Jean Piaget adalah seorang psikolog yang terkenal dengan teori bahwa anak belajar melalui
tindakan konkret. Piaget mengusulkan bahwa pemahaman anak dibangun (dikonstruksi) melalui
aksi. Itulah sebabnya teori Piaget sering disebut teori konstruktivisme.
Misalnya ada anak berusia 3 tahun diajak mengunjungi daerah pedesaan bersama ayahnya.
Sebelumnya, sang anak belum pernah melihat sapi.
Selama ini, binatang berkaki empat yang baru anak lihat hanyalah anjing. Saat anakmelihat sapi,
ia berkata, “Itu anjing besar!” Ayahnya menjawab, “Bukan, itu sapi.”
Saat anak melihat sapi pada kesempatan berikutnya, ia sudah berpengalaman dan berkata, “Itu
sapi.” Proses ini disebut asimilasi, yakni seorang anak mengetahui sesuatu karena sudah
memiliki pengalaman sebelumnya.
Selain proses asimilasi, Piaget juga mengungkapkan ada proses lain yang juga penting dalam
belajar, yakni akomodasi. Proses akomodasi adalah proses memodifikasi hal yang sudah anak
ketahui sebelumnya karena mengalami fenomena baru.
Anak yang sebelumnya hanya tahu anjing, akan bingung saat melihat sapi. Anak akan bertanya-
tanya mengapa anjing yang ini lebih besar dan bertanduk. Untuk itulah, anak perlu memodifikasi
apa yang sudah ia ketahui dengan pengalaman baru.
Setelah melalui proses akomodasi, sang anak baru paham bahwa binatang itu disebut sapi dan
akan terus mengingatknya.
Piaget mengungkapkan bahwa suasana belajar akan lebih efektif jika seorang anak dihadapkan
pada konflik/dilemma serta tindakan/pengalaman nyata. Perpaduan konflik dan tindakan ini akan
memberi stimulus proses akomodasi dan asimilasi untuk anak.
Piaget membagi tahapan perkembangan kognitif anak menjadi 4 tahapan sebagai berikut.
Anak pada usia ini sepenuhnya tergantung pada tindakan fisik dan indera dalam mengenali
sesuatu.
Namun, pada tahap ini cara berpikir anak masih tergantung pada objek konkret, rentang waktu
kekinian, dan tempat di mana ia berada (concrete, here, and now). Anak tahap pra-operasional
belum mamppu berpikir abstrak sehingga memerlukan simbol yang konkret saat menanamkan
konsep pada mereka.
Misalnya saja saat mengenalkan angka, anak harus ditunjukkan objek yang jumlahnya sesuai
dengan angka tersebut. Saat mengenalkan angka 4, tunjukkanlah 4 buah gelas.
Anak pada tahap ini memandang sesuatu hanya pada satu aspek saja. mereka bisa tertipu dengan
penampakan suatu benda atau persepsi. Misalnya anak diperlihatkan 2buah gelas yang sama
berisi air dengan volume yang sama. Kemudian air di salah satu gelas dipindahkan ke gelas yang
lebih lebar.
Anak cenderung akan menyimpulkan bahwa air di gelas yang lebih lebar jumlahnya lebih sedikir
karena garis permukaannya lebih rendah. Lihat gambar berikut ini.
Selain itu, anak belum bisa mengaitkan waktu sekarang dengan masa lampau. Misalnya ketika
anak membongkar mainan, ia kesulitan memasang kembali mainan tersebut, walaupun mainan
tersebut sangat sederhana.
Anak sudah mulai dapat berpikir abstrak. Anak juga mulai berpikir logis dalam memahami dan
memecahkan masalah serta mengenali simbol-simbol. Namun anak masih membutuhkan objek
konkret untuk belajar.
Misalnya saat belajar matematika tentang nilai tempat (satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya),
anak akan lebih mudah paham saat mereka menggunakan objek konkret (seperti lidi atau
kancing) dibandingkan cara yang abstrak (misalnya dengan simbol angka, 14 + 17 = …., atau
soal esai).
Selain itu, anak sudah dapat mengaitkan apa yang terjadi sekarang dengan masa lalu. Anak pada
tahap ini sudah dapat memasangkan kembali sebuah mainan bongkar pasang seperti semula.
Pemahaman baik yang terbentuk pada tahap ini sangat menentukan kemampuan anak dalam
berpikir abstrak pada tahap berikutnya.