Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK

BLOK 4.2 DIGESTIVE & NEPHROURINARY DISORDER


PEMERIKSAAN FESES

Disusun oleh :
Kelompok B 4 :

Rizky Bayu Lesmana G1A014092


Haniy Thri Afifaningrum G1A018006
Sendi Gumilang K. G1A018018
Muhammad Rifqi Setiawan Y. G1A018030
Fakhry Muhammad Luthfi R. G1A018098
M Bintang Ibrahim G1A018099

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2020

1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3

A. Latar Belakang.................................................................................................3
B. Tujuan...............................................................................................................4
C. Manfaat.............................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5


A. Pemeriksaan Makroskopis................................................................................5
B. Pemeriksaan Mikroskopis................................................................................6
C. Pemeriksaan Kimiawi.......................................................................................8

BAB III METODE PRAKTIKUM.....................................................................11


A. Alat dan Bahan...............................................................................................11
B. Cara Kerja.......................................................................................................11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................18


A. Hasil...............................................................................................................18
B. Pembahasan....................................................................................................18

BAB V APLIKASI KLINIS................................................................................22


BAB VI PENUTUP..............................................................................................30
Kesimpulan.....................................................................................................27

Daftar Pustaka.................................................................................................28

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tinja adalah hasil dari digesti dan absorpsi asupan (intake) air, makanan
(per oral), saliva, cairan lambung, cairan yang berasal dari pankreas, dan cairan
empedu yang semuanya berperan pada proses pencernaan makanan. Orang
dewasa mengeluarkan feses antara 100-300 gram/hari yang 70% diantaranya
adalah tinja (Setya 2013).

Bahan pemeriksaan tinja sebaiknya berasal dari defekasi spontan, jika


pemeriksaan sangat diperlukan contoh tinja dapat diambil dengan jari bersarung
dari rektum. Untuk pemeriksaan rutin dipakai tinja sewaktu dan sebaiknya tinja
diperiksa dalam keadaan segar karena bila dibiarkan mungkin sekali unsur unsur
dalam tinja menjadi rusak. Pemeriksaan tinja terdiri atas pemeriksaan
makroskopik, mikroskopik dan kimia. Jenis makanan serta gerak peristaltik
mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya. Indikasi pemeriksaan tinja
tersebut antara lain adanya diare dan konstipasi, adanya ikterus, adanya gangguan
pencernaan, adanya lendir dalam tinja, kecurigaan penyakit gastrointestinal, dan
adanya darah dalam tinja (Gandasoebrata, 2013).

Pemeriksaan feses di lakukan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing


ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di dilakukan untuk tujuan
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa
fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat
dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk
mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara
melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi
dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh
sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang

3
hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada et
al., 2000).

B. Tujuan
1. Menjelaskan, melakukan, menginterpretasi, dan menganalisis pemeriksaan
feses makroskopis
2. Menjelaskan, melakukan, menginterpretasi, dan menganalisis pemeriksaan
feses mikroskopis
3. Menjelaskan, melakukan, menginterpretasi, dan menganalisis pemeriksaan
feses kimiawi.

C. Manfaat
1. Setelah mengikuti praktikum ini, mahasiswa dapat mengetahui cara kerja,
mampu menginterpretasikandan menganalisis hasil dari pemeriksaan feses
makroskopis.
2. Mahasiswa dapat mengetahui cara kerja, mampu menginterpretasikan dan
menganalisis hasil dari pemeriksaan feses mikroskopis.
3. Mahasiswa dapat mengetahui cara kerja, mampu menginterpretasikan dan
menganalisis hasil dari pemeriksaan feses kimiawi

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemeriksaan Makroskopis
Pemeriksaan Makroskopis (Setya, 2013)
Pemeriksaan makroskopis, meliputi warna, darah, lendir, konsistensi,
bau, pH, dan sisa makanan.
a. Pemeriksaan Bau
Seperti halnya pemeriksaan bau urine, uji bau pada tinja dilakukan
dengan mengibaskan menggunakan telapak tangan terhadap sampel tinja
pada wadahnya.
Interprestasi hasil:
- Normal: Merangsang tetapi tidak terlalu busuk
- Abnormal: Amis, busuk, tengik, dsb.
b. Pemeriksaan Warna dan Sisa Makanan
Warna dan sisa makanan diuji secara langsung dengan mengamati
tinja secara visual.
Interprestasi hasil:
- Normal: Kuning Kecoklatan,
- Abnormal: Hitam, merah, hijau, dst
c. Pemeriksaan Lendir dan Konsistensi
Dua parameter ini dapat diperiksa secara bersamaan dalam satu
langkah kerja, yaitu dengan menggunakan stik yang ditusukkan kedalam
sampel.
Interprestasi hasil:
1) Konsistensi
- Normal: Lunak (tidak keras/lembek)
- Abnormal: Keras, lembek, dan encer

5
2) Lendir (diperiksa setelah stik ditusukkan dalam sampel lalu di
ambil lagi)
- Positif (+): Terdapat lendir yang ikut saat stik diambil
- Negatif (-): Tidak terdapat lendir
d. Pemeriksaan pH
PH tinja diperiksa menggunakan strip pH dengan bantuan
pinset. Kertas pH menggunakan pinset lalu tempelkan/benamkan ke
dalam sampel tinja selama 30 detik. Cocokkan perubahan warna yang
terjadi pada kertas pH dengan standar warna strip pH.

e. Pemeriksaan Darah
Darah dapat diperiksa secara langsung maupun dengan
bantuan reagen kimia untuk mendeteksi adanya darah samar dalam
tinja.
Interprestasi hasil:
-Positif (+): Ada darah
-Negatif (-): Tidak terdapat darah

B. Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari dua pemeriksaan yaitu
pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti pemeriksaan langsung (direct slide) yang
merupakan pemeriksan rutin yang dilakukan, metode flotasi/pengapungan,
metode selotip, teknik sediaan tebal dan metode sedimentasi. Pemeriksaan
kuantitatif dikenal dengan beberapa metode yaitu metode Stoll, flotasi
Kuantitatif dan metode Kato-Katz (Regina, 2018).

6
Pemeriksaan mikroskopis feses terutama ditujukan untuk menemukan
protozoa, larva, dan telur cacing. Untuk menemukan protozoa, digunakan
larutan eosin 1-2% atau lugol 1-2% Sedangkan berikut adalah beberapa unsur
lain yang bisa di teramati pada pemeriksaan mikroskopis: Karbohidrat
(menggunakan lugol, akan tampak butiran biru), lemak (menggunakan larutan
sudan III, akan tampak butiran jingga), protein (menggunakan reagen asam
asetat 30% akan tampak butiran kuning muda) (Setya, 2013).

Pemeriksaan mikroskopis adalah pemeriksaan yang hanya dapat


dilihat melalui mikroskop (Fischbach, 2010).

a. Pemeriksaan Leukosit pada Feses


Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam
seluruh sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan
didapatkan peningkatan jumlah leukosit. Eusinofil mungkin ditemukan
pada bagian tinja yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran
pencernaan.
b. Pemeriksaan Eritrosit pada Feses
Eritrositnya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum
atau anus. Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah
hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal.
c. Pemeriksaan Epitel pada Feses
Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epitel
yaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitelyang
berasal dari bagian proksimal jarang terlihat karena sel inibiasanya
telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak kalau ada
perangsangan atau peradangan dinding usus bagian distal.

7
d. Pemeriksaan Amilum pada Feses
Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal
mungkin terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak.
Kristal tripel fosfat dan kalsium oksalat didapatkan setelah memakan
bayam atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak didapatkan
setelah banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai
kristal charcoat leyden tinja, butir-butir amilum dan kristal hematoidin.
kristal charcoat leyden didapat pada ulkus saluran pencernaan seperti
yang disebabkan amubiasis. Pada perdarahan saluran pencernaan
mungkin didapatkan kristal hematoidin.
e. Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua
macam cara pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.
Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode natif,
metode apung, dan metode harada mori. Sedangkan pemeriksaan
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode kato.
C. Pemeriksaan Kimia
a. Darah Samar
Perdarahan ke dalam traktus gastointestinal dalam jumlah
berapapun selalu membahayakan dan tidak boleh dianggap remeh,
meskipun hanya berasal dari lesi yang kecil (hemoroid, fisuraani), obat-
obatan (terutama salisilat, steroid, derivat rouwolfia, phenylbutason) dapat
menyebabkan perdarahan gastrointestinal meski pada orang normal
sekalipun. Terlebih pada penderita kelainan gastrointestinal. Kehilangan
lebih dari 50-75 mL darah dari traktus gastrointestinal bagian proksimal
umumnya akan menyebabkan tinja berwarna merah hitam sampai hitam
dengan konsistensi seperti tir (melena) (Bauer, 2011).

8
Terjadinya melena yang terus menerus selama 2-3 hari sudah
memberikan petunjuk bahwa kehilangan darah paling sedikit 100 mL.
Sesudah perdarahan macam ini, maka pemeriksaan darah samar akan
berhasil positif selama 5-12 hari berturut-turut. Tes yang paling sering
dikerjakan utnuk menentukan adanya darah samar dalam tinja tergantung
dari penentuan aktifitas peroksidase/ oksiperoksidase dari eritrosit
termasuk hemoglobin. Tes yang memakai indikator ini adalah Guayac test,
orthotoluidine, orthodinisidine sertabenzidine test. Dengan adanya
peroksidase/ oksiperoksidase di dalam spesimen tinja dengan penambahan
hidrogen peroksida ke dalam tes tersebut, maka indikator tersebut akan
dioksidasi menjadi gugusan quinone yang berwarna biru (pada
guayac test0 atau gugusan lain tergantung reagennya. Intensitas warna
pada tes ini tergantung pada aktifitas enzim dari hemoglobin atau
peroksidase yang lain, adanya zat yang menyebabkan perubahan warna,
ada atau tidaknya inhibitor serta sensitifitas dari serial tes tersebut (Hadi,
2013).

Di antara banyak tes yang disebutkan diatas yang paling peka


adalah benzidine test, tapi tes ini kurang disenangi selain sensitifitasnya
terlalu tinggi sehingga bisa mengacaukan hasil (banyak menghasilkan
positif palsu) juga benzidine bersifat carcinogenik. Tes yang kurang
sensitif dan banyak dipakai saat ini adalah Guayac test. Jika kehilangan
darah melalui tinja sebanyak 2-2,5 mL perhari akan menyebabkan tes
darah samar positif (normal kehilangan darah lewat tinja 0,5-2 ml perhari).
Tes darah samar yang lebih peka lagi ialah tes ‘colon albumin’ merupakan
pemeriksaan baru untuk mendeteksi albumin serum manusia dalam tinja
berdasarkan prinsip imunologi. Dengan dideteksinya albumin dalam
serum secara tidak langsung berarti mendeteksi adanya darah dalam tinja
tersebut. Albumin serum manusia di tinja merupakan indikator perdarahan
kolorektal seperti pada beberapa penyakit saluran cernater masuk penyakit

9
keganasan. Reagen ini menggunakan antibody monoklonal terhadap
albumin serum manusia sehingga manusia sebagai spesifitasnya tinggi.
Biasanya dipakai untuk mendeteksi awal adanya keganasan. Hal yang
perlu diperhatikan adalah adanya zat-zat yang mengganggu percobaan
atau menyebabkan positif atau negative palsu. Positif palsu dapat
diakibatkan oleh leukosit, foemalon cuprioksida, yodium dan asam nitrat.
Sedangkan negative palsu dapat disebabkan oleh vitamin C dosis tinggi,
antioksidan. Ada zat yang dapat mempengaruhi atau mengganggu tes
darah samar diantaranya adalah Fe, klorofil, ekstrak daging dan senyawa
merkuri (Hadi, 2013).

b. Pemeriksaan Bilirubin
Pemeriksaan bilirubin akan beraksi negatif pada tinja normal,
karena bilirubin dalam usus akan berubah menjadi urobilinogen dan
kemudian oleh udara akan teroksidasi menjadi urobilin. Reaksi mungkin
menjadi positif pada diare dan pada keadaan yang menghalangi perubahan
bilirubin menjadi urobilinogen, seperti pengobatan jangka panjang dengan
antibiotik yang diberikan peroral, mungkin memusnakan flora usus yang
menyelenggarakan perubahan tadi. Untuk mengetahui adanya bilrubin
dapat digunakan metode pemeriksaan Fouchet (Bauer, 2011).

c. Pemeriksaan Urobilinogen
Penetapan kuantitatif urobilinogen dalam tinja memberikan hasil
yang lebih baik jika dibandingkan terhadap tes urobilin, karena dapat
menjelaskan dengan angka mutlak jumlah urobilinogen yang
diekskresilkan per 24 jam sehingga bermakna dalam keadaan seperti
anemia hemolitik dan ikterus obstruktif. Tetapi pelaksanaan untuk tes
tersebut sangat rumit dan sulit, karena itu jarang dilakukan di
laboratorium. Bila masih diinginkan penilaian ekskresi urobilin dapat
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan urobilin urin (Bauer, 2011).

10
BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Pemeriksaan Makroskopis

Alat dan Bahan :

- Sampel Feses

Cara kerja :

- Amati sampel yang akan diperiksa dan laporkan yang tampak. Bila kurang
jelas, faeces dapat diratakan pada kaca obyek dan amati dengan teliti
komponen apa yang tampak misalnya : sisa makanan, parasit, benda asing.
1. Bentuk dan konsistensi.
a. Normal : silinder, padat / lembek sampai keras.
b. Abnormal :

Bentuk dan konsistensi Klinis

 Cair - Enteritis.
 Pensil - Stenosis rectum.
 Kecil – kecil dan keras - Spasme colon.
 Viscous hitam - Perdarahan saluran cerna.
 Viscous merah segar - Perdarahan saluran cerna
bawah.
2. Warna dan bau.
a. Bau normal : khas
b. Warna normal : Coklat muda sampai coklat tua oleh karena oksidasi
urobilin.
c. Warna abnormal :

11
Warna Klinis

 Purulen, darah +, lendir + - Colitis ulcerosa.


 Putih - Steatorrhea.
 Hijau - Klorofil.
 Merah segar, jumlah >> -Keganasan / hemorrhoid.
 Keabuan - Lemak tak tercerna.
 Seperti dempul / acholik - Obstruksi empedu.
 Hitam - Melena.

3. Darah dan lendir.


a. Normal : darah (-)
b. Darah (+) : menunjukan adanya rangsangan atau iritasi pada usus.
- Darah segar : berasal dari bagian distal.
- Darah hitam/coklat : asal dari usus bagian proksimal.
c. Lendir (+) : adanya rangsangan atau radang pada dinding usus.

B. Pemeriksaan Mikroskopis
Alat dan Bahan :
 Object glass
 Eosin 1- 2%
 Cover glass
 Lugol 1- 2%
 Tusuk gigi
 Asam Asetat 30%
 Mikroskop
 Feses

12
Hal yang diperiksa :
1. Sel epitel, Makrofag
Cara kerja :

Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Teteskan Eosin 1-2% 1 tetes

Tutup dengan cover glass

Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x

Arti klinis :

 Normal : ditemukan 1 – 2 epitel / LPK.


 Abnormal : ditemukan dalam jumlah banyak / bergerombol
kemungkinan ada radang saluran cerna atau rangsangan yang
bertambah
2. Leukosit
Cara kerja :

Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Teteskan Asam Asetat 10% 1 tetes

Tutup dengan cover glass

13
Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x

Arti klinis :

 Normal : 1 – 2 sel leukosit / LPB.


 Abnormal : bila ditemukan dalam jumlah banyak kemungkinan
adaperadangan saluran cerna misal : colitis ulcerosa, disentri
basiler.
3. Pati/amilum
Cara Kerja :

Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Teteskan Lugol 1-2% 1 tetes

Tutup dengan cover glass

Panaskan diatas api bunsen

Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x, akan ditemukan butiran biru

4. Protein
Cara Kerja :
Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Teteskan Asam Asetat 30% 1 tetes

14
Tutup dengan cover glass

Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x, akan ditemukan butiran kunng muda

5. Lemak
a. Pemanasan
Cara Kerja :
Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Tutup dengan cover glass

Panaskan diatas api bunsen

Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x, akan ditemukan butiran jingga

b. Asam Asetat
Cara Kerja :
Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Teteskan Asam Asetat 30% 1 - 2 tetes

Tutup dengan cover glass

Panaskan diatas api bunsen

Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x, akan


ditemukan butiran kecil kuning muda

15
c. Parasit
Cara kerja :
Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Teteskan Eosin 1% 1 tetes

Tutup dengan cover glass

Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x

d. Kista
Cara kerja :
Ulaskan feses pada object glass menggunakan tusuk gigi, ratakan.

Teteskan Lugol 1-2% 1 tetes

Tutup dengan cover glass

Amati di bawah mikroskop perbesaran 100x-400x

Arti klinis :

 Normal : tripel fosfat, kalsium oksalat.


 Abnormal : Charcot – Leyden, hematoidin.

16
C. Pemeriksaan Kimiawi
1. Pemeriksaan Bilirubin
Alat dan bahan :
 Feses
 BaCl2
 Larutan Fouchet
 Tabung reaksi
 Kertas saring
 Pipet
Cara Kerja :

Campurkan BaCl2 dengan feses kurang lebih 10 ml

Saring dengan kertas saring

Biarkan kertas saring agak kering

Tetesi kertas saring dengan Fouchet

Amati perubahan warna yang terjadi

Penilaian hasil :

 Negatif ( Normal ) : tak ada perubahan warna.


 Positif : timbul warna hijau sampai biru

17
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Makroskopis
Dalam pemeriksaan makroskopis feses, dinilai bentuk, warna,
konsistensi, bau, darah, lendir, dan parasit
1. Bentuk
Pada pemeriksaan bentuk feses, feses normal berbentuk silinder.
Adapun bentuk abnormal pada feses, contohnya bentuk kecil dan keras
menunjukkan adanya kemungkinan konstipasi (McPherson et al., 2011).
2. Konsistensi
Konsistesi feses normal tidak terlalu lembek atau keras. Adanya
gannguan pada GI digambarkan dengan adanya abnormalitas pada avaluasi
makroskopis feses, pada konsistensi feses yang cair dapat dikarenakan diare
(McPherson et al., 2011)
3. Warna
Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih
tua dengan terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinja
dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam saluran
pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning dapat disebabkan karena
susu,jagung, lemak dan obat santonin. Tinja yang berwarna hijau dapat
disebabkan oleh sayuran yang mengandung khlorofil atau pada bayi yang
baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam mekonium (
Sutedjo, 2009)
Kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam
saluran pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut
disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim
pankreas seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan mengandung
banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian garam
barium setelah pemeriksaanradiologik. Tinja yang berwarna merah muda

18
dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian distal, mungkin pula
oleh makanan seperti bit atau tomat. Warna coklat mungkin disebabkan
adanya perdarahan dibagian proksimal saluranpencernaan atau karena
makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua disebabkan
urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna
hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang atau
bismuth dan mungkin juga oleh melena (Gandasoebrata, 2013).
4. Bau

Sampel feses memiliki bau yang khas. Bau normal fese dipengaruhi
oleh zat-zat seperti indol, skatol, dan asam butirat. Feses abnormal memiliki
bau tengik, asam, ataupun basi. Feses yang berbau tengik atau asam disebabkan
oleh fermentasi gula yang tidak sempurna seperti pada keadaan diare
(Gandasoebrata, 2013).

5. Darah
Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau
hitam. Darah itu mungkin terdapat di bagian lua rtinja atau bercampur baur
dengan tinja. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan
bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti
pada tukak lambung atau varices dalam oesophagus. Sedangkan pada
perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darahterdapat di bagian luar
tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau
karsinoma rektum (Gandasoebrata, 2013)
6. Lendir
Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja.
Terdapatnya lendir yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada
dinding usus. Kalau lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi
iritasi itu mungkin terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur
baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus. Pada

19
disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa tinja
(Gandasoebrata, 2013 ).

B. Pemeriksaan Mikroskopis
1. Pemeriksaan Epitel pada Feses
Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epitel yaitu yang
berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitel yang berasal dari bagian
proksimal jarang terlihat karena sel ini biasanya telah rusak. Jumlah sel
epitel bertambah banyak jika terdapat perangsangan atau peradangan dinding
usus bagian distal (Fischbach, 2010).
2. Pemeriksaan Makrofag pada Feses
Sel-sel besar berinti satu memiliki daya fagositosis, dalam plasmanya
sering dilihat sel- sel lain (leukosit, eritrosit) atau benda- benda lain. Dalam
preparat natif (tanpa pewarnaan) sel- sel itu menyerupai amuba: perbedaanya
ialah sel ini tidak dapat bergerak (Yonata, 2016).
3. Pemeriksaan Leukosit pada Feses
Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh
sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan
peningkatan jumlah leukosit. Eusinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja
yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencernaan.
Pemeriksaan Leukosit dapat menggunakan reagen eosin 1% dan asam
aseteat 10% (Fischbach, 2010).
4. Pemeriksaan Eritrosit pada Feses
Eritrosit akan terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus.
Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya
eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal (Fischbach, 2010).
5. Pemeriksaan Sisa Makanan pada Feses
Sisa makanan hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan
normal, tetapi dalam keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini
dihubungkan dengan keadaan abnormal. Sisa makanan sebagian berasal dari
makanan daun-daunan dan sebagian lagi berasal dari hewan seperti serat

20
otot, serat elastis dan lain-lain. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja
dicampur dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum yang
tidak sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan III atau IV dipakai untuk
menunjukkan adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe. Sisa makanan ini
akan meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi (Hendrawati, 2015).
6. Pemeriksaan Parasit pada Feses
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua macam cara
pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif
dilakukan dengan menggunakan metode natif, metode apung, dan metode
harada mori. Sedangkan pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan metode kato (Fischbach, 2010).

C. Pemeriksaan kimiawi
1. Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme
dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikuloendotel.
Di samping itu sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain.
Sel retikuloendotel membuat bilirubin tidak larut dalam air, bilirubin yang
disekresikan dalam darah harus diikatkan albumin untuk diangkut dalam
plasma menuju hati. Bilirubin hanya sedikit larut dalam air, tetapi
kelarutannya dalam plasma meningkat melalui pembentukan ikatan
nonkovalen dengan albumin (Pratiwi, 2014).

21
BAB V

APLIKASI KLINIS

A. Melena
Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rektal yang
mengandung campuran darah, biasanya disebabkan oleh perdarahan usus
proksimal. Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti
aspal, dengan bau yang khas, yang lengket dan menunjukkan perdarahan
SCBA serta dicernanya darah pada usus halus. Warna merah gelap atau hitam
melena berasal dari konversi hemoglobin menjadi hematin oleh bakteri setelah
14 jam. Biasanya tercampur sisa makanan dan bereaksi asam. Melena
umumnya terjadi akibat perdarahan SCBA yang lebih dari 50-100 ml dan
biasanya disertai hematemesis. Banyaknya darah yang keluar selama
hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar
kecilnya perdarahan SCBA (Azmi, 2016).

Pada melena, dalam perjalanannya melalui usus, darah menjadi


berwarna merah gelap bahkan hitam. Perubahan warna ini disebabkan oleh
HCl lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen
porfirin. Kadang-kadang pada perdarahan saluran cerna bagian bawah dari
usus halus atau kolon ascenden, feses dapat berwarna merah terang atau gelap.
Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum akan tertahan
pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna feses menjadi hitam.
Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 48-72 jam setelah perdarahan
berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses yang berwarna hitam tersebut
menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah yang tersembunyi terdapat
pada feses selama 7-10 hari setelah episode perdarahan tunggal (Rofikoh,
2018).

22
Penyebab melena yang paling sering di esofagus adalah varises
esofagus, refluks esofagitis, karsinoma, dan Mallory–Weiss syndrome, serta
benda asing atau iritan seperti larutan alkali, terutama pada anak-anak. Di
gaster, penyebab yang paling utama adalah inflamasi, khususnya gastritis dan
ulkus. Aspirin dan alkohol juga sering menyebabkan melena. Karsinoma
jarang menyebabkan pendarahan. Ulkus duodenum sering menjadi penyebab
pendarahan dari duodenum, tapi ada kalanya neoplasma dan regional terlibat.
Ulserasi dari batu empedu sepanjang kantung empedu dan dinding duodenum
adalah penyebab lain perdarahan namun jarang. Perdarahan dapat terjadi
karena trauma. Trauma sering terjadi karena intubasi atau pembedahan.
Gangguan pembekuan darah harus diperiksa segera ketika 7 penyebab lokal
dari hematemesis tidak dapat ditemukan, terutama bila pendarahannya massif
(Schwarzenberg, 2015).

B. Malabsorbsi
Malabsorbsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan pada proses
absopsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi pada umumnya
pasien datang dengan diare sehingga kadang sulit dibedakan dengan etiologi
lainnya. Manifestasi klinis yangterjadi dapat ringan, berupa diare, konstipasi
atau sakit perut, stratorrhea, hingga gejala yang berat berupa terganggunya
penyerapan berbagai nutrien yang diperlukan oleh tubuh (IDAI, 2018).

Berbagai gangguan gastrointestinal yang menyebabkan malabsorbsi


antara lain : proses digesti yang tidak adekuat yaitu hipersekresi asam
lambung dan insufisiensi pankreas; perubahan metabolisme empedu karena
kelainan hati dan saluran empedu; small intestine bacterial overgrowt (SIBO)
yaitu kolonisasi bakteri yang berlebihan dalam usus halus; dan abnormalitas
sel mukosa usus baik karena genetik proses inflamasi, ataupun pembedahan
(IDAI,2018).

23
Malabsoprsi lemak sering ditemukan baik secara tunggal maupun
kombinasi sebagai penyebab malabsorbsi. Untuk menemukan adanya fecal fat
pasien diminta untu makan lemak sebanyak 30 gram perhari untuk
menentukan adanya lemak baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah
satu pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menentukan adanya fecal fat
adalah dengan pewarnaan Sudan. Pemeriksaan ini menentukan fecal fat secara
kualitatif, pemeriksaan ini mudah dilakukan dan mempunyai nilai sensitivitas
yang tinggi jika diintrepetasian oleh tenaga yang terlatih (PAPDI, 2014).

Secara umum tata laksana malabsorbsi tergantung dari penyebab


malabsorbsi tersebut. tata laksan meliputi pembatasan nutrisi, suplementasi
vitamin dan mineral serta obat-obatan. Pemberian nutrisi pada pasien dengan
malabsorpsi biasanya sedikit-sedikit tetapi sering, menghindari konsumsi susu
terutama yang mengandung laktase, pembatasanlemak. Suplementasi kalsium
terutama direkomendasikan pada pasien dengan hipokalsemia. Suplementasi
enzim pankreas yang mengandunng lipase akan meningkatkan digesti lemak
dan mengatasi streotorea (PAPDI,2014).

C. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA)


Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan
saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinik
dibbedakan perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antara
keduanya terdapat ketidaksamaan dalam pengelolaan dan prognosisnya.
Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) bisa beragam
tergantung lama , kecepatan, banyak sedikitnya darah yang hilang dan apakah
perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak (PAPDI, 2014).
Kemungkinan pasien SCBA datang dengan 1). anemia defisiensi besi
akibat perdarahan tersembunyi yang berlagsung lama, 2). hematemesis atau
melena disertai atau tanpa anemia, dengan adanya gangguan hemodinamik;
derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien (PAPDI, 2014).

24
Penyebab SCBA yang paling sering ditemukan yaitu ulkkus peptikum,
gastritis erosif, varises esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika. Semua
keadaan ini meliputi sampai 90 % dari semua kasus perdarahan gastointestinal
atas dengan ditemukannya suatu lesi yang pasti. Penegakan pasti etiologi nya
dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi, sehingga diketahui letak
perdarahan dan keparahannya (Fadila, 2015)
D. Diare Akut
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair
atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai
kriteria frekuensi yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang
air besar encer tersebut daapat/ tanpa disertai lendir dan darah (PAPDI, 2014).
Diare akut yaitu pasase tinja yang cair/ lembek dengan jumlah lebih
banyak dari normal berlangsung kurang dari 14 atau 15 hari. Diare akut
karena infeksi disebabkan oleh masuknya mikroorganisme atau toksin melalui
mulut. Kuman tersebut dapat melalui air, makanan atau minuman yang
terkontaminasi kotoran manusia atau hewan, kontaminasi tersebut dapat
melalui jari/tangan penderita yang telah terkontaminasi. Mikroorganisme
penyebab diare akut karena infeksi seperti Rotavirus, Shigella, Salmonella,dll
(Adyanastri, 2012).
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi sebagai
berikut: 1) Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2)
sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3) malabsorbsi
asam empedu, malabsorbsi lemak; 4) Defek sistem pertukaran anion atau
transpot elektrolit aktif di enterosit; 5) Motilitas dan waktu transit usus
abnormal; 6) gangguan permeabilitas usus; 7) Inflamasi dinding usus, disebut
diare inflamatorik; 8) Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi (Adyanastri,
2012).
Diare terjadi dalam kurun waktu kurang atau sama dengan 15 hari
disertai dengan demam, nyeri abdomen dan muntah. Jika diare berat dapat

25
disertai dehidrasi. Muntah-muntah hampir selalu disertai diare akut, baik yang
disebabkan bakteri atau virus V. Cholerae. E. Coli patogen dan virus biasanya
menyebabkan watery diarrhea sedangkan campylobacter dan amoeba
menyebabkan bloody diarrhea. Gambaran klinis diare akut yang disebabkan
infeksi dapat disertai dengan muntah, demam, hematosechia, berak-berak,
nyeri perut sampai kram (Adyanastri, 2012).
E. Diare Kronik
Diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 15 hari. Diare
kronik merupakan suatu sindrom yang penyebab dan patogenesisnya sangat
muti kompleks. Diare kronik dapat diklasifikasikan berdasarka patofisiologi
menjadi 7 macam diare yang berbeda antara lain : diare osmotik; diare
sekretorik; malabsorbsi asam empedu dan lemak; defek sistem pertukaran
anion/ transport elektrolit aktif di enterosit; motilitas dan waktu transit usus
abnormal; gangguan permeabilitas usus; eksudasi cairan, elektrolit, dan
mukus berlebihan (PAPDI, 2014).
Pemeriksaan Tinja harus diperhatikan secara benar apakah tinja
berbentuk air/ cair, stengah cair/ lembek, berlemak atau bercampur darah.
Contoh tinja harus diperiksa untuk melihat adanya leukosit, eritrosit, atau
parasit. Adanya gelembung lemak memberi dugaan ke arah malabsrobsi
lemak yang mengarah ke penyakit pankreas. Eritrosit dalam tinja
menunjukkan adanya luka, kolitis ulseratif, polyp atau keganasan dalam usus.
Untuk melihat adanya streatorea perlu dilakukan pengukuran kadar lemak
dalam tinja 24 jam atau 72 jam. Tes pewarnaan Sudan sangat sensitif untuk
mendeteksi malabsorbsi lemak (PAPDI, 2014).

26
BAB VI
PENUTUP
KESIMPULAN

1. Feses dapat diamati dengan melakukan tiga pemeriksaan, yaitu pemeriksaan


makroskopi, mikroskopos, dan biokimiawi.
2. Ketelitian pemeriksa sangat dibutuhkan, karena sangat mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
3. Feses normal akan berwarna kuning (berasal dari degradasi pigmen empedu
oleh bakteri), tidak lembek dan tidak keras, berbau khas (berasal dari Indol,
skatol dan asam butirat).
4. Setiap pemeriksaan dapat memiliki perbedaan, sesuai dengan kondisi tertentu,
seperti pola makan, bentuk makanan, dan kondisi tubuh sesorang.
5. Warna feses akan mengalami perubahan bila terjadi pendarahan di sistem
pencernaan (lebih sering sistem pencernaan bawah), atau mengalami infeksi
pada sistem pencernaan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Adyanastri, Festy.2012. Etiologi dan Gambaran Klinis Diare Akut di RSUP


Dr. Kariadi Semarang. Laporan Hasil KTI. FK Undip. Hal 1-59.

Azmi, F. A., Miro, S., & Iryani, D. (2016). Gambaran Esofagogastroduodenoskopi


Pasien Hematemesis dan atau Melena di RSUP M Djamil Padang Periode
Januari 2010-Desember 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1).
Bauer JD, Ackerman PG, Toro G. 2011. Clinical Laboratory Methods, 8 ed, Saint
Louis : The CV Mosby Company. p. 538.
Fadila, M.N. 2015. Hematemesis Melena dikarenakan Gastritis Erosif dengan
Anemia dan Riwayat Gout Atritis. Medula Unila. Volume 4 (2) hal 110
Fischbach F. Dunning III MB.2010. A Manual of Labolatory and DiagnosticTest. 8th
edition. Philadelphia Baltomore New York : Wolterskliwer Health.
Gandahusada. S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta.

Gandasoebrata R, 2013 Penuntun Laboratorium Klinik, cetakan 15, Dian Rakyat,


Jakarta

Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi. Jakarta: Alumni.


Hendrawati, L., Firmansyah, A., Darwis, D. 2015. Macronutrient Malabsorption in
Acute Diarrhea: Prevalence and Affecting Factors. Paediatrica Indonesiana.
Vol. 45(9-10): 207-210.
IDAI. 2018. Nutrition and Metabolic in Special Condition : Practice and Future
Trends. The 2nd Pediatric Nutrition and Metabolic Update. Jawa Timur. hal 1-
176.
Mc Person R.A & Pincus, M.R 2011 Henry’s Clinical Diagnosis and Management
by Laboratory Methods, 22th Ed, 509-535, Elsevier/saunders, Philadelphia

28
PAPDI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-6 Jilid 1. Jakarta : Internal
Publishing.
Pratiwi. A. 2014. Berat Badan Lahir Dengan Kadar Bilirubin Neonatus. Jurnal Genta
Kebidanan. Vol. 4(1): 1-3.

Regina, M.P., Ryan, H., Saekhol, B. 2018. Perbandingan Pemeriksaan Tinja Antara
Metode Sedimentasi Biasa dan Metode Sedimentasi Formolether dalam
Mendeteksi Soli-Transmitted Helminth. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Vol.
(7). No. (2)
Rofikoh, O. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami
Hematemesis Melena Dengan Diagnosa Perfusi Jaringan Perifer Tidak Efektif
Di Paviliun Dahlia Rsud Jombang (Doctoral dissertation, Universitas Pesantren
Tinggi Darul Ulum).
Schwarzenberg, S. J., Bellin, M., Husain, S. Z., Ahuja, M., Barth, B., Davis, H., ... &
Giefer, M. J. (2015). Pediatric chronic pancreatitis is associated with genetic
risk factors and substantial disease burden. The Journal of pediatrics, 166(4),
890-896.

Setya, K. A. (2013). Parasitologi: Praktikum Analis Kesehatan.Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.
Sutedjo, AY, 2009, Mengenal Penyakit Melalui Pemeriksaan Laboratorium.
Yogyakarta: Amara Books

Yonata, A., Farid, A. 2016. Penggunaan Probiotik sebagai Terapi Diare. Journal
Majority. Vol 5(2): 1-5.

29

Anda mungkin juga menyukai