lengan yang terulur kedepan.
Tidak terlukiskan betapa terkejut dan kagumnya putera Song-to
Lie Kie Pok bahkan juga siorang kate Auwyang Siang Yong,
menyaksikan pertunjukan tenaga lweekang yang sangat hebat itu.
Itulah tenaga lweekang yang sangat tinggi dan mahir, yang
memerlukan tempo belasan tahun untuk meyakinkannya.
Cepat sekali burung pemakan bangkai yang berjumlah sembilan
belas ekor itu tiba dihadapan Balghangadar. Dan disaat itu juga,
terdengar suara orang sipit itu membentak keras, sambil telapak
tangannya ditamparkan kedepan.
Maka kesembilan belas ekor burung itu, bagaikan anak panah
lepas dari busurnya, meleset kedepan sambil memekik, bagaikan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 115
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

didorong oleh tenaga badai yang sangat dahsyat menyambar kearah


jalan darah pada tubuh Auwyang Siang Yong.
Benar-benar sebuah pertunjukan tenaga lweekang yang sulit
diukur betapa tingginya. Dan Lie Sin Hong sampai termangu
melihat semuanya itu, karena apa yang disaksikannya kali ini
melebihi apa yang pernah didengar dari ayahnya tentang beberapa
ahli lweekang dari dataran Tiongkok.
Saat itu, Sin Hong benar-benar telah melupakan urusan Siu
Lian atapun Ong Kauw Lian. Seluruh perhatian pemuda ini tertuju
kepada simanusia kate Auwyang Sian Yong, untuk menyaksikan
gerakan apakah yang akan dilakukan si manusia kate itu untuk
menghindari serangan lawan yang sangat dahsyat itu.
Sementara itu, Auwyang Siang Yong pun tidak kalah terkejut.
Dia ini adalah seorang turunan seorang ahli yang menjagoi wilayah
Tiongkok utara dan mempunyai kepandaian tersendiri pula. Ia cuma
mengagumi tenaga lweekang yang dimiliki oleh pamannya.
Dikala kesembilan belas ekor burung itu hampir membentur
tubuhnya, untuk membebaskan diri Auwyang Siang Yong telah
menggenjotkan tubuhnya. Mendadak dengan kecepatan kilat dan
gesit sekali tubuhnya itu telah melayang naik puluhan tombak,
hingga Sin Hong tak dapat menduga kemana orang kate itu kembali
turun.
Orang hanya melihat kesembilan belas burung itu telah
terjungkal mati tanpa memperdengarkan jeritan. Dan untuk
selanjutnya Auwyang Siang Yong yang tubuhnya masih
mengapung diudara itu telah memegang senjata yang berbentuk
sebuah kebutan.
Dengan cepat pula, Auwyang Siang Yong telah membuka
serangan dengan jurus Cap-cie-kai-tui atau sepuluh jari membuka

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 116
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

angin, badannya meluncur kearah Balghangadar. Kebutannya


bekerja menghajar kepala lawan siorang dari pulau sembilan itu.
Akan tetapi dengan gerakan yang sengat cepat pula, sebelum
kebutan Siang Yong yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan
darah itu tiba, Balghangadar telah menghunus senjatanya yaitu
sebatang pedang yang bengkok ditengahnya digerakkannya
menangkis.
Tak dapat dihindarkan lagi, maka kedua senjata saling bentur
dengan sangat keras.
Kemudian, dengan mempergunakan tenaga benturan itu, maka
kedua orang itu sambil memperdengarkan bentakannya yang
nyaring, melesat ke tengah udara, dengan Siang Yong lebih tinggi
dari pada lawannya.
Dengan demikian dalam sekejap mata saja maka kedua orang
yang saling gempur itu masing-masing telah dapat
mempertunjukkan kemahirannya Balghangadar unggul dalam hal
tenaga dalam atau lweekang, sebaliknya Siang Yong lebih unggul
dalam hal ginkang.
Maka sesaat kemudian, Balghangadar telah mendarat turun
terlebih dulu diatas pohon. Sedangkan burung-burung yang
terjungkal mati itu menghajar pohon dimana Siang Yong tadi duduk
bersila, hingga pohon itu terbelah dua dan tumbang menimbulkan
suara gaduh.
Disaat itu, dikala Sin Hong berada datam kekagumannya, akan
kehebatan lweekang dan ginkarg kedua tokoh itu. Sekonyong-
konyong diatas pohon dimana Balghangadar mengambil tempat
duduk terdengar dua suara saling bentak.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 117
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Menyusul tampak dua bayangan melesat keudara, yang seorang


lebih tinggi antara tujuh atau delapan tombak, itulah bayangan
Balghangadar dan Siang Yong.
Yang satu adalah keponakan dari seorang jago Tiongkok utara,
ahli ginkang yang belum ada duanya. Sedangkan lawannya, yang
telah menolong Sin Hong dari tuduhan, adalah murid dari seorang
ahli silat kelas satu di pulau sembilan, ahli lweekang yang tak ada
tanding pada jamannya.
Maka tidaklah mengherankan apabila masing-masing pihak
mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Sedangkan keempat orang
yang lain yang tadi tampaknya hendak bertarung, kini cuma
mengawasi kedua orang yang sedang bertarung itu.
Rupa-rupanya, keempat orang itu telah jeri melihat penunjukan
lweekang dan ginkang orang hingga secara diam-diam mereka telah
mengalah terhadap kedua orang yang sedang bertarung itu.
Hanyalah, sesuatu apa itu yang keenam orang perebutkan,
sampai dua ahli lweekang dan ginkang itu bertekad untuk mengukur
tenaga, Sin Hong tidak mengetahuinya.
―Auwyang Siang Yong‖ tiba-tiba Balghangadar berkata dengan
senyum mengejek. ―Oleh karena baru saja kita begitu berhadapan
begitu bergebrak sehingga aku tidak sempat menanyakan kesehatan
pamanmu, yang tentunya berada dalam sehat-sehat saja bukan?‖
Sungguh lucu kata-kata orang dari Pulau Sembilan itu. Dia
menanyakan kesehatan paman orang tetapi, dia sendiri yang
menjawabnya pula.
―Cu….......apakah Auwyang heng yang sudah meletihkan diri
berkunjung datang ke Thang-ala-san inipun untuk urusan mencari
lukisan-lukisan itu?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 118
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sambil mengakhiri ucapannya itu. Balghangadar melirik kearah


Lie Sin Hong. Dilihatnya anak muda itu tengah berdiri mengawasi
Auwyang Siang Yong dengan mata tak berkedip. Hingga melihat
sikap pemuda ini, Balghangadar diam-diam menghela napas lega.
―Saudara Balghangadar !‖ Auwyang Siang Yong menjawab
―Kau barusan menyebut-nyebut itu. Memang aku oleh pamanku
ditugaskan untuk urusan itu. Cuma aku tidak mengerti, mengapakah
kabar ini tersebar demikian luas hingga sampai kenegerimu?
Mengapa pula kau yang dasar-dasar ilmu silatmu berlainan dengan
dasar-dasar ilmu silat di negeriku juga menginginkan lukisan-
lukisan itu. Sungguh lucu, sungguh sangat lucu, hahaha….‖
Memang ejekan itu tepat sekali. Tepat sekali bagi seorang asing
yang memasuki negeri lain. Dan mendengar ejekan itu tentulah
orang asing itu akan tertusuk hatinya, karena secara tidak langsung
ia telah disindir menghendaki barang yang bukan milik negaranya.
Tapi rupa-rupanya Balghangadar siorang dari pulau sembilan
itu adalah lain. Ejekan itu tidak mempengaruhi jiwanya, malah ia
kelihatan tersenyum. Senyum yang orang lain takkan mengerti
maksudnya.
Sesaat kemudian ia berkata.
―Auwyang Siang Yong, katamu tepat sekali. Tepat dan jitu
untuk menggencet orang lain. Aku datang kemari untuk tugas
guruku untuk mencari lukisan itu yang…….‖ sebentar ia berhent,
kemudian melanjutkan ―tapi…… tidak perlu kuterangkan. Nanti
juga kau akan mengetahuinya. Dan Auwyang Siang Yong, kuharap
kau berbelas kasihan kepadaku dengan hudtimmu yang sangat lihai
itu tentu aku akan berterima kasih tak ada habisnya…….‖

****

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 119
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

JILID 4

SUNGGUH tak enak Balghangadar mengakhiri pembicaraan-


nya. Dia mengakhiri kata-katanya dengan sebuah tantangan.
Sungguh aneh.
―Balghangadar terlalu merendahkan diri‖, sahut Auwyang
Siang Yong. ―Aku sendirilah yang justeru kuatir, bahwa aku
bukanlah tandinganmu. Nah, silahkan‖.
Auwyang Siang Yong mengakhiri pembicaraannya sambil
majukan kaki kirinya setengah tindak, untuk ditekuk kemudian
dengan sikap pelayan raja mempersembahkan sebuah angcoh,
dengan hudtim dilintangkan didepan dada ia memberi hormat.
Lalu dari tangan kiri hudtim itu dipindahkan ke tangan kanan.
Sedang tangan kirinya dengan dua jari menjepit ujung hudtim.
Dengan demikian, ia bersiap sambil mempertunjukkan cara
memberi hormat dari silat Tiongkok. Ternyata dengan sikapnya ini
dia telah menghormat orang dari luar daerah Tionggoan ini, yang
harus diperlakukan selayaknya sebagai seorang tamu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 120
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Balghangadar yang agaknya juga mengerti tata cara ini, dengan


mencekal senjatanya, dengan tubuh tetap tegak, kepalanya sedikit
dibungkukkan. Akan kemudian dengan suara teriakan keras,
senjatanya dikibaskan kemuka. Cahayanya berkeredepan. Sesudah
itu ia bertindak untuk mulai berputaran.
Sungguh luar biasa cara memberikan hormat ini !
Dengan memutar kekiri, Auwyang Siang Yong bersiap sedia.
Kedua pihak bergerak cepat luar biasa, mereka sekarang bebas,
tidak lagi dipuncak pohon akan tetapi diatas sebuah dataran yang
luas.
Setelah bergerak beberapa putaran, mendadak Auwyang Siang
Yong menghentikan tubuhnya untuk memutar balik, untuk
kemudian dengan ginkaag yang luar biasa cepatnya ujung hudtim
yang menjadi kaku telah mengancam tenggorokan lawan.
Melihat gerakan lawan yang tiba-tiba berubah itu,
Balghangadar sambil memekik keras mengibaskan pedang
bengkoknya kemuka sambil mengerahkan tenaga lweekang ke
ujung senjata.
Sudah menjadi kebiasaan agaknya, bahwa setiap bergerak
mulutnya pasti berteriak keras, hingga Sin Hong yang menyaksikan
ini menganggap orang itu seperti orang gila.
Sementara itu. Auwyang Siang Yong yang bergerak terlalu
dahulu ia mendahului lawannya mendekat. Cepat luar biasa
bagaikan ulat ia mulai serangannya yang pertama mengancam dada
lawan.
Pedang bengkok ditangan Balghangadar ini, sebenarnya
termasuk sejenis pedang pusaka, yang dapat memapas putus
berbagai barang logam.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 121
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Akan tetapi menghadapi hudtim Auwyang Siang Yong yang ia


tahu bukanlah hudtim sembarangan. Balghangadar tak berani main
coba-coba. Maka begitu serangan datang, Balghangadar cuma
berkelit kekanan, dari sini ia sodorkan pedang bengkoknya diantara
bulu-bulu hudtim, untuk membabat lengan lawan.
Auwyang Siang Yong menyusuli serangan yang baru saja tidak
membawa hasil. Tidak ayal pula, dengan ujung hudtimnya yang
lancip, iapun menangkis senjata lawannya untuk membuat pedang
bengkok itu terlepas dari cekalan.
Balghangadar cepat-cepat menarik kembali pedang
bengkoknya, untuk meloloskan diri dari tangkisan lawan yang dapat
menotok jalan darahnya. Dengan cara itu dia mendahului,
menyerang penjagaan sang lawan yang lowong, dada musuhlah
yang menjadi sasaran.
Orang kate dari dataran Tionggoan utara itu berkelit kekiri.
Kemudian dengan senjatanya ia benturkan kearah senjata lawan,
menyusul kemudian serangannya diteruskan, senjatanya
diluncurkan mengancam kepada lawan. Untuk itu dia gunakan tipu
pukulan im-yang-kun.
Kebutan itu, yang tampaknya biasa saja, sebenarnya
mengandung dua serangan yang sangat dahsyat. Dengan serangan
pertama, lembaran-lembaran benang hudtim bergabung menjadi
satu, dalam bentuk perkakas tulis Tionghoa serta menghantam
dengan tenaga yang keras.
Dan apabila serangan ini gagal, benang-benang hudtim itu
seperti mempunyai alat akan lantas terbuka untuk menusuk jalan
darah musuh dengan tenaga im-ciu (tenaga lembek).
Kedua serangan ini hebat bukan main sehingga kalau serangan
ini ditujukan kepada seorang ahli silat yang tanggung-tanggung,
tentu kematianlah akibatnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 122
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun, orang yang diserang bukanlah ahli silat sembarangan.


Balghangadar adalah seorang petualang. Dia ini dalam menghadapi
serangan sehebat itu, sama sekali tidak gentar, malah bergemingpun
tidak.
―Apakah benar-benar kau dapat menahan seranganku?‖
Auwyang Siang Yong membentak.
Justeru saat itulah benang-benang hudtim sedang terbuka, dan
tengah menyambar kemuka Balghangadar.
Pada detik itu, diam-diam Auwyang Siang Yong terperanjat.
Dia juga menyesal, karena kalau serangan itu mengenai sasarannya
maka pastilah lawan akan binasa seketika itu juga. Dan hal ini
berarti ia menanam bibit permusuhan dengan orang-orang dari
pulau sembilan. Namun apa daya, ia tidak dapat lagi mengendalikan
serangannya.
Demikianlah, bagaikan kilat, ribuan benang itu menyambar.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi dirinya, Balghangadar telah
membuka mulutnya dan meniup sekeras-kerasnya. Hingga disaat itu
juga, benang-benang hudtim tersapu buyar.
Ternyata Balghangadar telah menggunakan tenaga dalamnya
yang terdahsyat dari perguruannya untuk meniup sekeras mungkin.
Mutlak, serangan lawan telah dipunahkan.
Auwyang Siang Yong terkejut sekali, dengan sekali mengibas,
maka ia membalikkan cepat sekali. Ia membuat lembaran-lembaran
benang itu dengan berbareng berdiri seperti jarum-jarum saja,
berbalik menyambar tenggorokan dan kedua biji mata lawan.
Pertempuran ini berlangsung dengan sangat seru sekali.
Sehingga membuat keempat orang yang rupa-rupanya dari golongan
yang berlainan, menjadi kuncup sedangkan Lie Sin Hong hanya
berdiri terpaku karena kagumnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 123
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sementara itu, hampir pada detik yang beramaan. Sekonyong-


konyong berkelebat sinar terang serta dingin, diiringi teriakan
Balghangadar : ―Bagus ! Sambutlah balansanku !‖
Dengan kedua tangannya Balghangadar memegang keras
gagang senjatanya. Kemudian dengan mengeluarkan pekikan yang
memekakkau telinga ia membabat tekanan dan kekiri, keatas
maupun kebawah.
Belum habis serangan yang pertama, serangan yang kedua
menyusul. Demikianlah selagi Auwyang Siang Yong memikir
untuk balas menyerang, serangan yang ketiga telah menyambar
datang.
―Bagus!‖ seru si orang kate seraya menggeser kakinya dengan
tak kalah gesitnya. Auwyang Siang Yong menyingkir kekiri lawan,
untuk ke mudian hudtimnya bekerja, kali ini ia mengancam seluruh
jalan darah ditubuh lawannya dari leher sampai keujung kaki.
Unruk menolorg dirinya, Balghangadar memindahkan
tubuhnya kekiri sambil dimendakkan. Untuk kemudian dengan
mengerahkan tenaga lweekangnya keujung pedang bengkoknya, ia
menyapu musuhnya dengan gerakan tui-cung bong-goat atau
membuka jendela menengok rembulan. Dapatlah dimengerti
hebatnya tenaga sapuan ini yang dilakukan sambil mendak.
Melihat serangan lawan, yang dilakukan dengan tenaga yang
dikerahkan ribuan kati, si orang kate keponakan Auwyang Keng
Liak menjejakkan kakinya untuk kemudian badannya mengapung
naik, mencelat dengan gerak tipu ―Burung Hoo menerjang langit‖.
iapun telah menyingkir kearah sebelah kiri.
Si petualang dari pulau sembilan itu, melihat serangannya
gagal, tak mau tinggal diam sampai disitu saja. Cepat melebihi
kecepatan angin tangannya dibalikkan, untuk kemudian ia menyapu
membarengi lawan yang sedang melayang turun keatas tanah.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 124
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dalam pada itu, serangannya ini masih dielakkan dengan tubuh


direndahkan sehingga Balgbangadar masih dapat mengerahkan
tangannya seluas-luasnya, hingga dapatlah dibayangkan betapa
hebatnya serangan ulangan ini.
Auwyang Siang Yong baru meletakkan kakinya ditanah ketika
serangan lawan datang. Cepat-cepat mendahului datangnya
serangan musuh kepalanya dilengskkan keatas, kemdian kedua ta
tangan diacungkan keatas kembali tububnya mencelat keatas
dengan ilmu simpanannya sepuluh jari memecah angin.
Cepat sekali, begitu serangan lewat, diatas udara dia
membalikkan rubuh dengan kepala dibawah. Sedangkan tangannya,
dengan kebutannya ia mendesak, mengirim totokan mengancam
batok kepala lawan.
Oleh karena dibalai diserang, maka Balghangadar tak dapat
mengulangi sapuannya untuk ketiga kalinya Sebaliknya ia harus
melindungi dirinya, maka degan cepat luar biasa ia harus melompat
mundur, hingga karma kesempatan ini, sikate she Auwyang itu
dapat turun kembali ketanah dengan aman. Dan keduanyapun telah
berhadapan kembali dalam keadaan terpisah siap melanjutkan
serangan masing-masing.
Sedangkan Balghangadar karena kuatir dirinya akan didesak
lebih jauh, maka iapun memutar pedang bengkoknya. Begitu besar
tenaga putarannya itu menimbulkan angin yang menderu-deru pasir
dan batu-batu tertiup berterbangan menimbulkan rasa ngeri. Hingga
Sin Hong sendiri terpaksa harus cepat-cepat berlindung dibilik
sebuab pohon besar, tanpa terasa pula ia meletkan lidahnya.
Menyaksikan gerakan lawan yang begitu dahsyat, maka
Auwyarg Siang Yong memutar hudtimnya. mencegah dirinya agar
jangan sampat kena didesak.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 125
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Keduanya sama-sama merasa sangsi. Oleh karena itu mereka


segan untuk mengadu senjata. Keduanya sama-sama belum dapat
menduga sampai dimana kesaktian lawan.
Demikianlah pertempuran kedua tokoh sakti itu. silih berganti
saling gempur, gesit lawan gesit, tipu dilawan tipu, tampaknya
mereka seimbang benar.
Suatu ketika Auwyang Siang menarik kembali senjatanya
sambil kaki kanannya mundur untuk kemudian memutarkan tubuh,
hingga dengan demikian ia dapat lansung meneruskan ayunan
hudtitmnya, menyetang kearah betis atau paha lawan.
Untuk menghindarkan diri Balghangadar berkelit kekanan.
Dengan sekali melompat, cepat-cepat ia bergerak menjauh hingga ia
berada dibelakang sebelah kanan lawannya. Tetapi hudtim telah
menyambar terus sebab Auwyang Siang Yong dengan tubuhnya
yang berputar itu ia dapat bergerak leluasa.
Untuk mengelakkan ancaman bahaya itu, Balghangadar dengan
kedua tangan mengenggam senjatanya keras, langsung menangkis
dengan pengerahan tenaga lwerang sebesar-besarnya untuk
membentur senjata lawan. Kecuali itu masih juga ia sempat
melayangkan kaki kanannya untuk menyerang lawan. Begitulah
Balghangadar lelah melakukan dua gerakan secara bersamaan,
menangkis dan menyerarg. Itulah gerakan yang disebut Thay peng-
Thian atau burung garuda pentang sayap.
Auwyang Siang Yong adalah tokoh yang telah berpengalaman
dua puluh tahun, walaupun ia berada dalam ancaman bahaya, tetapi
ia tidak menjadi gugup. Lekas-lekas ia menurunkan senjala
hudtimnya untuk menghindari beturan, dan serempak pula dengan
meneruskan gerakan hudtimnya yang meluncur turun hirgga
ketanah, ia mengerahkan tenaga melalui hudtimnya itu, tubuhnya

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 126
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

meloncat keatas, menghindarkan tendangan kaki sijago dari pulau


sembilan itu.
Namun demikian karena cepatnya gerakan Balghangadar, ujung
hudtim Auwyang Siang Yong toh kena tersampokpedang bengkok,
Tetapi dengan sikap Tui-cung tong-goat atau membuka jendela
memandang rembulan, Auwyang Siang Yong dengan badan masih
terapung diudara, segera mengumpulkan tenaganya ditangan untuk
mempertahankan senjata dttangannya. Maka setelah secepatnya
terjadi benturan, Auwyang Siang Yong melayangkan senjatanya
menggempur batok kepala Balghangadar.
Begitulah penarungan kedua orang ini sama-sama hebat, kuat,
bergantian saling serang dan tangkis secara cepat. Auwyang Siang
Yong bergerak dengan tipu dalam kekalahan mencari kemenangan.
Dikatakan demikian sebab walaupun kedudukan si orarg kate ini
masih berada diatas udara dan terancam bahaya, akan tetapi
serangan hudtimnya dapat merubah keadaan Balghangadar telah
bergerak dengan dua macam gerakan, yaitu tangan dan kakinya.
Akan tetapi ia dibalas serangan. Dengan cepatnya Balghangadar
mengangkat kedua tangannya, pedang bengkoknya tanpa ragu-ragu
digerakkan untuk menangkis hudtim lawan yang mengancam
dirinya.
Lie Sin Hong yang pengalamannya baru beberapa bulan saja
serta baru mempelajari tujuh bagian dari ilmu kepandaian ayahnya,
selama kedua orang itu bertempur dengan hebat dia hanya berdiri
terpaku belaka. Tidak demikian dengan keempat orang yang
walaupun semangatnya telah dibikin runtuh oleh Balghangadar dan
Auwyang Siang Yong, namun didalam kalangan kang ouw
tergolong kelas utama.
Keempat orang ini sangat terkejut melihat keberanian
Balghangadar, sebab itu dapatlah diduga betapa besarnya tenaga
yang lelah dikerahkan Auwyang Siang Yong.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 127
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sebab pukulannya adalah merupakan ayunan dari atas ke


bawah, sedangkan hudtim adalah senjata yang ringan yang dapat
digerakaannya yang sangat mendadak itupun dimaksudkan untuk
mendahului gerakan lawan.
Dalam keadaan begitu terdesak Balghangadar tokoh dari pulau
sembilan itu, ternyata masih sempat memutar otak untuk bertindak
cerdik. Demikianlah, sebaliknya dari memperkokoh kuda-kudanya
untuk menahan gempuran musuh, ia justru memindahkan kedua
kakinya dengan secepatnya menggeser tubuhnya kekiri.
Terdengarlah suara nyaring, dua senjata berlainan bentuk itu
berbenturan dengan sangat kerasnya.
Akibatnya hudtim terpental balik, karena meskipun benar
kedua pihak sama-sama mengerahkan tenaga masing-masing akan
tetapi seperti kita telah mengetahui Balghangadar adalah murid
seorang ahli lwekang.
Dan dengan kesudahan itu, nyatalah bahwa Auwyang Siang
Yong berada pada pihak dibawah angin. Hal ini Sin Hongpun
mengetahuinya.
Tetapi manusia kate itu sangat penasaran, ia menurutkan segala
nafsu hatinya. Ia tidak menyadari bahwa selain dia berdua dengan
lawannya masih ada lima orang lain yang menyaksikan pertarungan
itu dari awal sampat saat ini.
Tanpa memperdulikan tangannya yang tergetar akibat benturan
tadi, ia bernafsu besar untuk melakukan pembalasan, merobohkan
lawannya, agaknya untuk segera dapat mencari sesuatu yang
dipesan oleh pamannya. Dengan menahan sakit pada kedua
tangannya yang terluka itu ia menggenggam keras hudtimnya, lain
dari arah kanan ia bergerak pula. Sambil bergerak, tubuhnya
memutar sedikit lalu memajukan letak kakinya sedikit untuk
mendekati lawan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 128
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dilain pihak. setelah dapat membenturkan pedang bengkoknya


pada senjata lawan, Balghangadar dengan cepat menggeser
tubuhnya kekanan lalu dengan sikap Leeh-ta teng atau ikan tambera
membalikkan tubuh, ia melengak untuk kemudian melompat
berjumpalitan. Secara demikian, maka ia lebih dahulu telah bersiap
sedia untuk dapat melihat seluruh gerakan lawan.
Balghangadar tidak berani memandang ringan pada lawannya
siorang kate itu, walaupun pada babak pertama ia telah berhasil
melukai telapak tangan lawannya itu.
Demikianlah, setelah dapat melihat gerakan Auwyang Siang
Yong, Balghangadar memutar kaki kanannya kekiri setindak hingga
dengan bergerak secara demikian ia telah menjauhkan dirinya dari
lawan sejauh lima kaki.
Walaupun demikan musuhnya dapat bersiap-siap lebih dahulu,
dengan sabetannya Auwyang Siang Yong masih dapat
menyambarkan hudtimnya dengan mengancam pundak lawan.
Kalau serangan itu dapat mengenai lawannya, dapatlah
dipastikan kebinasaan bagi Balghangadar. Sedangkan Balghangadar
sendiri memang menghindar tidak terlalu jauh. Malah berseru, ―Kau
gembrengi aku untuk hak waris yang ditinggalkan oleh nenek
moyangku. Baik, aku akan mengadu jiwa denganmu agar dikubur
bersama ditempat ini‖.
Sambil berseru demikian Balghangadar melintangkan
pedangnya diatas kepalanya, ia tidak menggunakan tenaga besar,
sebab itu hanyalah tangkisan belaka. Melainkan mengiringi hal itu
tenaga lweekangnya disalurkan penuh-penuh kedalam dua telapak
tangannya.
Suara nyaring mengaung bagaikan beradunya sebuah martil
besar menempa besi, akibat bentrokan dahsyat itu. Bunga api
muncrat berhamburan kesana-kemari.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 129
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sekali ini, walaupun dia adalah seorang ahli ginkang dan


memiliki tenaga besar melebihi tenaga orang biasa, Auwyang Siang
Yong tidak sanggup untuk mempertahankan hudtimnya lebih jauh.
Karena baru saja ia menderita luka pada telapak tangan, jadi
kekuatannya hanya ada pada kelima jarinya belaka. Kini ia
tergempur pula, hingga tidak ampun lagi senjatanya terlepas dari
genggaman, dan senjatanya jatuh terbanting berkelontrangan.
Dengan muka pucat pias menahan malu, Auwyang Siang Yong
berdiri tertegun. Kemudian wajahnya berubah merah padam
kembali, tangannyapun masih dirasakan nyeri bukan alang
kepalang. Sambil memutar tubuh ia berseru :
―Balghangadar!‖ katanya. ―Untuk sepuluh tahun aku menuntut
ilmu dibawah pengawasan pamanku. Dan telah dua puluh tahun aku
berkelana dikalangan kang-ouw, aku belum pernah bertemu
tanding, tetapi tidak disangka dalam perjalananku ini ke tanah barat
untuk mencari lukisan-luksian aku berbentrok denganmu. Dasar
mungkin bukan jodohku, aku urungkan saja niatku untuk memiliki
lukisan-lukisan itu, karena hari ini aku telah dapat kau robohkan,
maka kuanggap hal ini, disebabkan kebisaanku yang belum
sempurna. Akan tetapi dalam hal ini, kuharap dengan sangat agar
pada kesempatan sepuluh tahun yang akan datang, kau sudi
mengunjungi daerah sebelah utara sungai besar untuk
memperebutkan gelar jago kelas satu bagi seluruh daratan
Tiongkok. Haruslah kau ketahui, bahwa pada hari itu nanti akan
datang Alilah, Telumuju shin dari Mongol, kedua naga Sucoan
Utara dan Selatan yaitu Liong-kang hiap Ciu Cin Lie dan Cu Giok
Liong Cek Thoa Thong serta sipemillk pulau Tho Liuto Shia hiap
Gouw Bian Tie, bahkan mungkin masih banyak lainnya lagi. Pada
hari itu pula aku akan mencoba kehebatan pedang bengkokmu. Nah,
sampai ketemu lagi''.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 130
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Manusia kate itu terus merangkapkan kedua tangannya kepada


lawanya itu untuk kemudian memberi hormat setelah itu ia
berpaling kearah Lie Sin Hong, untuk kemudian berseru:
―Anak muda, maafkan aku kalau tadi aku telah menuduhmu
yang bukan-bukan‘‘.
―Tetapi kepandaianmu tadi sungguh mengagumkan. Tidak
pernah kusangka bahwa didunia ini ada orang yang masih semuda
kau dapat memiliki kepandaian demikian tingginya. Maka
pergiatlah latihanmu, dan dinanti juga kuharap kedatanganmu di
sebelah utata sungai besar, sepuluh tahun bukanlah waktu yang
pendek!‖
Setelah berkata demikian, kembali ia berpaling pula kearah
empat orang lainnya, untuk memberikan undangannya pula.
Setelah itu segera manusia kate itu memutar tubuhnya untuk
bertindak keluar, meninggalkan daerah pegunungan itu, dan dalam
sekejap iapun telah menghilang dibalik pohon-pohon yang rindang.
Sedangkan Balghangadar setelah kepergian manusia kate itu, segera
melangkah menghampiri Sin Hong.
―Anak muda! Siapa namamu?‖ Tanyanya.
―Sin Hong, she Lie‖, pemuda itu menjawab sambil
merangkapkan tangannya memberi hormat. Sementara itu, keempat
orang yang telah menjadi kuncup semangat itu kini menghampiri
Lie Sin Hong dan Balghangadar. Ternyata mereka adalah orang-
orang yang mempunyai maksud yang sama dengan Auwyang Siang
Yong.
Mereka adalah Tok gan (si Mata Tunggal) Gouw Ceng dari Bie
Bie Ciu, Gin-piauw (si piauw perak) Giok Seng Toan seorang ahli
menggunakan senjata rahasia dari Siuciu. Sedang dua orang lainnya
adalah dua saudara Sin eng (si Garuda Sakti) Kin Bian Liu dan Kim

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 131
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pian (pian emas) Kian Bian Eng dari Tin pa. Mereka adalah ahli-
ahli kangouw yang usianya sudah hampir mencapai limapuluhan.
Sedang kepandaiannyapun sudah boleh dikatakan tinggi.
Keempat orarg ini setelah mengucapkan selamat berpisah,
segera mengambil jurusannya masing-masing, meninggalkan
tempat itu.
―Lo jin-kee, untuk urusan apakah sehingga kau bertempur
melawan si manusia kate tadi !‖ tanya Sin Hong yang jadi
bersimpati kepada orang asing berpedang bengkok itu. ―Apakah
yang dimaksudkan dengan lukisan-lukisan itu?‖
―Sin Hong‖ jawab Balghangadar yang langsung menyebut
nama pemuda itu. ―Disini bukanlah tempat yang baik untuk
berbicara. Apakah kau mempunyai rumah disekitar ini, atau barang
kali kau hanya seorang pelancong saja?‖
Sio Hong menggelengkan kepalanya.
―Aku tidak mempunyai rumah disekitar ini juga bukanlah
seorang pelancong.‖
―Habis, mengapa kau berada ditempat ini?‖ Balghangadar
berkata memotong, yang menjadi heran karenanya.
―Aku datang kemari bukan hanya sendirian tetapi berdua‖.
―Berdua? Ditama dia sekarang yang seorang lagi?‖
―Dia hilang entah kemana‖ sahut Sin Hong sambil
menundukkan kepalanya ―Dua hari yang lalu aku berdua menaiki
pegunungan ini. Tiba-tiba kami disergap oleh segerombolan
beruang. Seorang diri setelah aku berhasil menyingkirkan seorang
temanku itu, aku bersihkan binatang-binatang pegunungan itu,
kecuali beberapa ekor yang melarikan diri. Segera akupun
menghampiri gua di mana temanku tadi kusingkirkan, tetapi

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 132
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kemudian aku menjadi kaget sekali ketika ternyata di luar maupun


didalam gua tidak kutemukan dia lagi. Karena penasaran, segera
aku mencari hingga ditempat ini sampai aku terlibat dalam
pertempuran dengan kedua orang Ceng- hong-pay dan orang asing
itu !‖
Menerangkan sampai disini, barulah Sin Hong sadar bahwa ia
telah beberapa saat melupakan Siu Lian.
―Kasihan‖ orang pulau sembilan itu menggumam seorang diri
―Siapakah nama temanmu itu?‖
―Dia seorang gadis bernama An Siu Lian‖ jawab Sin Hong
tanpa tedeng aling-aling.
―Lantas untuk apakah kalian mendaki tanah pegunungan ini?‖
Balghangadar tertawa kecil. ―Apakah kalian penganten baru yang
sedang berbulan madu?‖
―Tidak!‖ sahut Sin Hong agak tersinggung.
―Kami datang kemari untuk meyakinkan ilmu silat yang telah
kami miliki‖, Sin Hong menyambung bicaranya.
―Oh, maaf‖ Balghangadar tersinggung. ―Aku telah salah
sangka‖.
―Lo-jin-kee‖, seru Sin Hong kemudian tanpa menghiraukan
sikap orang asing itu. ―Biarlah aku permisi dulu sebentar, nanti aku
kembali kemari pula mendapatkanmu. Aku hendak mencari
kawanku itu‖.
Lalu tanpa menunggu jawaban iapun meninggalkannya. Tetapi
baru saja ia berlari-lari belum berapa jauhnya, tiba-tiba
Balghangadar berseru
―Sin Hong! Tunggu! Bolehkah aku membantumu?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 133
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mendengar seruan itu Sin Hong berhenti sebentar dan berpikir.


Lalu tampak ia memanggutkan kepalanya ‘‘Baiklah!‖ katanya.
Selanjutnya dengan dikawani oleh orang asing yang baik hati
itu, Sin Hong menjelajahi separuh dari pegunungan Than ala-aan.
Namun sampai hari menjadi sore, mereka belum juga memperoleh
hasil. Seorangpun tidak pernah dijumpai oleh mereka.
―Siu Lian ! Siu Lian !‖ Sin Hong berteriak-teriak seperti orang
kalap. ―Siu Lian !‖
Namun walau bagaimanapun meski sampai kering
tenggorokannya, tetapi Sin Hong tidak memperoleh hasil, hingga
akhirnya karena sedih dan cemasnya Sin Hong menangis
menggerung-gerung hampir ia putus asa dan membenturkan
kepalanya pada sebatang pohon.
―Sin Hong‖, Balghangadar berusaha menghibur‖. ―Sudahlah,
jangan terlalu disedihkan. Kau toh laki-laki, sedangkan mati
hidupnya kawanmu itu belum ketahuan, untuk apa membunuh diri.
Bagaimana kalau nanti kenyataan dia masih hidup sedangkan kau
telah mati membunuh diri? Apakah perbuatanmu itu tidak akan
menjadi bahan tertawaan belaka? Maka lebih baik marilah ikut aku.
Nanti akan kuterangkan tentang suatu benda yang luarbiasa !‖
―Barang apakah itu?‖ Tanya Sin Hong. Hatinya sudah agak
terhibur oleh kata-kata Balghangadar yang ternyata memang ada
benarnya juga. Sebab tokh sakit hatinya belum terbalas.
―Bukan disini tempanya untuk berbicara. Mari ikut aku‖, sahut
Balghangadar.
Maka sesaat kemudian tampak kedua orang itu berlarian
menuruni gunung Than-ala-san. Seperti dengan sengaja
Balghangadar berlari dengan cara memberi Sin Hong tak mampu
melewati, hingga akan sia-sia saja apabila Sin Hong mengempos

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 134
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

semangatnya untuk mempercepat larinya supaya dapat menyandak


orang asing dari pulau sembilan itu.
Sesudah hari malam, sampailah kedua orang itu ke kaki
gunung. ―Lo-jin-ke, kemana saya hendak kau bawa?‖ tanya Sin
Hong. Pertanyaan Sin Hong tersebut tidak memperoleh jawaban.
Bahkan Balghanradar terus membawanya berlari-lari memasuki
sebuah kampung, dimana lantas muncul belasan ekor anjing yang
menyambut mereka dengan gonggongannya yang riuh. Beberapa
orang chunteng itu tampak keluar rumah.
―Siapa?‖ Chunteng itu menegur dengan nada tidak senang.
―Mengapa memasuki kampung orang dengan berlarian, membuat
kegaduhan?‖ Tegur chunteng yang lain.
―Aku, Balghangadar dari pulau sembilan !‖ sahut Balghangadar
dengan tegar.
Setelah mendengar jawaban orang asing ini segera sikap para
chunteng itu berubah manis dan penuh hormat. Bahkan seorang
diantara mereka berkata : ―Oh, kiranya tuan Balghangadar. Sungguh
tidak kami kira — ‘‘
Beberapa Chungteng itu lantas maju memberi hormat. Dua
diantaranya masuk kedalam rumah, untuk melaporkan kepada
majikan mereka akan kedatangan tamu yang agaknya telah mereka
kenal baik itu. Yang seorang lagi mengusir anjing-anjing yang tadi
menggonggong, sedangkan yang lain lagi mengajak kedua tamu itu
untuk masuk.
Didepan sebuah rumah besar, tampak dua orang tuan rumah
yang datang menyambut. Dan Balghangadar sendiri juga sangat
hormat kepada kedua tuan rumah itu.
―Inilah kawanku‖ kata Balghangadar memperkenalkan tuan
rumah kepada Sin Hong. Siu Hong pun memberikan hormatnya

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 135
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

selanutnya tuan rumah memimpin mereka untuk memasuki ruang


tamu.
Kedua tuan rumah, usianya kurang lebih telah mencapai empat
puluh tahun lebih. Yang seorang mukanya panjang kurus, matanya
sipit, sedangkan yang seorang lagi mempunyai muka yang hitam
dan gemuk. Dengan matanya yang bundar dan kulit muka yang
sangat hitam, cambang bauknya kembrongsan kaku seperti kawat.
Dia bertubuh kate kekar sebagai seorang yang mengerti ilmu silat.
―Kedua chuncu itu adalah paman dan keponakanku‖. kata
Balghangadar mengenalkan tuan rumah kepada kawan barunya. ―Ini
Kim-say Uy Ban Lip dan itu Ui Hong Can. Kedua-duanya sangat
termashur didaerah Thibet ini‖.
Sin Hong berlaku hormat kepada kedua tuan rumah itu. Dan
diam-diam ia juga kagum kepada kawan barunya yang ternyata juga
mempunyai pergaulan yang sangat luas. Sedangkan sebaliknya
kedua tuan rumah itupun sangat tertarik pada tamunya yang muda
itu. Mereka bertanya kepada Bilghangadar sejak kapan ia
mempunyai sahabat muda itu, dan mengapa mereta belum pernah
mendengar hal itu.
―Sebenarnya dia bukanlah kawan karibku‖, sabut Balghangadar
menerangkan. ―Aku baru mengenalnya tadi, Aku menyukai pada
cita-citanya yang tinggi‖.
Balghangadar tidak melanjutkan kata-katanya, tetapi sambil
melirik dan tertawa kearah Sin Hong, ia berkata pula :
―Sekarang tolong sediakan barang hidangan, Aku sudah sangat
lapar, sebentar kita akan bicirakan hal ini perlahan-lahan‖.
Ui Bian Liep lantas menyuruh pembantu-pembantunya untuk
segera menyiapkan barang makanan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 136
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Paman dan keponakan itu menyuguhi Balghangadar dengan


arak wangi, akan tetapi tamu ini tidak menyukai minuman itu, maka
ia menolaknya. Demikian pula dengan Sin Hong yang sejak kecil
tidak dibiasakan minum-minuman keras. Ia juga tidak turut minum.
―Ah, siauwte, kau minumlah!‖ kata Ui Hong Gan
mempersilahkan tamu mudanya, ―Diantara kita janganlah malu-
malu!‖.
―Terima kasih‖, Sin Hong menampik sambil bangkit
menghormat, ―Sesungguhnyalah aku belum pernah minum arak.‖
Hong Gan telah mengangkat cawannya, maka ia jadi minum
sendiri.
Sementara itu, Balghangadar bercerita. bagaimana tadi kawan
mudanya itu telah membuat pertahanan Tan Cian Po suami isteri
kocar kacir, serta membuat Kana Gamalye harus berkelahi mati-
matian menguras tenaga, untuk menghadapi Sin Hong.
Mendengar cerita itu tidak henti-hentinya paman dan
keponakan itu memuji Sin Hong, kemudian tuan rumah itu dibuat
makin tak henti-hentinya memberikan pujian ketika Balghangadar
bercerita tentang bagaimana ia telah mengalahkan keponakan
Auwyang Keng Liak setelah bertarung setengah harian.
Iapun menceritakan pula bahwa Auwyang Siang Yong telah
menantang untuk mengadakan piebhu lagi, nanti sepuluh tahun
yang akan datang. Dalam hal ini paman dan keponakan itu bersedia
untuk memberikan bantuan.
―Setelah mengarungi lautan luas selama delapan hari, pada kira
tujuh hari yang lalu aku mendarat didataran Tionggoan ini.
Demikianlah atas perintah guruku, aku langsung pergi ke daerah
Thibet untuk mendaki gunung Than-ala- san untuk menyerapi dan
kalau mungkin membawa pulang sebuah patung emas yang menurut

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 137
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

keterangan guruku adalah merupakan peninggalan diri seorang


pendiri ilmu silat pedang negeriku. Siapa sangka, salah paham telah
terjadi dengan Auwyang Siang Yong, hingga pertarunganpun tak
dapat dihindarkan lagi !‖
Balghangadar berbicara dengan penuh semangat, sebaliknya
kedua tuan rumah itu menjadi sangat terkejut dan heran.
―Balghangadar loosu‖, kata Hong Gan- ―Kau datang kedaratan
Tionggoan ini untuk keperluan sebuah patung emas?‖
Balghangadar menganggukkan kepala membenarkan.
―Patung emas apakah itu?Aku belum pernah mendengarnya‖,
tanya Ban Liep.
―Dan salah paham bagaimana itu, loo- jinke?‖ Sin Hongpun
ikut menimbrung.
―Marilah kalian dengarkan perihal riwayat patung emas itu,
akan kuceritakan pada kalian dengan sejelas-jelasnya agar sesudah
kalian mengetahuinya, kalian dapat mewakili aku untuk
menghindarkan salah paham, karena pada saat ini dalam dunia
kang-ouw sedang terjadi sengketa besar mengenai perebutan sebuah
tempat yang ditinggalkan oleh seseorang yang luar biasa. Mengenai
hal ini dapat kau minta keterangan kepada Susiokmu!‖ sambil
berkata demikianlah Balghangadar menunjuk kearah Ban Liep.
―Menurut cerita guruku. Tsuzumi Agakura‖, Balghangadar
memulai ceritanya.
―Pada kira-kira dua ratus tahun yang lalu, pada hari ulang tahun
rajaku, beliau telah mendapat hadiah sebuah benda yang seluruhnya
terbuat dari emas murni. Benda itu berbentuk sebuah patung. Yang
memberikannya adalah seorang cianpwe kami yang telah berbasil
menciptatan ilmu silat yang kini dianut dinegeri kami. Ketika itu
raja kami yang telah berusia lanjut itu tidak mengetahui faedah dan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 138
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

rahasia apakah yang terkandung dibalik keelokan patung emas


itu……….‖
―Apakah yang lo-jinke maksudkah adalah patung emas yang
membuat kau menyeberangi lautan luas itu !‖ tanya Sin Hong,
―Benar'‘ Balghangadar mengangguk,
―Akhirnya patung itupun terjatuh ke tangan putera raja, yang
ketika itu menggantikan ayahandanya. Raja muda ini sangat
menyukai patung itu‖, Balghangadar meneguk air tehnya, kemudian
melanjutkah pula.
―Justru pada tahun keempat setelah putera kaisar itu menaiki
tahta, maka cianpwe yang menghadiahkan patung emas itu
meninggal dunia karena usianya yang sudah tua. Siapa duga
beberapa tahun kemudian salah seorang muridnya menyebarkan
berita bahwa dibalik patung emas itu terdapat tanda-tanda rahasia
mengenai adanya suatu tempat, dimana tempat itu terdapat sesuatu
yang luar biasa sekali. Dengan segera seluruh negeri kami jadi
gempar, terutama para pahlawan-pahlawannya. Mereka masing-
masing menggunakan kepandaiannya untuk memasuki istana kaisar.
Hingga akhirnya walaupun penjagaan disitu sangat kuat, tidak
urung dari penyimpanannya, patung emas itu lenyap tanpa
meninggalkan bekas‖
―Kemana hilangnya loosu?‖ tanya Ban Liep.
―Tidak ada yang tahu, sampai dua ratus tahun kemudian,
guruku memperoleh keterangan bahwa patung itu terdapat dideerah
Thibet ini, didaerah pegunungan Than-ala san sini‖.
Dalam berita ini, Balghangadar menunjukkan sikapnya yang
tidak menyembunyikan suatu apa. Kedua tuan rumah itu menjadi
sangat tertarik sekali. Tidak terkecuali juga Sin Hong.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 139
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Balghangadar loosu‖, kata Hong Gan. ―Kau pergi hanya


seorang diri, apakah tidak ke sepian?‖
―Kalau aku membawa kawan, aku kuatir akan terjadi bentrokan
dikalangan kami sendiri‖, sahut orang pulau sembilan itu
menjelaskan.
―Dan kukira, pastilah sudah ada orang-orang dari pulau kami
yang telah datang mendahului aku‖, sambungnya, dengan penuh
semangat.
―Aku percaya, Balghangadar loosu yang akan berhasil‖, kata
Ban Liep. ―Auwyang Keng Liak sudah tua, sedangkan
keponakannya telah dapat kau kalahkan. Lalu pula, bukankah segala
jagoan-jagoan pulaumu ada dibawah kepandaian gurumu?‖
―Tapi aku tidak memandang rendah pada ketuaan Auwyang
Keng Liak‖ sahut Balgbangadar
―Memang aku tak usah kuatir kepada segala jagoan negeriku‖,
sambungnya. ―Tapi aku dengar kecuali Auwyang Siang Yong,
dalam hal perebutan peninggalan yang cianpwe kalian tinggalkan.
Butong-pai, Kongtong-pai serta Ceng-hong-pai ikut campur
tangan‖.
Mendengar cerita sampai disini, Sin Hong menundukkan
kepalanya. Mendengar orang menyebut-nyebut nama Ceng-hong-
pai, ia jadi teringat pada Siu Lian yang lenyap entah kemana. Dan
lebih-lebih ia menjadi sangat geram bila ia teringat kematian
ayahnya. Ia ingin segera berpamitan pada tuan rumah untuk
kemudian meyakinkan segala lukisan-lukisan yang mengandung
rahasia ilmu silat yang luar biasa itu, untuk dapat dengan segera
membalaskan sakit hati keluarganya.
―Sesudah beberapa puluh tahun kita berpisah, baru sekarang
kita dapat bertemu lagi. Malah dalam kunjunganmu malam ini,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 140
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Balghangadar loosu membawa seorang kawan cilik‖ kata Ban Liep


sambil tertawa. ―Saudara muda she Lie ini sudah mempunyai
kepandaian yang luar biasa, aku yakin dikemudian hari dia akan
termashur. Eh. adik Lie, siapakah gurumu?‖
Mendapatkan pertanyaan itu, Sin Hong tidak memberikan
jawaban, kecuali menundukkan mukanya belaka. Hingga
selanjutnya Ban Liep tidak bertanya lebih lanjut, bahkan
memindahkan pokok pembicaraan.
―Balghangadar losu, sejak sepuluh tahun yang lalu, kau tidak
pernah datang-datang pula kemari hingga tidak mengetahui kalau
aku oleh Tuhan yang Maha Pengasih telah dikaruniai seorang
puteri. Tentu loosu belum melihat dia — Bawalah adikmu kemari !‖
Ban Liep menyuruh Hong Gan. Dan sang keponakan segera
mengundurkan diri.
Sin Hong juga ingin melihat roman gadit chungcu itu untuk
dibandingkan dengan Siu Liannya.
Lekas sekali Hong Gan keluar. Dan bersamanya keluar pula
seorang gadis kecil, pakaiannya mewah sekali, sedang wajahnya
walaupun masih kanak-kanak telah kelihatan cantik sekali,
berbentuk daun sirih, rambutnya dikuncir menjadi dua cabang.
―Mari beri hormat kepada Siok-hu-mu!‖ kata Ban Liep pada
puterinya ―Bukaatah kau ingin dapatkan pelajaran yang istimewa?
Untuk itu, tak dapat tidak kau harus angkat Siok-hu-mu ini sebagai
guru !‖
Bocah itu memberi hormat, kemudian ayahnya menyuruh pula
memberi hormat kepada Sin Hong akan tetapi anak itu diam saja.
Malahan dia menjebikan bibirnya sambil mengawasi tamu cilik itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 141
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ban Liep kuatir kawan tamunya itu tersinggung. Cepat-cepat ia


berkata : ―Adikmu ini sangat nakal, hal itu disebabkan dia belum
pernah keluar rumah. Harap kau tidak kecil hati‖.
Sin Hong tertawa, ia tidak berkata suatu apa.
―Siapa nama putrimu ini? Hm, kelak kecantikannya tentu akan
membuat geger‖, Balghangadar memuji sambil tertawa. ―Apakah
kau sudah mengajarkan ilmu silat kepadanya? Kulihat dia ada
mempunyai bakat untuk itu.‖
―Dia kunamai Bong Ia. Memang seperti kau katakan dia
mempunyai bakat yang luar biasa. Otaknya sangat cerdas‖, kata Ban
Liep menerangkan ―Apa saja yaog kuterangkan sudah cukup, dan
aku telah mendidiknya sejak ia berusia enam tahun ―
―Hanya anehnya, entah dia tiru siapa, anak ku ini menyukai
warna merah. Dalam setahun tidak sekalipun ia pernah memakai
baju yang berwarna lain‖, Ban Liep menambahi keterangannya.
―Hebat ! Hebat sekal !‘' puji Balghangadar ―Mudah-mudahan
nanti sepuluh tahun yang akan datang didunia kang-ouw akan
muncul seorang dara berbaju merah…..‖ Dan Balghangadar
tertawa-tawa gembira.
―Hanya sayangnya, pelajaran silat kaumku adalah pelajaran
yang membutuhkan tenaga besar luar biasa, sedangkan anakmu ini
adalah seorang seorang gadis, kurang cocok kalau dia aku angkat
sebagai murid.‖, Balghangadar masih menyambung pembicaraan-
nya.
―Maka lebih baik jika dia kau bawa pada salah seorang naga
dari Secuan. Kudengar Liong kang hiap Ciu Cin Lie dan Cu giok
liong Chek Thoa Thong adalah dua orang murid utama dari Butong-
pai dan Kunlun-pai yang telah bertukar pikiran. Dan kedua orang itu
terkenal ilmu silat menotok jalan darahnya yang disebut Sip-cie-hiat

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 142
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

atau ilmu menotok jalan darah sepuluh jari, sedangkan ilmu itu
tidak sembarang orang dapat meyakinkan……‖
Ban Liep diam, berpikir.
―Baik, terima kasih banyak atas petunjukmu. Aku akan
kirimkan dia pada orang-orang tua itu untuk belajar lebih jauh.‖
katanya. ―Sebab kalau dia tetap ikut aku, dia takkan mendapat
kemajuan.‖
―Kau pandai merendahkan diri‖, kata Balghangadar sambil
tertawa. Ban Liep pun ikut tertawa pula, Ia menyuruh anaknya
duduk bersama.
―Lip-heng‖, tiba-tiba Balghangadar memulai pembicaraannya
yang terhenti. ―Kuharap kerelaanmu menceritakan sebab musabnya
hingga terjadinya pertikaian mengenai perebutan tempat rahasia itu,
yang sampai-sampai para locianpwe ikut turun tangan.‖
―Hmm, apakah hal itu Balgha loosu belum mengetahuinya?‖
kata Ban Liep seraya meneguk arak.
―Tahu sih tahu, akan tetapi aku baru tahu sekedar kulitnya
saja‖, Balghangadar menjelaskan.
Sementara itu, Hong Gan telah menyuruh para pembantu
menukar hidangan yang sudah mulai dingin itu dengan hidangan-
hidangan yang masih hangat.
―Sebagaimana loosu yang tentunya juga sudah mengetahui‖,
demikianlah Ban Liep yang memulai ceritanya.
―Pada kira-kira dua puluh tahun yang lalu, dunia kang ouw
telah digemparkan oleh adanya sebilah pedang yang ditinggalkan
oleh seorang cianpwe yang kepandaiannya tidak duanya dikolong
langit ini. Ketika itu banyak sekali orang-orang gagah yang
mempertaruhkan jiwanya untuk memperebutkan pedang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 143
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

peninggalan itu, hingga sampai-sampai Auwyang Keng Liak dan


salah seorang naga Secuan ikut pula ambil bagian. Kau tahu Balgha
loosu, apakah keistimewaan pedang itu hingga demikian hebatnya
diperebutkan oleh orang-orang berilmu tirggi?‖
―Ah Liep heng ada-ada saja‖, kata Balghangadar sambil tertawa
Aku toh seorang penduduk pulau sembilan, bagaimana kau
tanyakan hal itu kepadaku?‖
―Balghangadar loosu tidak mengetahui, tidak menjadi apa.
Kuharap kau tidak berkecil hati, maafkan pamanku‖ Hong Gan
menyeletuk.
―Mengenai keistimewaannya‖ Ban Liep melanjutkan, ―pada
pedang itu kata orang diseluruh badannya terdapat ukir-ukiran yang
melukiskan gerakan-gerakan ilmu silat yang diciptakan seorang
yang luar biasa yang meninggalkan pedang itu….‘‘
―Begitu bebatnya?'' Sin Hong menyeletuk saking kagumnya.
―Siapa nama orang yang luar biasa itu?‖ tanya Balghangadar
tidak kurang pula kagumnya sambil tak lupa memasukkan sepotong
bakpau ke dalam mulutnya.
Ban Liep menggoyangkan kepala, lalu berkata :
―Sebegitu jauh semua lapisan orang-orang kaog-ouw berkeras
memperebutkan pedang pusaka itu tidak seorangpun yang pernah
tahu siapakah orangnya yang ilmu kepadaiannya sangat tinggi itu.
Hanya menurut kabar angin, dia adalah seseorang yang telah
berhasil menciptakan ilmu silat gubahan sendiri………‖
―Ilmu silat apakah namanya itu?‖ tanya Balghangadar dan Sin
Hong hampir serempak.
―Dinamakan ilmu ciptaannya itu, dari partai Angin Sakti atau
Sin-hong-pai‖.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 144
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Nama yang luar biasa sekali‖, Balghangadar menggumam


seorang diri memuji ―Tentulah ilmu silatnya juga luar biasa sekali‖.
―Yah, begitulah anggapan kami dan semua orang-orang gagah
kalangan kang-ouw zaman itu. Hanya, saja………‖
―Hanya bagaimana saudara Ban?‖ tanya Sin Hong cepat.
―Hanya sayang, akhirnya pedang pusaka itu kemudian akhir
akhirnya terjatuh ke tangan seorang ahli Yoga bangsa India. Aku
ingat benar ketika itu Auwyang Keng Liak dan lain-lainnya tengah
hebat bertempur satu sama lain hingga berkali-kali benda puaaka itu
berpindah tangan. Sampai akhirnya benda pusaka itu terjatuh
ketangan seoang India yang bernama Hek Mabie…….‖
―Jadi Auwyarg Keng Liak jatuh ditangan orang India itu?‖
tanya Balghangadar.
Kembali Bian Liep menggelengkan kepalanya. Diwajabnya
terlukis sikap sangat menyesal.
―Pada waktu itu, walaupun Auwyang Keng Liak belum sah
memegang gelar ahli silat kelas utama, tetapi kepandaiannya sangat
luar biaia. Jangankan baru seorang Hek Mabie, meskipun sepuluh
belumlah tentu dapat menandingi‖ cerita sampai disini Bian Liep
berhenti sejenak untuk memasukkan sepotong kue phia kedalam
mulutnya Kemudian dengan mulut menguyah, dan penuh semangat
ia melanjutkan penuturannya.
―Balgha loosu, Auwyang Keng Liak maupun beberapa orang
gagah dari daratan Tioaggoan ini bukanlah dikalahkan oleh ahli
Yoga itu, melainkaa mereka telah kena tipu yang licin sekali.
Celakanya sampai sekarang ini tidak seorangpun yang mengetahui
bagaimana orang India she Hek itu menjalankan penipuannya.‖
―Apakah para orang gagah di negerimu ini lantas diam saja?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 145
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mendengar pertanyaan Balghangadar itu kembali Ban Liep


menggoyangkan kepalanya.
―Untuk waktu lima tahunan kami semua berusaha mencari
orang India tersebut. Hingga akhirnya setelah berpayah-payah tidak
memperoleh hasil kamipun menjadi putus asa. Hingga diantara
kami orang-orang kang-ouw banyak yang beranggapan bahwa Hek
Mahie tentu tengah mempelajari rahasia-rahasia ilmu silat yang
terdapat dalam badan pedang itu, sambil menyembunyikan diri !‖
Untuk menyelingi ceritanya Ban Uiep kembali mengambil
sepotong kue dan memasukkannya kemulut.
―Namun setahun kemudian setelah lima tahun lamanya kami
bersusah payah tanpa hasil, tersiarlah kabar angin yang berasal dari
Thibet ini, bahwa katanya pedang itu bukanlah terdapat lukisan-
lukisan pelajaran ilmu silat, melainkan disitu terdapat lukisan-
lukisan yang berupa tulisan yang menerangkan bahwa katanya pada
gunung Than-ala-san ini terdapat entah kitab entah tempat
pertapaan yang didalamnya terkandung suatu rahasia ilmu silat,
sehingga beberapa tahun kemudian dunia kembali telah
digemparkan oleh berkecamuknya pertempuran yang satu sama lain
saling bunuh. Dan dalam hal ini orang-orang gagah dari angkatan
tuapun tidak mau ketinggalan.‖
―Liep heng‖ kata Balghangadar memotong pembicaraan. ―Kau
katakan tadi para orang gagap telah saling bunuh?‖
Bian Liep menganggutkan kepala.
―Apakah diantara orang gagah itu sudah ada yang
menemukannya?‖ tanya orang pulau sembilan itu pula.
―Balghangadar loosu, pertanyaanmu ini beralasan juga‖, kata
Bian Liep. ―Tetapi menurut kabar yang kami dengar hingga kini,
belum ada seorangpun yang pernah mendapatkannya. Hanya cerita-

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 146
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

cerita mengaitkan bahwa tempat rahasia itu berada di puncak


gunung Than ini menjadi semakin samar, hingga pada tahun yang
lalu pernah terjadi pada kira-kira jarak dua ratus lie dari rumahku ini
terjadi suatu perkelahian hebat yang meminta korban kira-kira
delapan atau sembilan puluh orang gagah…..‖ demikianlah Bian
Liep mengakhiri ceritanya.
―Liep heng, siapakah diantara orang-orang gagah itu kecuali
Auwyang Siang Yong dari tingkatan tua lainnya yang juga turut
terjun kedalam kancah sengketa itu?‖ tanya Balghangadar.
―Menurut apa yang berdua kami pernah dengar, kecuali
keponakan Auwyang Keng Liak, katanya salah seorang Naga
Sucoan dan salah seorang murid Hek Mahie juga turut turun tnogan.
Dan kabarnya murid Hek Mahie yang telah turut ambil bagian itu
adalah seolang Turki yang memiliki Ilmu Kepandaian sangat
tinggi‖,
―Dan dalam urusan ini, aku yang mempunyai persoalan sendiri
ikut dicurigai oleh Auwyang Siang Yong, hingga ditantang untuk
mengunjungi daerahnya nanti pada sepuluh tahun yang akan
datang‖, kata Balghangadar pula sambil tertawa.
Blan Liep tertawa pula, tidak lupa ditelannya sepotong bakpau.
dan memakannya dengan lahap.
Setelah selesai bersantap dan bercerita tuan rumah perintahkan
pembantunya untuk menyediakan sebuah kamar bagi kedua tamu
itu.
Keesokan paginya tuan rumah beserta anak memberikan
ucapan selamat jalan bagi tamunya yang hendak meninggalkan
tempat bermalam itu.
Sementara itu, sesudah meninggalkan rumah kira-kira sepuluh
lie jauhnya Balghangadar dan Sin Hong pun berpisahan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 147
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Anak Sin Hor.g‖, kata Balghangadar sebelum keduanya saling


mengucapkan selamat berpisah. ―Kuharap kau benar-benar
mewujudkan cita citamu. Dan nanti kalau kau telah menjadi seorang
dewasa, datanglah kepulauku untuk nanti kuuji kepandaianmu
dengan muridku Sun Siauwji.‖
Lie Sin Hong tertawa. Dia menganggukkan kepalanya,
kemudian tubuhnva berpaling kekanan. Sesaat kemudian diapun
sudah berada di lereng gunung yang menuju ke puncak.
Sedangkan Balghangadar melangkah kearah barat, ke Thibet.
untuk melanjutkan usahanya mencari patung emas, yang mana
beberapa tahun kemudian setelah melakukan beberapa pertempuran
dimana ia harus mempertaruhkan jiwanya melawan orang-orang
yang berada di pulaunya sendiri, akhinya iapun berhasil membawa
pulang patung emas itu untuk kemudian diserahkan kepada
gurunya.

****

LIE SIN HONG setelah melakukan pula pendakian beberapa


lama, iapun beberapa saat kemudian telah tiba di puncak Than-ala-
san.
Disepanjang jalan, diatas puncak gunung yang banyak
ditumbuhi pohon cemara itu tidak sesaatpun pikirannya melupakan
An Siu Lian. Hingsa akhirnya, karena rasa rindunya, dia merasa
seolah- olah disekelilingnya dibalik pohon-pohon cemara ia melihat
An Siu Lian sedang menyembunyikan diri. Hingga akhirnya seperti
orang gila, ia menghampiri dan memeriksa setiap pohon cemara, itu
yang tentu saja tidak memberikan hasil suatu apa.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 148
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ketika itu haripun telah naik tinggi, Matahari tepat berada


diatas kepala. Berjam-jam sudah Sin Hong menjelajahi setiap
penjuru hutan. Hingga akhirnya ia memasuki setiap lubang gua,
memeriksanya, sampat hari lobor, barulah ia tersadar bahwa sejak
pagi buta ia belum mengisi perutnya sama sekali.
Sesaat ia teringat atan hal itu maka perutnya jadi keruyukan
minta diisi.
Lie Sin Hong segera menghampiri sebatang pohon. Lalu
dengan golok kecilnya ia membacok. Namun ketika bacokannya
tepat mengenai batang pohon itu, tiba-tiba ia merasakan telapak
tangannya kesakitan, hingga ngilu sampai juga ke tulang
belulangnya.
Sebentar kemudian dengan menahan sakit, kembali tangannya
diayunkan dengan tenaga dua tali lebih besar dari bacokan yang
pertama. Namun kembali ia dibuat kesakitan karenanya. Malahan
kali ini ia merasakan otaknya seakan tergetar. Sedangkan pohon
cemara itu sedikitpun tidak bergeming.
Sin Hong merasa dibikin penasaran oleh ketangguan pohon itu.
Hatinya matin panas. Diayunkannya pula goloknya satu, dua, tiga,
empat kali hingga peluhnya berbutir-butir membasahi mukanya,
sedangkan giginya menahan sakit. Tekun juga ia membacok, lima
kali, enam kali, tujuh delapan. Tetapi pohon itu sedikitpun tidak
lecet, atau menampakkan bekas kacokan.
Sampai pada bacokan yang kesebelas. Sin Hong tak tahan lagi.
Terlalu banyak tenaga yang dihamburkannya, akhirnya ia terjatuh
pingsan di bawah pohon cemara itu yang puncaknya meliuk-liuk
seakan menari-nari mengejek kepada si-pemuda.
Setelah beberapa lama iapun telah sadar kembali. Terbayang
dimatanya, bagaimana orang dari pulau sembilan itu, dengan hanya
tenaga sambarannya saja telah sanggup merobohkan pucuk sebatang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 149
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pohon yang sejenis dengan cemara ini. Timbul kekagumannya


makin besar atas diri Balghangadar orang asing yang sakti itu. Dan
dibalik itu, terasa olehnya bahwa dirinya masih terlalu dangkal
ilmunya.
Ketika itu, sedang ia menundukkan kepala memikirkan senjata
apa yang harus dipakainya berburu. Tiba-tiba dirasakan olehnya
diatas kepala ada angin keras yang menyambar.
Mengira pada senjata gelap maka dengan cepatsekali Sin Hong
meletik dengan menggunakan tipu ikan leehi meletik. Tubuhnya
dilenggakkan meletik untuk menghindarkan senjata rahasia itu.
Namun ia masih kurang cepat. ―Senjata rahasia‖, itu ternyata sangat
cepat gerakannya, sehingga tak ampun lagi kepala pemuda itu
terhantam tepat.
Sin Hong terkejut juga cemas. ―Kurang ajar!‖ Makinya. Ia telah
melesat kesamping sambil menghunus pedang, sedangkan
kepalanya masih juga terasa puyeng akibat serangan gelap itu.
Namun setelah menantikan beberapa lamanya, ia tidak melihat
suatu apapun yang mencurigakan. Keadaan disitu tenang, tiada
tanda-tanda adanya orang atau binatang.
Ia menjadi heran dan timbul dugaannya yang bukan-bukan.
Segera karena cemas senjata rahasia itu ada mengandung racun,
cepat-cepat Sin Hong meraba kepalanya untuk mencabutnya. Ia
menduga bahwa kalau benar itu adalah senjata rahasia setidak-
tidaknya senjata itu terbuat dari logam yang berat. Maka bukan
main terperanjatnya ia ketika melibat kenyataan bahwa benda itu
ternyata bukanah senjata rahasia ataupun logam, akan tetapi
hanyalah sekeping kayu yang panjangnya tidak lebih dari tiga inci.
―Ah…….‖, tanpa terasa Sin Hong mengeluh karena heran. Dan
iapun menengok keatas, mencari arah datangnya sambaran kayu itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 150
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Justeru pada saat itu kira-kira dua atau tiga keping potongan kayu
sedang meluncur turun dari puncak pohon. Cepat sekali, serta
mantap tidak melayang, keping-keping kayu itu dalam sekejap saja
telah berada kira-kira dua tombak diatas kepalanya.
Namun kali ini Sin Hong melihat datangnya ―serangan‖ itu. Ia
telah siap sedia, maka dengan mudah saja dapat menghindari
sehingga kepingan kayu itu meluncur lewat disisi tubuhnya,
menghajar tanah.
Hebst sekali tenaga hantaman kayu itu kira-kira delapan atau
sembilan bagiannya ambles kedalam tanah.
Sin Hong bingung. Apakah diatas pohon itu bersembunyi
seorang musuh gelap? Dengan segera Sin Homg menggunakan ilmu
cecak, merayap keatas memanjat pohon itu.
Sebentar saja Sin Hong telah mencapai puncak. Karena kuatir
dirinya akan dibokong orang maka ia menghunus pedangnya untuk
menjaga diri.
Demikianlah dengan pedang terhunus Sin Hong mencaci maki.
Namun ia tidak memperoleh jawaban. Ketika ia menengok kesisi
kanannya ia melihat pada sebuah dahan pohon yang besarnya
sepelukan anak-anak, terdapat duri-duri yang jumlahnya sangat
banyak sekali. Bentuknya serupa benar dengan tiga keping kayu
yang tadi menyerang kearahnya, panjang serta tumpulnya.
Segera ia mendekati dan mencabut dua tiga diantaranya. Ia
mendapat kenyataan kalau selain batang kecil itu timbul serta
mantap ternyata juga duri-duri itu mempunyai bentuk sebagai
senjata rahasia yang biasa dipakai oleh ahli-ahli silat.
Tepat disaat Sin Hong sedang menimang-nimang duri-duri
pohon itu, diatas kepalanya tampak beberapa ekor burung pemakan
bingkai terbang melintas mengepak-ngepakkan sayapnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 151
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Ha! Makanan!‖ seru Sin Hong. Dan seketika perutnya kembali


keruyukan kembali. Segera dicabutnya pedang, hendak dilontarkan
ke arah salah satu binatang itu. Tetapi seketika pikirannya tergerak.
Ia batal menggunakan pedangnya untuk melontar burung-burung
itu, melainkan tangan kirinya yang menggenggam duri-duri itu
diayunkan. Tiga batang duri telah meleset ke arah burung yang
terbang dibagian belakang.
Kiranya benda-benda alam itu mempunyai gaya berat yang
istimewa sekali. Demikianlah sesaat kemudian dengan diiringi suara
gegaokan kesakitan, maka tiga diantara burung-burung itu, telah
melayang jatuh. Setelah menggelepar-gelepar sebentar diatas tanah,
maka binatang-binatang itupun tidak bergerak lagi.
Sio Hong menjadi kegirangan melihat kehebatan duri-duri itu.
Selanjutnya iapun memeriksa duri-duri pohon yang lain, ternyata
hampir pada setiap dahan sampai ke cabang-cabangnya penuh
ditumbuhi duri-duri tumpul. Segera ia mencabuti pula beberapa
batang, untuk kemudian melorot turun lagi.
Setibanya dibawah ia segera menghampiri ketiga korbannya
yang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Dan dibawah pohon itu
pula, ia membuat sebuah api unggun, untuk memanggang burung-
burung itu.
Tidak lama antaranya maka Sin Hong telah sibuk melahap
daging burung panggang. Pada saat itulah, kenangannya pada Siu
Lian kembali muncul. Teringat ia waktu ia bersama gadis itu di Ie
pin bersama-sama makan daging kelinci.
Tanpa terasa, Sin Hong telah menghabiskan seekor penuh.
Karena masih lapar juga, maka ia pun memanggang seekor lagi, dan
memakannya dengan lahap. Barulah, setelah menghabiskan dua
ekor burung itu, perutnya terasa kenyang, Akan tetapi sebaliknya
tenggorokannya jadi kering, dan haus. Iapun pergi mencari-cari.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 152
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah beberapa lama mengelilingi hutan cemara itu, akhirnya


dapat pula ia menemukan sebuah sumber air yaitu sebuah anak
sungai.
Karena hausnya, tanpa memeriksa apakah air itu kotor atau
jernih tubuhnya ditengkurapkan dan dengan menggunalan kedua
belah telapak tangannya itu telah menceguk air beberapa tegukan.
Habis minum, terasa tubuhnya kembali segar, perutpun tidak panas
pula.
Sedang ia merebahkan tubuhnya untuk melepas lelah, tiba-tiba
matanya tertarik pada sebuah pemandangan tidak jauh dari
tempatnya berbaring itu. Di tempat itu, tampak setumpukan kain
yang mirip sebuah baju. Dengan segera dihampirinya benda itu.
Dan betapa terkejutnya Sin Hong demi melibat bahwa kain itu
adalah baju tebal, sebuah baju tebal yang beberapa bulan yang lalu
pernah diberikannya kepada Siu Lian di Soatang ! Sin Hong
tertegun, diam mematung !
Beberapa saat kemudian setelah ia dapat menguasai dirinya,
dengan tangan gemetar, dijumputnya pakaian itu. Hancur luluh
hatinya ketika ia mendapatkan bagian dalam dari baju tebal itu,
penuh dengan noda-noda darah. Hampir disaat itu juga ia jatuh
pingsan.
Segera dicucinya baju itu. Lalu dibuntalnya. Dan segera pula,
dengan hati hancur, dibawanya baju itu menuju kesebuah gua yang
dua hari yang lalu pernah ditemukannya.
Disepanjang jalan tidak henti-hentinya pikirannya bekerja. Ia
heran, mengapa pada hari-hari terakhir ini ia selalu terlibat pada
pengalaman-pengalaman yang hebat-hebat dan aneh-aneh.
Sore hari tibalah ia kembali di guanya. Setelah memeriksa ia
mendapatkan kenyataan bahwa ―tempat pusaka‖ itu tidak kurang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 153
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

suatu apa tanda bahwa tidak ada seorangpun, orang lain yang
pernah tiba ditempat itu.
Esoknya. ia menggali lubang , lalu menanamkan baju tebal
yang membuat ia ingin meratap itu didasar gua.
―Lian-jie‖, demikianlah Sin Hong berkemak kemik sendirian.
―Ternyata kau berumur pendek. Setelah ayahmu dibinasakan oleh
muridnya sendiri, ternyata kau sebelum sempat menunaikan
tugasmu telah ditimpa oleh kejadian begini, mungkin kau telah
menjadi korban binatang-binatang keparat. Akan tetapi kau yang
didalam baka, kuharap beelega hati. Aku Sin Hongmu pasti akan
mewakilkan kau untuk membalaskan sakit hatimu, ―Tunggulah aku
akan menghabiskan semua beruang-beruang yang berada ditanah
pegunungan ini. Lian jie, legakanlah batimu...........‖
Setelah itu tanpa terasa pula Sin Hong menangis tersedu-sedu
Berjam-jam ia menangis tanpa seorangpun yang menghiburnya.
Hingga setelah hari sudah tidk pagi lagi, barulah ia puas dan
berhenti menangis.
Dan siang itu juga, kembali ia mengelilingi guuuag Than-ala-
san. Hanya sekali ini ia bukannya mencari Siu Lian melainkan
hampir seluruh beruang yang berada didaerah sekitar itu
dibunuhnya.
Untuk keperluan melampiaskan dendamnya ini Sin Hong telah
menghabiskan waktu tiga hari tiga malam. Barulah pada hari-hari
berikutnya ia kembali keguanya.
Enam bulan kemudian, ia hampir telah membersihkan seluruh
ukiran-ukiran yang banyak memenuhi ruangan dalam gua itu.
Namun ketika ia hendak mempelajarinya, ia menjadi bingung,
karena tak tahu harus dari sebelah mana ia memulai.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 154
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ia bingung dan gelisah, dan akhirnya putus asa setelah seharian


ia menyelidiki, tetap juga ia tidak dapat memecahkan yang mana
pangkal dan ujungnya. Namun mujur baginya, sedang ia dalam
kesulitan demikian, terjadilah sesuatu yang kebetulan baginya.
Lie Sin Hong pergi mendaki gunung untuk mencari makanan.
Pikirannya sedang dalam bimbang dan keraguan. Hingga tanpa
disadari ia telah tiba dipinggang gunung yang sangat curam. Tengah
asyik-asyiknya berjalan tiba-tiba kakinya terpeleset, hingga tidak
ampun pula pegangannya terlepas dan ia terjatuh.
Tembok gunung itu adalah sebuah jurang yang dalamnya
kurang lebih empat puluhan tombak, Sin Hong terkejut dan cemas,
rasanya ia sudah tak mungkin berharap akan hidup lebih lama.
Akan tetapi sungguh mujur, tubuhnya tersangkut pada sebuah
cabang pohon yang tumbuh pada sebuah gua yang mulutnya kering
berlumut. Dengan harap-harap cemas, Sin Hong menjangkau mulut
gua, kemudian dengan menjatuhkan diri ia melompat kedalam gua
itu.
Ketia ia telah berada di mulut gua, tiba-tiba ia merasakan kedua
telapak tangannya sakit. Ia heran sekali ketika ia melihat pada kedua
telapak tangannya menancap dua macam benda yang bentuk luar
biasa sekali. Ketika ia mencoba mencabutnya, ternyata tidak
berhasil, benda-benda itu menancap sangat keras, dan disamping itu
rasa sakit yang disebabkannya semakin menghebat.
Diam-diam ia merasa heran, karena ketika tadi terjatuh, ia tidak
lihat barang seorangpun. Dengan tinggal masih keheranan anak
muda itu mencabut benda yang menancap ditelapak tangan itu
dengan giginya. Lebih aneh dan mengherankan, kecuali darah yang
mengucur keluar dari lukanya sama sekali ia tidak merasa sakit.
Kedua potong benda rahasia itu panjangnya masing-masing dua
cun sembilan bun, berbentuk kepala burung hong dengan patuk

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 155
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

yang luar biasa tajamnya. Seluruh bagian kepala burung hong itu
berwarna hitam kelam. Kotor dan berlumut, Tapi bila ia mengerik
lumut itu dapatlah sepotong benda mengkilap……. emas!
―Pantas begini berat‖, pikir Sin Hong.
Didepan mulut gua, Sin Hong berdiri termangu. Ia tidak berani
lancang memasuki gua itu, tetapi melongokkan kepalanya. Terlihat
kabut, hingga tidak terlihat tegas apa yang berada dalam gua itu,
Diam-diam hatinya tercekat. Ia yakin bahwa gua itu pasti dalam
sekali, Dan terpikir olehnya apakah tubuhnya dapat masuk ke
dalamnya atau tidak.
Sin Hong pantang menyerah, Ia Bungkus tangannya lalu
dimasukannya kedalam gua. Ia menduga tentu didalam terdapat
benda-benda rahasia yang terbentuk kepala burung hong itu. Dan
ternyata benar, ia berhasil mencabut dengan tanagannya dan
terbawa olehnya enam belas biji. Diulurkannya tangannya lebih
dalam, hingga hidungnya merapat mulut mulut gua, akan tetapi ia
tidak meraba lain benda, maka iapun berhasil meraba-raba,
―Heran !‖ pikirnya, ―Mungkinkah ditempat yang lebih dalam
terdapat pula benda-benda macam lainnya?‖
Akhirnya ia mengambil keputusan untuk memasuki gua itu.
Iapun membuat sebuah obor dari tumbuhan kering. Apabila api
telah berkobar pertama kali disodorkannya obor itu kedalam gua.
Ternyata ia tidak padam, dan membuat hati Sin Hong kegirangan.
Dengan hati-hati ia segera merayap masuk.
Untuk menjaga segala kemungkinan, maka obor dipegang di
tangan kiri, tangan kanannya menghunus pedang, Dengan cara
merayap, perlahan-lahan ia memasuki dalam gua.
Kira-kira telah mencapai jarak sepuluh tombak lebih maka gua
yang berbentuk mirip terowoagan itu mulai mendaki. Ia maju terus

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 156
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

hingga kira-kira puluhan tombak lagi, hingga ia tiba pada suatu


tempat yang terbuka dan ia dapat berdiri.
Sin Hong tidak takut. Ia maju terus perlahan dengan hati-hati,
sebentar kemudian maka pemuda itu melihat jalan didepannya
membelok. Menghadapi tempat itu, Sin Hong semakin waspada.
Pedang ditangannya semakin erat digenggam. Ketika beberapa
tombak kemudian ia berjalan, maka ia tiba pada sebuah kamar batu,
Sin Hong mendekati pintu kamar itu, dan dengan obornya ia
menyuluhi kedalam.
Tiba-tiba saja Sin Hong terperanjat, dan sekujur tubuhnya
menjadi dingin. Ditengah kamar batu itu tertunduk sebuah
jerangkong! Rangka manusia yang lengkap dengan kedua
lengannya rebah diatas pangkuan.
Segera terbayang dihadapannya, ketika pada beberapa minggu
yang lalu Sin Hong dan Siu Lian pernah menjumpai adegan yang
serupa, kerangka manusia, kerangka manusia Mie Ing Tiangloo.
Pada saat itu, Sin Hong bersama Siu Lian, sedangkan sekarang ia
seorang diri sehingga tidak ada kawan yang dapat membesarkan
hatinya. Mau tidak mau hatinya terpukul keras.
Dihadapan rangka manusia itu terdapat belasan senjata rahasia
berkepala burung hong. Di sisi kanan, tergeletak sebilah pedang.
Senjata itu berkilauan ketika tertimpa oleh cahaya api obor.
Ditembok kamar, terdapat sebaris ukiran gambar monyet yang
lengkap, hanya sikapnya sa tu dengan yang lain berlainan. Ada yang
tangannya diangkat, dengan kedua kaki berjongkok, ada yang
sebelah kakinya terangkat dengan kedua tangan menyilang didepan
badan dan lain sebagainya.
Guratan ukiran monyet ini dengan gambar ukiran yang
didapatkan oleh Sin Hong tempo hari hampir sama, hanya disini
berbeda gerakannya lebih ruwet.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 157
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong mengawasi semua gambar itu, diperhatikannya


dengan teliti. Akan tetapi beberapa lama ia berbuat demikian, tak
dapat ia memahami artinya.
Pada ujung dari gambar ukiran yang terakhir, terdapat beberapa
baris huruf yang diukir pula, jumlahnya ada sembilan belas huruf.
Sin Hong mendekati dan membacanya. Bunyinya demikiaan :
―Angin mustika rahasia. Berlindung kepada yang berjodoh
jangan penasaran siapa binasa memasuki pintuku!‘‘
Sin Hong tak mengerti apakah arti surat itu. Akan tetapi bila
melihat jerangkong dan lukisan-lukisan yang berjejeran didinding,
pastilah rangka manusia itu adalah rangka manusia seorang
cianpwe, orang tua yang sudah seharusnya dihormati,
Maka untuk pertama kali Sin Hong menggali lubang didekat
pintu-pintu untuk menegakan obornya, sehingga tidak usah selalu
dipegangi dengan tangan. Selesai itu, ia menghadapi rangka
manusia, memeriksanya dengan teliti.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatannya akan cerita Ban Liep yang
mengatakan bahwa didunia Kang-ouw pada akhir-akhir ini sedang
digemparkan oleh adanya suatu tempat yang didalamnya
terkandung suatu rahasia yang besar. Dan bukankah ilmu silat yang
diciptakan oleh orang luar biasa itu dinamakan ilmu silat Angin
Sakti? Tidak mustahilkah kata-kata Angin Mustika Rahasia itu
senama dengan Angin Sakti?
Mengingat yang demikian, maka pemuda ini lantas
menjatuhkan diri berlutut untuk paikut.
―Teecu bernama Lie Sin Hong‖, kata Sin Hong dalam hatinya.
Setelah dia manggut-manggut beberapa kali, maka ia berbisik;
―Dengan secara kebetulan saja teecu dapat menemui jenazah taihiap

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 158
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ini. Hari ini ingin teecu mengubur jenasah taihiap, harap selanjutnya
taihiap dapatlah beristirahat dengan tenang.
Baru selesai Sin Hong membisikkan kata-kata itu, dari luar gua
tiba-tiba menghembus angin dingin, yang agaknya bertiup dari
dalam jurang.
Angin dingin itu begitu derasnya, hingga membuat Sin Hong
bergidig, bulu kuduknya berdiri. Sin Hong mulai menggali tanah
kubur pada lantai kamar batu. Tanah disitu ternyata tidak keras,
begitu ia menggali dengan pedangnya, maka tidak lama kemudian
kuburan itupun telah hampir dapat diselesaikan.
Tiba-tiba ia sedang menggali terasa pedangnya membentur
suatu benda yang keras hingga terbit suara yang membeletuk.
Segera Sin Hong mengambil obornya untuk menyuluhi dekat-dekat.
Segera terlihat olehnya bahwa benda berat itu kiranya adalah
selembar lempeng tembaga. Setelah menggalinya sejenak, maka
lempeng itu dapat diangkatnya.
Dibawah lembaran itu terdapat sebuah peti besi, yang besarnya
kira-kira tiga kaki persegi. Tak perlu banyak pikir lagi, maka Sin
Hong mengangkat keluar peti besi itu, yang tingginya kira-kira satu
setengah kaki. Peti ini tidak terlalu berat, agaknya isinyapun tidak
terlalu banyak.
Dengan susah payah akhirnya Sin Hong dapat membuka tutup
peti itu. Ternyata ruangan dalam peti itu dangkal saja, tak sampai
setengah kaki tingginya Sedang di tengah-tengahnya berlubang
sedalam kira-kira seperempat kaki. Sin Hong heran melihat bentuk-
bentuk yang aneh ini.
―Peti besar dan tinggi, mengapa dalamnya begini dangkal?‖
tanyanya dalam hati.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 159
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah mengorek-orek sebentar, maka ia dapatkan dua buah


sampul surat yang bertuliskan : ―Boleh baca, siapa yang
mendapatkan surat‖.
Segera Sin Hong mengeluarkan surat dari dalam salah satu
sampul itu, yang telah kumel dan kotor, akan tetapi masih terbaca
tulisannya, bunyinyapun pendek saja;
―ANGIN SAKTI diwariskan kepada yang berjodoh.
Hanya siapa mendapatkannya, kuburkanlah dulu
kerangka tubuhku!‖

****

JILID 5

SIN HONG lantas mengambil sampul yang satunya lagi, yang


bertuliskan :
―Bagaimana harus mengubur tulang belulangku.‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 160
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah dibukanya tutup sampul dan mengeluarkan isinya,


maka ia melihat beberapa baris, kalimat yang tertulis pada selembar
kertas putih.
Setelah menggali lubang, tolong galilah sedalam empat kaki.
Apabila memang kau bersungguh-sungguh hendak menguburku,
disitulah pendamkan aku. Karena dengan aku bersemayam ditempat
yang lebih dalam, maka aku dapat bersemedi lebih bebas, bebas dari
segala gangguan rayap dan semut.
Sejak semula memang telah timbul rasa hormat pada kerangka
manusia yang disangkanya kerangka seorang cianpwe. Maka Sin
Hong lantas menuruti saja segala pesan dalam sampul-sampul surat
itu.
Sin Hong menggali lagi, bekerja keras dengan penuh semangat.
Seluruh tubuhnva telah bermandi peluh. Ketika galiannya telah
hampir mencapai empat kaki, mendadak pedangnya membentur
pula pada sebuah benda keras, yang ternyata juga sebuah peti pula.
Peti ini agak lebih kecil dari tadi, besarnya kira-kira satu
setengah kaki persegi.
―Benar-benar kukoai sikap orang gagah ini‖ pikir Sin Hong,
―Entah simpanan apa lagi yang ada dalam peti ini,‖
Peti ini lebih mudah untuk dibukanya, karena tutupnya memang
tidak terkunci. Kembali, Sln Hong mendapatkan sebuah sampul
surat. Dan ia menjadi sengat terkejut, apabila membaca isi surat
yang terakhir ini ;
―Hebat kau, anak jujur! Terima kasih akan jasamu. Maka sudah
selayaknya aku balas kebaikanmu dengan memberikan rahasia
pemecahan semua lukisan-lukisan ANGIN SAKTI yang kusimpan
di utara ―kuburan‖ ku ini. Apabila peti yang pertama tadi yang jauh
lebih besar dari ini dibuka, maka dari dalamnya akan menyambar

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 161
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

keluar enam batang kim-hong Cui (bor emas berkepala burung


Hong) yang mengandung racun. Surat dan peti yang terdapat
disitupun palsu semuanya. Malahan juga beracun, semua itu,
kumaksudkan untuk menghukum orang-orang yarg beradat rakus
dan takabur, sedangkan PUSAKA aslinya berada DALAM PETI
INI!‖
Sin Hong untuk sejenak terdiam. Dalam hati ia bersyukur,
bahwa ketika membuka peti yang pertama, ia hendak mengorek
sampai yang ada didalamnya. Memang ia hanya merasa kasihan
pada kerangka cianpwe itu, sama sekali tidak ada niat untuk
menyerakahi barang warisannya. Hal itulah kiranya yang membuat
ia selamat. Andaikata tidak mustahil ia masih dapat hidup sampai
menemukan peti yang kedua ini.
Setelah menyelesaikan segalanya, Sin Hong mengambil kedua
peti itu, meletakkannya kesamping. Lalu ia berpaikui beberapa kali
didepan tanah kubur cianpwe itu. Dengan demikian maka ia telah
menjadi seorang ―ahli waris‖, dari seorang cianpwe yang
sebenarnya sedang menjadi incaran para orang kang-ouw.
Dengan membawa dua peti itu, Sin Hong bertindak keluar
kamar batu. Dalam gua ia sambil mesatakan jalan keluarnya,
sehingga dikemudian hari mudah baginya untuk keluar masuk
kesana. Juga ia membuat sebuah terowongan yang dimulai dari
mulut gua, yang kiranya terbuat dari susunan batu-batu. Agaknya
cianpwee yang luar biasa sengaja membuat mulut gua demikian
agar tidak mudah orang luar mencapai tempat itu.
Setelah menyingkirkan tumpukan batu-batu itu kiranya disitu
menjadi sebuah terowongan yang berakhir pada tepi mulut jurang.
Jurang itu terlalu sangat dalamnya, pemandangan disana gelap
semata. Hanya tampak dindingnya belaka dimana terdapat batu-
batu kecil yang berbaris pada jarak masing-masing sepuluh tombak.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 162
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Walaupun Sin Hong memiliki ilmu cecak, agaknya ia tak mungkin


dapat menuruni dinding jurang itu.
Karena bingung untuk mencari jalan keluar, perhatiannya jadi
berkurang, pegangannya pada peti itu mengendur, sehingga tak
terasa kedua peti itu tergelincir dari pundaknya.
Sin Hong berusaha untuk meraihnya. Peti yang kecil dapat juga
ditangkapnya kembali. Akan tetapi peti yang besar, bahkan
terbentur menjauh, karena terlalu berat tak berhasil Sin Hong
menangkapnya, hingga peti itu terlontar menjauh, terguling hingga
membentur sebuah batu besar.
Dan sungguh mengerikan. Begitu membentur batu, maka tutup
peti besar itu menjeblak. Nampak enam batang kim-hong-cui
beterbangan disusul suara menggelegar, kiranya peti itu telah
hancur berkeping-keping karena meledak.
Dapatlah dibayangkan, betapa kiranya andaikata Sin Hong
yang membuka peti itu. Tepatlah seperti apa yang tertulis pada surat
pada peti kecil itu.
Tetapi akibat ini semua, membuat Sin Hong juga mencurigai
peti kecil, peti yang kedua itu. Siapa tahu peti inipun mengandung
rahasia bencana pula? pikirnya.
Karena kecurigaannya ini, maka dengan hati-hati diperiksanya
peti itu. Lalu perlahan-lahan dibukanya tutup peti itu. Ia dapatkan
selembar sampul surat dimana pada sudutnya terdapat tulisan yang
berbunyi :
―Bakar surat ini !‖
Terpengaruh akan bunyi tulisan itu, maka Sin Hong kembali
balik kedalam lorong. Diambilnya obor yang masih menyala disitu.
Lalu dengan meletakkan surat itu diatas tanah, iapun membakarnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 163
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kertas yang tidak begitu lebar itu, dalam waktu singkat


berkobar dan tak lama antaranya telah menjadi abu. Tetapi
kemudian ada yang membuat Sin Hong terheran-heran. Dibalik abu
kertas itu, terbayang sebarisan tulisan yang indah, yang berbunyi
sebagai berikut :
Anak, kini kau adalah muridku, maka selanjutnya pergilah kau
menyusuri pinggang gunung sebelah kanan, hingga akhirnya
kau akan tiba pada tempat yang buntu. Dan sebagai gantinya,
kau akan mendapatkan sebuah terowongan yang ditutupi oleh
tumbuh-tumbuhan rumput. Masukilah hingga akhirnya nanti
kau akan sampai pada suatu gua dimana pada tempat itu
terdapat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat ciptaan guruku
Sin Hong Cu Kek Beng. Cukup sekian, dan sebagai yang
terakhir, pesanku, untuk dapat membuka peti ini, geserken
kuping peti kekanan sedikit.
Sekian, gurumu, murid tunggal Sin Hong Cu Kek Beng
Tek Kwee Kiesu

Cepat-cepat Sin Hong lantas berlutut untuk paiku! dihadapan


terowongan itu. Ia mengangkat guru pada seorang yang bernama
Tek Kwee Kiesu.
Lalu dengan tangan menggendong peti, Sin Hong menyusuri
pinggang gunung tersebut, menuruti petunjuk dalam surat abu tadi,
setelah beberapa lama ia mencari-cari, akhirnya ia mendapatkan gua
yang dimaksud yang kiranya adalah gua yang secara kebetulan
tempo hari telah ia temukan, yaitu gua dimana terdapat banyak
lukisan-lukisan monyet, gua tempat ia menguburkan baju Siu Lian.
Dalam hati Sin Hong menduga pasti bahwa gua inilah yang ada
hubungannya dengan cerita Bian Liep tentang partai Angin Sakti.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 164
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pencipta partai itu adalah Sin Hong Cu Kek Beng. Yang kini berarti
adalah terhitung Secouw dari Sin Hong !
Tiba disitu. Sin Hong lantas membuka peti, dengan sedikit
menggeser kuping peti, maka tutup peti itu menjeblak dengan
sendirinya, Didalam peti itu, terdapat dua buah kitab, dan selembar
surat. Dengan hati girang Sin Hong membaca surat yang berisi
petunjuk itu.
Dihaturkan kepada yang berjodoh. Cuci tanganmu setiap
selesai membacanya. Janjan uarkan peristiwa ini kepada
siapa juga.
Sehabis membaca, tanpa terasa Sin Hong menghela napas,
―Sungguh luar biasa hati-hati, dan pemikirannya begitu
mendalam, Cianpwe yang luar biasa ini !‖ katanya dalam hati,
memuji. ―Agaknya ia kuatir kitab-kitab ini terjatuh ketangan orang
jahat‖.
Selanjutnya Sin Hongpun mengambil kedua kitab itu, sebuah
kitab yang satu adalah kitab bernama ―SIN HONG IWEEKANG‖,
sedangkan buku yang satu lagi, yang satu setengah lebih tebal
bertuliskan ―PEMECAHAN LUKISAN‖.
Dengan kalimat pemecahan itu tentu dimaksudkan petunjuk
yang berhubungan dengan gambar-gambar yang terukir pada
dinding gua.
Sin Hong mencoba membalik-balikan halaman buku yang
pertama. Dari dalamnya dilihat tulisan denga huruf yang kecil-kecil,
beserta beberapa gambar jalan darah manusia. Sejumlah gambar
menjelaskan tenteng cara orang berlatih napas
―Tidak salah tentu inilah pelajaran tentang melatih lweekang‖,
kata Sm Hong dalam hati. Gambar-gambar itu demikian jelasnya
dan terperinci dengan lengkap sehingga terasa mengagumkan benar.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 165
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pada kitab yang kedua, tidak terdapat gambar! akan tetapi jelas
disitu diterangkan mengenai cara-caranya mempelajari lukisan
lukisan-lukisan.
Setelah itu, maka Sin Hong mencuci tangan. Kemudian ia
mengatur tempat sembahyang, lalu dengan menggunakan segulung
tanah, Sia Hong melakukan sembahyang dan bersumpah bahwa ia
mengakui Tek Kwee Kiesu sebagai gurunya.
Kini ia merasa yakin dan pasti, kalau yang dimaksud oleh Bian
Liep sebagai tempat luar biasa, tidak lain adalah gua yang kini telah
menjadi ―gurunya‖.
Diam-diam Sin Hong mengucapkan syukur kepada Tuhan yang
Mahi Pengasih, dan almarhum ayahnya yang telah memberikan
jalan kepadanya.
Pada keesokan harinya, ia telah mulai membuka halaman
pertama dari kitab yang kedua itu Sin Hong menjadi terkejut, demi
membaca pada halaman itu yang berisikan beberapa pantangan,
antaranya : Dilarang sembarangan melukai orang kecuali kepada
seseorang yang tertentu. Dilarang menyiarkan berita tentang adanya
peninggalan itu.
Sin Hong berjanji dalam hati, bahwa ia akan memenuhi
pantangan-pantangan itu. Pada halaman berikutnya, Sin Hong
mendapatkan bagian-bagian dimana disitu dijelaskan cara
mempelajari lukisan monyet yang ternyata adalah pelajaran
gabungan dari berbagai cabang.
Diantaranya ada juga dari Siauw-lim-pai, sehingga membuat
pemuda itu semakin bersemangat untuk mempelajarinya. Sejak saat
itu serta hari-hari berikutnya Sin Hong giat melatih diri, menirukan
semua gerak-gerakan yang terlukis pada dinding gua dengan
mengikuti petunjuk kitab ―pemecahan lukisan‖ sebagai pedoman.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 166
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kiranya Sin Hong adalah seorang pemuda yang berbakat, ulet dan
rajin, hingga beberapa tahun telah dilalui tanpa terasa.
Tanpa terasa lima tahun sudah Sin Hong berdiam didalam gua
itu. Kini ia telah berusia dua puluh tahun dan ilmu kepandaiannya
sudah boleh dikata cukup hebat.
Dengan kecerdasan otaknya, ilmu silat yang cukup tinggi yang
telah dimiliki sebelumnya, digabungkannya dengan ilmu silat Sin
Hong itu. Tetapi akibat dari bersunyi diri didalam gua itu hingga
bertahun-tahun, maka mengenai perubahan dunia kang-ouw ia tidak
mengetahui sama sekali.
Saat ini, semula Sin Hong bermaksud untuk turun kedunia
ramai. Akan tetapi karena kuatir ilmu kepandaiannya belum
mencukupi, maka pemuda itu mengurungkan maksudnya, kembali
berlatih dengan tekun.
Sampai saat itu, kalangan kang-ouw sama sekali tidak
mengetahui bahwa tempat rahasia yang menjadi biang sengketa
pada mereka, sebenarnya telah didapatkan oleh seorang pemuda
yang bernama Lie Sin Hong.
Pada suatu malam, setahun sesudah pada awal musim semi
sebagaimana biasa, sehabis berlatih Sin Hong lantas makan. Lalu ia
duduk-duduk didepan perapian. Sambil iseng, Sin Hong membaca
kitab latihan lweekang. Satu jam kemudian, sedang ia bermaksud
untuk mematikan api dan membaringkan badan, mendadak
telinganya mendengar suatu benda yang melayang jatuh dari jarak
beberapa puluh tombak. Sin Hong keluar untuk memeriksanya,
akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Akhirnya ia kembali untuk tidur.
Kira-kira tengah malam, ia terjaga dengan terkejut ia merasa
pasti bahwa diluar gua tentu ada sedikitnya dua orang asing yang
sedang mendatangi. Ia lantas bangkit dan duduk untuk memasang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 167
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

telinga. Namun mendadak ia mencium wangi-wangian yang


menusuk hidung.
―Celaka !‖ kata Sin Hong dalam hati, terkejut. Segera menutup
hidung menahan napas, segera ia melompat turun seraya
menghunus pedangnya. Akan tetapi, sungguh mengejutkan, Sin
Hong merasa kakinya seakan tidak bertenaga lagi. Ketika ia
menginjakkan kaki ketanah, tubuhnya terhuyung, hampir saja ia
roboh terjungkal.
Bersamaan dengan itu pintu terbuka bergedubrakan, terpentang
lebar karena sebuah dupakan yang sangat keras. Menyusul
kemudian sesosok bayangan tampak melesat masuk, lalu seberkas
sinar golok menyambar kearah Sin Hong.
Sin Hong merasa kepalanya pusing sekali, akan tetapi ia masih
sadar. Ia kuatkan hatinya, maka ketika serangan datang, ia masih
dapat berkelit menghindari. Serta bersamaan dengan itu ia balas
menyerang dengan pedangnya.
Bayangan itu memutar tangannya untuk menangkis serangan
Sin Hong. Menghadapi lawan yang kepandaiannya cukup tinggi itu,
Sin Hong tak mau berlaku lambat, ta menghindar sambil sekaligus
menyerang pula.
Kali ini serangan Sin Hong cukup hebat, dan berhasil melukai
pundak orang asing itu. Penyerang itu menjerit tertahan, kesakitan.
Ia menjadi limbung, dari air mukanya tertampak ia merasa heran
sekali musuh yang masih muda belia telah terkena racun asap hio
pemulas, mengapa masih juga dapat demikian gigihnya. Disaat itu
juga, sebenarnya penyerang gelap itu tentu sudah rubuh akibat
tusukan pedang Sin Hong andaikata kedua orang temannya yang
datang dari luar tidak segera menolongnya.
―Begitu gagah, dia !‖ kata sang kawan, keheranan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 168
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong tidak memperdulikan kepada dua orang yang baru


datang itu. Ia hendak memberi hajaran pula, jika tidak sekonyong-
konyong kepalanya menjadi pusing, serta dilain saat ia telah roboh
pingsan.
Entah berapa lama telah berlalu, ketika kemudian ia tersadar.
Dirasakan seluruh tubuhnya lemas, dan ngilu. Waktu ia mencoba
menggerakkan tangan dan kakinya maka ia kaget, Ternyata seluruh
tubuhnya telah terbelenggu oleh tali yang sangat ulet, yang agaknya
Sin Hong takkan mampu memutuskannya.
Menyesal sekali, bahwa baru hari ini Sin Hong mempelajari Sin
Hong Iwekang. Api dikamarnya masih berkobar terang. Dilihat
kedua orang musuhnya sedang sibuk menggeledah kamar dan
pakaian Sin Hong habis diacak-acak olehnya.
―Celaka !‖ Keluh Sin Hong dalam hati. Ia menyesali diri yang
ternyata tidak punya kemampuan apa-apa, serta kurang berhati- hati
hingga musuh dapat menyerbu masuk, bahkan merobohkan dirinya
pula. Bagaimana ia dapat membalaskan sakit hati orang tuanya,
kalau begini halnya?
Tetapi Sin Hong sadar, ia tidak membuka matanya lebar-lebar,
pura-pura ia masih pingsan karena pengaruh asap hio. Sedikit
kelopak matanya dimelekkan agar dapat mengintai apa yang
dilakukan oleh orang-orang asing itu.
Ketika akhirnya dapat melihat jelas pendatang-pendatang itu,
Sin Hong terkejut. Rasa-rasa seperti ia pernah mengenal kedua
orang yang datang belakangan itu, Meteka berusia kurang lebih
lima puluhan tahun, mukanya kering dan kuning dan satu sama lain
hampir serupa. Orang yang kedua, yang tadi Sin Hong berhasil
melukainya adalah seorang pendeta yang bertubuh besar dan
gemuk.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 169
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tentu mereka adalah orang-orang kangouw yang hendak


mencuri tempat luar biasa‖, pikir Sin Hong. ―Mengapa mereka
dapat mengetahui, serta datang kemari?‖
Pendeta gemuk ini kosen, sedangkan kedua orang yang lain
itupun tampaknya bukan orang lemah. Tidak salah lagi, mereka
tentu hendak mencari kitab.
Sambil berpikir, Sin Hong mencoba mengerahkan tenaganya
untuk memutuskan tali belenggu tetapi sia-sia, dan hatinya jadi
mendongkol dan kecewa.
Ternyata ketiga orang itu bukanlah orang-orang kangouw biasa,
selama Sin Hong dalam keadaan pingsan, mereka telah menotok
jalan darah pemuda itu, sehingga waktu pemuda itu berusaha
mengerahkan tenaganya, maka ia hanya merasa urat urat tubuhnya
kesakitan. Maka Sin Hong kembali berdiam diri, berpikir untuk
mencari daya upaya.
Sekonyong-konyong si pendeta berseru kegirangan :
―Disini !‖ serunya.
Sin Hong jadi terkejut bukan alang kepalang ketika melihat dari
bawah pembaringannya pendeta itu menarik keluar peti besi yang
kecil dimana pada beberapa hari yang lalu, kitab ―Pemecahan
Lukisan‖ diletakkan.
Kedua orang yang mukanya pucat kering itupun ikut
kegirangan. Bertiga mereka lantas menghampiri meja untuk
kemudian bersama-sama membuka tutup peti, untuk mengeluarkan
isinya kitab ―Pemecahan Lukisan‖ itu.
Membaca tulisan tersebut, lantas mereka tertawa berkakakan.
―Benar-benar di sini …….!‖ katanya dengan suara nyaring. ―Ji
dan sha ko, tidak sia-sialah kita selama dua puluh tahun bersusah

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 170
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

payah mencari benda ini. Kita akan menjadi orang paling liehay
dikolong langit ini, ha, hahaha‖
Segera pendeta itu membuka halaman-halaman kitab dan
melihat huruf-huruf kecil yang tertulis disitu. Karena girangnya, ia
tertawa-tawa sambil tak henti-hentinya menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal
―Sampai mati juga kalian tidak akan dapat memecahkannya
tanpa mengetahui tempat tempat lukisan-lukisannya‖, kata Sin
Hong dalam hati.
Mendadak salah seorang yang mukanya pucat kering itu
berseru, seraya menunjuk kearah Sin Hong ―Hei, hendak lari?‖
Sin Hong terperanjat bukan main. Ia menduga bahwa orang
mengetahui akal muslihatnya, si pendeta yang pundaknya telah
terluka itu terkejut, dan menoleh dengan segera.
Tiba-tiba si muka pucat kering itu menggerakan tangannya,
dalam waktu yang tak ada sedetik itu juga, sebatang pisau kecil
telah ditancapkan dipunggung pendeta itu.
Hebat sekali menancapnya pisau itu, hingga tembus sebatas
gagangnya. Kedua laki-laki bermuka pucat kering itu lantas
melompat minggir menjauhi sipendeta seraya menghunus senjata,
sedangkan pendeta itu alisnya meringis bengis dan memperdengar-
kan suara tawa yang dingin.
―Kita bertiga adalah saudara seperguruan yang telah berjerih
payah mencari benda ini hingga duapuluh tahun. Sekarang setelah
kita berhasil, kalian berdua saudara bermaksud hendak
mengangkangi sendiri, bahkan turun tangan jahat terhadapku,
hahaha ……‖ Itulah suara tawa bercampur teguran yang terdengar
dingin menegakkan bulu roma.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 171
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sehabis berkata, pendeta itu menggerakkan tangannya


kebalakang, agaknya bermaksud untuk mencabut pisau yang
menancap dipunggungnya itu. Namun sebelum tangannya berhasil
menjangkau pisau itu, mendadak ia menjerit keras, bersamaan
dengan itu, iapun roboh terguling. Sebentar ia meregang nyawa, lalu
seluruh tubuhnya diam ia tak berkutik lagi.
Bergidik Sin Hong melihat perbuatan kedua saudara itu, yang
begitu telengas membunuh saudara seperguruan sendiri.
―Jika sekarang tidak kuhabiskan jiwamu, apakah nanti tidak
mengusir diri kami !‖ Kata dua orang bersaudara secara bergantian
menendangi tubuh sipendeta yarg tergeletak diatas tanah itu .
Kedua orang ini tidak menyadari bahwa Sin Hong telah
tersadar sejenak lama, Mereka memperdengarkan suara tawanya
yang menyeramkan. Lalu dia sentil sumbu lilin untuk membuang
jungnya, hingga sesaat itu ruanganpun jadi terang benderang.
Mereka menghampiri meja. Salah seorang diantaranya lantas
membalik-balikan halaman kitab. Ia membaca dengan suara penuh
kegembiraan dan puas.
Mereka bergantian membaca, membalik-balikkan kitab dengan
penuh semangat, pada berapa halaman kitab yang agaknya lengket,
mempergunakan air liurnya untuk membasahi jari, dan membuka
pula.
Sin Hong tetap mengintai, hingga tiba-tiba ia teringat bahwa
kitab itu mengandurg racun. Dia menduga bahwa kedua orang itu
sebentar pasti akan roboh keracunan. Teringat akan hal ini, kerena
kagetnya Sin Hong memperdengarkan suara tertahan.
Si Muka pucat kering mendengar suara orang, maka menoleh,
justru saat itu Sin Hong sedang memandang kearahnya, segera
orang itu bangkit, dengan tindakan dibuat-buat dia mendekati

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 172
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sipendeta yang tergeletak itu, untuk mencabut pisau belati dari


punggungnya, setelah itu ia mendekati Sin Hong dengan sikap
peruh ancaman.
―Ai, kiraiya kau pencuri cilik yang dahulu berlagak dungu!‖
seru orang bermuka pucat kering itu.
―Diantara kita sebenarnya tidak bermusuhan, akan tetapi hari
ini aku tak dapat mengampuni jiwamu!‖ Katanya pula. Kedua biji
matanya bersinar memancarkan hawa pembunuhan, dan sambil
mengangkat pisau itu tinggi-tinggi ia memperdengarkan suara tawa
iblis.
―Jika aku segera membunuhmu hingga kau menghadapi Giam
lo ong, tentu kau akan mati penasaran!‖ Katanya lagi. ―Agar kau
dapat mati puas aku perkenalkan dulu diriku, Sin Eng, Kin Bian Liu
dari Tinpa.
―Oh kiranya kau‖ sahut Sin Hong yang sekarang teringat bahwa
kedua saudara itu adalah orang-orang yang pada lima tahun yang
lalu pernah dibuat pecah nyalinya oleh kelihaian Balghangadar dan
Auwyang Siang Yong.
―Bagus, kau masih ingat. Itu bagus !‖ Orang yang mengaku
bernama Kim Bian Liu itu berkata mengejek, ―Dan supaya matimu
bisa meram, hendak kujelaskan dari mana asalnya kami yang hebat-
hebat ini. Aku adalah turunan keenam puluh satu dari tingkatan
ketika partai Thian-Lam-pai. Pihak kami dengan Tek Kwee Kiesu
adalah musuh bebuyutan. Binatang she Tek itu telah membunuh
lima puluh satu orang suhengku, dan keempat sucouwku‖
―Hebat sekali !‖ kita Sin Hong mengejek.
―Ya hebat sekali, bahkan dia juga telah memperkosa sucieku,
kemudian dia kabur kemari. Untuk balasan tahun aku mencari dia
untuk membalaskan sakit hati, siapa tahu dia mampus dan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 173
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

warisannya jatuh ketanganmu. Aku tak perlu tahu hubunganmu


dengan binatang she Tek itu, tetapi kukira kaupun bukan orang.
Sekarang aku hendak menghabisi jiwamu, harap tenteramkan
hatimu. Jika kau hendak menuntut balas, nanti hantumu boleh
datang ke Bieciu, hahaha……‖
Si pucat kuning yang memang bernama Kim Bian Liu itu
belum selesai berkata ketika tubuhnya mendadak limbung, lalu
terhuyung- huyung ke arah Sin Hong menggeletak.
Sio Hong terkejut. Ia menyadari bahwa saat ini adalah saat mati
hidup baginya. Maka dalam keadaan yang sangat berbahaya ini, ia
mengerahkan tenaganya sambil mengatur jalan pernapasan
menurutkan petunjuk dalam kitab Sin Hong Lwee Kang.
Bukan main girangnya pemuda itu, ketika ternyata ia berhasil.
Segera disaat itu juga ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali,
bahkan lebih dari itu, ia merasakan bahwa tenaganya berkumpul
pada kedua belah tangannya. Dan ...tes ..... tes segera bersamaan
dengan datangnya tubuh lawan ia telah bebas dari totokan dan
ikatan. Setelah mana, ia lantas melompat maju untuk mendahului
menyerang.
Tiba-tiba orang yang mukanya pucat kering itu rubuh
terjengkang dengan sendirinya.
Sin Hong terkejut. Walaupun ia batal menyerang, ia toh harus
bersiap. Tambang bekas pengikat tubuhnya, dipegangnya erat-erat,
dipergunakannya sebagai senjata. Ia melangkah mendekati
lawannya itu.
Kin Bian Liu tampak mengkerojotkan kedua kakinya beberapa
kali, untuk kemudian seluruh tubuhnya diam, tidak berkutik lagi
serta dari mata hidung, telinga dan terutama mulutnya mengalir
keluar darah hidup yang berwarna semu biru. Maka jelaslah ia telah
mati keracunan, racun hebat yang terdapat pada halaman-halaman

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 174
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kitab Tek Kwee Kiesu, waktu ia membasahi jarinya dengan air


liurnya sendiri.
Tak lana kemudian terdengar pula jeritan melolong seseorang
yang diikuti suara gedebrukan suara tubuh yang ambruk ketanah.
Kiranya saudaranya yang bernama Kin Bian Eng itupun mengalami
nasib yang serupa.
Lega hati Sin Hong, bahwa kini ia dapat selamat dari ancaman
manusia-manusia ganas itu. Hari itu mengubur ketiga jenazah itu.
Dan apabila ia memeriksa lukisan-lukisan di kamarnya, ternyata
gambar-gambar itu tidak kurang suatu apa. Agaknya ketiga orang
Thian-Lam-pai itu masuk melalui pintu belakang.
Tetapi dibalik itu, timbul pula kesangsian di hati pemuda ini. Ia
ragu-ragu, apakah sebenarnya Tek Kwee Kiesu itu orang dari jalan
terang ataukah sesat.
Apabila mengingat pada surat-surat Tek Kwee Kiesu yang
agaknya begitu bencinya pada orang orang jahat, agaknya dia
bukanlah orang yang buruk budi pekertinya. Akan tetapi apabla
mendengar dari ucapan orang Thian lam-pai itu, kecuali Tek Kwee
Kiesu seorang pembunuh, juga perbuatan memperkosa wanita
adalah perbuatan yang sangat rendah. Timbul kebimbangan di hati
Sin Hong, apakah setelah mengetahui bahwa orang yang mewarisi
ilmu adalah begitu wataknya, mau diteruskan ataukah tidak
pelajaran ilmu silat yang diperolehnya itu.
Akan tetapi, apabila terbayang betapa rakusnya ketiga orang
Thian-lam-pai itu terhadap peti besi itu, maka tampaknya
merekapun bukan orang baik-baik.
Dalam kebimbangannya itu, Sin Hong telah menyeret keluar
peti besinya. Lalu kitab yang ada didalamnya diambil, ditimang-
timangnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 175
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Suatu waktu tangannya telah diulurkan mendekati api yang


berkobar. Tampaknya Sin Hong hendak membakar kita itu. Entah
mengapa pikiran tiba-tiba berubah. Diletakkannya kitab itu,
kemudian diambilnya kitab ―Sin Hong Iwekang‖ yang
disembunyikannya dibawah bantal kayu.
Dibalik-baliknya kitab itu, diperhatikan benar isinya, hingga
akhirnya terasa sayang baginya uniuk merusakkan kitab itu. Bahkan
kemudian ia membalik-balikkan halaman kitab itu sampai pada
halaman terakhir.
Tiba-tiba matanya membentur pada sederetan huruf yang
merupakan kata-kata bukan kata yang berisi pelajaran ilmu, akan
tetapi adalah merupakan catatan mengenai riwayat hidup Tek Kwee
Kiesu. Demikianlah kata-kata itu ;
Hari itu adalah hari gembira bagi kami sekeluarga. Hari masih
pagi buta. Aku sudah berada ditengah keluargaku. Sembilan kakak
kakak perempuanku juga ada bersama mengelilingiku. Semuanya
bergembira, terutama ibuku yang telah berusia enam puluh dua
tahun. Dengan duduk diri ayah, sebenta-sebentar beliau tersenyum
memandangku, putera tunggal yang saat itu merayakan ulang
tahun yang kesembilan.
Kami adalah dari keluarga berada. Maka perayaankupun
diadakan secara besar-besaran. Hampir seluruh tetangga kani
diundang, sedang untuk menjaga keamanan dan menjaja kami, lima
puluh orang pembantu dikerahkan. Lebih-lebih lagi untuk
menambah keriaan hari ulang tahun itu, istimewa ayah telah
mengundang serombongan tukang wayang dari ibu kota yang saat
itu sangat termashur sekali untuk daerah Tiongkok Selatan. Hari itu
kami benar-benar bergembira.
Tak lama kemudian serombongan pengemis, berdatangan
minta sedekah. Dimana ayah lantas memerintah aku untuk

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 176
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

memberikan uang kepada mereka, masing-masing dua puluh cie.


Mereka ikut pula gembira, dan setelah mengucapkan syukur,
merekapun lantas berlalu.
Demikianlah, karena terlalu gembiranya, maka tanpa terasa
hari telah menjelang malam. Dan tak lama kemudian, tamu satu
demi satu atau berbondong-bondong permisi pulang, sehingga
menjelang pukul tiga rumahku telah sepi, hanya tinggal kami
beserta para pembantu rumah tangga. Sedangkan kedua ‘kong’ dan
‘ma’ sudah masuk tidur.
Saat itu ketika ayah sedang bercakap-cakap, dengan ibu dan
kesembilan saudara perempuan, pembantu para jongos
membereskan meja, tiba-tiba seluruh jendela rumah
memperdengarkan suara gedubrukan, serta merta serombongan
orang bertopeng menyerbu masuk.
Serentak memasuki ruangan, mereka mengamuk dengan
senjata sehingga keadaan menjadi panik. Lebih-lebih ibu yang
sudah berusia tua tidak dapat menguasai dirinya lagi, segera jatuh
pingsan disaat itu juga yang lantas dirubungi oleh saudara-saudara
perempuanku, Namun orang-orang bertopeng yang berjumlah tidak
kurang dari dua puluh orang itu menangkapi saudara-saudara
perempuanku yang tidak berdaya apa-apa,
Mereka kurang ajar sekali, dengan tangan mereka yang jahil,
mereka bertindak tidak sopan terhadap saudara-saudara
perempuanku, sehingga menimbulkan rasa geram pada setiap
orang yang memiliki sifat laki-laki sejati.
Lain pembantu-pembantu yang berjumlah lima puluh orang itu.
serta para centeng-centeng yang berkepandaian biasa saja itu,
berusaha tutuk menghalangi perbuatan mereka. Tetapi apalah
artinya, orang-orang bertopeng itu justru adalah orang-orang yang
berkepandaian tinggi. Satu demi satu terdecgar suara sesambatan,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 177
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dan pembantu-pembantu rumah tangga kami bercucuran bermandi


darah. Kucatat mereka sebagai pembantu-pembantu rumah tangga
yang setia, sebagai pahlawan-pahlawan yang memikul tanggung
jawab hingga titik darahnya yang penghabisan. Mengerikan sekali.
Aku yang hanya seorang bocah, tak tahan melihat semuanya itu,
hingga aku jatuh pingsan…….‖
Membaca hingga disini, Sin Hong segera sadar akan alasan-
alasannya mengapa sampai Tek Kwee Kiesu membunuh sampai
lima puluh lima orang Thian-lam-pai serta memperkosa sembilan
keluarga perempuannya……….
―Tentulah itu merupakan pembalasan……‖ kata Sin Hong
dalam hatinya.
Entah berapa lama kemudian, ketika aku tersadar, aku melihat
betapa diatas lantai bergelimpangan bangkai-bangkai manusia
termasuk kakak-kakakku dimana pakaian mereka koyak-koyak
tidak teratur, terutama pada bagian…….. ah ah,. tak dapat aku
menulisnya dengan kata-kata. Hatiku terbakar oleh dendam.
Apapula melihat saudara-saudaraku yang telah mendahuluiku
dengan cara yang begitu mengenaskan, dengan kehormatan
yang telah hilang…………………
―Terlalu !‖ seru Sin Hong. Pada saat itu juga ia berlutut
dihadapan buku itu, meminta maaf pada gurunya, dimana tadi ia
telah menduga buruk terhadap diri Tek Kwee Kiesu.
Disaat itu juga sebenarnya aku bermaksud hendak membunuh
diri, kalau tidak kudengar suara ayah memanggil-manggil. Ah
rupanya ayah belum ajal. Segera akupun menghampirinya.
Disitulah, pada saat tarikan napasnya yang penghabisan, ayah
menjelaskan bahwa orang orang bertopeng yang telah melakukan
kekejaman itu adalah orang-orang dari partai Thian-lam-pai.
Mereka melakukan keganasan itu karena permintaan sumbangan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 178
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mereka telah ditolak oleh ayah, karena ayah mengetahui bahwa


mereka itu adalah penjudi-penjudi besar.
Agaknya karena penolakan itulah membuat mereka sakit hati,
dan datang untuk menghancurkan keluarga kami. Beberapa saat
kemudian, ketika beliau (ayahku) hendak menghembuskan
napasnya yang penghabisan, beliau menganjurkan padaku agar
dengan cara bagaimanapun aku harus dapat membalaskan sakit
hati itu.
Demikian sejak hari utu, dengan meninggalnya ayah, ibu dan
saudara-saudaraku mata aku jadi yatim piatu, tidak sanak tidak
saudara atau pun pembantu rumah tangga. Sungguh sakit hatiku
sedalam lautan. Betapa tidak? Enam puluh empat jiwa termasuk
kedua ‘kong dan ‘ma’ telah terbinasa dalam satu malam saja.
Begitulah, dari kehidupan seorang anak tunggal keluarga yang
berada aku menjadi seorang bocah yang terlunta-lunta, sebatang
kara hidup dengan megandalkan belas kasihan orang.
Dua tahun aku hidup dalam keadaan demikian, hingga
akhirnya aku ditemukan oleh searang pendekar besar yang ternyata
kini adalah sucouwmu, yaitu Sin Hong Cu Kek Beng.
Sejak itu hidup dibawah asuhan beliau yang memberikan
padaku ilmu pelajaran. Ilmu silat dan ilmu surat. Dan sepuluh
tahun kemudian aku telah mempunyai ilmu silat yang cukup berarti.
Muka guruku menjadi pucat pasi ketika mendengar ceritaku
tentang bencana yang telah menimpa keluargaku, pucat karena
marah.
Segera diperintahnya aku untuk turun gunung dan segera
membalaskan sakit hati. Dikatakannya pula bahwa dengan
kepandaianku sebagai sekarang, jangan hanya seratus Thian-lam-
pai, andaikata dua kali lipat dari itu, masih belum merupakan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 179
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tandinganku. Begitulah, setelah melakukan perpisahan maka esok


harinya aku turun gunung.
Putusanku sudah tetap, yaitu aku harus membunuh sedikitnya
lima puluh lima anggota partai Thian lam pai serta memperkosa
sedikitnya! Dan dalam hal ini, pada taraf pertama aku berhasil,
lima puluh satu anak serta cucu murid Thian-lam serta empat kakek
guru mereka berhasil telah kubunuh. Sedang tiga puluh lima
anggota keluarga perempuannya, dalam waktu delapan belas hari
aku berhasil mencemarkan kehormatannya serta kemudian
menghabisi jiwanya……‖
―Pembalasan total yang terlalu hebat !‖ seru Sin Hong seorang
diri.
―Akan tetapi, seperti tadi kukatakan aku berhasil hanya dalam
taraf pertamanya saja. Karena tiba-tiba ketika korbanku yang
terakhir kucemarkan, yang bernama Kwee Bian Un, mendadak aku
terjerumus kedalam api asmara.
Tak kuasa aku membunuhnya, bahkan kemudian kularikan ia
kedalam sebuah goa.
Akan tetapi mungkin sudah takdir, karena kelalaian ini aku
terjerumus kedalam jurang kehancuran. Demikianlah diluar
tahuku, ternyata goa tempatku bersembunyi beberapa hari
kemudian dilingkung oleh tidak kurang tiga puluh orang dari
Khong- tong-pai, Bu-tong-pai dari Ceng-hong-pai maupun Thian-
lam-pai sendiri. Dari Ceng-hong-pai, Mie Ing Tiangloo sendiri
yang memimpinnya.
Dalam gabungan itu, ternyata mereka sangat hebat dan liehai
bukan main, sehingga baru saja aku membinasakan enam orang
dan melukai sebelas diantaranya, aku tertangkap.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 180
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Bukan main siksaan yang kuderita dari mereka yang memang


kuanggap sudah sewajarnya. Akan tetapi dengan susah payah,
dengan menanggung penderitaan seluruh urat-urat tangan kanan
diputuskan orang, akhirnya aku dapat meloloskan diri. Aku kembali
kegunung Than-ala-san, akan tetapi sungguh kecewa, guruku telah
berpulang sejak dua bulan yang lalu, dan yang membuatku terkejut
adalah pedang guruku lenyap entah kemana. Pada telapak tangan
beliau, hanya kudapatkan surat yang isinya merupakan perintah
kepadaku agar aku mencari dan mendapatkan benda pusaka itu.
Lima tahun lamanya aku melatih diri di puncak gunung.
Setelah kurasakan pulih seluruh kemampuanku, aku kembali turun
gunung. Dan memenuhi pesan guruku aku pergi ke daerah India
untuk menyelidiki serta mengambil pedang pusaka guruku, baru
kemudian aku pergi ke Tinpa untuk membayar lunas sakit hati
keluargaku.
Namun, kiranya tak kuasa aku melawan takdir. Setelah
berhasil aku mengambil kembali pedang pusaka, aku barus segera
kembali ke Than-ala-san, karena saat terakhir bagiku akan segera
tiba. Dan akupun meniru perbuatan guru berpulang dengan cara
duduk bersemedi. Dan secara tenang akupan menyusul beliau.
…………..dan terima kasih kepadamu sekarang kuucapkan
yang telah menanamkan jenazahku sebagaimana layaknya,
sebagaimana yang pernah kulakukan atas diri sucouwmu. Hanya
ada pesanku yang terakhir, pertama-tama turun gunung pergilah ke
Tinpa, dan carilah disana turunanku.
Kalau dia seorang perempuan, peristerilah dia. Akan tetapi
bila dia seorang lelaki dan sebaya umurnya denganmu, angkatlah
dia sebagai suteemu, turunkanlah segala ilmu silatmu. Dan apabila
ia lima atau sepuluh tahun lebih muda darimu, angkatlah dia
sebagai murid.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 181
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Hmmmm, hampir saja aku terpedaya oleh manusia-manusia


Thian-lam tadi‖, gerutu Sin Hong seorang diri. ―Dan hampir saja
aku menjadi seorang murid durhaka membakar kitab akibat ocehan
mereka. Jangan kuatir suhu, apabila telah tiba saatku untuk
berkelana maka aku akan penuhi semua pesanmu. Dan bahkan
apabila mereka orang-orang Thian-lam hendak menuntut balas juga,
biar kusapu bersih mereka. Lebih-lebih pula suhu bermusuhan
dengan orang-orang Ceng-hong pai. Ayahku telah binasa ditangan
anak murid Ceng-hong pai. Mulai hari ini aku akan mempelajari
kedua kitabmu lebih rajin…………
Selanjutnya. Sio Hong bertambah tekun mempelajari Sin Hong
Lwee Kang dengan teliti. Diperhatikannya semua petunjuk-
petunjuk serta cara-cara bagaimana mengatur pernapasan. Ia
perhatikan gerak-gerak dalam peta. Tujuh hari Sin Hong membaca
terus menerus, maka ia mendapat kenyataan bagaimana bedanya
pelajaran itu dengan Ilmu silat pedang ataupun ilmu silat tangan
kosong.
Waktu pertama kali ia membaca, terasa agak bingung. Tetapi
karena kecerdasan otaknya, akhirnya dapat juga ia mengikuti setiap
petunjuk-petunjuk dalam kitab dengan sebaik-baiknya.
Dan pada hari yang kesepuluh, terasa olehnya betapa tubuhnya
menjadi sangat ringan, sedangkan kekuatan tenaganya menjadi
berlipat ganda. Tetapi pada hari yang kesebelas ia mendapatkan
kesukaran, dimana ia sampai pada pelajaran yang tanpa gambar.
Untuk selingan, Sin Hong kemudian melatih ilmu dari kitab
yang satunya lagi, yaitu kitab Penuduhan Lukisan. Dengan bantuan
lukisan-lukisan monyet, Sin Hong mendapatkan kemajuan yang
semakin pesat.
Ketika kembali ia hendak mempelajari Sin Hong Lwee Kang,
maka sekali ia mendapat kesulitan pada pelajaran-pelajaran yang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 182
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tanpa gambar itu. Akan tetapi kali ini ia teringat akan ukiran-ukiran
yang terdapat pada tembok kamar Tek Kwee Kiesu gurunya. Sin
Hong ingat bahwa pada ukiran-ukiran itu jelas tergambar urat-urat
tubuh manusia. Bukankah ada huhungannya dengan pelajaran yang
sekarang ini?
Terpikir yang demikian, maka tanpa membuang waktu lagi Sin
Hong pergi mendapatkan kamar gurunya. Dengan tidak menemukan
kesulitan suatu apa-apa, Sin Hong dapat tiba disana. Dan apa yang
dicarinya itu ternyata benar belaka. Semua ukiran- ukiran itu
ternyata memang membantu penjelasan pelajaran lweekang
baginya. Maka tidak terkatakan betapa girang pemuda ini.
Dengan tidak membuang waktu pula, Sin Hong lantas
melakukan latihan-latihan berdasarkan petunjuk kitab Sin Hong Iwe
Kang dan dibantu oleh ukiran-ukiran dikamar gurunya itu. Ia tahu
cara mengatur pernapasan secara sempurna serta tahu pula urat-urat
tubuh yang mana yang harus dibuka.
Berhasil dengan latihan-latihannya ini, maka Sin Hong
mengucapkan terima kasih dan menyoja tiga kali didepan makam
gurunya.
Ketika ia hendak meninggalkan kamar itu, tiba-tiba matanya
tertarik pada pedang aneh yang menggeletak dipinggir kuburan,
yang tadinya sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia teringat
akan pedang pusaka yang katanya adalah peninggalan dari leluhur
gurunya.
Pedang itu agak melengkung bagaikan ular naga yang melilit
diri, ekornya merupakan gagang, sedangkan ujungnya yang tajam
berbentuk paruh burung hong. Patuk itu dapat dipakai menikam
akan tetapi juga menggaet senjata lawan. Sedangkan pada
gagangnya terdapat tiga buah huruf yang terukir, ―Hon-po-kiam,‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 183
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sm Hong berjalan keluar ketika nyala obor hampir padam.


Tidak lupa membawa beberapa buah kim-hong-cui, senjata rahasia
yang berbentuk seperti obor itu .
Tiba diluar, ketika melihat sebuah batu yang menghalangi
jalan, secara iseng Sin Hong menyabetkan pedangnya. Sungguh tak
terduga, batu itu terbabat potong menjadi dua bagian.
―Aha !‖ seru pemuda itu kegirangan. ―Ini dia pedang mustika !‖
Dan ketika ia mencoba untuk menusuk dinding gua, maka pedang
itu amblas hampir sampai ketangannya.
Bukan main girangnya anak muda ini. Maka begitu tiba di gua
tempat ia berlatih, ia langsung melakukan latihan dengan petuh
semangat dan gembira.
Mula-mula dipermainkannya ilmu pedang ayahnya. Setelah itu
ia melatih ilmu silat gabungannya. Ternyata pedang itu sesuai sekali
dipakai, terutama sekali waktu ia memainkan Sin Hong Kiam
hoatnya. Bukan main bertambah girangnya melihat kenyataan itu
semua.
Selanjutnya berminggu-minggu dan berbulan tanpa mengenal
bosan dan lelah, Sin Hong tekun melatih diri dengan Sin Hong
Lwee Kang maupun ―Pemecahan Lukisan.‖ termasuk juga latihan
mempergunakan senjata rahasia kim-leng-cui tidak ditinggalkan.
Namun pada saat mempelajari Sia Hong Lwe Karg dan tiba
pada halaman terakhir, tiba-tiba ia merasakan suatu kesulitan pula.
Ia mengulangi dan melatih berulang-ulang pada bagian itu akan
tetapi bukannya dapat memahami, sebaliknya malah kepalanya jadi
pusing. Padahal ia yakin benar bahwa ia tidak salah
mengartikannya.
Malamnya, dalam saat ia membaringkan tubuhnya, memikirkan
kedua kitab pelajaran ilmu silat tersebut, sinar bulan berpantulan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 184
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

memasuki gua melalui celah-celah dinding gua yang retak. Ia


menghitung=hitung dalam hati, kiranya telah sepuluh tahun ia
menjadi penghuni gua tersebut. Maka terpikir olehnya untuk turun
gunung mencari musuh besarnya Ong Kauw Lian, pembunuh ayah
dan ibu serta saudara-saudara seperguruannya.
Kecuali itu, terbayang pula wajah An Siu Lian puteri An Hwie
Cian ketua Ceng-hong-pai yang telah binasa di tangan keponakan
sendiri itu. Mengingat akan gadis itu, maka dalam hati ia berharap
mudah- mudahan keturunan Tek Kwe Kiesu, gurunya itu, yang
harus ditemukannya di Tienpa adalah seoraog anak laki-laki,
sehingga tidak akan banyak menimbulkan kesulitan.
Sebulan kemudian, setelah berulang kali mengulang dan
mengulang seluruh pelajaran dari kedua kitab warisan gurunya itu,
Sin Hong lantas membakarnya. Ia mengingat bahwa jika kitab itu
sampai terjatuh ketangan orang-orang Thian-lam-pai, akan sangat
membahayakan bagi ketenteraman dunia kangouw.
Dalam sekejap saja maka api telah berkobar, membakar kedua
kitab pusaka yang sebenarnya menjadi impian setiap orang gagah di
kalangan rimba persilatan.
Sekian lama api menyala, berkobar membakar kedua kitab itu.
Akan tetapi aneh. Selagi semua lembaran-lembaran kitab itu hangus
menjadi abu, maka kulit kitab Sin Hong Lwee Kang sama sekali
tidak hangus, hanya menjadi hitam belaka.
―Aneh !‖ pikir Sio Hong. Lalu dicobanya untuk merobek kulit
kuku itu, akan tetapi tidak berhasil. Padahal Sin Hong tahu bahwa
tenaganya sangat kuat.
Ketika ia menjentik-jentik dan menekan-nekan serta
memperhatikan lebih jauh, ternyata kulit buku itu tidak terbuat dari
kertas biasa. Akan tetapi ternyata terbuat dari baja campuran emas
yang dilapis entah bulu sejenis apa yang rangkap dua. Lapisan itu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 185
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

berbentuk kaos, akan tetapi bahannya jauh lebih halus. Apabila Sin
Hong mempethatikan lebih jauh, kiranya pada kaos pelapis itu
terdapat tulisan ―KAOS PELINDUNG JIWA‖.
Segera, tanpa ayal lagi, dikenakannya kaos itu. Untuk
membuka lapisannya, ia mempergunakan sebuah pisau, Ketika
dikorek, maka ia menemukan sehelai kertas yang terdapat disitu.
Selembar kertas yang ternyata berisikan gambar-gambar.
Gambar-gambar ilmu pukulan dan ilmu pedang. Hingga akhirnya
Sin Hong sadar bahwa gambar-gambar itu adalah petunjuk penting
untuk kitab Sin Hong Iwee Kang pada halaman-halaman yang
akhir, dimana ia mendapat kesulitan untuk mempelajarinya.
Dengan ditemukannya gambar-gambar itu, maka kegembiraan
Sin Hong sungguh tak terlukiskan. Berarti ia dapat sudah melatih
diri dengan seluruh ilmu yang terdapat dalam kedua kitab itu.
Karena penemuan ini, maka Sin Hong mengundurkan waktu
keberangkatannya selama beberapa hari untuk melatih diri lebih
lanjut. Seluruh latihan yang semula samar-samar kini telah dapat
dilatihnya dengan baik.
Selanjutnya, setelah merasa telah siap semuanya, maka Sin
Hong menyiapkan buntalan untuk berangkat turun gunung. Setelah
berlutut dan paikui dihadapan makam Tek Kwee Kiesu, serta
memberikan salam terakhir pada makam Siu Lian, maka sambil
menggendong Hong-po-kiam, ia mulai dengan perjalanannya.
Tidak lupa, ia menutup mulut gua dengan batu besar, agar
jangan sampai ada orang lain yang dapat menemukan tempat itu.
Hari inilah, hari yang pertama kali bagi Sin Hong mulai turun
gunung sejak sepuluh tahun yang lalu ia mengasingkan diri.
Maka tidaklah mengherankan apabila sekarang Sin Hong
melihat segala sesuatu yang tampak olehnya seperti asing baginya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 186
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah berjalan setengah harian, kira-kira hari hampir pukul


dua, maka Sin Hong telah tiba pada lereng pegunungan yang
ditumbuhi hutan cemara. Pohon-pohon cemara itu kini tampak telah
berubah benar, Daun-daunnya rimbun-rimbun, sehingga walaupun
saat itu matahari sedang naik tinggi, tetapi Sin Hong hampir tidak
merasainya. Bahkan yang terasa olehnya adalah nyaman dan sejuk
serta angin yang meniup terasa silir-silir lembut.
Sedang asyiknya ia berjalan, mendadak terdengar suara burung-
burung pemakan bangkai berterbangan diatas kepala, Sin Hong
mengaagkat kepala untuk meyakinkan. Mendadak saja ia teringat
sesuatu. Lalu cepat-cepat ia naik, memanjat pohon. Lalu dengan
pedangnya ia memotong sebuah dahan.
Dahan itu dibawanya turun. Lalu diambilnya duri-duri yang
melekat padanya. Setelah merauti duri-duri itu kemudian
menyimpannya maka iapun melanjutkan perjalanan kembali.
Menjelang malam hari, Sin Hong telah tiba di gunung. Ia
teringat akan keluarga Oei, maka iapun bermaksud untuk
menyambanginya.
Ketika tiba pada dusun tempat paman dan keponakan itu, maka
Sin Hong menjadi keheranan melihat dusun itu sepi-sepi saja, tidak
terdengar gonggong anjirg. Didepan rumah keluarga Oei tidak juga
terlihat jongos yang menyambut, sunyi sekali.
Karena kesunyian yang mencurigakan itu maka Sin Hong
berusaha menghampiri sebuah pintu gedung yang tampak agak
membuka. Diketuknya pintu rumah itu. Dari ketukan-ketukan
lemah sampai ketukan yang keras, tidak juga terdengar ada jawaban
dari dalam, hingga karena habis kesabaran, maka digedor-gedornya
pintu itu keras-keras, barulah beberapa lama kemudian tertampak
keluar seseorang yang jalannya terbungkuk-bungkuk menghampiri.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 187
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Siapa tuan…….. tuan siapa?‖ demikianlah dengan terburu-


buru kakek bungkuk itu menegur.
―Aku seorang tamu dekat, hendak bertemu menyambangi
kedua Oei-lohiap‖ kata Sin Hong.
―Oh, bukankah tuan adalah tamu muda yang pada beberapa
tahun yang lalu pernah berkunjung kemari bersama tuan Balgha?‖
Kakek itu menegaskan penglihatannya dengan mengangkat muka
memandang tajim.
―Ya, saya Lie Sin Hong……‖ sahut si pemuda membenarkan.
Baru saja Sin Hong menjawab demikian maka tampak kakek
itu menundukkan kepalanya sambil pundaknya bergerak-gerak,
menangis.
―Kakek mengapa kau?‖ Sin Hong keheranan. Terasa olehnya
firasat buruk yang telah menimpa keluarga itu.
―Oh, anak Sin Hong…..‖ demikian kata kakek itu sambil
mempersilahkan tamunya memasuki rumah. ―Kau tidak
mengetahuinya…..‖
Sio Hong diajak masuk kedalam, duduk-duduk sambil tak lama
kemudian kakek itu telah menyediakan secangkir teh.
―Kakek, apakah malapetaka telah menimpa……‖ Sin Hong
telah tak sabar.
Kakek itu menyeka matanya berulang-ulang. Baru kemudian
menjawab :
―Malapetaka………. yah malapetaka. Setahun setelah
kedatangan kalian berdua tuan Balgha, maka kekampung ini telah
datang dua orang yang berhidung bengkok serta mengenakan ikat
kepala yang bentuknya aneh sekali. Oleh karena mereka datang
pada malam hari, sedang yang seorang mukanya merah dan satunya

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 188
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kuning, yang kelihatan pada mereka hanyalah matanya saja yang


menyala seperti obor. Ternyata mereka itu tidak hanya berdua saja.
Jauh di dibelakang mereka, ikut serta satu orang yang ternyata
adalah sebangsa kita.
Mereka langsung memasuki rumah gedung Oei chungcu, tanpa
menghiraukan sopan santun. Mereka itu adalah orang-orang jahat,
yang datang hendak menuntut balas. Satu orang yang datang
belakangan itu adalah bekas begal yang pada enam tahun yang lalu
pernah dikalahkan oleh chungcu kami!‖
―Apa yang mereka lakukan?‖ Tanya Sin Hong.
―Kedua orang asing yang mukanya sangat menyeramkan itu,
sangat tidak tahu aturan sama sekali.. Mereka sangat telengas.
Ketika tuan kami sedang berbicara dengan bekas pecundangnya,
kedua orang bermuka hantu itu telah membuat kegaduhan. Yang
satunya yang mukanya kuning dengan kelima jarinya telah
membunuh jongos yang saat itu sedang membawa air teh diatas
nampan. Dengan kelima jarinya yang sangat buas itu, ia
mencengkeram mata kuping dan hidung jongos itu. sehingga
masing-masing bagian muka itu copot dari kepalanya……‖
―Aih, mengapa begitu telengas?‖ Sin Hong berseru terperanjat.
Dalam kitab pemecahan lukisan, memang terdapat ilmu yang
sejenis itu, yaitu mencabut nyawa dengan lima jari. Ilmu itu
terdapat di tanah India. Tidak mudah orang dapat meyakininya.
Orang bermuka kuning itu agaknya tidak boleh dipandang ringan.
―Cepat sekali gerakan tamu asing itu, sehingga siapapun tidak
dapar mencegah kejadian itu. Dan selanjutnya kedua chungcu kami
telah terlibat dengan pertarungan melawan bekas begal itu.
Sebenarnya si bekas begal itu bukanlah lawan kedua chungcu kami.
Akan tetapi sedang ia terdesak hebat, mendadak terdengar pekikan
suara si orang asing yang bermuka merah !‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 189
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Bukan main orang bermuka hantu itu. Dengan permainan


tangan kosong ia dapat memecah pertahanan kedua chungcu kami.
Dan tak lama kemudian terdengar jeritan chungcu muda Oei Hong
Gap. Ternyata beliau telah mengalami nasib yang sangat
mengerikan, mukanya hancur seperti jongos tadi, ―
―Ahhh...‖ tanpa sadar Sin Hong mengeluh dan bergidik.
―Melihat nasib sang keponakan, maka Oei toa chungcu menjadi
sangat gusar, Dan beliau berusaha untuk membalaskan sakit hati
keponakannya itu. Akan tetapi sebelum sempat berbuat banyak,
beliaupun telah mengalami nasib yang serupa, mukanya terbelah,
pisah dari kepalanya…….!‖ Kakek itu tersengguk-sengguk
menangis ―Aku yang saat itu tengah bersembunyi di loteng melihat
tegas semuanya itu terjadi. Mungkin saat itu aku telah mati lemas.
Tetapi mataku masih dapat melihat betapa iblis yang ternyata
bernama Ang Oei Mokko itu selanjutnya dengan kekejaman yang
luar biasa, membunuh! sekalian penghuni rumah yang
ditemuinya……. Tidak seorangpun yang tersisa dalam rumah,
kecuali aku dan…… ukh ukh ukh !‖ Si kakek menangis
menggerung-gerung pula.
―Terlalu…….‖ untuk kesekian kalinya Sin Hong mengeluh
menggidik ngeri, sungguh dinyana bahwa nasib keluarga Oei akan
begitu mengenaskan Untuk beberapa saat pemuda itu duduk
termangu, diam tak berkutik.
―Tuan dapatkah menduga siapakah diantara keluarga chungcu
yang masih selamat?‖
―Bukankah Oei siocia?‖ sahut Sin Hong gugup dan
menggeragap.
―Benar. Thian memang tidak buta, satu-sayunya turunan Oei
chungcu yang berhasil meloloskan diri, dia itulah…..‖, sahut kakek

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 190
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

itu menjelaskan. ―Dia dibawa lari oleh Liu siauwji, ketika iblis
kejam itu sedang mengamuk…….‖
―Syukurlah kalau begitu‖, kata Sin Hong. ―Jikalau begitu
halnya berarti keturunan Oei tidak tumpas sama sekali‖ pikirnya.
―Hanya entah kemana dibawanya puteri itu pergi. Tuan muda,
apabila dibelakang hari kau menjumpainya harap tolong kirimkan
kabar……‖
Sin Hong menyangupi. Selanjutnya karena ia pikir sudah tak
ada pula manfaatnya untuk berlama-lama disitu, maka Sin Hong
lantas mengambil hio untuk melakukan sembahyang didepan meja
aku paman dan keponakan keluarga itu, barulah ia meminta diri
untuk melanjutkan perjalanan.
Papa hari kelima dalam perjalanannya itu Sin Hong tiba pada
sebuah dusun yang ramai, yang terkenal dengan araknya yang
harum yaitu dusun Kang-po. Disitu Sin Hong dapat memperoleh
seekor kuda.
Sebelum melanjutkan perjalanan pemuda itu bermaksud untuk
masuk kedalam sebuah warung depan minum arak, barang beberepa
teguk. Didepan rumah makan itu Sin Hong tertarik pada seekor
kuda berwarna merah mulus yang tertambat.
Ketika sedang meneliti kuda itu, mendadak perhatiannya
tertarik pada sebuah tanda rahasia yang terlekat dipojokan tembok,
Sin Hong tahu bahwa tanda dari orang kalangan kangouw. karena
bukannya ia pernah menjadi seorang piauwsu? Tanda-tanda
semacam itu memang sering ia dapati dalam pekerjaannya itu.
Dengan tenang Sin Hong memasuki sebuah rumah makan.
Dilihatnya didalam ruargan itu, seorang pemuda yang berpakaian
sangat perlente sedang duduk-duduk minum seorang diri. Apabila

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 191
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melihat dari pakaiannya, tampaknya pemuda itu agaknya


tergolongan orang kang-ouw.
Pemuda yang menyendiri itu berwajah sangat cakap, hampir-
hampir Sin Hong tak percaya bahwa pemuda itu seorang laki-laki
karena wajahnya yang sangat halus dan seperti ―cantik‖ itu.
Disisi sebelah barat pemuda cakap itu, duduk pula dua orang
laki-laki, yang seorang gemuk dan yang seorang lagi kurus. Mereka
berwajah kasar, dan berulang kali mereka tampak melirik kearah si
pemuda tampan.
Sedangkan si pemuda tampan itu agaknya tidak memperhatiltan
tingkah laku kedua orarg itu. Ia minum secawan demi secawan,
sehingga kemudian tampak tubuhnya limbung, walaupun
demikian, wajahnya masih melukiskan bahwa ia sedang berduka
hati. Berkali-kali ia menggoyang-goyangkan kepalanya, dan
tangannya mengepal-ngepal. Tetapi sungguh aneh, sama sekali ia
tidak menyadari bahwa dua orang yang duduk didekatnya sering
mengincer kearahnya.
Pada saat itu, terdengar sigemuk berkata serak :
―Hayo kawan, kau harus habiskan dua ratus cangkir ! Minum
terus, tidak boleh curang !‖
Temannya, yang kurus itu berjingkrak.
―Kau gila !‖ bentaknya, ―Kau sendiri belum menghabiskan
tujuh cawan, bagaimana kau mau mendesak aku menghabiskan dua
ratus cangkir !‖
―Tapi tubuhmu kurus, ingat, kau membutuhkan banyak minum
arak agar tubuhmu menjadi panas dan bertenaga. Paling sedikit,
sebenarnya kau harus menghabiskan tiga ratus cangkir !‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 192
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Ngomong busuk !‖ Si kurus menggerutu, mendongkol; ―Aku


tid.k mau minum lagi !‖
―Hei, tidak mau minum?‖ bentak sigemuk, seraya kemudian
diangkatnya sebuah poci arak, dan diselugukkannya kedalam mulut
sikurus.
Si kurus jadi gusar. Tangannya dikebaskan sehingga arak itu
tertumpah ruah menyiram tubuhnya. Sigemuk tetap memaksa,
sehingga keduanya lantas bergumul, seperti disengaja, pergumulan
mereka sampai melanggar sipemuda tampan.
―Kurang ajar!‖ Pemuda itu membentak seraya bangkit.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara barang jatuh. Kiranya
sebuah kantong bersulam milik pemuda tampan itu, dan dan
didalamnya tampak meletik keluar sepotong emas serta beberapa
tahil perak.
Sipemuda tampan bergerak cepat sekali, menginjak kantongnya
mendahului kedua orang yang berlagak mabuk itu. Lalu diraupnya
uang-uang perak dan emasnya itu seraya berseru :
―Kalian hendak merampas?!‖
Kedua orang yang bergumul itu berhenti bergulat. Si gemuk
kontan membentak : ―Siapa merampas?‖
―Berani sembarangan menuduh orang. Kuhajar kau !‖ si kurus
mengancam.
Menyaksikan ketiga orang yang hendak ribut itu beberapa
orang tamu yang lain datang meleraikannya.
Sin Hong tertawa menyaksikan perbuatan kedua orang kasar
itu. Ia mengerti dan maklum bahwa perbuatan kedua orang itu
bergumul memang sengaja untuk secara diam-diam untuk
merampas kantong orang, atau setidak-tidaknya mengetahui isi

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 193
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kantong pemuda itu. Cuma sayangnya merek kalah cepat dengan


pemiliknya sehingga maksud mereka tidak kesampaian.
Sin Hong mendekati kedua orang kasar itu. Sambil mendorong
mereka agar menjauh, ia menegur :
―Apakah kailan sudah sinting ! Mau bergumul, ya bergumul
saja, tak perlu menyeruduk tempat orang lain !‖ Sambil menegur,
demikian ia mendorong kedua orang itu agak keras, sehingga
terhuyung kebelakang, kesakitan. Dan mereka sungguh tak mengira,
bahwa pemuda yang mendorong-dorong mereka itu telah
mengambil isi kantong celana mereka
―Bangsat itu yang sembarangan menuduh orang !‖ Kata si
gemuk marah dan mencaci. Tetapi beberapa tamu yang lain, yang
memang melihat asal keributan itu, jadi menyalahkan mereka.
―Sudah ! kalian yang mengganggu urang!‖
―Kalau mau minum sambil guling-gulingan minum dirumah
sendiri saja !‖ begitulah kata tamu-tamu yang lain.
Pemuda tampan yang berpakaian kangouw itu memandang
kearah Sin Hong sambil mengangkat cawannya : ―Saudara, mari
minum bersama !‖
―Terima kasih‖ sahut Sin Hong seraya duduk. Dari tempatnya
ia mengawasi kedua orang kasar itu.
Mereka itu tampaknya masih mendongkol kepada si pemuda
tampan, dan berulang kali mereka mengawasi dengan sorot mata
tajam. Lalu seorang diantaranya, sikurus memanggil kuasa rumah
makan untuk perhitungan.
Si gemuk masih menggerutu. Tangannya dimasukkan kedalam
kantong celana, agaknya ia hendak mengeluarkan uang. Tiba-tiba

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 194
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tampak melongo, dan tangannya masih terbenam dalam kantong


celana, sementara wajahnya jadi pucat dan berkeringat.
Melihat perubahan sikap temannya, maka si kuruspun lantas
meraba sakunya, iapun menjadi tertegun, dengan mendadak. Dan
bola matanya berputar-putar kebingungan.
Kedua orang itu saling pandang, Saling mengawasi, sedang
mulut mengatup rapat tidak dapat berkata barang sepatah katapun
juga.
―Jumlah semua .... cuma dua tahil lima cie…..‖ kata kuasa
rumah makan seraya membungkuk hormat kepada kedua tamu itu.
Sebaliknya kedua tamu itu saling pandang menyeringai, seperti
monyet mencium terasi. Tangan mereka masih belum ditarik dari
dalam kantong celana.
―Tuan-tuan, semuanya berjumlah dua tahil lima cie‖, kuasa
rumah makan itu mengulangi.
Lalu dengan gugup dan muka sebentar meraba sebentar pucat,
si gemuk menjawab gugup :
―Kalau boleh…… kami membayar lain kali……saja hehe‖.
Tuan rumah memperlihatkan sikap yang dingin dan keheranan.
―Wah, rumah makan kami bisa pailit, kalau semua tamu
berhutang‖, kata kuasa rumah makan itu.
Si jongos yang juga mendongkol melihat tingkah laku orang,
ikut-ikutan menyeletuk
―Apakah kalian berdua berdua bukannya hendak mengganggu
kita? Sudah minum berpuas-puas, membikin keributan lagi….
Kalau benar-benar tidak berduit, hayo buka baju !‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 195
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dan tamu-tamu yang lain ikut menimbrung : ―Memang mereka


berdua itu ialah…….‖
Melihat gelagat yang tidak enak, kedua orang itupun membuka
bajunya, Rupanya dengan kedua potong baju itu saja, harga dua
tahil lima cie belumlah cukup, dan sijongos telah mengambil kopiah
tamu itu.
Kedua tamu itu murka bukan buatan roman mukanya sampai
merah hijau, merah pucat tak menentu. Akan tetapi mereka tak
berdaya, dan setelah mendapat perlakuan yang sangat kasar itu,
mereka bergegas keluar meninggalkan rumah makan.
Seperginya kedua dorang itu, Sin Hong jadi teringat sesuatu.
Mereka itu tampaknya memang bukan orang baik-baik. Menilik
sikapnya mungkin mereka adalah orang-orang bawahan dari
suatu perkumpulan. Tidak mustahilkah mereka akan mengadu
kepada pemimpin mereka?
Teringat akan hal yang demikian, maka Sin Hong bermaksud
untuk menghampiri sipemuda tampan untuk memberikan
peringatan. Akan tetapi baru saja ia berdiri, diluar rumah makan
terdengar suara ribut-ribut, dan tak lama kemudian belasan orang
laki-laki yang wajahnya kasar daa beringas, tampak memasuki
rumah makan sambil membuat kegaduhan.
Diantara mereka itu, terdapat dua orang yang habis dilucuti
tadi. Mereka itu menunjuk kearah sipemuda tampan, maka langsung
belasan orang itu mengurung sipemuda. Salah seorang diantara
mereka yang berhidung pesek dan bercabang bauk agaknya adalah
pemimpin rombongan menghampiri sipemuda dengan garang.
Dengan kedatangan belasan orang itu, maka suasana dalam
warung menjadi panik. Beberapa orang tamu yang bernyali kecil
segera membayar makanan, dan berlalu dengan cepat.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 196
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Si gemuk yang tadi mati kutu, kini dihadapan kawan-kawannya


rupanya bermaksud hendak pamer kegagahan. Sekali menghampiri
sipemuda tampan ia mengulur tangan untuk menjambret dada
orang. Akan tetapi sebelum tangannya yang berbulu itu sampai pada
sasarannya, terdengar ia menjerit, kesakitan seperti babi dipotong.
―Wadauuu...!‖ dan bertepatan dengan itu tubuhnya terbanting
dari kursinya yang ringsek.
Beberapa orang tamu yang masih berada disitu, melihat
kejadian itu dan tertawa geli, melihat si gemuk yang jatuh dengan
muka ke tanah, sehingga beberapa buah giginya copot dan
menyembur darah.
Yang hebat, setelah jatuh, si gemuk bukannya bangkit berdiri,
akan tetapi ternyata pingsan seketika. Hal ini membuat para ramu
yang menyaksikan jadi kaget.
―Pembunuhan !‖ Seru para tamu yang tadi tertawa, kini jadi
panik, dan serabutan keluar untuk menghindari kejadian mungkin
berkembang makin besar.
Si pesek yang melihat nasib bawahannya demikian, menjadi
sangat gusar. Serentak ia mengomando bawahannya untuk segera
turun mengeroyok.
―Berhenti !‖ Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat,
dan berpengaruh sekali, sehingga membuat para pengeroyok itu
mengurungkan maksudnya Mereka semuanya jadi bungkam, dan
pandang matanya terarah kepintu rumah makan, dimana berdiri
seseorang yang bertubuh pendek gemuk dengan sebuah golok besar
melintang didepan dadanya. Dibelakang orang gemuk pendek itu
tampak berdiri pula dua orang lain yang sikapnya tidak kalah
garangnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 197
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Melihat munculnya orang-orang itu, maka diam-diam Sin Hong


telah menyiapkan beberapa batang dari cemara yang akan
dipergunakannya sebagal piauw bila saatnya perlu nanti ia
membantu sipemuda tampan itu.
―Keluar kalian !‖ bentak orang pendek gemuk itu kepada para
pengeroyok dengan suaranya yang keras mengguntur.
Anak buah sihidung pesek itu, tanpa digebah sekali lagi, telah
berebutan keluar sambil ketakutan. Sedangkan sipemuda tampan,
dengan sikap mengejek, berseru : ―Ayo cepat keluar! Keluar
semua!‖ Tampaknya ia sama sekali tidak menghiraukan sipesek dan
anak buahnya yang menggerutu dan melotot kearahnya.

****

JILID 6

―Mana pemilik rumah makan?" seru orang pendek gemuk tadi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 198
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

"Saya.. saya..!" Kuasa rumah makan itu segera muncul dari


kolong suaraaya gemetar, demikian juga seluruh tubuhnya tak bisa
diam karena ketakutan. Thay yoya... maafkan .?.aduuuh!‖. Belum
selesai ia berkata, sebuah tamparan yang tidak tertampak oleh
matanya, mengenai pipinya.
"Tahan!" Tiba-tiba pemuda tampan itu berseru mencegah
sambil meloccat dari tempat duduknya, menghadapi si pendek
gemuk yang garang itu.
"Dia tidak hersalah. Kalau mau cari urusan boleh kepadaku!"
Si pendek gemuk melihat kegesitan gerakan pemuda tampan
itu, dia tampak tertejut. sebaliknya, Sin Hong merasa lega karena ia
tett bahwa terayata pemuda tampan itu memiliki kepandaian yang
cukup tinggi.
Karen marahnya si pendek gemuk itu melotot, dan kumisuya
bergerak-gerak.
―Bocah mencari mampus. Minggir!‖ bentaknya seraya
tangannya yang besar berbulu-bulu itu mergebas kearah dada si
pemuda. Akan tetapi kiranya pemuda itu cutup waspada. Dengan
melangkah mundur setindak, maka hantaman tangan si pendek
gemuk yang mengarah ke dadanya dapat dihindari dengan baik.
Karena gagal serangannya, maka penyerang itu menjadi tambah
naik pitam. Begitu serangan pertamanya gagal, maka ia telah maju
setindak membarengi ukulan yang kedua, cepat dan amat
berbahaya. Dan bersamaan itu pula kedua temannya telah mengirim
serangan ke arah si pemuda dari kanan dan kiri menjepit.
―Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba terdengar si pemuda tampak tertawa."
Tidak tahu malu! Tiga orang tua bangka meagerubut anak kecil"
Begitu tertawa tangannya telah bergerak kepunggung, maka

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 199
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

selanjutaya ia telah memegaug sebatang pedang yang langsung


digerakan menyabet ke arah riga orang pengoroyok itu.
Pengoroyok-pengeroyok itu berlornpatan mundur karena
terkejut dan merekapun tak mau melawan dengan tangan kosong,
masing-masing lantas menarik senjatanya yakni toya, tombak dan
golok besar.
Sesaat kemudian maka keempat orang itupun tetah terlibat
dalam pertarungan yang seru. Sin Hong yang sempat menyaksikan
cara bertempur pemuda cakap itu jadi terkeiut, karena tampaknya
pemuda itu bertarung dengan gerakan yang mirip sekali thaw gaya
dilakutai oleh Kim Biau Liu waktu didalarn guha melawan Sia
Hong. Hanya bedanya, pemuda itu tampak mempunyai gerakan
yang tebih cepat lebih gesit. Bukan main cepatnya gerakan
pedangnya berkelebat-kelebat membuat bayangan-bayangan
berkilatan dalam beberapa detik saja ia telah memainkan belasan
Jurus serangan, membuat ketiga pengeroyok itu kocar kacir.
Ketiga pengeroyok yang semula memperlihatkaa sikap galak
itu kini terdesak, tak banyak mulut dan mandi keringat. Sernentara
itu, karena keempat orang itu bertempur dengan mempergunakan
senjata, nista meja kursi rumah makan jadi berantakan, tamu-tamu
pun sudah habis berhamburan pergi, kecuali satu-satunya Sin Hong
yang menonton pertarungan itu sainbil mirurn-minum tenang.
Kian lama permainan pedang pemuda tampan itu semakin
hebat. Tubuhnya seakan lenyap, tinggal kelebatan sinar pedang
belaka yang menyarnbar-nyambar kian kemari, metibat ketiga
lawannya.
Suatu saat pemuda itu mengelakan serangan senjata lawannya
dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mengayunkan
pedang, menyabet keleher lawan yang kedua. serangan itu pula,
kaki kanannya melayana dengan gerakan tipu Ayam Eanas

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 200
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mematuk Elang. Hebat bukan main serangan ini, hingga lawannya


si pendek gemuk yang memang tetah pening akibat dicecer
serangan, masing-masing menggerakkan senjatanya menangkis
pedang dan tendangan kaki yang berbahaya itu.
Serangan ini mereka dapat menghindarkannya, akan tetapi
diluar dugaan mereka, ternyate serangan si pemuda yang serempak
itu hanyalah pancingan belaka mencari lowongan pada musub-
musuh karena secepat kilat, pemuda itu telah merubah serangannya,
pedang telah berubah arah menusuk, sedangkan tendangan yang
seberarnya dilakukan adalah dupakan kaki kiri. Akibatnya, tak
ampun lagi kedua lawan itu terluka pundak oleh pedang, sedangkan
yang seorang lagi terdupak betisrya dengan keras. Kedua lawan
itupun menjerit kesakitan, tubuhrya terbanting roboh sehingga
membuat si pendek gemuk jadi terkejut dan kalut perhatian. "Ha ha
ha ha! Tunggu satabat! Tidak pantas datang dan pergi begitu saja
tanpa meninggalkan tanda mata,‖ seru pemuda tampan itu pula
seraya pedargnya melurcur cepat mengarah punggung si pendek
gemuk.
"Ah, kejarn sekali" seru Sin Hong dalam hatinya, yang menjadi
tidak senang menyaksikan keteleagesan si pemuda tampan,
sehingga diam-diam ia menyiapkan dua batang senjata rabasia dari
cemara, siap untuk memberikan pertolongan pada orang yang sudah
tak berdaya itu.
Namun pada saat itu, tiba-tiba matanya yang tajam melihat dari
arah jendela melesat sesosok bayangan orang, gesit sekali bayangan
itu sehingga dapatlah dipastikan bahwa orang yang Baru datang ini
tentulah seseorang yang berilmu satgat tinggi. Begitu muncul muka,
maka orang itu telah berada di tengah-tengah antara si pemuda
tampan dengan orang yang pendek gemuk tadi.
Dia, yang baru datatsg itu adtaah seorang Tosu (Imam) yang
beusia lima puluhan tahun. Jenggotnya bercabang tiga. Air

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 201
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mukanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang telah puas


berkelana di kalangan kangouw, sedangkan kedua biji matanya
bersinar-sinar sangat kejam.
Tosu ini, begitu muncul lantas bertindak. Lengan bajunya
mengebut, maka pedang si pemuda tampan yang semula meluncur
itu menyimpang ke saming si pendek gemuk. Dapatlah terbebas dari
kebinasaan.
―Bagus.‖ pemuda tampan ini mendengus penuh ejekan.
―Sekarang tambah satu orang pengeroyok lagi. Ayo datanglah
empat puluh lagi. Thaiya Giok Hwat tidak akan lari.‖ Agaknya dia
tidak gentar walaupun menghadapi Tosu itu yang ternyata memiliki
Iwekang yang lebih tinggi.
―Bocah lancang!‖ bentak orang yang pendek gemuk tadi.
―Jangan kurang ajar pentang matamu dengan siapa kau berhadapan
sekarang.‖
"Dengan seorang Tosu bidung kerbau.‖ Mulutnya menjawab
demikian, tangannya meluncurkan pedang mendahului menyerang
si Tosu dengan gerakan tipu Bayi Langit Nangis menjerit.
Si Tosu yang merasa dihina dan diserang dengan begitu kasar
menjadi sangat gusar. Setelah si pendek gemuk mundur, maka
iapun melolos senjatanya yang berupa yang berwujud sebuah
senjata alat tulis, langsung dipergunakannya menangkis pedang si
pemuda. Sesaat kemudian merekapun bertempur dengan sengit.
Tampatnya kekuatan mereka hampir seimbang. Si Tosu dengan
senjata tulisnya itu ternyata dapat bergerak dengan sangat tangkas
dan berbahaya. Kecuali menusuk dan mengemplang, senjata alat
tulis itu dapat dipergunakan sebagai alat menotok jalan darah,
sehingga detik-detik selanjutnya senjata itu telah berkelebat
mengurung si emuda yang mengaku bernama Giok Hwat Kong itu
dengan puasnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 202
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong diam-diam mengagumi kepandaian si Tosu itu.


walaupun orang tua itu. walaupun orang tua itu Cuma si gemuk
pendek yang berandalan, akan tetapi ternyata Hwat Kong ilmu
silatnya cukup hebat. Sedangkan pemuda itu mau tidak mau harrus
melayaninya dengan sungguh-sungguh. Tidak berani lagi ia
memandang ringan pada lawannya. Hal itu tampak pada gerakan-
gerakan silatnya dan raut mukanya yang menjadi tegang sekali.
Dengan tidak kurang lincahnya, Hwat Kong merubah gerakan
pedangnya menjadi cepat dan gencar, mengimbangi terjangan
senjata alat tulis si Tosu yang menyambar-nyambar seperti
gelombang.
Akan tetapi selama ini Hwat Kong belum dapat melakukan
serangan secara bebas, bahkan sebaliknya, ia berada dalam keadaan
tertahan serangan-serangan senjata si Tosu, amat cepat datangnya
dan setiap kena ditangkis senjata itu bukannya terpental membalik,
akan tetapi justeru seperti mendapat tenaga baru untuk melancarkan
serangan-serangan lebih lanjut.
Untuk sesaat Hwat Kong tamak mengagumi kepandaian lawan,
tetapi juga gugup. Untung saja ia bernyali besar, dan sebagai
seorang murid dari seorang guru yang agaknya ternama, tentu saja
ia harus dapat menjaga nama baik gurunya. Demikianlah walaupun
selama ini ia hanya bertahan belaka, akan tetapi saat-saat tertentu ia
sempat pula melayangkan serangan balasan, sehingga ia tidak
begitu saja dapat dirobohkan.
Namun si Tosu nampaknya tidak mau memberi hati pada
lawannya. Serangan-serangannya semakin hebat dan ganas.
Sedikitpun ia tidak memberi kesempatan pada lawannya.
Giok Swat Kong yang mernangnya sedang nemusatkan
perhatiannya pada senjatanya, sama sekali tidak menduga seranoan
mendadak itu. ia tidak sempat lagi untuk menghindarinya sehingga

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 203
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ia hanya sempat mengerahkan Iwekang melindungi perutnya agar


tidak menderita luka dalam.
Bukk!" Tendangan tepat mengenai perut si pemuda, dan
pemuda itupun terhuyung mundur. Rupanya si Tosu benar-enar
tidak akan mengampuni lawannya. Bersamaan dengan mengerahkan
senjaranya menyerang ia membentak dengan keras.
"Lihat kawan-kawan! Bukankah dia orangnya yang telah
mencuri lima belas potong emas hasil kita?‖ Maka ketika kata-
katanya ini berhenti, ujung senjatanya sedang hendak menghajar
dada Hwat Kong.
Tampaknya pemuda yang bernama Hoat Kong itu akan segera
terbinasa dibawah hantaman si Tosu, akan tetapi pada saat
mendekait detilik kebirassannya, dan sudah kebabisan daya tiba-tiba
dari arah sebelah kiri melayang sebuah piauw. Ringan sekali
gerakan senjata tabasia itu kareua tampaknya terbuat dari bahan
sejenis kayu yang ringan. Akan tetapi oleh tenaga sambitan yang
sangat besar. Benda itu dapat membentur ujung alat tulis si Tosu
yang sudah hampir mengenai sasaran, hingga senjata itu jadi
melenceng kesamping. Si Tosu terkejut bukan kepalang.
Si Tosu merduga bahwa ada orang lihai yang telah melindungi
lawannya. la pun memutar tubuh, mencari-cari dengan matanya,
siapa orangnya yang telah lancang tangan. Akan tetapi ia menjadi
heran sekali ketika ia tidak melihat orang lain kecuaii seerang
pemuda yang sedang duduk-duduk tenang, seolah-olah tidak tahu
urusan. Pemuda itu sedang duduk diam tidak patut untuk dicurigai
memiliki kelihaian. Tetapi siapakah dia pelindung lawannya itu?
Karena memikir-mikir demikian, maka si Tosu menjadi lengah.
Dan pada saat ia berada dalam keadaan demikian itulah berkesiur
angin sambaran pedang, menyerang kearah dadanya. Akan tetapi si
Tosu kiranya benar-benar kosen. Dalarn keadaan yang sangat

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 204
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

berbahaya itu ia masih sempat bertindak cepat. ia melompat


kekanan, mendahului datangnya serangan dengan gerakan
senjatanya menangkis sekaligus jari tangan kirinya digerakkan
menotok jalan darah tay hui hiat Hwat Hong dibagian lambung.
Kembali serangan si Tosu begitu cepat dan tak terduga sehingga
membuat Hwat Kong gelagapan, dan karena inilah kiranya pemuda
itu jadi nekat. Dengan melupakan berbahaya totokan yang dapat
membuat dia mati lemas, pemuda tampan itu majukan tubuhnya
kekanan seraya mengayunkan pedangnya.
Demikianlah kedua orang itu tanpa dapat menghindarkan diri
atau mengendalikan serangan masing-masing akan terancam bahaya
akan terbicasa, maka serangan mereka meluncur dengan cepat.
Namun dalam saat yang sudah demikian menentukan antata
hancur dan binasa, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, menyelak
diantara mereka berdua, serta memisahkan pedang dan jeriji itu dari
sasarannya masing-masing sebingga kedua orang yang sedang
bertarung itu, baik si Tosu maupun Glok Hwat Kong tersentak
mundur beberapa tidak. Demikian hebatnya tenaga Iweekang orang
itu yang ternyata tidak lain adalah Lie Sin Hong.
―Maaf!" kata Sin Hong seraya merangkapkan tangan. "Kuharap
urusan yang tak ada artinya ini disudahi sampai disini saja …!"
Kedua orang yang bertarung itu, terutama sekali si Tosu jadi
sangat terkejut bukan main sunggub tak disangka bahwa pemuda
yang sedang duduk menonton orang bertempur yang tampatnya
begitu lemah, ternyata memiliki tenaga yang demikian hebatnya,
sehingga si Tosu sendiri merasa kalah unggul. Senenarnya dengan
perbuatan Sin Hong itu, si Tosu merasa sangst terhina, dan gusar
bukan main. Akan tetapi merasakan kelihaian si anak muda maka ia
hanya menyabarkan diri.
., Nakao kelihaian si anak muds maka ia maws harken dieri,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 205
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

15
"Baik!! baik! Aku Loo Kek Sie hari ini mengaku kalah
terhadapmu.
Akan tetapi agar jangan sampai penasaran, harap kau suka
memperkenalkan nama siecu, kalau sempat pinto mengharap siecu
menyambangi gubugku orang tua!‖ kata si Tosu.
"Tentu! Tentu! Saudaraku tentu bersedia pergi ketempatmu di
kota sebelah timur!" Giok Hwat Kong menyelak bicara dengan
suara yang menunjukkan seolah-olah ia telah kenal baik dengan Sin
Hong Sehiagga karena kuatir menyinggung perasaan orang, Sin
Hong lekas memperkenalkan namanya, dan menyanggupi tempat
tinggal Tosu itu.
"Ha, apa kataku? Saudaraku adalah orang laki-laki sejati. Dia
pasti menepati janjinyal" kata Giok Hwat Kong pula.
―Sekarang kau boleh pergil Ha ha ha ...!" Kara Giok Hwat
Kong pula mengejek kearah si Tosu sehingga si Tosu, Kek Sia
Tojin.
―Hari ini dengan memandang kawanmu itu aku melepas tubuh
busukmu, tetapi jika dalam waktu lima hari kau tidak melepaskan
lima belas batang emas milikku, maka jangankan kau hanya
ditempat seorang tuan muda itu saja, sepuluh kali lipat dari itupun
aku tak akan mengampunimu!‖
Selarijutnya tanpa menunggu jawaban Tosu itu telah
membalikkan tubuh dan mengajak teman-temannya untuk
meringgaikan rumah makan itu.
―Ha ha hat" Si pemuda tatupak Giok Hwat Kong mengejek.
Memang barang-barangmu itu ada padaku, dan nanti lima hari lagi
aku bersama kawanku pasti menyambangi gubugmu untuk

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 206
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mengembalikan emas-emasmu yang sudah kusulap menjadi lima


belas potong orang.‖
Tidak terkirakan gusarnya si tosu bersama teman-temannya.
Akan tetapi mereka jeri terbadap Sin Hong, maka walaupun dengan
menempelkan telinga mereka terpaksa telan penghinaan itu dan
berlalu pergi.
Sin Hong sendiri melihat prilaku Hwat Kong agak
mendongkol, tetapi juga ia sadar bahwa pemuda tampan itu baru
saja berkenalan dan belum bisa disebut sebagai sahabat karib
apalagi saudara. Tetapi Hwat Kong justeru bersikap demikian,
seakan-akan mereka sudah lama bersahabat. Lucu tetapi juga
menyebalkan.
―Sahabat Sin Hong" terdengar Hwat Kong memanggil,
menyadarkan Sin Hong dari lamunan. "Mari kita lanjutkan dahar!"
berkata demikian Hwat Hong menarik tangan Sin Hong untuk
diajak makan bersama-sama pada satu meja.
―Hong toako" dernikianlah Hwat Kong tanpa sungkan-sungkan
memanggil toako kepada Sin Hong ―Ilmu kepandaianmu membuat
aku juga semua orang sangat kagum. Bolebkah aku mengetabui dari
partai manakah dan siapakah gururnu?"
―Aku dari partai sembilan" sahut Sin Hong berdusta. Ia ingat
bahwa ia tidak holeb menerangkan kepada siapa juga mengenai
nama perguruannya.
Jawaban itu mengberankan Hwat Kong karena sepanjang
pengetahuannya tak pernah mendengar ada nama partai yang
demikian.
―Sedang guruku adalah orang yang tidak mempunyai nama.
Usianya sudah seratus tahun dan orangnya kurus sekali, dan kau
sendiri siauwte?" Sin Hong menambah keterangan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 207
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Aneh, aneh sekali, Kau dari partai sembiIan?" Hwat Hong


masih meragu kurang percaya.
"Benar," jawab Sin Hong mengiyakan.
Lawanpun dalam hati tertawa terpingkal-pingkal. "Gurumu
tidak mempunyai nama, umurnya sudah satu abad kurus sekali?."
Sin Hong menganggukan kepalanya, seraya menahan suara
ketawa yang hendak meneropos keluar mulutnya.
"Heran, belum pernah aku mendengar nama partai sembilan",
kata Hwat Kong menggerutu. ―Kalau mengenai diriku, aku tidak
berpartai guruku banyak sekali, campur-aduk, lagi dari kota yang
jauh-jauh. Dan agar toako jangan sampai menuduh aku mencuri
lima belas potong emas.‖
―Boleh kau mengoceh, memang kau banyak akal sih,‖ kata Sin
Hong dalam hati.
"Pada empat tahun yang lalu, karena tidak tahan akan tekanan
batin yang menindih jiwaku, maka aku meninggalkan rumab...."
,sambung Hwat Kong lebth lanjut.
―Nah itu buktinya..." kata Sin Hong dalam hati." Siapa nama-
nama orang tuamu?‖ Akhirnya ia bertanya pula.
"Orang tuaku? Apabila orang tuaku masib hidup, tak mungkin
aku menderita begini rupa, dan kabur dari rumah...."
―Ah,‖ keluh Sian Hong. Dan seketika itu, terlintas dalam
benaknya wajab Ong Kauw Lian murid murtad yang telah
membinasakan ayahnya.
‖Ernpat tahun lamanya‖, demikianlah Hwat Kong mulai
bercerita. ―Aku merantau, hingga boleh dikatakan pengalamanku
dalam dunia kangouw luas juga dan cukup banyak mengetahui
bagaimana bekerjanya orang jahat atau baik. Demikianlah pada

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 208
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sepuluh hari yang lalu, ketika hendak memasuki kota ini, kira-kira
empat puluh lie dari pintu selatan, aku berpapasan dengan
segerombolan begal yang anggotanya terdiri dari orang-orang lihay
tengah mengerubuti seorang saudagar yang tidak berdaya sama
sekali dan memperoleh lima belas potong emas dari hasil
perbuatannya itu.
Rombongan begal itu dipimpin oleh dua orang Tosu. Yang
seorang adalah Kek Sie Tojin, yang seorang lagi justeru lebih lihai
dari tosu yang pertama. Kulihat tosu itu mematah-matahkan sebuah
golok besar dengan tangannya sehingga aku membatalkan diri
untuk membantu saudagar itu.
Maka selanjutnya aku membayangi gerombolan begal itu dari
jarak kira-kira dua puluh tombak tanpa mereka menyadari karena
ternyata ilmu ginkangku jauh lebih baik dari mereka.. aku jadi heran
ketika mereka memasuki kota Kang Po ini. masakan berani kaum
begal mencari tempat beristirahat di dalam kota yang cukup ramai
dan ada hukum negara. Didalam kota aku terus membayangi
mereka hingga kuketahui mereka menuju ke utara. Ternyata mereka
adalah orang-orang dari partai Pek Hie Pai atau Partai Alis Putih
yang dimimpin oleh lima orang ketua tosu itu.
Setelah menyelidiki, malamnya dengan menggunakan Ya Heng
Ie (pakaian gelap dengan kain penutup muka, aku pergi menyatroni
rumah perkumpulan itu. kebetulan waktu itu mereka sedang
berpesta. Mungkin merayakan keberhasilan mereka memperoleh
barang rampasan yang agaknya tidak kurang dari tiga puluh ribu
tahil. Mereka berpesta makan dan minum sepuasnya, sehingga
dengan mudah aku dapat memasuki tempat mereka serta mengambil
kembali lima belas potong emas yang berharga tidak kurang dari
tiga puluh ribu tahil itu.
Waktu dalam usahaku untuk meninggalkan perkumpulan aku
kepergok oleh Kek Sie Tojin yang segera setelah melihat aku

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 209
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

membawa sebuah gendongan, ia menyerangku. Tetapi karena


pengaruh arak yang terlalu banyak diminumnya, tindakannya
limbung dan aku dengan mudah dapat menghindari. Aku berlari
meninggalkannya melalui atas genteng.
Rupanya waktu tadi ia bergebrak denganku, ia dapat mengenali
gerakanku, hingga hampir saja aku jatuh jadi korbannya andaikata
tidak mendapat pertolonganmu….. Aih, kiranya hari sudah malam!‖
Hwat Kong mengakhiri ceritanya.

Hwat Kong menawarkan Sin Hoeng untuk menginap


dirumahnya. Bahkan dengan menarik tangan pemuda itu. Hwat
Koang menambahkan, ―Sekalian lihat logam-logam murni, kalau
kau menghendaki aku dapat marnbaginya separuh.."
Sin Hong diajak sampai keluar kota kemudian menyusuri
sungai kecil yang airnya jernih. Tak lama kemudian mereka
berduapun telah berada kira-kira sepuluh lie dari pintu kota dan
berada di suatu ternpat yang penuh ditumbuhi pepohonan liar. Dan
dilain saat setelah berjalan pula kira-kira enam lie, maka Sin Hong
telah keluar dari daerah hutan tiba disebuah padang rumput dimana
banyak terdapat bukit kecil.
―Dimanakah rumah pondokmu?" Tanya Sin Hoag yang sudah
mulai timbul keheranannya.
―Kurang lebih tiga puluh lie lagi" jawab Hwat Kong sinekat
seperti tidak menggubris keheranan Sin Hong.
―Tiga puluh lie?!"
―Ya." Hwat Kong membenarkan. ―Apakah toako curiga? Dapat
berbuat apakah aku terhadapmu, yang memiliki kepandaian seratus
kali lipat lebih tinggi dari padaku! Lagi puba tadi di rumah makan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 210
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

te!ah kujelaskan bahwa aku memiliki lima betas potoog emas. Tak
mungkin aku membawa barang-barang itu ketota?"
Mendengar keterangan yang demikian Sin Hong manggut-
manggutkan kepala, Ia menyadari pula mengapa temannya tidak
suka menginap didalam kota. Maka selanjatnya Sin Hong tidak
bertanya-tanya lagi, hanya mengikuti terus perjalanan temannya
yang mengambil lurus kearah Barat.
Ketika itu rembulan yang teraag sedang berada ditengah-tengah
cakrawala. Sinarnya yang keemasan membasahi padang rumput
sebingga tampak sinar-sinat lembut berkilauan yang terhampar
disepanjang jalan.
Sin Hong yang bermata jeli segera dapat melihat dtantara
gundukan bukit-bukit kecil, terdapat tiga buah bukiit yang bentuk
dan letaknya lain sekali dengan bukit-bukit lainnya. Dibawah
pantulan sinar bulan, tiga bukit yang tampaknya aneh itu
menimbulkan kecurigaan pada Sin Hong. Segera ia mengnampiri
sekompulan benda-benda yang menimbulkan kecurigaannya yang
ternyata adalah turnpukan tengkorak wanusta.
―Ternyata didaerab ini baayak sekali begal-begal kejam." kata
Sin Hong menggerutu sendirian. ―Eh, sauwte apakah artinya ini?
Kemari cepat!"
Hwat Kong yang mendengar suara orang memanggil gugup,
segera menghampiri.
―Lihatlah!,‖ kata Sin Hong pulaseraya menunjuk ke sebuah
tengkorak. Hwat Kong pun tidak kurang kekagetannya. Pada
tengkorak itu terdapat lubang kuping, hidung dan mata yang lebih
besar dari ukuran manusia biasa. Tampaknya bekas dilubangi
dengan paksa dengan mempergunakan jari tangan, bukan bekas
senjata tajam ataupun pedang.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 211
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Hwat Kong mengukur kelima lubang-lubang yang ternyata


memang tidak mustahil bila lubang itu bekas jari manusia.
Begitupun pada tengkorak-tengkorak yang lain terdapat hal serupa.
Melihat semua itu, wajah si pemuda tampan berubah hebat.
―Coba toako, kau periksa tiga tumpukan yang lain apakah
jumlah dan susunannya sama dengan yang ini?‖ katanya setengah
memerintah.
―Ya, benar,‖ sahut Sin Hong setelah selesai memeriksa.
―Jumlahnya sama sebelas, sedang susunannya berbentuk segitiga.‖
"Bukankab itu terbagi pula dalam empat-tingkat?" Tanya Hwat
Kong menegaskan, sambil ia sendiri memeriksa tumpukan pertama
yang tadi ditemukan oleb Sin Hong, yang bersusun empat, tiga-tiga
dan satu.
―Eh, siauwte mengapa kau dapat?" Tanya Sin Hong heran.
Hwat Kong memperlihatkan wajah cemas. Ia tidak menjawab
pertanyaan Sin Hong, melainkan dengan cara yang saugat cepat
pada jarak kira-kira setombak dia mendekati Sin Hong, ia mencabut
pedang kemudian menusuk!
Hebat dan benar-benar sarna sekali diluar dugaau Sin Hong,
perbuatan pemuda yang mengaku bernama Hwat Kong itu.
Untuk sesaat itu Sin Hong terkejut dan menyesal karena dirinya
terlalu percaya kepada orang yang baru dikenalnya itu. Dan barulah
ia tersadar akan bahaya maut yang mengancarn. Ketika ujung
pedang sedang meluncur kearah dadanya, Namun masih beruntung
baginya bahwa disaat kernatian hampir tiba pada Saatnya terlintas
dikepalanya akan suatu pelajaran iweekang dari India yang telah
dirubah oleb gurunya disesuaikon cara yang lajim dipergunakan
ditanah Tionggoan yang diberi narna sepasang Telapak Tongan
Gaib. Teringat akan ini maka Sin Hong berseru,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 212
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Bagus?" Cepat bukan kepalang ia rangkapkan kedua


tangannya menangkap ujung pedang dan bersaman dengan itu ia
salurkan tenaga Iwekangnya. Dan pada sat ini, karena terlalu
gemasnya pada orang yang dianggapnya tak tahu membalas budi
itu, pengerahan tenaga Iwekang krtelapak tangannya
menggelombang sekuatnya. Pada saat itulah terdengar si pemuda
Hwat Kong menjerit keras dan tubuhnya roboh terguling.
Kiranya ujung pedang telah mencair seperti kentalnya kanji,
sedangkan gagangnya hancur menjadi bubuk.
Dengan hati yang masih mendongkol, Sin Hong bermaksud
meninggalkan teman baru yang kurang ajar itu. Akan tetapi baru
saja ia bertindak selangkah, terdengar Hwat Kong tertawa keras
sambil memanggil-manggil.
―Toako! Jangan pergi sulu! Dua orang iblis sedang mendatangi,
kau harus dapat menguasai mereka. Pembunuh-pembunuh keji yang
telah menjagal manusia dengan mata tak berkedip!‖ dan nekat
bukan main, tanpa menghiraukan tangannya yang hangus terbakar
akibat serangan Iwekang Sin Hong, maka Hwat Kong telah
menghadang dihadapan Sin Hong sambil tertawa-tawa,
―Mau apapa kau?!‖ bentak Sin Hong yang menjadi sebal
melihat pernuda tampan itu. tangannya dikebaskan dan akibatnya
pemuda tampan itu terpelanting roboh berguling-guling.
―Toako, lihatlah! Mereka datang!‖ Sambil berkata demikian,
Hwat Kong menunjukkan sikapnya yang tegang, date langsung
meniarap.
Lie Sin Hong yang sebenarnya tak mau memggubris kata-kata
teman yang nakal itu, tanpa terasa menoleh ke arah yang ditunjuk
oleh Hwat Kong.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 213
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kurang lebih dua puluh tombak dari tempat dimana terdapat


tiga tumpukan tengkorak terlihat tiga bayangan manusia yang
melesat cepat sekali. Bayangan itu yang tampak nyata adalah
rambutnya yang riap-riapan bergerak sangat cepat, sesaat kemudian
telah berada di dekat tiga tumpukan tengkorak itu. dan setelah
mereka tiba, seorang diantaranya mengayunkan sebelah tangannya,
tangan yang sambil mengeluarkan gerengan yang keras menghajar
bagian tingkat paling atas dari tumpukan tengkorak itu sehingga
dengan kena angin sambarannya saja telah hancur luluh
berhamburan kian kemari terbawa angin malam.
Melihat raut wajah keduanya yang baru datang itu yang
nampak menyeramkan itu, agaknya benar juga dugaan Hwat Kong,
maka Sin Hong pun menirukan perbuatan kawannya meniarap
diatas rumput dan Hwat Kong breringsut-ingsut menghampirinya.
―Toako, dengan kemandaianmu mencairkan ujung pedang itu,
maka aku yakin kau dapat menindih kedua manusia iblis itu. dan
maafkan kelancanganku tadi yang berani mencoba-coba
kepandaianmu. Ah, toako sungguh kepandaianmu luar biasa
sekali…‖ bisik Hwat Kong seraya meringis menunjukkan telapak
tangannya yang hitam melepuh.
Sin Hong diam saja, dan dalam hati ia agak kasihan juga
melihat keadaan temannya.
"Tahukah toako, siapa mereka itu?" Bisik Hwat Kong pula
bertanya. Sin Hong menggelengkan kepalanya.
"Mereka itulah yang mendirikan tumpukan tengkorak itu.
Keduanya mereka sangat lihay dimasanya, mereka malang
melintang dibarat ini. Kita berdua tentu masih kecil, maka toako
tidal mengetatui mereka. Sedang aku mengetahui juga dari cerita
guruku saja. Dua orang itu sangat telengas, bagi mereka,
mernbunuh orang sama dengan minum air di gentong, atsu mandi-

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 214
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mandi di kali. Siapa mendengar nama mereka biasanya belum


melihat orangnya juga sudah gentar, sebab juga tidak sedikit orang-
orang gagah yang roboh di tangan mereka.
―Mengapa orang-orang gagah tak mau berhimpun lantas
menghancurkan kedua orang itu beramai-ramai?‖ tanya Sin Hong.
"Orang-orang gagah dari selatan dan utara sungai besar, dan
dari barat sini pernah tiga kali mengadakan perhimpunan besar
digunung Hoa San, lalu beruntun selama lima tahun mencoba
mengepung Ang Oei Mokko, namun kedua iblis itu dapat
meloloskan diri. Baru setelah orang-orang bubaran, mereka muncul
pula. Entah bagaimana kemudian orang tidak pernah lagi melihat
jejak mereka, maka beberapa tahun kemudian orang menganggap
mereka tentu sudab menemui ajalnya. Tidak di sangka-sangka
sekarang dipadang rumput ini kita menjumpai mereka".
Mendengar penuturan Swat Kong, maka semakin besarlah fiat
Sin Bong untuk membinasakan kedua iblis tersebut. lapun lantas
menceritakan malapetaka hebat yang telah menimpa keluarga Oei
sebagai akibat kekejaman kedua iblis itu. Hingga tanpa sadar Hwat
Kong telah terpekik keras ketika mendengar cerita itu.
"Kalau tidak salah, sekaraag ini mereka tengah meyakinkan
ilmu yang lihai luar biasa yang telah membuat semua guruku tidak
berdaya untuk menghadapinya.‖ kata Kwat Kong.
''Bagaimana kau dapat mengenali akan tanda-tanda mereka?"
"Mengapa tidak!‖ sahut Swat Kong. "Dengan mata kepalaku
sendiri siauwte pernah menyaksikan cara mereka bertempur
merobohkan guru-guruku satu persatu…‖
"Kalau begitu, biarlah aku binasakan mereka itu kata Sin Hong.
Dalam hati la juga berpendapat, bahwa dengan cara itu ia telah
membalaskan sakit hati keluarga Oei paman dan keponakan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 215
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sementara itu, kkedua Iblis yang memang bukan lain adaiab


Ang Oei Mokko setelah puas menghancurkan empat buah batok
kepala manusia segera menghilang tanpa terlihat lagi bayangannya,
suatu pertanda bahwa sukarlah diukur tingginya ilmu meringankan
tubuh mereka.
"Kini", tiba-tiba terdengar suara Kwat Kong berkata, "Aku
harap selanjutnya toako berlaku hati-hati. Mereka sama sekali tidak
boleh dipandang ringan. Hendaklah diketahui bahwa yang satunya,
yang usianya lebih tua dari Oei Mokko kepandaiannya lebih lihai
pula.‖ menerangkan lebih jauh. ―Sekarang toako coba berjalan tujuh
puluh langkah kearah timur laut. Periksalah disana apakah terdapat
sebuah peti ma ti?"
Pengetahuan Hwat Kong yang begitu luas membuat Sin Hong
kagum. sehingga selanjutnya tak ada lagi kecurigaannya pada teman
barunya yang nakal itu. Bahkan seteIah mendapat keterangan itu,
tanpa pikir lagi ia segera berlari-lari ke arah tempat yang ditunjuk
oleh temannya tersebut.
Setelah tujuh puluh tindak, Sin Hong pun mulai memeriksa.
Agak lama juga ia melakukan usahanya itu, tetapi peti mai yang
dimaksudkan belum juga ditemuinya. Hanya pada sebuah legokan,
ia dapatkan sebuah ujung batu lembaran yang, muncul dari dalam
tanah. Ujung batu telah kotor dan tertutup rumput hijau. Sin Hong
menariknya sekuat tenaganya, akan tetapi jangaukan tercabut,
bergemingpun tidak. Batu itu seakan berakar dalam tanah.
Akhirnya, karena khawatir makan waktu terlalu lama, segera
dikepalnya ujung batu itu dengan sebelah tangan kirinya. Sedang
tangan kanannya dengan membuat lingkaran bulat yang kemudian
diputar-putar, diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam keseluruh
lima jeriji tangan kanannya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 216
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Itulah pengerahan tenaga lweekaug yang dilakukan dengan tipu


Angin Tembaga Mengejar Naga! Untuk kemudian tangannya itu
ditempelkan keatas telapak tangan kirinya yang sedang memegang
ujung lembaran batu itu. Dan bukan main. dengan segera, perlahan-
lahan tetapi pasti, lembaraa batu itu tercabut, terbongkar dari dalam
tanah.
Dalamnya tanah hampir dua kaki. Ia pun segera menggapaikan
tangannya memanggil Hwat Kong. Dibawah sinar rembulan,
tampaklah sebuah peti mati berbentuk kotak atau peti batu, dimana
didalamnya menggeletak sasosok mayat.
Tiba-tiba Hwat Kong lantas berbisik :
―Manusia-manusia iblis itu akan segera balik kemarl untuk
melenjutkan latihanaya, sebagai alatnya adalah mayat ini. Maka
sebagai umpan, aku akan mengantikan mayat ini, merebah dalam
peti. Dan Toako pergilah mencari tempat perlindungan. Toako
segera harus datang apa bila aku telah bergebrak dengan mereaa.
Saat nanti toako tak perlul menaruh kasihan pada mereka, segeralah
turun tangan. Giam Lo Ong akan memberikan pahala besar jika
dapat membunuh kedua iblis itu …………!
Dalam bicara itu, Hwat Kong masih dapat berkelakar,
sedangkan keadaan begitu berbahaya, sehingga setidaknya
menimbulkan kekaguman Sin Hong makin membesar tapi juga
khawatir.
―Musuh itu demikian lihainya, apakah tidak lebih baik jika kita
menghajar mereka secara langsung?‖ kata Sin Hong yang masih
merasa sangsi akan keselamatan temannya.
―Aku akan membokong mereka. Kukira tidak ada cara yang
lebih baik dari ini!‖ sahut Hwat Kong dengan suara mantap, sambil
mengangkat tutup peti. ―Tutuplah lembaran batu ini seperti semula,
hanya berikan sedikit lubang untuk bernafas!‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 217
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong segera melakukan permintaan temannya itu,


walaupun dalam hatinya ia merasa amat sangsi akan keselamatan
temannya yang terlalu nekat itu.
Perlahan-lahan dan dengan hati tergoncang, Sin Hong menutup
peti mati itu dan menimbunnya sedikit dengan tanah berumput.
Dalam menyaksikan kerelaan sang kawan yang demikian bencinya
memusuhi kejahatan, sesuai dengan perasaan sendiri, maka
timbullah tekad dalam hatinya untuk dengan jalan bagaimanapun
harus dapat menyelamatkan dia dari bahaya.

Tiba-tiba terdengar suara pasir dan injakan kaki yang sangat


samar, Siin Hong semakin tegang. Suara langkab kaki yang
demikian, menandakah babwa orang memiliki tenaga dalam yang
telah tinggi. Diam-diam ia merasa sayang bahwa orang yang
demikian ternyata tetah menyala-gunakan ilmunya.
Sebentar saja suara itu terdengar semakin jelas. Dan benar saja
tidak jauh dari tempatnya bersembunyi di bawah sinarnya rembulan
yang gemilang tampak sesosok bayangan hitam yang bergerak
dengan pesat diatas tanah pasir.
Sesaat kemulian bend: bi:am itu telah datang mendekat. Maka
nyatalah babwa mereka adalah dua orang yang berjalan dengan
saling merapatkan badan satu sama lain, bergerak-gerak sangat
cepat seakan terbaag belaka.
Apabila sebentar kemudian tindakan kaki mereka tidak
menerbitkan pula, disalah satu bukit tempat berdiri dua buah
bayangan, berdiri diarn. Dilihat dari kepalanya, yang seorang
mengenakan topi kulit adalah seorang pria yang agakaya berasal
dari Tibet, hingga Sin Hong jadi heran karena bukankah katannya
kedua iblis itu adalah orang-orang India? Apikah mungtin salah satu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 218
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dari mereka itu memang orang Tibet yang kemudian mengambil


kebangsaan india?.
Yang kedua tidak mengenakan penutup kepala, sehingga
kelihatan rambutnya awut-awutan yang sebagian diatas dahinya
dikonde. Diapun lelaki juga berdiri membelakangi Sin Hong.
―Pastilah mereka itu Ang Oei Mokko‖ pikir Sin Hong.
―Sekarang ingin aku menyaksikan bagaimana mereka melatih diri
dan apakah yang dilakukan Hwat Kong.‖
Salah seorang dari bayangan itu segera berjalan mengitari yang
seorang lainnya. Terdengar jelas tulang-tulang berkelebatan dan
semakin cepat ia berputaran maka suara itu makin jelas terdengar.
Lie Sian Hong yang telah mempelajari ilmu Iwekang tingkat
tinggi, masih heran juga melihat cara orang berlatih yang demikian.
―Tidak salah, memang tenaga mereka begitu hebat. Pantaslah
Hwat Kong mengujiku dengan cara yang keterlaluan tadi‖ pikir Sin
Hong. Dan rasa kagumnya terhadap temannya yang berpandangan
luas itu makin terasa.
Orang itu menggerak-gerakkan tangannya, dipanjang-
pendekkan dan memperdengarkan suara berkeretekan sekali-sekali.
Rambutnya berkibar-kibar sangat menyeramkan. Hingga tiba-tiba
orang itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menyusul kemudian
sebelah tangannya yang lain menyerang dada temannya. Bukan
main, Sin Hong keheranan melihat kelakuan orang itu.
Dapatkah orang yang menjadi saudaranya itu bertahan dari
serangan? Tanya Sin Hong dalam hatinya.
Selagi demikian orang tersebut kembali sudah menyerang pula.
Kali ini ia menyerang ke seluruh bagian kepala, setiap serangannya
bertambah cepat dan hebat. Akhirnya orang yang menjadi
saudaranya itu mirip orang yang telah mati. Tubuhnya tidak

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 219
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bergerak, bergeming ataupun bersuara. Tepat pukulan yang ke lima,


iblis itu melompat mencelat, berjumpalitan. Dengan kaki diatas dan
kepala dibawah, menyambar muka saudaranya yang bagai orang
mati itu dengan kelima jarinya mencengkram, hingga dilain saat
muka itu telah copot, tepat seperti apa yang pernah didengar oleh
Sin Hong dari penuturan pembantu rumah keluarga Oei.
Hampir-hampir Sin Hong menjerit karena bergidik dan ngeri.
Walaupun ia sudah terhitung pemuda gemblengan, akan tetapi
kejadian mengerikan itu baru pertama kalinya ia menyaksikan
dengan mata dan kepalanya sendiri, betapa seorang manusia
bertindak begitu keji terhadap sesamanya.
Sebaliknya si iblis tertawa panjang, suaranya berkumandang.
Lalu kelima jarinya ditarik keluar, berlumuran darah dan otak
manusia. Sambil mengawasi tangannya yang demikian itu ia
tertawa-tawa. Tiba-tiba saja ia menoleh ke arah Sin Hong
bersembunyi, hingga pemuda ini dapat melihat muka iblis itu.
Sebuah wajah yang tidak mirip muka manusia, tetapi setengah
hantu, merah menyala seperti bara. Melihat wajah itu, maka Sin
Hong tahu kalau iblis itu seorang kakek berusia sekitar enam puluh
tahun yang bernama Ang Mokko atau si hantu merah.
Yang lebih mengerikan yaitu iblis itu memperdengarkan suara
mengakak, akan tetapi mukanya tidak melukiskan kalau ia sedang
tertawa, malah cemberut mengerikan.
Sekarang Sin Hong baru sadar bahwa orang yang telah menjadi
ikorban iblis itu tentu bukanlah
Ang Mokko, akan tetapi adalah orang lain yang sengaja hendak
dijadikan korban latihan belaka.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 220
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sehabis tertawa Ang Mokko membuka seluruh pakaian


korbannya. Selanjutnya tubuh si korban yang telanjang itu
digolekkan diatas tanah. Sedangkan si iblis sambil merangkapkan
kedua tangannya berjingkrak-jingkrak memutari.
Dikala berlompatan itu, dengkulnya tampak tidak menekuk,
juga badannya tidak dibungkukkan. Ia melompat tinggi-tinggi
dengan tubuh lurus dan kaku.
Mendadak sambil berlompatan dan memekik-mekik si iblis
telah menukik dan melayang ke arah peti mati dimana didalamnya
Hwat Kong terbaring.
Menyaksikan hal ini, walaupun Sin Hong sudah menduga hal
itu bakal terjadi. Akan tetapi hati si pemuda bukan main terkejut
dan cemasnya. Segera ia mencabut pedangnya. Begitu Hong
Pokiam terhunus maka sinarnya yang kemilau berkilat diudara. Dan
pantulan cahaya terang itu telah terlihat olehAng Mokko,
menyadarkan iblis itu bahwa ada orang lain yang telah menyaksikan
dia berlatih diri. Iapun berpaling cepat ke arah asal timbulnya
cahaya berkilat itu.
―Sia…,‖ baru sampai disitu si iblis membentak, mendadak
terdengar suara tutup peti mati menjeblak, disusul munculnya
bayangan yang berkelebat meluncur ke arah kedua matanya.
Itulah pedang Hwat Kong yang sejak tadi mengintai melalui
lubang kecil, mengamat-amati perbuatan si iblis. Dan begitu melihat
sasarannya tiba untuk bertindak, dengan menggunakan kedua
kakinya menendang tutup peti, ia meloncat keluar seraya dengan
pedangnya langsung diluncurkan ke arah bagian yang lemah tubuh
si iblis yaitu sepasang matanya.
Sebenarnya jika bukan karena tidak sengaja Sin Hong
menghunus Hong Pokiam belum tentu Hwat Kong sempat
melancarkan pembokongan yang diduga akan membawa hasil.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 221
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dalam seketika itu, hati pemuda tampan itu telah bersorak


kegirangan.
Namun yang kini hendak dijadikan pembokongan itu adalah
Ang Mokko, seorang jago nomoor satu, yang tiga puluh tahun lalu
disaat kedua pemuda itu dilahirkan telah malang melintang
dikalangan kangouw dan mengalami tidak sedikit pertempuran
besar maupun kecil.
Demikianlah, walaupun terkejut bukan main, akan tetapi iblis
itu masih sempat menguasai diri. Dengan mengelakkan muka
sedikit, maka ia telah menggerakkan tangan kanannya dengan
kelima jarinya terkembang seperti kipas menyambut datangnya
serangan.
Hebat sekall akibat bentrokan senjata tajam dan jari tangan si
iblis itu. Pletak... ! terdengar suara benda patah. Kiranya pedang
Hwat Kong telah patah tiga dengan pemegangnya sendiri jatuh
terbanting keras sekali.
Benar-benar diluar dugaan bahwa iblis itu masih mampu
mematahkan serangan bahkan sekaligus iapun melancarkan
serangan balasan yang sangat berbahaya. Dalam gusarnya karena
dibokong, maka cepat luar biasa sebelum Hwat Kong sempat
bangkit berdiri ia telah membuat lingkaran dengan tangannya dan
tubuhnya memutar maju, selanjutnya batok kepala Hwat Kong
hendak dicengktramnya. Ilmu cabut nyawa dengan kelima jari iblis
itu dilancarkan dan sesaat saja terlambat, nyawa pemuda itu akan
melayang.
Tetapi rupanya belum saatnya Hwat Kong menemui ajalnya.
Sebelum tangan iblis itu mengenai sasarannya, telah meluncur
angin dingin menyambar ke arah punggung si iblis.
Si iblis insyaf bahwa angin tajam itu adalah angin serangan
bukan dari senjata sembarangan, maka ia tak berani menerima

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 222
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dengan telapak tangannya. Tetapi dengan tangan, akan tetapi cepat


sekali tangannya yang telah diulurkan kedepan ditarik kembali dan
secepat kilat ia berjungkir balik sambil menarik senjatanya yang
berwujud sepasang tongkat batu kumala hitam yang disebut Hek
Giok Thung. Dengan mengangkat tongkatnya itu, maka si iblis telah
menangkis serangan pedang yang sedang meluncur datang.
Benterokan senjatapun terjadi menimbulkan suara yang nyaring.

Kiranya tongkat kumala itupun senjata mustika pula. Sama


sekali terhajar oleh Hong Pokiam tidak sedikitpun mendapat
kerusakan. Bahkan kini kedua senjata itu saling menempel karena
masing-masing tidak menarik kembali serangannya, melainkan
mereka saling menekan dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
Kedua belah pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka.
Keduanya mengempos segenap tenaga untuk mengerahkan tenaga
masing-masing. Dan dalam hal ini tampak nyata perlahan-lahan
tetapi pasti Sin Hong berhasil menggempur pertahanan kuda-kuda
lawannya sampai-sampai iblis itu jidatnya berkeringat berbutir-
butir.
Sementara itu Hwat Kong yang saat itu telah menyingkir,
menjadi tegang dengan sendirinya ketika menyaksikan adu tenaga
dan kekuatan itu. walaupun ia melihat Sin Hong berada diatas
angin, akan tetapi khawatir juga, mengingat lawannya adalah Ang
Mokko raja iblis yang terkenal sangat keji dan banyak akal liciknya.
Tak lama kemudian terdengar seruan Ang Mokko, tubuhnya
tampak meloncat mundur karena terkejut. Bukan alang kepalang
rasa terkejutnya ketika ia merasakan betapa lihainya si pemuda yang
semula dia pandang rendah.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 223
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dipihak lain, Lie Sin Hongtetap berdiri di tempatnya semula,


sama sekali tidak berkisar sedikitpun. Ketika ia hendak merangsek
maju, maka Hwat Kong memperdengarkan suara mengejek.
―Ang Mokko! Kiranya kau hanya seekor keledai jompo…
Ha…ha…ha…ha! namun kosong belaka. Sekali bergebrak sudah
roboh ditangan seorang pemuda! Ha…ha…ha…ha!.
Kata-kata ejekan itu belum juga habis, maka Ang Mokko
dengan gusarnya membentak nyaring.
―Bocah cilik mau mampus! Siapa bilang aku kalah? Tunggu
kubereskan temanmu, baru tiba giliranmu merasakan kelihaian
tanganku!‖
Habis berkata iblis itupun menyerang maju, tongkat kumalanya
menyambar ke arah kepalanya Sin Hong.
Menghadapi serangan lawan, Sin Hong menggeserkan kakinya
kesamping setindak. Sambil mundur, diangkatnya pedang ditangan.
Dengan demikian maka ia telah balas menebas lengan lawan.
Ang Mokko sangat gesit, buru-buru ditariknya kembali
tangannya. Dan pada gebrakan pendahuluan, mereka sama-sama
lihai.
Sin Hong mengetahui bahwa lawan sangat lihai. Maka ia tak
mau membuang-buang waktu. Segera dimainkannya ilmu
pedangnya dari ilmu pedang Sin Hong Kiam Hoat. Satu jurus,
‗Daun bambu dipermainkan angin‘ adalah salah satu cabang dari
Sin Hong Kiam Hoat yang hebat dan lihai. Seperti daun-daun yang
lemas dan tipis pedang Sin Hong bergetar menari kian kemari dan
nyata sekali berhasil mendesak si iblis.
Ang Mokko lebih-lebih terkejut. Kemana saja tongkat
kumalanya hendak digerakkan, seakan-akan membentur kepungan
sinar pedang yang sangat rapat dan tak mungkin ditembusnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 224
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tidak pernah disangkanya bahwa di daerah barat ini terdapat


seorang jago muda yang memiliki keahlian ilmu pedang yang dapat
mengungguli dia. Menurut pantasnya, Sin Hong adalah seorang
pemuda yang baru turun gunung dan berhadapan dengan pentolan
seperti Ang Mokko, jangankan mendesak, bertahanpun hanya
paling lama satu sampai dua jurus. Tetapi ini sungguh luar biasa dan
Ang Mokko berubah jadi makin penasaran.
Satu kali ketika tongkat Ang Mokko hampir saja berhasil
mengemplang pundak Sin Hong, tahu-tahu pemuda itu telah
mengelak kesamping dan pedangnya membabat lengan orang yang
tentu membuat lawannya kalang kabut menghindari. Lekas-lekas
Ang Mokko menarik kembali serangannya hingga karena itu
tenaganya banyak berkurang. Dan apabila tongkatnya kena terhajar
pedang sipemuda, senjata itu terpental dan somplak sedikit. Tongkat
kumala jatuh berkerontangan. Si iblis semakin kalap.
Ang Mokko menggerung keras, mengitari tubuh Sin Hong
dengan mata berkilat-kilat menyala. Tangan kanannya membuat
sebuah lingkaran, sedangkan tangan kiri dihadapkan kemuka siap
untuk bekerja. Itulah jurus lima jari pencabut nyawa. Melihat hal
demikian, maka Hwat Kong berseru memperingatkan Sin Hong.
Baru saja Hwat Kong berteriak, sekonyong-konyong Ang
Mokko mengeluarkan teriakan pula, tangan kirinya terjulur ke muka
cepat sekali. Dengan kuku-kukunya yang tajam muncul keluar
mengerikan sekali.
Hwat Kong menduga bahwa Sin Hong akan menghadapi
bahaya besar. Akan tetapi kiranya tidaklah demikian yang
sebenarnya terjadi. Ang Mokko menjerit bukannya mengancam
jiwa lawannya, akan tetapi sebaiknya saat itu justeru ujung pedang
sinhong sedang mengancam tenggorokan si iblis. Ang Mokko
kehabisan akal untuk menghindarinya, maka ia hanya memeramkan
matanya sambil membuka mulutnya lebar-lebar, sementara dari

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 225
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mulut itu terdengar suara melengking yang menggelegar hebat


berkumandang sangat jauh.
―Celaka, dia memanggil kawannya‖ teriak Hwat Kong
memperingatkan kawannya, ―Cepat bereskan dia!‖
Dan pada detik itu pula, ujung pedang Sin Hong telah
membeset kedua mata si iblis hingga darah membanjir keluar
bersamaan dengan suara melolong kesakitan. Melihat si iblis telah
terluka, segera Hwat Kong bertindak cepat. Ia melompat ke depan
menubruk dengan papan batu penutup peti ditangannya
dihantamkan ke batok kepala si iblis.
Ang Mokko telah buta sekarang, iapun tidak pernah
meyakinkan ilmu membedakan suara, akan tetapi pendengarannya
sangat tajam. Sambaran angin papan batu dan tusukan pedang yang
meluncur ke arahnya menerbitkan angin dan terasa olehnya. Maka
itu ia segera berkelit dengan cepat. Ia dapat mengeos serangan
pedang, akan tetapi tidak dapat lolos dari hantaman paan batu yang
menyerang dari arah belakang. Maka tak ampun lagi punggungnya
kena digempur papan batu. Iblis itu berguling-guling kesakitan.
Walaupun dia adalah seorang yang mahir tenaga iweekang dari
India, akan tetapi karena matanya telah rusak, maka pukulan yang
mengenai punggung itu terasa seakan-akan hampir mencopot
nyawanya.
Setelah berhasil pada serangan itu, Hwat Kong agaknya tidak
puas sampai disitu saja. Begitu dalam dendamnya terhadap Ang
Mokko, iblis yang telah membunuh guru-gurunya. Dan hari ini
agaknya ia hendak membalaskan sakit hati gurunya langsung
melancarkan serangan yang kedua.
Tetapi Ang Mokko belum mati. Dan ketangguhannya memang
luar biasa. Serangan yang kedua itu telah diduganya dan ia telah
mendahului dengan tangannya mencengkram.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 226
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Pengecut, siapa ini!‖ teriak iblis itu penasaran sekali. Terlihat


diwajahnya bahwa ia lebih suka mati di tangan Sin Hong daripada
binasa oleh orang yang menyerang secara menggelap yang ia tahu
memiliki kepandaian jauh lebih rendah daripadanya. ―Cepat katakan
supaya kalau tuan besarmu mati, dapat mati meram!‖
Hwat Kong tertawa dingin,
―Masik kenalkah kau pada Pek Sin Coa Lie Cu Cong?‖
sahutnya.
Ang Mokko terkejut sejenak, setelah itu ia tertawa panjang.
―Hai bocah ingusan! Kiranya kau murid-murid orang tak
berguna itu!‖ kata Ang Mokko memandang rendah. ―Kau hendak
menuntut balas untuk kekalahan manusia-manusia tak becus itu? ha
ha ha ha.‖
―Tidak salah. Kau harus mampus malam ini juga!‖ Kwat Kong
mencaci maki karena gurunya dihina.
Namun pada saat itu juga, hampir bersamaan dengan habisnya
kata-kata Hwat Kong, dari kejauhan terdengar suara pekikan yang
melengking-lengking. Pekikan itu membuat Hwat Kong gugup dan
terkejut. Ia tahu bahwa seorang saudara Ang Mokko telah datang.
Oei Mokko atau si iblis muka kuning memiliki kepandaian yang
jauh lebih tinggi daripada Ang Mokko. Dan menyusuk lemudian
terdengar pula lengkingan yang makin keras, berarti iblis muka
kuning itu telah semakin mendekat.
Bertambah-tambah terkejutnya Hwat Kong. ―Ah, bukan main
cepatnya larinya iblis itu!‖ katanya mengeluh seranya berpaling ke
arah Sin Hong, seakan hendak memperingatkan kepada kawannya
bahwa bahaya lebih besar sedang mendatangi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 227
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tetapi Sin Hong hanya berdiri diam. Pemuda ini berjiwa


pendekar, walaupun lawannya adalah seorang iblis, akan tetapi ia
tak suka membunuh orang yang sudah tak berdaya.
Ang Mokko sendiri juga sudah tidak mau melakukan serangan.
Ia berdiri diam kaku sambil menanti bantuan saudaranya yang akan
membunuh kedua musuhnya ini. waktu yang tidak seberapa itu
dipergunakan untuk mengatur pernafasan, mengatur tenaga
dalamnya yang buyar sejak matanya terluka hebat.
Oei Mokko telah berkelebat tampak di kaki bukit. Dan suasana
pertarungan yang tadi gaduh, kini menjadi sunyi. Hwat Kong pun
tampak terpengaruh oleh suara pekikan si iblis muka kuning yang
berlari pesat sambil terus memekik.

****

Untuk sementara waktu pertempuran antara Sin Hong melawan


si iblis Oei Mokko kita tunda dahulu. Marilah kita sekarang
menengok Ang Siu Lian yang selama ini kita tinggalkan dan diduga
telah menemui ajalnya menjadi santapan beruang.
Ketika itu, seperti kita mengetahui, demi keselamatan Siu Lian,
Sin Hong telah melemparkannya ke sebuah mulut guha.
Nanaun kerika terjatuh ia merasa seperti ada yang
menyarnbutnya, Ia merasakan tangan yang memeluk tubuhnya
berbulu kasar, dan dari mulutnya tak henti-hentinya mendengus
suara yang berbau busuk. Dan betapa terkejutnya Siu Lian ketika ia
menengok ternyarta yang memeluk di rinya adalah seekor beruang.
Hampir saja gadis itu pingsan seketika. Ia meronta sekuatnya sambil
menjerit-jerit. tetapi apa dayanya, dia hanyalah seorang gadis dalam

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 228
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pelukan seekor biruang yang memiliki tenaga sepuluh kali tipat dari
tenaga laki-laki. Akhirrya kehabisan tenaga dan jatuh pingsan.
Tidak tahu ia berapa lama tak sadarkan diri. Ketika terjaga
dilihatnya hari telah malam disekelilingnya terdapat banyak sekali
pepobonan dan batu-batu kecil yang berserakan tidak teratur
letakanya. Dengan pertolongan sinar rembulan Siu Lian melihat
bahwa bajunya penub bernoda-noda darah. Dan melihat itu, maka
terasa tubuhnya sakit-sakit. Ruparya karena gadis itu meronta-ronta
tadi maka beruang memangnya binatang hutan mempererat
pelukannya dengan cakar, sehingga menimbulkan banyak luka-luka
sigadis.
Siu Lian mencoba untuk bangun berdiri.
Tetapi ia menjadi sangat terkejut ketika dirasakan seluruh
tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga. Keterkejutannya makin
menghebat, demi ketika ia memandang ke muka, dan terlihat
olehnya sesuatu yang membuatnya hampir pingsan kembali.
Pada jarak dua puluh tindak didepannya terlihat oehnya dua
ekor beruang lain warna, seekor berwarna hitam dan yang seekor
putih sedang bergumul bertarung dengan hebat.
Ketika tadi beruang hitam sedang melarikan si gadis dan
melintas tempat ini, maka tiba-tiba didepannya menghadang
beruang lain yang seluruh tubuhnya berwarna putih seperti kapas.
Beruang ini hendak merampas Siu Lian dari pelukan si beruang
hitam sehingga akhirnya terjadilah pertarungan seru diantara
mereka.
Mereka hampir sama kuatnya. Bergantian saling banting,
terkam dan dorong. Suatu saat ketika si hitam lengah maka si putih
langsung menangkap dan membantingnya dengan keras ke atas
tanah. Beruang hitam memekik kesakitan. Sambil meraung murka,
beruang itu melompat berdiri untuk siap siaga. Akan tetapi sayang,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 229
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lawannya sama sekalii tidak memberi kesempatan kepadanya. Ia


telah menubruk maju sambil mementang mulutnya yang lebar.
Beruang itu menjadi nekat, dan dilain saat telah mengigit
pundak lawannya. Keras sekali kedua binatang itu saling menggigit
tidak mau melepaskannya. Sampai hari telah menjadi malam
mereka masih juga gantian gigit menggigit, saling cakar dan saling
tindih, hingga akhirnya karena kehabisan tenaga dan darahnya,
maka keduanya berkelonjoton beberapa saat kemudian selanjutnya
diam tidak berkutik sama sekali. Mereka telah binasa.
Setelah mengetahui kedua beruang itu telah mati, maka dengan
menguatkan hati dan tenaganya, Siau Lian berusaha untuk cepat-
cepat melarikan diri mencari selamat. Ia sangat khawatir kalau-
kalau didaerah gunung Thiansan ini banyak berusang yang lainnya.
Selangkah demi selangkah Siu Lian menjauhi tempat kejadian
tadi. Hatinya sedih memikirkan nasibnya, juga ngeri
membayangkan bahaya yang mungkin bisa menimpa dirinya.
Mengapa dirinya selalu terlibat dalam kedukaan-kedukaan dan
mengapa nasib harus demikian terjadi atas dirinya. Demikian ia
bertanya pada diri sendiri.
Sejak ia baru bisa bercakap-cakap, ibunya telah
meninggalkannya. Dan ketika ia sedang menginjak remaja, ayahnya
terbunuh olehnya sendiri. Akhirnya kini ia harus terpisah dari
pemuda yang benar-benar telah membuatnya jatuh cinta, Lie Sin
Hong.
Dengan seluruh tubuh cerasa sakit, lapar dan dahaga, Siu Lian
melanjutkan perjalanan tanpa tujuan tertentu. Paginya tibalah ia
pada suatu tempat dimana dihadapannya melintang sebuah sungai.
Dengan hati gembira si gadis lantas melepaskan dahaga, meneguk
air kali sepuas-puasnya. Kenyang nainum, maka tubuhnya terasa
agak segar, dan tanpa disadari akhirnya ia tertidur.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 230
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tidak lama ia tertidur, ketika matahari naik, ia telah terjaga.


karena perutnya yang minta diisi, Sin Lian merjadi bingung, ketika
disadarinya bahwa ia telah membekal senjata lagi, sedangkan
perutnya semakin didiamkan semakin perih.
Mendadak ia teringat sesuatu segera ia menceburkan diri
kedalam sungai, dan beberapa saat kemudian ia telah berhasil
menangkap dua, ekor ikan.
Samba memanggang ikan menunggu masak. pikiran sigadis
terbayang selalu pada Sin Hong, Teringat pengalarnannya mandi
disungai bersarna pemuda itu di Le pien.
Mengingat ini. maka ia bertekad setelah mengisi perutnya ia
akan menjelajahi seluruh lereng gunung Thiansan untuk mencari
Sin Hong.
Ikan panggang telah matang, kulit sisiknya mengelupas, bau
gurih menebar membuat perut si gadis semakin keruyukan.
Menghadapi daging ikan yang berminyak dan wangi itu, Siu Lian
lalu mengambilnya untuk dimakan.
―Gurih. Untukku seekor!‖
Tiba-tiba batu saja Siu Lian hendak melahap ikan matang itu,
terdengar suara menegur. Ia terkejut. Tadi sebelum ia memanggang
ikan, tidak seorangpun berada di tempat itu. tapi kini ada orang
muncul begini mendadak tanpa kedengaran suaranya mendekati,
pertanda bukanlah orang sembarangan.
Siu Lian belum sempat menoleh, orang menegur minta ikan itu
telah muncul di hadapan si gadis, bahkan kini telah mengambil
tempat duduk dengan sikap yang tenang.
Orang yang baru datang ini adalah seorang lelaki berusia
pertengahan. Pakaiannya sebagaimana orang-orang yang biasa
tinggal disebuah pulau. Pada beberapa bagian terdapat tambalan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 231
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

yang nampaknya sengaja dijahit kecil-kecil. Tangannya memegang


sebatang tongkat yang bentuknya seperti rotan, akan tetapi agak
sedikit lebih besar dari rotan biasa. Dipunggungnya menggembong
sebatang pedang. Sedangkan wajahnya wajar saja, sejak muncul
hingga sekarang duduk, matanya tak pernah lepas dari ikan-ikan
yang mengepulkan asap gurih.
Belum juga Siu Lian memberikan jawaban, apakah ia suka
memberikan seekor ikannya atau tidak, orang pulau itu telah
mengeluarkan sebuah hiolo. Begitu tutupnya dibuka maka menebar
bau arak yang harum. Dia minum dari hiolo itu beberapa teguk, lalu
diangsurkannya ke arah si gadis.
―Biasa minum arak?‖ tanyanya.
Sebenarnya sikap orang itu tidak menyenangkan dihati Siu
Lian. Tetapi ia cukup waspada dan cerdik. Melihat orang yang kasar
tapi aneh itu, si gadis tak mau sembarangan bertindak. Maka ia
hanya menilak tawaran itu, dengan cara yang halus.
Dan pada saat itu matanya yang awas, dapat melihat kedua
telapak tangan orang pulau itu yang sedang memegangi hiolo.
Telapak tangan itu hingga sebatas pergelangan berwarna kuning!
Siu Lian teringat akan kata-kata mendiang ayahnya prihal seorang
pendekar dari golongan hitam yang akhli dalam hal Iwekang
penghuni pulau Tho Liuto.
Siu Lian tertawa dalam hatinya, ketika melihat tingkah orang
pulau itu yang tampaknya sangat mengiler melihat pada ikan
panggang itu. hidung laki-laki itu kembang kempis, dan mulutnya
komat-kamit menelan-nelan. Tetapi si gadis takk ada maksudnya
mempermainkan orang yang baru muncul itu, maka ia segera
memberikan seekor ikan kepadanya.
Begitu diulurkan, begitu lantas disambar dan dimakan dengan
lahap. Sambil mengunyah tak henti-hentinya mulutnya mengoceh.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 232
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Lezat… lezat sekali! Enak! Gurih! Hmmm! Dan tak lama


antaranya, mulutnya menyemburkan tulang-tulang ikan, pertanda
bagiannya telah habis.
―Aku adalah seorang penghuni sebuah pulau. Makan ikan
bagiku merupakan hal yang terlalu biasa. Tetapi ikan ini gurih
sekali, hmmm.‖ katanya pula.
Siu Lian tertawa. Tak tega melihat orang yang demikian
nafsunya makan ikan. Maka si gadis lantas memberikan bagian ekor
ikan bagiannya.
Buntut bertulang itupun tidak ditolak, langsung disambar dan
dikunyah, bersemangat seperti orang makan dada ayam. Setelah
habis semuanya barulah orang itu menepuk-nepuk perutnya seperti
orang kekenyangan. Melihat itu, tak tahan Siu Lian pun tertawa.
Orang pulau itu merogoh kantongnya, lalu dari dalamnya
dikeluarkan sepotong perak besar, lalu disodorkan ke arah Siu Lian
sambil berkata,
―Anak yang manis, ambillah ini!‖
Siu Lian menampik. ―Aku menganggap pemberian itu adalah
pemberian persahabatan, aku tidak memerlukan uang.‖ sahutnya.
Orang itu menyeringai, agaknya malu. ―Tisak boleh tidak.‖
katanya. ―Aku adalah seorang perantau, seorang pelancongan.
Tidak mungkin untukku makan milik orang lain tanpa membayar
sepeserpun!‖
―Apa artinya seekor ikan?‖ si gadis tetap menolak pemberian
uang itu. ―Lagipula ikan itu bukan milikku. Aku memperoleh
dimana setiap orang boleh mendapatkannya seberapa dia mau…
kalau, eh, kau mau lagi, biarlah aku yang menangkapkannya
beberapa ekor lagi …………!‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 233
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Orang pulau itu tertawa terkekeh-kekeh.


―Anak manis, Ah, anak manis!‖ biji matanya tampak bersinar-
sinar bening, gembira dan terharu. ―Polos benar kata-katamu.
Kukira kau dalam kesulitan anak manis. Mari coba kau terangkan
padaku, mengapa kau sampai seorang diri berada di tempat ini?
katakanlah, tentu aku akan menolongmu!‖
Siu Lian cerdik, ia tahu orang yang memiliki watak-watak aneh
sebagaimana orang pulau itu tentulah bukan orang sembarangan.
Maka setelah berpikir sebentar barulah ia berkata,
―Untuk menjelaskan kesulitanku itu mudah sekali, tinggal
mengucapkan saja. akan tetapi aku belum mengetahui lo-jinke siapa
sebenarnya?‖
―Hahaha!‖ kau memang anak manis, polos dan cerdik pula!
Baiklah, baiklah. terhadap kau aku tidak perlu sungkan-sungkan
lagi. Aku adalah seorang she Gouw. Pemilik pulau Tho liu-to. Dan
oleh karena tindakaknu yang sering kulakukan tanpa banyak pikir,
maka orang-orang memanggilku si Sesat,‖ kata orang itu yang tidak
lain adalah Shia hiap Gouw Hian Lie pendekar sesat dari pulau Tho
Liu-to.
Siu Lian telah mengetahui dari ayahnya, bahwa pendekar ini
memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Walaupun sikapnya angin-
anginan, tetapi sebenarnya dia bukanlah orang jahat. Maka segera
saja sebelum Gouw Bian Lie sempat melakukan suatu apa, Siu Lian
telah menjatuhkan diri sambil berkata,
―Suhu, walaupun kau tak sudi menerimaku menjadi murid,
tetapi terimalah hormatku ini!‖
―Cerdik, pintar. Cerdik kau anak manis! Hanya darimana kau
mengetahui aku sedikit mempunyai kepandaian silat?‖ kata Bian
Lie yang memang telah merasa suka sekali kepada gadis itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 234
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Dari ayah‖ sahut Siu Lian seraya menekan bibirnya, sebab


saat ia mengucapkan kata-kata ituteringat ia akan nasib ayahnya
yang binasa dengan cara yang mengenaskan sekali.
―Ah, kau masih mempunyai ayah. Apakah ayahmu tidak
mencarimu sampai kau sendirian di sini? Eh siapa ayahmu, ha?
Sampai aku lupa, dasar sudah tua, pelupa! Siapakah ayahmu dan
kau namamu siapa?‖
―Ayahku An Hwe Cian dari Cheng-hong.‖ Berkata sampai
disini tak lagi dapat ditahankan air mata si gadis mengucur dan ia
menangis.
Sedangkan Gouw Bian Lie demi mendengar keterangan Siu
Lian menjadi kegirangan, berlompatan seperti anak kecil sambil
berseru-seru. ―Dasr jodoh! Dasar jodoh! Hingga Siu Lian yang
sedang bersedih jadi keheranan.
―Suhu kenapa?‖ tanya gadis itu.
―O, bagus sekali, kau ingat tentang tukang koamia di Shoatang?
Jawab Gouw Bian Lie seraya kemudian menceritakan mengapa
sampai terjadi demikian. Kiranya Gouw Bian Lie adalah suheng
dari orang tua aneh yang pernah mengaku sebagai tukang koamia
(nujum) yang pernah menggoda Siu Lian bersama Sin Hong di
Shoatang. Sudah menghilangnya tukang tenung itu, esok harinya ia
telah datang kembali untuk mencari Siu Lian, akan tetapi gadis itu
telah pergi entah kemana. Dan selanjutnya tukang tenung itu
berusaha untuk menemukan si gadis sampai-sampai ia menjumpai
suhengnya dan diminta bantuan untuk mencari gadis itu.
Segera sesudah Siu Lian disuruh berganti pakaian, karena
pakaian di tubuhnya tercabik-cabik dan penuh noda darah, maka
keduanya lantas meninggalkan tempat itu sebagai seorang guru dan
murid, sedangkan mengenai pakaian itu akhirnya ditemukan oleh

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 235
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong sehingga pemuda ini menduga bahwa Siu Lian telah
binasa menjadi korban beruang.
Sebenarnya bukanlah hal yang dibuat-buat apabila Gouw Bian
Lie bergembira sekali mendengar bahwa ayah Siu Lian adalah An
Cian Hian adanya. Beginilah kisahnya :
Si pendekar sesat dari Tho lio-to ini adalah merupakan murid
turunan kesatu dari partai Liong san pay. Dia masih mempunyai
seorang saudara seperguruan yang bernama Tie Koan Cai dan
karena adik seperguruannya inipun wataknya angin-anginan seperti
Shi hiap, maka dia dianggap orang sebagai seorang sesat ula. Hanya
adik seperguruannya itu lebih memperhatikan soal melihat nasib
atau peruntungan orang, hingga dia mendapatkan julukan Koa mia-
shia atau Si Tukang Tenung Uring-uringan. Dia ditunjuk oleh
mendiang guru dan suhengnya untuk tetap tinggal di Liongsan
menjaga dan merawat semua peninggalan yang diwariskan Sucouw
mereka.
Pada suatu hati Tie Koan Cie telah menyelesaikan dan
meyakinkan teori-teori pengetahuan mengetahui ilmu melihat wajah
orang, maka ia termenung untuk membuktikan kebenaran
penemuan-penemuannya. Ditengah perjalanan, ketika tiba di daerah
Shoatang, tiba-tiba ia teringat akan seseorang yang pernah
menyelamatkan jiwanya, menolong dan mengobati dirinya, yaitu
An Hwie Cian anak murid Ceng Hong Pai turunan kelima, tetapi
sebagaimana juga dirinya lebih banyak memperhatikan hal-hal yang
lain diluar ilmu silat. Hanya bedanya Tie Koan Cai memperdalam
ilmu tenung, sedangkan An Hwie Cian mengenai ilmu ketabiban.
Kepada An Hwie Cian, Tie Koan Cai menceritakan bahwa,
sampai ia kercunan begitu hebat, adalah akibat luka dalam
pertarungan melawan seorang akhli dari India. Sebenarnya Tie
Koan Cai, tidak seharusnya kalah dalam pertarungan itu, sebab

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 236
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dengan bertangan kosong dan bertempur setengah hati saja ia telah


dapat membuat lawannya Hek Mahie kalang kabut.
Akan tetapi, karena memang kebiasaannya angin-anginan dan
tertawa hahahihi, maka ia tidak menyadari bahwa tiga ekor ular
besar piaraan orang india itu menghampiri dirinya atas perintah
majikannya. Tie Koan Cai baru sadar akan bahaya ketika seekor
diantaranya berhasil melibat dan memagut pahanya.

****

JILID 7

GUSAR bukan buatan tukang tenung itu. Dengan pengerahan


tenaga Iweekangnya yang dalam, kepala ular sinduk itu dihancur-
leburkannya, Dan ular yang dua ekor lagi, disabetnya dengan
pedang menjadi potongan-potongan delapan.
Melihat kehebatan lawannya, terutama kehebatan permainan
pedangnya, plata Hek Ma Hie ambil langkah seribu, alias kabur.
Semula Tie Koan Cat bermaksud mengejarnya. Akan tetapi bisa
sacun ular yang menjalar di tububnya telah menghebat hingga ke

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 237
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pinggang. Demikianlah selanjutaya, Tukang tenung itu membiarkan


lawannya melarikan diri, sedang ia sendiri dalam keadaan setengah
sadar setengah pingsan. Ia pergi mencari sebuah dusun, untuk
mencari pertolongan. Ketika tiba disebuah pondok, maka ia
merebahkan diri, tanpa mengingat lagi siapa pemilik pondok itu.
Kiaranya pada saat itulah tukang tenung yang wataknya angin-
anginan itu mendapat pertolongan pengobatan dari An Hwie Cian.
Seorang tabib yang sedang memperdalam ilmu ketabibannya.
Berkat kecermatan dan kepintarannya maka akhirnya, Tie Coan Cai
dapat diselamatkan ajalnya.
Karena ingatan inilah maka ketika Tie Koan Cai berada di
Shoatang bermaksud hendak menyambangi Ceng-bong-pay, Akan
tempi secara tak diduga disebuah rurnah makan ia telah berternu
dan duduk menghadapi satu meja dengan puteri penolongnya.
Ketika mendengar keterangan dari si putri bahwa sang perolong
telah terbunuh maka Tie Koan Cai telah melompat dan menghilang.
Hari itu juga, dengan menggunakan seluruh ilmu
kepandaiannya, tukang tenung itu berlari meninggalkan Shoatang
untuk buru-buru sampai di Ceng hong san. Hatinya cemas,
bimbang, sedih tak terkirakan. Esok malamnya iapun sampai di
tempat yang dituju. Tetapi begitu tiba disana, benar-benar ia hanya
menemukan kuburan belaka. Karena menyesal dan sedihnya, maka
tukang tenung itu menangis sepanjang hari disamping kuburan itu.
Setelah itu barulah ia terkejut sendirinya menyesal, karena baru
sekarang ia teringat bukankah gadis yang menyamar sebagai
pemuda di rumah makan Shostang itu puteri An Hwie Cian?
Meogapa ia tertindak begitu ceroboh dan kurang pikir
meninggalkan puteri penolongnya itu begitu saja. Ingatan ini
membuat penyesalan dan kesedihannya makin menjadi-jadi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 238
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tetapi tak adalah manfaatnya menangis dan bersedih belaka.


Iapun memutuskaa tekadnya untuk kembali ke Shoatang, mencari
dan menemukan puteri sababat peuolong jiwanya itu.
Akan tetapi keesokan harinya ketika ia tiba di Shoatang, ia
tidak menemukan gadis itu lagi. Tie Koan Cai mencarinya
keseluruh kota Shoatang, akan tetapi juga sia-sia belaka usahanya
itu. Hingga ketika beberapa hari kemudian ia kembali kerumah
makan itu pula, ia menemukan dua orang pemuda yang hampir
serupa yang berdandan sebagai anak pertapaan. Mereka ini adalah
Than Cian Po bersama anak-anak dan isterinya. Disinilah karena
kecongkakan keluarga Than Cian Po itu, mereka lantas terlibat
pertengkaran dengan tukang tenung ini. akan tetapi para murid aku-
akuan Mie Ing Tianglo mana boleh melawan Tie Koan Cai?
Memangnya Tie Koan Cai sendiri tidak bermaksud
menyusahkan orang, maka iapun tidak menarik panjang persoalan
itu dan ia pergi meninggalkan mereka untuk melanjutkan usahanya
mencari Siu Lian.
Sedangkan Tan Cian Poo bersama isteri dan anaknya lantas
pergi ke Thai san untuk menjumpai gurunya. Mie Ing Tianglo,
untuk melapor bahwa paman guru mereka An Hwie Cian telah
terbunuh, akan tetapi mereka inipun hanya tinggal terkejut belaka,
sebab Mie Ing Tianglo menemui nasib yang serupa, mereka hanya
menemui kuburan gurunya belaka.
Tan Cian Po, walaupun orang tinggi hati akan tetapi terhadap
guru akuannya itu sangat bakti sekali. Dalam kesedihan yang tak
terkatakan itu ia pergi ke tanah Turki, untuk mencari bantuan guna
mencari pembunuh gurunya. Orang Turki itu adalah sahabat kental
Mie Ing Tianglo, sehingga kedatangan Tan Cian Po disambut
dengan baik disana.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 239
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Mendengar bahwa An Hwei Cian dan sahabatnya Mie Ing


Tianglo terbinasa begitu rupa, maka bukan main sedih dan gusarnya
sang sahabat ini. namun karena ia merasa sudah terlalu tua, maka ia
mengutus seorang muridnya yang bernama Karra Gamalge, untuk
menuntut balas kematian Mie Ing Tianglo tersebut. Akan tetapi
jangankan sempat bergebrak dengan Ong Kauw Lian yang saat itu
kepandaiannya sudah susah dicari tandingannya itu, murid dari turki
itu tidak dapat berbuat banyak. Bahkan akhirnya ia ambil langkah
seribu ketika Balganadar dengan Auwyang Siang Yong.
Tentang Tie Koan Cai yang sedang mencari puteri An Hwie
Cian, hingga beberapa bulan kemudian ia tiba di pulau Tho Liu-to,
diaman suhengnya Gouw Bian Lie bertempat tinggal. Kepada
suhengnya itu, karena dia sudah merasa berputus asa, minta
bantuannya untuk mencari Siu Lian. Demikianlah kiranya, Tie
Koan Cai yang telah menjelajahi puluhan kota dan naik gunung
mencari Siu Lian tidak herhasil, kiranya Gouw Bian Lie lah yang
secara kebetulan telah menemukan gadis itu.
Gouw Bian Lie melihat kata-kata baik pada diri Siu Lian,
lagipula ia mengingat akan budi An Hwei Cian yang telah
menyelamatkan sutenya, maka ketika Siau Lian memohon ingin
menjadi muridnya, dengan segala senang hati Gouw Bian Lie lantas
menerimanya.
Bersama-sama merekapun meninggalkan gunung Thian san
karena beberapa hari menjelajahi seluruh pelosok gunung itu, tidak
juga menemukan Sin Hong. Beberapa hari kemudian, merekapun
telah berada di pulau Tho liu-to kembali.
Pulau Tho liu to adalah sebuah pulau agak besar juga.
Disekelling pulau tumbuh pohon-pohonan tinggi yang seakan-akan
membentengi pulau itu. ditengah-tengah pulau terdapat sebuah
tanah menggunduk yang berbentuk seperti gunung. Disebut

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 240
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

semikian, karena kecuali letaknya meninggi juga luas dan


ditumbuhi hutan-hutan liar.
Pada suatu fajar menyingsing, pemandangan di sekitar pulau
itutampak sangat indah. Lebih-lebih pada tempat-tempat dimana
tumbuh pohon-pohonan yang berbaris sama tingginya, puncaknya
yang melambai-lambai seakan-akan sekumpulan prajurit yang
berbaris rapi. Tumbuhan bunga-bunga hutan yang beraneka warna
bergoyang-goyang bagaikan lambaian tangan jutaan rakyat yang
sedang mengelu-elukn pemimpin mereka.
Matahari menyumburatkan sinarnya yang kemerahan di ufuk
timur, menguak halimun pagi, membangkitkan cahaya pelangi
indah berwarna tujuh rupa. Keindahan alam ini kemudian ditambah
kian semarak oleh lagu-lagu pujian yang didendangkan oleh kicau
burung-burung yang menyambut datangnya pagi, serta gemerciknya
air kali yang mengalir.
Antara tampak dengan tiada, pagi hari itu dikala hawa sangat
sejuk mendesir dan halimun tersingkap oleh sinar matahari yang
lembut dari sebuah gunung kecil yang berada ditengah-tengah
pulau, tampak sesosok bayangan tubuh yang melayang-layang di
atas pohon bunga. Bayangan itu tampak samar-samar, tetapi
bergerak sangat cepar sekali, sehingga orang apabila melihatnya
akan mengira bahwa itu adalah seorang peri penjaga gunung.
Tetapi ketika bayangan hitam itu melintasi tempat yang terang
maka terlihatlah dengan jelas bahwa bayangan itu seorang setengah
tua yang sedang berlari dengan sangat cepatnya melayang-layang.
Mengherankan sekali bahwa orang tua itu dapat berlari diatas pohon
bunga dengan gerakan yang sangat ringan dan lincah seperti seekor
kupu-kupu. Pohon-pohon bunga yang terinjak kedua kakinya tidak
bergerak sedikitpun, rebah apalagi patah. Hingga dapatlah
dibayangkan betapa tinnginya ilmu meringankan tubuh orang tua
ini, sudah mencapai puncak kesempurnaannya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 241
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Wajah orang tua ini menunjukkan seperti orang yang tidak


beres akalnya. Mukanya kelimis, tidak berjanggut ataupun
berkumis, hanya rambut kepalanya yang keluar dari ikatan tampak
berjuntaian, kotor dan sudah putih menguban.
Pakaiannya pada beberapa bagian tampak tambalan yang
seperti disengaja. Leher dan lengan bajunya melambai-lambai
dikibarkan angin ketika berlari. Sepasang kakinya terbungkus
sepatu kulit jerami, sedang pada punggungnya menggepok seorang
gadis cantik yang berusia sekitar lima belasan tahun.
Karena kecepatan larinya, maka sebentar saja sudah sampai
didekat puncak tanah tumbuh dan memasuki hutan yang cukup
lebat. Ketika mereka telah memasuki pertengahan hutan maka
mereka tida pada sebuah pondok bambu. Dan ketika mereka
memasuki pondok itu, maka mereka telah disambut oleh seorang
laki-laki tua pula, kira-kira dua tahun lebih muda dari kakek yang
menggendong gadis itu. siapakah ketiga orang ini?.
―Suheng! Bagus sekali!" Seru orang yang menyambut itu
dengan hati gembira. Dan orang ini meinperhatikan gadis yang
berada digendongan itu dengan tajam, sehingga gadis itu merasa
malu. Gadis ini tentulah Siu Lian adanya, dan laki-laki tua yang
mengendongnya adalah Gouw Bian Lie. Dan seorang lagi. tidak
lain adalah dia situkang tenung uring-uringan atau Tie Koan Cai.
Dihadapan suteenya, Gouw Than Lie menjelaskan bahwa ia
berhasrat sekali untuk manerima Siu Lian sebagai murid, hal ini
tidaklah memberatkan bagi Tie Koan Cai, sebab ia tahu bahwa
dalam hal kepandaian ilmu silat, suhengnya jauh lebih tinggi. Lagi
pula, apabila mereka berdua mau bekerja sama, tentu akan membuat
Siu Lian menjadi seorang murid yang pandai dan hebat dikemudian
hari.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 242
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Merekapun lantas melakukan upacara pengangkatan guru dan


murid dan Siu Lian melakukan sembahyang pengangkatan tersebut.
Tanpa diperintahkan lagi Siu Lian telah menjatuhkan diri berlutut
dihadapan kedua guru itu, sehingga suheng dan sute itupun menjadi
kegirangan sekall.
―Anak baik, Anak bilk! Sungguh tidak memalukan kau menjadi
puteri An Hwie Cian sahabatku yang berbudi luhur itu!‖ kata Tie
Koan Cai menyatakan kegembiraannya.
Dan sejak hari itu, kedua saudara seperguruan itupun lantas
mulai dengan memberikan dasar-dasar ilmu silat Liong San Pai
pada murid tunggalnya itu.
Pendiri Liong san pai adalah Yao Leng Sian Su, guru Gouw
Bian Lie dan Tie Koan Cai. Semasa mudanya Yao Leng Siansu
bersama Thio Hin Bin seseorang yang bercita-cita sangat tinggi dan
dimasa usia empat puluhan tahun telah berhasil menggabungkan
beberapa cabang ilmu silat tinggi-tinggi sehingga menjadi cabang
ilmu silat tersendiri yang sangat lihai.
Selanjutnya untuk menyambung hidup dan memperdalam hasil
ciptaannya Thio Hin Bin mengambil gunung Liong-san sebagai
tempat berlatih juga sebagai tempat tingal. Untuk menyambung
ilmu silat yang dengan susah payah telah diciptakannya itu, Yao
Leng Siansu telah mengambil tiga orang murid, yaitu Gouw Bian
Lie, murid pertama yang telah memperoleh tujuh bagian dari ilmu
kepandaian gurunya. Murid kedua Tie Koan Cie hanya berhasil
menyelami beberapa bagian saja dari kepandaian gurunya, sebab
diluar tahu gurunya, murid yang dasarnya ugal-ugalan ini menuntut
ilmu lain, diluar ilmu silat dari gurunya. Itulah dia Ilmu Tenung.
Sedangkan muridnya yang ketiga adalah seorang yang berbakat
besar dan cerdas. Kecerdasan otaknya berlipat kali dari kecerdasan
yang dimiliki kedua suhengnya. Dia bernama Jing Tang Toh.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 243
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Jing Tang Toh diterima murid oleh Yao Leng Siansu ketika
guru itu telah menginjak usia delapan puluh tahun, dua puluh tahun
lamanya murid yang bermakat itu digembleng yang kadang-kadang
juga oleh kedua suhengnya bila guru mereka sedang pergi.
Ia berhasil mewarisi seluruh kepandaian gurunya. Bahkan
dengan kecerdasannya yang luar biasa, lima tahun sebelum ia turun
gunung, ia telah berhasil menciptakan beberapa gerakan sendiri
diluar tahu kedua suhengnya. Beberapa gerakan itu lihai bukan
main, dan mungkin sekali beberapa tingkat lebih tinggi dari ilmu
ciptaan gurunya, hingga dapat dibayangkan betapa lihainya murid
penutup ini.
Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan manusia yang
dilahirkan diatas dunia dengan berbekal kecerdasan yang luar biasa
itu, oleh Tuhan diturunkan pula sifat-sifat yang tidak seharusnya
dimiliki oleh orang-orang yang berbudi luhur dan jujur. Jing Tang
Toh memiliki sifat-sifat batin yang rendah sekali, hingga dua tahun
kemudian sejak ia turun gunung. Ia telah melakukan perbuatan-
perbuatah tak senonoh seperti merampok, membunuh dan
memerkosa wanita dengan mengandalkan kepandaian yang
dimilikinya. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan Yao Leng
Siansu mati mereras, meninggal dalam kedukaan dan malu.
Sebelum sampai ajalnya, pendiri Liang san pai itu, berpesan
kepada kedua uridnya yang terdahulu, agar segera mencari dan
membunuh sute mereka Jing Tang Toh. Dan kedua murid itupun
telah turun gunung, mencari berminggu-minggu, berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun ke seluruh pelosok negeri, namun orang
yang dicarinya tidak pernah dapat ditemukan. Jing Tang Toh
terkenal sebagai bandit ulung, akan tetapi aneh, tidak seorangpun
dapat mengetahui tempat tinggalnya.
Barulah beberapa tahun kemudian, tersiar kabar bahwa Jing
Tang Toh yang mereka cari-cari itu telah binasa dalam suatu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 244
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pertempuran yang dilakukan di daerah Turki, melawan tidak kurang


dari empat puluh jago-jago negeri itu. Jing Tang Toh terbinasa
setelah menewaskan separo lebih jago-jago itu, sehingga bagi kedua
suhengnya, kabar itu merupakan kabar yang menggembirakan akan
tetapi juga patut disesalkan.
Walaupun sang sute itu seorang yang memiliki jiwa yang
rendah, akan tetapi bagi mereka toh merupakan saudara seperguruan
yang pernah tinggal bersama di puncak gunung Liong san selama
dua puluh tahun. Betapapun mereka pernah sekian lama segalang
segulung dalam usahanya menuntut ilmu, maka rasa
persaudaraannya itupun tidak mudah lenyap begitu saja. Lagipula
kematian Jing Tang Toh, kecuali berakhirnya petualangannya
sebagai seorang bandit ulung, juga sesungguhnya ia telah
mengangkat tinggi nama Liong san pai. Merobohkan lebih dari dua
puluh jago Turki seorang diri di negeri asing, bukanlah perbuatan
yang tidak berarti.
Itulah sebabnya ketika mendengar berita itu, kedua murid
Liong san pai itu mengadukan halnya kepada makam suhunya. Pada
saat itu, ketika Bian Lie menuturkan hal kematian sutenya itu, di
langit terdengar gledek dan guntur sambung menyambung, kilat
menyambar-nyambar dan hari menjadi gelap. Setelah itu hujanpun
turun sepeerti dicurahkan dari langit. Mungkin hal itu merupakan
tangis dan kaget alam yang ditinggalkan oleh seorang berbakat
besar yang telah menemui kebinasaan sebagai penjahat yang gagah.
Dan kini dua puluh dua tahun semenjak kedua suheng dan sute
itu ditinggal mati gurunya di tengah-tengah tanah lapang yang luas,
tampak seorang dara cantik jelita sedang menggerak-gerakkan
tubuhnya belajar silat.
Dialah An Siu Lian. Gadis ini telah setahun tinggal di pulau
Tho-liu-to. Dalam tahun pertama ini, Siau Lian mendapatkan
pelajaran ilmu dasar silat Liong san pai dari Koa mia shia Tie Kang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 245
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Cai yang mengajarnya dengan wajar dan sederhana. Tukang tenung


uring-uringan ini merasa sangat gembira melihat bakat besar pada
muridnya, cerdas dan cepat mengerti, juga sangat lincah, juga
sifatnya periang menggembirakan.
Beberapa bulan saja belajar, Siu Lian telah dapat bersilat
tingkat pertama dari Liong san pai dengan baik dan sempurna.
Ketika setahun genap, Siu Lian mengikuti pelajaran dari kedua
gurunya itu. gerakan tubuhnya semakin lincah saja. Seluruh
gerakannya halus dan wajar, dan sudah mahir menggunakan tinju
dengan ilmu pukulan seperti houw-tiam-ciu (totokan jeriji macan),
im-ciu dan lain-lain.
Dua tahun kemudian, Tie Koan Cai merasa bahwa tugasnya
membimbing Siu Lian telah selesai dalam mengajarkan pokok dasar
ilmu silat Liong-san dan untuk selanjutnya ia serahkan tugas itu
kepada suhengnya yang jauh lebih lihai dari dirinya. Sedangkan ia
sendiri selanjutnya mengajar ilmu surat, karena ilmu pengetahuan
inipun sangat penting terutama bagi seorang gadis seperti Siu Lian
itu. dan ternyata dalam hal ini, kecerdasan Siu Lian tidaklah
mengecewakan gurunya. Ingatannya sangat kuat, sekali menghafal
maka surat-surat itu seakan melekat di kepalanya, tak mungkin
dilupakan lagi.
Pada tahun kelima setelah merasa pasti benar bahwa dasar-
dasar ilmu silat Liong san yang dipelajari Siu Lian telah matang
benar, maka Bian Lie melanjutkan pekerjaan Tie Koan Cai untuk
mendidik Siu Lian, memberikan pelajaran silat yang lebih tinggi.
Si pendekar sesat dari Tho-liu-to Gouw Bian Lie, pada taraf
pertamanya memberikan pelajaran khikang (mengatur nafas)
sampai kemudian pada ilmu meringankan tubuh (ginkang) yang
lebih sempurna dan berlari lebih cepat dan lebih tinggi. Dasar Siu
Lian memang dilahirkan memiliki bakat sempurna. Dalam setahun
saja berlatih siang malam, ia telah mewarisi dasar-dasar seluruh

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 246
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ilmu pelajaran tersebut. Setahun pula selanjutnya kepandaian dalam


hal menyambit mempergunakan senjata rahasia telah ia pahami
pula, tinggal memperaktekkan dan melatihnya.
Kemudian dua tahun lagi, Bian Lie memberikan pelajaran ilmu
silat tangan kosong yang sangat cekatan yang bernama Soat Wan
Kun Hoat (ilmu silat tangan lutung salju) yang berjumlah sembilan
puluh enam jurus, seratus delapan jurus Lo-han-kun yang tergabung
dengan Kin-na-hoat dari Siauw Lim dan Thai-tek-kun. Setelah itu
setelah meningkat dalam tahun-tahun terakhir, Gouw Bian Lie
menggembleng murid tunggalnya ini dengan ilmu golok Kun Lun
Pai yang tiada taranya dan dua tahun terakhir sebelum turun gunung
kepada An Su Lian diturunkan ilmu mempergunakan golok dan
pedang yang gerakan-gerakannya lebih sulit.
Demikianlah latihan gemblengan yang diturunkan dari kedua
guru ini, hingga kepada mereka itu, ia merasa sangat berterima
kasih dan ketika telah mencapai usia dua puluh lima tahun ia telah
memiliki kepandaian yang sangat hebat dan luar biasa sekali.
―Siu Lian,‖ berkata Tie Koan Cai pada suatu hari ketika merasa
kalau kepandaiannya seluruhnya telah diturunkan kepada muridnya
itu. ―Kini kukira tiba saatnya untuk kau mewujudkan cita-citamu.
Membalaskan sakit hati ayah ibumu. Kukira dengan kepandaianmu
sekarang ini, dapatlah kau mengalahkan musuh-musuhmu.
Jangankan hanya seorang Ong Kauw lian, dua kali dia kau masih
mampu. Hanya pesanku, walaupun kini telah memiliki kepandaian
yang cukup lumayan, jangan sekali-kali engkau takabur dan
menganggap dirimu orang terpandai di dunia ini.
Janganlah engkau menyombongkan diri, karena nanti bisa
terjerumus. Serta jangalah pula terlalu mudah membunuh orang atau
menindas yang lemah. Berbuatlah sebagai seorang pendekar yang
berbudi luhur. Pergunakanlah kepandaianmu untuk menindas segala
orang-orang yang bermartabat rendah dan berwatak kejam!‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 247
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Juga agar siingat-ingat olehmu, usahakanlah agar nanti setelah


kau berhasil membunuh musuh besarmu itu atau belum, sedapat-
dapatnya kaucepat-cepat pulang dahulu, selambat-lambatnya
tanggal lima belas bulan delapan …..‖ berkata Bian Lie.
―Ada apakah suhu?‖ tanya Siu Lian yang tidak mengerti akan
maksud suhunya.
―Pada hari itu nanti, kita bertiga akan pergi ke utara,
menyeberangi sungai besar ke daerah Tiongkok Utara, untuk
memenuhi undangan Auwyang Keng Kiak yang hendak
mengadakan pertandingan silat untuk memperebutkan gelar ahli
silat nomor satu di kolong langit ini.‖
―Dan kau harus ingat akan pesan-pesanku tadi!‖
memperingatkan pula Tie Koan Cai. ―Yaitu janganlah engkau
mengambil jalan salah, karena kalau kelak engkau berubah menjadi
anak durhaka dan menjadi murid yang mencemarkan nama
partaimu ini seperti sam susiokmu itu, maka kami berdua akan
mencarimu!‖
Pada hari itu, tanpa diketahui oleh Siu Lian, Koan Cai telah
mencabut sebatang pedang yang selama ini menggembok di
punggungnya. Pedang itu berwarna putih dan berkilat-kilat ketika
kena sinar pelita. Pedang itu diserahkan kepada Siu Lian seraya
berkata,
―Muridku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini, karena
walaupun benar senjata ini bukanlah senjata mustika, tapi ini adalah
warisan lurus dari Sucouw mu yang dipergunakan beliau ketika
masih muda. Maka untuk memiliki ini yang diberi harus bersumpah
terlebih dahulu.
Dengan khidmat diterimanya pedang itu seraya mengucapkan
sumpah.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 248
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Teecu akan memanggul segala kebenaran diatas pundak dan


kepala, dan menghukum yang jahat. Apabila kelak ternyata teecu
mempergunakan pedang ini untuk maksud-maksud yang tidak baik
atau hanya untuk kepentingan diri pribadi, biarlah teecu mati
tertembus oleh pedang ini sendiri!‖
Mendengar sumpah murid perempuan ini, tampak Tie Koan Cai
suhengnya tersenyum pusa. Tiba-tiba terdengar Siu Lian berkata
pula, ―Atas didikan dan nasehat yang suhu limpahkan kepada teecu,
entah bagaimana teecu harus membalasnya!‖
―Anak baik,‖ kata Bian Lie, ―Pabila saja kau menjadi anak
yang berbudi baik dan membela kebenaran, maka itu sudahlah
cukup sebagai pembalasan budi yang sangat besar bagi kami!‖
Kemudian setelah menerima beberapa nasehat penting, Siu
Lian berangkat merantau mencari musuh besarnya serta sekalian
mencari Sin Hong yang saat ini entah berada dimana.
Oleh kedua orang gurunya, ia dibekali bungkusan berisi
pakaian tiga potong dan beberapa potong perak dan emas. Dengan
hati terharu Gouw Bian Lie dan sutenya mengantarkan dengan
pandangan matanya, hingga murid itu lenyap diseberang lautan
luas.
Langsung dari pulau Tho-liu-to, Siu Lian menuju ke Cieng
Hong dengan harapan akan bertemu musuh besarnya yang juga
menjadi suhengnya itu berada di pegunungan itu dan bertempat
tinggal.
Tetapi alangkah kecewanya, ketika tiba ia mendapatkan puncak
Ceng-hong-san dimana dahulu ia pernah tinggal sunyi saja tak
berpenghuni.
Hanya dari beberapa penduduk yang tinggal di lereeng gunung
itu, mendapat keterangan bahwa katanyapada kira-kira lima-enam

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 249
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bulan yang lalu, ke atas puncak Ceng hong-san itu pernah


berkunjung seorang pemuda berpakaian pengemis yang kemudian
pergi pula setelah berdiam beberapa minggu.
Ketika ditanyakan oleh Siu Lian, apakah yang diperbuat oleh
pemuda pengemis itu, beberapa penduduk di lereng pegunungan
tersebut hanya menggelengkan kepala. Hanya dengan gerakan-
gerakan tangannya para penduduk itu menggambarkan bahwa
pemuda pengemis itu mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi.
Salah seorang penduduk menerangkan bahwa, katanya pemuda
pengemis yang datang di Ceng-hong-san itu, adalah untuk
mengambil sebuah barang warisan dan ketika pulangnya dia menuju
ke jalan yang menuju ke kota Giok-kang-ci-an. Letak kota ini
jaraknya ratusan lie dari Ceng-hong-san dan jika ditempuh dengan
jalan darat kira-kira memakan waktu sebulan, begitu keterangan
penduduk itu. ada jalan yang lebih singkat yaitu melalui jalan air
mengikuti arus sungai Giok-to dengan perahu.
Karena memang maksudnya meninggalkan Tho-lio-to adalah
untuk mencari Kauw Lian dan sekalian pergi merantau meluaskan
pengalaman, maka setelah mendengar adanya seseorang menyatroni
Ceng-hong-san serta membawa pergi suatu benda warisan, Siu Lian
menjadi curiga dan kemudian berangkat ke kota yang disebutkan
oleh penduduk lereng gunung tadi. Ia pergi ke perkampungan
nelayan yang tinggal didekat sungai Giok-ho untuk menyewa
perahu.
Namun di kota ini bukan saja ia tidak gampang lantas dapat
menyewa perahu, bahkan ia menjadi bahan perhatian orang banyak,
hingga ia menjadi heran. akhirnya ia insyaf setelah memperhatikan
disekelilingnya, kecuali dia tak ada seorang perempuan lainpun
yang berkeliaran di tempat seperti itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 250
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Cepat-cepat karena kuatir akan terjadi hal-hal yang tidak


diinginkan, iapun pergi mendapatkan seorang nelayan tua yang
menyewakan perahu besar untuk menyebrangi sungai.
―Pada masa ini adalah masa terbaik untuk berpesiar, air sungai
tenang dan jernih.‖ kata nelayan tua yang dihampiri Siu Lian itu,
yang seperti juga penduduk yang lain, mengawasi si nona dengan
pandangan keheranan. ―Nona hendak plesir kemana? Mengapa
hanya seorang diri saja?‖
―Ya, memang aku hanya seorang diri saja lopeh, mengapa?‖
Siu Lian tersenyum seraya mempergunakan tangannya untuk
menepuk badan perahu, sehingga perahu itu bergeser dua gentakan.
Sengaja Siu Lian memamerkan kepandaiannya dengan harapan agar
selanjutnya nelayan tua itu tidak menganggapnya sebagai
perempuan lainnya yang umumnya lemah.
―Hah? Tidak, tidak apa-apa.‖ seru nelayan itu yang menjadi
sangat terkejut menyaksikan tenaga si nona yang besar itu.
―Aku bukan pelancongan, tetapi hendak menyewa perahumu
untuk pergi ke Giok-kang-cian, berapa harganya?‖
―Ke Giok-cang-cian?‖ kembali nelayan itu berseru kaget.
―Ya, Giok-cang-cian, apakah lopeh tidak tahu dimana letak
tempat itu?‖ Siau Lian mengulangi dengan hati agak mendongkol.
―Nona, aku adalah penduduk tertua untuk daerah ini, hingga
buat daerah-daerah sekitar. Walaupun sampai yang sekecil-kecilnya
bagiku untuk mencarinya sama juga dengan membalikkan telapak
tangan saja. Apalagi untuk mengantarkan nona ke Giok-cang-cian
yang terkenal sebagai pusat besar, bagaimana aku bisa tidak
mengetahuinya?‖
―Nah, kalau tahu, buat apa banyak bicara? Apakah kau takut
aku membayar murah?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 251
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Bukan, bukan nona,‖ kata nelayan tua itu gugup. ―Aku bukan
manusia yang kau duga itu. lebih-lebih dengan kepandaian yang kau
perlihatkan tadi. Aku tahu nona bukanlah perempuan sembarangan.
Tidak dibayarpun tidak menjadi apa, hanya ……. hanya …….‖
―Hanya apa?‖
―Hanya perjalanan yang kira-kira dua puluh lie jaraknya dari
tempat ini, di suatu tanah yang terletak di tengah-tengah sungai
pada kira-kira lima bulan yang lalu, ada didatangi sebangsa siluman
yang ………… ‖
―Siluma apakah itu?‖ tanya Siu Lian memptpng pembicaraan si
nelayan tua.
Nelayan tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berkata ‗tidak tahu‘.
―Hanya menurut kata orang, beberapa penduduk yang pernah
menyaksikan, datang dan perginya siluman itu sangat cepat sekali
seperti angin serta suka sekali mengganggu orang-orang yang
kebetulan melintas di tempat itu, terutama sekali terhadap orang-
orang kaummu. Maka bukan aku menakut-nakuti, lebih baik
urungkan saja niatmu itu!‖
Meudengar keterangan demikian bukannya Siu Lian takut,
bahkan jadi gembira. Bukaukah tugasnya yang kedua disamping
mencari musuh besarnya juga menghalau bahaya pengacau
ketenteraman rakyat, adalah juga termasuk kewajinan nya.
―Lopek yang baik" kata Siu Lian tertawa. ―Maafkan kalau tadi
aku telah menuduhtnu yang bukan-bukan. Sedang sebenarnya
bukankah Giok kang-cian itu sendiri aman?"
Nelayan tua itu mengangguk membenarkan. ―Ya, yang
kurnaksudkan tidak aman itu adalah perjalanan yang barus melalui
sungai itu."

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 252
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Jadi pada biasanya dapatkah kau mengantarkan oran yang


pelesir ke Giok-kang-cian?!"
―Tentu saja. Kalau hal itu terjadi pada tahun yang lalu.‖
―Berapa upah sewanya?"
―Hem, semuanya sebelas tahil."
Siu Lian memasukan tangannya tedalam buntalan dan ia
keluarkan perak kecil seharga lima belas tahil.
―Nah, ambillah ini kalau sekarang kau mau antarkan
akukesana. Dan nanti kalau sudah sampai di sana, akan
kutambahkan pula lima tahil, bagaimana?‖ kata Siu Lian.
―Eh, eh, lupa kah kau nona muda! Tadi bukankah telah
kuceritakan bahwa di suatu tanah lebih ada silumannya?‖ jawab si
nelayan tua. ―Dan lagipula pernah pada kira-kira sebulan yang lalu,
dua puluh satu orang gagah mencoba memasuki daerah itu untuk
mengusir siluman itu. kau tahu hasilnya nona? Kedua puluh satu
orang itu masuk, tak seorangpun yang dapat pulang kembali!‖ kata
nelayan tua itu menjelaskan, agaknya ia masih tetap ragu-ragu
kepada si nona yang hanya seorang diri itu.
―Aku tahu lopek. Dan biarlah kalau sampai aku mendapat
celaka, aku tidak takut!‖
Nelayan tua itu memandanginya dengan pandangan mata penuh
tanya, hingga membuat Siu Lian habis kesabaran. Lalu dihadapan
kakek itu ia melompat keatas dan menghilang yang membuat
nelayan itu berteriak-teriak gila mengira bahwa Siu Lian juga
sebangsa siluman pula.
―Tolong! Siluman, siluman…!‖ teriaknya. Bukankah baru saja
si nona itu berada di depannnya! Kakek nelayan itu menjadi lebih

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 253
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ketakutan ketika teringat bahwa siluman memang serig kali


menyamar sebagai perempuan cantik atau sejenis dewi.
Tetapi, tiba-tiba, ―Lopeh …………. Jangan takut! Aku bukan
siluman!‖ terdengar suara yang halus dan merdu dan dihadapannya
kini telah muncul Siu Lian yang sedang tersenyum manis.
Terpaksa gadis ini berbuat demikian untuk memberikan
keyakinan pada si kakek agar ia mau mengantarkannya.
Kakek nelayan itu mengangguk-anggukkan kepalanya antara
sangsi dan kagum. Tetapi akhirnya ia berkata pula.
―Kau bukan siluman, kalau begitu kau tentu seorang pendekar
wanita. Akan tetapi jangan lupa. Kecepatan bergerakmu tadi kukira
tidak berada dibawah kepandaian para siluman-siluman itu. aku
Lauw Toa tidak pernah berdusta, tetapi dalam hal ini agaknya
akupun masih ragu-ragu.‖
―Jangan khawatir kakek yang baik,‖ sahut Siu Lian sambil
tertawa.
Akhirnya Lauw Toa menerima juga tawaran Siu Lian.
Beberapa saat kemudian mereka berangkat.
Tampaknya perahu yang ditumpangi Siu Lian ini sudah tua.
Terlihat dari bahan-bahan kayunya yang sudah mengering keras
sekali. Tetapi walaupun demikian masih cukup kuat dan lebih-lebih
atapnya baru dua hari yang lalu diganti si pemilik, sehingga jika
hujan besar turunpun tidak nanti akan kebocoran. Sedangkan si
kakek nelayan itu sendiri tidak putus-putusnya memuji-muji
perahunya yang sudah tua itu.
Saat itu hati Siu Lian sedang lapang dan bergembira.
Pemandangan disepanjang jalan tepat seperti dikatakan orang,
sangat indah sekali. Apa lagi Lauw Toa ternyata orang tua yang
pandai bercerita, membumbui segala keindahan emandangan itu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 254
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dengan dongengnya yang menarik. Ia juga mendongeng tentang


riwayat terjadinya sungai besar itu.
Pada malam harinya, kakek itu mendongeng pula untuk
melewatkan waktu yang gelap dan menyeramkan.
―Dahulu kala,‖ demikian kakek nelayan tua ini mulai cerita
dongengnya, ―Di dasar sungai ini hidup dua orang. Seorang pemuda
dan seorang gadis. Kedua mahluk itu walaupun belum kawin, akan
tetapi dalam hidupnya selalu saling kasih mengasihi seperti
hidupnya dua orang yang berumah tangga bahagia.
Mereka sangat bahagia tampaknya, sehingga membuat iri pada
orang yang melihatnya. Hingga akhirnya ketika sang Raja Ombak
mengetahui akan kerukunan kedua makhluk itu, segera
mendatangkan bala tentaranya untuk menggulung rumah istana
tempat kedua makhluk itu bersemayam dan menghancurkannya.
Dalam kemarahannya yang meluap-luap, yang laki-laki mencabut
senjatanya dan mematahkan serangan itu dan berhasil membunuh
sang Raja Ombak itu. akan tetapi, ketika perkelahian itu berakhir,
ternyata si gadis holang entah kemana.‖
―Hai nona, naona, kau menangis?!‖ tiba-tiba kakek itu
menghentikan ceritanya, ketika diliihatnya dari mata nona
penumpangnya, tampak mengalir air mata. Lauw Hoa jadi
kebingungan.
―Akh… tidak… tidak!‖ sahut Siu Lian gugup. Terkejut dan malu
ketika disadarinya bahwa baru saja ia menangis. ―Berceritalah terus
lopek, berceritalah…!‖
Sebenarnya pikiran Siu Lian sedang melayang kepada pemuda
pujaannya, Sin Hong yang hilang ketika ia bersama pemuda itu
sama-sama mendaki gunung Thang-sia-san. Tadi tanpa terasa ia
menangis, karena ternyata kisah itu ada persamaannya dengan si
gadis ini sendiri.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 255
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun karena kejadian itu Laow Toa jadi tak suka


mendongeng lagi. Ia khawatir ceritanya akan membuat si nona
menangis lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-oagi mereka telah tiba ditengah-
tengah sungai yang membelok memasuki hutan. Dihadapannya
tampak muncul segunduk tanah diatas air yang berbentuk piring dan
cukup luas. Ditengah-tengahnya terlihat seperti tampak menjulang
sebentuk gunung kecil, agak tinggi dan seperti belukar.
―Hati-hati nona, itulah tanah muncul yang kumaksudkan…!‖
Belum habis Lauw Toa berkata, tiba-tiba dari sisi kanan perahu
tampak melesat sesosok bayangan merah yang bergerak cepat
sekali. Dalam sekejap saja bayangan itu telah menghilang ke dalam
hutan.
―Celaka nona, siluman itu datang…‖ Lauw Toa mengeluh dan
tubuhnya kontan menggigil ketakutan. Namun Siu Lian yang
waspada dan berpenglihatan aws, tenang-tenang saja. Ia tahu kalau
bayangan yang berkelebat tadi adalah bayangan manusia biasa yang
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Hanya
yang membuat ia keheranan ialah, bentuk bayangan itu merupakan
bentuk seorang perempuan. Apakah mungkin yang dimaksud
siluman itu adalah perempuan jahat yang berpakaian baju merah.
Ataukah mungkin yang dimaksudkan mereka adalah seorang
perempuan jahat berkepandaian tinggi.
Segera Siu Lian menggerakkan tenaga iwekangnya pada kedua
kakinya, sehingga perahu itu dapat bergerak lebih cepat. Ketika
kemudian si kakek nelayan karena takutnya tidak dapat
menggunakan pengayuhnya lagi.
―Bagiamana baiknya nona…?‖ suara Laow Toa masih gemetar
ketakutan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 256
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Kayuh terus! Jangan takut!‖ perintah Siu Lian dengan suara


tenang. ―Apakah kakek tidak malu dengan diriku seorang
perempuan?‖ Siu Lian mengejek, sehingga membuat muka kakek
itu menjadi merah karena malu. Perahu didayung terus, bahkan
karena ejekan tadi, sikakek mendayung dengan lebih kuat. Akan
tetapi karena ia bekerja dengan perasaan terpaksa, lagipula
bercampur takut, maka sebentar saja keringat kakek ini membutir-
butir sebesar biji kacang kedelai membasahi dahi dan keningnya.
―Lopeh boleh beristirahat, biarlah aku menggantikannya.‖ Kata
Siu Lian.
―Tidak mungkin nona!‖ kakek itu menolak dengan keras.
―Apakah kau kira aku orang yang demikian rendahnya? Walaupun
batang usiaku telah renta, walau keringat sudah membasahi dahiku
dan juga aku mengaku takut, tapi tak mungkin aku meninggalkan
kewajibanku!‖ dan kakek itu terus mendayung dengan kerasnya.
Rupanya sikap Siu Lian yang terakhir ini cukup menggugah
keberanian kakek itu hingga sekarang ia tidak tampak gemetaran
lagi.
Perahu melaju semakin cepat. Memecah air yang dilaluinya
sudah menjadi satu pula pada bagian belakang perahu. Tiba-tiba
kira-kira tiga puluh kaki dari tempat kedudukan perahu itu, terlihat
melesat sesosok bayangan hitam. Cepat sekali. Sekejap saja telah
berada di atas perahu. Dan ternyata, bayangan itu adalah sebatang
pohon hutan yang mungkin akan dapat menenggelamkan mereka
apabila batang pohon itu dapat menumbuk perahu.
―Siluman ampun….. siluman ampun …..‖ si kakek meratap-
ratap gemetaran. Ia memeramkan matanya, dalam hati ia pasrah
akan nasib.
―Piiiiiiaaaaarrrr …..!‖ tiba-tiba ia mendengar suara bingar yang
terjatuh ke dalam air. Cipratan air yang bermuncratan membasahi

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 257
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

perahu dan si kakek itu sendiri, sehingga ia tersadar dan membuka


matanya kembali.
Ia mendapatkan kenyataan bahwa perabunya tidak kurang suatu
apa. Dan tidak jauh dari situ dilihatnya sebatang pohon tadi
terhanyut perlahan teraung di atas air. Ia menjadi sangat heran. tadi
terang bahwa pohon itu hendak menimpa persis diatas kepalanya.
Cepat-cepat matanya mencari Siu Lian. Dan herannya menjadi
bertambah-tambah ketika kadis itu ternyata masih juga berada di
tempat semula, duduk dengan tenang-tenang belaka di ujung perahu
seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu apapun. Mungkinkah gadis
ini yang telah menyingkirkan balok kayu tadi? Demikianlah kakek
itu bertanya-tanya dalam hati. sementara batang kayu itu telah kira-
kira sepuluh tombak menjauhi perahu.
―Nona, tidakkah kau kurang suatu apa?‖
―Tidak!‖ dan agaknya yang ditanya ini menggeleng-gelengkan
kepalanya acuh tak acuh. Saat ini perahu sudah berada di pinggir
tanah muncul.
―Kek, siluman itu rupanya takut kepadaku!‖ Siu Lian berolok-
olok sehingga si kakek tunduk kemalu-maluan. ―Labuhkan perahu!
Perintah si nona kemudian.
―Haaa?‖ si kakek berseru kaget. Melabuhkan perahu ditempat
ini? sama sekali si kakek tidak pernah menduga sebelumnya.
―Melabuhkan perahu di sini?‖ si kakek mengulangi pertanyaan.
―Ya, labuhkan perahu, kataku! Apakah kurang jelas kek?‖ Siu
Lian mengulangi perintahnya dengan mendongkol. Seraya demikian
si nona mengerahkan iwekang pada kedua kakinya membuat perahu
itu bergerak menepi dengan cepat tidak dapat ditahankan oleh si
kakek. Dia jadi kalang kabut kebingungan dan lantas mengira yang
bukan-bukan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 258
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Nona, nona ….., siluman datang lagi….!‖ Lauw Toa berteriak-


teriak menggila hingga mau tak mau Siu Lian tertawa geli.
―Sebagaimana telah kujanjikan tadi, terimalah ini kek, lima
tahil lagi dan kau pulanglah!‖ kata Siu Lian kemudian setengah
menyuruh.
Setelah menerima pembayaran itu, maka Lauw Toa memutar
perahunya cepat-cepat meninggalkan tempat tanpa mempedulikan
Siu Lian lagi. Dalam hati ia masih kuatir, apakah si nona tadi benar-
benar manusia atau sebangsa siluman juga. Maka sebentar-sebentar
ia tengok hadiah pemberian itu, khawatir tahu-tahu jika kemudian
menjadi batu.
Sebentar kemudian, perahu itu telah jauh meninggalkan tempat
tanah yang muncul tadi. Bila kemudian ia dapat selamat dan
bertemu dengan kawan-kawannya maka ia akan segera
menceritakan seluruh pengalamannya ini, membuat kawan-
kawannya menjadi gempar.
Memperhatikan akan keadaan di situ Siau Lian teringat akan
Tho-liu-to. Hanya bedanya tanah lebih ini ditumbuhi oleh tubhuhan
liar yang tak berketantuan, mirip sebuah semak belukar, atau hutan
kecil. Cocok sekali untuk perampok yang mengasingkan diri,
suasananya angker dan menyeramkan. Dari dalam hutan kadang-
kadang terdengar bunyi-bunyian yang aneh-aneh, yang untuk orang
yang bernyali kecil, mungkin bisa membuat orang mati berdiri
dikarenakan takut.
Setelah berjalan kira-kira seratus langkah, Siu Lian tiba disuatu
tempat yang di kanan-kirinya penuh dengan tumbuh-tumbuhan
lebat dan berduri-duri.
Sebenarnya tidak ada niat Siu Lian untuk memasuki hutan itu.
akan tetapi karena tertarik akan penglihatan bayangan merah tadi,
maka ia berniat untuk menyelidiki. Besar dugaannya bayangan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 259
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

merah itu adalah seorang perempuan yang memiliki ilmu tinggi.


Apabila ternyata dia seorang penjahat. Siu Lian akan
menghancurkan untuk menghilangkan kegelisahan masyarakat
banyak disekitar tempat itu.
Siu Lian kagum akan tenaga orang yang menyambitkan batang
pohon ke arahnya, pasti dia memiliki iwekang yang cukup tinggi
dan tentunya sebat pula.
Tiba-tiba, tengah ia berjalan dengan berbagai macam pikiran
yang mengganggu kepala, dari arah sebelah kanan depan, dari
antara tumbuh-tumbuhan yang lebat, tampak melesat tiga batang
sinar merah yang mengarah tiga bagian anggota tubuhnya. Serta
matanya yang jeli masih dapat melihat adanya sekelebat bayangan
yang menyelusup cepat di sisi kirinya, kemudian menghilang ke
dalam hutan.
Siu Lian tidak menjadi gugup akan datangnya tiga serangan
gelap itu. dengan memutar pedang keras-keras sehingga
menimbulkan angin keras, maka ia telah membuat ketiga sinar
merah itu terpukul balik setindak sebelum senjata-senjata tersebut
mengenai tubuhnya. Hanya yang menjadikan ia merasa heran ialah
adanya orang lain itu yang pendek sekali, kira-kira setinggi empat
kaki dan tadi menyusup menghilang. Nyata-nyata bahwa
kepandaiannya tidak dibawah kepandaian si penyerang gelap. Yang
tahu adalah orang yang tadi membuat Lauw Toa kaget ketakutan.
Bersama itu pula, sebelum ia sempat berbuat suatu apa
mendadak terdengar mendesis-desisnya beberapa ekor ular. Tak
lama kemudian terlihat pada jarak kira-kira dua tombak dari tempat
Siu Lian berdiri, sepasukan ular yang berjumlah ratusan ekor,
menggeleser cepat bergerak maju menuju ke arahnya. Menyaksikan
ini Siu Lian terkejut bukan alang kepalang.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 260
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dalam sedetik ini, ia teringat akan cerita gurunya yang kedua,


yang pernah mengatakan bahwa kira-kira seabad yang lalu, daerah
Tionggoan pernah kedatangan seorang pendeta dari India yang
sangat pandai dan mempunyai kegemaran memelihara sebangsa
ular-ular kecil putih yang berbisa. Dan kini pada tempat yang
seasing ini, dikata pulau juga bukan, sementara belum dapat
mengetahui adanya si kate yang mengherankan itu, ia telah
disambut oleh sepasukan ular putih yang tampaknya juga berbisa.
Apakah mungkin pendeta India itu masih hidup? Kalau demikian,
mungkin dia yang usianya tentu tidak kurang dari satu seperempat
abad, itulah yang dikira orang sebagai siluman.
Dengan cepat dan waspada, sebalum ular-ular itu datang
melibat, Siu Lian menjejakkan kakinya ke tanah. Lalu dengan tubuh
didoyongkan ke kanan, maka ketika tubuhnya turun kembali, ia
telah berada dalam semak-semak untuk menyembunyikan diri. Ia
ingin melihat apakah benar-benar pemelihara ular ini adalah orang
India yang dimaksud. Melihat binatang-binatang piaraan itu berada
di sini, maka tentulah majikannya tidak jauh berada disekitar tempat
ini pula.
Tidak lama kemudian dari balik semak-semak sebelah kiri,
tampak kelyar sesosok tubuh pendek, kepalanya besar, tidak
berambut kepala akan tetapi janggutya panjang hingga menyapu-
nyapu ke tanah. Aneh sekali tingkah laku orang kate ini. begitu
muncul lantas berlari-lari mengitari kelompok ular-ular terebut
sambil tiada henti-hentinya meniup seruling pada mulutnya.
Dan hebat, ular-ular yang semula beringas hendak menggigit
manusia pendek itu, demi mendengar suara seruling, mereka jadi
mengangkat-angkat kepalanya tinggi-tinggi seakan menari-nari.
Ular-ular itu melenggak-lenggokkan kepalanya mengikuti irama
tiupan seruling. Selain itu mereka juga mengumpul di tengah-

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 261
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tengah pusat lingkaran, berkumpul bertumpuk-tumpuk menjadi satu


dengan sebentar-sebentar si peniup mendekatkan mulut seruling.
Tiba-tiba Siu Lian teringat sesuatu. Ia ingat akan cerita gurunya
yang menceritakan kepadanya bahwa di dunia kangouw pada
beberapa puluh tahun terakhir ini pernah muncul seorang pendekar
bertubuh pendek bernama Ban Lie Thong, si pendekar lucu dari
Liang San, mungkinkah dia Si Pendekar ini.
Pada tangan kanannya tampak ia mengepal bungkusan peti
putih. Dilain saat, sambil mengeluarkan bentakan keras, di tengah-
tengah udara seperti mengandung bahan peledak, maka air liur yang
menggumpal itu pecah berhamburan, jatuh menjadi titik-titik seperti
hujan sekeliling ratusan ular-ular itu yang seketika menjadi panik.
Hebat luar biasa, bahkan tidak masuk diakal, bahwa tiap titik
air liur itu telah menghajar tiap ular-ular itu pada bagian-bagian
yang sama yaitu pada kedua biji matanya. Hingga ular-ular itu
seketika menjadi buta dan mati tak berkutik lagi.
Tak terkira terkejutnya Siu Lian menyaksikan kehebatan
Iwekang orang yng luar biasa. Bila ia menilik pada tingkah laku
orang pendek itu, maka semakin yakinlah bahwa si manusia kate itu
tentulah Ban Lie Thong tentunya. Sesaat kemudian, maka tiupan
seruling itu brhenti. Ketika Siu Lian menengok ke arah ular-ular itu
ternyata binatang-binatang bertubuh panjang itu sudah tidak
bernyawa lagi. Dan dilain saat, si manusia kate itu
memperdengarkan suara tawanya yang melengking panjang.
Suaranya keras dan berkumandang jauh, benar-benar memekakkan
telinga manusia biasa.
Namun saat itu pula, dari arah semak di depan sana, tampak
melesat lima batang sinar merah yang mengarah pada lima jalan
darah si manusia pendek yang saat itu sedang pentang mulut
cekekekan, namun sungguh lihai, walaupun pada saat tertawa itu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 262
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

matanya merapat seperti terpejam, akan teapi ia seakan mengeahui


datangnya serangan gelap yang sangat tiba-tiba itu. demikanlah
seperti tadi ia semburkan air liur yang seperti juga tadi dilakukan
terhadap kawanan ular itu, gumpalan air liur itu memecah
brhamburan menjadi titik-titik di tengah udara. Lima diantara titik-
titik itu menghajar jatuk ke arah lima buah senjata gelap yang
sedang menyerang dirinya, sedangkan yang lain terus langsung
meluncur kedepan ke arah tempat asal datangnya kelima sinar
merah itu.
Selanjutnya dari dalam semak itu tampak muncul sebuah
bayangan merah dan melesat memburu ke arah si manusia pendek.
Bayangan merah itu kiranya tidak lain adalah bayangan orang yang
semalam telah membayangi perahu Siu Lian. Benar juga kiranya
bayangan yang berwarna merah itu adalah seorang wanita yang
berpakaian merah yang kini muncul dengan sebatang pedang
ditangan.
Dengan gerakan yang sangat cepat perempuan berjubah merah
itu meluncur mendekati si manusia kate yang saat itu telah
menyemburkan air liurnya pula. Dengan memutar pedangnya
wanita berjubah merah itu menggangalkan jurus ‗Hujan Liur‘ si
manusia pendek serta kemudian dengan gerakan yang lincah, ujung
pedang tahu-tahu telah digerakkan mengancam tenggorokan lawan.
Sambil tidak menghentikan tawanya yang berkakakan, si
manusia kate membuka mulutnya dengan maksud menyambut
serangan pedang dengan gigi-giginya. Agaknya dia memandang
rendah terhadap wanita berjubah merah ini. akan tetapi kemudian
dia sangat terkejut, ketika ternyata serangan pedang wanita itu
kiranya bertenaga sangat besar. Cepat-cepat si manusia kate
memutar tubuhnya sambil egoskan kepalanya dan selanjutnya
ditangannya telah menggenggam sebatang senjata yang berbentuk
seperti pecut.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 263
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pecut itu brgagang pendek, tidak sampai satu jengkal. Sedang


tali yang terbuat dari bahan logam panjangnya kira-kira enam kaki
lebih. Lemas tampaknya tali pecut itu, tetapi ketika digerakkan ke
depan, tali pecut itu berubah menjadi lempang dan kaku. Suara
sabetannya bersiutan nyaring dan menimbulkan angin sambaran
yang dapat membuat rontok daun-daun disekitarnya. Akan tetapi
lawan yang lemah, si wanita berjubah merah segera menggerakkan
pedangnya dengan lebih bencar. Diapun kiranya memiliki Iwekang
yang cukup tinggi, hingga ketika pedangnya digerakkan
menimbulkan angin yang menyambar-nyambar dingin dan
menimbulkan rasa nyeri.
Tidak memalukan orang pendek kate itu bergelar Ban Lie
Thong dari Liang San. diserang selagi baru saja ia menyerang,
cepat-cepat ia meletakkan petinya di atas tanah, kemudian tubuhnya
mendadak lurus dan melesat ke atas, sedangkan perutnya dengan
mengerahkan tenaga Iwekang yang sebesar-besarnya telah
disampokkan ke arah pedang wanita itu.
Sebelum hinggap di atas tanah, tubuhnya diputar kaki
kaanannya menendang lebih dahulu kemudian disusul dengan
tendangan kaki kirinya. Itulah gerak tipu pecut kosong memburu
bayangan hantu dan sapuan berantai pembetot nyawa dari Liang
san-pai yang digunakan secara saling susul. Dihantam secara
demikian, si nona yang ternyata berkepandaian setingkat lebih
rendah dari Lie Thong lantas terdesak mundur setindak ke arah
semak-semak. Melihat kesempatan ini, buru-buru Lie Thong
memutar tubuhnya untuk mengambil peti putihnya itu.
―Siuman murid murtad!‖ bentak nona berjubah merah itu,
―Malam ini akan kuhabisi dulu riwayatmu, Baru nani sesudah kau,
gurumu mendapatkan giliran kuhabisi pula.‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 264
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Akh, dia salah duga.‖ Pikir Siu Lian, yang saat itu juga dapat
menduga bahwa perempuan berjubah merah itu tentulah seorang
pendekar yang sebagaimana juga Siu Lian saat ini, hendak
menyatroni sarang siluman.
Hanya saja, apakah isi peti putih itu?
Sedang Siu Lian bermaksud hendak turun tangan meleraikan
perkelahian itu, tiba-tiba ia melihat Lie Thong mengulurkan tangan
hendak mengambil peti tersebut. Dan tepat pada saat itu, di
punggungnya menyambar pedang si nona baju merah.
Lie Thong menendang peti itu hingga sejauh tiga tombak,
sedangkan pecutnya digunakan untuk menangkis senjata lawan
sekaligus langsung mengirimkan tekanan senjatanya dengan
serangan yang bertubi-tubi. Tetapi si nona baju merahpun cukup
tangguh. Ia memutar pedangnya dengan rapat sekali, bersama itu
pula melancarkan kadang-kadang tusukan dan babatan senjata
dengan sangat gencar.
―Barang apakah yang diperebutkan mereka itu?‖ Siu Lian
menduga-duga dalam hati. timbul keinginannya untuk mengambil
dan meneliti isi peti itu.
Akan tetapi, selagi ia baru hendak melompat keluar, mendadak
terdengar suara menggeram sangat nyaring. Suara itu melengking
menyeramkan dan menandakan bahwa orang itu sedang marah.
Hampir bersamaan dengan itu, dua orang pengemis yang mukanya
menyeramkan menerobos keluar dari dalam sebuah semak dengan
garang sekali.
Melihat air mukanya, tampaknya pengemis yang berada di
depan, usianya masih muda sekali. Mungkin jauh lebih muda dari
Siu Lian. Tetapi oleh karena rambutnya yang riap-riapan tak terurus
dan roman mukanya yang bengis kotor dan menjijikkan maka
pengemis itu tampak tua sekali.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 265
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pada tangannya menyelip sebatang tongkat dari batang pohon.


Seram sekali bentuk tongkat itu, karena selain mata-mata kayunya
yang banyak memenuhi tongkat itu, pada ujungnya terdapat sebuah
pentol yang diukir mirip dengan tengkorak kepala manusia.
Langsung, begitu muncul ia melompati atas kepala dua orang
yang sedang bertatung.
―Ha, inilah tentu siluman aslinya…‖ seru Siu Lian dalam
hatinya. Ia kagum akan kegesitan pengemis muda menakutkan itu,
namun dia juga diam-diam merasa heran mengapa orang yang
masih semuda itu mau berpakaian demikian macamnya.
Dalam sekejap mata saja, pengemis yang seorang lagi yang
usianya lebih tua telah mendarat turun ke tanah, persis dekat dengan
peti putih yang menggeletak. Segera hendak mengambilnya.
Namun sebuah bayangan tiba-tiba melesat sambil mengulur
kedua tangannya. Itulah dia Siu Lian yang telah turun tangan setelah
menyadari bahwa ia tak mungkin menunda-nunda lagi. Ditangannya
tercekal sebatang ranting. Pengemis itu terkejut. Cepat-cepat ia
menggerakkan tongkatnya untuk memapak Tongkat itu. keduali
dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia. Tetapi kini ia
behadapan dengan Siu Lian, seorang dara gemblengan dua orang
guru pulau Tho-lio-to yang sakti itu. sepuluh tahun lamanya ia
belajar, telah cukup membuat dara remaja itu menjadi seorang
pendekar remaja yang perkasa. Segera ditangkisnya senjata lawan
dengan ranting itu. berada ditangan Siu Lian, dari ujungnya yang
lunak itu dapat digunakan sebagai senjata yang keras melawan
keras.
Demikianlah, begitu si pengemis mambabatkan tongkatnya
menghantam ranting dengan tenaga penuh, kiranya tenaga serangan
itu seakan membacok kapas, sama sekali tidak ada tenaga yang
melawan. Pengemis itu terperanjat, gugup. Buru-buru ditariknya

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 266
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tongkatnya itu. namun tongkat itu seolah-olah telah menjadi satu


dengan senjata lawan, melekat dengan keras.
Pengemis itu mengerahkan seluruh tenaganya menekan dengan
maksud memutuskan senjata lawan. Tetapi rupanya Siu Lian tidak
mau membiarkan lawannya banyak tingkah. Dengan mengerahkan
tenaganya Siu Lian membentak.
―Lepas!‖
Rupanya pengemis tua itu sangat sayang pada senjata
tongkatnya. Iapun mengerahkan tenaga sepenuhnya melawan tenaga
musuh. namun diluar tahunya, Siu Lian telah mempergunakan
waktu lowong seperti itu untuk bersiasat. Secepat kilat ia
mengulurkan tangannya merebut peti putih yang berada di ketiak si
pengemis. Walaupun si pengemis itu seandainya seorang Dewa
sekalipun, tak mungkin ia dapat menggagalkan tindakan Siu Lian.
Pada saat ia mengerahkan seluruh perhatiannya pada tongkatnya,
maka kepitan pada ketiaknya mengendor, dan saat itulah kiranya
menyebabkan peri putih itu segera berpindah tangan ke tangan Siu
Lian.
Pucat sekali wajah pengemis itu karena kaget. Ia baru sadar
bahwa isi peti itu semahal jiwanya sendiri. Justeru itu, sedang
pikiran si pengemis gugup dan bingung. Siu Lian telah
mencongkelkan senjatanya ke arah tngkat lawan. Tak ampun lagi,
tongkat si pengemis terlepas dari cekalan.
Sementara itu, keadaan pertempuran yang dilakukan oleh si
nona baju dan merah Ban Lie Thong lantas berubah. Mereka
serentak berhenti bertempur, tercengang melihat munculnya kedua
pengemis itu maupun Siu Lian yang sama sekali tak pernah diduga.
Selanjutnya seakan mereka telah berunding terlebih dahulu,
keduanya seperti tersadar, dan masing-masing menggunakan senjata
untuk menyerang kedua pengemis yang berbentuk sangat

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 267
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menyeramkan itu. akan tetapi pengemis itu melihat bahwa peeti


putih berada di tangan Siu Lian, mereka tak mau meladeni Ban Lie
Thong maupun si nona baju merah, sebaliknya malah
meninggalkannya untuk menyerang Siu Lian.
Dengan senjata yang telah berhasil dijumput kembali, pengemis
tua itu menyerbu maju dan kaki kirinyapun dipergunakan menyapu
kaki lawan. Bersama dengan itu, si pengemis muda yang ternyata
lebih lihai daripadanya menubruk maju seraya mengirimkan empat
bacokan berantai ke arah Siu Lian.
Terkejut Siu Lian menyaksikan serangan pengemis muda ini.
karena walaupun samar-samar, cara bersilat pengemis muda ini ada
persamaannya dengan gerakan silat pada Ceng-hong-pai. Dengan
sebelah tangan memasuki peti putih yang isinya masih
mencurigakan baginya, Siu Lian menangkis serangan pengemis
pertama dengan rantingnya. Terhadap serangan tongkat satunya lagi
yang diketahui olehnya ini lebih lihai, Siu Lian tidak berani
bertindak sembarangan mempergunakan senjata rantingnya.
Demikianlah terhadap serangan ini, Siu Lian bertindak hati-hati. ia
menggeser tubuhnya ke kanan lalu mengiringi gerakan itu. ia
menggunakan tipu serangan Dewa untuk menghajar pergelangan
tangan lawan. Hingga hasilnya, pengemis itu terkejut lalu buru-buru
menarik kembali serangan tongkatnya.
Tepat pada saat itu, ia merasakan kesiur angin serangan
dibelakang punggungnya. Senjata pecut telah datang mengancam
dirinya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya serta menangkis serangan
itu. selagi ia sibuk mencurahkan perhatiannya pada lawannya si
pendek kate ini, maka kawannya sedang dirintangi oleh si nona baju
merah yang agaknya juga cukup tangguh.
Pertempuran berjalan tambah seru menjadi sua rombongan,
masing-masing satu lawan satu. Baik Ban Lie Thong maupun si
nona baju merah menyedari bahwa datangnya Siu Lian ketempat itu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 268
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mengandung maksud yang sama. Dengan demikian, merekapun


bersatu untuk menggempur kedua pengemis yang menyeramkan itu,
yang mengira yakin bahwa keduanya inilah yang oleh penduduk
disekitar tempat itu dianggap sebagai siluman yang suka
mengganggu penduduk.
Kian lama pertarungan itu menjadi semakin seru saja. Mula-
mula mereka tampak setanding, akan tetapi tak selang berapa lama
mulai terjatuh dibawah angin dan tak selang beberapa jurus
kemudian mereka hanya dapat membela diri belaka. Sama sekali
mereka tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang. Mereka
jadi cemas sekali, lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa peti
putih yang bagi mereka lebih penting masih berada di tangan Siu
Lian.
Akhirnya akibat cemas, mereka jadi nekat. Tiba-tiba saja si
pengemis muda telah melontarkan tongkatnya ke arah Ban Lie
Thong dengan sepenuh tenaganya yang besar hingga daun-daun
disekitarnya pun bergoyang-goyang dengan keras.
Terkejut Lie Thong akan datangnya serangan ini. ia tidak
berhasil menangkis, karena ia tahu tenaga serangan lawan yang
demikian dahsyatnya, mungkin dapat membuat ia mati terlanggar.
Lie Thong tak berani menyambuti keras melawan keras, akan tetapi
hanya satu jalan baginya pada saat yang sangat gawat itu. ia
menjauhkan diri ke belakang menghindari. Tongkat pun lewat
mendatar sejari di atas kepalanya.
Apa yang dilakukan oleh pengemis muda itu adalah sebuah
gerak tipu yakni tipu menerbitkan suara di barat menyerang di
timur. Dia amat berniat untuk merampas kembali peti putih itu yang
tampaknya sangat berharga.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 269
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Demikianlah, disaat dirinya bebas, ia meloncat dengan gerakan


walet kecil menembus mega ke arah Siu Lian. Pada tangannya
tergenggam bumbung yang tak terlihat apa isinya.
Lie Thong terkejut juga mendongkol. Ia merasa telah ditipu
mentah-mentah oleh pengemis muda itu. ia melihat betapa bahaya
yang sedang mengancam dara pendatang itu, karena agaknya Lie
Thong telah mengetahui kalau bumbung yang berada di tangan si
pengemis muda itu mengandung sesuatu yang sangat berbahaya.
Benar saja, baru sedetik ia menduga demikian, terdengar si
pengemis berteriak keras, dan tiba-tiba saja disekitar tempat Siu
Lian berdiri terlihat berhamburan ribuan batang-batang jarum yang
beterbangan seperti tawon.
―Celaka!‖ terdengar Lie Thong berseru kaget. Tahulah bahwa
itu adalah jarum-jarum pencabut nyawa yang bercun lihai sekali.
Sebatang jatum saja yang membuatnya dengan merendam dalam
bisa ular sudah dapat membunuh korbannya seketika dengan tubuh
menjadi kaku kejang. Apalagi ribuan jarum. Sungguh mengerikan
sekali, walaupun untuk membayangkannya saja.
Akan tetapi, sedang Lie Thong berada dalam keadaan tak
berdaya untuk memberikan pertolongan karena jaraknya yang
terlalu jauh dari gadis itu, maka tiba-tiba ia mendengar dua jerit
kesakitan yang melengking mengerikan. Dan sesaat kemudian,
dalam sekejap terlihat bayangan si pengemis muda berkelebat lari
sambil memperdengarkan suara gerangan kesakitan.
Lie Thong ternganga heran, ketika melihat kenyataan bahwa
Siu Lian masih tinggal tenang-tenang saja, berdiri sambil
tersenyum, sedang pada air mukanya sama sekali tidak melukiskan
rasa kesakitan akibat pengaruh bekerjanya racun. Dalam hal ini
rupanya Siu Lian telah bekerja sangat cepat sehingga walaupun Lie
Thong tidak dapat melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 270
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ketika menyadari bahwa dirinya mendapat serangan tiba-tiba


dari pengemis muda itu, apalagi melihat datangnya ribuan jarum
beracun menghujani dirinya, Siu Lian pun terkejut juga. Akan tetapi
ia tidak menjadi gugup. Segera dalam detik itu pula, berkelebat
ingatan suatu cara untuk menghindari serangan jarum beracun.
Secepat kilat dilontarkannya senjata ranting ditangannya, untuk
menahan serangan jarum yang pertama.
Selanjutnya dengan sebat ditariknya pedang langsung
diputarnya dalam gerak Gunung Besar Menghadang Badai. Pedang
itu memang bukan pedang pusaka, tidak ada memancarkan suatu
cahaya luar biasa. Akan tetapi di balik itu, dari batang pedang
seakan terkandung suatu angin yang besar dan dahsyat.
Demikianlah ketika pedang diputar, maka segera terasa ada
angin keras yang tiba-tiba saja datang menyambar-nyambar. Hebat
benar kerja angin pedang ini. dalam sekejap saja, ribuan batang
jarum beracun tergempur runtuh. Bahkan seperti sudah dalam
perhitungan sebagian jarum itu berbalik menghajar ke arah tuannya.
Pada saat itu si nona baju merah sedang membalikkan
tubuhnya. Ia terkejut ketika melihat Lie Thong yang sudah tidak
menjadi musuhnya itu tiba-tiba saja terjengkang roboh. Hingga buat
sesaat si nona baju merah menjadi lengah. Hal ini diketahui oleh Siu
Lian. Sehingga demikian ia harus segera membantu. Segera Siu
Lian membagi angin serangannya menjadi dua jurusan. Jurusan
yang kedua ini, diarahkan pada kepala pengemis yang lebih tua,
hingga tak ampun lagi ia hanya dapat menjerit kesakitan dan
tubuhnya kontan roboh terjengkang. Bahkan oleh tingkat ilmu
kepandaiannya berada dibawah pengemis muda, ia tidak mampu
mencegah menjalarnya racun dalam tubuhnya.
Tidak demikian dengan kawannya yang usianya lebih muda.
Demi merasa dirinya terkena senjata sendiri, maka cepat-cepat ia
menutup pembuluh-pembuluh darah yang penting dalam tubuhnya,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 271
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lalu dengan kecepatan seperti setan gila, ia melarikan diri ke arah


timur sebagaimana yang tadi dilihat oleh Lie Thong.
Nona berbaju merak tampak sudah demikian gemasnya
terhadap si pengemis, walaupun melihat lawannya ini tak berdaya
lagi. Akan tetapi gadis itu masih juga mengayunkan pedangnya
untuk menusuk bangkai yang sudah tak berkutik itu.
―Lie hiap, tahan!‖ berteriak Siu Lian mencegah. Nona baju
merah itu mengurungkan serangannya dan menengok dengan
beringas.
―Bagus,‖ ia membentak. ―Aku datang mewakili menolongmu,
sebaliknya kau hendak melindungi siluman keparat ini. ini yang
disebut persembahan emas dibalas dengan batu koral!‖
―Bukan begitu,‖ Siu Lian menyanggah. Ia menjadi geli dengan
kecongkakan gadis baju merah itu, yang tentu dia ini yang pernah
merintangi perahu dengan batang pohon.
―Terima kasih atas pertolonganmu tadi,‖ Siu Lian
menyambung. ―Tapi tengoklah, bukankah ia telah menjadi bangkai?
Ampunilah orang yang telah mati, agar ia dapat diterima Giam-lo-
ong dengan tubuh yang masih sempurna. Apakah engkau ini
sebagai seorang wanita yang berbudi halus akan tega mencacah
tubuh orang yang telah mati? Lagi pula, bukankah peti putih sudah
berada di tangan kita?‖ Siu Lian membujuk sekaligus mencemooh.
―Kau benar …..!‖ dara berjubah merah itu menyahut dengan
perlahan sambil menundukkan kepala. Pedangnya disarungkan
kembali. Pada saat itu terdengar suara tiupan seruling yang bernada
gembira. Dan tak lama kemudian disusul dengan munculnya Ban
Lie Thong yang sedang berjalan seakan-akan menari-nari ke arah
mereka.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 272
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dilain pihak Siu Lianpun merasa kagum juga pada ketangkasan


gadis jubah merah itu yang pada setiap gerakannya lincah dan gesit.
Menilik bentuk tubuhnya dia itu berusia tidak lebih dari dua puluh
tahun. Raut wajahnya cantik jelita. Tubuhnya ramping dan tampak
semarak sekali sengan pakaiannya yang berwarna merah itu
melambai-lambai waktu ditiup angin. Sepatunya berlapis logam
keras dibawahnya. Sedangkan rambut yang hitam tebal diikat
dengan warna merah pula.
―Akh, Lie Thong! Sudahlah, ular-ular itu telah tumpas
semuanya, untuk apa lagi kau meniup serulingmu?‖ kata Siu Lian
seraya tersenyum. Ia langsung menyebut nama manusia kate itu
dengan namanya, untuk menduga dan menyelidiki apakah
dugaannya benar. Kiranya orang kate pendek itu tercengang
keheran-heranan.
―Hai, kita baru kali ini bertemu, belum pernah saling mengenal.
Bagaimana kau bisa mengetahui namaku?‖
Tingkah laku dan cara bicaranya sangat jenaka, sehingga kedua
dara itu jadi terpingkal-pingkal geli.
―Bagaimana orang sekali melihat tidak mengenal namamu?
Orang pendek yang lucu dari Liang-san Cuma satu, namanya Ban
Lie Thong. Apa susahnya mengingat nama itu?‖ terdengarnya ketus
kata-kata Siu Lian, akan tetapi sesungguhnya sangat menarik dan
manis, hingga Lie Thong jadi tersipu-sipu dan malu.
―Lihiap, nama itu Cuma dilebih-lebihkan orang saja.‖ sahutnya.
―Selanjutnya perbolehkan aku orang tua mengetahui nama julukan
kedua lihiap ini agar nanti dapat kujadikan cerita yang menarik
penduduk Tionggoan, bahwa sekarang pada masa ini telah muncul
dua orang dara pendekar yang budiman!‖
Kedua dara itu tertawa.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 273
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Aku dipanggil Hong In she Oei‖ kata si dara baju merah.


―Dan kau nona, orang yang sudah mengetahui namaku lebih
dulu!‖
―Namaku An Siu Lian.‖
―Akh, sungguh nama-nama yang kelak pasti akan menjadi
terkenal!‖ Lie Thong memuji. Hendak kemanakah kalian kedua
lihiap sebenarnya?‖
Tampaknya terhadap Hong In, orang kate ini tidak menaruh
dendam suatu apa walaupn diantara mereka tadi terjadi pertarungan
yang cukup seru.
―Aku hendak pergi ke Giok-kang-ciang,‖ sahut kedua gadis itu
hampir serentak.
―Hah! Giok-kang-ciang?, kebetulan sekali, lihiap aku yang
rendah juga hendak pergi kesana. Marilah kita pergi keperahuku
yang kutambatkan di pinggir kali sana, tidak jauh dari sini!‖ Lie
Thong menawarkan.
Siu Lian menyatakan terima kasihnya. Semula ia bermaksud
enolak tawaran itu, akan tetapi ketika ternyata Hong In menerima
baik, maka apa boleh buat, iapun mengikutinya pula.
Sepanjang perjalanannya, Siu Lian yang merasa masih sedikit
pengalaman, merasa canggung, hingga karena itu ia berdiam diri
saja. Untunglah, rupanya Hong In yang seperti anak terpelajar,
tanpa ragu-ragu mengajaknya bercakap-cakap, hingga lama
kelamaan gadis gunung inipun hilang rasa kikuknya.
Hong In kecuali mahir dalam ilmu silat, juga luas pengetahuan
tentang ilmu sastera. Dalam hal agaknya ini ia mengetahui bahwa
Siu Lian ternyata hanya mengertahui sedikit tentang ilmu sastera.
Maka pembicaraan mereka kebanyakan setelah berputar-putar

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 274
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dalam masalah itu saja. Agaknya Hong In juga berbangga diri


dengan pengetahuan sasteranya ini.
Oleh karena perahu itu sebenarnya ukuran perahu untuk dua
orang dan hanya memiliki satu kamar saja yang hanya cukup tidur
untuk dua orang, maka Lie Thong mengalah. Sementara dua orang
dara itu tidur dalam kamar perahu, Lie Thong membaringkan
dirinya di luar pada bagian yang tidak beratap.
Pelabuhan Giok-kang-cian walaupun merupakan sebuah
pelabuhan sungai, tetapi ternyata cukup ramai. Hari itu, pagi hari
ketika sang surya baru saja menguak kabut dan halimun, sudah
tampak banyak kapal-kapal daerah yang datang dan pergi, mengisi
barang-barang dari anak-anak sungai yang hendak diangkutnya ke
luar daerah.
Di tempat itu terdapat empat buah anak sungai yang masing-
masing tampak ramai dengan kendaraan air yang bersimpang siur.
Kecuali satu anak sungai yaitu Giok-hok. Dulunya Giok-hok
merupakan anak sungai yang paling ramai diantara ketiga yang lain.
Tetapi akhir-akhir ini, dengan adanya desas-desus tentang adanya
siluman yang suka mengganggu penduduk, maka sungai itu jadi
sunyi. Tidak sebuah perahupun pada saat itu berani melaluinya.
Namun hari ini, penduduk Giok-kang-cian telah digemparkan
oleh munculnya sebuah perahu. Mereka menduga tentunya kapal
siluman. Dan sebentar saja, keadaan yang semula ramai dengan
nelayan-nelayan, seketika berubah menjadi kalut, untuk kemudian
menjadi sepi.
Mereka ketakutan.mereka yakin, kalau kapal itu adalah kapal
siluman yang hendak mencari mangsa, habis mau apa lagi? Maka
sebelum nasib badan menjadi umpan siluman, bukankan lebih baik
menyingkir jauh-jauh mencari selamat?
****

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 275
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

JILID 8

PERAHU yang baru muncul ini tampak tenang-tenang saja,


seakan-akan mereka tak berada dalam perahu itu telah menyadari
sebelumnya akan adanya perubahan keadaan itu. perahu dilabuhkan
dan dari dalam tampak turun tiga orang. Seorang laki-laki setengah
umur dan dua orang perempuan. Tanpa menghiraukan penduduk
yang jadi kalang-kabut mereka bertiga meninggalkan pelabuhan.
―Jiwie lihiap,‖ tiba-tiba lelaki setengah umur yang tubuhnya
pendek itu berkata. Ya dia ini tidak lain adalah Ban Lie Thong.
―Hanya sampai disini saja saya dapat mengantarkan kalian,
karena sebenarnya saya masih mempunyai urusan yang dibebankan
yang dibebankan oleh guruku.‖ sambung Lie Thong.
―Akh, Ban Cianpwe, urusan apakah itu?‖ tanya si nona jubah
merah atau Hong In sambil memalingkan mukanya dengan lincah.
Sedangkan Siu Lian yang memang kaku pergaulannya, hanya
menghentikan tindakan kakinya. Tidak tahu ia apa yang harus
diperbuatnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 276
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Hanya soal kecil saja, tidak ada manfaatnya untuk aku


terangkan. Hanya kepada gurumu, harap tolong sampaikan ucapan
selamatku!‖ sahut Lie Thong penuh harap. ―Cianpwe telah banyak
memberi petunjuk pada kami yang bodoh, untuk itu aku
mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Dan tak dapat dicegah lagi, setelah itu Lie Thong meninggalkan
pelabuhan dan sebentar kemudian telah menghilang entah kemana.
―Aku…..‖ Hong in mengeluh. ―Cici, marilah!‖ katanya pulang
mengajak. Lalu tangannya segera menarik tangan Siu Lian untuk
diajak pergi dari tempat itu. siu Lian pun hanya dapat menurut
belaka.
―Hei, kemana?‖ Siu Lian baru sadar dan bertanya.
―Cari penginapan bersama!‖
Karena ajakan yang cukup beralasan itu, maka Siu Lian tidak
membantah. Ia mengikuti kawan barunya itu mencari penginapan.
Hong In tampaknya sudah kenal benar dengan seluk beluk dan
letak kota ini.
Karenanya tak lama kemudian iapun telah mendapatkan sebuah
hotel yang berpapan merk ‗SIE LAUW‘. Mereka berdua menginap.
Dalam setiap percakapan mereka, Hong In selalu mengelak dan
menyimpangkan pembicaraan setiap Siu Lian mengajukan
pertanyaan mengenai asal usulnya. Dara baju merak itu tentu akan
menundukkan mukanya yang segera berubah pucat, hingga
selanjutnya Siu Lian pun tidak pula terlalu menanyakannya.
Siangnya, selesai makan, entah sebab apa Hong In telah minta
diri, membuat Siu Lian makin terheran-heran. Mengapakah? Apa
sebabnya? Toh kemarin dia selalu berkata dengan lincah dan
gembira. Tetapi sekarang mendadak berubah. Ada apakah? Tetapi

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 277
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

walaupun Siu Lian berpikir sampai botak sariawan, tak mungkin ia


dapat memecahkan persoalan itu. Siu Lian pun pergi tidur.
Sore harinya, ketika matahari hampir terbenam, Siu Lian
terjaga dari tidurnya. Dipanggilnya pelayan agar menyiapkan
makan baginya. Selagi makan, pikirannya selalu terkenang pada
Hong In, kawannya yang sekarang belum muncul juga.
Ia kagum pada dara berjubah merak itu, akan kecerdikan,
pengertian maupun kepandaian silat dara itu yang memiliki usia
jauh lebih muda daripada Siu Lian sendiri.
Pada pikirnya, pengalaman gadis muda itu jauh lebih luas
daripada dirinya. Teringatlah ia akan pengalamannya yang singkat
itu telah memperoleh dua orang kawan yang cukup menarik
hatinya, seperti Lie Thong, laki-laki setengah umur, pendek kate
dan sikap angin-anginan tetapi lihai. Dan Heng In seorang dara
cantik dan muda yang cerdik dan lincah tetapi yang sifatnya
mendadak berubah-ubah.
Mengenang kedua orang ini, akhirnya Siu Lian terkenang akan
Sin Hong, apakah pemuda yang telah berkali-kali menolong
jiwanya itu masih hidup atau tidak? Mengingat akan jasa-jasanya
sepuluh tahun yang lalu dan terutama rasa cintanya, tanpa terasa ia
jadi dangat bersedih hati. dan akhirnya ia merasa kesepian.
Terbayang olehnya, betapa bahagianya waktu ia bersama-sama
mandi dengan pemuda pujaannya itu di sebuah kali di kota Ie-pin.
Ia tidak tahu apakah yang harus diperbuat di kota ini? yang baginya
masih asing seluruhnya.
Lalu ia teringat akan maksudnya mencari ilmu dan turun
gunung ini untuk mencari musuh besarnya dan mencari Sin Hong,
juga memenuhi panggilan jiwanya membela kebenaran dan
keadilan. Dengan berhasilnya ia membinasakan seorang diantara
kedua siluman itu, maka sebagian tugas hidupnya telah dapat

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 278
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dilaksanakannya, karena mengganggu penduduk Giok-cang kian


telah dapat diperangi.
Ketika ia mengenang akan pakaian kedua siluman itu yang
mirip keadaan pengemis, Siu Lian teringat akan kata-kata seorang
penduduk lereng gunung Ceng Hoang-san yang mengatakan bahwa
pada beberapa bulan yang lalu telah datang kesana seorang
pengemis muda yang membawa sebuah menda warisan.
Tiba-tiba pikirannya tersentak. Bukankah pengemis muda yang
bersemayam di tanah muncul di Giok-kang-cian dengan mati-
matian telah mempertahankan sebuah peti putih? Akh, tidak
mungkin pengemis yang dimaksud oleh penduduk kamung itu
adalah si pengemis siluman itu!.
Demikianlah katena pikirannyayang demikian, maka ia merasa
meayesal tadinya ia tidak memeriksa isi peti putih itu. Berpikir yang
demikian maka cepat-ccepat ia habiskan sarapannya lalu tanpa
menghiraukan hari yang sudah hampir malam ia keluar juga dari
rumah penginapan.
Pada pikirnya, siapa tahu Hong In masih berada di dalam kota.
Dia dalam kota, Siu Lian memasang telinga dan matanya,
memasuki daerah ramai untuk mencari si dara jubah merah itu.
Akan tetapi ia jadi kecewa ketika ternyata orang yang dicarinya
tidak kunjung dapat ditemukan. Bayangan si baju merah itu saja
tidak pernah diiihatnya.
Ketika hari kian menjauh madam, Siu Lian menjadi putus asa.
Kemana lagi Ia harus men eari dalam kota besar ini. Dengan hati
mengkal, Siu Lian berjalan kian-kemari, hampir mengelilingi
seluruh penjuru kota. Akhirnya, kakinya telah naernbawanyk ke
sebuah keramaian yang merupakan sebuah pasar malam. Tempat
yang sangat riuh dengan suara hingar bingar tetabuhan atau
pedagang mempropgandakan. dagangannya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 279
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Setelah berkeliling-keliling tanpa memperoleh hasil,


ditinggalkannya tempat yang membisingkan itu.
Langkah kakinya melintasi tempat-tempat hiburan, tempat
bermacam-macam pertunjukan. Ramai dan hingar bingar, ada
tukang dansa, pertunjukan wayang, juga penjual obat. Siu Lian
iseng-iseng masuk dalam kerumunan itu.
Pada pertunjukan wayang, saat itu kebetulan sedang
mempertunjukkan lakon Sie Jin Kwie-ceng-tang, sebuah cerita yang
umumnya sangat digemari oleh kebanyakan penduduk. Siu Lian
sangat tertarik pada pertunjukan ini dan ia mencari tempat yang
baik agar sapat menonton dengan jelas.
Kian lama mengikuti jalannya ertunjukan, Siu Lian makin
tertarik. Hanya yang membuat ia heeran ialah pemeran Sie Jin Kwie
yang tampaknya agak kaku. Dan perasaan itu kian menjadi-jadi
pada saat pemeran itu melakukan bagian lelakon Sie Jin Kwie
sedang menghancur luluhkan semangat tiga tai-ong. Ia merasa heran
akan gaya silat pemeran yang menurut penglihatannya mempunyai
gerakan bukan gaya sembarangan. Lebih-lebih, mimik orang itu
dari adegan ke adegan memperlihatkan wajah sedang menanggung
kesakitan. Dari tertarik akhirnya Siu Lian menjadi curiga. Timbul
niatnya untuk tidak pulang buru-buru.
Sebaliknya, Siu Lian menunggu sampai pertunjukan berakhir.
Dan kemudian ketika sedang sibuk-sibuknya para penonton
meninggalkan lapangan, diam-diam ia menyelinap masuk ke dalam
satu kemah. Ia merasa yakin, bahwa orang yang memegang peran
sebagai Sie Jin Kwie tentulah bukan sembarang orang.
Tiba didalam, Siu Lian mendapat sebuah ruangan yang
berbentuk segi empat yang cukup luas. Sebuah meja rias terletak di
sudut kemah, lengkap dengan alat-alatnya yang berhamburan
letaknya tak beraturan. Di atas sebuah bangku panjang, tamak dua

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 280
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

orang laki-laki rebah dengan menelungkup diatas meja. Perlahan-


lahan Siu Lian menghampiri. Terkejutlah ia ketika mendapatkan
kenyataan bahwa kedua orang itu bukanlah tidur sewajarnya.
Mereka rebah tak sadarkan diri karena totokan. Ia perhatikan kedua
orang itu. menilik dari pakaiannya, akhirnya mereka yakin bahwa
mereka terdiri dari seorang pemain sandiwara dan seorang tukang
rias. Pada kedua tangan tukang rias itu, terpegang masing-masing
sebuah sipat alis dan bedak sebungkus.
Agaknya mereka telah ditotok orang selagi merias diri. Melihat
rambut orang yang dikondekan keatas dan alisnya yang tebal disipat
tebal. Sebagai seorang yang gemar wayang, tahulah Siu Lian kalau
orang itu tadinya hendak memerankan Sie Jin Kwie. Dan memikir
ini, tiba-tiba berkelebat dalam ingatannya, pemain di panggung tadi
yang gerakannya mencurigakan. Tidak mungkinkah pemain itu
yang menotok orang-orang ini? berpikir demikian, ia segera
menggerakkan tangannya, denganmaksud hendak membebaskan
kedua orang itu dari totokan untuk mengorek keterangan.
Tetapi tiba-tiba ketika jari tengah dan telunjuk hampir
menyentuh jalan darah kedua orang itu, telinganya yang tajam
mendengar suara tindakan kaki yang mengindap-indap. Perlahan
gerakan itu, tetapi Siu Lian yang sudah sangat terlatih itu sudah
culup mengetahui kakau tindakan kaki itu sedang menuju ke
arahnya.
Diam-diam ia terkejut juga. Dari suara indap-indapan yang
sangat ringan itu, orang yang datang tentulah orang yang
berkepandaian tinggi. Sebentar kemudian, suara tindakan itu sudah
tidak jauh dari pintu kamar.
Secepat lompatan kucing, dengan ringan sekali Siu Lian
melesatkan tubuhnya ke wuwungan kemah. Pada detik selanjutnya,
terlihat sesosok bayangan berkelebat masuk. Lincah dan sangat
gesit gerakan bayangan itu. Dan…. melihat akan pakaian maupun

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 281
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

gerak-gerik orang yang baru datang ini, Siu Lian tersenyum


gembira. Ia gembira karena apa yang semula diduganya secara
samar-samar kini akan menjadi sebuah kenyataan.
Orang itu adalah pemeran Sie Jin Kwie tadi. Hanya bedanya,
kalau di panggung tadi dia adalah seorang dengan tubuh tinggi
besar dan kekar. Mukanya masih penuh dengan bedak dan gincu,
hingga Siu Lian belum dapat melihat wajah asli orang tersebut.
Tampaknya orang itu tergesa-gesa sekali. Dengan cepat ia
membersihkan polesan-polesan di mukanya dengan air dari baskom.
Lalu ditotoknya salah seorang yang tertidur tadi. Orang yang
ditotok itu adalah pemain wayang yang asli. Begitu tersadar ia
gelagapan, setelah itu ia menjatuhkan dirinya, meratap-ratap, ―Tai
Ong … tai ong … ampuni jiwa tikus hamba …!‖ begitu takutnya
dia pada kematian.
―Aku bukan Tai Ong mu!‖ bentak si pemeran Sie Jin Kwie tadi.
Bersamaan dengan itu, Siu Lian yang berada di atas wuwungan,
tersenyum puas, sebab kini ia telah tahu siapa dia, si pemeran Sie
Jin Kwie palsu tadi.
―Kalau ingin hidup, katakan ada hubungan apa antara
majikanmu dengan keparat Hong In?‖
―Aku … aku … tidak, tidak tahu tai-ong …‖ pemain wayang
asli itu masih juga meratap-ratap ketakutan. Terutama setelah
melihat wajah asli orang dihadapannya itu.
Orang tinggi besar, pemain Sie Jin Kwie itu tampaknya sangat
gusar. Pada saat itu juga ia hendak melampiaskan kemarahannya
itu, namun tiba-tiba,
―Bagus! beranimu Cuma pada yang lemah!‖ terdengar bentakan
seseorang. Halus tetapi tajam berpengaruh. Dan dilain saat di dalam
kemah itupun telah berhadapan dua orang yang berlawanan jenis,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 282
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

orang tinggi besar itu dengan seorang dara. Dara yang mengenakan
baju warna merah, yang tidak lain adalah Hong In. sedang orang
yang bertubuh tinggi besar itu tidak lain dan tidak bukan adalah si
pengemis muda, siluman tanah muncul Giok-po.
Bukan main girangnya Siu Lian melihat munculnya Hong In
ditempat itu. setelah semalaman dicari-cari tidak bertemu, kini tiba-
tiba saja muncul dengan sendirinya. Entah peti putih itu disimpan
dimana? Tampaknya benda itu tidak ada lagi pada Hong In.
Pertarungan antara pengemis muda dengan Hong In segera saja
berlangsung dengan sengit. Dalam keadaan seperti sekarang ini,
dimana si pengemis muda masih dalam keadaan terluka, akibat
racun sendiri yang menyerang ditubuhnya akubat pertarungannya
dengan Siu Lian, maka Hong In dapat mengimbanginya dengan
baik. Andaikata pertarungan itu terjadi tiga hari yang lalu, agaknya
Hong In bukan lawan seimbang pengemis muda yang lihai dan keji
itu.
Karena lukanya itu, maka si pengemis muda harus membagi
tenaga dan perhatiannya untuk melindungi luka. Dengan keadaan
demikian, gerakannya tidaklah begitu gesit, tenaganyapun banyak
berkurang.
Sedangkan Hong In yang kepandaiannya hanya kalah setingkat
dibawahnya telah mengirim serangan-serangannya yang sangat
gencar dan ganas luar biasa. Pada matanya menyorot sinar nafsu
membunuh yang berkobar-kobar. Mungkin ada apa-apanya.
Dalam dua jurus di babak pertama ini, si pengemis muda masih
dapat bertahan, tetapi karena untuk menghadapi Hong In yang
lincah dan garang itu, ia harus mencurahkan seluruh tenaganya,
maka simpanan tenaganya yang dipergunakan untuk melindungi
luka, jadi terpecah pula. Dan disaat itu juga ia merasakan sakit yang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 283
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bukan alang kepalang. Semangatnya jadi buyar dan tentu


gerakannya menjadi kacau dan lamban.
Lebih celaka lagi keadaan seperti itu cukup diketahui oleh
Hong In yang awas dan cerdik, yang segera memperhebat
serangannya.
―Kau ganggu aku begini rupa, ada soal apakah sebenarnya?!
Peti putih masih ada ditanganmu, mau apa lagi? Baik, mari kita
mengadu jiwa!‖ teriak si pengemis muda seraya mengamuk dengan
nekat.
―Pengemis siluman! Bukankah kau murid turunan kedua Iblis
India jahanam itu?‖ jawab Hong In membentak. ―Kedua gurumu
telah menghabiskan guruku …!‖
Hong In berhenti sebentar, agaknya ia sedang menekan
perasaannya. Terbayanglah kedukaan dan dendam berkilat
dimatanya.
―Sekarang kau harus mati ditanganku!‖ sambil mengiringi kata-
katanya ini, Hong In memperhebat serangannya dengan
mempergunakan tipu-tipu sulitnya yang keji dan ganas sehingga
membuat lawannya makin kerepotan mempertahankan diri.
Namun tiba-tiba pengemis muda itu menjerit keras. Lalu
tubuhnya melompat maju selangkah, tongkat ditangannya
dihantamkan kedepan, mengancam dada lawan dan membiarkan
perutnya sendiri terbuka untuk menerima tusukan pedang lawan.
Hong In mana sudi kebodohan itu? ia sudah menang diatas
angin, tak paerlu mati bersama pengemis siluman itu.
Oleh karena itu ia menarik kembali pedangnya, selanjutnya
untuk menghindari sodokan tongkat lawan, ia tarik tubuhnya
kebelakang.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 284
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Kiranya serangan nekat si pengemis itu pula tangannya


merogoh bumbung rahasianya yang berisi panah beracun untuk
menyerang lawan.
Tetapi sayang, sebelum bumbung itu sempat bekerja, dari
wuwungan tampak berkelebat warna hitam menyambar. Si
pengemis muda itupun hanya bisa terkejut ketika dirasakan
tangannya menjadi lunglai serta bumbung itu telah berpindah
tangan. Bukan Cuma sampai disitu saja, si pengemis muda
merasakan kepalanya pening dan alam sekitarnya berputaran,
selanjutnya ia terjatuh pingsan. Tubuhnya yang tinggi besar itu
lantas meluncur turun dengan cepat lalu menghantam lantai.
Dapatlah dibayangkan, bahwa sebentar lagi tubuh pengemis
muda itu akan remuk hancur dan binasa. Tetapi baangan hitam tadi
yang tak lain adalah Siu Lian bergerak gesit laksana burung elang,
melayang turun mendahului meluncurnya tubuh pengemis itu.
dengan gerakan harimau menuntun anak kambing, Siu Lian dapat
membuat si pengemis muda itu terbebas kembali.
Terkejut bukan kepalang, pengemis muda itu merasakan
kelihaian orang. Seumur hidup ia belum pernah menyaksikan
kehebatan ilmu silat orang yang demikian lihainya.
Dengan keterkejutan ini, kian menjadi-jadi ketika dilihatnya
orang yang telah menotok dan membebaskannya sekalian ini adalah
si nona yang tiga hari yang lalu pernah merubuhkan dirinya dengan
senjatanya sendiri.
Maka untuk sesaat itu, pengemis muda itu hanya dapat berdiri
terpaku saja. Tak ada niatnya untuk melarikan diri, karena dia tahu
berada diantara dua nona yang lihai-lihai itu. tidaklah akan ada
gunanya. Menurut dugaannya, kepandaian si nona yang baru saja
bertindak ini tidaklah dibawah kepandaian gurunya. Ingat gurunya,
segera pengemis muda ini seolah-olah mendengar kata-kata Hong

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 285
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

In tadi yang telah menuduhnya sebagai murid iblis India. Ia


penasaran.
―Lihiap,‖ begitulah ia membuka mulut. Kata-kata ini jelas
ditujukan kepada Hong In. ―Sebagai orang kangouw, aku tak takut
akan menghadapi kematian! Akan tetapi terhadap kata-katamu tadi,
menuduhku murid orang India, itu terlalu menghina diriku! Kau
menghina diriku dan menghina perguruanku yang asli pendirinya
adalah orang Han. Maka itu untuk mendapat muka sebelum
menerima ajal, kuharap kau suka menjelaskan, siapakah keluargamu
dan siapakah orang India yang telah mencelakakan keluargamu?!‖
Tampaknya dalam mengucapkkan kata-katanya itu, si pengemis
muda sangat bersungguh-sungguh, tidak tampak tanda-tanda
berdusta. Dan melihat kegagahan sikap orang yang begitu berani
bicara tandas walaupun sudah dekat pada ajal, timbul juga
kekaguman pada diri Siu Lian.
Hong In hanya diam saja. Tampaknya ia hendak menyudahi
urusan itu. maka Siu Lian berkata,
―Ya sudahlah. Kali ini kuampuni jiwamu. Pergilah cepat dari
hadapanku!‖
Bagaikan orang yang hampir mati, hidup kembali, maka
dengan girangnya pengemis muda itu membalikkan tubuh untuk
segera berlalu.
―Tunggu dulu!‖ seru An Siu Lian. ―Tadi kulihat kau mencari
keterangan dari orangn wayang tentang perhubungan kumpulan
wayang itu dengan Hong In, apa maksudmu?‖
―Tidak ada maksud apa-apa, Cuma ingin mengetahui saja!‖
sahutnya seraya membalikkan tubuh untuk berlalu, kemudian
mencelat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam.
―Adik….‖ kata Siu Lian memanggil.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 286
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Siapa adikmu?!‖ Hong In menjawab sambil merengut.


Terkejut Siu Lian akan sikap Hong In. akan tetapi segera
teringat memang demikian, angin-anginan sikap kawannya itu.
―Aku tidak suka pada orang yang mengusili jalan hidupku!‖
kata Hong In pula.
―Benar susah diduga,‖ keluh Siu Lian dalam bati. ―Apakah kau
marah karena aku embebaskan pengemis tadi?‖ katanya kemudian.
―Ya!‖ sahut Hong In tegas. Sambil menjawab ketus demikian,
ia menubruk maju seraya mengacungkan pedangnya menusuk dada
Siu Lian. ―Siapa suruh kau lancang membebaskan dia!‖
Cepat dan tiba-tiba serangan yang dilancarkan olehHong In.
sehingga kalau bukan Siu Lian sasarannya, agak sulit orang akan
dapat meloloskan diri dari maut.
Siu Lian adalah murid gemblenganLiong-san-pai, oleh dua
orang guru sakti Tho-liu-to disempurnakan pula ilmunya, hingga
walaupun usia gadis ini masih muda, akan tetapi ilmu
kepandaiannya sudah jarang ada tandingannya. Percuma sepuluh
tahun menuntut ilmu dari guru-guru sakti Tho-liu-to andaikata
begitu mudah dapat diperdayai oleh Hong In.
Demikianlah, dengan mudah saja An Siu Lian berkelit kekiri
atau kekanan, mengeos atau menghindar, maka serangan Hong In
hanya menusuk angin belaka.
―Baik, baik kuadu jiwa denganmu!‖ teriak Hong In semakin
kalap.
Dan benar saja segera ia memperhebat serangannya, memaksa
Siu Lian untuk mengeluarkan sedikit ilmu kepandaiannya. Selagi
pedang Hong In untuk yang kesekian kalinya menyambar
tenggorokan, Siu Lian melompat kesisi kanan Hong In lalu dengan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 287
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kecepatan yang sulit dilihat oleh mata, kedua jarinya menyentuh


salah satu jalan darah nona out, kemudian merampas pedangnya.
―Dengarlah!‖ kata Siu Lian, ―Melihat gerakan ilmu silatmu
tahulah aku bahwa tentunya kau adalah murid seorang guru yang
ternama. Lagipula dari bicaramu tentang sastera tempo hari,
sekurang-kurangnya kau adalah seorang gadis terpelajar juga.‖
sambungnya seraya mengangsurkan pedang yang tadi dirampasnya.
Sengaja ia berkata demikian untuk menggugah semangat Hong In.
setelah itu, tanpa memberikan kesempatan orang lin bicara, ia telah
melanjutkan kata-katanya pula.
―Lagi pula bukankah pengemis tadi tegas-tegas telah
mengatakan bahwa gurunya adalah seorang Han asli! Apakah kau
tidak percaya padanya? Ingatlah sebagai seorang Han, walau kita
dari jalan putih maupun hitam harus mengutamakan kesetiaan pada
guru! Bukankah tadi sudah jelas pengemis itu tidak berguru pada
orang India? Apakah mungkin dia mengkhianati gurunya sendiri
dengan tidak mengakui karena takut mati? Kukira itu tidak
mungkin. Maka adikku, kalau rasa mendongkolmu disebabkan oleh
kelancanganku tadi, harap sukalah kau memaafkannya!‖ Siu Lian
mengeluarkan kata-kata ini karena ia tahu akan sifat orang yang
keras, dan mudah berubah-ubah.
Dan memang tepat dugaan Siu Lian, kata-katanya mengena
besar dihati Hong In sehingga dara itu menundukkan kepalanya.
―Siapakah orang India yang kau maksudkan sebagai musuh
besarmu?‖ tanya Siu Lian lebih lanjut.
―Cici, tempat ini adalah kemah orang, sudah terlalu lama kita
berada disini, marilah kita bicara di hotel saja!‖
Siu Lian baru tersadar bahwa ia telah terlalu lama berada di
tempat orang. Maka iapun segera mendahului Hong In berjalan
meninggalkan tempat itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 288
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Diluar ternyata sudah penuh dengan orang-orang yang


berkerumun-kerumun. Mereka tak berani memasuki kemah.
Rupanya mereka telah melihat pertarungan yang hebat didalam
kemah dan mereka mengerti bahwa kedua gadis yang kemudian
keluar kemah ini bukanlah orang sembarangan.
Siu Lian yang tidak ingin menimbulkan kegemparan diantara
penduduk secepatnya lantas menggerakkan tubuhnya keatas
wuwungan yang kemudian disusul oleh Hong In itu. keduanya
lantas menghilang dalam kegelapan, membuat penduduk yang
menyaksikannya jadi melongo heran dan takjub. Kebanyakan dari
mereka lantas soja-kui mengira bahwa kedua dara itu adalah utusah
Thian yang sedang turun ke dunia.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuhnya, kedua pemudi itu dalam waktu hanya sepemakan nasi
telah berada kembali di hotelnya. Mereka masuk dengan melompati
jendela, tidak seorang tamu atau centengpun yang mengetahui
kedatangan mereka.
Setelah beristirahat beberapa saat, karena meerasa lapar, maka
keduanyapun mengobrol.
Hong In ternyata adalah puteri Oey Bian Lip. Ia menceritakan
betapa keluarganya dengan kejam sekali telah dimusnahkan habs-
habisan oleh hantu bersaudara muka merah dan muka kunig. Hanya
mujur bagi Hong In, pasa hari itu, pada saat iblis keji itu sedang
membunuhi seluruh isi rumah keluarga Oei, ia bersama seorang
pembantu rumah tangganya yang setia, Liu Siauw Jie, tengah
berjalan-jalan menghirup angin gunung yang segar.
Keduanya, puteri majikan dan pembantu ini jadi terkejut sekali
ketika mereka pulang dan mendapatkan seluruh isi rumahnya
bergelimpangan binasa dalam keadaan yang sangat mengenaskan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 289
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tidak seorangpun yang mati dengan tubuh yang sempurna. Semua


rebah dengan kepala yang hancur.
Didapati pula ayah dan pamannya tergeletak tak bernyawa.
Menyaksikan semuanya ini, bukan main hancur hatinya dan geram
sehingga kedua-duanya lantas meratap-ratap memilukan.
Nahkan Hong In karena tidak kuat menahan perasaan dukanya,
jatuh pingsan, membuat Liu Siauw Jie jadi kebingungan tak tahu
apa yang harus diperbuatnya. Kuatir bukan main pembantu ini,
kalau-kalau satu-satunya keturunan keluarga Oei yang masih tinggal
hidup ini mengalami hal yang tidak diinginkan. Untunglah, pada
saat itu tiba-tiba muncul Lauw Sam yang datang tergopoh-gopoh
dari tempat sembunyinya diatas lauwteng. Pembantu yang setia dan
berusia lanjut ini, pertamanya terkejut ketika mendengar jerit tangis
orang. Dikiranya adalah tangisan halus roh kawan-kawannya yang
telah terbinasa, hingga ia jadi sangat menakutan. Tetapi akhirnya ia
mengenali juga, bahwa suara tangis itu adalah tangis kawan
sekerjanya, Liu Siauw Jie dan putri majikan. Cepat-cepat Lauw Sam
turun, dan benar-benar ia mendapatkan Liu Siauw Jie sedang
menelungkup menangisi majikan mudanya yang tidak sadarkan diri.
Lauw Sam. ternyata mempunyai pengalaman lebih lugs dari
kawannya. Cepat-cepat ia ke belakang untuk memasak air, uutuk
keraudian di lain saa.t ia telah selesai membuat wedang jahe.
Dicelegukkannya air panas pedas itu ke mulut sang majikan
muda. Benar saja, tidak lama kemudian Hong In sadarkan dirinya.
Beberapa saat dara ini terlongong, akhirnya menangis kembali
meratap-ratap, memilukan sekali.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hong In dengan dibantu
oleh kedua pembantunya menggali beberapa lubang kuburan
dibelakang gedung. Kemudian setelah selesai mengadalan upacara
sembahyang, lalu diadakan penguburan sekaligus. Hanya untuk

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 290
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

penguburan Riau Lip dan Hong Goan, khusus dilakukan oleh


tangan Hong In ya kecil itu.
Selesai itu, Hong in bersoja kui di depan kuburan orang tuanya.
ia bersumpah, walaupun dengan jalan apapun akan menuntut balas
sakit hati kernatian orang tuanya.
Malamnya setelah melihat kesehatan majikan muda ini lebih
baik lalu Lauw Sam menceritakran bagaimana terjadinya peristiwa
mengenaskan itu, dan siapa-siapa orangnya yang telah
membinasakan kedua ayah dan parnannya serta berpuluh puluh
keluarga lainnya. Hingga membuat Hong In yang belum hilang
kesedihannya, jadi semakin sedih dan mendendam. Tetapi dalam
hatinya juga timbul keraguan, apa bila benar-benar ilmu kepandaian
para iblis pemburuh ayah dan keluarganya itu demikian tinggi
seperti diceritakan Lauw Sam, dapatkah ia menuntut balas?
Terkesima juga Siu Lian rnendengar kisah tragedi yang
dicerirakan oleh Hong In. Selama Hong In belum mengakhiri
kisahuya, Siu Lian hanya termangu-mangu saja. Ia menimbang-
nimbang, akhirnya la merasa bahwa sakit hati temannya ini jauh
terlebih dalam daripada sakit hatinya sendiri. Dan tahulah kiranya,
mengapa pemudi berjubah merah ini, kemarin tiba-tiba
meninggalkan dirinya dan sangat membenci pengernis yang diduga
adalah murid dari musuh besarnya.
Akhirnya, Siu Lian membatalkan niatnya untuk menanyakan
apa isi peti putih, karena melihat wajah kawannya yang menjadi
sangat muram. Besokpun masih ada waktu, pikirrya.
―Cici", tiba-tiba terdengar Hong In berteriak; suaranya seperti
orang yang hendak menartgis. Cepat-cepat Siu Lian bangun berdiri.
―Sakit hatiku sedalam lautan. Akan tetapi iblis-iblis india itu
kabarnya lihai bukan main jauh lebih lihai dari sedikit kepandaianku

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 291
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sekarang. Entatalah ..... anakah dapat aku membalas kan sakit hati
ini?"
―Jangan kuatir adikku, jangan sangsi. Apa bila tiba waktunya
tidak mungkin aku akan berpangku tangau", Siu Lian menghihur.
Hong In menghela napas, tarikannya dalam sekali.
―Tapi benar-benar…. bagiku hilang lenyap…..‖
―Apa maksud?" Siu Lian tak mengerti.
―Aku menyesal, karena aku tidak menuruti nasihat kedua
guruku. Merela sebenarnya me larangku keluar dari pintu perguruan
pada tiga tahun yang lalu. Hingga benar-benar, ketika semalam dia
datang, aku tak berdaya apa-apa...."
―Dia datang? Dia siapa?" Siu Lian belum mengerri dan terkejut.
Ia makin bersimpati kepada kawan barunya ini yang mengalami
nasib begitu' mengenaskannya.
―Dia adalah satu dari musuh besarku!"
―Musuh besarmu ulang Siu Lian."Si apa naaksudmu?"
―Entahlah. Ia sangat 1ihai sekali. Tapi agaknya dia tidak tahu
bahwa aku adalah salah satu keturunan dari keluarga yang mereka
babat habis-habisan pada sepuluh tahun yang lalu"
―Dia lebih lihai darimu?"
―Betapa tidak? Dengan mudah saja keparat itu telah dapat
mencuri peti putih yang ku selipkan dibawah bantalku, tanpa
kuketahui."
―Hai, benarkah itu? peti hilang dicuri orang?" Siu Ling terkejut
hampir tak percaya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 292
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Benar mengapakah?‖
Siu Lian tak dapat menjawab. Keras lemas seluruh tubuhnya.
Betapa tidak? Semalam, ia mengelilingi bampir seluruh kora adalah
tuk menemukan pemudi ini, guna menanyakar persoalnanya isi peti
itu. Kini? Setelah berhasil ketemu, ternyata peti itu telah hilang
dicuri oleh seseorang yang dikatakan sangat lihat luar biasa yang
menurut dugaan Hong in adalah musuh besarnya,
―Bagafinanakah terjadinya?‖ tanya Siu Lian akhirnya
menegaskan.
―Hari itu, setelah memisah dari dirimu aku mencari sebuah
penginapan lain. Pikiranku sedih dan kecewa, betapa tidak?
Sebegitu jauh hingga tiga tahun aku berkelana, aku masih belum
dapat menemukan dimana adanya musuh besarku itu dan
bagaimana tingkat kelihaiannya. Namun pada malam itu, karena
letih memikir kan nasibku, aku jadi letih dan mengantuk, akhirnya
tertidur tanpa kusadari. Tengah layap-layap antara pulas dan tidak,
tiba-tiba dalam kamar kulihat sebuah bayangan berkelebat masuk.
Terkejut sekali aku ketika itu. Cepat kugerakan tubuhku mencelat
bangun, akan tetapi sebelum aku berbuat sesuatu apa, bayangan itu
telah tiba dihadapanku. Dan tanpa dapat dicegah lagi, dia telah
berhasil merampas peti putih dari bawah bantalku, lalu berkelebat
pula pergi secepat bayangan setan!. Tegas kulihat, pakaiannya
terbuat dari kain katun India. Hanya anehnya, rambut belakangnya
diikat menyerupai kuncir. Tetapi melihat pakaiannya yang kedom
brongan itu, aku menduga bahwa dia adalah seorang diantara musuh
besarku. Gerakan sangat lincah dan gesit sekali, jauh lebih lincah
dan gesit dari padaku. Hingga ketika aku mengejarnya, ia sudah
terlalu jauh meninggalkan karnarku. Sebentar saja dengan
meninggalkan suara tawanya yang mengakak, ia meninggalkan aku
jauh ketinggalan dibelakangs. Sayup-sayup ku dengar kata-katanya,
bahwa ia akan mengantarkaa peti putih itu kepada pemiliknya yang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 293
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sah, entah dari partai apa. Ong … ong …begitu. Lalu karena merasa
benar-benar takkan ungkulan aku balik pulang dengan putus asa.
Dan sejak saat itulah aku merasa sangsi, karena jelas sudah
kepandaianku jauh berada dibawah kepandaian keparat itu.
Disamping itu, aku masih tidak mengerti, apa maksudnya ia
mencuri peti putihku itu, hingga timbul dugaankui apakah tidak
rnungkin antara pencuri ini dengan pengemis siluman itu memiliki
hubungan?"
―Jangan kuatir, adikku. Nanti kuberikan bantuan bila sudah
berhadapan, cuma talong beritahukan apakah isi peti putih itu?"
―Akupun tidak tahu!" Hong In menggeleng-gelengkan kepala.
―Karena niat sebenarnya terhadap benda tidak ada padaku", setelah
berkata dernikian, maka Hong in merebahkan membiarkan Siu Lian
duduk termangu-mangu seorang diri. Sebentar saja, Hong In telah
terpulas.
Siu Lian terdiam. Pikirannya berbagai macam tertumpuk
menjadi satu. Satu urusan membalas dendam belum terbayar,
kehilangan Sin Hong, lalu sekarang tentang peti putih yang tidak
ketahuan apa isi dan manfaatnya, disusul pula urusan orang,
berpakaian katun secara India, yang diduga adalah musuh besar
Hong In. Kalau benar, itu dia salah seorang dari Ang Oei Mokko.
Peninglah kepala Siu Lian memikirkan pencuri peti putih itu hingga
tanpa sadar ia tertidur dibangkunya. Tak diketahuinya berapa lama
ia tertidur, ia terjaga ketika terdengar olehnya suara berkelisik, kira-
kira dari jarak tiga tombak. Perlahan suara itu, sekeras suara jarum
yang jaiuh. Naraun suara itu cukup terasa bagi Siu Lian untuk
menjagakan ia dari tidurnya, karena ia merasa bahwa suara
berkelisik itu berbeda dengan bunyi yang umum.
Dengan perlahan dan sangat cepat, tanpa menimbulkan suara
Siu Lian membuka jendela dan melayang keluar dan menutup
kembali jendela itu, sementara Hong In masih tidur pulas. Tak mau

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 294
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Siu Lian raembangunkannya, karena ia tahu suara tadi tentu berasal


dari seseorang yang mempunyai kepandaian tinggi, yang jauh lebih
tinggi dari kawannya. Ia kuatir kalau benar-benar orang yang datang
itu adalah musuh lihai, musuh besar Hong In, bukankah itu hanya
membuat sang kawan menjadi nekad, yang mungkin rnembuat
urusan tam bah ruwet saja?
Diluar ia lihat bintang-bintang di timur menunjukkan bahwa
pagi sudah hampir pukul empat. Karena kuatir pendatang lihai itu
berada disekitar tempat itu, lekas-lekas Siu Lian melayangkan
tubuhnya, meleset, dengan meuggunakan tipu gerakan "Sepuluh
bayangan Melibat Syetan", membuat tubuhnya berkelebat tidak
terlihat. Ia menuju kearah datangnya suara berkelisik tadi. Matanya
yang jeli dan sangat waspada, segera dapat melibat pada jarak
sepulub tumbak, sebuah bayangan melesat kedepan secepat terbang.
Tubub bayangan itu tinggi besar, serta berpakaian kedombrongan
Gesit bukan main, dalam sekejap saja bayang an itu sudah
memasuki sebuah hutan.
Siu Linn yang membayangi, diam-diam merasa kagum akap
kegesitan orang ini. Terlihat juga dua buah kuncir dikepala orang,
itu. Dibagi tengah-tengahnya dililit menjadi satu. Pada Lengan
kanannya, jelas orang itu menjingjing semacam barang yang aneh
bentuknya.
Berkat matanya yang sangat awas, maka Siu Lian dapat juga
menduga barang apa yang dibawa orang itu. Ia menjadi geram
sekali ketika sayup-sayup telinganya mendengar orang itu
memperdengarkan suara riantihan yang menyayat-nyayat. Dan
kemudain tidak terdengar lagi. Itulah suara tangisan suara anak
bayi. Jelas sekali tangisan itu merupakan. ratapan orang yang
mengalami siksaan berat.
Bayangan itu terus. berlari tanpa menyadari kalau ia sedang
dibayangi oleh seorang gadis yang baru keluar dari perguruan, lalu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 295
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

lenyap masuk kedalarn gerumbulan rumput-rumputan yang lebat


dan tumbuh tinggi, setinggi manusia. Siu Lian pun merandek ketika
iapun tiba ditempat itu.
Untuk sesaat ia tertegun diam Terkejut ia ketika dilihatnya di
arah timur sinar matahari sudah muncul memancarkan sinarnya
yang ke emasan, pertanda hari pagi sudah tiba. Ini berarti juga dari
penginapannya ia telah pergi memakan waktu tidak kurang dari dua
jam untuk membayangi orang itu.
Sedang dalam pengejaran ini, ia sudah mempergunakan ilmu
berlari cepatnya pada tingkat tinggi, hingga dapatlah dibayangkan
betapa jauhnya ia sudah meningaatkan rumah penginapan. Ketika
itu ia sangsi untuk mene-ruskan maksudnya mengejar buronnya itu.
Akan tetapi karena merasa sudah kepalang tanggung, akhirnya ia
masuki juga gerumbulan rumput-rumputan itu, untuk itu ia telah
mempergunakan ilmunya "Melepaskan Tulang Mengecilkan Urat."
Sedikit juga ketika tubuhnya menyelip masuk, ia tidak
membuat suara berisik. Sesaat kemudiaa ia telah berala dibagian
lain darl gerumbulan rumput tinggi itu. Disaat itu juga, disaat baru
saja ia membetulkan sikap berdirinya, kedalam lubang terlihat
berkelebat sebuab bayangan. Ia tahu itulah bayangan si lelaki
berbaju kedombrongan. Ditunggunya hingga beberapa detik.
Kemudian dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya,
C Siu Lian menghampiri lubang itu. Terkesiap hatinya, ketika
ternyata lubang itu adalah muluu sebuab guha. Yang hebat, lubang
itu berdinding terbuat dari tulang-tulang anak kecil seluruhnya.
Tulang-tulang itu diletakkan beraturan hingga tidak tampak
dasarnya.
Setelah mengelilingi dua putaran untuk memeriksa, dan
mendapatkau kenyataan tidak adanya tanda-tanda lain yang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 296
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mencurigakan, dengan hati-hati sekali dan menggunakan ilmu yang


tinggi, ia memasuki lubang itu.
Ternyata guha yang mernpunyai lubang kecil ini mempunyai
sebuah lorong yang panjang. Hawa didalam lembab dan dingin,
hingga ditambah dengan kesunyian yang menguasai tempat itu,
membuat bulu tengkuk berdiri meremang. Disitu jalan berlegat-
legot turun naik tidak rata.
Tiba-tiba dari arah dalam terdengar suara Tertawa-tawa dingin
perlahan. Dilain saat, ketika Siu Lian melangkahkan kakinya pula,
maka ia telah tiba pada lorong yang penghabisan.
Bentuk dan besarnya lorong, ini, tidak berbeda jauh dengan
lubang guha dibagian luar yang merupakan pintu masuk. Hanya
pada sekelilingnya pada luas kira-kira satu meter persegi, terdapat
banyak sekali tengkorak-tengkorak anak kecil berserakan, Penuh
seakan menutupi tanah. Sedang lubang guha yang terakhir ini tidak
merupakan pintu buntu, melainkan dihadapannya kini terbentang
sebuah ruang yang cukup luas. Berbentuk kamar dan lebih luas,
berbenjol-benjol dindingnya tidak beraturan.
Ruang kamar guha ini menurut perasaan Siu Lian berada jauh
dihawah permukaan bumi. Agaknya seperti berlapis, dan banyak
terdapat padanya tanah-tanah lebih yang runcing, ada yang berdiri
dan ada pula yarg bergantung, Tinggi-tinggi dan besar-besar bahkan
beberapa diantaranya ada yang dua kaki lebih tinggi dari tinggi
orang. Menyaksikan benda-benda alam ini tanpa terasa Siu Lian
rnenghela napas kagum. Tidak pernah disangkanya akan kebenaran
cerita gurunya pertama yang rnengatakan bahwa di beberapa daerah
di atas bumi Tiorggoan, ada beberapa guha yang didalamnya penuh
dengan ‗tanah-tanah tumbuh‘ yang berwarna putih.
Tanah lebih ini sehenarnya terjadi dari basil campuran batu
kapur dan air hujan yang karena sangat banyaknya dan terjadi

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 297
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

bertahun-tahun lalu mengumpal bergantungan dari atas guha serta


karena makin bartambahnya cairan-cairan campuran batu kapur
dengan air hujan lalu mencarat tanah dengan bentuk menyerupai
tiang serta tipis dibagian tengah hingga merupakan dua buah
kerucut yang sambung menyambung pada kedua bagian ujungnya
lancip. Bertahun-tahun kemudian, karena salah satu dari kedua
bagian yang menggantung atau berdiri itu tanahnya kurang kuat lalu
rubuh dan ambruk. Dan yang tidak rubuh inilah yang kini tinggal
berdiri menyerupai tanah tumbuh yang berujung runcing.
Hal inilah, terjadi benda-benda alam yang kini dikenal sebagai
stalagtit dan stalagmit, jenis jantan dan jenis betina ini pada waktu
kasih ini terjadi, hanya beberapa orang yang mengetahui,
diantaranya Shia hiap Gouw Bian Lie, guru An Siu Lian.
Dari balik sebuah stalagtit yang cukup besar, Siu Lian
mengembarakan pandangnya kesekitar ruangan guha itu. Kedua
manik matanya yang bulat bundar jeli mencaricari.
Akhirya pada sebuah stalagtit atau stalagmit yang sengaja
dirubuhkan, terlihat seorang bayi yang direbahkan. Tidak salah lagi
tentu orok itu adalah orok yang tadi ditinjing oleh orang berbaju
kedobrongan itu. Dan kini melihat bayi itu rebah dengan perut yang
tidak berkempas kempis, maka tahulah Siu Lian bahwa ia telah
mati.
Melibat adegan ini, Siu Lian menjadi geram sekali. Dan kini
tahulah ia, apalah artinya dan dapat menduga dari mana asalnya
tulang dan kepala manusia-manusia kecil yang banyak berserakan
dimuka dan disepanjang lorong
Itulah tentu sisa-sisa korban percobaan yang menurut dugaan
Siu Lian tentulah menjadi korban si orang berbaju kedombrongan
itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 298
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, diatas sebuah stalaginit


yang terletak pada tanah tumbuh yang rebah tadi, duduk dibagian
ujungnya, seseorang yang bertubuh tinggi besan berbaju
kedombrongan yang terbuat dari katun India. Melihat pada
kuncirnya, maka yakinlah Siu Lian bahwa orang itu adalah orang
yang sejak dari penginapan itu dibayang-bayanginya. Hanya ia tidak
tahu siapa adanya orang ini, sebab dari gurunya ia belum pernah
mendapatkan keterangan tentang orang dengan bentuk yang
demikian. Kalau melihat cara berpakaian dan wajah orang itu, jelas
ia telah menganut adat dan kibiasaan orang India. Dan tentunya dari
sisa-sisa tulang itu dan tengkorak-tengkorak yang berhamburan
diseluaruh penjuru guha, tentulah orang itu bukannya orang baik-
baik!
Perasaan geram Siu Lian kian menjadi-jadi demi melihat
perbuatan yang dilakukan orang itu terhadap bayi yang terlentang
mati tadi. Semula Siu Lian hendak menyerbu keluar dan menghajar
manusia biadab itu, tetapi karena melihat bayi itu telah mati, maka
ia membatalkan maksudnya.
Terutama karena ia maksud untuk mengetahui lebih lanjut
perbuatan manusia berwajah menyeramkan itu!
Tiba-tiba sekali, dengan mengeluarkan gerengan keras, suara
campur tertawa, manusia menyerarnkan itu mengangkat anak bayi
yang sudah mati, maka dilain detik kepala bayi itu telah berada
dalarn cekalan kedua telapak tangannya setelah itu diangkatnya
tinggi-tinggi. Tidak jelas apa yang diperbuatnya. Hanya beberapa
detik kemudian, ketika dia letakan kembali maka anak bayi itu
sudah menjadi bangkai tanpa tulang dan tidak lagi mengandung
darah. kemudian dilepitnya, seperti cara orang melepit kertas.
Walau sebenarnya gusar Siu Lian melihat perbuatan orang itu
namun perasaan terkejut akan kehebatan tenaga dalam orang
menggetarkan hatinya juga. Sebab ia tahu itu suatu cabang pelajaran

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 299
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

ilmu lwekang India yang termashyur lihai sekali. Dan untuk


meyakinkannya dibutuhkan waktu tidak hanya tiga atau empat
tahun saja. Memang demikianlah orang-orang yang mempelajati
ilmu itu, apabila pelajaran sudah mencapai tingkat akhir maka orang
tersebut harus banyak-banyak minum darah anak bayi. Maka dari
itu untuk daerah Tionggoan ini tidak ada yang mau mempelajarinya,
karena ke banyakan walaupun dia dari jalan hitam atau putih tidak
tega untuk melakukannya.
Orang yang meyakinkan ilmu lwekang itu tenaga dalamnya
luar biasa sekali dahsyartiya. Demikianlah, tadi, ketika manusia
bermuka buruk itu menggunakan kedua tangan mencengkeram
kepala bayi tadi, maka semacam tenaga dalam yang besar sekali,
seperti aliran listrik mengalir masuk, merusakkan isi perut bayi itu.
Yang hebat ialah dengan jalan demikian, dengan melalui kesepuluh
jari tangannya, darah anak itu yang hampir beku, dihisap masuk
kedalam pembuluh-pembuluh darahnya, hingga kesudahannya isi
perut bayi tadi habis kosong.
Siu Lian pernah mendengar dari cerita gurunya yang kedua,
bahwa ditanah India, orang yang mempelajari ilmu tersebut hanya
seorang saja, yakni orang yang dengan ular-ularnya hampir
mencapai usia tujuh puluh tahun.
Kalau dikatakan dia ini, salah seorang dari Ang Oei Mokko itu
tidak mungkin, sebab bukaakah dari julukannya sudah dapat
dibayangkan bahwa kedua iblis itu mempunyai muka yang merah
dan kuning? Sedang orang yang memakai baju kedornbrongan itu,
muka nya berwarna putih, kulit bangsa Han? Habis siapakah dia
ini? Tiba2 terlihat orang itu mengeluarkan sesulatu benda dari
dalam bajunya yang kedombrongan.
―Ah ! Itulah peti putih yang selama ini rnenjadi pikiran Siu
Lian, kini ditimang-timangnya. Terdengar beberapa kali dia tertawa
dingin, a kan tetapi mendadak ia membentak keras dan serempak

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 300
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dengan itu, dengan cepat luar biasa, disimpannya kembali peti putih
itu. Serentak dia meloncat bangun.
―Siapa? Keluar!! Jangan serubunyi!!" terdengar dia
membentak. Siu Lian terperanjat bukan main. Dikiranya, pastilah
tempat sembunyinya telah diketahui. Heran ia, sebab bukankah ia
selama bersembunyi ia telah menggunakan ilmu simpanan gurunya
dari tingkat yang paling tinggi? Apakah mungkin kepandai an orang
ini dapat lebih tinggi dari simpanan ilmu itu? Kalan demikian
berarti kepandaian orang itu masih lebih tinggi dari ilmu kepandaian
gurunya! Dan kalau benar, tamatlah ia riwayatnya, sebab itu suatu
tanda bahwa kepandaian orang itu diatas kepandaiannya. Namun
pada saat itu, pada ketika bampir saja Siu Lian memperlihatkan
dirinya, mendadak dari sudut kamar sebelah kanannya pada jarak
kira-kira dua puluh tindak, atau kira2 lima tindak disebelah kanan
muka buruk itu terdengar suara keras bergedubrakaan. Dan
membarengi dengan itu, teruntuk stalagtit-stalagtit, melesat keluar
seorang perempuan berambut panjang riap-riapan.
Nenek ini berwajah buruk menjijikan, suatu tana ia telah
mengalami siksaan jiwa yang hebat. Tetapi dari sisa guratan air
mukanya yang masih tampak pada beberapa bagian mukanya, jelas
membayang suatu wajah yang cantik jelita pada masa mudanya.
Dengan terbongkok-bongkok dia berjalan menghampiri si kakek
berwajah buruk itu. Dari mulutnya sebentar-sebentar terdengar
suara tawanya yang aneh menyeramkan.
―Ah, kiranya kau nenek keparat!" terdengar si kakek berteriak
memekakkan. Dan bahasa panggilan ini sesungguhnya membuat
Siu Lian tak mengerti. Karena walaupun di ucapkan dengan nada
keras sekali, tetapi terasa masih menyembunyikan rasa kasih,
sayang dan suatu tanda bahwa mereka pernah saling mengenal atau
berkawan. ―Angin apakah yang telah membawamu sesat kemari?‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 301
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Angin apa? Tua bangka bangsat Kim Cit Loo, lupakah kau
akan perjanjian kita pada dua puluh tahun yang lalu?!"
Kim Ciat Loo? Tergerak hati Siu Lian mendengar nam ini. Ia
mengingat-ingat dan masing-masing selama dia memikir-mikir,
akhirnya terlintas juga sesuatu didalam otakuya. ―Mungkinkah
orang ini yang pernah diceritakan oleh guru?‖
Siu Lian, ingat pernah gurunya bercerita tentang seseorang.
Sebenarnya orang itu keturunan bangsawan, yaitu putra turunan
ketujuh keluarga Kim. Tapi kemudian karena tingkah lakunya yang
memalukan menjual bangsa dan negara, maka ia dikutuk dan
dibenci oleh kebanyakan orang Han.
Terpaksa pada suatu hari untuk menyelamatkan jiwanya, dia
telah pergi terusir dari tanah Tionggoan, untuk kemudian sejak hari
itu tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya.
Banyak orang yang mengatakan bahwa ia mungkin membunuh
diri. Sebagian lagi ada yang mengatakan kalau dia telah dewasa
menjadi makanan binatang buas. Dan banyak lagi cerita-cerita yang
lain yang merupakan desas desus yang tidak jelas asal usulnya.
Apakah mung kin manusia jejak Kim Cit Loo yang ada sekarang ini
adalah Kim Cit Loo yang pernah diceritakan oleb gurunya?

―Oh,iya! Sungguh kau mempunyai ingatan yang baik! Aku


sendiri benar-benar telah melupakannya. Bukankah pada sepuluh
tahun yang lalu, aku telah menjanjikan agar kau mengunjungi
liangku? sungguh aku sudah tua dan jadi pelupa ... Mari, mari sini
minum bersamaku
―Pelupa?‖ si nenek mengejek."Kukira cuma lupa dibuat-buat!
Aku tidak perlu dengan arak merah harum. Aku kemarin hanya

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 302
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

untuk menagih janjimu yang telah dikatakan kepadaku! Lekas


bersiap-siap lah!" bentak si nenek, seraya ia lompat kedepan,
menerkam. "ingin kulihat kepandaian apa yang telah kau peroleh
selama sepuluh tahun ini !"
―Ha ha ha!" Cit Lo tertawa bergelak. Dia tidak membalikan
tangkisan atau perlawanan. Melainkan untuk menghindarkannya
ketika serangan si nenek hampir tiba, ia geser tubuh nya sedikit
kekanan.
―Nenek keparat Tan Gouw Nio apakah tidak dapat kau
bersabar? Bukankah sedikitnya juga kita perriah hidup mencicipi
kesenangan suami isteri sampai dua puluh tahun! Buat apa begini
ter gesa-gesa? Marilah! sambil kita minum arak, kita menceritakan
pengalaman berpisah, sekalian kita melepas rindu, yang telah kita
pendam selama dua puluhan tahun, sesudah sarang kita diobrak-
abrik itu dua keparat paman dan keponakan Oei Hong Gait chin
Bian Lip!"
―Hemm, baiklah. Baiklah kuterima tawaranmu. Anggaplah
untuk babak pertama ini nyonya besarmu telah dikalahkan oleh
bujukanmu! Hem, huu hihihi!" Lalu dengan senyum genit dibuat-
buat, nenek ini duduk mendekatkan tubuhnya kesisi Kim Cit Loo
yang kemudian menyambutnya pula dengan mesra.
Muak rasanya Siu Limn rnenyaksikan si-kaptentil kedua
manusia yang sudah lanjut umur itu. Lebib-lebih si nenek keriput
yang bernama Tan Gouw Nio. Tidak henti-hentinya ia mem
permainkan matanya, menggoyang-goyangkan kepalanya, berbeda
benar dengan .sikapnya waktu ia baru muncul tadi.
Tiba-tiba, ah! Tetkesiap Siu Lian ketika mendadak ia teringat
akan nama-nama yang baru saja kemarin disebut oleh Hong In. Ya,
tidak salah lagi! Tentu yang dimasudkan oleh Kim Cit Loo ini tentu
adalah ayah dan paman Hong In. Sebab tak mungkin dunia ini

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 303
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kejadian hal yang demikian kebetulan! Narna Bian Lip yang


menjadi kakek Hong In tidaklah mungkin terdapat di mana.
Jadi ada hubungan apakah antara kedua manusia buruk. ini
dengan ayah dan parnan Hong In? karena itu, maka Sin.. Lian
bermaksud untuk memasang telinganya, barangkali ke mudian ada
hubungannya dengan kematian ayah dan paman Hong In.
―Perempuan keparat, Melihat wajahrnu yang makin lama makin
cantik. tentu kau selain baik-baik saja bukan? Ha ha ha !" Cit Loo
memaki dan menjadi.
―Hi hi hi! Tepat dugaanmu, Sejak perpisahan kita tempo hari,
aku selatu baik-baik saja, Bahkan untuk bersiap-siap memenuhi
janjimu, aku telah bersusah payah melepaskan urat mengebalkan
daging, belajar membekukan darah dan mengeraskan tulang!! Ehh,
apakah kakek bangsat sudah berhasil membalaskan sakit hati kita?
Dan apakah kitab itu masih tersimpan baik?‖
Mendengar panggilan bahasa orang yang selalu
mempergunakan makian keparat, tua bangka, dan sebagainya, tanpa
terasa walaupun muak, Siu Lian geli juga dalam hati. Manusia-
manusia macam apakah mereka ini? Tampak nya mereka pernah
hidup suarni isteri, tetapi sikapnya mengapa begitu? Dan...kitab
apakah yang mereka maksudkan tadi?
―Sakit hati kita?" Cit Loo mengulangi, menyeringai. ―Mana aku
dapat duduk diam dan tenang pikiran, apabila hal ini belum ku
lakukan?!"
―Jadi kau tua bangka bangsat, kau sudah lakukan hal itu?!"
Kim Cit Loo manggutkan kepalanya dengan senyum puas
kemenangan. ―Perempuan keparat, sakit hati itu telah kubalas
dengan sedikit juga tanganku tidak bernoda darah kedua binatang
she Oei itu. Ya, sedikit juga tidak! Maka ayo, kau harus

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 304
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

mengucapkan selarnat padaku dengan menciumku sekali saja,


hahaha!"
―Cis ! Tidak tahu malu! Letaki keparat! Aku tidak percaya
ocebanmu! Bagaimana mungkin membunuh tanpa sedikit
kecipratah darah!? Terdengar Cit Loo mengbela napas.
―Memang, hal ini apabila tidak kuceritakan selamanya akan
merupakan kegelapan maka baiklah kau dengarkan sekarang!
Percaya atau tidak, itu urusannau!‖
―Sejak hancurnya singasana kita yang disusul dengan pereraian
kita, dua puluh tahun yang lalu, hidupku benar-benar berubah sama
sekali. Sudah terhina dari sana sini. Terlunta-lunta pula! Tetapi
mujur, pada suatu hari aku dapat berkenalan dengan dua orang India
yang kepandaiannya sangat tinggi, terutama ilmu betot Jiwa lima
jarinya sangat dahsyat. Beberapa tahun kemudian, yaitu sepuluh
tahun yang lulu, bertiga kami menyatroni Oei kee cung, di lereng
gunung Thang ala san!"
Berdegupan keras jantung Siu Lian ketika mendengar
pembicaraan orang ini. Kini jelas baginya, macam apakah
sebenarnya orang-orang ke dua nenek dan kakek itu!
―Nah kau sendin ikut bersama kedua India itu. bagaimana bisa
kau bilang kalau kau tak bernoda darah setetes pun?!" si nenek
berseru, suaranya kering dingin suatu tanda dia kurang senang.
―Tunggu dulu, bicaraku belum selesai. Aku tidak membual
tahu! k elihaian kedua India guruku itu, sudah tak ada tandingan.
lihai bukan main. Mereka berdua dengan mudah saja dan dengan
hanya mempergunakan sepulub jeriji jari-jarinya, dalam waktu
hanya beberapa jam saja, seluruh keluarga binatang she Oei itu
dibikin turnpas habis! berani aku sum pah, mati berdiri disini, kalau
aku dusta."

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 305
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Meadengar penuturan ini, tidak hanya si nenek saja yang


terkejut, tetapi juga Siu Lian. Hanya perbedaannya kalau si nenek
bekas isteri Cit Loo kaget karena perasaan sedih, dan girang
bercampur jadi satu, sedangkan Siu Lian karena benar-benar tidak
pernah rnenyangka kalau orang yang di bayaggi itu adalah biang
keladi kematian ayah dan paman Hong In. Gusar ia mendengar akan
pengakuan licik kakek buruk itu yaitu bahwa tidak salah lagi pasti
ia ini Cit Loo seperti yang Pernah di ceritakan gurunya. Licik dan
keji!.
―Tua bangka bangsat! Dengan carmu mernbalas begitu rupa,
walaupun ada sisa keluarga si binatang Bian Lip yang hendak
menuntut balas tentunya, tidak ada dia mencari-mu .... ha ha hi hi !‖
Sudah sudah kupikirkan! Tetapi walaupun memang ada,
dengan lwekang ku yang sudah tidak dibawah lwekang guruku, apa
yang bisa dilakukan terhadapku? Lhat!" Dan bersamaan dengan itu,
segera ia memperdengarkan bentakan. Cepat bukan main, tanpa
terlihat pula gerakannya, separuh stalagtit rebah yang digunakan
sebagai meja tiba-tiba hancur luluh tanpa kedengaran suaranya
pula! tinggal suara tawa bangga kakek itu, yang rerdengar
menggelegar.
Menyaksikan kedahsyatan tenaga dalam ma nusia licik ini, Siu
Lian tidak jadi kagum karena ia pun tetah dapat mengira-
ngirakannya dari latihan kakek buruk itu tadi.
―Sombong! kau kira cuma kau bisa menghancurkan benda itu!"
seru si nenek Tan Gouw Nie. Dan, tiba-tiba stalagtit yang tinggal
separuh itupun hanaur lebur.
Kim Cit Loo yang semula bermaksud pamer kepandaian, jadi
tersiap melihat bekas isterinya juga dapat melakukan hal serupa itu!

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 306
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tak pernah diduganya bahwa bekas isterinya inipun memiliki


kepandaian yang tentunya tidak dibawh kepandaiannya.
―Bagus! ada juga sedikit kemajuanmu selama dua puluh tahun
ini. terimalah cawan arakku!‖ kata Cin Loo seraya mengangsurkan
cawan araknya.
Sebenarnya yang dimaksud cawan arak adalah batok kepala
anak kecil yang telah dikeringkan. Cara memberikan cawan arak
inipun sangat menghormat sekali, yaitu cawan arak itu dikepal
dengan kesepuluh jari.
Namun juga, cara ini bukanlah cara pemberian yang
sewajarnya. Sebab dibalik penghormatannya itu, melalui kesepuluh
jerijinya, dia kerahkan tenaga dalamnya. Dalam hal ini ia telah
memperaktekkan ilmunya yang dahsyat itu.
―Terimg kasih, terima kasih.‖ sahut Tan Gouw Nio seraya ia
mengulurkan kedua tangannya menerima pemberian itu. agaknya
nenek inipun telah bersiap-siap, tampak pada urat-urat lengan yang
mebiru karena mengerahkan tenaga.
Demikianlah bekas sepasang suami isteri ini, dengan yang satu
memberi dan yang lain menerima, dengan cara langsung mereka
telah menggunakan ‗cawan‘ itu sebagai alat untuk mengadu tenaga
Iwekang. Hebat sekali akibat adu tenaga ini.
Arak yang berada dalam cawan tulang tengkorak itu tiba-tiba
saja mendidih dan membuih-buih, seperti telah dipanasi api dengan
sekian derajat panasnya, sehingga ada yang sebagian tertumpah
ketika Gouw Nio menyambutinya. Bahkan karena panasnya arak itu
sampai meluber keluar sedangkan cawan itu sendiri juga melumer.
Terkejut kedua suami isteri ini, hingga mereka mengeluarkan
suara jeritan. Sedang dilaih pihak, Siu Lian yang sedang
bersembunyi tidak kurang pula kagetnya. Iwekang kedua orang itu

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 307
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

apabila dihitung-hitung dan digabung menjadi satu tak kan berada


dibawah Iwekang Siu Lian sendiri yang didapat dari gurunya. Oleh
karena itu, ia berharap supaya kedua bekas suami isteri itu
bertarung, sehingga salah seorang diantaranya ada yang cidera.
Hanya yang menjadi keheranan Siu Lian kedua nenek dan kakek itu
adalah bekas suami isteri dan dalam kata-kata mereka terkandung
juga sikap mesra sisa-sisa kenangan masa lampau. Akan tetapi
dibalik itu, tampaknya mereka' masing-masing mempunyai dendam
sakit hati dan saling membenci, serta kelihatannya benar-benar
hendak mengadu jiwa.
―Nenek keparat! Ternyata kau sudah berubah benar! Siapa yang
mengajarimu?!‖
―Huh, aku memperoleh dari orang yang menciptakan kitab
yang sekarang berada ditanganmu!‖ si nenek mengejek. ―Dan
kedatanganku sekarang ini untuk memenuhi permintaan beliau,
mengambil pulang kitab itu!‖
―Ha ha ha!‖ Cit Loo tertawa memotong. ―Tidak masuk diakal.
Omong besar! Apa mungkin tua bangka renta itu masih hidup? Lagi
pula kalau aku tidak mau memberikan kitab itu, kau atau barangkali
gurumu yang barangkali sudah menjadi gendakmu itu mau berbuat
apa?‖
―Tutup mulutmu! Atau kuhancur leburkan isi perutmu!
Keluarkan kitab!‖ bentak Gouw Nio. Bukan main gusarnya
mendengar orang telah menghina nama gurunya.
―Ha-ha ha! Sudah kukatakan, aku tidak akan memberikan!
Tetap tidak! Aku kembalikan nanti setelah aku rampung
mempelajarinya! Itupun setelah kurubah jadi abu. Ha ha ha…!!‖
Semakin memuncak kegusaran Gouw Nio, hingga ila lupa
barusaja mereka bermesraan. Dilolosnya dari pergelangan tangan
empat buah benda yang bentuknya mirip gelang, hitam llegam.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 308
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Bulatannya tidak reta, terbuat dari sejenios akar yang disebut akar
bahar. Dan inilah kiranya yang dinanti-nantikan oleh Siu Lian.
Apakah yang dapat dilakukan oleh si nenek dengan gelang akar
bahar seperti itu? dasar namanya juga masih muda, masih sedikit
pengalaman dalam kalangan dunia kangouw hingga ia tidak tahu
bahwa banyak para tokoh sakti yang menggunakan senjata yang
aneh-aneh yang justeru sangat berbahaya.
Si nenek segera melontarkan salah satu gelangnya. Cepat dan
disertai dorongan tenaga Iwekang yang dahsyat. Gelang itu melesat,
disusul dengan gelang kedua, ketiga. Rupanya dia kuatir gelangnya
yang pertama dapat dikelit oleh lawan.

HALAMAN 59 – 60 HILANG

Dengan memperdengarkan suara tawa yang lebar dan nyaring,


dengan mengerahkan tenaganya, Cit Loo menyambutkan pecutnya
ke depan dengan maksud melibat dua kapak bekas isterinya.
Namun dari gerakan pertama tadi, Tan Gouw Nio sangat gesit
seperti bajing. Demi melihat setiap serangan gelang-gelangnya
mengalami kegagalan, bahkan kini ia terancam bahaya, maka segera
ia lambungkan tubuhnya seperti setinggi beberapa tombak, hingga
dengan demikian ia dapat meloloskan diri.
Akan tetapi ketika ia sedang bergembira karena pada pikirnya
berada di atas, dengan kedudukan demikian ia dapat mengerahkan
tenaganya, tiba-tiba senjata tulang-tulang yang dipergunakan oleh
Cit Loo tahu-tahu telah terbang pula ke udara dengan tetap
mengarah pada dua kapak itu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 309
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Seperti hidup dan bermata, senjata pecut ruas-ruas tulang itu


meluncur. Hebatnya, senjata yang aslinya tidak sampai dua tombak,
ketika ternyata dia tidak dapat mencapai lompatan Gouw Nio,
dengan memperdengarkan suara mengkretek-kretek, bertambah
panjang hingga belasan kaki. Lalu dengan sifatnya yang seperti ular
hidup menyambar-nyambar. Dan kini ‗ular hidup‘ itu tidak hanya
hendak menangkap kedua senjata Gouw Nio saja, melainkan
mengarah ke seluruh bagian tubuh si nenek, malahan bagian jalan-
jalan darah yang terpenting yang diarahnya.
Bukan alang kepalang terkejutnya si nenek Gouw Nio. Sat ini
tubuhnya sedang melambung di udara, mujurnya ia dalak
kedudukan biasa, kepala di atas dan kaki di bawah, hingga dengan
demikian ia dapat memusatkan seluruh perhatiannya. Demikianlah
ketika pecut sambungan tulang sedang menyambar kakinya, segera
dengan gerakan yang mirip dengan gerakan kaki bangau, diputarnya
kakinya sedemikian rupa, sehingga ketika sambaran senjata lawan
datang, ia telah menghindarinya.
Lalu dengan cepat mendahului serangan Cit Loo. Selanjutnya
bekas isteri ini menggerakkan tulang-tulang baharya dan kini
dengan tenaga diceurahkan seluruhnya ia menyerang. Dalam
keadaan Cit Loo kerepotan menghindari serangan, maka Gouw Nio
melayang turun.
Demikianlah kedua bekas suami isteri itu tanpa mereka sadari
telah bertarung dengan mati-matian, dimana di sudut lain seseorang
telah mengintai.
Keduanya sama-sama memiliki gerakan simpaman yang aneh-
aneh dan ganas, membuat Siu Lian yang walaupun telah memiliki
kepandaian yang cukup tinggi, diam-diam merasa kagum juga.
Berkat kecerdasan otaknya, dapat juga gadis ini menangkap
beberapa gerakan kedua orang itu dan mencatatnya dalam hati.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 310
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tanpa mereka rasakan, dua ratus jurusan sudah mereka


lewatkan. Salas seorang belum menunjukkan tanda-tanda akan
mengalah. Mereka sama-sama tangguh karena agaknya mereka
memiliki kepandaian yang seimbang. Ketika itu, hari telah berganti
malam, rembulan telah muncul di langit, menggantikan kekuasaan
matahari menyinari bumi dengan cahaya yang gemilang.
Suatu saat, tiba-tiba berkelebat suatu siasat di kepala Cit Loo.
Ia ingat akan sifat-sifat isterinya ini, selama mereka bergaul sebagai
suami-isteri. Bahwa Gouw Nio paling takut apabila beertemu
dengan anjing, walaupun anjing itu masih kecil sekalipun. Gouw
Nio akan lari-lari terbirit-birit sambil ketakutan. Minta perlindungan
kepada Cin Loo. Kelemahan seperti ini akan dipeergunakan oleh
Cin Loo untuk menaklukkan bekas isterinya yang sekarang ternyata
sangat lihai.
Maka dengan gerakan-gerakan orang seperti memanggil anjing,
Cin Loo berseru-seru.
―Belang! Hitam! Putih! Hayo kalian sergap kedua kakinya!
Putih, terkam punggungnya! Cepat! Gigit!! Hayo!‖
Tentang nama-nama si Putih, si Hitam dan si Belang, saat ini
adalah nama-nama yang biasa dipergunakan oleh orang untuk
memberii naka pada anjing. Hasilnya ternyata betul-betul tak
terduga.

****

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 311
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

JILID 9

SAAT ITU, kedua-duanya telah bergebrak hampir pada jurus


ketiga ratus. Mereka belum ada yang mau menyerah, akan tetapi
senjata masing-masing telah banyak mengalami kerusakan. Gouw
Nio telah kelihangan tiga buah gelang baharnya. Sedangkan senjata
batok kepala manusia Cit Loo hampir seluruhnya hancur. Ruas-ruas
senjata pecutnya ada lima buah pula yang pecah hancur.
Sebenarnya melihat kerusakan senjata saja Gouw Nio telah
kebingungan. Semula ia mengira dengan kepandaiannya yang
sekarang, paling lama Cit Loo akan dapat bertahan hingga jurus
yang keseratus. Siapa duga hingga kini pada jurus yang ketiga ratus,
sama sekali ia belum merasa berada di atas angin. Bahkan kalau
dihitung-hitung ia lebih banyak mengalami kerusakan senjata.
Sungguh saat ini si nenek merasa sedikit cemas. Dan kecemasannya
ini kian berlipat ganda ketika mendengar Cit Loo memanggil-
manggil nama-nama anjing!
Disaat ini pula, pemusatan perhatiannya terpecah. Pembawaan
sifatnya yang dulu, belum juga hilang. Dengan demikian, maka
segera keadaan pertandingan berobah. Walaupun senjata Cit Loo

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 312
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

telah mengalami kerusakan pula beberapa bagian, akan tetapi masih


merupakan ancaman bahaya yang tidak kecil. Senjata si nenek
sendiri tinggal sebuah, sedangkan perhatiannya telah pecah oleh
rasa takntnya pada anjing. Dengan demikian tentu saja sinenek jadi
kalut dan kacau garakannya.
Ketika Gouw Nio sedang menarik kembali gelang baharnya
yang tinggal semata wayang, dan justru saat itu ia menyabatkan
kapaknya ke belakang punggungnya untuk membelah-belah Si
putih yang dikiranya benar-benar menerkam. Sungguh kasihan, dia
kena tipu mentah-mentah, pada detik itu pulalah ia bukannya dapat
mernbunuh anjing, melainkan dirasakannya pundak sebelah kanan
tiba-tiba saja sakit. Sebuah pukulan lawan telah mengenainya
dengan telak, sehingga si nenek merasa seakan otaknya ikut
tergetar. Barulah is sadar bahwa ia telah kena dikibuli.
Bukan kepalang gusarnya perempuan tua ini. Ia jadi nekad.
Sedang bagi Siu Lian yang sejak semula mengharap kebinasaan
salah seorang dari orang-orang tua itu, kini melihat cara bertarung si
kakek yang licik itu, ikut juga merasa penasaran dan gusar. Pada
saat ini andaikata si gadis tidak teringat bahwa si kakek dan si
nenek adalah orang-orang dari jalan sesat, tentulah dia sudah turun
tangan untuk membantui si nenek. Dengan mengeluarkan suara
gerengan keras seperti macan tutul, nenek keriput Tan Gouw Nio
melancarkan serangan nekad, dengan maksud mengajak mati
bersarna lawan. Ia rnaju tiga tindak, kemudian secepat kilat di
luncurkannya lengan kirinya maju, maka menyambarlah kedepan
gelang baharnya. Serta membarengi dengan itu, kapaknya disambit-
kan.
Gouw Nio tidak taHu, kearah bagian tubuh lawan yang mana,
senjatanya diarahkan. Karena saat itu, dirasakan pandangan jadi
gelap, langit pecah, bumi runtuh, dan tubuh nenek itu ambruk
ketanah dengan jantung yang surdah berhenti berdetak......

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 313
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sementara itu, melihat siasat berhasil dan kemudian


serangannya juga berhasil mengenai sasaran, maka bukan main
kiranya gembira hati Cit Loo. Diluar sadarnya karena kegembiraan
itulah ia jadi lengah. Ia lengah karena merasa pasti bahwa
gempurannya yang terakhir tadi, yang berkekuatan tidak kurang dari
lima ratus kati, tentulah bekas isterinya akan tewas seketika. Siapa
duga, tengah ia bergembira tiba-tiba gelang si nenek Gouw Nio
datang menyerang. Oleb karena jarak antara dia dengan si nenek
dekat sekali, maka sulitlah bagi Cit Loo untuk menghindarkan
sebagian serangan gelang bahar itu. Masih beruntung, gelang bahar
itu dilemparkan oleh tuannya seeara sekenanya saja, hingga
berakibat menyerempet bagian kulit lengan belaka. Akibat sentuhan
kulit manusia dengan akar tumbuh-tumbuhan itu, tidak
membekaskan luka apa-apa, apa lagi berdarah. Naraun suagguh
diluar dugaan, sedikit saja gelang bahar itu menyentuh kulit nya,
maka Cit Loo merasakan kesakitan dan kepanasan yang amat
sangat, hingga si kakek yang memiliki Iwekang sangat tinggi ini
jadi terkejut bukan alang kepalang.
Dapatlah dibayangkan, betapa andaikata gelang bahar itu tepat
mengenai sasaran. Justeru saat itu, sebelum sernpat ia memikirkan
sesuatu maka berkelebat datang bayangan yang berkerelip putih
menyilaukan. Itulah senjata kapak Tan Gouw Nio.
Benar-benar hebat. Nenek yang sudah tidak berdaya dan
harnpir maut itu. ternyata masih sempat melancarkan serangan yang
mematikan! Tapi mujur jugalah Cit Loo. Ketika kapak hampir
menancap tepat dipundak kirinya , tepat pada saat itu pula si nenek
rubuh binasa, sehingga tenaga bacokan kapak itu. tidak lagi sekuat
tenaga yang melontarkan akar bahar. Demikianiah, walaupun
pundaknya terluka berdarah, akan tetapi tidak membuat Si kakek
roboh.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 314
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Namun demikian disebabkan kejadian itu, rasa kagetnya makin


bertambah-tambah. Dilain saat rasa kaget itu berubah jadi
kegusaran. Tidak perduli apakah bekas isterinya itu telah mati atau
belum, segera diulurkannya tangannya lalu dengan kesepuluh
jarinya, ia meraup kepalanya Gouw Nio, untuk kemudian
diangkatnya tubuh nenek itu tinggi melampaut kepala. Caranya ini
sama seperti yang dilakukannya terhadap bayi korbannya beberapa
jam yang lalu.
Kembali dengan perbuataanya ini ia telah membuat Siu Lian
gusar bukan buatan. Bebe rapa saat kemudian, terdengar pekik puas
Cit Loo yang melengking rnenyeramkan.
―Ha ha ha! Perempuan keparat.", teriaknya. Dihempaskannya
tubuh Gouw Nio yang ting gal kulit belaka itu keatas tanah. Sedang
selu ruh tubuh kakek buas itu semakin merah, karena tidak sedikit
darah yang telah dihisapnya hingga wajah yang buruk itu tampak
menakut merab membara berkobar-kobar.
―Ya, aku harus berbuat demikian. Kalau tidak toh aku akan kau
jadikan bulan-bulanan percobaanmu! Hehehe ...!‖
Akan tetapi, terasa bekas luka bocokan kampak dipundaknya
ini panas dan perih sekali. Dirabanya luka itu, Dan Cit Loo terkejut.
Kiranya luka ini telah membendul besar dan bal!!
―Beracun? Bangsat kurang ajar! Beracun?!‖ Cit Loo memkik-
mekik berjingkrakan. Adapun racun ini bekerja sangat cepat.
Beberapa saat kemudian sudah jadi makin membesar. Masih
beruntunglah kakek ini. Agaknya Giam-loo-ong belum berniat
mencabut nyawanya saat ini. cit Loo teringat akan pelajaran
gurunya, bagaimana mengeluarkan racun dari badan.
Lekas-lekas diletakannya kedua telapak tangannya keatas
tanah. Kernudian dengan sebuah gerakan meletik, ia telah

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 315
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melakukan cara berdiri dengan berjungkir balik, kedua tangannya


dijadikan sebagai kaki.
Sebentar-sebentar Cit Loo berpindah tempat. Itulah yang
disebut ‗Hawa Kodok Iblis‘, sejenis ilmu pelajaran mengembalikan
aliran tenaga dalam. Orang yang menjalankan ilmu ini, pada saat itu
seluruh peredaran darahnya tidak berjalan normal sebagaimana
biasa melainkan seluruhnya memberikan tekanan kekanan dan
kekiri. Dalam hal ini, main besar tenaga Iwekang seseorang, maka
akan semakin kuatlah tekanan nafasnya, semakin besar dorongan
aliran darahnya, hingga jangankan baru kulit manusia, pembuluh
darah ataupun daging biasa, meskipun sepuluh lapis kulit sapi
takkan sulit untuk dapat ditembua.
Pada saat yang demikian apabila orang tersebut tidak segera
menjalankan ilmu penahanannya, maka dari seluruh lubang kulit
tubuhnya akan memancur keluar darah orang tersebut. Dan
pancuran darah itu akan berhenti apabila darah dalam orang tersebut
telah habis.
Percumalah Hek Ma-hie pencipta ilmu ini apabila ia dapat
membut ilmu yang dapat membahayakan diri itu, tidak lantas dapat
membuat penangkalnya. Tentu saja tak mungkin. Ia menciptakan
ilmu ini untuk kebaikan dirinya, bukan untuk membunuh diri.
Demikianlah, Kin Cit Loo dengan menghembuskan nafasnya,
segera beraturan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diajarkan
oleh Hek Mahie kepadanya, maka ia tahan memancurnya darah dari
seluruh pori-pori kulitnya sedemikian rupa sehingga hanya darah
yang mengandung racun saja yang membalik deras menuju ke
telapak tangannya. Kemudian ketika Cit Loo mengemposkan sedikit
tenaganya maka sedikit-demi sedikit melalui telapak tangannya
menetes-netes darah kental berwarna hitam.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 316
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ketika menggeserkan diri, maka pada tempatnya tadi, tampak


berceceran darah berwarna hitam yang menebarkan bau busuk.
Dengan cara demikian, setelah beberapa kali ia berpindah maka
dapatlah diharapkan usahanya akan berhasil.
Pada kepindahan tempat yang kelima, maka Cin Loo merasa
kebeningan pikirannya pulih kembali, dan gatal-gatalpun terasa
berkurang, badannya kembali segar.
Akan tetapi teringat kalau didalam tubuhnya terdapat dua
benda, sedangkan orang yang akan menjalankan ilmu itu, didalam
tubuhnya tidak boleh kedapatan suatu benda apapun.
Karena kuatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,
dilambungkannya tubuhnya tinggi-tinggi, kira-kira tiga tombak,
dengan tubuh tetap dengan kedudukan seperti tadi. Tidak
bergoyang. Pada detik selanjutnya, ia telah menurunkan kembali
tubuhnya ke tempat asal. Hanya pada saat tubuhnya masih
mengapung, ia kempiskan dadanya, hingga dengan demikian dari
dalam bajunya yang gedonbrongan, tampak terjatuh keluar dua
macam benda, yaitu sebuah peti putih dan sejilid kitab berwarna
merah.
Akan tetapi baru saja ia bermaksud untuk melanjutkan ilmunya,
tiba-tiba dihadapannya, berkelebat sebuah bayangan yang tidak
ketahuan lagi darimana arah datangnya.
Bukan main cepatnya gerakan bayangan itu, hingga ketika Cin
Loo baru hendak membalikkan peredaran darahnya dan bayangan
tadi telah menjemput peti putih itu.
Tak terlukiskan kagetnya Cin Loo akankegesitan orang yang
menurut dugaannya berada diatas kepandaiannya sendiri. Tetapi
dengan kejadian yang mengejutkan ini. Cin Loo menjadi sangat
gusar, merasa terhina sekali. Lebih-lebih lagi, ada orang yang
lancang memasuki guhanya, tanpa ia ketahui terlebih dahulu.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 317
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tamnpa memperhitungkan akibatnya, Cit Loo cepat-cepat


mengembalikan peredaran darahnya. Peredaran itu cepat sekali.
Namun walaupun dia agak lebih cepat sedikit dapat merampas
kembali peti itu, karena tadi dia melakukan gerakan perubahan di
dalam tubuhnya secara tiba-tiba, maka ketika ia melancarkan
serangan dengan kedua tangan diluruskan kedepan hendak
menghajar kepala bayangan yang baru muncul tadi, dari kedua
telapak tangannya menyembur keluar darahnya deras sekali.
Hebatnya, darah yang keluar bukanlah darah yang beracun belaka,
tetapi berikut darah bersihnya, menyembur keluar seperti pancuran.
Terkejut tak terkatakan si kakek buas ini. sesaat dirasakannya
isi tubuhnya ikut tersedot keluar. disaat itu juga barulah ia
menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
Bayangan yang baru muncul ini tidak lain adalah Siu Lian.
Kecuali Cit Loo yang terkejut karena bahaya yang mengancam diri
sendiri, agaknya Siu Lian pun terkejut bukan buatan. Ia berhasil
dapat merampas peti putih itu dan maksudnya hendak
menyingkirkan benda itu, untuk kemudian kembali lagi
memberikan hajaran kepada kakek buas dan kejam itu. akan tetapi
diluar dugaannya, tampak melesat dua gumpalan warna merah
hitam.
Gumpalan pertama dapat dihindarinya, akan tetapi gumpalan
kedua yang datangnya beberapa derik kemudian, Siu Lian tak dapat
mengelakkannya.
Tidak ampun lagi gumpalan merah menggulaung mukanya.
Dasar lagur, ketika gumpalan datang, karena terkejut, mulutnya
sedang terbuka lebar, hingga dikutkan baginya untuk menahan bau
amis busuk yang memasuki mulutnya. Sekejap saja dirasakan
tubuhnya menjadi berat sekali. Tenaga pada kedua belah tangannya
berlipat ganda, hanya pada saat itu dirasakan otaknya mejadi gelap.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 318
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Justeru pada saat pandangan menjadi samar ini, antara kelihatan


dan tidak. muncullah bayangan pecut berwarna putih yang beruas-
ruas meluncur kepadanya. Walaupun dalam keadaan sadar dan
tidak, akan tetapi Siu Lian masih dapat menduga bahwa benda itu
tentulah senjata Cit Loo.
Tidak ada jalan mengelak baginya, karena tubuhnya yang
dirasakan sangat berat, bahkan kesempatan untuk mencabut senjata
yang berada dipunggungnya saja sudah tidak ada lagi, sebab
bayangan putih pecut itu mungkin datang lebih dahulu menghajar,
maka jalan satu-satunya iapun nekat. Diangkatnya kedua tangannya
untuk menyambuti serangan senjata pecut ruas-ruas tulang itu, yang
ia tahu sangat lihai bukan main.
Akibatnya sungguh diluar dugaan keduanya. Pada saat itu,
sebenarnya Siau Lian telah memejamkan matanya, pasrah pada
nasib. Menyesal sekali ia karena akan menemui ajal dalam keadaan
seperti itu. dendam sakit hati orang tuanya belum terbalas, tetapi
apa daya. Rasanya percuma saja ia telah membuang waktu.
Bersusah payah selama sepuluh tahun memperdalam ilmu.
Akan tetapi seperti tidak masuk akal. Termasuk juga Cit Loo
yang mempergunalan senjata itu. senjata sambungan ruas-ruas
tulang itu hancur lebur ketika membentur tangan kanan Siu Lian,
sedangkan Cit Loo merasakan tangannya bergetar sepeerti
menusuk-nusuk sumsum.
―Celaka!‖ Cit Loo menjerit kaget. Kalau tadi ia dibikin kaget
oleh tenaga Iwekang si nenek Gouw Nio yang dapat
menghancurkan setengah dari batang stalagtit, maka sekarang
berlipat-lipat kagetnya malihat kemampuan dara yang baru muncul
ini, yang ternyata bisa merusakkan senjatanya denganmudah.
Akibatnya dari kaget,maka Cit Loo jadi ketakutan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 319
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Bagaimana tidak? senjata pecut ruas-ruas tulang itu, cara


pembuatannya luar biasa. Senjata itu mula-mula dimandikan
dibawah sinar matahari selama setahun lebih. Setelah itu direndam
sibawah tumpukan salju untuk jangka waktu paling tidak selama
tiga bulan. Dan selanjutnya setelah disimpan beberapa lama untuk
melihat ketangguhannya, barulah kemudian bisa digunakan.
Selama lima tahun malang melintang dikalangan Kangouw,
Kim Cit Loo denganmempergunakan senjata tulang ini, belum
pernah menemukan tandingan. Selama itu, senjata musuh yang
bagaimanapun akan hancur, baik logam biada maupun logam
simpanan tak pernah sanggup menghadapi pecut itu.

Siapa duga, hari ini senjata yang sangat ampuh dan diandalkan
sekali itu. dapat hancur berantakan terkena pukulan tangan seorang
perempuan muda dan dia masih bidup, sementara Cit Loo sendiri
rnerasakan nyeri hingga ketulang sumsumnya.
Olele, karera itu, sebab takutnya, tanpa pikir terhadap kitab
ataupun peti putih itu, Cit Loo segera angkat kaki, kabur secepat-
cepatnya.
Sama sekali Cit Loo tidak menyadari, bahwa bersamaan dengan
dia melesat keluar dari guha, Siu Lian sendiri rubuh pingsan. tntah
berapa lama gadis itu rebah mene lungkup. Ia tersadar ketika sinar
matabari rnenyelinap masuk kedalam guha, membuat cuaca terang
ditempat itu.
Apalzah sebeaatnya yang terjadi?.
Sebenarnya sebagai seorang yang meyakinkan ilmu
mengeluarkan racun, haruslah Cit Loo menyadari. Akain tetapi
karena ilmu ini diperoleh dari Hek Mahie bukanlah karena dia
menjadi murid aku-akuan belaka. Sama sekali Cit Loo tidak

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 320
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

menyadari bahwa setiap bisa atau racun yang masuk kedalam


tubuhuhnya, pasti mendapatkan perlawanan pada waktu itu, oleh
karena la membalikkan peredaran darahnya. Sebagian besar darah
putih yang beredar dalam tubuhnya akan membentuk pertahanan,
sehingga akibat dari persenyawaannya dengan racun itu, akan
menghasilkan ‗anti racun‘ yang sangat kuat sekali.
Itulah sebabnya, walaupun tidak seberapa banyak Siu Lian
‗minum‘ itu, akan tetapi tenaganya bertarnbah bebat berlipat ganda,
hingga sekali bentur dengan pecut tulang Cit Loo, maka senjata
itupun hancur berkeping-keping.
Mula-mula Siu Lian agak tak yakin bahwa dirinya masih hidup.
Menilik pantasnya, sedangkan sinenek Gouw Nio yang juga kosen
segera tewas terkena pecut tulang itu, apa lagi dia, yang telak-telak
menerima hantaman senjata itu deagan tangan.
Tetapi akhirrya pemudi ini insyap juga, babwa dirinya memang
masih hidup. Ditelitinya keadaan disekitar guha ini, ternyata kakek
buas Kim Cit Loo itu sudah lenyap entah telah kemana. Tidak
terlihat walaupun hanya bayang-bayangannya.
Sunyi sekali, dan menyerarnkan suasanansia Apalagi melihat
bagkai si nenek Gouw Nio yang tinggal kulit berlipat-lipat itu,
sungguh ngeri dan sedih rasanya. Bergidik rasanya, mem
bayangkan kekejaman ilmu si kakek Cit Loo yang dahsyat itu,
Siu Lian jadi terberan-heran, ketika terlihat dilantai guha
terdapat tanab legok yang bentuknya mirip manusia menggeletak, ia
tak tabu babwa sebenarnya tanab legok itu terjadi ketika ia terjatuh,
dan "mencap" lantai guha itu. Demikianlah, karena badannya yang
menjadi lebih berat berkali-kali lipat, begitu jatuh terbanting, maka
menimbulkan bentak cap manusia. Betapa dabsyatnya!
Selang beberapa saat, barulah ingatannya terhimpun kembali.
Terlintas dalam pikirannya, apa yang baru saja terjadi atas dirinya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 321
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Seketika itu juga terasa mulutnya asin, dan bau amis menguar dekat
sekali. Hingga akhirnya dia ingat bahwa ia secara tak sangaja
menelan gumpalan darah. Seketika itu pula, perutnya terasa mual.
Cepat-cepat ia mengatur pernapasannya. Serta kemudian duduk
bersemedi untuk melakukan siulian. Setelah dirasakannya tubuhnya
kembali segar, ia membuka matanya kembali. Tiada lagi terasa
perut mual, atau mulut asin bau amis. Bahkan yang membuat ia
keheranan, adanya tenaga yang bertambah besar.
Lega hatinya, ketika didapatkannya kitab dan peti putih itu
masih berada disitu, tidak kurang suatu apa. Diarnbilaya kedua
barang itu. Tanpa pikir apa isinya itu, langsung dimasukanuya
kedalam saku.
Peti putih yang sejak semula sudah dicurigainya, segera
dibukanya. Seluruh bagian peti itu berlapis kulit kecil putih, dan
memberi bentuk seperti sebuah dus tempat bedak. Dan didalamnya
terdapat suatu bcnda yang membuat Siu Liam tersentak keras.
Sebuah benda berbentuk singa-singaan berwarna hijau.
Matanya bersinar-sinar, seakan hidup. Entah terbuat dari logam apa,
namun mena rik hati sekali, akan tetapi juga aguag berwibawa.
Seketika itu juga, Siu Lian berlutut diha dapan benda kecil itu.
Kiranya benda inilah tanda lambang kepartaian Ceng Hong-pai,
yang kemudian dengan khidmad dan hormatnya benda itu
diangkatnya, untuk kemudian dikembalikan ke tempatnya.
Akan tetapi, ketika tangannya baru saja hendak meletakkan
lambang partai itu, tiba-tiba terlihat olehnya sebuah lipatan kertas
yang mirip surat. Segera diambilnya surat itu, keti ka dibukanya,
kiranya benarlah sebuah surat yang bertuliskan lima belas kata :

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 322
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Disampaikan kepada cianpwe Kim Cit Loo untuk dihaturkan


kepada Loo-hiap-kek Hek Mahie Luciepaong. Dari saudara muda
mu Ong Kauw Lian, Nepal !"
Singkat sekali isi surat itu, akan terapi bagi Siu Lian kiranya
berarti besar. Jelaslah kini siapa yang mencuri benda puiaka ini,
juga dimana adanya Ong Kauw Lian yang merupakan musuh besar
yang sedang dicari-carinya.
Beberapa saat Siu Lian menengadahkan muka, serta
merangkapkan kedua tangannya untuk mengucap syukur kehadiran
Tuhan Yang Maha Kuasa, yang kiranya telah melakukan keajaiban
ini.
Lekas-lekas dengan tidak mempedulikan segala sesuatu yang
ada disekeliiingnya ia tinggalkan guha Cit Lou. Ketika itu matahari
telah naik tinggi. Iapun baru tersadar kalau ia telah meninggalkan
Hong In lebih dari delapan jam.
Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya yang telah
mencapai tingkat tinggi, Sin Lian kembali kebotelnya. Hanya
kurang lebin satu jam ia telah tiba, langsung ia menerobos masuk
melintasi kamar kuasa hotel.
Melihat kehadiran Siu Lian yang sangat tiba-tiba ini, kuasa
hotel dan beberapa orang jongos jadi terheran-heran.
―Nona Apakah hendak bermalam pula?" tanya salah seorang
diantara mereka.
Siu Lian merasakan adanya firasat kurang baik. Ia kuatir, kalau-
kalau Hong In ngambek dan meninggalkan dirinya, yang berarti
akan membuat urusan tambah ruwet saja.
―Nona, Kawanmu sudah pergi sejak tadi pagi-pagi!" kata
seorang jongos.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 323
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Tidak meninggalkan pesan?‖


―Tidak !" Jongos tadi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pada
pagi-pagi tadi, kami dapatkan kamar kosong melompong. Nona
tidak ada kawan nona juga tak ada, barang-barang juga bersih.
kecuali sepotong uang perak seharga delapan tahil.‖
―Dan kamar itu akhirnya kami sewakan kepada tamu-tamu
yang lain.‖ kata kuasa hotel menyembungi.
Siu Lian mengerti maksud kuasa hotel berkata setengah
memohon ini. dan ia juga bukan orang yang suka membuat
keonaran. Kamar sudah disewa orang lain, ya sudah. Hanya yang
disesalkan adalah sikap Hong In yang selalu hanya menuruti
keinginan-keinginan spontan tanpa banyak pikir atau timbang-
timbang.
Akhirnya, setelah pikir-pikir tak ada gunanya lagi di tempat itu
maka iapun berpamitan pergi. Di luar Siu Lian jadi bingung, karena
ketika ia merogoh sakunya disana hanya terdapat sepotong uang
perak seharga sekali makan. Uangnya seluruhnya berada dalam
buntalan yang mungkin dibawa oleh Hong In.
Ketika perut sudah tak tahan lagi karena lapar, Siu Lian
memasuki sebuah rumah makan, walaupun dengan hati kebat kebit.
Di tempat itu kebanyakan tamu-tamunya kaum buruh biasa.
Lega juga hatinya, ketika ternyata setelah dihintung-hitung,
uangnya masih menyisa delapan chie. Dengan sisa ini ia membeli
secarik kain yang cukup dipakai untuk membuntal cap
kepartaiannya dan juga kitab Cit Loo. Pada pikirnya, kitab ini akan
diberikannya pada Hong In, seseorang yang dianggapnya wajib
memiliki benda ini.
Hari ini, sepanjang malam Siu Lian menjelajahi kota Giok
Kang Cian. Telah mencari-cari Hong In tidak dapat juga ditemukan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 324
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Iapun mencari tempat istirahat dalam sebuah kuil tua, bila perlu
untuk bermalam juga.
Menjelang kjam tiga pagi, ketika terdengar suara kentongan
tiga kali. Siu Lian keluar dari dalam kuil.
Mengerahkan ilmu meringankan tubuh, ia berloncatan melalui
genteng-genteng tumah penduduk menuju ke arah selatan. Itulah
bagian kota tempat hartawan-hartawan bertempat tinggal.
Kebanyakan rumah-rumah disitu bertingkat, setidaknya
bertingkat tiga. Centeng-centengnya berkeliaran menjaga sekitar
pekarangan gedung.
Akan tetapi pada saat itu, tanpa para penjaga rumah-rumah itu
menyadari, kedalam gedung besar bertingkat lima, tampak melesat
sebuah bayangan hitam. Dan beberapa detik kemudian, bayangan
hitam itu telah keluar lagi. Ditangannya terjinjing bungkusan uang.
Bayangan itu cepat melesat ke arah utara. Lalu memasuki sebuah
kuil rusak yang sepi. Itulah Siu Lian yang terpaksa mencuri
sejumlah uang emas. Ia hendak membuat perjalanan jauh dan perlu
sekali biaya.
Keesokan harinya, pagi buta sedang ayam jantan berkokok. Siu
Lian telah terjaga dari tidurnya. Setelah mencuci muka, maka ia
meninggalkan kota Giok-kang-cian! Dengan tujuan yang sudah
tetap. NEPAL!

****
Kemanahkah Hong In pergi? Mengapa ia membawa semua
barang-barangnya berikut buntalan Siu Lian, hingga Siu Lian
terpaksa melakukan pencurian?

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 325
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Pagi itu, ketika ia tersadar dari tudurnya, ia jafdi terkejut ketika


mendapatkan temannya tidak ada. Pintu dan jendela tertutup
sebagaimana biasa. Hong In membuka jendela dan melompat
keluar, barangkali Siu Lian sedang melatih diri?
Tetapi sampai setengah jam lamanya ia mengitari keliling
hotel,tidak juga ditemukan orang yang dicarinya. Bayangannya pun
tidak!
Akhirnya, karena kesal iapun balik kembali ke kamarnya.
Dikemasinya seluruh barang-barangnya, termasuk pula buntalanSiu
Lian dibereskannya. Tanpa memberitahu kepada kuasa hotel, ia
meninggalkan tempat itu, setelah meninggalkan sepotong uang
perak di meja da;am kamarnya.
Di luar pintu kota, dilaluinya sebuah toko yang menjual anjing-
anjing dan kuda-kuda mongol. Setelah memilih seekor yang
berwarna hitam, tanpa menawar, dibayarnya kuda itu. memangnya
pembayaran itu sangat tinggi, maka pemilik toko itu jadi
kegirangan.
Dengan tangkas Hong In menceplak punggung kuda. Ketika
kedua kakinya menjepit kuat-kuat pada perut binatang itu, maka
kuda itu melesat kabur secepat terbang.
Sebentar saja, lima lie telah dilalui. Pikirannya kacau, juga
kecewa, mengira bahwa kepergian Siu Lian itu merupakan sikap
yang memandang rendah sekali kepadanya. Mengapa tidak
mengajakku? Atau setidak-tidaknya meninggalkan hendak
kemana?!
Dengan tidak menemukan halangan suatu apa , telah empat
belas hari ia menempurh perjalanan. Ketika tiba pada sebuah hutan
padang rumput, terasa haus bukan main, karena kecuali matahari
pada saat itu sedang naik tinggi tepat berada di atas kepala, juga di

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 326
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

sekitar tempat itu tidak terdapat sumber air ataupun sebatang anak
sungai, sehingga sampai saat ini Hong In belum minum.
Setelah berpayah-payah mengitari padang rumput itu, maka
ketika matahari hampir terbenam, ditemuinya sebuah anak sungai
yang melintang dari utara ke selatan. Airnya jernih, dan tanpa
membuang waktu lagi Hong In meneguk air beberapa tenggak
sehingga badannya kembali terasa segar. Sehabis memberi minum
kudanya pula, Hong In bermaksud menceplak binatang itu untuk
melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, sedang ia baru saja hendak dudukkan badannya di
punggung kuda, matanya yang tajam melihat sekelebat bayangan
yang berlari ke arah utara.
Cepat sekali lari bayangan itu. akan tetapi Hong In masih dapat
melihat bahwa bayangan itu berpakaian kedombrongan dengan
katun India. Seketika itu juga semangat Hong In terguggah, ia yakin
bahwa orang itulah yang telah mencuri peti putih dari bawah
bantalnya. Cuma bedanya bayangan ini tidak berkuncir dan selama
melarikan diri selalu memekik-mekik.
Seketika Hong In sudah menghunus pedangnya untuk
mengejar. Akan tetapi segera teringat bahwa lawan sangat lihai,
diatas tingkat kepandaiannya sendiri. Maka sambil menunggu
gelagat, ia hanya menguntit dengan perasaan meluap-luap dan hati
panas.
Mengagumkan kecepatan lari bayangan ini. dengan masih tetap
memekik-mekik, menggunakan bahasa yang tidak sedikitpun Hong
In dapat memahami, bayangan itu terus berlari dengan kecepatan
yang makin lama makin cepat.
Semula Hong In mengira bahwa bayangan itu telah menjadi
gila, sebab memekik-mekik tidak karuan juntrungannya. Akan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 327
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tetapi terdengar sahutan. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara


pekikan yang serupa.
Sebenarnya sejak Hong In membuntuti, bayangan tadi telah
menyadari bahwa dirinya telah dikuntit oleh seorang pemudi. Akan
tetapi karena agaknya ada urusan yang sangat penting sekali, ia
tidak mempedulikannya, melainkan mempercepat tindak
langkahnya, sehingga walaupun Hong In telah megerahkan seluruh
kemampuannya, ia masih juga semakin ketinggalan.
Pekikan-pekikan bayangan itu, semakin keras menyambut
pekikan-pekikan yang datang dari arah depan. Bayangan itu tampak
sudah binggal berupa sebuah titik belaka.
Maka kini tampak dua buah titik dikejauhan sana. Yang satu
datang dari arah depan bergerak pesat juga seperti titik yang
sebenarnya adalah bayangan berpakaian kedombrangan itu.
Sekonyong-konyong ketika kedua titik itu telah saling
mendekati, mereka melenting ke udara tinggi sekali. Mereka
tampaknya seperti sedang bertarung.
Tadimereka sahut menyahut dengan pekikannya. Mengapa
sekarang jadi baku hantam? Tak lama kemudian Hong In datang di
tempat itu.
Dan jelaslah kini apa yang sebenarnya terjadi. Bayanganyang
dikuntit tadi, yang ternyata adalah seorang asing, bermuka kuning
menyeramkan. Rambutnya dikonde ke atas. Orang ini sedang
bertarung dengan seorang pemuda tampan yang bersenjatakan
pedang.
Ada dua prang lagi yang tidak ikut bertarung. Seorang ading
bermuka merah seperti bara. Buruk dan menyeramkan. Hanya
kelihatannya dia ini telah terluka. Matanya seperti tidak bisa

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 328
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

melihat. sedangkan dibawahnya menandakan tanda-tanda darah


yang sedang mengering.
Yang seorang lagi adalah seorang pemuda pula. Kehadirannya
di tempat itu, tampaknya hanya menonton, atau mungkin juga
karena ia menjadi teman salah satu pihak, yang mana pihak itu tidak
memerlukan bantuan lagi.
Sipemuda yang melayani bayangan muka kuning itu, care
bertempurnya sangat tenang, akaa tetapi serangannya sungguh aneh,
cepat juga berperibawa, seakan dapat mempengaruhi gerakan
lawannya. Tampaknya ia tidak perlu kuatir akan berada jatuh
dibawah angin. Setiap serangan orang bermuka kuning itu,
disambutinya dengan baik, lalut berbalik secara tak terduga ia balas
mendesak.
Hong In terus menonton pertarungan dari tempat
semnbunyinya. Hatinya sangat tertarik. Sejak usia dua belas tahun
ia telah mengikuti kedua gurunya, menuntut ilmu. Disamping itu
walaupun ia hanya mengikuti kedua gurunya ini, akan tetapi berkat
ketekunan dan kecerdasannya, dalam waktu tujuh tahun ini, cukup
banyak pengetahuan dan pengalamannya tentang berbagai cabang
ilmu pedang yang ada dikalangan kangouw.
Namun demikian, ia benar-benar tidak mengetahui ilmu pedang
yang dimainkan oleh si pemuda tampan tadi.
Lama Hong In sudah memperhatikan dengan seksama, tetapi
tetap juga ia tidak dapat menduganya, dari golongan manakah ilmu
pedang pemuda itu. ia melihat ilmu pedang si pemuda cepat seperti
angin! bahkan tepatnya disebut ilmu pedang angin saja. sebab
gerakannya sangat cepat, hampir tak terlihat, akan tetapi bahayanya
bagi lawan sungguh mengerikan! Setiap saat melontarkan ancaman-
ancaman maut yang tidak terduga.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 329
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dalam kagumnya ini, Hong In tenggelam dalam pikirannya


sendiri. Tiba-tiba ia teringat sesuatu! Bukankan ia tadi telah
menguntit seseorang yang begitu sangat dicurigainya. Orang itu
bermuka kuning?! Mungkinkah dia ini? si iblis muka kuning?! Dia
bermuka kuning dan berkebangsaan India! Mungkinkah?!
Sedang Hong In belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba
terdengar suara teriakan orang bermuka kuning itu. teriakannya
seperti memberikan aba-aba.
Menyusul kemudian, belum sempat Hong In menduga apa yang
dimaksud oleh teriakan itu, maka orang bermuka merah itu
memperdengarkan teriakan yang serupa! Sekonyong-konyong pula
ia telah melancarkan serangan ke arah Hong In. walaupun orang itu
kedua matanya tidak dapat melihat, akan tetapi gerakannya sangat
cepat. Sebentar saja telah tiba di hadapan Hong In. dengan gerakan
yang tidak kalah hebatnya, Hong In melompat ke samping kanan
sambil menghunus pedangnya, siap untuk mengirim serangan
balasan.
Tetapi sungguh gadis ini menjadi kecele! Ternyata kakek muka
merah itu bukannya menyerang dengan sesungguhnya, hanya gertak
belaka untuk mencari jalan buat kabur.
Demikianlah, dengan mempergunakan kesempatan ketika Hong
In menyingkir, orang muka merah itu menjejakkan kakinya ke kiri,
untuk kemudian tubuhnya melayang ke arah semak-semak rumput
yang lebat. Ketika Hong In bermaksud mengejarnya, ia hanya
mendapatkan tempat kosong belaka. Orang muka merah itu sudah
tak kelihatan bayangannya.
Disaat itu pula, terdengar pekik kesakitan si kakek muka
kuning. Lalu terlihat tubuhnya mencelat kabur menyusul kawannya
meninggalkan ceceran darah yang menyembur dari sebelah
lengannya yang telah terpapas buntung.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 330
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sebenarnya, waktu si kakek muka kuning ini yang tidak lain


adalah Oei Mokko, meneriakkan suaranya agar pergi menyingkir,
karena keadaannya sudah menar-benar terdesak hemat. Sebagai
juga Hong In ia terheran-heran menyaksikan ilmu pedang lawan
yang sama sekali tidak dapat diketahui dari cabang persilatan mana.
Seluruh tipu-tipu silat pemuda itu, yang tidak lain adalah Lie Sin
Hong teramat cepat dan susah diduga.
Oei Mokko walaupun ia berkebangsaan India, akan tetapi sudah
dua puluh tahun lamanya ia menjagio hampir tiga perempat tanah
Tionggoan, boleh dibilang hampir segala ilmu silat dari cabang
yang manapun telah dikenalnya. Tetapi kali ini bertemu lawan
seorang pemuda ini, jangankan dapat mengalahkannya, mengenal
ilmu silat lawannyapun tidak!
Pedang lawan bergerak seperti angin dan orangnya
berkelebatan seperti bayangan. Sejak pertama kali bergebrak, Oei
Mokko selalu menubruk tempat kosong. Sekali waktu sempat ia
melihat lawannya di sebelah kanan. Ia segera menerjang kesana.
Akan tetapi lawan tiba-tiba lawan telah berada dibelakang
tubuhnya, sehingga ia seakan dilibat oleh angin yang berputar-putar
membingungkan.
Begitulah, karena menduga bakal kalah, maka Oei Mokko
memberi aba-aba saudaranya untuk kabur, sedang dia sendiri,
begitu melihat kelonggaran segera melompat pergi.
Tetapi malang baginya, pedang Sin Hong masih sempat
menyabet tangan kanannya, hingga buntunglah akibatnya tangan
kanan iblis muka kuning ini! untunglah Sin Hong tidak mengejar
lebih jauh. Bukankah dengan membutakan matanya Ang Mokko
dan membuntungi lengan kanan Oei Mokko itu sudah cukup?
Menurut dugaan Sin Hog yang memang masih hijau, dalam
kalangan kangou, kedua iblis itu akhirnya akan menyesal dan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 331
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

insyaf, kapok! Dia tidak memperhitungkan bahwa, bagi kedua iblis


bangkotan itu, mana mengenal kapok apalagi menyesal?!

―Tua bangka muka merah! Muka kuning, Hari ini kuampuni


jiwa anjing kalian! Tapi jangan diharap dilaiu waktu, bila kalian
berbuat lagi ........ Eh, adik Giok!" Seru Sin Hong mernanggil Giok
Hoat Kong pemuda yang juga duduk diluar pertarungan itu.
Sin Hong hendak membicarakan sesuatu, akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda, bersama munculnya sebuah
bayangan baju merah yang melekat dipunggung binatang itu.
Tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya, bayangan mcrah itu
yang bukan adalah Hong In, melarikan kudanya mengejar kearah
jalan yang ditempub Oei Mokko. Semnla Sin Hong bermaksud
tidak mau tahu urusan orang, akan tetapi segera dilihatnya pemuda
tampan Hwat Kong ternyata berlari memburu si baju merah, maka
Sin Hong mengejar sambil berseru:
―Tunggu! Mau kemana kau?!"
Tetapi Hwat Kong tidak peduli. Dengan raengerahkan seluruh
kepandaian lari cepatnya ia berusaha mendekati kuda yang
ditunggangi oleh si baju merah.
Oleh karena mereka berlari cepat menerobos semak belukar,
maka kuda yang ditunggangi oleh si baju merah itu jadi sering
terhalang. Sebaliknya, baik Oei Mokko ataupun Ang Mokko juga
Hwat Kong data Sin Hong dapat berlari dengan leluasa, melompat-
1ompat atau pun menerobos.
Tak lama kemudian Sin Hong dapat roe nyandak Hwat Kong.
Dan keduanya akhirnya dapat menyusul si baju merah, yang

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 332
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

kemudian membuat mereka keheraaan, sebab penunggang kada itu


kiranya adalah seorang data remaja cantik.
Data itu memang Hong In, tentu saja cantik dan juga cepat
membuat laki-laki terpikat hatiaya untuk sekali pandaug.

Diam-diam dalam hati Sin Hong mengeluh.


―Rupanya dara inipun begitu dendam ke pada India itu, Ah,
benar-benar iblis itu terlalu besar dosanya. Pastilah urusan hutang
jiwa juga.,.... !
Hong In tahu bahwa dirinya diikuti oleh dua orang pemuda
tampan. Akan tetapi seluruh perhatiannya sedang tercurah kepada
dua orang musun besarnya. Mereka tak boleh lolos. Ia bertekad
untuk mengadu jiwa dengan kedua pembunuh orang tuanya itu, bila
perlu sanipai titik darah pengbabisan.
Ang Oci Mokko berlari sipat kuping, menerobos hutan belukar
untuk menghindarkan jejak dari pengejar-pengejarnya. Akan tetapi
hal itu sulit. Karena mereka selalu menjerit-jerit sepanjang jalan
tetutama sekali Ang Mokko yang tidak tahu jalan juga ceceran
darah dari luka mereka merupakan penunjuk jalan bagi pengejar
pengejarnya.
Sin Hong naempertinggi pengerahan ginkangnya. Entah
mengapa hatinya merasa tertarik melihat wajah gadis baju merah
itu. Bukan karena dia seorang pemuda yang hidung belaag, akan
tetapi setelah rnemperhatikan bentuk wajah dara itu, Sin Hong
seperti teringat pada seseorang.
Diam-diam sambil mengamati dari dekat wajah Hong In, Sin
Hong mengingat-ingat. Hm, dara baju merah! Dara berpita merah!
Sepatu merah! Serba merah! Dimana? Dimana aku pernah
mengenal dia ini ….. !

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 333
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Tiba-tiba Sin Hong hampir melompat kegirangan, karena


teringat akan perjalanannya sepuluh tahun yang lalu bersama
Balghangadar. Mereka pernah menyambangi keluarga Oei
Kechung!
―Tidak salah !" seru Sin Hong selanjut nya. ―Bukankah nona ...
nona Oei?"
Seketika Hong In menarik kenbali kudanya. Lalu dengan mata
membelalak, ia menatap ke arah Sin Hong.
Lalu seperti orang kaget dan gugup, cepat sekali ia meuabok
pinggang kudanya. Kuda itu pun melompat pula, berlari dengan
sangat cepatnya.
Sebenarnya Hong In sendiri memang rasa-rasa perrah melihat
pemuda tampan yang berilmu sangat tinggi itu. Akan tetapi kapan,
dia tak ingat lagi. Ingin sekali ia menegurnya, akan tetapi mendadak
dirasanya jantungnya berdebar keras ketika melihat ketampanan
peenuda yang dapat mengalahkan kedua musuh besar keluarganya
itu. Lagi pula, ia kuatir Ang Oei Mokko dapat lolos dari pengejaran,
maka ia lebih baik membalapkan kudanya. Urusan lain toh dapat
diselelsaikan nanti.
Tetapi Sin Hong dapat berlari menjejeri kuda itu. Bahkan sarna
sekali dia tidak tampak ngos-ngosan, karena Iwekangnya yang
sudah mencapai tingkat tertinggi. Dan hal ini tambah mernbuat
kagurn Hong In belaka.
―Nona …. belum lama aku menyambangi Oei kechung lagi,
tetapi ….. seru Sin Hong.
―Bagaimana kau bisa nuengenalku?" Akhirnya Hong In
menjawab juga.
―Aku adalah tamu kecil dirumahmu, dulu sepuluh tahun yang
lalu, bersama sahabat ayahmu, Balghangadar....‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 334
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Oh !" Hong In terpekik. Ia ingat sekarang. Benar, ia ingat


bahwa saat itu orang tuanya pernah mernperkenalkan kedua orang
tamu yang pernah berkunjung kerumahnya. Saat itu Hong In masih
gadis kecil kuciran. Kini pemuda itu telah menjadi demikiau
lihainya, tambah devvasa dan .... tampan sekali. Begitu pula, Hong
In sendiri menyadari bahwa dirinya sudah bukanlah gadis yang
ingusan lagi.
Terpikir yang demikian, Hong In merasa malu sendiri.
Disamping mereka berdua, masih ada pula seorang pemuda tampan
pula yang tampaknya genit, dan selalu memandangi Hong In
dengan mulut cemberut.
Terhadap pemuda yang terakhir ini, Hong In tidak
mengenalnya tetapi mengapa pemuda itu tampaknya membencinya?
Hong In jadi sebal melihatnya.
―Nona, kukira kedua iblis itu takkan bisa lari terlalu jauh.
Mereka terluka!" kata Sin Hong.
―Teritna kasib atas bantuanmu. Tetapi mengapa kau
melepaskannya? Bukankah sudah tahu bahwa mereka itu musuh
besar .... "
―Punya musuh besar sih, orang lain yang rnembalaskan sakit
hati, mana patut?!" Tiba-tiba saja Giok Hwat Kong memotong
bicara.
―Siapasurulli?" Hong In membentak karena tersinggung.
Dengan matanya yang bundar, gadis baju merah ini melotot kearah
Hwat Hong. Kau kira aku tak sanggup melakukan sendiri?
Membunuh monyet tua seperti itu apa susah nya!"
Sebenarnva Hong In sendiri tak yakin pada kata-katanya,
Namun karena rnarah, maka ia berkata asal ceplos saja.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 335
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Hwat Kong menjebikan bibirnya. Sedangkan Sin Hong jadi


bingung. la tak tahu, mengapa kedua orang kenalan barunya ini
tahu-tahu jadi seperti bermusuhan.
―Yah, kalau cuma membunnh monyet-monyet tua yang sudah
luka barang kali dengan mata meram semua orang juga bisa! Tetapi
aku tidak percaya bahwa kau dapat begitu mudah melawan rnereka,
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Ang Oei Mokko? kalau
bukannya Lie-ko yang melakukannya, agaknya sulit diharap.‖
Mendengar disebutnya nama Lie ko, nama si pernuda tampan
yang berilmu tinggi nu. Hong In tersenyum dalam hati. Niatnya
untuk menanyakan nama pemuda itu sudah ada yang
menjawabnya.. Ia ingat persis sekarang bahwa nama pemuda
teatulah Lie Sin Hong. Nama yang jadi dapat diingatnya sekarang.
―Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar?" Sin Hong menukas.
"Kewajiban rnembiasakan Aug Oei Mokko itu merupakan
kewajiban bersama bagi orang-orang gagah. Tak perlu diributkan
lagi. Barangkali sudah waktunya kedua perusak dunia ini akan
tamat riwayarnya!"
Mendengar akan ucapan Sin Hong yang agak condong
rnembantu dirinya, Hong In berberdebar hatinya. Namun mendadak
ia terkejut, ketika ia tiba-tiba kuda tunggangannya lompat maju,
meringkik kesakitan sambil mencongklang sangai pesat kedepan,
―Bangsat cilik! Kau apakan kudaku?!" bentak Hong In.
―Katanya mau menangkap Ang Oei Mokko. Kenapa pakai
ngobrol apa segala?!" sahut Hwat Kong seraya menjebikan
bibirnya, dan menyeret tangan Sin Hong untuk mempercepat larinya
mengejar.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 336
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dengan mengikuti tetes-tetes darah yang masih terlihat tercecer


diatas tanah, maka mereka membayangi Ang Oei Mokko yang kini
sudah tidak lagi kedengaran suaranya.
Saat itu hari telah mulai rernang kembali. Layung senja merah
telah bertukar dengan kegelapan. Dan mereka kiini masih berada di
antara semak belukar, yang mereka tidak tahu dimana batasnya.
Tentu sija dengan adanya perubahan cuaca ini, mereka tidak
mungkin lagi dapat menjejaki jejak berdarah yang dibekaskan oleh
buron mereka. Lagi pula, dalam keadaan malam seperti ini,
mengejar musuh yang tak ketahuan dimana beradanya, amatlah
berbahaya.
Setiap saat, mereka bisa saja membokong. Oleh karena itu,
walaupun tidak bersepakat terlebih dahulu, mereka bertiga
menghentikan perjalanannya.
―Tak mungkin mereka berani membokong" kata Hwat Kong
seakan dapat menduga jalan pikiran kedua temannya. Kalau kita
berhenti disini, mungkin besok kita takkan dapat menemukan
jejaknya lagi. Akibatnya. walaupun seribu tahun lagi kita mencari
takkan berhasil menemukan mereka.,.."
Benar juga apa yang dikatakan oleh Hwat Kong. Memberikan
waktu kepada kedua orang buron yang terluka itu„ berarti
membiarkan mereka mengobati luka-lukanya, untuk kemudian
berbalik menyerang atau mungkin arnbil langkah seribu alias
minggat. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi rombongan
Hong In ini.
Hong In ingin sekali membenarkan pandapat Hwat Kong,
pemuda tampan yang gerak-riknya kegadis-gadisan itu. Tetapi
sungkan! Bahkan terpikir olehnya untuk menyangkalnya dengan
jitu. la yakin bahwa cenauda genit itu tentu bermaksud meneari
muka dihadapan Sin Hong. Maka ia harus kalahkan dengan segera.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 337
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Dendamku dengan iblis-iblis itu sedalan lautan. Jangankan


seribu tahun, seumur dunia akan kujejaki mereka hingga dapat
kucincang dengan pedangku!. Orang yang tidak tahu urusan tak
perlu ikut campur !"
―Siapa bilang aku tidak tabu urusan?" Hwat Kong mengotot.
―Sebelum kau muncul, aku sudah bertarung dengan rnereka
Bukankah begitu, Lie-ko?"
Tentu saja Lie Sin Hong membenarkan perkataan Hwat Kong,
dan hal itu saugat menggembirakan Hwat Kong yang merasa
menang bicara. Sebaitknya membuat jangkel, Hong In.
―Ah, benar hebat ilmu kepandaianmu! Lie-ko yang demikian
lihainya bertarung melawan Aug Oei Mokko dari jarak dekat.
Tetapi kau sambil bersembunyi menonton bisa bertarung melawan
mereka. Tentunya kau mempergunakan jurus kura-kura tarik kepala,
bukan? Nah, didalam partai persilatan yang manapun tak pernah ada
jurus sakti seperti itu, kecuali dari perguruan omong besar, seperti
kau!‖
Tak tahan Lie Sin Hong mendengar kata-kata itu, ia tertawa
terpingkal-pingkal, sedangkan Hwat Kong yang merasa kena ejekan
jitu, wajah nya berubah merah jambu. Untung saja keadaan waktu
itu sangat gelap, hingga tidak terlihat betapa pipi pemuda itu
memerah seperti pipi gadis,
―Kau kira aku takut padamu!" bentak Hwat Kong, seraya
bertindak maju.
―Nonton iblis berani tarung masakah takut melihat aku yang
lagi omong-omong!‖
―Awas aerangan !‖
Hwat Kong yang sudah tak dapat menahan amarah lagi, segera
menggerakkan tangannya menyodok kearah dada Hong In.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 338
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Hong in tidik lengah. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya,


maka serangan Hwat Kong dapat dihindarinya. Sekaligus gadis
berjubah merah, melancarkan serangan balasan.
Sebeilah kakinya yang masih berada di atas kuda itu
menendang, mirip gerakan kuda menyepak. Tetapi Sin Hong telah
lebih cepat bertindak. Dengan mengangkat kedua tangannya,
pemuda perkasa ini berseru mencegah.
―Sudablah! Dengarkan, suara apa itu?!"
Sekalian keduanya segera diam, memasang telinga. Benar saja,
raereka segera mendengar so ara sayup2. Suara ya'ig terdengar
aneh, lengking seperti seruling, akan tetapi juga mendesis seperti-
seperti angin puyuh.
Ketiganya saling pandang penuh tanda tanya. Hong In segera
teringat sesuatu, lalu katanya:
―Mereka bertempur !"
―Siapa?‖ Hwat Kong lupa bahwa gadis baju merah itu baru saja
menjadi lawaanya. Sin Hong manggut-manggut. Walaupun ia
belum dapat menduga dengan pasti, tetapi ia yakin bahwa tidak.
jauh dari tempat mereka sedang berlangsung pertarungan seru
antara orang penjinak ular dengan peniup seruling sakti.
Hong In membalapkan kudanya tanpa bicara lagi. Dia ingat
akan Ban Lie Thong, pendekar kate yang jenaka, yang pernah
dikenalnya di tanah muncul sungai Giok ho, ketika bertarung
melawan kedua siluman.
Sin Hong dan Hwat Kong pun mengikutinya tanpa pasang
bicara lagi.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 339
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Benar saja, setelah mereka berjalan tidak berapa lama, mereka


telah tiba pada sebuah padang liar yang sempit yang agaknya
merupakan sebidang tanah bekas hutan yang dibabat oleh pemburu.
Pada padang itu tampak duduk seorang laki-laki pendek di atas
sebuah pangkal kayu sambil meniup seruling. Sedang kan
disekeliling orang ini terlihat berpuluh-puluh ekor ular sendok yang
mengelilinginya sambil menari menggerak-gerakkan kepalanya.
Tidak jauh dari tempat padang itu, tampak seorang laki-laki
yang mengenakan ubel-ubel di kepalanya. Lelaki ini berwajah
menyeramkan, penuh dengan bulu-bulu yang tumbuh pada pipi dan
janggutnya. Tubuhnya kurus tinggi, kulitnya hitam kusam. Matanya
besar dan cekung, sedangkan hidungnya bengkung seperti paruh
burung. Ia mengenakan jubah katun warna putih, sedangkan pada
tangan kirinya tergenggam cambuk berwarna belang-belang.
Adapun dibelang orang ini, terlihat sebuah bayangan putih
pula, yang menggunguk seperti bonggol pohon. Rupanya diapun
manusia juga, tetapi tidak nyata siapa adanya.
Sambil kadang-kadang tertawa ha-ha he-he, lelaki kate yang
dikelilingi ular-ular senduk itu berseru.
―Hek Mahie! Hari ini kau akan kehilangan seluruh piaraanmu!
Mereka lebih suka mendengar sulingku daripada suara nyanyianmu
yang ngorok seperti babi disemblih!‖
Si manusia hitam kurus yang ternyata adalah Hek Mahie ini
mendengus geram.
―Hendak kulihat, apakah orang Liangsan sanggup hidup
beberapalama lagi!‖
―Aku masih hidup, Hek Mahie!‖ seru Lie Ban Thong. Namun,
walaupun demikian jawabnya, terdengar nada suaranya bergear
seperti orang yang merasa gentar.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 340
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Betapa tidak? ular-ular senduk yang besar-besarnya hampir


menyamai paha kerbau itu, selalu mendesis menyemburkan bisanya
melalui mulutnya yang caplak menyeramkan. Binatang-binatang itu
menari-nari memang, keenakan mendengar lagu dari seruling. Akan
tetapi setiap suara seruling itu putus, mereka menggelegser maju.
Binatang-binatang itu seakan-akan tahu akan perintah tuannya
bahwa mereka harus membunuh si manusia kate itu. dengan
matanya yang berkilat itu tidak berkedip, sedang lidahnya bergerak-
gerak mengerikan. Barangkali untuk seekor saja belum tentu Ban
Lie Thong cukup membikin kenyang.
Tetapi Ban Lie Thong bukanlah orang sembarangan, yang
dengan mudah dibikin ketakutan oleh ular-ular itu. dengan sekuat
tenaganya, dikerahkannya tenaga khikangnya melalui tiupan
seruling. Sehingga walaupun binatang itu dapat bergerak maju pula,
akan tetapi mereka harus jath-bangun dan tampak menderita sekali.
Tiba-tiba Hek Mahie mengangkat cambuk belang-belangnya.
Lalu dengan suara mengguntur, berseru mengancam.
―Lie Thong! Aku akan mengampunimu, asalkan …..‖
―Tidak perlu! Tak usah! Tak sudi!‖ Lie Thong
memotong.‖Besar mulut kau! Aku takkan membuatmu mati cepat-
cepat! Ular-ularku dapat kuperintahkan untuk menggigit jari-jari
kakimu saja. menggigit bulu matamu saja, atau mencabut rambut
kepalamu agar kau lebih kate!‖
Ban Lie Thong diam. Rupanya ancaman membuat dia makin
pendek membikin gentar.
―Tetapi bisa kuampuni jiwa kecilmu asal cepat kau kembalikan
kitab dan benda pusaka itu!‖
―Pusaka kentut! Kitab emakmu! Aku tidak tahu!‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 341
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Hek Mahie tertawa, ia menduga bahwa ancamannya cukup


berhasil.
―Di guha tempat Cit Loo muridku kudapati bangkai Gouw Nio.
Dia kakak seperguruanmu. Kalau dia datang kesana, masakan kau
tidak. bukankah kalian saling mencintai?!‖ Hek Mahie mendesak.
Ingat! Bila kulecutkan cambukku ini, walaupun malaikat turun
menolongmu, tak kan mungkin kau lolos dari ular-ularku!‖
―Omongan busuk!‖
Rupanya benar-benar Ban Lie Hong sama sekali tidak
bermaksud untuk membuka mulut. Ia telah memasang lagi
serulingnya dimulutnya, dan mulai pula ditiup sekuat-kuatnya.
Ular-ular senduk itu menggeliat-geliat kesakitan. Memang
suara seruling itu kini melengking tinggi, memekakkan teling
bahwak dapat merusakkan isi dada orang yang tidak memiliki
Iwekang yang cukup berarti. Untungnya di tempat itu dan
sekitarnya, rombongan Sin Hong adalah muda-mudi yang
kepandaiannya cukup tinggi, hingga mereka tidak menderita suatu
apapun.
Binatang-binatang itu agaknya bermaksud akan bergerak
mundur, namun segera terdengar sura ledakan cambuk Hek Mahie
yang menggelegar nyaring. Di udara mengepul asap hitam dan bau
busuk dari cambuk itu, mirip bau darah membusuk.selanjutnya
seperti disulap, ular-ular kobra itu seketika meronta, lalu meletik ke
arah Ban Lie Thong. Meluncur seperti panah-panah daging yang
menggeliat-geliat kearah pendekar pendek itu.
Agaknya orang tak akan percaya bahwa binatang-binatang buas
semacam itu dapat berubah menjadi sebatang panah bensar yang
bentuknya aneh.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 342
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong dan kawan-kawannya hampir terpekik karena kaget


dan ngeri. Mungkin orang belum mati sekali tumbuk oleh panah
ular besar itu. Akan tetapi agaknya akan segera mati karena mati
dan jijik.
Demikian pula agaknya keadaan Ban Lie Thong. Ia tidak
mampu melakukan suatu apa, kecuali mendelikkan mata dan
mulutnya menganga, sambil tubuhnya gemetaran menggigil.
Tampaknya sebentar lagi maut akan segera menimpa pendekar
kate dari Liangsan ini. tak kan tertolong, seluruh tubuhnya akan
menjadi sasaran panah-panah ular besar itu. namun kiranya Giam
Lo ong belum menghendaki kehadiran lelaki kate itu.
Sebelum binatang-binatang berbisa itu sampai menyentuh
tubuh Ban Lie Thong, terdengar suara mendengung sangat nyaring,
seperti dengungan gangsing raksasa. Dan pada saat itu juga, di
udara tampak berkelebatan sinar putih yang berkilatan berlompatan
kian kemari dibarengi dengan suara terbacoknya daging dan tulang.
Seketika terciumlah bau amis darah yang menusuk hidung.
Kepala-kepala ular berpelantingan ke udara menyemburkan darah,
sedangkan badan ular itu berkoseran mengerikan ekornya mengigil
seperti merasakan kesakitan yang amat sangat.
Ketika kelebatan sinar tajam berkilat itu berbenti, maka di
tengah arena tampak sesosok bayangan yang langsing yang berdiri
dengan kaki melebar. Gagah dan agung sikap pendatang ini. pedang
di tangannya telah kembali dimasukkan ke dalam sarungnya.
―Enci Lian!‖ seru Hong In terpekik.
―Lian Moay …..‖ perlahan akan tetapi terdengar nyata, seruan
kaget Sin Hong yang pada penglihatannya sendiri, bahwa gadis
yang selama ini dirinsukan dan diduga telah meninggal dalam guha
beruang, ternyata kini muncul dengan tiba-tiba.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 343
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Seandainya tidak banyak orang di situ, tentu Sin Hong akan


memburu maju, untuk menanyakan segala macam hal, dan
mencurahkan isi hatinya yang selama ini terpendam dalam dadanya.
Tetapi melihat keadaan demikian maka pemuda ini maju mundur
ragu-ragu.
Benar yang baru muncul itu adalah An Siu Lian adanya.
Sepeninggalnya dari guha Cit Loo, gadis ini bermaksud
melanjutkan perjalanannya menuju Nepal guna menemukan musuh
besarnya, Ong Kauw Lian. Akan tetapi dalam perjalanannya ini, ia
mendengar suara pertarungan bunyi antara seruling dan desis ular-
ular. Itulah sebabnya maka ia datang untuk mengintai dan
menyelidikinya.
Sebagaimana telah dipaparkan di depan bahwa antara An Siu
Lian dan Ban Lie Thong telah terjadi perkenalah dan hubungan
baik. maka melihat keadaan Ban Lie Thong yang dalam bahaya
seperti itu, ia segera turun tangan.
Sebenarnya Siu Lian juga telah dapat melihat kehadiran Sin
Hong maupun di luar pertarungan itu.
Siu lian juga dapat mengenali bahwa pemuda itu adalah
pemuda yang selama ini menggugah rasa cinta dihatinya. Akan
tetapi, kini dilihatnya pemuda itu ada bersama Hong In, sikap kedua
muda-mudi itu demikian akrab. Maka sang cemburu pun berkobar
dihatinya. Walaupun hati rindu tak terkatakan, akan tetapi Siu Lian
berusaha menjaga diri, seolah-olah tidak mengenal.
Tak terhingga terkejutnya Hek Mahie, melihat kejadian yang
sangat mendadak itu. tindakan membunuhi ular-ular dengan
sebatang pedang tidaklah mengherankan. Akan tetapi melihat
kenyataan bahwa gadis itu dapat muncul tanpa suara dan segera
turun tangan begitu cepat hingga Hek Mahie tidak sempat
melindungi binatang piaraannya, itulah hebat!

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 344
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Gerakan-gerakan gadis yang baru datang itu mirip burung


walet. Gerakan pedangnya mirip bianglala yang sering tampak
melengkung di atas pulau. Serta loncatan-loncatannya yang mirip
ikan terbang, mengingatkan Hek Mahie pada seseorang.
Segera pendeta India itu berseru :
―Eh, perawan,! Ada hubungan apa kau dengan dua orang jelek
dari Tho-liu-to?‖
Siu Lian terkejut, lalu sahutnya, ― sungguh jeli matamu Hek
Mahie! Mereka yang mulia adalah guru-guruku!‖
Mendengar keterangan Siu Lian, Hek Mahie tertawa melonjak
seperti orang kegelian. Sebaliknya Ban Lie Thong dan yang lain-
lainnya diam–diam merasa kagum. Kiranya gadis cantik itu adalah
murid sepasang tokoh sakti dari pulau Tho-liu-to.
―Panta saja kau tidak tahu adat seperti itu!‖ sambung Hek
Mahie, ―Kedua monyet itu apakah masih hidup?‖
Menurut pantasnya mendengar perkataan Hek Mahie, tentunya
dia bersahabat dengan kedua orang gurunya itu. akan tetapi Siu Lian
menganggap sebaliknya. Orang yang menghina gurunya adalah
musuh!,
―Guru-guruku adalah orang baik-baik, bukan jahat dan keji
seperti kau! Walaupun kau seorang tua bangka, tetap bukan
ukurannya untuk menghina mereka!‖
Hek Mahie tertawa sinis. Matanya yang cekung itu mendelik
menyeramkan.
―Dasar budak tak tahu selatan, walaupun kedua gurumu maju
bersama, belum tentu sanggup menahan tinju jurusku! Hei, budak
cilik! Sebelum kutumpas kedua kutu pulau itu, sekarang hendak
kupijat dulu telurnya disini. Awas!‖

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 345
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Bukannya main-main ancaman Hek Mahie. Semua tokoh


persilatan mengenal tokoh yoga dari insia ini. bahkan dikabarkan
kulitnya seliat tembaga, tulangnya sekeras baja. Jangankan hanya
Siu Lian, murid yang baru turun gunung kemarin sore, sekiranya
gurunya sendiri yang harus turun tangan, masih harus mikir-mikir
dulu.
****

JILID 10

BEGITU selelesai bicara, tahu-tahu Hek Mahie telah


menggerakkan jubahnya. Dan sebelum Siu Lian menyadari apa
yang akan tetjadi, lima buah jari yang berkuku panjang hitam telah
mencakar dengan dahsyat kearah muka.
Siu Lian insyaf bahwa lawannya kali ini bukanlah tokoh
sembarangan. Maka ia bersiap siaga. Ketika lima kuku jari tangan
lawan datang mencakar, gadis itu mengegoskan mukanya, seraya
kakinya bekerja, menendang dengan junus Walet mencercah bumi.
Dukkk! Bret!

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 346
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Beginilah bahayanya apabila seseorang memandang enteng


terhadap lawannya. Hek Mahie sungguh sama sekali tak pernah
mimpi, bahwa seorang murid pulau Tho-liu-to dalam segebrakan
dapat membuat tokoh sakti seperti Hek Mahie itu hampir
kebilangan muka.
Ketika Siu Lian mengirimkan tendangan Hek Mahie telah dapat
menduganya. Jurus walet menyarnbar buih, merupakan jurus biasa,
sehingga dengan gerak biasa saja, Hek Mahie menggeser tubuhnya
untuk menghindar.
Sama sekali Hek Mahie tidak menduga bahwa Siu Lian yanr.,
sekarang adalah Siu Lian yang telah mendapatkan tambahan inti
tenaga Iwekang, yang diperoleh secara tak sengaja dari tubuh Kim
Cit Loo. Kecepatan dan tenaga tendangan itu, sangat hebat.
Sebelum Hek Mahie semppat menyelamatkan pinggangnya, ia telah
kena terhajar dan jubahnya ikut robek karenanya.
Sambil menahan rasa sakit bukan alang kepalang, juga rasa
hilang muka yang bukan buatan, Hek Mahie meoggerung dan
melompat maju. Matanya berapi-api. Seakan-akan hendak
ditelannya gadis itu.
Tulang-tulang pendeta itu berbunyi kemerotokan. Dan dari
mulutnya yang tebal terdengar suara mendesis seperti ular kobra.
Tangan dua-duanya memanjang. Mulut seperti karet. Tahu-tahu
wuttt ! Sambaran cakar tangan pendeta itu menyerang tenggorokan
dan mata si gadis.
Satu kemenangan pula pada pihak Siu Lian, dia tenang, tidak
termakan oleh api kemarahan seperti Hek Mahie. Melihat datangnya
serangan, dan meucium bau kuku yang amis dan busuk, Siu Lian,
tahu bahwa pukulan lawan mengandung racun.
Siu Lian tak mau menangkis dengan tangan, akan tetapi secepat
kilat ia telah melintangkan batang pedangnya, menahan serangan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 347
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Hek Mahie menggeram. Dengan tiba-tiba tangannya mengkeret


lagi, dan diputar setengah lingkaran, mencengkeram kearah
pinggang si gadis. Tetapi serangan kedua inipun telah disambut
dengan sabetan pedang si gadis, sehingga untuk yang kesekian
kalinya Hek Mahie menggeram-geram gusar tetapi tak berdaya.
―Hati-hati enci Lian! Iblis buruk itu beracun hingga keringat-
keringatnya!"seru Hong In memperingatkan.
Walaupun tak usah diperingatkan. Siu Lian memang bukan
gadis yang semberono. Menghadapi lawan sangat tangguh, dia
bertindak sangat hati-hati. Dilain pihak, Sin Hong merasa serba
salah. Ia tidak yakin bahwa Siu Lian sanggup menghadapi Hek
Mahie seorang diri. Tetapi hendak turun tangan mernbuat, ia kuatir
akan menyinggung peraspn gadis itu. Oleh karena itu dia cuma
memperhatikan pertarungan itu dengan seksama, siap untuk
memberikan pertolongan apabila perlu.
Dalam beberapa saat saja pertarungan Hek Mahie dan Siu Liao
telah berlanggsung seratus jurus. Hek Mahie telah mengerahkan
seluruh tenaganya, namun dia heran bukan main karena ternyata
permainan pedang lawannya dapat mengirnbangi dengan sempurna,
bahkan boleh dibilang Siu Lian berada diatas angin.
Sakeliling gelanggang pertarungan itu kini penuh terisi oleh
kelebatan sinar pedang yang berdesir-desir tajam. Ke nanapun cakar
Hek Mahie meluncur, tentu disambut oleh beberapa kali babatan
pedang. Sedangkan Siu Lian sendiri, saat itu tampak benar-benar
seperti burung walet yang beterbangan mengitari gunung karang.
Rupanya Hek Mahie kehabisan akal. Dengan segera ditariknya
cambuk ular belangnya. Dan tanpa memberi kesempatan, seketika
diputarnya cambuk itu, dielecut-lecutkannya, sehingga
menimbulkan bunyi meledak-ledak. Serta hawa racun yang busuk
dan amis bertebaran sekeliling gelanggang pertarucgan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 348
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Merurut perhitungan, tentulah Siu Lian akan mati lemas, atau


sesak papas karena keracunan. Namun kali ini Hek Mahie kecele
pula. Dengan adanya tambahau darah Inti racun Kim Cit Loo yang
rnemasuki badannya, Siu Lian tidak terpengaruh oleh pecut lawan
nya.
Kian lama Hek Mahie semakin bingung. Dulu pernah bertarung
dengan Tie koan Cai, salah seorang guru gadis ini. Tetapi tukang
tenung itu sendiri tidaklah demikian lihaynya. Bahkan saat itu
seekor ular piaraan Hek Mahie dapat melukai lawan. Tetapi
mengapa hanya seorang muridnya belaka. kini Hek Mahie tak
berdaya. Padahal pendeta ini telah bertahun-tahun melatihi diri,
menanabah ilmunya.
Saat ini dia turun gunung, menjelajahi bumi Tionggoan dengan
keyakinan akan dapat menggulung kedua guru pulau Tho-liu-to itu,
Siapa sangka sekaraing, bertemu dengan muridnya yang masih bau
kencur, ia malah tak berdaya.
Memang dari depan. Hek Mahie telahah salah perhitungan.
Mungkin tahun-tahun yang lalu ia dapat melukai Tie Kong Cai,
Tetapi hal itu, bukanlala berarti dia ungul terhadap ilmu silat
Tho-liu-to,
Akhir-akhir ini Gouw Bian Lie yang merupakan guru utama
Lion-san-pai telah menciptakan ilmu pedang baru yang sangat lihai.
Yakni ilmu pedang gabungan dengan ilmu golok Kunlunpai.
Sehingga walaupun Hek Mahie memeras ingatannya untuk
menduga arah gerakan Siu Lian, ia takkan berhasil. Sebab gerakan-
gerakansi gadis adalah menrutkan petunjuk ilmu pedang gabungan
tersebut.
Pedang ditangan Siu Lian dapat berubah-ubah getaknya,
terkadang menyontek atau menusuk ataupun membabat seperti

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 349
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

pedang, namun suatu ketika dapat pula membacok atau


menyerampang seperti golok.
Denlikianlah, pecut ular belang Hek Mahie dibuat tak berdaya
sama sekali.
Suatu ketika pecut Hek Mahie menyambar kaki Sin Lian.
Begitu melayang kebawah pecut itu bergulung-gulung, namun
ujungnya dapat meletik kearah pinggang si gadis.
Tetapi Sin Lian tidak gugup. Ketika tubuhnya berloncatan
menghindari sabetan cambuk, kedua tangannya dikembangkan
mirip walet melayang diatas ombak. Pedangnya tahu-tahu
menyehnap kebawah tangannya, Dan.... tesss! Tess!!
Beberapa Kali pedang itu berkelebatan maka pecut Hek Mahie
menjadi potonngan-potongan.
―Budak syetan! biar aku mengadu jiwa denganmu!"
Hek Mahie nekat. Pecut buntungnya dilemparkan kearah Ban
Le Thong yang masib enak-enakan menonton, sedangkan tubuhnya
lantas menubruk maju, menerkam Siu Lian dengan rnaksud
mengajiak mati bersama.
Siu Lian gugup, Ia mana sudi mati bersama perdeta tua bangka
itu. sedangkau maksudnya untuk menantut balas dendam belum
terlaksana.
Sementara pedangnya masih berada dibawah lengan kirinya,
maka tak rnungkin lagi ia menyabetkannya kearah lawan.
Sebaliknya sepuluh cakar jari Hek Mahie sedang meluncur. Maka
tak sempat berpikir lagi, Siu Lian melentingkan tubuhnya
kebelakaag, seraya meluruskan pedangnya keatas.
Akibatnya sungguh diluar dugaan. Siu Lian menjerit kesakitan
karena baju dan pahanya robek terkena cakar tangan kiri, sementa ra

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 350
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

tangan kanan Hek Mahie terbabat pedang butung seketika.


Potongan tangau itu terlempar keudara, masih juga memburu kearah
Siu Lian yanng sedang terjatuh.
―Bangsat!" Ban Lie Thong berseru. Tubuhnya mengegos
menghindari potongan cambuk, sekaligus melancur kedepan,
menendang potongan tangan Hek Mahie yang sedang melayang.
Hek Mahie bergulingan kesakitan. Lalu dengan suara gerungan
murka, bukannya menerjang maju, akan tetapi melompat kearah
jubah putih yang sejak tadi reronggok seperti tumpukan kain kotor.
―Kutu busuk tak tahu budi!"
Seraya berteriak demikian, Hek Mahie mengayunkan tangan
kirinya rnencengkeram kearah jubah itu. Aneh bin ajaib Jubah itu
melompat kesamping lalu terdengar suara tawarnya.
―Menghadapi kurcaci seperti itu saja tak becus, mau menyerang
kawan!
Kiranva jubah putih itu adalah seorang manusia. seorang laki-
laki yang kini tampak jelas, berdiri sombong dengan muka
menengadah.
Deegan serta merta, Siu Lian membentak marah:
―Bangsat Kauw Lian!"
Benar saja. Laki-laki muda dalain jubah putih itu tidak lain
adalah Ong Kauw Lian, sababat Hek Mahie, juga musuh besar Siu
Lian maupun Sin Hong,
Demikian kisahnya. hingga pemuda itu kembali ketanah
Tionggoan,
Sejak tindakannya membunuh susioknya sendiri, yakni An
Hwie Cian, ayah An Sui Lian, rnaka Ong Kauw Lian pergi
merantau dengan maksud untuk memperdalam ilmu kepandaiannya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 351
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Ia menyadari bahwa dirinya banyak mempunyai musuh-musuh,


oleh karena itu ia bermaksud bergabung dengan seorang tokoh sakti
yang termasyur juga namanya, yakni Hek Mahie.
Saat itu Hek Mahie sedang berada di Nepal, sedang melatih diri
untuk memperdalam ilmu, karena ia bermaksud untuk suatu saat
nanti untuk kembali lagi ke tanah Tionggoan, untuk menghadapi
lawan-lawannya.
Dalam hat ilmu kepandaian, Ong Kauw Lian tidakiah berada
dibawah Hek Mahie. Namun pemuda ini bermaksud untuk
memperoleh ilmu menaklukan ular, dan yogasakti dari Hek Mahie.
Itulah sebabnya, walaupun merasa tidak takut, akan tetapi perlu
mengalah.
Mereka ingat akan tantangan Auwyang Keng Liak, tentang
hendak diadakannya pertandingan besar-besaran, phibu yang akan
diselenggarakan disebelah utara sungai besar.'
Pada saat inilah akan ditentukan siapakah sebenarnya jago
nomor wahid diatas tanah Tionggoan ini. Kedua orang ini bernafsu
benar untuk memperoleh gelar itu!
Demikian mereka lantas bergabung, Dan atas usul Hek Mahie,
Ong Kauw Lian diharuskan mendirikan perkumputan Ceng-hang-
pai yang telah hancur itu di Nepeal.
Ong Kauw Lian menyetujui. Selanjutnya maka Hek Mahie
mengirim kabar pada Kim Cit Loo untuk mengambilkan benda
pusaka dan kitab pelajaran yang masib tertinggal di Ceng hong san.
Itulab sebabnya, rnaka suatu ketika seoring pengemis muda pernah
mendatangi puncaak Ceng hong san untuk mengambil peti putih itu.
Tetapi hingga sekian lamanya, benda yang dimaksud belum
juga dikirirnican orang kepadanya. Hek Mahie dan Ong Kauw Lian
menjadi curiga. Maka sambil bermaksud menjajal ilmu yang baru

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 352
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

dipelajarinya, sekaligus melihat perubaban dikalangan kangouw


rnereka kembali menjelajahi tanah Tionggoan.
Sungguh tak terduga bahwa didaerah Tionggoan telah muncul
pendekar-pendekar muda yang namanya menggemparkan, seperti
Sin Hong maupun Siu Lian..
Ketika mereka mencari Kim Cit Loo, mereka hanya
menemukan bangkai si nenek Gouw Nio. Dan mereka lantas
menduga bahwa tentulah terjadi sesuatu, sebab Kim Cit Loo sendiri
tidak berada ditempat.
Dalam Perjaianannya mencari Kim Cit Loo itulah mereka
bertemu Ban Lie Thong, hingga terjadinya pertarungan ini.
Sejak semula Ong Kauw Lian telah mengenal Lie Sin Hong.
Tetapi dia sangat memandang enteng pemuda itu, dan sama sekali
tidak mau menggubrisnya,
Ketika muncul An Siu Lian menbabati ular-ular Hek Mahie, ia
berpikir suatu ketika akan menolong gadis itu, apabila keadaannya
terdesak. Walaupun ia membenci ayah Siu Lian, akan tetapi
terhadap gadis itu, sejak lama Ong Kauw Lian jatuh cinta.
Tetapi ternyata Siu Lian telah berubah lihay dan dapat
mengalahkan Hek Mahie. Tentu saja Ong Kauw Lian tidak mau,
turun tangan membantu, sebab pada hati kecilnya, iapun suka
apabila Hek Mahie terbunuh. Ilmu kesaktian yang dibarapkan dari
pendeta itu sudah di perolehrtya, untuk apa pula Hek Mahie
baginya?
Demi melihat munculnya Ong Kauw Lian, Siu Lian seperti
dibakar oleh bawa kemarahan. Darahnya seakan mendidih, dan
seketika ia berinaksud melompat maju, untuk menerjang.
Tetapi kiranya luka dipahanya telah membuat kakinya kejang.
Racun kuku Hek Mahe telah menjalar bingga kepangkal pahatnya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 353
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Dan bukannya ia dapat menubruk maju, sebaliknya Siu Lian


kembali roboh terguling memperdengarkan keluhan.
Lie Sin Hong tidak memberi kesempatan lagi. Begitu
menyadari bahwa orang yang baru muncul itu adalah musuh besar
yang sedang dicarinya, maka ia memperdengarkan suara
teriakannya. Lulu tubuhnya kemudian melayang kedepan tangannya
menggerakkaa pedang pusaka Ceng kong pokiam menusuk.
Ong kauw Lian melihat datangnya serangan itu, maka dengan
segera meng hindar ke samping, seraya menggerakkan goloknya
membacok.
Narnun sungguh dituar dugaannya, pedang Sin Hong terlalu
cepat datangnya gisit seperti angin. Tahu-tahu ujung senjata dapat
merobek baju dipunggung. Bahkan serangan balasan Ong Kauw
Lian yang kelihatannya akan dapat memapas buntung kaki lawan,
hanya mengenai angin belaka. Lebih hebat lagi, pedang Sin Hong
tampak nya seperti tidak dapat dilihat oleh mata. Senjata itu seakan-
akan menjadi angin, dan tahu-tahu telah menusuk tengkuknya.
―Aih!" Ong Kauw Lian menjerit kaget, tubuhnya berlompatan
jungkir balik kebelakang sepulnh langkah.
―Bukankah kau Lie Sin Hong?!" seru Ong Kauw Lian
keheranan. Tengkuknya mengalirkan ketingat dingin.
Dengan Suara mengereng seperti beruang Sin Hong melompat
maju mendekati.
―Kau bangsai keji mau lari kemana!"seru Sin Hong. ―Cepat kau
gorok lebermu sendiri, sebelum aku mencingcangmu jadi perke
del!"
Ong Kauw Lian tertawa mengejek,

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 354
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

―Kau ini anak tukang gorok babi Lie Kie Pok, bisa apa?!‖
Bapakmu mati dalam sejurus, denganku, apa lagi kau!"
―Tak perlu tanyak mulut! Manusia berjiwa rendah sepertimu
tak patut hidup diatas dunia!"
―Lian-moy, apakah kau terluka?‖ tanya Ong Kauw Lian tiba -
tiba.
Sin Hong menengok kearab Siu Lian, dan terlihatlah olehnya
gadis itu yang rebah sedang ditolong oleh Ban Lie Thong.
Tiba-tiba seeerrr....! Pada saat Sin Hong lerngah seperti itu,
tiba-tiba golok Ong Kauw Lian menyambar menbacok ke arah
punggung.
Sin Hon terkejut. Sedetik lengah bagi orang-orang kalangan
orang sakti termasuk sebuah kerugian besar yang sargat berbahaya.
Ong Kauw Lian dengan wataknya yang licik dan keji itu,
mempergunakan tipu memecah perhatian lawan dan kiranya Sin
Hong kena terpancing. ,
Hampir saja Ong Kauw Lian bersorak kegirangan melihat
serangannya akan dapat membinasakan lawan. Akan tetapi rupanya
kematia belum saatnya menjatuhi Sin Hong. Pada saatnya yang
sangat monentukan itu, Sin Hong Iwekang yang telah terlatih
ditubuhnya secara otomatis, bergolak ditubuhnya. Dengan nekat,
Sin Hong mengebaskan tangannya kebeakang menghantam golok!
Pletak!
Barangkati disambar geledek pun Ong Kauw Lian takkan
percaya bahwa lawannya yang semula diduganya sebagai lawan
enteng, ternyata memiliki Iwekang yang sangat dahsyat.
Mungkin Ang Oei Mokpo yang termasyur sebagai iblis nomer
satu didunia tak kan mampu mematahkan golok Ong Kauw Lian

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 355
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

yang diluncurkan dengan pengerahan lwekang yang tinggi. Tetapi


Sin Hong dengan sekali sambar telah dapat membuat ujung golok
Ong Kauw Lian kutung sepanjang tiga dim.
―Sin Hong Iwekang! Sin Hong Iwekang!‖
Hek Mahie yang melihat kejadian itu, berseru-seru kaget seraya
berlari-lari mencari selamat. Tetapi Hong in dan Hwat Kong
mengejarnya, mengepung pendeta, itu dari dua penjuru.
―Sin Hong Iwekang! Sin Hong Iwekang!‖
Ong Kauw Lian sendiri ikut berteriak-teriak gentar. Ia
melompat mundur puluhan langkah seraya celingukan mencari jalan
untuk mencari selamat.
Tetapi Sin Hong telah mendarat didepannya, dan langsung
melancarkan serangan. ―Setelah tahu kelihaian orang, ayo
menyerah!" seru Sin Hong.
Ong Kauw Han tak mungkin dapat melarikan diri pula, Maka
dengan sekuat tenaga ia melawan. Ilmu golok Cap Peh Lo Hoan To
yang berhasil dipelajarinya dari Lie Kie Pok ayah Sin Hong, yang
kini telah digabung dengan ilmu pedang Ceng-bong-pai, dan ilmu
yoga dari Hek Mahie, dimaiakannya dengan hati-hati. Ia tahu bahwa
babaya besar sedang mengancam dirinya.
Baragkali baik Hek Mahie ataupun tokoh-tokon tua yang lain,
untuk saat ini takkan begitu mudah mendesak Ong Kauw Lian.
Akan tetapi Sin Hon dengan Sin Tong hoat serta Sin Hong
Iweekang yang diwarisinya dari pendekarsakti Sin Hong Cu Kek
Beng, kini sudah bukanlah tandingan siapapun.
Ilmu Silat Angin Sakti yang menjadi incaran setiap golongan
kang-touw, kini telab dikuasainya dengan mahir. Iwekang yang
mengalir datarn tubuhnya, dahsyat bukan main. Apatagi dengan

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 356
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

adanya pedang pusaka Ceng-hong-pokiarn ditangan, maka saat ini


Sin Hong sudab ibarat harimau tumbuh sayap. Jangankan cuma
seorang Ong Kauw Lian, sedangkan andaikata lipat tigapun belum
tentu pemuda she Org itu dapat menandinginya.
Selanjutnya, Sin Hong terus mendesak dengan jurus-jurus
saktinya. Tubuhnya bergerak lincah secepat angin. pedanguya
berkelebat secara gencar mendesak lawan.
Dalam beberapa jurus kemudian, Ong Kauw Lian telah
terdesak hebat. Dari pundak, paha dan lengannya mengalir darah
pada luka-luka bekas bacokan.
Ong Kauw Lian cuma bisa main mundur belaka. Sama sekali ia
tidak mendapatkan kesempataa untuk balas rnenyerang.
Ketika goloknya menangkis sebuah tusukan pedang, tiba-tiba
saja pedang itu berubah arah, Ujung pedang seakan berpencar
menjadi puluhan jurus dan tahu-tahu lengannya terluka lagi.
Gusar, takut dan cemas, Ong Kauw Lian rnenghadapi
perkelahian ini, ia bingung, perhatiannya dicerahkan untuk mencari
akal guna melarikan diri. Akan tetapi Cenghiong pokiam di tangan
Sin Hong tidak memberi ampun.
Cras! Sebatas pergelangan tangan kiri Ong Kauw Lian terbabat
kutung. Ong Kauw Lian menjerit kesakitan, lalu bergulingan seraya
dengan ngawurnya mempermainkan golok ditangan kanannya.
Akan tetapi sekali lagi Cras!! Lengan kiri Ong Kauw Lian'
kutung lagi sebatas siku. Bukan main dalamnya dendam kesumat
terpendam di hati Sin Hong.
Kematian ayah dan ibunya serta saudara-saudara
seperguruannya hendak diperhitungkan sekarang.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 357
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Selama ini Ong Kauw Lian menjerit-jerit kesakitan. Melolong


minta ampun, namun Sin Hong tampaknya telah kesetanan.
Matanya memancarkah hawa pembunuhan.
―Tak ada ampun untuk manusia keji sepertimu! Hutang jiwa
ayah ibuku, saudara-saudara seperguruanku, serta ayah Lian Moy,
harus kau bayar lunas sekarang!‖
Dan … Crok!‖
Lengan kiri Ong Kauw Lian terbabat hingga ke pangkal
pundak. Ong Kauw Lian meraung-raung serta jatuh bangun
kesakitan. Tetapi ia tahu ia tidak bakal memperoleh pengampunan
dari lawannya ini, maka ia berusaha untuk bertahan.
Dilain pihak pertarungan Hek mahie melawan Hong In dan
Hwat Kong juga berjalan tak seimbang. Hek Mahie yang telah
menderita luka hebat itu terhuyung-huyung kian kemari, berlari-lari
mencari selamat. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka
berdarah.
Namun dalam hal ini, memang tak ada niat kedua musuh itu
untuk membunuh Hek Mahie. Mereka hanya berudaha mengepung
pendeta itu agar jangan sampai sempat melarikan diri atau
membantu Ong Kauw Lian.
Ong Kauw Lian semakin payah keadaannya, mirip babi hutan
yang sudah terkepung. Dari pundaknya mengucur darah, seperti
pancuran. Mukanya celemotan darah, mulutnya menyeringai
rnenahan sakit, dan marah serta putuss asa. Sedangkan lawannya,
terus menerus mendesak. Tiba-tiba berkelebat dalarn otaknya suatu
pikiran. Matanya berkilat seperti serigala melirik kearah tubuh Siu
Lian yang tergeletak, sedang ditolong oleb Ban Lie Thong.
Deegan setta merla Ong Kauw Liam berteriak, melolong seperti
srigala. Lalu goloknya dibacokkan secara nekat ke arah Sin Hong.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 358
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong menangkis dengan sekuat tenaga. Tetapi pikirnya inilah


yang dimaksud oleh Ong Kauw Lian.
Dengan mempergunakan tenaga tangkisan Sin Hong, maka
Ong Kauw Lian melayangkan tubuhnya, meluncur ke arah Siu Lian
untuk melancarkan serangan.
―Awas! seru Sin Hong memperingatkan Ban Lie Thong.
Tetapi Ban Lie Thong yang terlalu sibuk menyedot darah
beracun dari paha Siu Lian menjadi gugup, tak sempat untuk
menghindar lagi.
Ban Lie Thong meludah keudara, sekuat tenaga. Maka air liur
bercampur darah beracunn itu menyembur kesegala penjuru,
sebagian kena menyemprot kemuka Ong Kauw Lian. Namun nasib
Ban Lie Thong sendiri tak dapat ditolong. Punggungnya tertembus
oleh golok Ong Kauw Lian.
Dua macam jeritan terdenpar membahana, Ban Lie Thong
terkiapar jatuh dengan golok memantek punggungnya, sedangkan
Ong Kauw Lian seperti monyet kebakar jejingkrakan jungkir balik
seraya menutupi mukanya yang hancur melepuh dan berlubang-
lubang.
Kejadian ini berlangsung terlalu cepat, dan sangat diluar
dugaan Sin Hong. Terhadap Ban Lie Thong ia menaruh kasihan,
akan teeapi lebih berkuatir lagi pada ke selamatan Siu Lian. Buru-
buru ia menghampiri gadis itu.
Kiranya kesempatan yang cuma beberapa saat ini telah
dipergunakan oleh Ong Kauw Lian untuk melarikan diri. Walaupun
ia tidak dapat membuka matanya, dan rasa sakit menusuk-nusuk
seluruh mukanya, akan tetapi ia lebih takut pada kematian dicincang
oleh Sin Hong. Sambil melolong-lolong, Ong Kauw Lian
berlompatan menjauhi gelanggang pertarungan.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 359
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Sin Hong menyadari bahwa telah tertipu. Dengan segera ia


mengerahkan ginkangnya untuk mengejar. Secepat angin tubuhnya
melayanglayang memburu Ong Kauw Lian. Sedang Ong Kauw
Lian sendiri yang semakin ketakutan mengerabkan seluruh tenaga
untuk berlari. Berlari entah kemana saja arahnya asal selamat.
Tetapi lacur. Pada jarak kira-kira dua ratus meter tengah ia
berlari, tiba-tiba kakinya menginjak tanah kosong. Ong Kauw Lian
terkejut setengah mati. Dengan sebelah kakinya ia menjejak tanah.
rnaka tubuhnya dengan jurus Bangau Memecah awan, maka
tubuhnya berputar membalik, Selanjutoya ia dapat berdiri tegak
kembali keatas tanah.
Akan tetapi pada saat itulah, Sin Hong tiba dengan luncuran
pedangnya. Kesiur angin tajam menyambar. Secepat itu, ketakutan
bebat membuat Ong Kauw Lian putus asa. Dalam otaknya
berkelebat keinginan untuk mencari jalan mati yang lebih balk. Dari
pada mati dipicis oleh Sin Hon, lebih baik … !
Ujung pedang Sin Hong sedang meluncur Tetapi tubuh Ong
Kauw Lian telah bergerak kedepan, meluncur secepat barang jatuh
kedalam jurang, bersama lengkingannya yang menyayat. Dan
tubuhnya lenyap. ditelan oleh suara gemerciknya air mengalir yang
tampak kemilau di dasar jurang,..:
Melihat kejadian itu, maka Sin Hong bersujud. Kedua tangan
dirangkapkan kedepan. Suaranya berbisik :
―Ayah ... ibu ... saudara-saudaraku ... dan paman An Hwie
Cian, sebagian tugasku telah dapat kuselesaikan. Semoga
sekaliannya tenteram diharibaan Thian ...!"
Setelah itu perlahan-lahan Sin Hong menghampiri Siu Lian.
yang saat itu telah dapat duduk mengurut-urut luka di kakinya.

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 360
Kolektor E-book https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Gadis itu menaugis sedih melibat kematian Ban Lie Thong


orang yang telah menolong jiwanya!
Jugs menangis gembira, karena saat pertemuannya dengan Sin
Hong akhirnya berlangsung juga? Akan tempi masih ada sedikit
kecewanya walaupun Ong Kauw Lion telah tewas terjerumus ke
dalam jurang, ternyata bukanlah dirinya yang dapat memenuhi
tuntutan dendatn orang tuanya.
Sementara itu, Hong In dan Hwat Kong yang melihat Sin Hong
telah kembali meadekati Siu Lian, lantas membebaskan Hek Mahie.
Hong In In beriari lari mengharnpiri Sin Hong straya kernudian
memegangi tangan pemuda itu dengan mesra.
Sin Hong ingin sekali menegur Hong In, atau menarik
tangannya dari pegangan gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara jeritan seorang gadis.
―Hai kurcaci-kurcaci tak tahu malu! Aku Giok Yek Tek
rnenantang kalian semua untuk bertemu nanti pada phibu disebelah
utara sungai besar! Kalian kira kalian sendiri yang paling cantik,
paling tampan dan paling sakti? Huh! Tunggu kuhajar adat nanti ..!"
Hong In. Siu Lian dan Sin Hong ternganga heran. Mereka
terkejut, mandapatkan kenyataan bahwa Giok Hwat Kong
sebenarnya adalah seorang gadis. Dan bahkan kini menantaag
phibu, pada bulan depaa hari purnama.
Tetapi mereka tak sempat berkata suatu apapun, karena Giok
Hwat Kong atau Giok Yek Tek telah menghilang di kegelapan
hutan.

TAMAT

Sumber Pustaka & foto image : Awie Dermawan


Distribusi & pengarsipan : Yon Setiyono 361

Anda mungkin juga menyukai