AIS PNPK Lengkap
AIS PNPK Lengkap
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Skoliosis adalah suatu kondisi kelainan tulang belakang yang sering dijumpai di
fasilitas kesehatan dan mempengaruhi sekitar 2% - 4% dari populasi remaja (Lonstein,
Smith, Reamy). Skoliosis didefinisikan sebagai terdapatnya kurva lateral tulang belakang
dengan sudut lebih dari 10 derajat dengan disertai rotasi pada tulang belakang (Horne
dkk, 2014). Berdasarkan etiologi yang mendasarinya kelainan ini dapat diklasifikasikan
sebagai kelainan kongenital, neuromuskuler, atau idiopatik. Sekitar 85% dari kasus ini
merupakan kasus skoliosis idiopatik.
Skoliosis idiopatik lebih lanjut dapat dikategorikan berdasarkan waktu terjadinya
kelainan (onset): infantil (lahir sampai dua tahun), awal remaja (tiga sampai sembilan
tahun), dan remaja (10 tahun dan tua). Skoliosis idiopatik pada remaja adalah bentuk
skoliosis yang paling umum dan biasanya tidak menimbulkan permasalahan klinis pada
penderita selain dari kelainan bentuk pada tulang belakang yang dialami. Meski
demikian kelainan ini terkadang menimbulkan deformitas yang nyata dengan disertai
kemungkinan adanya nyeri atau ketidaknyamanan pada punggung, gangguan emosi atau
lebih lanjut lagi menimbulkan gangguan pernapasan yang disebabkan adanya deformitas
tulang belakang yang parah (Bunnel, O’Connor, Weiss).
Secara umum distribusi skoliosis idiopatik berdasarkan jenis kelamin terkait
dengan onset atau waktu terjadinya kelainan. Secara umum skoliosis idiopatik tipe
infantil memiliki kecenderungan untu terjadi pada anak laki – laki dengan peningkatan
insidensi pada remaja perempuan pada tipe skoliosis idiopatik pada remaja/ AIS
(Adolescence Idiopathic Scoliosis). Adapun setiap kasus skoliosis idiopatik yang terjadi
memiliki kemungkinan untuk mengalami progresifitas yang lebih lanjut membutuhkan
penatalaksanaan lebih lanjut.
Pada kondisi ini, peran dokter pelayanan primer adalah untuk meninjau dan
menentukan pasien mana yang memiliki kelengkungan tulang belakang yang signifikan
untuk kemudian memutuskan pasien mana yang memerlukan pemeriksaan penunjang
dan rujukan ke dokter spesialis bedah orthopaedi konsultan tulang belakang dalam tata
laksana lanjutannya.
B. PERMASALAHAN
1. Skoliosis idiopatik pada remaja (AIS) mempengaruhi sekitar 2-4% dari populasi remaja
dimana dapat mengakibatkan komplikasi dalam berbagai aspek si penderita.
2. Skoliosis idiopatik pada remaja (AIS) menimbulkan nyeri tulang belakang lebih sering
dibandingkan dengan bukan penderita sehingga mempengaruhi kualitas hidup
penderita.
3. Belum ada keseragaman dalam melakukan penanganan kasus skoliosis idiopatik pada
remaja (AIS).
4. Akibat dari skoliosis idiopatik pada remaja (AIS) bukan dapat menimbulkan masalah
kedokteran yang kompleks terhadap penderitanya baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Berkontribusi dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan penatalaksanaan kasus skoliosis
idiopatik pada remaja (AIS).
2. Tujuan Khusus
a. Membuat rekomendasi berdasarkan bukti ilmiah (scientific evidence) untuk membantu
para praktisi dalam melakukan diagnosis, evaluasi, dan tata laksana kasus skoliosis
idiopatik pada remaja (AIS).
b. Memberi rekomendasi bagi rumah sakit/penentu kebijakan untuk penyusunan protokol
setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK), dengan melakukan adaptasi terhadap
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini.
D. SASARAN
1. Semua tenaga medis yang terlibat dalam penanganan kasus skoliosis idiopatik pada
remaja, termasuk dokter spesialis bedah tulang belakang, dokter spesialis bedah, dokter
umum, dan perawat. Panduan ini diharapkan dapat diterapkan di layanan kesehatan
primer maupun rumah sakit.
2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta kelompok
profesi terkait.
BAB II
METODOLOGI
A. PENULUSURAN KEPUSTAKAAN
Penelusuran bukti sekunder berupa artikel-artikel ilmiah berupa, meta analisis,
uji kontrol teracak samar (randomised controlled trial), telaah sistematik, ataupun
pedoman berbasis bukti sistematik dilakukan dengan memakai kata kunci skoliosis,
skoliosis idiopatik, dan adolescent idiopathic scoliosis pada judul artikel pada situs jurnal
internasional (sebagai contoh: pubmed, scopus).
Penulusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari yang lain seperti Pubmed
dan Medline. Pencarian mempergunakan kata kunci seperti yang tertea di atas yang
terdapat pada judul artikel, dengan batasan publikasi bahasa Inggris dan dalam kurun
waktu 20 tahun terakhir. Setelah penelaahan lebih lanjut, terdapat beberapa artikel
yang telah diseleksi dan digunakan untuk menyusun PNPK ini.
A. Definisi
Skoliosis adalah istilah umum yang terdiri dari kondisi heterogen yang terdiri dari
perubahan dalam bentuk dan posisi tulang belakang, thorak dan batang tubuh. Asal kata
skoliosis diyakini telah diperkenalkan oleh Hippocrates (scolios, yang berarti bengkok
atau melengkung) dan digunakan oleh Galen (skoliosis), berarti kelengkungan tulang
belakang lateral yang abnormal. Saat ini skoliosis dikenal tidak hanya dibatasi terhadap
adanya kelainan yang terjadi pada bidang frontal/coronal, akan tetapi lebih lengkap lagi
didefinisikan sebagai deformitas tiga dimensi pada tulang belakang (Dickson, dkk). Hal ini
mendeskripsikan kurvatura lateral pada potongan frontal disertai dengan deformitas 3
dimensi pada bidang axial (deformitas rotasional), dan pada bidang sagital (deformitas
bidang anteroposterior).
Secara umum seorang klinisi harus dapat membedakan antara skoliosis struktural
dengan skoliosis fungsional dimana pada skoliosis fungsional kurvatura spinal terjadi
secara sekunder akibat kelainan ekstraspinal yang terjadi (contohnya: pemendekan dari
tungkai bawah). Hal ini berbeda dengan kelainan skoliosis struktural dimana kelainan
tulang belakang terjadi akibat kelainan internal pada struktur tulang belakang yang
bersifat non-correctable pada segmen yang terkena.
Istilah skoliosis idiopatik diperkenalkan oleh Kleinberg (1922), dan diperuntukkan
pada pasien skoliosis yang tidak diketahui penyebab spesifik etiologi deformitasnya,
dimana kelainan yang terjadi dapat muncul pada anak yang tampak sehat, dan dapat
berlanjut selama periode pertumbuhan. Secara definisi, skoliosis idiopatik memiliki
pengertian sebagai suatu skoliosis dengan asal etiologi yang belum diketahui.
Deformitas tulang belakang yang disebabkan skoliosis idiopatik dapat pula merupakan
tanda dari suatu sindrom dengan etiologi yang multifaktorial, meski begitu skoliosis
idiopatik hampir selalu bermanifestasi sebagai suatu kelainan deformitas tunggal,.
Skoliosis idiopatik digambarkan sebagai deformitas torsional dari tulang belakang, yang
merupalan kombinasi dari translasi dan rotasi dari sejumlah tulang belakang yang
merubah geometri 3 dimensi dari tulang belakang.
Lengkungan pada bidang frontal (gambaran radiografi arah AP dengan posisi
tegak) terbatas pada “batas atas tulang belakang” dan “batas bawah tulang belakang”,
keduanya digunakan sebagai level rujukan untuk mengukur sudut Cobb. Scoliosis
Research Society (SRS), suatu perhimpunan dunia tentang rujukan scoliosis,
menganjurkan bahwa diagnosis skoliosis ditegakkan bila terdapat sudut Cobb 10 derajat
atau lebih. Skoliosis struktural dapat pula terjadi pada skoliosis dengan sudut Cobb
dibawah 10 derajat dengan potensi terjadinya progresi. Progresi sering terjadi pada
remaja perempuan yang sedang dalam puncak pertumbuhan pubertas, yang biasa
disebut skoliosis idiopatik yang progresif. Jika tidak ditangani kondisi ini dapat berlanjut
menjadi deformitas batang tubuh berat yang membatasi kapasitas dan fungsional
biomekanika dada, kapasitas latihan, kebugaran secara umum dan kemampuan bekerja,
dan lebih lanjut berkaitan dengan penurunan kualitas hidup penderita.
B. Epidemiologi
Pada sekitar 20% kasus skoliosis terjadi sekunder dari proses patologis yang lain.
Sekitar 80% sisanya adalah kasus skoliosis idiopatik. Skoliosis idiopatik pada remaja (AIS)
dengan sudut Cobb diatas 10 derajat terjadi pada populasi umum, dengan rentang
antara 0,93 sampai 12 %, nilai yang paling sering ditemukan pada literature adalah 2
sampai 4%.
Sekitar 10% dari kasus skoliosis yang terdiagnosis membutuhkan terapi
konservatif dan sekitar 0,1-0,3% membutuhkan koreksi operatif. Progresi AIS sering
ditemukan pada perempuan, dimana rasio perbandingan antara anak perempuan dan
anak laki laki kurang lebih sama (1,3 : 1), dan meningkat sampai 5,4:1 pada sudut Cobb
antara 20 dan 30 derajat, dan pada nilai sudut diatas 30 derajat perbandingannya
semakin meningkat menjadi 7:1. Bila sudut skoliosis diakhir pertumbuhan melebihi
ambang kritis (diasumsikan antara 30 sampai 50 derajat), terdapat resiko yang lebih
tinggi terhadap masalah kesehatan dikemudian hari, dan penurunan kualitas hidup.
Selain dari pada itu deformitas secara kosmetik dan disabilitas yang tampak, nyeri dan
keterbatasan fungsional yang progresif juga dapat terjadi.
Deskripsi Rekomendasi Literature
Program deteksi dini kasus skoliosis di B Level of Evidence IV
sekolah disarankan untuk dilakukan
dengan tujuan diagnosis dini kasus
skoliosis idiopatik pada masa remaja.
C. Etiologi
Penyebab skoliosis idiopatik sampai saat ini masih belum jelas, diduga
merupakan kelainan tulang belakang yang dibawa secara genetik atau didapat. Faktor
genetik dalam munculnya kelainan aksial tulang belakang dapat dijelaskan dari
kecenderungan munculnya skoliosis didalam satu keluarga. Para peneliti beranggapan
bahwa kelainan herediter dari struktur dan fungsi reseptor estrogen juga berperan.
Banyak peneliti menemukan bahwa kemungkinan penyebab skoliosis adalah
kelainan sistemik, antara lain, sintesis mukopolisakarida dan sintesis lipoprotein. Pada
tahun 1990-an sekelompok peneliti di bawah pimpinan Dubousset, mengajukan bahwa
skoliosis berkembang sebagai akibat dari kelainan sintesis melatonin. Machida
melaporkan rendahnya serum melatonin pada anak perempuan dengan skoliosis
idiopatik yang progresif dengan cepat. Penemuannya dipertanyakan oleh peneliti lain,
yang tidak menemukan perbedaan level melatonin pada penderita skoliosis perempuan
dan grup control yang sehat, saat ini melatonin hanya berperan kecil pada pathogenesis
skoliosis
Menurut penelitian terbaru, kalmodulin dapat mengganggu level melatonin.
Menurut Kindsfater, level kalmodulin bertujuan menemukan resiko pada progresi
kelengkungan. Berdasarkan pada hipotesis ini, melatonin memainkan peran sekunder
dalam menginduksi terjadinya skoliosis secara spontan. Hal ini adalah konsekuensi
interaksi dengan kalmodulin, protein yang memiliki reseptor terhadap ion Calcium
mampu mempengaruhi pada kontraktilitas otot skeletal, Kalmodulin juga dapat
ditemukan didalam trombosit. Beberapa peneliti telah menilai kemungkinan gen dari IL-
6 dan MMPs yang mungkin berkaitan dengan skoliosis dan memprediksi bahwa MMP-3
dan IL-6 sebagai pengganti promotor polimorfi menjadi factor genetik yang penting
dalam predisposisi terjadinya skoliosis.
Secara keseluruhan etiologi skoliosis belum secara penuh diketahui, berdasarkan
berbagai pendapat dalam perkembangan skoliosis idiopatik, kita dapat berasumsi bahwa
penyebabnya merupakan hal yang bersifat multifaktorial.
D. Patofisiologi
Banyak studi yang telah dilakukan untuk menemukan proses patofisiologi dasar
skoliosis idiopatik, meskipun demikian sampai saat ini belum ada yang dapat
memberikan penjabaran secara konklusif. Studi mengenai genetika saudara kembar
memberikan indikasi yang kuat berkaitan dengan faktor pengaruh genetik yang
signifikan. Meta-analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa risiko terjadinya skoliosis
lebih tinggi pada bayi kembar monozigot dibandingkan bayi kembar dizigot. Laju
progresivitas kurva hampir sama pada penderita skoliosis kembar, walaupun terdapat
berbagai pengaruh lingkungan yang berbeda.
Teori terkini menganggap bahwa skoliosis adalah kondisi multigen dominan
dengan ekspresi fenotip yang bervariasi. Maka dari itu, meskipun skoliosis biasa terjadi
pada kebanyakan orang dalam keluarga yang sama, tingkat keparahan dapat bervariasi
dari orang tua ke anak, saudara kandung ke saudara kandung. Pada kedua orang tua
yang memiliki skoliosis, risiko anak mereka menderita skoliosis yang sampai
membutuhkan pengobatan mencapai 50 kali lipat dibandingkan dengan populasi secara
umum.
A. KLASIFIKASI
Sampai dengan saat ini terdapat beragam klasifikasi dari skoliosis idiopatik yang
telah diusulkan. Dari beragam klasifikasi tersebut, klasifikasi yang relevan dalam
mendasari penatalaksanaan perawatan konservatif (observasi dan korset/ brace),
ataupun penatalaksanaan operatif masih terus dikembangkan. Meski demikian
pedoman ini mencantumkan tehnik klasifikasi yang dapat digunakan sebagi rujukan
penatalaksanaan skoliosis idiopatik berdasarkan rujukan yang ada saat ini.
C. Pemeriksaan Radiologis
Kurva lebih besar dari 20 derajat pada bayi dan anak-anak, dengan gejala
neurologis pada semua pasien dengan skoliosis idiopatik, dan sisi kiri, pola kurva tajam
sudut atau tidak teratur memerlukan penyelidikan lebih lanjut, termasuk skrining total
tulang dengan magnetic resonance imaging (MRI). Ketika anomali sistem saraf yang
tampak pada MRI, merupakan indikasi untuk melakukan penatalaksanaan secara
menyeluruh dari kelainan yang ditemukan.
Penilaian radiologis dilakukan untuk melakukan identifikasi kurva pada skoliosis sebagai
dasar dalam penegakan diagnosis dan rencana penatalaksanaan.
Penilaian radiologis polos dilakukan untuk menilai derajat sudut pada bidang
coronal dan sagital, serta secara tidak langsung menilai derajat rotasional pada kurva.
Selain evaluasi besarnya derajat kurva, pemeriksaan radiologis juga dilakukan untuk
menilai derajat fleksibilitas kurva dan tingkat maturasi skeletal pada penderita.
Arah kurva : Arah kurva ditentukan berdasarkan sisi konvex dari kurva (kurva
dengan sisi konvex sebelah kanan disebut kurva kanan)
End vertebra : end vertebra merupakan ujung vertebra pada tiap kurva (atas dan
bawah) yang memiliki spesifikasi kemiringan maksimal ke sisi konkaf dan
memiliki rotasi minimal.
Apical vertebra : apical vertebra merupakan vertebra sentral pada kurva.
Vertebra ini biasanya merupakan vertebra dengan rotasi paling besar,
kemiringan paling minimal, dan vertebra yang paling bergeser ke arah horizontal.
Curve magnitude : untuk menentukan curve magnitude dibuat garis tegak lurus
terhadap garis yang digambar dari superior upper end dan inferior lower end
vertebra, yang kemudian dihitung sudut pada perpotongan yang dinamakan
sudut Cobb.
BAB V
PENATALAKSANAAN
A. TUJUAN UMUM TATALAKSANA AIS
Target secara umum dari penatalaksanaan komprehensif dari Adolescent
Idiopathic Skoliosis (AIS) meliputi:
1. Menghentikan progresifitas dari kelengkungan tulang belakang pada masa pubertas
(atau sampai menguranginya bila memungkinkan). Sampai saat ini hal ini diyakini sulit
untuk dilakukan secara sepenuhnya dengan hanya menggunakan teknik konservatif yang
tersedia. Akan tetapi derajat dari kelengkungan kurva masih memungkinkan untuk
dicegah perkembangannya lebih lanjut. Meskipun demikian, belakangan ini karya
penelitian yang dilakukan sesuai dengan kriteria SRS telah menunjukkan bahwa
beberapa koreksi kelengkungan kurva dapat diperbaiki(Aulisa et al 2009, Negrini et al
2011, Weiss et al 2005).
2. Mencegah atau menanggulangi disfungsi pernafasan. Aspek morfologi deformitas juga
berkaitan erat dengan aspek fungsional penderita. Hal ini tergantung pada derajat dan
lokasi kelengkungan yang dapat mempengaruhi fungsi pernapasan. Perubahan yang
paling mencolok dalam sistem pernafasan dipengaruhi oleh kelengkungan pada tulang
belakang di daerah thorakal.
3. Mencegah atau menanggulangi sindrom nyeri spinal. Orang dewasa yang menderita
skoliosis biasanya menderita nyeri spinal lebih sering dibandingkan orang normal.
Perbedaan signifikan secara statistik ditemukan pada usia antara 20 sampai 30 tahun.
Dalam studi jangka panjang selama 40 tahun, prevalensi komplain nyeri kronis lebih
tinggi tiga kali lipat dan nyeri menusuk insidensinya lebih tinggi dua puluh kali lipat pada
kelompok orang dengan skoliosis idiopatik yang tidak diobati dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Meski demikian terjadinya keluhan nyeri yang diamati diakibatkan
oleh kondisi multifaktorial pada pasien (Weinsein 2003; Weiss 2005).
4. Memperbaiki penampilan melalui koreksi postural. Peningkatan kualitas hidup secara
signifikan dipengaruhi oleh sensasi estetika dan penerimaan penampilan seseorang.
Berdasarkan hal ini koreksi visual estetik skoliosis yang terkait deformitas tubuh
eksternal merupakan masalah penting dalam pengobatan skoliosis idiopatik. Penilaian
hasil terapi mungkin berdasarkan penilaian visual yang subjektif, dengan suatu indeks
khusus yang sudah dikembangkan, atau dengan parameter penilaian topografi
permukaan (Zaina et al 2009; Aulissa et al 2011).
B. MANAJEMEN KONSERVATIF
a. Observasi
Ini adalah langkah aktif pertama pendekatan terhadap skoliosis idiopatik dan
didasari oleh evaluasi klinis regular, dengan masa tindak lanjut khusus. Waktu tindak
lanjut ini dapat berkisar dari 2 – 3 bulan sampai 36 – 60 bulan sesuai dengan situasi klinis
tertentu. Evaluasi klinis tidak berarti melakukan x-ray setiap kali. X-ray biasanya
dilakukan selama evaluasi klinis berkala.
d. Korset/ Bracing
Menggunakan brace (orthosis korektif) untuk jangka waktu tertentu setiap hari
untuk memperbaiki skoliosis di tiga bidang (3D). Brace digunakan dalam jangka waktu
tertentu untuk mendapatkan dan mempertahankan hasil terapi. Dengan target hasil
utama terapi adalah untuk menghambat progresi skoliosis. Dalam beberapa kasus jenis
terapi ini dapat memungkinkan untuk melakukan koreksi skoliosis, sedangkan pada
kasus lain hanya dapat memperlambat progresinya belum operasi elektif. Menurut
SOSORT, penggunaan brace kaku (rigid) akan memerlukan waktu tambahan latihan pada
periode lepas brace.
Indikasi pemakain brace adalah sebagai berikut:
Usia 10 tahun atau lebih
Risser 0-2
Sudut kurva primer 25-40 derajat
Dengan tanpa pengobatan sebelumya
Pada remaja wanita: premenarche atau dibawah 1 tahun post menarche
Bracing meliputi:
Night Time Bracing Rigid (8-12 jam per hari) (NTRB): memakai brace terutama saat di
tempat tidur.
Soft Bracing (SB): mencakup terutama Spine Cor brace, tetapi juga desain serupa lainnya
(Wyne et al 2008; Rigo et al 2010; Veldhuizen 2002).
Part Time Bracing Rigid (12-20 jam per hari) (PTRB): memakai brace terutama di luar
sekolah dan di tempat tidur.
Full Time Bracing Rigid (20-24 jam per hari) atau cast (FTRB): memakai brace sepanjang
waktu (di sekolah, di rumah, di tempat tidur, dll). Gips telah disertakan di sini juga. Gips
digunakan oleh beberapa sekolah sebagai yang tahap pertama untuk mencapai koreksi,
dan untuk dipertahankan setelah itu dengan brace kaku (de Mauroy 2008; de Mauroy et
al 2008; Mammano et al., 1992).
E. MANAJEMEN OPERATIF
a. Indikasi
Intervensi operasi biasanya direkomendasikan pada pasien-pasien yang terjadi
perkembangan kelengkungan bahkan setelah menjalani terapi konservatif. Pada infant,
tindakan operatif masih merupakan pendekatan yang kontroversial, terkadang
pendekatan ini dikerjakan terhadap infant yang memiliki kelengkungan lebih dari 45
derajat atau kelengkungan thoracolumbar/lumbar lebih dari 40 derajat.
Anak-anak biasanya lebih cenderung mengalami pertambahan kelengkungan dan
lebih sering memerlukan tindakan intervensi operatif berkaitan dengan risiko
progresifitas kelengkungan kurva dan kemungkinan komplikasi jangka panjang yang
berpotensi untuk terjadi.
Pasien lainnya yang dengan tindakan operatif bisa mendapatkan keuntungan
lebih baik adalah pada pasien yang belum mengalami pematangan tulang sempurna
namun memiliki kelengkungan lebih dari 40-45 derajat, dan pasien yang sudah
mengalami pematangan tulang sempurna namun memiliki kelengkungan lebih dari 50
derajat.
b. Prosedur
Kelengkungan vertebra pada remaja biasanya dapat diperbaiki secara
pembedahan melalui pendekatan anterior, posterior, atau keduanya dengan
menggunakan instrumentasi dan fusion. Level dari fusi anterior biasanya memanjang
dari ujung cranial ke ujung caudal kurva pada tulang belakang (sesuai pengukuran
dengan teknik Cobb dan klasifikasi Lenke nya). Terkadang dapat pula dilakukan fusi
pendek di atas dan di bawah dari apex vertebrae pada kurva thoracolumbar yang
fleksibel, tergantung dari apakah apex tersebut berupa diskus atau vertebra. Pada teknik
fusi pendek ini, bila apex nya adalah korpus vertebra, maka disk yang berada di atas dan
di bawah apex tersebut harus ikut di fusion. Sedangkan bila apexnya berupa diskus,
maka dua diskus di atas dan dua disk di bawah apex diikutsertakan dalam fusion.
Prosedur minimal invasive thoracoscopic juga telah menunjukkan mampu
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan prosedur open anterior thoracotomy.
Kishan dan colleagues, menunjukkan bahwa thoracoscopy anterior memiliki sedikit efek
samping pada fungsi paru. Sucato dan colleagues, menemukan bahwa penambahan
prosedur thoracoscopic pada posisi pronasi terhadap prosedur instrumentasi posterior
dan fusi memberikan keuntungan dari operasi minimal invasif dan tidak memerlukan
reposisi ulang untuk melakukan prosedur posterior.
o Fusi selektif
Fusi selektif dilakukan ketika terdapat satu atau lebih kurva yang tidak ikut
dilakukan fusi. Tehnik ini dilakukan setelah seorang ahli bedah tulang belakang menilai
secara seksama kurva struktural dan primer yang menimbulkan kelainan kelengkungan
dan memastikan bahwa kurva sekunder yang ditimbulkan bukanlah suatu kurva
sekunder yang struktural.
Berdasarkan ini koreksi pada kurva primer diharapkan dapat secara tidak
langsung memperbaiki/ menghilangkan kurva sekunder yang terjadi. Beberapa kondisi
ini dapat dilakukan pada kondisi kurva lumbar atau thorakal dengan derajat
kelengkungan minimal yang tidak melewati midline. Klasifikasi Lenke memberikan
penilaian yang lebih objektif dan menyeluruh dalam menentukan kapan untuk
melakukan fusi selektif pada pasien AIS (Koukourakis 1997, Zaina et al 2009) .
o Adjuncts to Correction
Direct Vertebral Rotation
Pada masa lalu, kurva lebih dari 75 derajat, kurva dengan koreksi kurang
50 derajat, dan kurva yang memerlukan thoracoplasty selalu membutuhkan
prosedur anterior release. Dengan penggunaan teknik modern multisegmental
fiksasi sekrup pedikel dan penambahan teknik DVR, dilaporkan prosedur yang
aman dan efektif dengan hasil realignment yang lebih baik pada bidang coronal
dan sagital serta kosmetik tanpa membutuhkan adanya prosedur anterior
(Fowler 1995; White 1995). Pada regio thoracal, DVR membantu merotasi tulang
tulang belakang dan secara bermakna mengurangi penonjolan rusuk.
DVR dilakukan jika penempatan sekrup pedikel memadai, dan bila tulang
belakang dada tidak terlalu lordosis atau kyphosis. Teknik DVR membutuhkan
penempatan sekrup pedikel yang akurat di apeks deformitas dan dua tingkat di
proksimal dan distal dari batas fusi. Ketika tulang belakang dada memiliki
modifier sagital (+), menurut klasifikasi Lenke, manuver DVR tidak dilakukan
karena derajat kyphosis seperti itu memberikan tahanan pada sekrup proksimal.
Pada pasien ini koreksi deformitas koronal dan sagital dilakukan secara langsung
dan manipulasi instrumentasi dilakukan pada sisi konvex terlebih dahulu.
Osteotomi
Terdapat beberapa pilihan osteotomi pada vertebrae untuk memperbaiki
deformitas sagital, koronal, dan multiplanar yang terkait fusi sebelumnya atau
kurva skoliosis idiopatik yang lebih berat. Beberapa di antaranya adalah Ponte
osteotomi (atau osteotomi Smith-Petersen), osteotomi untuk pengambilan
pedikel (Pedicle Substraction Osteotomy), dan reseksi kolum vertebra. Osteotomi
Smith-Petersen biasa dideskripsikan sebagai osteotomi melalui massa yang fusi.
Ada juga yang menjelaskan osteotomi Ponte adalah osteotomi pada tulang
belakang yang tidak fusi, yang merupakan deskripsi asli dari osteotomi chevron
secara posterior melalui anatomi yang tidak fusi sebelumnya. Bentuk manipulasi
osteotomi ini bersifat sebagai closing wedge osteotomi untuk mempermudah
koreksi derajat kelengkungan dan meperbaiki postur pada tulang belakang.
Aulisa AG, Guzzanti V, Galli M, Perisano C, Falciglia F, Aulisa L: Treatment of thoraco-lumbar curves in
adolescent females affected by idiopathic skoliosis with a progressive action short brace (PASB):
assessment of results according to the SRS committee on bracing and nonoperative management
standardization criteria. Skoliosis 2009, 4:21.
Aulisa AG, Guzzanti V, Perisano C, Marzetti E, Menghi A, Giordano M, Aulisa L: Correlation between
Hump Dimensions and Curve Severity in Idiopathic Skoliosis before and after Conservative Treatment.
Spine (PhilaPa 1976) 2011.
Bunnell WP. Selective screening for skoliosis. Clin Orthop Relat Res. 2005;(434):40-45.
de Mauroy JC, Fender P, Tato B, Lusenti P, Ferracane G: Lyon brace. Stud Health Technol Inform 2008,
135:327-340.
de Mauroy JC, Lecante C, Barral F, Daureu D, Gualerzi S, Gagliano R: The Lyon brace. Disabil Rehabil
Assist Technol 2008, 3(3):139-145.
de Mauroy JC, Lecante C, Barral F: “Brace Technology” Thematic Series- The Lyon approach to the
conservative treatment of skoliosis. Skoliosis 2011, 6(1):4.
Lonstein JE. Adolescent idiopathic skoliosis. Lancet. 1994;344(8934):1407-1412.
Mammano S, Scapinelli R: Plaster casts for the correction of idiopathic skoliosis. Acta Orthop Belg
1992, 58(Suppl 1):81-84.
Mehta MH: Growth as a corrective force in the early treatment of progressive infantile skoliosis. J
Bone Joint Surg Br 2005, 87(9):1237-1247
Negrini S, Atanasio S, Negrini F, Zaina F, Marchini G: The Sforzesco brace can replace cast in the
correction of adolescent idiopathic skoliosis: A controlled prospective cohort study. Skoliosis 2008,
3(1):15.
Negrini S, Marchini G: Efficacy of the Symmetric, Patient-oriented, Rigid, Three-dimensional, active
(SPoRT) concept of bracing for skoliosis: a prospective study of the Sforzesco versus Lyon brace. Eura
Medicophys 2006.
Negrini S, Negrini F, Fusco C, Zaina F: Idiopathic skoliosis patients with curves more than 45 Cobb
degrees refusing surgery can be effectively treated through bracing with curve improvements. Spine J
2011.
O’Connor F. Pediatric Orthopedics for the Family Physician. Infant, Child & Adolescent Medicine. AAFP
CME Program. 2007.
Reamy BV, Slakey JB. Adolescent idiopathic skoliosis: review and current concepts. Am Fam Physician.
2001; 64(1):111-116.
Rigo MD, Grivas TB: “Rehabilitation schools for skoliosis” thematic series: describing the methods and
results. Skoliosis 2010, 5:27.
Smith JR, Sciubba DM, Samdani AF. Skoliosis: a straightforward approach to diagnosis and
management. JAAPA. 2008;21(11):40-45.
Veldhuizen AG, Cheung J, Bulthuis GJ, Nijenbanning G: A new orthotic device in the non-operative
treatment of idiopathic skoliosis. Med Eng Phys 2002, 24(3):209-218.
Weinstein SL, Dolan LA, Spratt KF, Peterson KK, Spoonamore MJ, Ponseti IV: Health and function of
patients with untreated idiopathic skoliosis: a 50-year natural history study. Jama 2003, 289(5):559-
567.
Weiss H, Verres C, Lohschmidt K, El Obeidi N: Pain and skoliosis-is there any relationship? Orthop Prax
1998, 34:602-606.
Weiss HR, Weiss GM: Brace treatment during pubertal growth spurt in girls with idiopathic skoliosis
(IS): a prospective trial comparing two different concepts. Pediatr Rehabil 2005, 8(3):199-206.
Weiss HR. Adolescent idiopathic skoliosis (AIS) – an indication for surgery? A systematic review of the
literature. Disabil Rehabil. 2008;30(10):799-807.
Wynne JH: The Boston Brace and TriaC systems. Disabil Rehabil Assist Technol 2008, 3(3):130-135.
Zaina F, Negrini S, Atanasio S: TRACE (Trunk Aesthetic Clinical Evaluation) a routine clinical tool to
evaluate aesthetics in skoliosis patients: development from the Aesthetic Index (AI) and repeatability.
Skoliosis 2009, 4(1):3.
Sibilla P: Trent’anni di scoliosi. Lezione “non” magistrale. In Rachide & Riabilitazione 2002. Volume 1.
Edited by: Negrini S, Rainero G. Vigevano: Gruppo di Studio Scoliosi e patologie vertebrali; 2002:73-
92.
Sibilla P: Il trattamento conservativo attivo della scoliosi idiopatica in Italia. In Le deformità vertebrali:
stato dell’arte. Volume 2. Edited by: Negrini S, Sibilla P. Vigevano: Gruppo di Studio Scoliosi e
patologie vertebrali; 2001:20-41.
Stefko RM, Erickson MA. Pediatric orthopaedics. In: Miller MD, editor. Review of Orthopaedics. 3rd
ed. Philadelphia: Saunders; 2000.
Koukourakis I, Giaourakis G, Kouvidis G, Kivernitakis E, Blazos J, Koukourakis M: Screening school
children for skoliosis on the island of Crete. J Spinal Disord 1997, 10(6):527-531.
Zaina F, Negrini S, Atanasio S: TRACE (Trunk Aesthetic Clinical Evaluation), a routine clinical tool to
evaluate aesthetics in skoliosis patients: development from the Aesthetic Index (AI) and repeatability.
Skoliosis 2009, 4(1):3.
Fowler PB: Evidence-based medicine. Lancet 1995, 346(8978):838.
White KL: Evidence-based medicine. Lancet 1995, 346(8978):837-838, author reply 840.