Anda di halaman 1dari 17

PEMIKIRAN HEGEL TENTANG SEJARAH

Mata kuliah : FILSAFAT SEJARAH

Dosen pengampu : Dr. Wahyu Iryana, S.Hum.,M. Ag

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

1. VINANTIYA LESTARI (2061020034)

2. DWICKY ABDILLAH (2061020092)

3. RIZKY PERDANA (2061020066)

FAKULTAS ADAB SEJARAH PERADABAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala Syukur Senantiasa kami panjatkan kehadiran allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “PEMIKIRAN HEGEL TENTANG SEJARAH". Sholawat serta salam-Nya
Allah semoga tetep tercurah kepada bimbingan kita yakni Nabi Agung Muhammad Saw yang
dinanti-nanti syafaatnya kelak dihari pembalasan. Kami selaku penyusun makalah mengucapkan
terimakasih kepada yang terhormat bapak Dr. Wahyu Iryana, S.Hum.,M. Ag selaku dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Sejarah. Karena telah memberikan tugas ini kepada kami
sehingga wawasan dan pengetahuan kami sekali penulis bertambah.

Dan kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, membuat baik dari mendapatkan sumber, tenaga, serta pikirannya.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca.
Mengingat kemapuan yang kami miliki, maka dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak
kekurangan baik pada materi maupun teknik penulisan materi. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan Makalah
ini.

Bandar Lampung, 30 September 2021

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….…..i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….…….i

BABI PENDAHULUAN…………………………………………………………………….......1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….…1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………… 2

1.3 Tujuan…………………………………………………………………………………2

BAB IIPEMBAHASAN……………………………………………………………………….…3

2.1. Biografi Georg Wilhelm Friedrich Hegel……………………………………………..……..3

2.2. Dasar Pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel………………………………………..….4

2.3. Pandangan Filsafat Sejarah Georg Wilhelm Friedrich Hegel……………………………...…7

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….……. 12

3.1.Kesimpulan………………………………………………………………………………….12

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat adalah studi kasus tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Jadi pada dasarnya filsafat merupakan
pemikiran mengenai fenomena kehidupan yang dijabarkan dalam konsep-konsep paling dasar.
Filsafat mengajarkan manusia untuk berpikir kritis mengenai suatu fenomena atau permasalahan
dalam kehidupan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dengan penjabaran yang paling
mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-
percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.

Filsafat membahas mengenai berbagai fenomena atau permasalahan, termasuk dalam bidang
kesejarahan. Dalam ilmu sejarah, filsafat sangat dibutuhkan untuk menemukan jalan keluar dari
kejadian atau peristiwa masa lalu yang masih kelam. Seseorang yang mendalami ilmu filsafat
disebut dengan filsuf. Para filsuf mengemukakan argumentasinya mengenai berbagai fenomena
atau permasalahan. Salah satu filsuf yang terkenal dengan filsafat sejarahnya yakni Georg Wilhelm
Friedrich Hegel yang berkebangsaan Jerman. Filsafat yang dikemukakan Hegel memberikan
penerangan bagi ilmu sejarah maupun ilmu lain untuk mengemukakan fenomena dan
permasalahan.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, penulis akan menguraikan lebih mendalam
mengenai filsafat Hegel. Penulis akan menguraikan secara lengkap mengenai biografi, dasar
pemikiran serta pandangan filsafat sejarah Hegel dalam makalah yang berjudul Pandangan Filsafat
Sejarah Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Georg Wilhelm Friedrich Hegel?

2. Bagaimana dasar pemikiran filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel?

3. Bagaimana pandangan filsafat sejarah Georg Wilhelm Friedrich Hegel?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui latar belakang kehidupan Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

2. Mengetahui dasar pemikiran filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

3. Mengetahui pandangan filsafat sejarah Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar belakang kehidupan Georg Wilhelm Friedrich Hegel

Georg Wilhelm Friedrich Hegel merupakan tokoh filsuf idealis Jerman. Hegel lahir
pada tanggal 27 Agustus 1770 di Stuttgart, Wurttemberg, Jerman. Masa kecilnya, Hegel
merupakan anak yang sangat rajin membaca. Buku-buku yang sering ia baca seperti
literatur, surat kabar, filsafat, dan tulisan-tulisan mengenai topik-topik lainnya. Kebiasaan
membaca Hegel ini disebabkan karena ibunya yang sangat progresif dan aktif mengasuh
perkembangan intelektual anak-anaknya. Keluarga Hegel termasuk dalam keluarga kelas
menengah mapan, ayahnya adalah seorang pegawai negeri dalam admistrasi pemerintahan
di Wurttemberg. Hegel merupakan seorang anak yang sering sakit-sakitan dan hampir
meninggal karena penyakit cacar sebelum dia berusia enam belas tahun. Hubungannya
dengan kakak-kakakakak perempuannya, Christiane, sangat erat dan tetap akrab sepanjang
hidupnya.

Schelling adalah salah satu teman Hegel ketika menempuh pendidikan di Universitas
Tubingen. Schelling lebih menunjukkan kecerdasarnnya dibandingkan dengan Hegel.
Sehingga Schelling lebih dulu mengemukakan pemikirannya sebelum Hegel. Filsafat
Hegel baru muncul setengah generasi setelah filsafat Schelling dan tampak sangat
terpengaruh olehnya. Hegel pernah menjadi guru privat, editor surat kabar, kepala sekolah
dan akhirnya profesor filsafat pertama di Universitas Heidelberg dan di Berlin. Ia sangat
produktif dan sampai menjelang wafatnya ia masih menjadi tokoh intelektual yang
dominan di Jerman.

6
Diantara karya-karyanya yang sangat berpengaruh adalah Fenomenologi Roh (1806),
Ilmu Logika (1812), Filsafat Sejarah (1818), dan Filsafat Hak (1821). Buku Hegel yang
pertama kali diterbitkan adalah perbedaan antara filsafat Fichte dab Filsafat Schelling.
Filsafat Hegel sendiri dapat dipandang sebagai gabungan dari kedua filsafat itu. Hegel
memandang realitas merupakan suatu kesatuan organik, realitas merupakan sesuatu yang
tidak berada dalam keadaan stabil melainkan dalam proses perkembangan yang terus
berlangsung (Magge, 2008: 157).

¹Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 31.

2.2 Dasar Pemikiran Filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel

a. Dialektika

Pada dasarnya, pokok pemikiran Hegel sangat mirip dengan Herakleitos. Hegel
memandang segala sesuatu telah mengalami perkembangan. Menurut Hegel (dalam
Magge, 2008: 159), segala yang ada merupakan hasil dari suatu proses dan karenanya
pemahaman dalam suatu bidang realitas yang cukup luas senantiasa mencakup pemahaman
tentang suatu proses perubahan. Ia lalu menyatakan bahwa perubahan selalu masuk akal,
tidak pernah terjadi secara sembarang belaka. Hegel mengemukakan bahwa setiap situasi
yang kompleks dalam dirinya sendiri pasti mengandung unsur-unsur yang saling
bertentangan, dan unsur-unsur ini mengakibatkan ketidakstabilan. Maka, situasi semacam
itu tidak pernah dapat berlangsung selamanya.

Situasi yang saling bertentang inilah yang disebut dengan konflik. Namun konflik-
konflik tersebut harus dapat terselesaikan hingga menjadi situasi yang baru dan akhirnya
terjadi konflik-konflik yang baru lagi. Dalam pandangan Hegel, inilah yang menjadi
rangkaian alasan logis dari perubahan; dan ia pun menghasilkan suatu kosa kata untuk
melukiskannya. Proses itu secara keseluruhan disebutnya sebagai proses dialektis, atau
singkatnya dialektika (Magge, 2008: 159).

7
Menurut Hegel (dalam Magge, 2008: 159), proses perubahan atau dialektika tersebut
terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama, yakni keadaan awal, disebutnya sebagai tesis.
Reaksi yang dipicu timbul oleh tesis, yakni kekuatan-kekuatan yang saling bertolak
belakang, disebutnya antitesis. Konflik di antara tesis dan antitesis akhirnya berhenti ke
dalam suatu situasi baru yang disebut sintesis – yang membuang sebagian elemen dari tesis
dan antitesis, namun sekaligus juga mempertahankan sebagian elemen lain dari keduanya.
Namun karena sintesis ini merupakan suatu situasi baru, di dalam dirinya terkandung
konflik-konflik baru pula, maka sintesis pun menjadi awal dari suatu triade baru yang
terdiri dari tesis, antitesis dan sintesis.

Proses perubahan selalu terjadi terus-menerus dalam jalinan tanpa putus, yang selalu
menghasilkan perubahan dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, Hegel menyatakan
bahwa itulah sebabnya tidak pernah ada sesuatu yang selalu sama. Itu pula sebabnya
mengapa hal – ide, agama, seni, sains, ekonomi, institusi, masyarakat – juga selalu
mengalami perubahan. Dan itulah sebabnya mengapa dalam setiap kasus pola perubahan
itu bersifat dialektik (Setelah zaman Hegel, dialektika sering disebut sebagai “hukum
perubahan”) (Magge, 2008: 159).

b. Filsafat Alam

Di dalam logika, mempelajari hakikat Yang Absolut adalah “pada dirinya”. Filsafat
alam lalu mempelajariYang Absolut yang sudah mengasingkan diri dalam Alam, yakni
Yang Absolut “bagi dirinya”. Yang Absolut atau Idea mewujudkan dirinya dalam Alam,
yang artinya Idea itu dengan kebebasan spontannya menjadi lahiriah dan material. Idea
melahiriahkan dirinya menjadi alam. Dengan kata lain, Alam tidak lain daripada alienasi
diri atau objektifikasi diri Yang Absolut sendiri. Dengan pandangan ini, Hegel tidak
memaksudkan bahwa Alam itu Yang Absolut, maka bersifat Ilahi, melainkan bahwa Alam
itu adalah Yang Absolut yang mengalienasi diri menjadi yang lain. Jadi, Alam adalah Yang
Absolut yang belum sadar diri, maka tak ada kebebasan dalam alam, melainkan
keniscayaan kausal, akan tetapi, di sini Hegel bicara juga mengenai perkembangan alam
secara dialektis. Mulai dengan ruang fisis sampai organisme. Sementara ruang adalah

8
eksternalitas belaka, organisme sudah mengandung interioritas, sehingga Hegel
berpendapat bahwa organisme adalah ambang Roh.

Perlu diperhatikan di sini bahwa yang dimaksud dengan Alam oleh Hegel adalah
sebuah tahap atau momen dalam kehidupan Yang Absolut sendiri, yakni tahap
eksternalitasnya. Di sini Hegel menghadapi problem yang mendasar. Di satu pihak dia
tidak setuju kalau Alam disamakan dengan Allah atau Yang Absolut, dan di lain pihak,
dari sudut pandang idealistisnya dia sulit menerima adanya Alam objektif yang lepas dari
Yang Absolut. Di sini cukup ditunjukkan bahwa kesulitan Hegel ini bersumber dari
pendirian idealistisnya bahwa yang real itu rasional dan yang rasional itu real. Artinya,
alam bagaimanapun adalah ideal, tidak material. Ciri material tak kurang daripada
eksternalitas yang ideal, maka sebenarnya tidak ada pada dirinya sendiri. Yang merupakan
realitas yang sungguh-sungguh ada adalah yang ideal (Hardiman, 2004: 188).

C. Filsafat Roh

Pusat filsafat Hegel ialah konsep Geist, bermakna “roh” atau “spirit”. Roh dalam
pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, konkret, kekuatan yang obyektif, menjelma
dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), dan yang terdapat pada obyek-
obyek khusus. Dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan esensi sejarah
manusia. Dengan demikian, kita bisa mengerti bahwa seluruh proses dunia merupakan
suatu perkembangan Roh. Perkembangan Roh senantiasa menuju kepada Yang Mutlak,
tahap demi tahap (Hadiwijono, 1980: 101).

Filsafat Roh dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu dimulai dari roh subyektif sebagai
tingkatan yang terendah, memanjat ke roh obyektif, dan yang terakhir adalah roh mutlak
(Hadiwijono, 1980: 103). Pertama, roh subyektif, menjelaskan bahwa setiap orang masih
bertaut erat dengan alam. Pada masa ini, roh mulai bergeser dari “berada-di-luar-dirinya”
menuju “berada-bagi-dirinya”. Namun, karena ia belum benar-benar berpindah “bagi-
dirinya”, karenanya ia tidak dapat ditukar dengan yang lain. Maksudnya, manusia masih

9
sebagai bagian dari alam karena ia hanya menampakkan drinya sebagian, belum
sepenuhnya.

Kedua, roh obyektif, menjelaskan bahwa bentuk-bentuk alamiah yang terkandung


dalam roh subyektif diperluas, atau lebih tepatnya direalisasikan, ke dalam wilayah yang
lebih konkret. Kehendak rasional yang tadinya besifat individual dibahasakan secara
obyektif ke dalam bentuk yang lebih universal. Karena sebab inilah, roh obyektif lebih
dominan mengandung unsur-unsur etika, misalnya kesusilaan, moralitas, dan hukum.
Unsur-unsur etika dari roh obyektif tadi semakin menemukan tempatnya ketika terjadi
pertemuan roh subyektif menuju tingkat yang lebih dewasa dalam keluarga, masyarakat,
dan Negara, serta tentu saja sejarah; tempat ketiganya berkembang sebagai proses
pertemuan antara idealitas dan realitas.

Begitu proses pertemuan antara idealitas dan realitas, yang terbahasakan dalam
“Negara”, mengalami titik klimaksnya, maka Roh akan tiba di tahap paling puncak, Roh
Mutlak, yaitu masa dimana Roh telah sungguh-sungguh “berada dalam dirinya dan bagi
dirinya” secara utuh dan penuh. Kulminasi ketegangan antara roh subyektif (individu) dan
roh obyektif (kekuasaan Negara) seketika lenyap melebur dalam Roh Mutlak. Bermuara
dari asumsi ini, lalu Hegel menyebut filsafatnya dengan idealisme mutlak.

²Rustam Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat

dan Iptek (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002), 130.

2.3 Pandangan Filsafat Sejarah Georg Wilhelm Friedrich Hegel

Filsafat sejarah tidak menggunakan sarana apapun kecuali pertimbangan pemikiran


terhadapnya. Sesungguhnya, pemikiran adalah hakiki bagi kemanusiaan. Dalam
penginderaan, kesadaran, dan pemikiran; dalam naluri dan kehendak kita, sejauh mereka
sungguh-gungguh manusiawi. Pemikiran merupakan unsur yang tetap. Sekalipun demikian,

10
menuntut pemikiran dalam hubungannya dengan sejarah nampak tidak memuaskan. Dalam
ilmu ini, nampak seolah-olah pemikiran harus merendahkan apa yang sudah pasti, pada
realitas fakta, bahwa inilah yang merupakan dasar dan pedomannya, seraya Filsafat
bermukim didalam wilayah ide yang dihasilkan jiwa, tanpa mengacu pada aktualitas.
Mendekati sejarah dengan demikian menawan hati, spekulasi dapat diharapkan untuk
menyatakannya sebagai materi yang pasif, dan sejauh ini membiarkannya dalam kebenaran
aslinya, dengan memaksanya sesuai dengan ide tirani, dan dengan menguraikannya,
sehingga ungkapannya adalah ” a priori”.

Namun karena hal itu merupakan urusan sejarah yang secara sederhana menyetujui
catatannya tentang apa yang ada maupun yang telah ada, peristiwa aktual maupun transaksi,
dan karena hal itu tetap benar bagi karakternya dalam proporsi sebagaimana ia dengan
tegas melekat pada datanya. Dalam sebuah filsafat ditemukan proses yang berlaawnan
secara diametris dengan yang dimiliki sejarawan. Kontradiksi dan tuntutan tersebut
mengakibatkan adadanya sebuah spekulasi yang dijelaskan dan disangkal pula.

Pemikiran yang digunakan Filsafat bagi perenungan Sejarah adalah konsepsi


sederhana Rasio. Rasio itu merupakan Penguasa Dunia, dengan demikian, sejarah dunia
memberikan proses rasional kepada kita. Keyakinan dan institusi ini merupakan sebuah
hipotesis dalam bidang sejarah sebagaimana adanya. Didalam filsafat tidak ada hipotesis.
Hal itu dibuktikan dengan pengetahuan spekulatif, tanpa harus menyelidiki hubungan yang
ditopang oleh Alam Semesta dengan ada Ilahi, merupakan substansi, maupun sebagai
kekuatan yang tidak terbatas. Disatu pihak, rasio adalah substansi alam ßemesta, yang
melalui dan didalamnya realitas memiliki ada dan subsistensinya. Dilain pihak, ia
merupakan energi yang tidak terbatas dari alam semesta, karena rasio bukannya tanpa
kekuatan yang tidak mampu menghasilkan sesuatu.

Dalam persperktif sejarah dunia menyajikan taraf atau tahapan perkembangan pokok
yang isinya, berupa kesadaran kebebasan. Determinasi yang lebih tepat dari tingkatan ini
adalah didalam sifat umumnya, yang logis, sifat konkrit mereka, bagaimanapun bagi
filsafat adalah tentang, adanya ruh alam kehidupan alamiah yang telah kita diskusikan taraf
kedua adalah adanya ruh didalam kebebasannya. Tetapi ruh pada awalnya hilang dari
kesiapan alam, maka dari itu masih menjadi beban bagi alam sebagai salah satu unsurnya.

11
Tahap ketiga adalah tingginya ruh di luar alam yang masih merupakan bentuk pokok
kebebasan dalam kesucian unversalitasnya, kedalam kesadaran pribadi, yang merupakan
esensi spiritualnya (Hegel.2003:94).

Bagi Hegel, filsafat sejarah sama dengan sejarah filsafat, karena filsafat dengan jelas
menjadi sadar akan identitas akal, der Absolute Geist. Akan tetapi, dalam sejarah, Hegel
berpendapat tak ada tempat bagi individual sebagai pendukung sejarah. Mereka hanya alat
bagi Absolute Geist. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kehancuran–kehancuran
dalam kebudayaan yang telah ada. Misalnya, Roma, Yunani, dan sebagainya. Mereka
tangga supaya manusia dapat mengatasi alam dan bebas dari belenggu yang mengikatnya
dengan alam semesta.

Kemungkinan ultim sejarah dunia tidak terletak dalam kekuasaan individu, dan tidak
juga dalam kekuasaan suatu bangsa, kelas ataupun ras tertentu, melainkan dalam kekuasaan
Roh umum. Walaupun kekuasaannya dijalankan dengan bantuan individu-individu,
bangsa-bangsa serta ras-ras. Sejarah dunia dipergunakan Roh untuk mencapai kesadaran
tentang yang Absolut, tentang hukum dan kebenaran. Sejarah dunia itu berlangsung
dibawah pimpinan dan peraturan dari Roh. Apabila cita-cita ini tercapai, kita sudah sampai
pada kesudahan dan peruntukan rencana dunia. Roh dengan sempurna telah kembali pada
dirinya sendiri ( Bertens. 1988: 107).

Secara keseluruhan ada tiga metode dalam menulis sejarah :

1. Sejarah asli

2. Sejarah reflektif

3. Sejarah filosofis (Hegel, 2005:1).

Sejarah asli menjelaskan tindakan, peristiwa dan kondisi yang sebelumnya mereka
saksikan dan roh dibalik peristiwa yang mereka alami. Dalam mengamati peristiwa sejarah

12
seorang sejarawan sejati tentu sajamerujuk pada pernyataan atau laporan orang lain karena
tidak mungkin mereka melihat suatu peristiwa.

Metode reflektif ini adalah bentuk sejarah yang mentrendensendentalkan sebuah


kehadiran bukan dalam waktu tetapi dalam roh. Adapun jenisnya pertama adalah sejarah
universal yaitu penyelidikan atas keseluruhan sejarah sebuah masyarakat negara atau dunia.
Dalam sejarah universal hal utamanya adalh elaborasi atas materi historis.

Jenis kedua sejarah reflektif adalah sejarah pragmatis. Dalam menghadpi mas lalu
dan menyibukkan diri kita dengan dunia asing Akan terbukalah dalam pintu pikiran sebuah
aktualitas yang muncul dari dirinya sendiri sebagai hasil kerja pikiran.

Jenis ketiga dalam sejarah reflektif adlah sejarah kritis .ciri yang menonjol dari
metode ini khususnya yang berkaitan dengan masalah fakta dan tujuan terdapat dalam
ketajaman si pengarang yang merebut hasil dari narasi-narasi ketimbang dari peristiwa
peristiwa.

Jenis yang keempat sejarah reflektif adalah sejarah yang menghadirkan dirinya secara
terbuka sebagai sejarah pragmatisme. Mode sejarah ini sifatnya abstrak tetapi dalam
mengadobsi sudut pandang yang universal contohnya dalam hal sejarah seni, sejarah
hukum dan sejarah agamaia membentuk sebuah transisi ke arah dunia filosofis. Metode
ketiga sejarah adalah Sejarah Filosofis, definisi filosofis secara umum menunjukkan bahwa
filsafat sejarah bukanlah apa-apa selain kontenplasi mendalam tentang sejarah.

Menurut Hegel dalam (Suseno, 2005: 58) Hegel memahami sejarah sebagai gerak
kearah rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Roh semesta berada di belakang
sejarah, mendapat objektifitas di dalamnya. Hegel bicara tentang Roh Objektif: roh
sebagaimana ia mengungkapkan diri dalam kebudayaan-kebudayaan, dalam moralitas-
moralitas bangsa-bangsa, dalam instusi-institusi. Menurut Hegel roh objektif mendapat
ungkapan paling kuat dalam negara. Karena negara mempunyai kehendak, ia dapat
bertindak. Dengan demikian negara mengungkapkan Roh Semesta; ia merupakan
“perjalanan Allah dalam dunia”.

13
Dalam filsafat sejarah, Hegel menunjukkan bagaimana manusia semakin menyadari
kebebasannya dan semakin mengorganisasikan diri dengan menjunjng tinggi
kebebasannya dan semakin mengorganisasikan diri dengan menjunjung tinggi
kebebasannya. Hegel menghubungkan hal itu dengan agama Kristen. Secara garis besar ia
melihat perkemangan dari kebebasan atau orang saja, sang dewa-raja (dalam monark-
monarki Timur-Tengah kuno, Cina dan sebagainya), melalui kebebasan beberapa orang,
yaitu mereka yang dapat mempergunakan akal budi (kebudayaan Yunani membedakan
antara mereka yang bebas dan yang budak), ke kebebasan semua orang.

Sedangkan menurut (Strasthem, 2001: 49), Hegel memandang sejarah dari


presepektifnya yang seluas mungkin. Sejarah dipandang sebagai sebagai suatu proses yang
menyangkut perwujudan diri. Kemanusian dimengerti sebagai sebauh perjalanan refleksi
intelektual dan pemahaman diri: akan semakin bertambahnya kesadaran dari tujuan dan
kesatuan dirinya sendiri. Kita memiliki keseluruhan masa lalu kita, ketika kita melihat
kisah perwujudan dari kita sebagai suatu keutuhan yang bermakna, tujuan sejarah adalah
menemukan makna hidup, tidak kurang dari itu.

____________________________

³Ana Mariani, “Karl Marx dan Imajinasi Sosialisme”, dalam Filsafat

Sosial (Yogyakarta: Aditya Media, 2013), hlm. 171.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Filsafat adalah studi kasus tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Jadi pada dasarnya filsafat merupakan
pemikiran mengenai fenomena kehidupan yang dijabarkan dalam konsep-konsep paling dasar.
Filsafat mengajarkan manusia untuk berpikir kritis mengenai suatu fenomena atau permasalahan
dalam kehidupan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dengan penjabaran yang paling
mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-
percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.

Pada dasarnya, pokok pemikiran Hegel sangat mirip dengan Herakleitos. Hegel memandang
segala sesuatu telah mengalami perkembangan. Menurut Hegel (dalam Magge, 2008: 159), segala
yang ada merupakan hasil dari suatu proses dan karenanya pemahaman dalam suatu bidang realitas
yang cukup luas senantiasa mencakup pemahaman tentang suatu proses perubahan. Ia lalu
menyatakan bahwa perubahan selalu masuk akal, tidak pernah terjadi secara sembarang belaka.
Hegel mengemukakan bahwa setiap situasi yang kompleks dalam dirinya sendiri pasti
mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan, dan unsur-unsur ini mengakibatkan
ketidakstabilan. Maka, situasi semacam itu tidak pernah dapat berlangsung selamanya.

Hegel memandang realitas merupakan suatu kesatuan organik, realitas merupakan sesuatu
yang tidak berada dalam keadaan stabil melainkan dalam proses perkembangan yang terus
berlangsung. Pada dasarnya, pokok pemikiran Hegel sangat mirip dengan Herakleitos. Hegel
memandang segala sesuatu telah mengalami perkembangan. Segala yang ada merupakan hasil

15
dari suatu proses dan karenanya pemahaman dalam suatu bidang realitas yang cukup luas
senantiasa mencakup pemahaman tentang suatu proses perubahan. Proses itu secara keseluruhan
disebutnya sebagai proses dialektis, atau singkatnya dialektika.

Dalam filsafat sejarah, Hegel menunjukkan bagaimana manusia semakin menyadari


kebebasannya dan semakin mengorganisasikan diri dengan menjunjng tinggi kebebasannya dan
semakin mengorganisasikan diri dengan menjunjung tinggi kebebasannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2013), 31.

Ana Mariani, “Karl Marx dan Imajinasi Sosialisme”, dalam Filsafat

Sosial (Yogyakarta: Aditya Media, 2013), hlm. 171.Anam, Munir Che, Muhammad SAW dan Karl
Marx Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Arisandi, Herman, Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi dari Klasik sampai Modern,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.

16
Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dari Social Theory: A Guide
to Central Thinkers, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Group, 2011.

----------, Pengantar Teori Sosiologi, Jakarta: Prenada Media Group, 2015.Faqih, Mansour,
Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif Gender Sebuah Pengantar dalam Sih Handayani dan
Yos Soetiyono (ed), Merekonstruksi Realitas dengan Perspektif Gender, Yogyakarta: Sekretariat
Bersama Perempuan, 1997.

Rustam Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat

dan Iptek (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002), 130.

17

Anda mungkin juga menyukai