Anda di halaman 1dari 45

1.

PENGERTIAN DAN OBJEK PPN

Dasar hukum pengenaannya diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UU No. 42 Tahun 2009 (UU PPN). 

Meskipun definisi PPN tidak disebutkan secara eksplisit, PPN atau yang dalam bahasa Inggris
disebut value added tax (VAT) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari
barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. 

PPN merupakan jenis pajak tidak langsung. Maksudnya, pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak, atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen
akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. 

Oleh sebab itu, mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang
atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam perhitungan PPN yang
harus disetor oleh PKP, dikenal pula istilah pajak keluaran dan pajak masukan. 

Secara sederhana, pajak keluaran merupakan PPN yang dipungut ketika PKP menjual barang/jasanya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli barang/jasa dari pihak lain. 

Perlu dicatat, PPN adalah pajak atas konsumsi barang atau jasa. Dalam hal ini PPN tidak melihat
subjek pembayar pajak, baik subjek pajak luar negeri maupun subjek pajak dalam negeri dianggap
sama. Karena itu, dalam UU PPN tidak diatur mengenai subjek pajak. 

Objek PPN

Dalam UU PPN, dikenal istilah barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). BKP adalah
objek PPN yang berbentuk barang baik barang berwujud maupun barang tidak berwujud. Sedangkan
JKP adalah objek PPN yang berbentuk jasa. 

Objek PPN diatur di Pasal 4 UU PPN, di mana disebutkan bahwa PPN dikenakan atas : 

1. penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;


2. impor BKP;
3. penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
4. pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. ekspor BKP oleh PKP;
7. ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP, dan
8. ekpor JKP oleh PKP.

Walaupun demikian, penyerahan yang menjadi objek ada syaratnya. Hal ini diatur dalam penjelasan
Pasal 4 ayat (1) UU PPN. Berikut syarat penyerahan BKP/JKP : 

1. Yang diserahkan merupakan BKP, BKP tidak berwujud, dan JKP;


2. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean; dan
3. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Pengecualian Objek PPN


Secara prinsip, UU PPN di Indonesia menganut prinsip negative list, dengan kata lain semua barang
dan jasa adalah objek PPN kecuali yang dikecualikan. Pengecualian objek PPN ini diatur dalam
Pasal 4A UU PPN.

Mengutip UU PPN, jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah:

1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya:

 minyak mentah (crude oil);


 gas bumi;
 panas bumi;
 pasir dan kerikil;
 batubara sebelum diproses menjadi briket batubara;
 bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak; dan
 barang hasil pertambangan dan pengeboran lainnya yang diambil langsung dari sumbernya.

2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak:

 Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam atau beras
ketan putih dalam bentuk:

a. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih;


b. Digiling;
c. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak;
d. Beras pecah; dan
e. Menir (groats) dari beras.

 Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan atau
popcorn (jagung brondong), dalam bentuk:

a. Jagung yang telah dikupas maupun belum/jagung tongkol dan biji;


b. jagung/jagung pipilan; dan
c. Munir (groats)/beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.

 Sagu, dalam bentuk:

a. Empulur sagu; dan


b. Tepung, tepung kasar dan bubuk dari sagu.

 Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam
dalam bentuk pecah atau utuh.
 Garam baik yang berjodium maupun tidak berjodium termasuk garam meja dan garam dalam
bentuk curah atau kemasan 50 Kg atau lebih, dengan kadar NaCL 94,7% (dry basis).

3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya meliputi makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa
boga); dan
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Adapun jenis jasa yang tidak dikenakan PPN antara lain:

1. Jasa pelayanan kesehatan medis


 jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
 jasa dokter hewan;
 jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi;
 jasa kebidanan dan dukun bayi;
 jasa paramedis dan perawat; dan
 jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium

2. Jasa pelayanan sosial

 jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;


 jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial;
 jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
 jasa Lembaga Rehabilitasi kecuali yang bersifat komersial;
 jasa pemakaman termasuk krematorium;
 jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial; dan
 jasa pelayanan sosial lainnya kecuali yang bersifat komersial.

3. Jasa pengiriman surat dengan perangko;


4. Jasa keuangan;
5. Jasa asuransi;
6. Jasa keagamaan;

 Jasa pelayanan rumah ibadah;


 jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan
 jasa lainnya di bidang keagamaan.

7. Jasa pendidikan;

 jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan;


 pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan,
pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional; dan
 jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus.

8. Jasa kesenian dan hiburan;


9. Jasa penyiaran yang bukan bersifat iklan;
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
11. Jasa tenaga kerja;

 jasa tenaga kerja;


 jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung
jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
 jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.

12. Jasa perhotelan;


13. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
14. Jasa penyediaan tempat parker;
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
17. Jasa boga atau katering.
Demikian penjelasan mengenai pengertian dan objek PPN. Untuk materi mengenai PPN selanjutnya
akan membahas pengertian dari penyerahan BKP/JKP, tarif dan dasar pengenaan PPN di Indonesia.*

2. Pengertian Penyerahan BKP dan JKP dalam UU PPN

Dalam sistem pajak pertambahan nilai (PPN), dikenal prinsip destinasi/tujuan (destination principle)
dan prinsip tempat asal (origin principle). Indonesia menganut prinsip destinasi. 

Prinsip destinasi ini diartikan bahwa PPN dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam
negeri. Kebalikannya, prinsip tempat asal, berarti PPN dikenakan atas barang atau jasa yang berasal
dari dalam negeri. 

Di Indonesia, sesuai Pasal 4 Undang-Undang (UU) PPN, pengenaan PPN dilakukan atas penyerahan
dan pemanfaatan di dalam daerah pabean dan impor dengan tarif tunggal 10%. Sementara ekspor
dicantumkan sebagai objek pajak, namun dikenakan tarif 0%. Tarif itu diatur dalam Pasal 7 UU PPN. 

Sementara itu, jika suatu negara menganut prinsip tempat asal, maka impor bukan temasuk objek
PPN, atau objek PPN namun dengan tarif 0%, sedangkan ekspor dikenakan pajak sesuai tarif dalam
negeri. 

Pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak

Secara garis besar, semua barang yang diserahkan di dalam daerah pabean adalah objek PPN, kecuali
ditentukan lain dalam UU (bukan Barang Kena Pajak/BKP). Berdasarkan Pasal 1A UU PPN, yang
termasuk dalam pengertian BKP adalah: 

 Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian

Perjanjian yang dimaksudkan meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau
perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. 

 Pengalihan BKP karena satu perjanjian sewa beli dan atau perjanjian sewa guna usaha
(leasing)

Penyerahan BKP juga dapat terjadi karena perjanjian sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha
(leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan karena perjanjian sewa guna usaha adalah
penyerahan yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi. 

Meskipun pengalihan atau penyerahan hak atas BKP belum dilakukan dan pembayaran atas harga jual
BKP tersebut dilakukan secara bertahap, tetapi karena penguasaan atas BKP telah berpindah dari
penjual kepada pembeli atau dari lessor kepada lessee, maka penyerahan BKP dianggap telah terjadi
pada saat perjanjian ditandatangani, kecuali apabila saatnya berpindahnya pengusaan secara nyata atas
BKP tersebut terjadi lebih dahulu daripada saat ditandatanganinya perjanjian. 

 Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang

Pedagang perantara adalah orang pribadi atau badan yang dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan
orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner. Sedangkan yang
dimaksud dengan juru lelang adalah juru lelang pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah. 

 Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas BKP


Pemakaian sendiri diartikan sebagai pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau
karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa
pembayaran, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli. 

 BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan

Persediaan BKP dan aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap
sebagai penyerahan BKP. Khusus untuk aset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, hanya dikenakan PPN apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa PPN yang
dibayar pada saat perolehanya dapat dikreditkan. 

 Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP
antarcabang.

Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang, yaitu tempat melakukan
penyerahan BKP kepada pihak lain, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, maka UU
PPN menganggap bahwa pemindahan BKP antartempat tersebut merupakan penyerahan BKP. Yang
dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini termasuk antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit
pemasaran, dan sejenisnya. 

 Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.

Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayar pada waktu BKP bersangkutan
diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya
penyerahan BKP yang dititipkan tersebut. 

Sebaliknya jika BKP titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada
pemilik BKP pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai
pengembalian BKP (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A UU PPN. Perlu diketahui bahwa
penyerahan BKP secara konsinyasi oleh pengusaha kecil tidak dikenakan pajak sesuai ketentuan UU
PPN. 

 Penyerahan BKP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah yang penyerahannya dianggap
langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP

Dalam transaksi murabahah misalnya, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli
sebuah kendaraan bermotor dari PKP A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun
berdasarkan prinsip syariah, bank harus membeli dahulu kendaraan tersebut dan kemudian
menjualnya ke Tuan B, berdasarkan UU PPN, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap
dilakukan langsung oleh PKP A kepada Tuan B. 

Pengecualian Penyerahan BKP

UU PPN juga mengatur apa saja yang tidak termasuk dalam penyerahan BKP sebagaimana diatur
dalam Pasal 1A ayat 2 UU PPN, yaitu: 

 Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang


Hukum Dagang;
 Penyerahan BKP untuk jaminan utang-piutang;
 Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antarcabang,
dalam hal PKP tersebut telah memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang;
 Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima
pengalihan adalah PKP; dan
 BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat
dikreditkan.

Pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak

Selain itu, dalam membahas pengenaan PPN atas jasa kena pajak (JKP), perlu diketahui terlebih
dahulu pengertian jasa. Definisi 'jasa' sesuai dengan Pasal 1 angka 5 UU PPN adalah setiap kegiatan
pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,
fasilitas, kemudahan, atau hak sedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. 

Selanjutnya, Pasal 4c ayat 1 huruf c UU PPN menentukan bahwa konsumsi/penyerahan jasa yang
dapat dikenakan PPN adalah penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam daerah pabean oleh
pengusaha. Dalam memori penjelasannya, penyerahan jasa yang terutang PPN harus memenuhi
syarat-syarat berikut: 

 Jasa yang dikenakan merupakan JKP;


 Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean; dan
 Penyeraha dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Sesuai ketentuan pasal tersebut, penentuan suatu penyerahan jasa kena pajak didasarkan kepada
tempat terjadinya/dilakukannya penyerahan jasa atau tempat kegiatan/aktivitas/pengerjaan pelayanan
(jasa) tersebut oleh pemberi jasa, dan tidak didasarkan kepada tempat kedudukan/domisili penerima
jasa. 

Dengan demikian, PPN dikenakan atas penyerahan JKP yang dilakukan dalam daerah pabean oleh
PKP kepada pihak manapun termasuk kepada orang pribadi atau badan yang berada di luar negeri.*

3. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak PPN

DALAM mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN), Indonesia menganut sistem tarif tunggal. Saat
ini tarif yang berlaku sebesar 10%. Hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN). 

Tarif PPN sebesar 10% tersebut diterapkan atas penyerahan-penyerahan sebagai berikut: 

 penyerahan barang kena pajak (BKP) di dalam daerah pabean;


 impor BKP;
 penyerahan jasa kena pajak (JKP) di dalam daerah pabean;
 pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; dan
 pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Adapun, UU PPN juga mengatur penyerahan yang dikenakan tarif PPN sebesar 0%, yang diterapkan
atas penyerahan sebagai berikut: 
 ekspor BKP berwujud;
 ekspor BKP tidak berwujud; dan
 ekspor JKP.

Pengenaan tarif nol persen tersebut tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian,
pajak masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan
tersebut dapat dikreditkan. 

Selain itu, UU PPN juga mengatur bahwa tarif normal PPN sebesar 10% dapat diubah menjadi paling
rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Kewenangan ini diberikan berdasarkan pertimbangann ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana
untuk pembangunan dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan ini dikemukakan
pemerintah kepada DPR dalam rangka pembahasan dan penyusunan RAPBN. 

Dasar Pengenaan Pajak

Selain urusan tarif, UU PPN juga mengatur mengenai dasar pengenaan pajak (DPP) untuk PPN. DPP
adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitungan pajak yang terutang. 

 Harga Jual

Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 

 Penggantian

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena
pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP tidak berwujud karena pemanfaatan BKP
tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. 

 Nilai Impor

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undanganyang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN. 

 Nilai Ekspor

Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh eksportir. 

 Nilai Lain

Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai DPP. Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.03/ 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK Nomor
121/PMK.03/2015 tentang Nilai Lain sebagai DPP, nilai lain ditetapkan sebagai berikut: 
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
4. untuk penyerahan produk tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
5. untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar
wajar;
6. untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP
antarcabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;
7. untuk penyerahan barang kena pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang
disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
8. untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah yang ditagih atau jumlah
yang seharusnya ditagih;
10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata berupa
paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang
penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara
penjualan adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; dan
11. untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan
jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10%
dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan nilai lain atas perkiraan hasil rata-rata terkait penyerahan
film cerita dan harga jual eceran terkait penyerahan produk tembakau diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak. 

Selain itu, dalam PMK-56/PMK.03/2015 sebagai perubahan kedua PMK-75/PMK.03/2010,


disebutkan bahwa ada penyerahan yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, antara lain yang
berhubungan dengan: 

 penyerahan jasa pengiriman paket yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengiriman paket;
 penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata berupa penjualan
paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang tidak
didasari oleh perjanjian jasa perantara penjualan yang dilakukan oleh pengusaha jasa biro
perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata;
 penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa
pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang dilakukan
oleh pengusaha jasa pengurusan transportasi.

Demikian penjelasan mengenai tarif dan DPP dalam PPN. Dalam artikel berikutnya akan diulas
mengenai penghitungan, saat terutang, tempat terutang, serta penyetoran dan pelaporan PPN. 

4. Contoh Soal Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan PPN

PENGHITUNGAN pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia bisa dikatakan sangat sederhana jika
dibandingkan dengan jenis pungutan pajak lainnya. Pasalnya tarif PPN yang diterapkan bersifat
tunggal, yaitu dikenakan tarif 10%. 

Yang perlu menjadi perhatian adalah menentukan apakah transkasi atau penyerahan barang dan
jasa yang dilakukan merupakan objek PPN atau bukan, serta penentuan terkait dasar pengenaan
pajaknya sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel PPN sebelumnya. 
Pada artikel ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai formula penghitungan PPN, kapan saat
terutang, tempat terutang, hingga ketentuan penyetoran dan pelaporan PPN oleh pengusaha kena
pajak (PKP). 

Penghitungan PPN

PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang
meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain. Penghitungan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: 

PPN=Tarif PPN X DPP 

Contoh 1: 

PKP A menjual tunai barang kena pajak (BKP) seharga Rp25.000.000. Maka PPN yang terutang =
10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000. PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan pajak keluaran
yang dipungut oleh PKP A. 

Contoh 2: 

PKP B melakukan penyerahan jasa kena pajak (JKP) dengan memperoleh penggantian Rp20.000.000.
Maka PPN yang terutang = 10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000. PPN sebesar Rp2.000.000 tersebut
merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh PKP B. 

Contoh 3: 

Pengimpor C melakukan impor BKP dari luar daerah pabean dengan nilai impor Rp15.000.000. PPN
yang dipungut melalui Ditjen Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000 = Rp1.500.000. 

Contoh 4: 

PKP D melakukan ekspor BKP dengan nilai ekspor Rp10.000.000. Maka PPN yang terutang = 0% x
Rp10.000.000 = Rp0. PPN sebesar Rp0 tersebut merupakan pajak keluaran. 

Saat Terutang PPN

Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak
terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan
bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya. 

Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat timbulnya utang
pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak
timbul karena undang-undang. 

Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur
dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat
dikenakan pajak. 
Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya
objek pajak. Merujuk Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) dan Pasal 17
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, terutangnya PPN terjadi pada saat-saat berikut: 

 Penyerahan BKP;
 Impor BKP;
 Penyerahan JKP;
 Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean;
 Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean;
 Ekspor BKP Berwujud;
 Ekspor BKP tidak berwujud; atau
 Ekspor JKP.

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam
hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar
daerah pabean, saat terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran. 

Tempat Terutang PPN

Berdasarkan Pasal 12 UU PPN, tempat terutang PPN diatur sebagai berikut: 

 Untuk penyerangan BKP di dalam daerah pabean/penyerahan JKP di dalam daerah


pabean/ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak berwujud/ekspor JKP

Tempat terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan
atau di tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha
dilakukan yang diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak (PER-4/PJ/2010). 

PKP orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi
PKP badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Apabila PKP mempunyai
satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat
tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan PKP dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP. 

Apabila PKP mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di satu wilayah kerja satu
Kantor Ditjen Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, PKP memilih salah satu tempat kegiatan
usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan
usahanya, kecuali apabila PKP tersebut menghendaki lebih dari satu tempat pajak terutang, PKP wajib
memberitahukan kepada Dirjen Pajak. 

Dalam hal tertentu, Dirjen Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang. 

Contoh 1: 

Orang Pribadi (OP) A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila
tempat tinggal OP A tidak ada penyerahan BKP dan/atau JKP, OP A hanya wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Cibinong sebab
tempat terutangnya pajak bagi OP A adalah di Cibinong. 

Sebaliknya, jika penyerahan BKP dan/atau JKP dilakukan OP A hanya di tempat tinggalnya saja, OP
A hanya wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal
maupun di tempat kegiatan usahanya OP A melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, OP A wajib
mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor dan KPP Pratama Cibinong karena tempat terutangnya
pajak ada di Bogor dan Cibinong. 

Berbeda dengan orang pribadi, PKP badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun
di tempat kegiatan usaha karena bagi PKP badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP. 

Contoh 2: 

PT A mempunyai tiga tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang
ketiganya berada di bawah pelayanan satu KPP, yaitu KPP Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan
usaha tersebut melakukan BKP dan/atau JKP dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi
keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. 

Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan
usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang
bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan
usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha tersebut. 

Apabila PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai
tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala
KPP Pratam Bengkulu. 

 Impor BKP

Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut oleh Ditjen Bea
dan Cukai. 

 Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean

Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau
tempat kegiatan usaha. 

Saat Penyetoran dan Pelaporan

Penyetoran PPN oleh PKP harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
masa pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) masa pajak PPN disampaikan. Adapun SPT
Masa PPN dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. 

Demikian penjelasan mengenai perhitungan, saat/tempat terutang PPN, penyetoran dan pelaporan
PPN. Artikelnya berikutnya akan mengulas mengenai konsep pajak masukan dan pajak keluaran serta
pengkreditan PPN. 

5. CONTOH SOAL EKUALISASI PPN DAN PPH

DALAM melakukan pemeriksaan pajak dikenal suatu teknik pemeriksaan yang disebut dengan
ekualisasi. Teknik ekualisasi ini tujuannya untuk menelusuri perbedaan antara suatu jumlah, misal
jumlah penyerahan yang dilaporkan dalam SPT PPN dari tahun pajak tertentu dengan peredaran usaha
yang dilaporkan dalam SPT PPh Badan dari tahun pajak tertentu yang sama. Berikut diberikan contoh
soal ekualisasi terkait dengan perbedaan antara jumlah penyerahan di SPT PPN dan jumlah peredaran
usaha di SPT PPh Badan. 
Soal:

Diketahui jumlah penyerahan dalam SPT PPN tahun 2017 sebesar Rp 4.796.500.000. Saudara
diminta untuk melakukan ekualisasi dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum di SPT PPh
Badan sejumlah Rp 4.412.500.000. Berikut data-data yang terkait dengan ekualisasi: 

 Penyerahan bulan Desember 2016 sebesar Rp 600.000.000, faktur pajak dan penyerahannya
dilaporkan dalam SPT PPN bulan Januari 2017;
 Dalam bulan November 2017, PT ABC menerima uang muka sebesar 10% atau sebesar Rp
70.000.000 atas penjualan barang dagangan sebesar Rp 700.000.000 yang penyerahannya
baru dilakukan di bulan Maret 2018;
 Dalam bulan Februari 2017 terdapat pemakaian barang dagangan untuk keperluan pribadi
sebesar Rp 15.000.000;
 Terdapat penjualan barang dagangan sebesar Rp 300.000.000 di bulan Desember 2017 yang
faktur pajak dan penyerahannya dilaporkan dalam SPT PPN bulan Januari 2018;
 Penjualan ekspor pada tanggal 7 April 2017 sebesar USD 5.000 dengan kurs KMK sebesar
Rp 10.000, dan Kurs Jual (realisasi) Rp 10.500;
 Penjualan ekspor pada tanggal 21 Juni 2017 sebesar USD 6.000 dengan kurs KMK sebesar
10.250, dan Kurs Jual (realisasi) Rp 10.000.

Pertanyaan:

Buat ekualisasi perbedaan antara jumlah penyerahan yang terdapat di SPT PPN tahun 2017 dan
jumlah peredaran usaha di SPT PPh Badan tahun 2017. 

Jawaban:

KETERANGAN Rp Rp
Penyerahan menurut SPT PPN tahun 2017 4.796.500.000
Ditambah:
 Penjualan Des. 2017, lapor Jan. 2018
300.000.000

 Selisih Kurs KMK dan Realisasi atas Penjualan Ekspor 7


April 2017 2.500.000

Jumlah 302.500.000
Dikurangi
 Uang Muka
70.000.000

 Penjualan Des. 2016, lapor Jan. 2017


600.000.000

 Pemakaian Sendiri
15.000.000

 Selisish Kurs KMK dan Realisasi atas Penjualan Ekspor


21 Juni 2017 1.500.000
KETERANGAN Rp Rp
Jumlah 686.500.000
Peredaran Usaha menurut SPT PPh Badan 2017 4.412.500.000
6. Contoh Perhitungan PPN Kegiatan Membangun Sendiri

DALAM ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia, kegiatan membangun sendiri (KMS)
merupakan kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. 

Menghitung PPN atas KMS sedikit berbeda dengan pada PPN pada umumnya. Selain itu, tidak semua
KMS terutang PPN. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar dapat dikenakan PPN. 

Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan
dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri. 

Berdasarkan ketentuan itu, bangunan yang menjadi objek PPN KMS adalah bangunan berupa satu
atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah
dan/atau perairan dengan kriteria: 

 konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau
baja;
 diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
 luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Jika wajib pajak membangun rumah, baik untuk tempat tinggal kita sendiri maupun disewakan atau
dijadikan tempat kos, dan rumah tersebut luasnya lebih dari 200 meter persegi maka atas rumah
tersebut wajib dibayarkan PPN KMS. 

Tarif
Adapun besarnya tarif PPN KMS adalah 2% dari total pengeluaran.Tarif ini adalah tarif efektif yang
berasal dari 10% yang merupakan tarif PPN sesuai Undang-Undang PPN dikalikan dengan Dasar
Pengenaan Pajak sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Saat Terutang
Saat terutangnya PPN KMS dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan
selesai. KMS yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang
tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. 

Tempat Terutang
Tempat Pajak PPN KMS adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.Untuk itu, PPN KMS ini
harus dibayar dengan kode Kantor Pelayanan Pajak (KPP)di mana bangunan berada. 

Cara Pembayaran
PMK No.163/ 2012 mengatur cara pembayaran PPN KMS sebagai berikut: 

 Pembayaran PPN terutang atas KMS dilakukan setiap bulan sebesar 2% dikalikan dengan


jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
 Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak dengan kode: 411211 – 103
 Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama tempat orang
pribadi atau badan yang melakukan KMS terdaftar, kolom NPWP yang tercanturn pada Surat
Setoran Pajak diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.
 Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama yang
berbeda dengan KPP tempat orang pribadi atau badan yang melakukan KMSsendiri terdaftar,
Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
o kolom NPWP diisi dengan: 00.000.000.0-KPP-000 (KPP maksudnya 3 digit kode
KPP),
o pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan
yang melakukan KMS. Cara terakhir ini berlaku juga untuk orang yang tidak
memiliki NPWP.

Cara Pelaporan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib melaporkan PPN KMS dengan menggunakan SPT Masa PPN,
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. 

Orang pribadi atau badan yang bukan PKP yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas
KMS dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara (NTPN) dianggap
telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi. 

Jadi, jika kita bukan PKP, maka validasi NTPN dari bank atau Pos dianggap sebagai bentuk
pelaporan. Sehingga tidak perlu lapor lagi ke kantor pajak. Hal ini diatur dengan Pasal 11 ayat (2a)
Peraturan Menteri Keuangan nomor 9/PMK.03/2018.

Contoh Perhitungan
Kasus 1
Pada Desember 2017 Bapak Budi memulai membangun sebuah rumah untuk tempat tinggal
pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 200 m2, biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh Bapak Budi dalam upaya membangun rumah tersebut sampai dengan selesainya
bangunan tersebut adalah sebagai berikut: 

 pembelian tanah sebesar Rp200.000.000,


 pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp180.000.000,
 biaya upah mandor dan pekerja bangunan Rp70.000.000.

Maka berapakah PPN yang terutang atas pembangunan rumah tersebut? 

Jawab:
Sesuai dengan PMK No. 163/ 2012 tarif PPN atas KMS yang terhutang adalah: 

= 10% X DPP
= 10% X (20% X Total biaya Pembangunan) 

= 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000) 

Dengan demikian, PPN atas KMS yang terutang oleh Bapak Budi adalah
= 10% X 20% X Rp250.000.000
= Rp 5.000.000 

Kasus 2
Eko membangun sendiri sebuah bangunan dua lantai, Lantai pertama luasnya 150 m2 dan lantai kedua
50 m2. Bangunan tersebut diperkirakan selesai selama 3 bulan dengan total biaya sebesar
Rp500.000.000, tidak termasuk harga perolehan tanah. Berapakah total PPN KMS yang terutang?
Jawab: 
Karena total bangunan tersebut sama dengan 200m2 maka atas kegiatan membangun sendiri tersebut
terutang PPN KMS dengan perhitungan 10% x 20% x Rp500.000.000 = Rp10.000.000.

7. Contoh Perhitungan PPN dengan DPP Nilai Lain

SISTEM pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia menganut tarif tunggal sebesar 10%. Adapun
untuk ekspor dikenakan tarif 0% yang mana ditujukan untuk melucuti semua PPN yang menempel
pada barang dan jasa yang diekspor. 

Dengan adanya kebijakan tarif PPN ekspor 0%, eksportir akan memiliki pajak keluaran nihil atau
tidak ada pajak yang dipungut. Namun, mekanisme pengkreditan pajak tetap berlaku, sehingga
ekportir berhak mengajukan pengembalian pajak masukan melalui restitusi maupun kompensasi. 

Dalam praktiknya, di luar kedua tarif tersebut, terdapat pula istilah tarif efektif. Istilah ini mengacu
pada besaran tarif PPN umum sebesar 10% dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang tidak atau
kurang dari 100%. 

Sebagai contoh tarif PPN rokok sebesar 9,1% atas DPP nilai lain (Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 2017/PMK.10/2016). Tarif efektif ini pada dasarnya dhitung dari 10% dikali 91%.
Adapun DPP nilai lain rokok adalah harga jual eceran (HJE). 

DPP nilai lain merupakan dasar pengenaan PPN yang ditetapkan Menteri Keuangan dan ditujukan
untuk transaksi/penyerahan tertentu. Hal ini diatur dalam PMK No. 121/PMK.03/2015 tentang
Perubahan Ketiga atas PMK No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak. 

Berikut daftar DPP nilai lain dalam perhitungan PPN: 

 untuk pemakaian sendiri barang kena pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) adalah
harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
 untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
 untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
 untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar HJE;
 untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar
wajar;
 untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar
cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;
 untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara
pedagang perantara dengan pembeli;
 untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang;
 untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah yang ditagih atau jumlah
yang seharusnya ditagih; atau
 untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata berupa
paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang
penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara
penjualan adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
 untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan
jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10%
dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.
Dalam PMK No.56/PMK.03/2015 yang merupakan perubahan kedua dari PMK No.75/PMK.03/2010,
terdapat transaksi dengan DPP nilai lain yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, yaitu
terkait: 

 penyerahan jasa pengiriman paket yang dilakukan oleh pengusaha jasa pengiriman paket;
 penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata berupa penjualan
paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang tidak
didasari oleh perjanjian jasa perantara penjualan yang dilakukan oleh pengusaha jasa biro
perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata; dan
 penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa
pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang dilakukan
oleh pengusaha jasa pengurusan transportasi.

Ilustrasi Penghitungan PPN dengan DPP Nilai Lain

Sebagai contoh, berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan, jasa atas pengiriman paket dikenakan
PPN dengan tarif efektif 1% dan pajak masukan atas jasa tersebut tidak dapat dikreditkan. 

Berbeda dari jenis jasa lainnya yang menggunakan DPP yang berlaku umum, yaitu 100% dari nilai
tagihan. DPP jasa pengiriman paket menggunakan niai lain sebesar 10% dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya ditagih. 

PPN jasa pengiriman paket = 10% x 10% x Nilai yang Ditagih

Contoh kasus: 

CV Maju Ekspress, sebuah perusahaan jasa pengiriman paket yang berlokasi di Jakarta, mendapat
order pengiriman barang dari Jakarta menuju ke Surabaya dengan biaya pengiriman Rp3.500.000 dari
PT Merdeka. 

PPN yang terutang atas transaksi ini adalah: 1% x Rp3.500.000 = Rp35.000. 

Mengingat PPN yang terutang adalah 1%, maka jumlah uang yang harus dibayar PT Merdeka kepada
CV Maju Ekspress adalah: Rp3.500.000 + Rp35.000 = Rp3.535.000. 

8. Tata Cara Penggunaan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

SETIAP penyerahan barang kena pajak (JKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang terutang pajak
pertambahan nilai (PPN) wajib dibuatkan faktur pajak. 

Dari definisinya, faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang diterbitkan oleh pengusaha kena
pajak (PKP) yang melakukan penyerahan BKP atau JKP. Artinya, jika belum dikukuhkan sebagai
PKP, wajib pajak tidak dapat menerbitkan faktur pajak. 

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 (UU PPN dan PPnBM). 

Sesuai dengan Pasal 13 ayat 5 UU PPN dan PPnBM, syarat minimal yang harus diperhatikan dalam
membuat faktur pajak adalah dengan mencantumkan data-data sebagai berikut: 

1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP atau JKP;
2. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
4. PPN yang dipungut;
5. PPnBM yang dipungut;
6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan
7. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

Kapan Faktur Pajak Harus Dibuat?

Penjelasan terkait tata cara pembuatan dan tata cara pembetulan atau penggantian faktur pajak lebih
lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 (PMK 151/2013). 

Sementara itu, untuk melaksanakan PMK 151/2013, ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-24/PJ/2012 mengenai bentuk, ukuran, tata cara pengisian keterangan, prosedur
pemberitahuan dalam rangka pembuatan, tata cara pembetulan atau penggantian, dan tata cara
pembatalan faktur pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014. 

Disebutkan dalam Pasal 3 PMK 151/2013 bahwa PKP wajib membuat faktur pajak pada: 

1. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
2. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
3. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat faktur pajak
seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan faktur pajak. 

Atas faktur pajak yang cacat, atau rusak, atau salah dalam pengisian, atau penulisan, atau yang hilang,
PKP yang menerbitkan faktur pajak tersebut dapat membuat faktur pajak pengganti. 

PKP akan dikenai sanksi administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) apabila tidak
membuat faktur pajak, tidak mengisi faktur pajak secara lengkap, dan melaporkan faktur pajak tidak
sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak. 

Faktur Pajak Gabungan

Untuk meringankan beban administrasi dalam membuat faktur pajak, PKP diperkenankan untuk satu
faktur pajak untuk seluruh transaksi dalam satu bulan kalender yang disebut dengan faktur pajak
gabungan. 

Faktur pajak gabungan merupakan faktur pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan
kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. Definisi ini
diterangkan dalam Pasal 13 ayat 2 UU PPN dan PPnBM. 

Sementara itu, berdasarkan Pasal 6 PMK 151/2013 faktur pajak gabungan harus dibuat paling lama
pada akhir bulan penyerahan BKP atau JKP. 

Contoh: 

PT Aramis memesan 100 unit komputer kepada PT Alaska. PT Alaska menyerahkannya secara
berkala, tanggal 1, 5, 13, 23, 28, 29, 31 Agustus 2018. Namun, sampai dengan tanggal 31 Agustus
2018, PT Alaska belum menerima pembayaran dari PT Aramis. Pada tanggal berapa PT. Alaska dapat
menerbitkan faktur pajak? 

Jawaban: 

31 Agustus 2018. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2a) UU No. 42 Tahun 2009, Pengusaha Kena
Pajak diperkenankan untuk membuat faktur pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang sama
selama satu bulan kalender, paling lama pada akhir bulan penyerahan. 

Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak

Direktur Jenderal (Ditjen) Pajak menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan faktur pajak. Ketentuan mengenai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak ini
ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2010 tentang Dokumen
Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2014. 

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur Ppajak adalah: 

1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat
yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
2. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG
untuk penyaluran tepung terigu;
3. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuatkan/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk
penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak;
4. Bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
5. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill, atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan
untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
6. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
7. Bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan Iistrik;
8. Pemberitahuan Ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud yang dilampiri dengan invoiceyang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor JKP/BKP
Tidak Berwujud, untuk ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud;
9. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa
nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan dilampiri dengan Surat Setoran
Pajak (SSP), Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa
nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor BKP;
10. SSP untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah
Pabean;
11. Bukti tagihan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Perusahaan Air Minum;
12. Bukti tagihan (Trading Confirmation) atas penyerahan JKP oleh perantara efek;
13. Bukti tagihan atas penyerahan JKP oleh perbankan; dan
14. SSP untuk pembayaran PPN atas penyerahan BKP melalui juru lelang disertai dengan Risalah
Lelang.

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Ketentuan pemberian kode dan nomor faktur pajak mengacu pada PER-24/PJ/2012 jo PER-
17/PJ/2014. Pengusaha tidak boleh sembarangan membuat faktur pajak dan menentukan sendiri
nomor faktur pajak. Faktur pajak harus menggunakan kode dan nomor seperti yang ditentukan oleh
peratuaran tersebut. 
Format kode dan nomor seri faktur pajak terdiri dari 16 digit, yaitu: 

 2 (dua) digit pertama adalah kode transaksi;


 1 (satu) digit berikutnya adalah kode status; dan
 13 (tiga belas) digit berikutnya adalah nomor seri faktur pajak.

Tata Cara Penggunaan Kode Transaksi pada Faktur Pajak

Dua digit pertama merupakan kode faktur pajak. Kode ini ditentukan oleh pengusaha tetapi mengacu
pada kode yang sudah ditentukan. Berikut penjelasannya: 

 Kode Faktur Pajak 01

Kode faktur pajak 01 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN dan PPN-
nya dipungut oleh PKP penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. 

 Kode Faktur Pajak 02

Kode faktur pajak 02 digunakan untuk penyerahan BKP dan/ atau JKP kepada Pemungut PPN
Bendahara Pemerintah yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN Bendahara Pemerintah. 

 Kode Faktur Pajak 03

Kode faktur pajak 03 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN Lainnya
(selain Bendahara Pemerintah) yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN Lainnya (selain
Bendahara Pemerintah) . 

Pemungut PPN Lainnya selain Bendahara Pemerintah, dalam hal ini adalah Kontraktor Kontrak Kerja
Sama Pengusahaan Minyak dan Gas, Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan
Sumber Daya Panas Bumi, Badan Usaha Milik Negara atau Wajib Pajak lainnya yang ditunjuk
sebagai Pemungut PPN, termasuk perusahaan yang tunduk terhadap Kontrak Karya Pertambangan
yang di dalam kontrak tersebut secara lex specialist ditunjuk sebagai Pemungut PPN. 

Peraturan Menteri Keuangan nomor 73/PMK.03/2010 menunjuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi (KKKS Migas) dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang
Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau
PPN dan PPnBM. 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2015 menunjuk Badan Usaha Tertentu sebagai
pemungut PPN atau PPN dan PPN, yaitu: 

1. badan usaha milik negara yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah berlakunya
Peraturan Menteri ini, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik
negara kepada badan usaha milik negara lainnya;
2. badan usaha yang bergerak di bidang pupuk, yang telah dilakukan restrukturisasi oleh
Pemerintah yaitu PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang,
PT Pupuk Kalimantan Timur, dan PT Pupuk Iskandar Muda;
3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh badan usaha milik negara yaitu PT
Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen
Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo,
PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Badak Natural Gas Liquefaction,
PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas
Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah, dan Bank
BNI Syariah.

 Kode Faktur Pajak 04

Kode faktur pajak 04 digunakan untuk penyerahan BKP dan/ atau JKP yang menggunakan DPP Nilai
Lain yang PPN-nya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP. 

Ada 13 DPP Nilai Lain, yaitu: 

1. pemakaian sendiri BKP dan atau JKP, yaitu Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi
laba kotor;
2. pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP, yaitu Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
3. penyerahan Film Cerita Impor oleh importir kepada Pengusaha Bioskop, yaitu sebesar
Rp12.000.000,00 per copy Film Cerita Impor;
4. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean berupa
Film Cerita Impor, yaitu sebesar Rp12.000.000,00 per copy Film Cerita Impor;
5. penyerahan produk hasil tembakau, yaitu Harga Jual Eceran Hasil Tembakau untuk
penyerahan Hasil Tembakau; atau Harga Jual Eceran Hasil Tembakau untuk jenis dan merek
yang sama, yang dijual untuk umum setelah dikurangi laba bruto untuk penyerahan Hasil
Tembakau yang diberikan secara cuma-cuma;
6. penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata, yaitu 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
7. jasa pengiriman paket, yaitu 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih;
8. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang
Kena Pajak antar cabang, yaitu HPP atau Harga Perolehan;
9. penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang, yaitu harga lelang;
10. Penyerahan BKP melalui Pedagang Perantara, yaitu harga yang disepakati antara pedagang
perantara dengan pembeli;
11. penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa
pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges), yaitu 10%
(sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih;
12. penyerahan Emas Perhiasan dan / atau jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan oleh
Pengusaha Emas Perhiasan, yaitu 20% x harga jual Emas Perhiasan atau nilai penggantian;
13. penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian, yaitu Nilai Lain atas bagian harga pupuk
tertentu yang disubsidi termasuk PPN adalah nilai berupa uang yang dihitung dengan formula
100/110 (seratus per seratus sepuluh) dari jumlah pembayaran subsidi. Atau Nilai Lain atas
bagian harga pupuk tertentu yang bagian harganya tidak disubsidi adalah nilai berupa uang
yang dihitung dengan formula 100/110 (seratus per seratus sepuluh) dari harga eceran
tertinggi (HET).

 Kode Faktur Pajak 05

Kode ini tidak digunakan. 

 Kode Faktur Pajak 06

Kode faktur pajak 06 digunakan untuk penyerahan lainnya yang PPN-nya dipungut oleh PKP Penjual
yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri (turis asing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E UU PPN dan PPnBM. 
Kode ini digunakan atas penyerahan BKP dan/ atau JKP selain jenis penyerahan pada kode 01 sampai
dengan kode 04 dan penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing),
antara lain: 

1. Penyerahan yang menggunakan tarif selain 10%.


2. Penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Pengusaha Pabrik hasil
tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil tembakau dengan
mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
62/KMK.03/ 2002 tentang Dasar. Penghitungan, Pemungutan dan Penyetoran PPN atas
Penyerahan Hasil Tembakau.
3. Penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) oleh PKP
Toko Retail yang ditunjuk, terkait dengan penerbitan faktur pajak khusus.

 Kode Faktur Pajak 07

Kode faktur pajak 07 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN
Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DTP). 

Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung
Pemerintah (DTP), berdasarkan peraturan khusus yang berlaku, antara lain: 

1. ketentuan yang mengatur mengenai bea masuk, bea masuk tambahan, PPN dan PPnBM dan
PPh dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Dana
Pinjaman/Hibah Luar Negeri.
2. ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan bagi PKP Berstatus Entrepot
Produksi Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (KB).
3. ketentuan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat.
4. ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu.
5. ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan PPN atas Penyerahan Avtur Untuk Keperluan
Penerbangan Internasional.
6. ketentuan yang mengatur mengenai Toko Bebas Bea.
7. ketentuan yang mengatur mengenai PPN Ditanggung Pemerintah atas Penyerahan Bahan
Bakar Nabati di Dalam Negeri.
8. ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta
Pengawasan atas dan Pengeluaran Barang ke dan dari Serta Berada di Kawasan yang Telah
Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
9. ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran,
serta Pelunasan PPN dan/ atau PPnBM atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan BKP dan/ atau
JKP dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau
Penyerahan BKP dan/ atau JKP dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
10. ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan
dari Kawasan yang telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas.

 Kode Faktur Pajak 08

Kode faktur pajak 08 digunakan untuk penyerahan BKP dan/ atau JKP yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. 

Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN
berdasarkan peraturan khusus yang berlaku antara lain: 
1. Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/ atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
dan/ atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
2. Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
3. Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan PPN dan/ atau PPnBM kepada
Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta pejabatnya.

 Kode Faktur Pajak 09

Kode faktur pajak 09 digunakan untuk penyerahan aktiva Pasal 16D yang PPN-nya dipungut oleh
PKP penjual yang melakukan penyerahan BKP. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan wajib
menggunakan DPP nilai harga pasar wajar. 

Status Faktur Pajak

Kode Status, diisi dengan ketentuan sebagai berikut: 0 (nol) untuk status normal atau 1 (satu) untuk
status penggantian. Dalam hal diterbitkan faktur pajak pengganti ke-2, ke-3, dan seterusnya maka
kode status yang digunakan tetap kode status ‘1’. 

Faktur pajak pengganti dibuat atas permintaan pembeli atau penerima JKP atau atas kemauan sendiri.
Penjual atau pemberi JKP membuat faktur pajak Pengganti terhadap faktur pajak yang rusak, salah
dalam pengisian, atau salah dalam penulisan. 

Faktur pajak pengganti diisi berdasarkan keterangan yang seharusnya dan dilampiri dengan faktur
pajak yang rusak, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan tersebut. Faktur pajak pengganti
tetap menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang sama dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang
diganti. Sedangkan tanggal faktur pajak pengganti diisi dengan tanggal pada saat faktur pajak
Pengganti dibuat. 

Penerbitan faktur pajak Pengganti harus dilaporkan pada Masa Pajak yang sama. Karena harus
dilaporkan dengan masa pajak yang sama maka faktur pajak pengganti mengakibatkan adanya
kewajiban untuk membetulkan SPT Masa PPN pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan
faktur pajak tersebut. 

Perbedaan Faktur Pajak Pengganti dan Faktu Pajak Batal

Faktur pajak dibatalkan hanya dilakukan dalam hal telah terjadi pembatalan transaksi. Pembatalan
transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan
transaksi. Bukti dapat berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi
pembatalan transaksi. 

Sedangkan faktur pajak diganti jika terdapat kerusakan faktur, salah dalam pengisian, atau salah
dalam penulisan. Faktur pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh PKP penjual
yang menerbitkan faktur pajak tersebut. 

PKP Penjual yang membatalkan faktur pajak harus mengirimkan surat pemberitahuan dan
salinan/copy dari faktur pajak yang dibatalkan ke KPP tempat PKP penjual dikukuhkan dan ke KPP
tempat PKP pembeli dikukuhkan. Selain itu, baik faktur pajak pengganti maupun faktur pajak batal
mengharuskan pembetulan SPT Masa PPN jika faktur pajak sudah dilaporkan.

9. Memahami Faktur Pajak Elektronik


FAKTUR pajak elektronik atau disingkat dengan e-faktur merupakan terobosan dari Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak untuk menerapkan sistem teknologi dalam administrasi perpajakan. 

E-faktur sendiri sudah diterapkan secara bertahap sejak 2014. Tercatat, pada 1 Juli 2014 e-faktur
berlaku untuk 100 pengusaha kena pajak (PKP) yang ditunjuk Ditjen Pajak. Kemudian mulai
diterapkan untuk PKP di Jawa dan Bali pada1 Juli 2015. Adapun penerapan e-faktur secara nasional
berlaku sejak 1 Juli 2016. 

Secara definisi, e-faktur adalah faktur pajak yang dibuat melalui aplikasi atau sistem elektronik yang
ditentukan dan/atau disediakan oleh Ditjen Pajak. Adapun aplikasi atau sistem elektronik yang
ditentukan dan/atau disediakan oleh Ditjen Pajak tersebut antara lain berupa: 

1. Aplikasi e-faktur Client Desktop;


2. Aplikasi e-faktur Web Based; atau
3. Aplikasi e-faktur Host-to-Host (H2H).

Aplikasi e-faktur H2H dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu dilakukan oleh PKP yang membuat e-
faktur; atau dilakukan oleh PKP yang membuat e-faktur melalui Penyelenggara e-faktur H2H.
Keduanya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak. Keputusan Dirjen Pajak itu
diterbitkan berdasarkan permohonan tertulis dan setelah dilakukan pengujian sistem (User
Acceptance Test/UAT) oleh Ditjen Pajak. 

Ketentuan e-faktur diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan PER-31/PJ/2017. 

Jenis Transaksi yang Wajib Dibuatkan E-Faktur

Terdapat dua jenis transaksi yang wajib dibuatkan e-faktur oleh PKP, yaitu: 

 penyerahan barang kena pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh PKP,
dan/atau penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP (Pasal 16D UU PPN dan PPnBM); dan/atau
 penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh PKP.

Selain itu, berdasatkan PER-16/PJ/2014, kewajiban pembuatan e-faktur dikecualikan atas penyerahan
BKP dan/atau JKP berikut: 

 yang dilakukan oleh pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Peraturan
Pemerintah No. 1 TAHUN 2012;
 yang dilakukan oleh PKP Toko Retail kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E UU PPN dan PPnBM; dan
 yang bukti pungutan PPN-nya berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN dan PPnBM.

Saat Pembuatan E-Faktur

Dalam Pasal 3 PER-16/PJ/2014 ditetapkan saat pembuatan e-faktur yang mengacu pada UU PPN dan
PPnbM, antara lain: 

 saat penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal
16D UU PPN dan PPnBM;
 saat penyerahan JKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN dan
PPnBM;
 saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
 saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
 saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Informasi yang Wajib Dicantumkan dalam E-Faktur

Menurut Pasal 4 PER-16/PJ/2014, e-faktur harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP
dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat: 

 nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;


 nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
 jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
 PPN yang dipungut;
 PPnBM yang dipungut;
 kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan
 nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

Adapun untuk nama, alamat, dan NPWP pembeli bagi pembeli BKP atau penerima JKP orang pribadi
yang tidak memiliki NPWP, maka identitas pembeli tersebut wajib diisi dengan ketentuan sebagai
berikut: 

 nama dan alamat pembeli BKP atau penerima JKP diisi dengan nama dan alamat
sebagaimana tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk atau Paspor; dan
 NPWP pembeli BKP atau penerima JKP diisi dengan NPWP 00.000.000.0-000-000 dan wajib
mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor Paspor untuk Warga Negara
Asing (WNA).

Dalam hal PKP penjual tidak mencantumkan keterangan di atas dalam aplikasi atau sistem elektronik
yang telah ditentukan dan/atau disediakan Ditjen Pajak, e-faktur tidak dapat diterbitkan. Selain itu,
dalam hal e-faktur diterbitkan dengan tidak mencantumkan keterangan yang sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya dan/atau sesungguhnya, e-faktur tersebut termasuk e-faktur yang diterbitkan tidak
berdasarkan transaksi yang sebenarnya. 

E-Faktur Salah Isi, Hilang/Rusak, Dibatalkan

Atas e-faktur yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat
keterangan yang lengkap, jelas dan benar, PKP yang membuat e-faktur tersebut dapat membuat e-
faktur pengganti melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan Ditjen
Pajak. 

Untuk hasil cetak e-faktur yang rusak atau hilang, PKP yang membuat e-faktur dapat melakukan cetak
ulang melalui aplikasi e-faktur. Adapun untuk data e-faktur yang rusak atau hilang, PKP dapat
mengajukan permintaan data e-faktur ke Ditjen Pajak melalui KPP tempat PKP dikukuhkan dengan
menyampaikan surat permintaan data e-faktur. Permintaan data e-Faktur ini terbatas pada data e-
Faktur yang telah diunggah (upload) ke Ditjen Pajak dan telah memperoleh persetujuan dari Ditjen
Pajak. 

Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang e-fakturnya
telah dibuat, PKP yang membuat e-faktur harus melakukan pembatalan e-faktur melalui aplikasi e-
faktur yang ditentukan dan/atau disediakan Ditjen Pajak. 
Dengan adanya e-faktur, PKP penjual maupun PKP pembeli mendapat kemudahan dan keuntungan.
Bagi penjual, tanda tangan basah dalam faktur pajak digantikan dengan tanda tangan elektronik serta
dapat meminta nomor seri faktur pajak melalui website Ditjen Pajak sehingga tidak perlu lagi datang
ke KPP. Selain itu, e-faktur tidak harus dicetak sehingga mengurangi biaya kertas, biaya cetak, dan
biaya penyimpanan. 

Untuk PKP pembeli, mereka dapat terlindungi dari penyalahgunaan faktur pajak yang tidak sah.
Pasalnya, e-faktur dilengkapi dengan pengaman berupa QR Code yang dapat diverifikasi
dengan smartphone tertentu, sehingga PKP pembeli memperoleh kepastian bahwa PPN yang dibayar
pembeli telah dilaporkan ke Dirtjen Pajak oleh pihak penjual.

10. Begini Tata Cara Pengukuhan PKP

SEBAGAIMANA telah diulas dalam artikel kelas pajak sebelumnya, setiap penyerahan barang kena
pajak (JKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang terutang pajak pertambahan nilai (PPN) wajib dibuatkan
faktur pajak. 

Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak (PKP)
yang melakukan penyerahan BKP atau JKP. Artinya, jika belum dikukuhkan sebagai PKP, wajib
pajak tidak dapat menerbitkan faktur pajak. 

Siapa yang wajib menjadi PKP?

Setiap wajib pajak atau pengusaha yang memiliki omzet dalam setahun lebih dari Rp4,8 miliar wajib
untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengukuhan tesebut dapat diajukan sendiri maupun dikukuhkan
secara jabatan. Ketentuan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas PMK Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha
Kecil PPN. 

Sementara itu, tata cara pelaporan usaha dan pengukuhan PKP diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak
(PER) Nomor PER-02/PJ/2018 yang merupakan perubahan kedua dari PER-20/PJ/2013 tentang Tata
Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pelaporan Usaha dan
Pengukuhan PKP, Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan PKP, serta Perubahan Data dan
Pemindahan Wajib Pajak. 

Dalam PMK 197/2013 diatur bahwa kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar. 

Lantas bagaimana tata cara agar dapat dikukuhkan sebagai PKP?

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP dengan
mengisi Formulir Pengukuhan PKP yang terdapat dalam lampiran PER-20/2013. Formulir tersebut
disi sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kemudian, formulir tersebut ditandatangani dan disampaikan
ke kantor pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau
tempat kegiatan usaha. 

Permohonan pengukuhan PKP dapat juga dilakukan melalui online di


lamanereg.pajak.go.id. Persyaratan dokumen yang harus dilampirkan sama, baik manual maupun
online. Hanya saja, untuk permohonan secara online, dokumen-dokumen tersebut harus bentuk digital
dan diunggah dalam aplikasi online yang disediakan Ditjen Pajak. 
Berikut dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pengukuhan PKP. 

Untuk wajib pajak orang pribadi:

 fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara Indonesia;


 fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap
(KITAP) bagi Warga Negara Asing (WNA); dan
 surat pernyataan bermaterai dari wajib pajak yang menyatakan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut
dilakukan.

Untuk wajib pajak badan:

 fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi wajib pajak badan dalam
negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
 fotokopi Kartu NPWP salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab
adalah WNA dan tidak memiliki NPWP; dan
 surat pernyataan bermaterai dari salah satu pengurus wajib pajak badan yang menyatakan
kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.

Untuk wajib pajak dengan status cabang dari wajib pajak badan:

 fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi wajib pajak badan dalam
negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
 fotokopi Kartu NPWP salah satu pengurus cabang, atau fotokopi paspor dalam hal
penanggung jawab cabang adalah WNA dan tidak memiliki NPWP; dan
 surat pernyataan bermaterai dari salah satu pengurus cabang yang menyatakan kegiatan usaha
yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.

Untuk wajib pajak badan bentuk kerja sama operasi (joint operation):

 fotokopi perjanjian kerja sama/akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (joint
operation);
 fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation)
yang diwajibkan untuk memiliki NPWP;
 fotokopi Kartu NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja
sama operasi (joint operation), atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab adalah
WNA dan tidak memiliki NPWP; dan
 surat pernyataan bermaterai dari salah satu pengurus wajib pajak kerja sama operasi (joint
operation) yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan
usaha tersebut dilakukan.

Apabila dokumen yang disyaratkan di atas diterima secara lengkap, KPP menerbitkan Bukti


Penerimaan Surat secara elektronik atau manual tergantung dari cara permohonan yang dilakukan
wajib pajak. Setelah itu, petugas pajak akan melakukan verifikasi ke lapangan. 

Jika permohonan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, kantor pajak akan
menerbitkan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 5 hari kerja sejak
Bukti Penerimaan Surat diterbitkan. Jika dalam jangka waktu tersebut belum ada keputusan, maka
permohonan dianggap dikabulkan. 
Meskipun telah mendapat Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, PKP tidak secara otomatis dapat
menerbitkan faktur pajak karena sejak 1 Juli 2016 semua PKP wajib menggunakan faktur pajak
elektronik atau e-faktur. 

Untuk menggunakan aplikasi e-faktur, PKP harus terlebih dahulu mengajukan sertifikat digital dan
nomor faktur pajak elektronik. Jika keduanya sudah terpenuhi, PKP tersebut baru dapat menerbitkan
faktur pajak elektonik.

11. Memahami Kewajiban dan Hak PKP di Indonesia

SETIAP pengusaha yang memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun wajib untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Tata cara pengukuhan PKP ini pun telah diulas
dalam artikel kelas pajak pekan lalu. 

Setelah dikukuhkan sebagai PKP, pengusaha dapat menerbitkan faktur pajaksebagai bukti pungutan
pajak ataspenyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan. Lantas apa
saja yang menjadi kewajiban dan hak PKP menurut ketentuan pajak di Indonesia? 

Kewajiban PKP

Menurut Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), disebutkan enam hal
yang wajib oleh dilakukan oleh PKP, yaitu: 

 Melaporkan usahanya untuk dikukuhan sebagai PKP;


 Memungut PPN yang terutang;
 Menerbitkan faktur pajak;
 Membuat pencatatan atau pembukuan atas kegiatan usahanya;
 Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar daripada
pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetor pajak penjualan atas barang mewah
(PPnBM) yang terutang; dan
 Melaporkan penghitungan pajak melalui surat pemberitahuan (SPT) pajak, yaitu SPT Masa
PPN.

Kewajiban ini bersifat kumulatif. Tanpa melakukan kewajiban yang pertama, PKP tidak mungkin
dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah disebutkan di atas. Kewajiban
pengusaha kecil yang telah dikukuhkan sebagai PKP adalah sama dengan kewajiban PKP lainnya. 

Selain itu, untuk memberi kelonggaran waktu kepada PKP untuk menyetor kekurangan pembayaran
pajak dan penyampaian SPT Masa PPN, Pasal 15 UU PPN telah mengatur secara khusus mengenai
batas akhir penyetoran dan penyampaian SPT Masa PPN yang berbeda dengan yang diatur dalam UU
Ketetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 

Hak PKP

Selain kewajiban, PKP juga mempunyai hak-hak tertentu yang telah diatur dalam UU PPN, yaitu: 

 Hak untuk mengkreditkan pajak masukan. Kendati demikian, rumusan Pasal 9 ayat (8) huruf
‘a’ UU PPN tidak memperbolehkan adanya pengkreditan pajak masukan sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai PKP.
 Hak mengkompensasikan dan/atau merestitusi kelebihan pajak.
 Hak untuk mengajukan keberatan dan banding.
12. Prinsip Restitusi PPN

RESTITUSI pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
penerapan PPN. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai restitusi PPN, perlu dipahami
terlebih dahulu megenai konsep dasar PPN itu sendiri sebagai pajak konsumsi. 

Kata konsumsi dalam konteks PPN sebagai pajak konsumsi merujuk pada konsumsi pribadi (private
consumption) yang dilakukan oleh konsumen akhir (Ad von Doesum dan Gert-Jan van Norden,
2011). 

Artinya, yang menanggung beban PPN adalah konsumen akhir. Adapun mekanisme pengenaannya
melalui pemungutan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh undang-undang. 

Pengusaha kena pajak (PKP) adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk melakukan pemungutan
PPN atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP). Sepanjang PKP
tersebut tidak melakukan konsumsi BKP dan/atau JKP maka PKP tersebut bukan pihak yang
menanggung beban PPN. 

Hal itu tercermin dalam penerapan metode pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
sebagai salah satu metode pengenaan PPN atau lazim disebut metode PK-PM. 

Melalui metode ini, PKP yang berkewajiban untuk memungut pajak keluaran atas penyerahan BKP
dan/atau JKP yang dilakukannya, mempunyai hak untuk mengkreditkan pajak masukan yang
dibayarkannya atas perolehan BKP dan/atau JKP yang digunakan dalam rangka menjalankan kegiatan
usahanya. 

Hak untuk mengkreditkan ini yang menjamin PKP bukan sebagai pihak yang menanggung beban
PPN. Inilah yang dimaksud dengan netralitas dalam konsep PPN, yang mana PKP hanya menyetorkan
selisih lebih pajak keluaran terhadap pajak masukan (Charlène Herbain, 2013). 

Munculnya Kelebihan Pajak Masukan

Terdapat kemungkinan dalam suatu masa pajak, pajak masukan ternyata lebih besar daripada pajak
keluaran. Hal ini bisa terjadi terutama bagi PKP yang melakukan kegiatan ekspor. 

Kelebihan pajak masukan ini adalah hak PKP yang wajib dikembalikan oleh negara. Oleh sebab itu,
ketika kelebihan terjadi, sudah menjadi hak PKP untuk meminta kembali kelebihan pajak masukan
tersebut seketika muncul. 

Dalam sistem PPN, secara umum terdapat tiga metode yang dapat digunakan untuk mengembalikan
kelebihan pembayaran pajak masukan (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007). Ketiga metode
tersebut antara lain: 

1. restitusi;
2. kompensasi terhadap kewajiban PPN di masa yang akan datang; atau
3. kompensasi terhadap kewajiban pajak lainnya apabila tidak terdapat kewajiban PPN di masa
yang akan datang.

Secara prinsip, restitusi harus diberikan segera begitu kelebihan pembayaran pajak telah diterima oleh
otoritas pajak. Para ahli PPN pun sepakat mengenai prinsip ini. Banyak negara, terutama negara maju,
memberikan klaim restitusi dalam waktu sesegera mungkin setelah pengajuan. 
Bahkan di Luksemburg, meskipun tidak mengatur batas waktu pengembalian kelebihan pajak
masukan, pengadilan pajak di negara ini menyatakan bahwa penyelesaian proses klaim restitusi harus
dilakukan tidak lebih dari dua bulan (Charlène Herbain, 2013). 

Namun demikian, di beberapa negara, restitusi seringkali memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan
lebih dari satu tahun. Restitusi menjadi persoalan otoritas pajak dan wajib pajak, terutama dalam
kasus penundaan pembayaran restitusi dikarenakan adanya pemeriksaan. 

Ketentuan perundang-undangan PPN juga mengharuskan adanya imbalan bunga atas jumlah PPN
yang tidak dikembalikan dalam jangka waktu yang wajar sebagai alat untuk mendisiplinkan
administrasi pajak. 

Beberapa negara seperti di Afrika Selatan, Singapura, UK dan Belanda, juga telah menetapkan bunga
atas keterlambatan pembayaran klaim restitusi oleh pemerintah. 

13. Mekanisme Restitusi PPN di Indonesia

PENGUSAHA kena pajak (PKP) yang membayar lebih banyak pajak masukan daripada pajak
keluaran atas aktivitas bisnisnya akan mengalami kelebihan pembayaran pajak. PKP tersebut berhak
memperoleh restitusi dari otoritas pajak. 

Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi antara lain terhadap eksportir yang penjualannya dikenakan
tarif 0%, perusahaan yang baru didirikan melakukan pembelian barang modal, ataupun perusahaan
yang menjual barang dan jasanya kepada pemungut PPN. 

Sementara itu, apabila mengacu pada ketentuan perundang-undangan, penyebab terjadinya kelebihan
pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) yang dapat berujung pada restitusi, dapat dikelompokkan
sebagai berikut: 

1. Berdasarkan Pasal 9 ayat (4a) Undang-Undang (UU) PPN, jumlah pajak masukan lebih besar
daripada jumlah pajak keluaran. Keadaan ini dapat terjadi karena disebabkan:

 PKP memiliki kegiatan usaha ekspor;


 PKP menyerahkan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) kepada pemungut
PPN;
 PKP menyerahkan BKP atau JKP yang memperoleh fasilitas PPN tidak dipungut;
 pembelian BKP berupa barang modal yang dilakukan sebelum PKP mulai berproduksi
sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang PPN; atau
 keadaan lainnya yang menyebabkan dalam satu masa pajak, jumlah pajak masukan yang
dapat dikreditkan lebih besar daripada pajak keluaran.

2. Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),
terjadinya kesalahan pemungutan yang mengakibatkan:

 PPN yang dipungut lebih besar daripada yang seharusnya misalnya disebabkan karena
kesalahan dalam penghitungan atau penerapan dasar pengenaan pajak (DPP) PPN; atau
 pemungutan PPN yang seharusnya tidak dipungut. Sebagai contoh, atas penyerahan barang
yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut, tetapi tetap dipungut PPN.

3. Berdasarkan Pasal 16E UU PPN, orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri
melakukan pembelian barang di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di dalam daerah
pabean.
Selain itu, berdasarkan UU PPN, mekanisme restitusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme
umum dan mekanisme khusus. Mekanisme khusus merupakan mekanisme restitusi yang berlaku bagi
PKP berisiko rendah, wajib pajak dengan kriteria tertentu, dan wajib pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu. 

Mekanisme Umum

Prinsip umum tata cara restitusi diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP yang berbunyi " Direktorat
Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang." 

Berdasarkan rumusan di atas, Ditjen Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB) apabila setelah melakukan pemeriksaan diketahui jumlah pajak masukan lebih bayar
daripada jumlah pajak keluaran. SKPLB masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan dan/atau data baru ternyata jumlah pajak yang lebih dibayar ternyata lebih besar daripada
kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. 

Selain itu wajib pajak harus mengajukan permohonan tertulis jika menghendaki restitusi setelah
menerima SKPLB. UU PPN juga mengatur secara spesifik bahwa permohonan restitusi dapat
diajukan pada akhir tahun buku. Namun, dalam Pasal 9 ayat (4b) UU PPN aturan pengajuan restitusi
pada akhir tahun tersebut tidak berlaku bagi: 

1. PKP yang melakukan ekspor BKP berwujud;


2. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada pemungut PPN;
3. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak
dipungut;
4. PKP yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud;
5. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
6. PKP dalam tahap belum berproduksi.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, permohonan restitusi PPN bagi PKP yang dimaksud dalam
enam poin di atas, yang mempunyai kriteria sebagai PKP risiko rendah, dapat diajukan pada setiap
masa pajak melalui mekanisme khusus restitusi PPN. 

Setelah PKP mengajukan restitusi, PKP akan diperiksa dengan jangka waktu sesuai dengan Pasal 17B
ayat (1) UU KUP, yaitu paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Jika
dalam batas waktu tersebut, Ditjen Pajak tidak membuat suatu keputusan, permohonan restitusi wajib
pajak dianggap dikabulkan. 

Ketentuan pelaksana tata cara restitusi PPN ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PMK 72/2010). 

Berdasarkan PMK 72/2010, cara pengajuan restitusi adalah sebagai berikut: 

1. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak dengan menggunakan:

 SPT masa PPN, dengan cara mengisi pada kolom 'Dikembalikan (restitusi)'; atau
 surat permohonan tersendiri apabila kolom 'Dikembalikan (restitusi)' dalam SPT Masa PPN
tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pajak.
2. permohonan pengembalian kelebihan pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP
berkedudukan.
3. permohonan pengembalian kelebihan pajak ditentukan satu permohonan untuk satu masa
pajak.

Surat permohonan restitusi PPN yang diterima oleh KPP, diproses melalui pemeriksaan. Cakupan
PKP yang atas permohonan restitusi PPN-nya diproses melalui pemeriksaan adalah PKP selain PKP
tertentu. 

Mekanisme Khusus

Mekanisme khusus restitusi PPN hanya berlaku bagi PKP tertentu. Mekanisme khusus ini disebut
juga dengan restitusi pendahuluan. Adapun yang dimaksud PKP tertentu adalah sebagai berikut: 

1. PKP berisiko rendah sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN;
2. wajib pajak dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Peraturan Dirjen Pajak sebagaimana
diatur dalam Pasal 17C UU KUP; atau
3. wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri
Keuangan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17D UU KUP.

Mekanisme restitusi PPN untuk jenis PKP di atas berbeda dengan yang berlaku secara umum. Salah
satu yang berbeda adalah masalah jangka waktu. Restitusinya pun dilakukan tanpa pemeriksaan,
melainkan penelitian. Setelah dilakukan penelitian, dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak
surat permintaan pengembalian pajak diterima secara lengkap, dapat diterbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP). 

Dengan demikian, melalui restitusi pendahuluan, PKP dapat memperoleh kelebihan pembayaran PPN
dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan restitusi melalui mekanisme umum.
Penjelasan lebih lengkap mengenai restitusi melalui mekanisme khusus diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak.

14. Memahami Fasilitas PPN di Indonesia

PAJAK pertambahan nilai (PPN) dikenakan atas setiap penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa
kena pajak (JKP) menurut ketentuan perundang-undangan. Namun, untuk tujuan tertentu, pemerintah
memberi fasilitas untuk tidak mengenakan PPN atas jenis barang, jasa dan sektor usaha tertentu. 

Secara umum terdapat empat jenis fasilitas PPN di Indonesia, yaitu fasilitas PPN 0%, PPN tidak
dikenakan, PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut. Keempat fasilitas tersebut pada dasarnya sama-
sama tidak mengenakan PPN, namun terdapat perbedaan mendasar dalam masing-masing fasilitas
tersebut. 

Fasilitas PPN 0%

Fasilitas PPN dengan tarif 0% diterapkan atas kegiatan ekspor. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat
(2) Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 (UU PPN) tarif PPN sebesar 0% dikenakan atas ekspor BKP
berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP. 

PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP di dalam daerah pabean. Oleh karena itu,
BKP atau JKP dari dalam daerah pabean yang dimanfaatkan di luar daerah pabean, selayaknya tidak
dikenakan PPN. 
Pengenaan tarif 0% ini tidak berarti sebagai pembebasan PPN. Dengan demikian, pajak masukan yang
telah dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan. 

Fasilitas Tidak Dikenakan PPN

Fasilitas tidak dikenakan PPN ini diterapkan atas penyerahan barang dan jasa yang tidak termasuk
objek PPN. Jenis barang dan jasa yang tidak menjadi objek PPN ini diatur dalam Pasal 4A UU PPN.
Sebagaimana dipahami, UU PPN mengadopsi sistem negative-list, sehingga barang dan jasa lain yang
tidak termasuk dalam Pasal 4A maka secara otomatis menjadi objek PPN. 

Untuk itu, jika pengusaha hanya memiliki usaha yang penyerahannya tidak dikenakan PPN, maka
pengusaha tersebut tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selain itu,
pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP terkait kegiatan tersebut tidak dapat dikreditkan. 

Fasilitas PPN Dibebaskan

Fasilitas PPN dibebaskan diberikan untuk kegiatan usaha tertentu maupun penyerahan BKP dan/atau
JKP tertentu. Berdasarkan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, fasilitas berupa pembebasan PPN dapat
diberikan untuk: 

 kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean;


 penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu; 
 impor BKP tertentu;
 pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
dan
 pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Ketentuan lebih detail mengenai fasilitas PPN dibebaskan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP),
di antaranya PP Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu yang
Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN dan PP No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan
Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke
dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas. 

Selain itu, perlu diketahui, adanya perlakukan khusus berupa pembebasan dari pengenaan PPN
mengakibatkan tidak adanya pajak keluaran, sehingga pajak masukan yang berkaitan dengan
penyerahan BKP dan/atau JKP yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan. Hal
ini diatur dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN. 

Fasilitas PPN Tidak Dipungut

Fasilitas PPN tidak dipungut juga diberikan untuk kegiatan usaha tertentu maupun penyerahan BKP
dan/atau JKP tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 16B ayat (1) UU PPN. Hanya saja, berbeda dengan
fasilitas PPN dibebaskan, dalam fasilitas PPN tidak dipungut, pajak masukan yang berkaitan dengan
penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas dimaksud tetap dapat dikreditkan. 

Ketentuan lebih teknis mengenai fasilitas PPN dibebaskan ini diatur dalam bentuk PP, di antaranya PP
No. 85 Tahun 2015 tetang Perubahan PP No. 32 Tahun 2009 tentang tempan penimbunan berikat
serta PP No. 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET) sebagaimana telah diubah dengan PP No. 20 Tahun 2000.

15. Tata Cara Pemusatan Tempat Terutang PPN


PENGUSAHA yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) wajib melaporkan
seluruh transaksi bisnisnya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
setiap bulan. 

PKP yang memiliki banyak cabang bisnis tentua akan sangat kerepotan jika harus melaporkan SPT
Masa PPN setiap bulan untuk setiap cabangnya. Untuk mengatasi persoalan itu, Ditjen Pajak
memberikan kemudahan melalui mekanisme pemusatan pelaporan PPN. 

Ketentuan pemusatan itu diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-19/PJ/2010 tentang


Penetapan Satu Tempat atau Lebih Sebagai Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang. Aturan ini
sesuai dengan Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang PPN. 

PER-19/2010 menyebutkan bahwa PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang dapat
memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN. Misalnya, jika PKP memiliki 10
cabang maka laporannya dapat dibuat satu laporan saja. 

Agar mendapatkan fasilitas pemusatan, PKP dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan. 

Pemberitahuan secara tertulis seperti di atas harus memenuhi persyaratan: 

1. memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai tempat
pemusatan PPN terutang;
2. memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan; dan
3. dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat pada
tempat PPN terutang yang dipilih sebagai tempat pemusatan PPN terutang.

Setelah menerima surat pemberitahuan, dalam jangka waktu maksimal 14 hari kerja, Kepala Kanwil
Ditjen Pajak akan menerbitkan Surat Keputusan Dirjen Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat
PPN Terutang. Tetapi jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka akan diterbitkan Surat
Pemberitahuan Penolakan Pemusatan Tempat PPN Terutang. 

Setelah mendapatkan Surat Keputusan Dirjen Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat PPN
Terutang, PKP tersebut memiliki kewajiban memberitahukan kepada Kanwil Ditjen Pajak dalam hal
terdapat penambahan atau pengurangan cabang. 

PKP yang mendapatkan pemusatan maka pelaporan SPT Masa PPN-nya digabung antara pusat dan
cabang, sehingga mencerminkan seluruh transaksi perusahaan. Kemudian, penyerahan antarcabang,
atau cabang ke pusat dan sebaliknya bukan merupakan taxable event sehingga faktur pajak yang
diterbitkan hanya benar-benar penyerahan ke pihak lain (penjualan ke entitas lain) saja. 

Perlu diketahui, tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha PKP yang berada di
Kawasan Berikat dan Kawasan Ekonomi Khusus, serta mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor
Tujuan Ekspor (KITE) tidak dapat dipilih sebagai tempat pemusatan PPN terutang atau tempat PPN
terutang yang akan dipusatkan. 

Persetujuan pemusatan tempat PPN terutang mulai berlaku untuk masa pajak berikutnya setelah
tanggal Surat Keputusan Dirjen Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat PPN Terutang
diterbitkan dan berlaku untuk jangka waktu lima tahun sejak masa pajak dimulainya pemusatan PPN
terutang. 
Kepala KPP yang mengadministrasikan tempat pemusatan PPN terutang dapat melakukan
pemeriksaan terhadap PKP yang telah melaksanakan pemusatan tempat PPN terutang. Dalam hal
berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa PKP tidak memenuhi syarat lagi untuk melakukan
pemusatan tempat PPN terutang, Kepala KPP menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada
Kepala Kanwil. 

Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan tersebut, Kepala Kanwil menerbitkan Surat Keputusan Dirjen
Pajak tentang Pencabutan Pemusatan Tempat PPN Terutang yang berlaku mulai masa pajak
berikutnya setelah dikeluarkannya surat keputusan pencabutan.

16. Penerbitan Faktur Pajak oleh PKP Pedagang Eceran

PENGUSAHA kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena pajak (PKP) atau jasa
kena pajak (JKP) wajib menerbitkan faktur pajak atas setiap penyerahan tersebut. Kendati demikian,
tidak semua PKP diperlakukan sama oleh otoritas pajak. 

Dalam hal ini, Ditjen Pajak memberikan kemudahan dan kepastian hukum dalam hal penerbitan dan
penatausahaan faktur pajak bagi PKP yang berstatus sebagai pedang eceran atau disebut PK PE. 

Jika dibandingkan dengan karakteristik usaha PKP pada umumnya, pedagang eceran memiliki
aktivitas usaha penjualan yangs dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir dengan jumlah
transaksi penyerahan barang yang relatif banyak dengan nilai relatif kecil, sehingga akan kesulitan
dalam menerbitkan faktur pajak sesuai ketentuan umum. 

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Ditjen Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No. PER-58/PJ/2010 tentang Bentuk dan Ukuran Formulir serta Tata Cara Pengisian Keterangan pada
Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran, yang diatur lebih lanjut dengan Surat
Edaran Dirjen Pajak No. SE-137/PJ/2010. 

Menurut PER-58/PJ/2010, pedagang ecaran atau PKP PE adalah PKP yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dengan cara sebagai berikut : 

 melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari
satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
 dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa
didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
 pada umumnya penyerahan BKP atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual
langsung menyerahkan BKP atau pembeli langsung membawa BKP yang dibelinya.

PKP PE wajib membuat faktur pajak yang memuat informasi sebagai berikut : 

 nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP;
 jenis BKP yang diserahkan;
 jumlah harga jual yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau besarnya PPN
dicantumkan secara terpisah;
 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dipungut; dan
 kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak.

Selain itu, bentuk faktur pajak yang diterbitkan PKP PE tidak diharuskan dalam bentuk dokumen
terpisah sebagaimana bentuk faktur pajak secara umum. Dokumen lain yang berfungsi faktur pajak
dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kwitansi, atau tanda bukti
penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. 
Ketentuan dalam PER-58/PJ/2010 menekankan bentuk dan ukuran formulir faktur pajak tersebut
disesuaikan dengan kepentingan PKP PE. Pengadaan formulir faktur pajak pun dilakukan oleh PKP
PE. 

Adapun kode dan nomor seri faktur pajak yang dicantumkan dalam formulir faktur pajak dapat berupa
nomor nota, kode nota, atau ditentukan sendiri oleh PKP PE. Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP
PE dibuat paling sedikit dalam dua rangkap yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut: 

 Lembar ke-1 : disampaikan kepada pembeli BKP.


 Lembar ke-2 : untuk arsip PKP yang membuat faktur pajak.

Faktur pajak dianggap telah dibuat dalam dua rangkap atau lebih dalam hal faktur pajak tersebut
dibuat dalam satu lembar yang terdiri dari dua atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk
disobek atau dipotong. 

Lembar ke-2 faktur pajak dapat berupa rekaman faktur pajak dalam bentuk media elektronik, yaitu
sarana penyimpanan data, seperti:diskette, Digital Data Storage (DDS) atau Digital Audio
Tape (DAT) dan Compact Disc (CD). 

Dalam hal PKP pabrikan atau distributor yang dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan secara
eceran (memiliki outlet), atas penyerahan BKP secara eceran tersebut PKP dapat membuat faktur
pajak sesuai ketentuan yang diatur dalam PER-58/PJ/2010.

17. Contoh Kasus Pengenaan PPN Pasal 16D

DALAM ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) yang diterapkan di Indonesia, PPN tidak hanya
dikenakan terhadap penyerahan barang-barang baru. Sebab, barang bekas pun bisa terutang PPN jika
dialihkan ke pihak lain. 

Hal itulah yang disebut dengan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan atau disebut PPN Pasal 16D. Dalam Pasal 16D Undang-
Undang (UU) PPN disebutkan bahwa: 

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

Sebagaimana diketahui, dalam PPN dikenal dengan mekanisme pengkreditan pajak masukan terhadap


pajak keluaran atas setiap masa terutang PPN. Pada saat aktiva dibeli, pengusaha kena pajak (PKP)
sudah membayar pajak masukan. Seharusnya aktiva tersebut tidak dijual, tetapi dipergunakan untuk
menghasilkan pajak keluaran. 

Namun karena sebab tertentu, PKP dapat saja mengalihkannya ke pihak lain. Pada saat aktiva tersebut
dijual, maka ada sejumlah PPN yang sudah dikreditkan oleh PKP. Karena itu, pengenaan PPN untuk
penjualan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan bertujuan untuk
mengembalikan PPN yang sudah dikreditkan. 

PPN Pasal 16D Menurut UU PPN 1994

Dari historisnya, pengenaan PPN atas aktiva bekas mulai diperkenalkan saat UU PPN 1994 berlaku.
Dalam UU PPN 1994, aktiva bekas ini diistilahkan dengan aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan. 
Dalam Pasal 16D UU PPN 1994, dikatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh PKP
yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar
pada saat perolehannya dapat dikreditkan. 

Dari kalimat tersebut, dapat dilihat bahwa ada tiga syarat pengenaan PPN Pasal 16D pada masa itu,
yakni 1) jenis aktivanya, 2) pihak yang melakukan penyerahannya, dan 3) PPN (pajak masukan) yang
dahulu dibayar saat perolehan aktiva yang akan dialihkan oleh PKP. 

Pertama, aktiva yang diserahkan. Aktiva yang diserahkan/dijual atau dialihkan kepada pihak lain
adalah aktiva yang menurut tujuan semula dibeli tetapi tidak untuk diperjualbelikan. Banyak orang
menyebutnya dengan istilah ‘non-inventory asset’ atau aktiva selain barang dagangan. 

Misalnya inventaris kantor, kendaraan dinas, mesin pabrik, dan lain sebagainya, yang dahulu dibeli
dengan maksud untuk digunakan dalam aktivitas operasional sehari-hari dan bukan untuk
diperdagangkan. Tetapi karena sudah rusak atau dengan alasan lain seperti ingin mengganti dengan
yang baru, maka inventaris kantor yang lama kemudian dijual atau diserahkan kepada pihak lain. 

Kedua, pihak yang menyerahkan. Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva bekas sudah
dikukuhkan sebagai PKP. Artinya jika penyerahan aktiva bekas dilakukan oleh pengusaha yang belum
dikukuhkan sebagai PKP (non-PKP), maka atas penyerahan aktiva bekas tersebut tidak terutang PPN
Pasal 16D. 

Ketiga, pajak masukan atas perolehan aktiva. Dalam Pasal 16D UU PPN 1994, ada kalimat “ …
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.” 

PPN yang dimaksud di sini adalah pajak masukan yang sudah dibayar PKP saat memperoleh aktiva
tersebut, baik menurut UU PPN pajak masukan itu dapat dikreditkan atau tidak. Jika dapat
dikreditkan, maka sepanjang kedua syarat di atas terpenuhi, atas penyerahan aktiva bekas yang
dilakukan terutang PPN Pasal 16D. 

PPN Pasal 16D Sejak 1 April 2010

Sejak UU PPN 2009 berlaku pada 1 April 2010 hingga sekarang, pengenaan PPN Pasal 16D semakin
diperluas. Sebab, dalam UU PPN 2009, ketentuan ketiga yang sebelumnya ada dalam UU PPN 1994
dan UU PPN 2000 berupa syarat adanya pajak masukan yang dapat dikreditkan telah dihapus. 

Bunyi selengkapnya Pasal 16D UU PPN 2009 adalah seperti berikut: 

"Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c." 

Dalam UU PPN 2009, pengenaan PPN Pasal 16D lebih dititikberatkan pada aktiva non-inventory
asset yang berbentuk BKP. Artinya jika aktiva yang diserahkan bukan merupakan BKP, maka
terhadap penyerahan aktiva tersebut tidak terutang PPN. Misalnya jika PKP menyumbangkan beras
kepada pihak lain, maka terhadap sumbangan itu tidak terutang PPN Pasal 16D karena beras bukan
merupakan BKP menurut penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN 2009. 

Lebih lanjut, dalam Pasal 16D UU PPN 2009 tidak ada lagi kalimat “…sepanjang Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.” Ini menandakan bahwa
pengenaan PPN Pasal 16D tidak lagi memperhatikan ada tidaknya pajak masukan yang dibayar saat
memperoleh aktiva tersebut. 
Maksudnya adalah meskipun saat memperoleh aktiva tidak ada PPN yang dibayar, misalnya karena
aktiva dibeli dari penjual yang non-PKP, namun saat aktiva tersebut dialihkan maka atas penyerahan
itu akan terutang PPN. Inilah yang membuat banyak pihak berkesimpulan bahwa ada perluasan objek
pengenaan PPN Pasal 16D. 

Selain itu, kesimpulan tadi juga diperkuat dengan adanya kalimat “…kecuali atas penyerahan aktiva
yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
huruf b dan huruf c.” 

Pengecualian Pasal 16D UU PPN

Pasal 16D memberikan pengecualian atas penjualan aktiva. Pengecualian artinya, atas penjualan
aktiva yang masuk kriteria ini maka tidak terutang PPN. Secara umum, syarat pengecualian adalah
pajak masukan tidak dapat dikreditkan. Tidak dapat dikreditkan berbeda dengan tidak dikreditkan.
Tidak dikreditkan bisa jadi sebenarnya dapat dikreditkan tetapi PKP tidak memperhitungkan sebagai
kredit pajak. 

Ada dua kriteria pajak masukan tidak dapat dikreditkan: 

 Pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP
yang tidak mempunyai hubungan langsungdengan kegiatan usaha (Pasal 9 ayat (8) huruf b
Undang-Undang PPN); dan
 Pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan dan
pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan (Pasal 9 ayat (8) huruf c Undang-Undang PPN).

Contoh riil aktiva yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang
PPN adalah misalnya saat PKP menjual aset berupa tanah kosong yang sebelumnya tidak pernah kita
gunakan dalam kegiatan usaha. 

Contoh lain, PKP menjual aset berupa mess karyawan. Saat PKP membeli messuntuk karyawan, PKP
tidak boleh mengkreditkan pajak masukan atas pembelian mess tersebut karena dianggap tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Oleh sebab itu, saat PKP menjual mess tersebut juga
tidak akan terutang PPN Pasal 16D. 

Selain itu, aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat
(8) huruf c UU PPN 2009 adalah aktiva berupa kendaraan sedan dan station wagon. 

Sebagaimana kita ketahui, jika PKP membeli kendaraan jenis sedan atau station wagon, pajak
masukan atas pembelian sedan itu tidak boleh dikreditkan meskipun kenyataannya sedan itu
digunakan dalam kegiatan usaha. Karena tidak dapat dikreditkan, maka pada saat PKP menjual sedan
tersebut, atas penjualannya tidak terutang PPN Pasal 16D. 

Tapi jika seandainya sedan dan station wagon itu dibeli dengan maksud untuk usaha persewaan mobil
(rental) atau untuk dijual kembali (showroom), maka PPN atau pajak masukan atas pembelian sedan
dan station wagon itu dapat dikreditkan, sehingga pada saat akan dijual atas penyerahannya dapat
terutang PPN Pasal 16D. 

DPP dan Faktur Pajak untuk PPN Pasal 16D

Terhadap penyerahan aktiva bekas yang terutang PPN Pasal 16D, PKP harus membuat faktur pajak
dengan kode faktur 09. Tarif PPN-nya tetap 10% sedangkan dasar pengenaan pajak (DPP) PPN Pasal
16D menggunakan DPP nilai lain, yaitu sebesar harga pasar dari aktiva yang diserahkan (Peraturan
Menteri Keuangan No.38/PMK.011/2013). 

Ilustrasi Kasus 

Baca Juga: Biaya-biaya Non Fiskal

PT. ABC sebuah perusahaan pembuat botol minuman terkenal merk 'Drink' telah memutuskan untuk
mengganti sebagian mesin-mesin yang dibeli tahun 2008 kepada distributor lokal yang berstatus
sebagai PKP. Perusahaan bermaksud melepas mesin-mesin tersebut pada awal tahun 2019 dengan
cara menjualnya kepada calon pembeli. 

Perusahaan juga bermaksud untuk menjual tiga buah kendaraan jenis sedan perolehan tahun 2012
yang selama ini digunakan oleh para direksi dan akan menggantinya dengan kendaraan baru. Sebagai
informasi tambahan PT. ABC adalah wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP oleh Ditjen
Pajak. 

Terkait dengan rencana PT ABC tersebut, apakah atas penjualan mesin-mesin dan kendaraan di atas
harus dikenakan PPN? Bagaimana mekanisme pengenaannya? 

Baca Juga: Biaya-Biaya Pengurang Penghasilan Bruto

Berikut penjelasannya: aktiva yang akan dilepas (dijual) terdiri atas dua jenis yaitu mesin-mesin dan
kendaraan bermotor jenis sedan. Mesin-mesin yang dibeli pada tahun 2008 adalah mesin-mesin yang
berhubungan dengan kegiatan usaha, dibeli dari PKP dan PPN dipungut dengan faktur pajak standar.
Dengan demikian PPN yang dibayar pada saat perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat
dikreditkan. 

Kesimpulan atas penjualan aktiva berupa mesin-mesin yang akan dilakukan pada awal 2019,
dikenakan PPN Pasal 16D sebesar 10% dari harga jual-nya. Sebagai pertanggungjawaban atas
pengenaan PPN tersebut diterbitkan faktur pajak dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN. 

Adapun, kendaraan bermotor jenis sedan yang dibeli tahun 2011 menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8)
UU PPN tidak dapat dikreditkan. Oleh sebab itu, atas penjualan aktiva berupa kendaraan bermotor
jenis sedan tidak dikenakan PPN karena salah satu persyaratan dalam Pasal 16D UU PPN 1984 yaitu
bahwa PPN yang dibayarkan pada saat perolehan aktiva tersebut (menurut ketentuan) dapat
dikreditkan tidak terpenuhi.

18. Pembebasan PPN bagi Perwakilan Negara Asing & Badan Internasional

PEMERINTAH Indonesia memberikan kemudahan perpajakan berupa pembebasan Pajak


Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kepada perwakilan
negara asing dan badan internasional serta pejabatnya. Fasilitas ini diberikan untuk menampung
kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi
internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya. 

Fasilitas pembebasan PPN atau PPnBM ini telah diatur dalam Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang
PPN dan PPnBM dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 47 Tahun 2013
tentang Pemberian Pembebasan PPN atau PPN dan PPnBM kepada Perwakilan Negara Asing dan
Badan Internasional serta Pejabatnya (PP 74/2013). 

Definisi
Ketentuan dalam PP 74/2013 menyebutkan definisi dari perwakilan negara asing, badan internasional,
serta pejabatnya, yaitu: 

Pertama, perwakilan negara asing adalah perwakilan diplomatik, dan/atau perwakilan konsuler yang
diakreditasikan kepada pemerintah RI, termasuk perwakilan tetap/misi diplomatik yang
diakreditasikan kepada Sekretariat ASEAN, organisasi internasional yang diperlakukan sebagai
perwakilan diplomatik/konsuler, serta misi khusus, dan berkedudukan di Indonesia. 

Adapun pengertian dari pejabat perwakilan negara asing adalah kepala beserta staf perwakilan negara
asing, kecuali staf yang merupakan warga negara Indonesia (WNI). 

Kedua, badan Internasional adalah suatu badan perwakilan organisasi internasional di bawah
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), badan-badan di bawah perwakilan negara asing dan
organisasi/lembaga asing lainnya yang melaksanakan kerja sama teknik yang bertempat dan
berkedudukan di Indonesia. 

Sementara yang disebut dengan pejabat badan internasional adalah kepala, pejabat/staf, dan tenaga
ahli badan internasional yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Indonesia untuk
menjalankan tugas atau jabatan di Indonesia, kecuali staf dan/atau tenaga ahli yang merupakan WNI. 

Ketentuan Fasilitas Pembebasan

Fasilitas pembebasan PPN dan PPnBM kepada perwakilan negara asing serta pejabat perwakian
negara asing diberikan berdasarkan asas timbal balik (reciprocal). Asas timbal balik yang dimaksud
adalah apabila kepada perwakilan Indonesia di negara asing tersebut diberikan pembebasan yang
sama. 

Dengan kata lain, jika suatu negara asing yang tidak memberikan pembebasan yang sama kepada
perwakilan diplomatik atau perwakilan konsuler Indonesia di negara asing tersebut, maka kepada
perwakilannya di Indonesia tidak dapat diberikan pembebasan PPN atau PPnBM. 

Adapun, fasilitas PPN dibebaskan diberikan kepada badan internasional hanya kepada badan
internasional yang memenuhi syarat, yaitu 1) tidak termasuk subjek pajak penghasilan, 2)
mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk, dan 3) telah mendapatkan persetujuan dari
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) atau Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). 

Sedangkan untuk pejabat badan internasional, pembebasan tersebut diberikan hanya kepada pejabat
badan internasional yang telah mendapatkan persetujuan dari Kemenlu atau Kemensetneg RI. 

Dalam PP 47/2013 disebutkan bahwa pembebasan PPN atau PPnBM hanya dapat diberikan oleh
Menteri Keuangan setelah mendapat rekomendasi dari: 

 Menteri Luar Negeri untuk perwakilan negara asing serta pejabat perwakilan negara asing,
dan
 Menteri Sekretaris Negara untuk badan internasional

Berdasarkan rekomendasi dari Menteri Luar Negeri atau Menteri Sekretaris Negara, Menteri
Keuangan menerbitkan Surat Keterangan Bebas PPN atau PPnBM. 

Restitusi

Untuk memberikan kepastian hukum, dalam hal PPN atau PPN yang dibebaskan tersebut terlanjur
dipungut, PPN atau PPnBM dimaksud dapat diminta kembali (restitusi) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Permintaan restitusi tersebut harus disertai dengan rekomendasi dari
Menteri Luar Negeri atau Menteri Sekretaris Negara. 

Lebih lanjut, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 161/PMK.03/2014 mengatur lebih detail mengenai
tata cara pengembalian PPN bagi perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya. 

Untuk memperoleh restitusi, perwakilan negara asing atau badan internasional serta pejabatnya harus
mengajukan surat permintaan pengembalian PPN atau PPN dan PPnBM kepada Menteri Keuangan
melalui Menteri Luar Negeri atau Menteri Sekretaris Negara. 

Kemudian, Menteri Luar Negeri atau Menteri Sekretaris Negara atau pejabat yang ditunjuk
menyampaikan surat permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Pajak Badan dan Orang Asing (KPP
Badora) dengan dilampiri surat rekomendasi Menteri Luar Negeri atau Menteri Sekretaris Negara atau
pejabat yang ditunjuk disertai bukti-bukti pendukung. 

Adapun, bukti-bukti pendukung yang dimaksud di atas, setidaknya meliputi: 

 Asli faktur pajak dan/atau asli dokumen lain yang dipersamakan sebagai faktur pajak;
 Bukti dan/atau dokumen pembayaran; dan
 Bukti-bukti pendukung yang dipersyaratkan oleh Kemenlu atau Kemensetnag.

Selain bukti pendukung di atas, dalam hal perolehan kendaraan bermotor, harus dilengkapi dengan
surat pernyataan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor dan atas transaksi selain eceran harus
dilengkapi dengan fotokopi kontrak perjanjian atau dokumen yang dipersamakan. 

Perwakilan negara asing serta pejabat perwakilan negara asing dapat mengajukan surat permintaan
pengembalian PPN atau PPN dan PPnBM paling lama satu tahun sejak impor barang kena pajak
(BKP) atau penyerahan BKP dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Terdapat kelonggaran boleh melebihi
satu tahun dengan syarat: 

 permintaan pengembalian dimaksud tidak lebih dari 4 tahun sejak impor BKP atau
penyerahan BKP dan/atau JKP; dan
 dilengkapi dengan pertimbangan dari Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk.

Sementara itu, pengembalian PPN atau PPN dan PPnBM bagi badan internasional dan pejabat badan
internasional hanya dapat dilakukan paling lama satu tahun sejak impor BKP atau penyerahan BKP
dan/atau JKP. Kepala KPP Badora melakukan penelitian terhadap permohonan pengembalian PPN
atau PPN dan PPnBM dan harus memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 30 hari
sejak permohonan pengembalian diterima secara lengkap. 

Dalam hal bukti pendukung yang diberikan oleh pemohon masih kurang lengkap, kekurangan atas
bukti pendukung dimaksud dapat diminta secara tertulis kepada pemohon dengan tembusan kepada
Menteri Luar Negeri c.q. Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler atau kepada Menteri Sekretaris
Negara c.q. Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara. 

Ketentuan Lain

Lebih lanjut, PMK 161/2014 menyebutkan importir, distributor, dealer, agen, penyalur, showroom,
atau pihak lainnya yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor kepada perwakilan negara asing
atau badan internasional serta pejabat perwakilan negara asing dan pejabat badan internasional dapat
mengajukan permohonan pengembalian PPnBM. 
Permohonan pengembalian PPnBM tersebut diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala
KPP tempat pemohon terdaftar dan dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung sebegai berikut: 

 fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),


 fotokopi Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dan fotokopi Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK) untuk kendaraan perwakilan negara asing atau badan Internasional serta
pejabat perwakilan negara asing dan pejabat badan internasional,
 asli dan fotokopi faktur pajak dari penjual,
 fotokopi faktur pajak dari pabrikan kepada distributor/ dealer/ agen/ penyalur/ showroom
yang di dalamnya dicantumkan PPnBM yang telah dipungut, dan
 khusus untuk kendaraan bermotor eks impor kendaraan dalam keadaan jadi/ completely built
up (CBU), dilengkapi dengan surat keterangan yang memuat nama, alamat, dan NPWP
importir kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh penjual kendaraan bermotor dimaksud.

Permohonan pengembalian PPnBM harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan setelah
bulan terjadinya impor atau penyerahan kendaraan bermotor. Atas permohonan tersebut, Kepala KPP
tempat pemohon terdaftar setelah melakukan penelitian harus menerbitkan surat ketetapan pajak
paling lama 3 bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

19. Jenis Penyerahan Rumah yang Bebas PPN

SALAH satu fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) yang diberikan pemerintah adalah pembebasan
PPN atas penyerahan hunian untuk kalangan masyarakat menengah bawah. 

Fasilitas ini diberikan untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat berpenghasilan
rendah untuk memiliki rumah mengingat kondisi harga tanah dan bangunan yang terus meningkat. 

Adapun hunian yang dibebaskan PPN tersebut berupa rumah susun sederhana, rumah sederhana,
rumah sangat sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, dan perumahan lainnya. 

Pembebasan PPN ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 81 Tahun 2015 tentang Impor
dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 

Kemudian, diatur juga dalam PMK No. 113/PMK.03/2014 tentang Perubahan Keempat atas PMK No.
36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun
Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas
Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 

Rumah Susun Sederhana Milik

Unit hunian berupa rumah susun sederhana milik merupakan Barang Kena Pajak (BKP) tertentu yang
bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. 

Rumah susun sederhana milik merupakan bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan
dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal. 

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 269/PMK.010/2015 tentang Batasan
Harga Jual Unit Hunian Rumah Susun Sederhana Milik dan Penghasilan Bagi Orang Pribadi yang
Memperoleh Unit Hunian Rumah Susun Sederhana Milik. 
PMK itu mengatur bahwa unit hunian berupa rumah susun sederhana milik yang dibebaskan PPN
harus memenuhi persyaratan berikut: 

 luas untuk setiap hunian paling sedikit 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2;
 pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
 merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan
tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang rumah susun; dan
 batasan harga jualnya tertentu serta diperuntukkan bagi orang pribadi dengan penghasilan
tertentu.

Adapun batasan harga jual tertentu yang dimaksud adalah tidak melebihi Rp250 juta. Sedangkan
batasan penghasilan tertentu adalah tidak melebihi Rp7 juta. 

Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana

Pembebasan PPN juga diberikan terhadap rumah sederhana dan rumah sangat sederhana. Dalam PMK
113/2014, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah
rumah yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: 

 luas bangunan tidak melebihi 36 m2;


 harga jual tidak melebihi batasan harga jual dengan ketentuan bahwa batasan harga jual
didasarkan pada kombinasi zona dan tahun yang berkesesuaian sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini (PMK
113/2014);
 merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak
dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki;
 luas tanah tidak kurang dari 60 m2; dan
 perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak
bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Batasan harga jual yang berlaku mulai 2018 berdasarkan lampiran PMK 113/2014 adalah: 

 Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sebesar Rp130 juta
 Sumatera (kecuali Kep. Riau dan Bangka Belitung) sebesar Rp130 juta
 Kalimantan sebesar Rp142 juta
 Sulawesi sebesar Rp136 juta
 Maluku dan Maluku Utara sebesar Rp148,5 juta
 Bali dan Nusatenggara sebesar Rp148,5 juta
 Papua dan Papua Barat Rp205 juta
 Riau dan Bangka Belitung sebesar Rp136 juta
 Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi sebesar Rp148,5 juta

Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, dan Perumahan Lainnya.

Ketentuan mengenai pembebasan PPN atas penyerahan Pondok Boro, Asrama Pelajar, dan
Perumahan Lainnya masih menggunakan peraturan lama, yaitu PMK 36/2007. 

Pondok Boro yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah bangunan sederhana, berupa bangunan
bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai oleh perorangan atau koperasi buruh atau
koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi para buruh tidak tetap atau para pekerja sektor informal
berpenghasilan rendah dengan biaya sewa yang disepakati, yang tidak dipindahtangankan dalam
jangka waktu 5 tahun sejak diperoleh. 

Adapun asrama mahasiswa dan pelajar yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah bangunan
sederhana, berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai oleh
universitas atau sekolah, perorangan dan atau Pemerintah Daerah yang diperuntukkan khusus untuk
pemondokan pelajar atau mahasiswa, yang tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun
sejak diperoleh. 

Sementara perumahan lainnya yang dibebaskan dari pengenaan PPN meliputi: 

 rumah pekerja, yaitu tempat hunian, berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang
dibangun dan dibiayai oleh suatu perusahaan, diperuntukkan bagi karyawannya sendiri dan
bersifat tidak komersil, yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf a, huruf b, ayat (3) atau Pasal 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d (PMK 36/2007),
yang tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diperoleh;
 bangunan yang diperuntukkan bagi korban bencana alam nasional.

Ketentuan Faktur Pajak

Kode Faktur Pajak yang diterbitkan untuk impor dan/atau penyerahan BKP Strategis adalah kode 08.
Kode ini digunakan atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM,
berdasarkan peraturan khusus yang berlaku antara lain: 

 ketentuan yang mengatur mengenai impor dan/atau penyerahan BKP tertentu dan/atau
penyerahan jasa kena pajak(JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
 ketentuan yang mengatur mengenai impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu
yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
 ketentuan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan PPN dan/atau PPnBM kepada
perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya.

Berdasarkan ketentuang dalam Undang-Undang PPN, pajak masukan yang berkaitan dengan
penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis ini tidak dapat dikreditkan.

20. Contoh Kasus Pembuatan Faktur Pajak Gabungan

DALAM sistem pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia, pengusaha kena pajak
(PKP) dapat membuat faktur pajak gabungan. Kemudahan ini diberikan otoritas pajak untuk
meringankan beban administrasi PKP yang melakukan banyak transaksi dalam satu masa pajak. 

Merujuk dari Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang (UU) PPN, faktur pajak gabungan adalah jenis faktur
pajak standar yang memungkinkan PKP membuat faktur berisi seluruh penyerahan kepada satu
penerima barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak selama satu bulan (satu masa pajak). 

Faktur pajak gabungan digunakan oleh PKP yang melakukan transaksi lebih dari satu kali dalam satu
bulan. Contohnya, PT A dalam satu bulan bertransaksi dengan PT B pada tanggal 1, 5, 10, 13, 19, 24,
27, 29, dan 30 Januari 2019. 

Atas penyerahan-penyerahan tersebut seringkali melibatkan ratusan atau ribuan item BKP atau JKP.
Untuk itu, faktur pajak gabungan menjadi metode penyederhanaan pencatatan transaksi yang
memiliki volume tinggi dalam satu bulan dengan satu pihak yang sama. 
Dengan kata lain, penggunaan faktur pajak gabungan akan memudahkan pencatatan bagi PKP karena
tidak harus membuat faktur setiap kali ada transaksi. Jika PKP harus membuat satu faktur untuk tiap
transaksi penyerahan atas BKP/JKP, maka jumlah faktur pajak yang harus dibuat akan banyak sekali
sehingga tidak efisien dari sisi administrasi. 

Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak Gabungan

Berdasarkan Pasal 13 UU PPN ayat (2) dan (2a) disebutkan bahwa PKP dapat membuat satu faktur
pajak yang meliputi keseluruhan penyerahan kepada pembeli atau penerima BKP/JKP. 

Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010tentang Tata Cara


Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak (PMK-38/2010), faktur pajak
gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP. 

Membuat faktur pajak gabungan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan faktur standar. Tata caranya
dapat mengikuti tata cara pembuatan dan pelaporan faktur pajak masukan biasa yang memuat
sejumlah keterangan sebagai berikut: 

 Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP/JKP;
 Nama, alamat dan NPWP pembeli atau penerima BKP/JKP;
 Jenis barang atau jasa, besaran harga jual atau penggantian dan potongan harga;
 PPN yang dipungut;
 PPnBM yang dipungut;
 Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan
 Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

Untuk tanggal penyerahan, pada faktur pajak gabungan harus diisi dengan tanggal awal penyerahan
BKP/JKP sampai dengan tanggal terakhir dari masa pajak periode dibuatnya faktur pajak gabungan.
Wajib pajak juga harus melampirkan daftar tanggal penyerahan dari setiap faktur pajak penjualan. 

Faktur pajak gabungan dan faktur pajak standar hanya dibedakan berdasarkan penulisannya. Jika pada
faktur pajak keluaran biasa hanya terdapat satu transaksi, maka pada faktur pajak gabungan terdapat
sejumlah transaksi kepada satu pihak yang sama. 

Contoh Kasus Pembuatan Faktur Pajak Gabungan

Contoh 1:

CV. Agung Jaya (berstatus PKP) melakukan penjualan semen kepada CV. Muara Mas pada tanggal 2,
3, 6, 8,14, 21, 26, 27 dan 31 Januari 2019, tetapi sampai dengan tanggal 31 Januari 2019 sama sekali
belum ada pembayaran atas penjualan semen tersebut, CV. Mustika Jaya diperkenankan membuat
satu faktur pajak gabungan meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada Januari 2019, yaitu
paling lama tanggal 31 Januari 2019. 

Contoh 2:

CV. Budi Mulia (berstatus PKP) melakukan penyerahan jasa service AC kepada CV. Sentosa pada
tanggal 4, 7, 8, 13, 15, 17, 24, 27 dan 30 Januari 2019. Pada tanggal 27 Januari 2019 terdapat
pembayaran oleh CV. Sentosa atas penyerahan tanggal 4 Januari 2019. Dalam hal CV. Budi Mulia
menerbitkan faktur pajak gabungan, faktur pajak gabungan dibuat pada tanggal 31 Januari 2019 yang
meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan Januari 2019. 

Contoh 3:
CV. Makmur Jaya (berstatus PKP) melakukan penjualan sabut kelapa kepada CV. Indah Pekerti pada
tanggal 3, 5, 8, 11, 17, 25, 27 dan 30 Desember 2018. Pada tanggal 27 Desember 2018 terdapat
pembayaran atas penyerahan tanggal 3 Desember 2018 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan
yang akan dilakukan pada bulan Januari 2019 oleh CV. Indah Pekerti. Dalam hal CV. Makmur Jaya
menerbitkan faktur pajak gabungan, faktur pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 Desember 2018
yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan Desember
2018.

Anda mungkin juga menyukai