Disusun oleh :
Kelompok 5
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
Panduan Pengungkapan CSR
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis
dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab
moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau
masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen
moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas.
Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan
memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
I. ISO 26000
A. Kelahiran ISO 26000 sebagai Guidance CSR
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for Standardization) sebagai
induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk
membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk
tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social
Responsibility.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman umum
bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman tersebut
tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit on the Environment tahun 1992 dan World
Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika
Selatan. Kemudian, Badan Standarisasi Internasional ISO sejak November 2010 telah
mengeluarkan ISO-26000 sebagai ‘Panduan’tentang Tanggung Jawab Sosial.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung
tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan
privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini akan memberikan
tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara:
1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya;
3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan
komunitas atau masyarakat internasional.)
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok ISO
26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara konsisten mengembangkan
tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi
atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui
perilaku yang transparan dan etis, yang:
Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan,
produk maupun jasa.
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang
menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab
sosial menurut ISO 26000 meliputi:
Akuntabilitas
Transparansi
Badan Standarisasi Internasional ISO sejak November 2010 telah mengeluarkan ISO-26000
sebagai ‘Panduan’tentang Tanggung Jawab Sosial, yang bukan dimaksudkan sebagai sebuah
standar’ atau kebutuhan sertifikasi CSR, tetapi benar-benar sebuah ‘guidance’ atau panduan yang
dapat ‘memandu’ penerapan Tanggung Jawab Sosial oleh organisasi apapun.
Sebagai salah satu dari 157 negara yang meratifikasi ISO-26000, Indonesia dapat menjadikan
ISO 26000 ini benar-benar sebagai acuan penerapan CSR. Untuk itulah, Kadin terpanggil untuk
menggagas acara diskusi ini, yang tentunya sebagai sebuah awal dari perjalanan yang cukup
panjang untuk mendapatkan masukan dari segenap pemangku kepentingan yang dapat
dirangkum untuk menjadi “Panduan Umum” Tanggung Jawab Sosial di Indonesia.
ISO 2600 sebagai pedoman ini dimaksudkan untuk digunakan oleh semua jenis organisasi,
baik itu sektor swasta maupun pelayanan masyarakat, di negara maju maupun negara
berkembang. Namun yang terpenting, 7 prinsip nilai yang terkandung di dalamnya yang harus
diterjemahkan di lapangan secara kreatif dan kontekstual.
Kreatif sendiri mengadung arti kata kunci keberhasilan suatu program CSR dalam pengertian ini
tidak selalu bergantung pada jumlah dana, tetapi tergantung pada kreativitas pelaksanaan CSR
yang bernilai tambah tinggi. Dan patut di ingat ISO 26000 bersifat sukarela dan hanya memuat
prinsip umum.
Hal ini penting untuk digaris bawahi bahwa ISO 26000 sendiri mengatakan hal tersebut sebagai
petunjuk (guidance) bukan panduan detail (guideline) yang harus anda ikuti secara item-per
item.
2. Dalam hal Laporan Keberlanjutan disusun secara terpisah dari laporan tahunan, harus
memuat informasi paling sedikit:
d. penjelasan Direksi;
f. kinerja keberlanjutan;
i. tanggapan LJK, Emiten, atau Perusahaan Publik terhadap umpan balik laporan tahun
sebelumnya.
3. Dalam hal Laporan Keberlanjutan disusun sebagai bagian yang tidak terpisah dari
laporan tahunan, Laporan Keberlanjutan harus memuat informasi sebagaimana dimaksud
pada angka 2.
4. Laporan Keberlanjutan dibuat dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal diperlukan, Laporan
Keberlanjutan dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris secara
berdampingan.
5. Laporan Keberlanjutan dapat disertai dengan gambar, grafik, tabel, dan/atau diagram
dengan keterangan yang jelas dan mudah dipahami pembaca.
Salah satu dari sekian standar pelaporan yang dijadikan kerangka kerja untuk akuntansi
sosial, audit, dan pelaporan adalah Global Reporting Initiative’s (GRI) Sustainability Reporting
Guidelines. GRI adalah salah satu organisasi di dunia yang menghasilkan standar pelaporan
paling banyak yang digunakan untuk sustainability reporting atau pelaporan berkelanjutan.
Pembaharuan dan revisi pedoman GRI ini terjadi hingga generasi keempat, yaitu G4 yang
diterbitkan pada bulan Mei 2013. Pedoman ini dibuat dengan tujuan agar organisasi pelaporan
dapat mengungkapkan dampak yang paling penting, baik positif maupun negatif, pada
lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Tujuan yang lain adalah organisasi pelapor mampu
menghasilkan informasi yang dapat dipercaya, relevan, dan dapat digunakan untuk menilai setiap
peluang maupun risiko, dan mengungkapkan lebih banyak informasi guna pengambilan
keputusan yang tepat.
1) Strategi dan Analisis yang memberikan gambaran strategis secara umum mengenai
keberlanjutan organisasi, untuk memberikan konteks pada bagian laporan selanjutnya yang lebih
detail dibandingkan bagian-bagian dalam pedoman;
5) Profil Laporan menyajikan gambaran keseluruhan tentang informasi dasar mengenai laporan,
indeks konten GRI, dan pendekatan untuk memperoleh assurance eksternal;
6) Tata Kelola memberikan gambaran keseluruhan tentang struktur tata kelola dan komposisinya
dalam mengevaluasi kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial
7) Etika dan Integritas merupakan gambaran keseluruhan tentang nilai, prinsip, standar, dan
norma di organisasi; mekanisme internal dan eksternal untuk memperoleh masukan mengenai
perilaku etis dan taat hukum; serta mekanisme internal dan ekternal untuk melaporkan
permasalahan tentang perilaku yang tidak etis atau melanggar hukum dan masalah integritas.
Sedangkan pengungkapan standar khusus terdiri dari pengungkapan pendekatan manajemen dan
indikator-indikator kategori dan aspek. Pengungkapan pendekatan manajemen bertujuan untuk
memberikan kesempatan bagi organisasi untuk menerangkan bagaiman pengelolaan dampak
ekonomi, lingkungan, dan sosial yang berkaitan dengan aspek material.
GRI mengeluarkan standar baru, bernama G4, pada tanggal 22 Mei 2013, di Amsterdam.
G4 memuat lebih banyak perubahan standar yang signifikan, jika dibandingkan dengan standar
sebelumnya, yaitu G3.1. Fokus perubahan pertama adalah isu-isu yang material. Materialitas
yang digambarkan oleh G4 adalah bentuk persilangan antara signifikansi dampak ekonomi,
sosial, dan lingkungan organisasi pelapor dengan perngaruh terhadap penilaian dan keputusan
kepentingan. Sedangkan fokus kedua dalam pedoman G4 adalah menghilangkan level aplikasi
pada pedoman GRI sebelumnya.
Aktivitas CSR dan/atau PBL biasanya mempertimbangkan beberapa hal antara lain:
1. Proximity, yakni kedekatan aktivitas CSR dengan posisi geografis aktivitas perusahaan.
Misalnya, Freeport membantu masyarakat suku Amungme, karena lokasi pertambangannya
berada di wilayahnya.
2. Relevance, yakni sejauh mana aktivitas CSR relevan dengan atau mendukung operasi
perusahaan mencetak laba. Ini adalah model CSR sebagaimana yang dijalankan PT Telkom.
Misalnya, pemberian dana hibah/bergulir oleh Telkom untuk para pengecer kartu pra bayarnya,
atau Sido Muncul memberi kredit ringan untuk membeli sepeda bagi tukang jamu gendong, dan
sebagainya. Biasanya mereka juga diwajibkan memasang atribut perusahaan untuk tujuan
promosi.
3. Magnitude, yakni yang terkait efek ‘promotif’ yang bisa muncul berupa citra positif kalau
CSR dilaksanakan, meskipun tidak disampaikan secara eksplisit. Misalnya yang masuk dalam
program pemberian sumbangan kepada korban untuk bencana alam, kelaparan, dan aktivitas
sosial. Contohnya sumbangan PT Telkom melalui Divisi Bina Lingkungan (Community
Development Center) bagi bencana alam di Sumatera Barat.
CSR ternyata terbagi atas dua jenis yaitu CSR itu sendiri dan Program Bina Lingkungan
(PBL). Jika CSR merupakan salah satu komponen biaya operasional perusahaan, maka wajar bila
perusahaan bersangkutan menetapkan target manfaat balik (imbalan) secara langsung dalam
bentuk tertentu. Misalnya pemasangan pesan sponsor dalam rangka meningkatkan popularitas
perusahaan. Lain halnya dengan PBL yang bersumber dari penyisihan laba bersih. Dalam skema
PBL, perusahaan tidak mensyaratkan adanya manfaat balik secara langsung karena merupakan
hibah murni, terutama untuk porsi Bina Lingkungan. Dana CSR, dengan demikian, lebih
berkesinambungan daripada dana PBL karena merupakan bagian dari biaya operasional
perusahaan. Sementara, dana PBL berasal dari penyisihan laba bersih. Pemahaman akan
perbedaan antara CSR dan PBL cukup penting guna merumuskan pendekatan yang seharusnya
diambil oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk pembahasan selanjutnya, buku ini
mengasumsikan bahwa kebijakan program-program CSR (setidaknya sebagian besar) yang ada
saat ini merupakan bagian dari biaya operasional perusahaan (bukan dari penyisihan laba).
Sebagai contoh, apabila Pokja Sanitasi Kota menargetkan adanya pendanaan melalui CSR, maka
harus dirumuskan aspek manfaat apa yang akan ditawarkan Pemerintah Kota kepada pihak
perusahaan.
1. Segmentasi (unbundling) atas Program dan Rencana Kegiatan Pembangunan Sanitasi yang ada
dalam SSK berdasarkan rencana sumber pendanaannya. Selanjutnya buat pemilahan/segmentasi
dengan memisahkan Program dan Rencana Kegiatan Pembangunan Sanitasi, yang akan
ditawarkan kepada sponsor Program CSR.
a. Mengidentifikasi perusahaan yang menyelenggarakan program CSR. Bisa jadi jumlah, jenis,
dan skala volume bisnis perusahaan-perusahaan akan sangat berlainan antara satu kota dengan
lainnya. Keluaran dari langkah ini adalah daftar panjang (long-list) perusahaan yang
menyelenggarakan Program CSR, dan perusahaan yang tidak secara reguler menyelenggarakan
Program CSR tetapi bisa diajak bekerja sama (biasanya perusahaan yang usahanya berskala lokal
tapi sudah cukup mapan).
b. Membuat penilaian awal serta mengurutkannya berdasarkan tingkat relevansi bisnis mereka
dengan Sektor Sanitasi. Ada beberapa jenis usaha skala besar yang sangat terkait erat dengan
sektor sanitasi, misalnya perusahaan semen, bahan bangunan dan perusahaan perawatan tubuh
(sabun, pasta gigi, dan lainnya). Perusahaan-perusahaan seperti ini bila beroperasi atau posisi
operasinya relatif dekat dengan kota, sebaiknya ditempatkan pada urutan paling atas. Namun
demikian, tidak berarti bahwa perusahaan yang bisnisnya kurang relevan dengan sanitasi
dikeluarkan dari daftar perusahaan calon mitra. Pengurutan lebih dimaksudkan untuk
menetapkan prioritas perusahaan yang akan dihubungi.
c. Menjalin komunikasi secara sistematis. Inilah aspek kritis dan strategis yang harus disiapkan
secara hati-hati dan matang.
d. Menjalin kerja sama secara berkesinambungan. Setelah proses komunikasi dikelola dengan
baik, maka target berikutnya adalah timbulnya saling pengertian atas kepentingan bersama
hingga terjalin kerja sama, baik pada saat implementasi maupun dalam fase
pemantauan/monitoring dan evaluasi (monev).
Hal-hal yang harus ditegaskan dalam menjalin komunikasi dengan perusahaan antara
lain:
1. Pemerintah Kota tidak akan menambah beban pajak perusahaan, tetapi akan bekerja sama
saling menguntungkan.
2. Pemerintah Kota justru akan menawarkan alternatif penyaluran dana CSR yang sudah biasa
dianggarkan oleh perusahaan. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada penambahan beban
biaya. Tetapi justru membantu memberi alternatif implementasi Program CSR, supaya lebih
berdaya guna dan berhasil guna buat masyarakat.
3. Pada dasarnya, tanggung jawab total ketersediaan sanitasi berada di pihak Pemerintah Kota.
Untuk itu, perlu ditampilkan desain besar (grand design) sanitasi kota yang tertuang dalam SSK
dan menawarkan opsi-opsi pembangunan sanitasi yang diharapkan bisa didanai oleh program
CSR.
4. Perusahaan akan mendapatkan komitmen manfaat sesuai tujuan dan sasaran program CSR
mereka. Selama hal itu dinilai setimpal dengan besaran dana CSR yang dialokasikan dan dalam
skala otoritas Pemerintah Kota, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
6. Pada dasarnya, Pemerintah Kota hanya akan menerima outcome berupa bagian tertentu dari
program pembangunan sanitasi yang telah disepakati (sarana fisik atau non fisik). Dengan
demikian, tidak akan pernah ada aliran dana tunai dari pihak perusahaan kepada Pemerintah
Kota.
7. Proses pelaksanaan, terutama pengadaan barang dan jasa terkait implementasi program CSR,
akan mengikuti sistem dan prosedur pengadaan di perusahaan. Tidak akan ada campur tangan
Pemerintah Kota pada fase implementasi ini, kecuali pada aspek jaminan mutu (quality
assurance) agar outcome kerja sama mencapai target yang disepakati bersama dan selaras dengan
SSK.
Pada sisi lain, Pemerintah Kota harus menghindari hal-hal sebagai berikut:
1. Mengirimkan proposal proyek sanitasi kepada perusahaan dan menawarkan secara langsung
agar mereka bersedia berpartisipasi. Hal ini akan memberikan kesan Pemerintah Kota melempar
sebagian tanggung jawab publik kepada perusahaan.
2. Mengajak pihak perusahaan untuk bekerja sama sementara Pemerintah Kota belum berbuat
banyak, atau bahkan belum berbuat sama sekali. Harus tetap ditampilkan bahwa pada dasarnya
tanggung jawab total ketersediaan sanitasi berada di pihak Pemerintah Kota. Kontribusi pihak
lain lebih bersifat komplementer atas apa yang telah dan sedang dijalankan Pemerintah Kota.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan terkait CSR, antara lain UU tentang
Perseroan Terbatas No. 40/2007, Peraturan Pemerintah No 47/2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial, Undang-Undang Penanaman Modal No. 25/2007, Undang-Undang Minyak dan Gas
Bumi No. 22/2001, serta Keputusan Menteri BUMN 05/2007 tentang Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan yang telah diubah dengan Kepmen BUMN No. 20/2012 dan Kepmen BUMN
no. 5/2013. Peraturan-peraturan tersebut berlaku khususnya bagi perusahaan yang berkaitan
dengan sumber daya alam, perusahaan terbuka, perusahaan minyak dan gas bumi, serta BUMN.
Peraturan juga lebih banyak mengatur kontribusi perusahaan untuk pemberdayaan masyarakat
dan menekankan pentingnya bagi perusahaan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang sosial dan lingkungan hidup. Pedoman CSR KADIN dapat digunakan
oleh semua jenis dan ukuran perusahaan. Dengan menggunakan Pedoman yang didasarkan pada
ISO/SNI 26000 ini, perusahaan tidak hanya dapat mematuhi peraturan perundang-undangan
tersebut, namun sekaligus juga dapat berperilaku melampauinya (beyond compliance) dan dapat
lebih jauh lagi berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Mengelola CSR Integrasi CSR ke dalam seluruh perusahaan dapat dilakukan dengan 5
Tahapan berikut ini. Metode dan tahapan pekerjaan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan
kemampuan perusahaan serta karakteristik lokasi, pemangku kepentingan dan kearifan lokal.
1. Memahami CSR
Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP). 2010. Buku Panduan 2010
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR) Sebuah Potensi
Alternatif Sumber Pendanaan Sanitasi. Indonesia.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). 2015. Pedoman KADIN Tentang Tanggung-
Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta
Selatan-Indonesia.