Anda di halaman 1dari 9

Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa dalam Seting Inklusif

Layanan pendidikan anak tunadaksa memiliki subtansi-subtansi, diantaranya mengenai tujuan


pendidikan anak tunadaksa, tempat pendidikan, sistem pendidikan, dan pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar bagi anak tunadaksa.
1. a.

Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa

Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991
agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai
pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam
dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Sasaran pendidikan pada tunadaksa bersifat
dual purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan
dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan
pribadi anak tunadaksa. Pendidikan anak tunadaksa perlu mengembangkan 7 aspek yaitu:
1. Pengembangan Intelektual dan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah melalui kegiatan
pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum
dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian
kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan
intelektual dan akademiknya.
1. Membantu Perkembangan Fisik
Dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan
fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah
adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut
sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu
memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan
ke arah gerak yang normal.
1. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan
konsep diri yang positif terhadap ketunaan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat
dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong
terciptanya interaksi yang harmonis.
1. Mematangkan Aspek Sosial
Aspek sosial meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu dikembangkan dengan
pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang
diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.
1. Mematangkan Moral dan Spiritual

Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan,
dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.
1. Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau
kerajinan.
1. Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan
anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan
kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu
yang dapat dijadikan bekal hidupnya.
1. b.

Sistem Pendidikan

Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah
khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa
bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti
pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di
sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus
sesuai dengan kebutuhannya.
Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata
pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk
(1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di
sekolah umum adalah sebagai berikut.

Penempatan di kelas reguler

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.


a)
Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa
untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar
sehingga anak dapat menggunakan kursi roda.
b)
Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak
sering tidak masuk sekolah.
c)
Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat
masalah fisiknya secara langsung
d)
Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan
yang lebih parah.

Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus

Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler karena ia sakit-sakitan
diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang sumber

tergantung pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang
mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang
dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk
kelas khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di
kelas khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa
kelas reguler).

1. c.

Kebutuhan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa

Anak tunadaksa secara umum hampir tidak memerlukan program pembelajaran yang berbeda
dengan anak normal lainnya. Bahkan sebagian dari mereka khususnya yang mengalami
gangguan ortopedi memiliki kemampuan kognisi yang relatif baik seperti halnya temanteman yang normal lainnya. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh
guru sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas:
1. Keluasan Gerak
Derajat gangguan fisik yang dialami oleh tunadaksa sangat bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Berkaitan dengan kebervariasian tersebut maka hal penting yang harus
diperhatikan oleh guru adalah bagaimana agar anak dapat mengakses ke semua penjuru
layanan pendidikan di sekolah dengan memperhatikan keleluasaan gerak anak. Masalah akses
utama adalah yang berkaitan dengan akses menuju gedung sekolah, ruangan kelas, dan
fasilitas sekolah lainnya (ruang perpustakaan, laboratorium, ruang olahraga, dan toilet).
1. Latihan Keterampilan Menolong Diri (Self Help)
Anak-anak berkelainan fisik dalam beberapa hal sangat membutuhkan latihan batu diri (self
help). Self help sangat dibutuhkan anak terutama yang berkaitan dengan aktivitas mereka
sehari-hari baik di sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum. Hal tersebut diharapkan
anak bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Contohnya kegiatan makan
dan minum, kegiatan yang melibatkan motorik halus (menggambar, menulis, melipat),
keterampilan buang air kecil. Dari contoh tersebut merupakan hal yang penting yang harus
dikuasai anak di sekolah.
1. Kebutuhan Psikososial
Hambatan fisik pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan
psikologisnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tunadaksa memiliki kesulitan
dalam mengembangkan sense of self esteem yang positif dan mengalami kecemasan yang
lebih besar dibandingkan anak normal lainnya (Harvey dalam Iriyanto, 2010:63). Untuk
mendukung agar anak tunadaksa memiliki sifat sense of self esteem yang positif, maka
seluruh anggota keluarga, guru di sekolah, dan teman-teman sebaya di kelas harus
memberikan dukungan dan bisa menerima anak dengan segala kelebihan maupun
kekurangannya. Dengan dukungan yang positif ini diharapkan anak dapat menerima keadaan
dirinya secara positif dan pada akhirnya menumbuhkan minat atau motivasi berprestasi di
sekolah.

1. d.

Strategi Membantu Anak Tunadaksa agar Berhasil di Sekolah

Bagi siswa berkelainan fisik dalam belajar di sekolah membutuhkan lingkungan yang
kondusif, baik lingkungan fisik, psikologis, maupun sosial. di sekolah inklusi integrasi
pembelajaran antara siswa normal dan berkelainan fisik memerlukan penggabungan antara
guru reguler dengan guru pembimbing khusus atau dengan tenaga profesional lainnya.
Demikian juga di dalam kelas anak sangat membutuhkan sikap positif yang dapat diterima
dari guru dan teman lainnya.
1. Pengajaran Kemandirian
Penekanan pembelajaran yang dianjurkan adalah latihan kemandirian yang disesuaikan
dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Melalui pembelajaran kemandirian diharapkan
dapat mendukung kemandirian pribadi, kepercayaan diri, dan self esteem yang baik.
Beberapa pengajaran kemandirian yang disarankan yaitu: kemandirian dalam hal belajar,
aktivitas kehidupan sehari-hari, dan komunikasi/sosialisasi dengan teman sebaya, guru,
maupun orang dewasa lainnya.
1. Belajar Kelompok
Belajar kelompok dalam penerapan di sekolah memiliki nilai positif terutama dalam
membaurkan anak tunadaksa dengan anak normal di kelas yang bersangkutan. Dengan
belajar kelompok tersebut diharapkan dapat terbentuk sikap positif anak yang saling
menghargai, saling mengerti, saling toleransi yang akhirnya dapat meniadakan atau
meminimalisir kecurigaan negatif di antara satu dengan yang lainnya.
1. Team Teaching
Hal terpenting dalam upaya membentuk kelas/sekolah inklusi adalah perlunya pendidik
bekerjasama dalam memberikan layanan pendidikan yang seefektif mungkin bagi semua
anak, baik anak bekelainan fisik maupun anak normal. Beberapa keuntungan team teaching
menurut Cohen dalam Iriyanto (2010:65) pembelajaran di sekolah inklusi antara lain:

Terciptanya suatu rancangan pembelajaran yang efektif

Menciptakan atau menghasilkan pemecahan masalah yang terukur

Menumbuhkan harga diri

Meningkatkan kemampuan komunikasi

Meningkatkan kemampuan sosial yang lebih efektif dan efisien

Menambah wawsan akademis yang lebih mumpuni

1. 4.

Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran

Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan


keterlaksanaannya, seperti berikut.

1. Perencanaan Kegiatan Pembelajaran


Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tunadaksa, Ronald L.
Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan
di sekolah formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang
diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang
diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan
melalui assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program
pendidikan individual (PPI) yaitu:
1. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualisasikan
(TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah,
orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.
2. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan
assessment.
3. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.
4. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
5. Menentukan metode dan evaluasi kemajuan

1. Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya
sebagai berikut.
1. Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan
indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami
gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat
difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
1. Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan
anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual.
Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang
cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
1. Penataan Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan
membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya
dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran

kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang


dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak
dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan
itu mudah digunakan (Musyafak Assyari dalam Astati, ).
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.
1. Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan
perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang
untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang
bermain, serta lapangan.
2. Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan
anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace,
kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
3. Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
4. Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang
tidak licin.
5. Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat
mengatup ke dalam.
6. Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya
disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok agar anak dapat
mandiri berambulasi.
7. Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak
mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah.
8. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera
dapat menjangkaunya.
9. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.
10. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan
dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan,
dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman.
2.7 Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan
fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna
baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya
bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi
maupun neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam
meniti tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita tunadaksa
hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi penyandang
tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:

1. 1.

Rehabilitasi Medis

Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi
ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas,
pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya.
Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah gerak
dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya kesalahan
bentuk atau gerak.
Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang dilakukan
sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan otot atau gerak
secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan keseimbangan, dan lainlain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang digunakan sangat bervariasi,
meliputi pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas sinar (thermotherapy),
penggunaan listrik (electric therapy), penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui
pemijatan (massage).
Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud untuk
melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan
kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di
lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya.
Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis dengan
tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi
sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan
dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan,
menyulam, merajut, untuk melatih kemampuan tangan.
Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari
tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan
sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat
fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai
pelengkap untuk menambah kepantasan atau keindahan).
Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian tubuh
yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat dari
fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
1. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan
2. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas
3. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:
1. Menguatkan dan mengembalikan fungsi
2. Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk

3. Pembatasan gerak
4. Perbaikan salah bentuk

1. 2.

Rehabilitasi Vokasional

Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh
bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang
lazim digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:

Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau


kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka
tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.

Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa
untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.

Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam


kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.

Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang


kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas
keterampilan.

Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim
rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog,
ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.

Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang


tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.

Selective placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan


setelah selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.

Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa
menempati jabatan pekerjaan.

1. 3.

Rehabilitasi Psikososial

Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat
mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya.
Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain
dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program
rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:

1. Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti


rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.
2. Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam
meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada
tanggungjawab diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
3. Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat
sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh
ketunaan atau kelainannya.

Anda mungkin juga menyukai