Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian Landasan Pendidikan


Landasan­landasan pendidikan dan pembejaran adalah asumsi, atau
gagasan, keyakinan, prinsip yang dijadikan titik tolak atau pijakan dalam rangka
berpikr atau melakukan praktik pendidikan dan pembelajaran. Landasan­landasan
pendidikan meliputi Landasan­Landasan Historis, Filosofis, Politik, Ekonomi,
Psikologis, Sosiologis, Antropologis, dan Komparatif. Dalam konteks ini
pendidikan dapat dimaknai berbeda­beda sesuai dengan prinsip­prinsip yang
dijiwai dari masing­masing landasanlandasan ini.

Jenis-Jenis Landasan Pendidikan

1. Landasan religius pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari


ajaran agama yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.
2. Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari
filsafat yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.
3. Landasan ilmiah pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari
disiplin ilmu tertentu yang menjadi titik tolak dalam pendidikan. Dengan
berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi, atau
sejarah.
a) Landasan psikologis pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber
dari kaidah­kaidah psikologi yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.
b) Landasan sosiologis pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber
dari kaidah­kaidah sosiologi yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.
c) Landasan antropologi pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber
dari kaidah­kaidah antropologi yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.
d) Landasan ekonomi pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari
kaidah­kaidah ekonomi yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.
e) Landasan biologis pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari
kaidah­kaidah biologi yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.
f) Landasan politik pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari
kaidah­kaidah politik yang menjadi titik tolak dalam pendidikan.
g) Landasan historis pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari
konsep dan praktek pendidikan masa lampau (sejarah) yang menjadi titik
tolak perkembangan pendidikan masa kini dan masa datang.
h) Landasan fisiologis pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber dari
kaidah­kaidah fisiologi tentang manusia yang dijadikan titik tolak dalam
pendidikan.
i) Landasan hukum/yuridis pendidikan adalah asumsi­asumsi yang bersumber
dari peraturan perundangan yang berlaku yang dijadikan titik tolak dalam
pendidikan.

Berdasarkan sifat ini asumsi­asumsinya Landasan pendidikan dibedakan


menjadi dua jenis :

1) Landasan deskriptif pendidikan : asumsi­asumsi tentang kehidupan manusia


sebagai sasaran pendidikan apa adanya (Dasein) yang dijadikan titik tolak
dalam rangka pendidikan. Yang meliputi : landasan psikologi pendidikan,
landasan biologi pendidikan, landasan sosiologi pendidikan, landasan
antropologi pendidikan.
2) Landasan preskriptif pendidikan : asumsi­asumsi tentang kehidupan manusia
yang ideal / diharapkan / dicita­citakan (Das Sollen) yang disarankan menjadi
titik tolak studi pendidikan dan atau praktek pendidikan. Yang meliputi :
landasan filosofis pendidikan, landasan religius pendidikan, dan landasan
yuridis pendidikan.

Fungsi Landasan Pendidikan


Landasan pendidikan berfungsi : sebagai titik tolak dan tumpuan bagi para
guru dalam melaksanakan praktek pendidikan.

Keharusan Pendidikan : Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik dan Perlu
Mendidik Diri
Eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke
masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, manusia berada
dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah
manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai manusia
(prinsip historisitas).
Bersamaan dengan hal di atas, dalam eksistensinya manusia mengemban
tugas untuk menjadi manusia ideal. Sosok manusia ideal merupakan gambaran
manusia yang dicita­citakan atau yang seharusnya. Sebab itu, sosok manusia ideal
tersebut belum terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan
(prinsip idealitas).

Manusia memang telah dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi


manusia, misalnya: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa, dsb. Namun demikian
setelah kelahirannya, bahwa potensi itu mungkin terwujudkan, kurang
terwujudkan atau tidak terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat
dan martabat kemanusiaannya (menjadi manusia), sebaliknya mungkin pula ia
berkembang ke arah yang kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat
kemanusiaannya.

Kemampuan yang seharusnya dilakukan manusia tidak di bawa sejak


kelahirannya, melainkan harus diperoleh setelah kelahirannya dalam
perkembangan menuju kedewasaannya. Di satu pihak, berbagai kemampuan
tersebut diperoleh manusia melalui upaya bantuan dari pihak lain.Di lain pihak,
manusia yang bersangkutan juga harus belajar atau harus mendidik diri. Mengapa
manusia harus mendidik diri. Sebab, dalam bereksistensi yang harus menga­ada­
kan/menjadikan diri itu hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Sebaik dan sekuat
apa pun upaya yang diberikan pihak lain (pendidik) kepada seseorang (peserta
didik) untuk membantunya menjadi manusia, tetapi apabila seseorang tersebut
tidak mau mendidik diri, maka upaya bantuan tersebut tidak akan memberikan
konstribusi seseorang tadi untuk menjadi manusia. Yang menjadi asumsi perlunya
manusia mendapatkan pendidikan dan perlu mendidik diri, yaitu : (1) prinsip
historisitas, (2) Prinsip idealitas, dan (3) prinsip posibilitas/aktualitas.

Kemungkinan Pendidikan : Manusia sebagai makhluk yang Dapat Dididik

Lima prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan


dapat dididik, yaitu : 1. Prinsip potensialitas 2. Prinsip dinamika 3. Prinsip
Individualitas 4. Prinsip sosialitas 5. Prinsip Moralitas
B. Analisis Materi yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan Nasional
sesuai undang­undang No 20 tahun 2003 yaitu:

1. Pasal 6 (1): “Setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan
lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”

Pasal 11 (2): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin


tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap
warganegaranya yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.”

Pasal 34 (2): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya


wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

Kalau dilihat dari pengertian wajib belajar sebagai terjemahan compulosory


education, sesungguhnya Indonesia belum berlaku wajib belajar, bahkan untuk
tingkat SD sekalipun. Realitanya untuk masuk SD saja masih ada pungutan dan
banayak anak usia SD yang berkeliaran tidak sekolah . lebih­lebih pada tingkatan
SMP. Pada periode penerimaan murid baru SMP negeri, masih ada seleksi dan
banyak lulusan SD yang tidak mendapat tempat di SMP negeri. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa hakikat pasal­pasal diatas belum dapat diimplementasikan
dengan baik. Di dunia pendidikan, masyarakat yang secara ekonomi mampu pasti
akan beruntung dalam hal memilihkan pendidikan anaknya. Sebab jika anak
tersebut tidak diterima di sekolah negeri, umumnya dapat memilih sekolah swasta
yang bermutu karena mendapat dukungan ekonomi.

2. Pasal 49 (1): “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan


publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35­40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor
yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana
pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen. Dalam APBN 2005 hanya 5,82%
yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar
hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (Kompas, 10/5/2005).
Implementasinya, berdasarkan keputusan MK tahun 2008, anggaran 20 persen
sudah termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan.

3. Pasal 11 (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan


dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”

Pasal 50 (3): “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan


sekurang­kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”

Pasal ini sangat frontal bagi masyarakat, karena pertama, diskriminasi yang
dilakukan negara terhadap warganya. Negara berkewajiban menyediakan
pendidikan untuk seluruh warga negara, tidak peduli kaya atau miskin, tanpa
melihat golongan ataupun wilayahnya. Sementara itu, sekolah­sekolah berlabel
RSBI atau SBI hanya memfasilitasi siswa dari kalangan berpunya, dengan secara
langsung ataupun tidak, memutus akses bagi siswa miskin untuk memperoleh
fasilitas yang sama.Selain itu, ada diskriminasi di bidang anggaran. Pemerintah
memperlakukan secara berbeda antara sekolah RSBI/SBI dan sekolah umum
biasa. Sekolah RSBI/SBI mendapat gelontoran dana besar melalui mekanisme
block grant selain dana BOS yang memang diberikan kepada setiap sekolah.
Padahal, kewajiban negara adalah menyiapkan anggaran yang cukup untuk semua
sekolah, tanpa diskriminasi terlihat pada pasal 11 ayat 1. Kedua pasal ini bertolak
belakang.

4. Pasal 54:

(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna
hasil pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dibukanya peran serta masyarakat secara luas merupakan contoh konkrit


liberalisasi yang terjadi dimana negara mulai diminimalkan sementara masyarakat
sipil justru dikuatkan. Ketika liberalisasi masuk ke ranah pendidikan, maka peran
serta masyarakat dalam pendidikan ditumbuhkan dan perlahan­lahan negara hanya
menjadi regulator saja. Tanggung jawab terhadap pendidikan pun akhirnya beralih
dari negara ke masyarakat. Oleh karena itu pendukung liberalisasi selalu
menginginkan masyarakat sipil yang kuat untuk menopang dirinya sendiri
Pergeseran keempat yang terjadi dan diatur dalam UU Sisdiknas adalah kebijakan
‘pintu terbuka’ bagi pendidikan asing.

Evaluasi Peran DPR terkait UU No 20 Tahun 2003

Melihat penjabar diatas mengenai berbagai penjelasan mulai dari


ketimpangan asas keadilan, kontroversi, dan analisis penerapan Undang­Undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Seharusnya DPR segera melakukan revisi
terhadap UU Sisdiknas. Hal ini diungkapkan oleh Dewan pakar komunitas peduli
pendidikan dari Universitas Ne­geri Jakarta (UNJ), Rah­ma­tullah menyambut
baik adanya revisi UU Sisdiknas. Ia menilai, ba­nyak kebijakan pendidikan yang
ber­tentang dengan UU Sis­diknas. Akibatnya, sistem pen­didikan na­sional selalu
mendapat ra­por me­rah alias disclaimer oleh Ba­dan Pe­meriksa Keuangan
(BPK). Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat UU itu harus direvisi. Di
antaranya masalah wajib pendidikan 12 tahun, Ujian Na­sional (UN), keberadaan
Rin­tis­an Sekolah Berstandar Inter­nasional (RSBI) yang dinilai dis­kriminasi
dan tidak transparan. Begitu juga Dedi Gu­melar, Anggota Komisi X DPR dari
Fraksi PDI­P, mengaku sedang meng­kaji pasal­pasal mana yang akan direvisi
karena banyak pasal yang tak sesuai dengan perkem­ba­ngan dunia pendidikan
Indone­sia. Se­perti, wajib belajar 12 tahun. Demikian pula Zulfadhli, anggota
Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar, pun berpendapat yang sama, adanya
keinginan Komisi X untuk berinisiatif mengajukan revisi UU Sisdiknas.
Momentum yang diambil ketika UU Sisidiknas memasuki usia 10 tahun, yakni
tahun 2013
Tugas Individu:

LANDASAN ILMU PENDIDIKAN

Oleh

WINDAYANTI
A 312 15 004

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN


SEJARAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
2015
Tugas Kelompok:

M.K. Desain Pembelajaran

MODEL BANATHY

Oleh

Komang Triawati : A 312 15 004


Windayanti : A 312 15 004
Sukria : A 312 15 007

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN SEJARAH


PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
2015

Anda mungkin juga menyukai