14 PELAPORAN
BERKELANJUTAN
DAN PELAPORAN
TERINTEGRASI
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, pembelajar diharapkan dapat:
1. Menjelaskan definisi pelaporan berkelanjutan dan manfaatnya.
2. Menerapkan standar pelaporan berkelanjutan dan mempersiapkan laporan berkelanjutan.
3. Mejelaskan konsep pelaporan terintegrasi dan manfaatnya.
4. Menjelaskan kerangka prinsip pelaporan terintegrasi dan perbedaannya dengan pelaporan
berkelanjutan.
PENDAHULUAN
Modul ini adalah tentang pelaporan keberlanjutan (sustainability reporting) dan pelaporan
terintegrasi (integrated reporting). Modul ini membahas tentang latar belakang kedua pelaporan,
standar pelaporan, dan langkah-langkah penyusunan laporan.
14. 1 PELAPORAN KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITY REPORTING)
14. 1.1 Latar Belakang
Konsep bisnis awalnya menempatkan upaya menjaga kesinambungan entitas dan
kesehatan kesinambungan finansial sebagai perhatian utama. Namun mulai era
akhir 1980an isu pembangunan yang berkelanjutan mulai berhembus, terutama
kepada entitas-entitas yang menggunakan sumber daya alam. Apakah memang
entitas hanya bertanggung jawab secara keuangan kepada pemilik modal? Tidakkah
seharusnya entitas juga bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya atas
pemanfaatan Sumber Daya Alam? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian
membuat para Lembaga internasional mulai serius memikirkan yang dimaksud
dengan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu konsep yang mendasari pelaporan keberlanjutan adalah konsep triple
bottom line yang menjadi lazim di dunia akuntansi pada akhir 1990-an. Konsep ini
menganjurkan bahwa fokus dari proses akuntansi tidak hanya pada transaksi-
transaksi keuangan untuk menghasilkan laporan keuangan. Istilah triple bottom
line reporting ini pertama kali dicetuskan oleh John Elkington pada tahun 1994 dan
menganjurkan nilai entitas juga harus diukur dari tanggung jawabnya terhadap
social (People) dan lingkungan (planet) (Elkington 1994).
Sesungguhnya setiap transaksi dan interaksi yang dilakukan oleh entitas dengan
masyarakat (people) dan lingkungan (planet) pasti akan menimbulkan hubungan
sebab akibat satu sama lain. Hubungan sebab akibat tersebut membutuhkan
kegiatan pertanggungjawaban sosial lingkungan untuk menjaga keberlangsungan
usaha entitas di masa-masa yang akan dating. Salah satu bentuk
pertanggungjawaban sosial entitas dituangkan dalam kegiatan Corporate Social
Responsibility (CSR).
Selain UU PT, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menerbitkan beberapa
peraturan terkait kewajiban penyampaian informasi tentang tanggung jawab sosial
dan lingkungan atau keberlanjutan. Peraturan OJK Nomor 29/POJK.04/2016
tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik, BAB II, Pasal 4,
menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan salah satu
informasi yang wajib diungkapkan dalam laporan tahunan.
Pengaturan lebih lanjut tentang pengungkapan informasi tanggung jawab sosial dan
lingkungan kemudian dituangkan dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor
30/SEOJK.04/2016 tentang bentuk dan isi laporan tahunan emiten atau perusahaan
public. Bagian III, angka 1, huruf a kembali menegaskan bahwa informasi tanggung
jawab sosial dan lingkungan merupakan komponen minimum dari laporan tahunan.
Selanjutnya pada huruf h dijelaskan lebih jauh kandungan informasi tanggung
jawab sosial dan lingkungan tersebut. Pada pengaturan ini juga disebutkan bahwa
perjanjian informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan juga dapat disajikan
pada laporan tersendiri, sehingga tidak diwajibkan lagi untuk mengungkapkannya
dalam laporan tahunan.
Pada tahun 2017, OJK kembali menerbitkan POJK No. 51/POJK.03/2017 tentang
Penerapan Keuangan Berkebelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan
Perusahaan Publik. Terkait dengan pelaporan keberlanjutan, peraturan ini
mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik,
Menyusun Laporan Keberlanjutan. Laporan Keberlanjutan dapat disusun secara
terpisah dari laporan tahunan atau sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
laporan tahunan. Laporan Keberlanjutan tersebut wajib disampaikan kepada OJK
dan dipublikasikan di situs web atau media cetak/media pengumuman lainnya yang
mudah terbaca public jika belum memiliki situs web. Peraturan ini juga
melampirkan acuan format laporan keberlanjutan.
14.1.3 Definisi dan Manfaat Laporan Keberlanjutan
Laporan Keberlanjutan atau Sustainability Report (SR) memiliki definisi yang
beragam. Menurut Elkington (1997), SR adalah laporan yang memuat tidak saja
informasi kinerja keuangan tetapi juga informasi non-keuangan yang terdiri dari
informasi aktivitas sosial dan lingkungan yang memungkinkan entitas bertumbuh
secara berkesinambungan (sustainable performance). SR menurut World Business
Council for Sustainable Development (WBCSD) dapat didefinisikan sebagai
laporan public dimana entitas memberikan gambaran posisi dan aktivitas entitas
pada aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial kepada stakeholder dan eksternalnya
(WBCSD,2002).
Selain beberapa manfaat diatas, masih banyak lagi manfaat yang diberikan oleh SR
seperti tersaji pada gambar 14.1
Gambar 14.1: Manfaat dari Sustainability Reporting
Sumber: DUPress.com
Berdasarkan gambar diatas dapat kita lihat bahwa terdapat tiga aspek yang
merasakan manfaat dari SR yaitu: 1) aspek ekonomi, 2) aspek sosial, dan 3) aspek
lingkungan. Pada aspek ekonomi terdapat tiga manfaat yang diperoleh yaitu:
mengurangi biaya life cycle, meminimalisir risiko bisnis, serta keunggulan dalam
sewa, hunian, dan penilaian (superior rent, occupancy and valuation). Pada aspek
sosial terdapat tiga manfaat yang diperoleh yaitu meningkatnya citra entitas,
transparansi, dan kolaborasi/hubungan dengan pemangku kepentingan. Pada aspek
lingkungan juga terdapat tiga manfaat yang diperoleh yaitu: mengurangi
penggunaan energi air dan emisi gas, mengurangi resiko lingkungan dan
penggunaan yang lebih tinggi terhadap sumber energi terbarukan.
Prinsip-prinsip pelaporan untuk menentukan isi laporan terdiri dari empat prinsip
yaitu :
1. Stakeholder inclusiveness: entitas harus mengidentifikasi pemangku
kepentingannya, dan menjelaskan respon entitas terhadap ekspektasi rasional
dan kepentingan dari para pemangku kepentingannya.
2. Sustainable context: laporan harus menyajikan kinerja organisasi dalam
konteks keberlanjutan yang lebih luas.
3. Meateriality: laporan harus mencakup aspek yang: (a) mencerminkan dampak
ekonomi, sosial, dan lingkungan yang signifikan dari entitas; atau (b) secara
substansial berpengaruh terhadap penilaian dan keputusan pemangku
kepentingan.
4. Completeness: laporan harus mencakup aspek material dan ruang lingkupnya,
sehingga dapat mencerminkan dengan memadai dampak ekonomi,
lingkungan, dan sosial yang signifikan, serta memungkinkan pemangku
kepentingan menilai kinerja entitas pada periode pelaporan.
GRI 101 juga menjelaskan cara menggunakan GRIS dan bentuk klaim atas
penggunaan GRIS. GRI 101 menyebutkan terdapat dua pilihan dalam penggunaan
GRIS, yaitu opsi “core” dan opsi ‘comprehensive”. Perbedaan kedua pilihan
tersebut terletak pada penerapan GRI 102 dan GRI Topik-Spesifik. Terdapat
beberapa pengungkapan di GRI 102 yang hanya wajib diungkapkan jika entitas
memilih “comprehensive”. Sementara terkait GRI Topik-Spesifik, pada “core”
entitas cukup mengungkapkan minimum 1 (satu) pengungkapan Topik-Spesifik.
Namun jika entitas memilih “Comprehensive” maka entitas harus menetapkan
seluruh pengungkapan topik-spesifik.
Selanjutnya GRI 102 mengatur tentang pengungkapan umum yang harus disajikan
semua entitas yang menerapkan GRIS dalam menyusun SR. pengungkapan umum
ini mencakup :
1. Profile Organisasi
Standar pengungkapan ini memberikan gambaran tentang karakteristik
organisasi dalam rangka memberikan konteks untuk pelaporan selanjutnya
lebih rinci terhadap bagian lain pedoman. Pengungkapan mencakup hal-hal
seperti berikut:
a. Nama Organisasi
b. Aktivitas, merk, produk dan jasa
c. Lokasi kantor pusat
d. Lokasi operasi
e. Status badan hukum dan kepemilikan
f. Pasar yang dilayani
g. Skala organisasi
h. Informasi tentang pegawai dan pekerja lainnya
i. Rantai pasokan
j. Perubahan organisasi yang signifikan dan rantai pasokannya
k. Prinsip atau pendekatan kehati-hatian
l. Inisiatif eksternal
m. Keanggotaan asosiasi
2. Strategi
Standar pengungkapan ini menyajikan pernyataan dari pembuat keputusan
paling senior dari organisasi (seperti Direktur Utama, Komisaris Utama, atau
posisi senior yang setara) tentang relevansi keberlanjutan terhadap organisasi
dan strategi organisasi untuk menuju keberlanjutan. Pernyataan tersebut harus
menyajikan visi secara keseluruhan, strategi jangka pendek, jangka menengah
dan jangka Panjang, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan ekonomi,
lingkungan, dan dampak sosial, yang disebabkan oleh organisasi dan turut
memberikan kontribusi, atau dampak yang dapat dihubungkan dengan
kegiatannya sebagai akibat dari hubungan dengan orang lain (seperti pemasok,
orang atau organisasi dalam masyarakat lokal). Pernyataan juga harus
menyediakan dua bagian narasi singkat tentang dampak, resiko, dan peluang.
3. Etika dan Integritas
Standar pengungkapan ini memberi gambaran tentang:
a. Nilai-nilai organisasi, prinsip, standar, dan norma perilaku.
b. Mekanisme internal dan eksternal untuk memperolehsaran tentang perilaku
etis dan sesuai aturan atau hukum serta untuk melaporkan kekhawatiran
tentang perilaku yang tidak etis atau melanggar hukum dan integritas.
4. Tata Kelola
Standar pengungkapan ini memberi gambaran tentang:
a. Struktur tata kelola
b. Pendelegasian kewenangan
c. Penanggung jawab tingkat eksekutif untuk topik ekonomi, lingkungan, dan
sosial.
d. Mekanisme konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk ekonomi,
lingkungan, dan sosial.
e. Komposisi organ tata kelola tertinggi dan komite-komitenya.
f. Ketua organ tata kelola tertinggi.
g. Proses nominasi dan pemilihan organ tata kelola tertinggi.
h. Konflik kepentingan.
i. Peran organ tata kelola tertinggi dalam menetapkan tujuan, nilai-nilai, dan
strategi.
j. Pengetahuan kolektif dari organ tata kelola tertinggi.
k. Evaluasi kinerja organ tata kelola tertinggi.
l. Identifikasi dan manajemen dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial.
m. Efektivitas proses manajemen resiko.
n. Review topikn ekonomi, lingkungan, dan sosial
o. Peran organ tata kelola tertinggi dalam pelaporan keberlanjutan
p. Pengkomunikasian isu-isu kritis
q. Sifat dan jumlah isu-isu kritis
r. Kebijakan remunerasi
s. Proses penetapan remunerasi
t. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam remunerasi
u. Rasio total kompensasi tahunan
v. Persentase peningkatan rasio kompensasi tahunan
5. Stakeholder engagement
Standart pengungkapan ini memberikan gambaran tentang keterlibatan
pemangku kepentingan organisasi selama periode pelaporan. Pengungkapan
mencakup:
a. Daftar kelompok pemangku kepentingan yang dilibatkan oleh organisasi
b. Perjanjian perundingan Bersama
c. Identifikasi dan seleksi pemangku kepentingan
d. Pendekatan organisasi untuk keterlibatan pemangku termasuk frekuensi
keterlibatan jenis dan kelompok pemangku kepentingan dan indikasi
apakah ada keterlibatan yang dilakukan secara khusus sebagai bagian dari
proses punyusunan laporan.
e. Topik utama dan masalah yang telah diangkat melalui keterlibatan
pemangku kepentingan dan bagaimana organisasi telah menanggapi topik-
topik utama dan masalah, termasuk melalui pelaporannya.
6. Profil Laporan
Standar pengungkapan ini memberikan gambaran tentang informasi dasar
tentang laporan tersebut, konten indeks GRI, dan pendekatan untuk mencari
asurans pihak eksternal. Pengungkapan mencakup:
a. Entitas yang tercakup dalam laporan keuangan konsilidasi
b. Penentuan isi laporan dan ruang lingkup topik
c. Daftar topik material
d. Penyajian kembali informasi
e. Perubahan pada pelaporan
f. Periode pelaporan
g. Tanggal terbaru untuk laporan sebelumnya (jika ada)
h. Siklus laporan (seperti tahunan, dua tahunan, dan sebagainya)
i. Kontak untuk pertanyaan mengenai laporan atau isinya
j. Klaim penerapan GRIS
k. Indek GRI
l. Asurans dari pihak eksternal
Setelah GRI 101, GRI 102, GRI 103, GRIS menjelaskan standar pengungkapan
topik spesifik, yang terdiri dari GRI 200 (ekonomi), GRI 300 (lingkungan), dan
GRI 400 (sosial).
Table 1 menyajikan rincian pengungkapan untuk masing-masing topik-spesifik.
GRI 200 GRI 300 GRI 400
-Kinerja Ekonomi -Material -Pekerjaan
-Kehadiran Pasar -Energi -Hubungan Buruh/Manajemen
-Dampak Ekonomi secara tidak -Keselamatan dan Kesehatan
langsung -Air dan Limbah Cair Kerja
-Praktek Perolehan atau
pembelian -Keanekaragaman Hayati -Pelatihan dan Pendidikan
-Keanekaragaman dan
-Anti-korupsi -Emisi Persamaan Kesempatan
-Perilaku Anti-Persaingan -Limbah dan Sampah -Non-diskriminasi
-Kebebasan Berserikat dan
-Kepatuhan Lingkungan Berunding Bersama
-Penilaian Kinerja Pemasok
untuk Aspek Lingkungan -Pekerja Anak
-Kerja Paksa
-Praktek Keamanan
-Hak Masyarakat Adat
-Penilaian HAM
-Komunitas Lokal
-Penilaian Kinerja Pemasok dari
Aspek Sosial
-Kebijakan Publik
-Keamanan dan Kesehatan
Pelanggan
-Pemasaran dan pelabelan
-Privasi Pelanggan
-Kepatuhan terhadap Regulasi
Terkait Aspek Sosial
Standar ISO lainnya adalah ISO 26000. ISO 26000 memberikan pedoman untuk
bisnis dan organisasi agar dapat beroperasi dengan cara yang bertanggung jawab
secara sosial. Beroperasi dengan bertanggung jawab secara sosial berarti bertindak
dengan cara yang etis dan transparan dengan memberikan kontribusi untuk
Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. ISO 26000 membantu menjelaskan
tanggung jawab sosial, membantu bisnis dan organisasi menerjememahkan
prinsip-prinsip keberlanjutan kedalam Tindakan dan praktik terbaik yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial yang efektif secara global. Hal ini
ditujukan untuk semua jenis organisasi terlepas dari aktivitas mereka, ukuran atau
lokasi. Standar ini diluncurkan pada tahun 2010 setelah lima tahun negoisasi
antara berbagai pihak diseluruh dunia. Perwakilan dari pemerintah, LSM,
industry, kelompok konsumen dan organisasi buruh di seluruh dunia terlibat
dalam perkembangannya.
(http://www.iso.org/iso/home/standards/managementstandards/iso26000.htm).
Standar berikutnya adalah AA1000. AA1000 adalah standar berbasis prinsip yang
bertujuan membantu organisasi menjadi lebih akuntabel, bertanggung jawab dan
berkelanjutan. AA1000 membahas isu-isu yang mempengaruhi tata Kelola, model
bisnis dan strategi organisasi, serta memberikan bimbingan operasional pada
jaminan keberlanjutan dan keterlibatan pemangku kepentingan. AA1000 terdiri
atas tiga standar, yaitu (http://www.accountability.org):
1. The AA1000 Account Ability Principles Standard (AA1000APS):
menyediakan kerangka kerja bagi suatu organisasi untuk mengidentifikasi,
memprioritaskan, dan menanggapi tantangan keberlanjutan.
2. The AA1000 Assurance Standard (AA1000AS): menyediakan metodologi
untuk mengevaluasi sifat dan tingkat kepatuhan sebuah organisasi terhadap
Prinsip Akuntabilitas.
3. The AA1000 Stakeholder Engagement Standard (AA1000SES): menyediakan
kerangka kerja untuk membantu organisasi memastikan bahwa proses
pelibatan pemangku kepentingan direncanakan, intens, dan memberikan hasil.
Anggota NCSR terdiri dari lima organisai independent terkemuka, yaitu: Ikatan
Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM) atau saat ini
adalah Ikatan Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI), Komite Nasional Kebijakan
Publik (KNKP), Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Asosiasi
Emiten Indonesia (AEI), dan Indonesia-Netherlands Asociation (INA). NCSR ini
dideklarasikan pada tanggal 23 juni 2005. NCSR setiap tahun menyelenggarakan
ajang/penghargaan Sustainability Reporting Awards (SRA). Ajang tahunan SRA
diselenggarakan atas Kerjasama NCSR bersana INA serta American Chamber Of
Commerce (AMCHAM), dengan dukungan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG), Institute Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI), Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FCGI), dan Asosiasi Emiten Indonesia
(AEI).
Sampai saat ini ada sekitar 40 entitas di Indonesia dari berbagai sector yang telah
membuat laporan keberlanjutan dan mereka pun ikut ambil bagian dalam acara
SRA setiap tahunnnya yang diselenggarakan oleh NCSR. PT. Kaltim Prima Coal
adalah perusahaan pertama di Indonesia yang membuat laporan keberlanjutan
pada tahun 2005. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya jumlah perusahaan yang
membuat laporan keberlanjutan bertambah. Kondisi ini menunjukkan bahwa
semakin tingginya kesadaran Sebagian besar perusahaan di Indonesia terhadap
pembangunan berkelanjutan dan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan.
Berikut adalah daftar entitas di Indonesia yang telah Menyusun laporan
keberlanjutan sampai saat ini:
1. PT Aneka Tambang, Tbk (Persero)
2. PT Kaltim Prima Coal (Persero)
3. PT Astra International, Tbk (Persero)
4. PT Telkom Indonesia, Tbk (Persero)
5. PT Batubara Bukit Asam, Tbk (Persero)
6. PT Holcim Indonesia, Tbk (Persero)
7. PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (Persero)
8. PT Pertamina Geothermal, Tbk (Persero)
9. PT Unilever Indonesia, Tbk (Persero)
10. PT Bakrieland Development, Tbk (Persero)
11. PT Perkebunan Nusantara XII, (Persero)
12. PT Indonesia Power, Tbk (Persero)
13. PT Indika Energy, Tbk (Persero)
14. PT Timah, Tbk (Persero)
15. PT CIMB Niaga, Tbk (Persero)
16. PT Pertamina, Tbk (Persero)
17. PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk (Persero)
18. PT Semen Indonesia, Tbk (Persero)
19. PT Sari Husada (Persero)
20. PT Star Energy Kakap, Tbk (Persreo)
21. PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (Persero)
22. PT Bank Negara Indonesia, Tbk (Persero)
23. PT Bank Danamon, Tbk (Persero)
24. PT Freeport Indonesia, Tbk (Persero)
25. PT Medco Energy International, Tbk (Persero)
26. PT Saptaindra Sejati (Persero)
27. PT Perusahaan Listrik Negara, Tbk (Persero)
28. PT Indosat, Tbk (Persero)
29. PT Jasa Marga, Tbk (Persero)
30. PT International Nickel Indonesia, Tbk (Persero)
31. PT United Tractor, Tbk (Persero)
32. PT Fajar Surya Wisea, Tbk (Persero)
33. PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk (Persero)
34. PT Adaro Indonesia, Tbk (Persero)
35. PT Astra Agro Lestari, Tbk (Persero)
36. PT Petrosea, Tbk (Persero)
37. PT Express Transindo Utama (Persero)
38. PT Bank Mandiri, Tbk (Persero)
39. PT Bakrie Sumatra Plantation, Tbk (Persero)
40. PT Wijaya Karya, Tbk (Persero)
IR memiliki konsep yang berbeda dengan SR. dalam pembuatan IR, entitas
Menyusun pelaporan yang berfokus pada upaya entitas menciptakan nilai (value
creation) yang akan bertahan dalam jangka Panjang. Gambar 14.2 menjelaskan
konsep IR dan posisinya terhadap laporan-laporan lain.
Gambar 14.2: Konsep Integrated Reporting
Sumber:IIRC, 2011
Tujuan dari kerangka prinsip IR adalah untuk membangun panduan prinsip dan
elemen-elemen yang mengatur keseluruhan isi IR dan untuk menjelaskan konsep
dasar yang mendukungnya. Kerangka Prinsip IR adalah suatu kerangka untuk:
1. Mengidentifikasi informasi untuk dimasukkan secara terpadu dalam laporan,
yang akan digunakan dalam menilai kemampuan organisasi menciptakan nilai;
dan
2. Ditujukan kepada sector swasta dari berbagai ukuran. Namun kerangka ini
juga dapat diterapkan dan disesuaikan seperlunya untuk digunakan oleh sektor
public dan organisasi nirlaba.
Berikut ini adalah pedoman prinsip-prinsip yang mendasari penyusunan IR, isi
laporan, penyajian informasi:
1. Fokus strategi dan orientasi masa depan: IR harus memuat informasi
mengenai strategi entitas dan mekanisme strategi tersebut dalam menciptakan
nilai untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, serta dampaknya
terhadap modal.
2. Konektivitas Informasi: IR harus menunjukkan gambaran menyeluruh
kombinasi, keterhubungan, dan ketergantungan dari factor-faktor yang
mempengaruhi penciptaan nilai.
3. Keterhubungan para pemangku kepentingan: IR harus menyediakan informasi
tentang kualitas hubungan entitas dengan para pemangku kepentingan umum.
IR juga harus menjelaskan seberapa jauh perusahaan memahami kebutuhan
para pemangku kepentingan dan merespon kebutuhan dan kepentingan
mereka.
4. Materialitas: IR harus menunjukkan informasi hal-hal material yang secara
substantif mempengaruhi proses penciptaan nilai jangka pendek, menengah,
dan Panjang.
5. Keringkasan: IR harus ringkas.
6. Keandalan dan kelengkapan: IR harus lengkap memuat hal-hal yang bersifat
material dan bebas dari kesalahan material.
7. Konsistensi dan keterbandingan: informasi yang dimuat dalam IR harus
konsisten dari waktu ke waktu dan dapat dibandingkan dengan laporan entitas
lain.
IR mencakup delapan elemen isi laporan yang fundamental yang saling terkait
satu sama lain dan tidak saling eksklusif. Delapan elemen tersebut adalah:
1. Ikhtisar tentang organisasi dan lingkungan eksternalnya: menggambarkan
kegiatan yang dilakukan oleh entitas dan keadaan lingkungan tempat entitas
beroperasi.
2. Tata Kelola (Governance): menggambarkan tentang tata kelola entitas dalam
mendukung penciptaan nilai dalam jangka pendek, menengah, dan Panjang.
3. Model bisnis: menggambarkan model bisnis.
4. Resiko dan peluang: mengidentifikasi jenis resiko dan peluang entitas dalam
proses penciptaan nilai dalam jangka pendek, menengah, dan jangka Panjang.
5. Strategi dan alokasi sumber daya: menjelaskan arah tujuan entitas dan cara
entitas mencapai tujuan-tujuan tersebut.
6. Kinerja: menggambarkan sejauh mana entitas telah mencapai tujuan-tujuan
strategis entitas untuk periode pelaporan dan dampaknya terhadap
permodalan.
7. Outlook: menggambarkan tantangan dan ketidakpastian yang mungkin
dihadapi entitas di masa depan dalam menjalankan strategi-strateginya dalam
potensi dari implikasinya terhadap model bisnis entitas dan kinerja masa
depan.
8. Dasar-dasar penyajian: mekanisme yang digunakan entitas untuk memutuskan
informasi yang material dan harus dilaporkan dalam IR, serta metode
pengukuran dan evaluasi metode pengukuran tersebut.
Setiap model bisnis di dalam entitas terdiri dari berbagai masukan (input) melalui
aktivitas bisnis sehingga menghasilkan keluaran (output) yang terdiri dari produk,
jasa, produk sampingan, dan limbah. Aktivitas dan keluaran entitas ini kemudian
menciptakan hasil (outcome) yang memiliki efek terhadap modal. Perlu
ditekankan bahwa proses penciptaan nilai bukanlah sesuatu yang bersifat statis.
Penilaian ulang terhadap komponen-komponen penciptaan nilai perlu dilakukan
secara berkala.
Dengan semakin sadarnya sebagian besar korporasi terhadap kondisi krisis lingkungan
yang kian parah saat ini mampu mengubah paradigmna bisnis yang menganjurkan bahwa
dalam berbisnis selain untuk memperoleh laba (profit), korporasi perlu juga peduli dan
bertanggung jawab melestarikan lingkungan (planet) serta meningkatkan kesejahteraan
sosial (people). Kondisi seperti ini membuat SR dan IR menjadi tren pelaporan korporasi
saat ini. Dalam menyikapi tren seperti ini akan banyak tantangan dan hambatan yang
menghadang dalam implementasi SR dan IR kedepannya.
Dengan adanya tren korporasi yang mulai menggunakan SR dan IR menjadi tantangan
baru sekaligus peluang bagi profesi akuntan dan dunia pendidikan untuk menyediakan
sumber daya manusia yang kompeten menguasai SR dan IR untuk memenuhi banyaknya
permintaan korporasi kedepannya. Namun di sisi lain terdapat juga hambatan dalam
implementasi SR dan IR saat ini dengan adanya paradigma akuntansi yang masih
konvensional dan masih adanya resistensi dari para akuntan itu sendiri. Para Akuntan
masih beranggapan bahwa: 1) Akuntansi hanya memfokuskan pada kebutuhan informasi
dari stakeholder dominan yang memberi kontribusi dalam penciptaan nilai entitas. 2)
Akuntansi hanya memproses dan melaporkan informasi yang material dan dapat diukur:
31 Akuntansi mengadopsi asumsi entitas sehingga entitas diperlakukan sebagai entitas
yang terpisah dari pemilik dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga jika suatu
transaksi tidak secara langsung berdampak pada nilai entitas maka diabaikan dalam
pelaporan akuntansi; dan 4) Masyarakat dan lingkungan adalah sumber daya yang tidak
berada dalam area kendali dan tidak terikat dalam executory contract dengan entitas.