Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DI RUANG POLI BEDAH RSSA MALANG DENGAN

KASUS CEDERA KEPALA

OLEH :

ILMAN TARIKO (0319039)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA MOJOKERTO

2020
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. ANATOMI FISIOLOGI
Menurut Ulya, dkk (2017), struktur kepala terdiri atas bagian
berikut:
a. Skalp (kulit kepala)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
b. Skull (tulang tengkorak)
Tengkorak merupakan tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi
dua bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan
kerangka wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak
mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin
pada permukaan luar dan padapermukaan dalam ditandai dengan gili-gili
dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah.
Permukaan bagian bawah kepala dari rongga dikenal sebagai dasar
tengkorak atau basis krani. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak
lubang agar dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah.
c. Jaringan ikat yang melindungi otak (meningen)
Selaput meningen atau pelindung otak menutupi seluruh permukaan otak
yang terdiri dari 3 lapisan yaitu :

Durameter
Durameter secara konvensional terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Durameter merupakan suatu selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena durameter tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada kejadian cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena menuju ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri-arteri meningen terletak antara durameter dan
permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering terjadi cedera
adalah arteri meningen media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid adalah lapisan tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid berada di antara piamater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput arachnoid dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater
merupakan membran vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
d. Jaringan otak
Otak merupakan struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri atas beberapa bagian diantaranya; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.
Lobus frontal adalah yang berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
e. Cairan cerebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) merupakan cairan yang dihasilkan oleh plexus
khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. Cairan
serebrospinal mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. Cairan
serebropinal akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah
dalam Cairan serebrospinal dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
takanan intrakranial.Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
f. Kompartmen vaskuler
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak sehingga menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
Perdarahan Otak
Otak dapat suplai dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri tersebut beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena di dalam otak tidak mempunyai
jaringan otot, dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut akan keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.

Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dapat dipengaruhi oleh volume darah intrakranial,
cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal Tekanan
Intrakrnaial orang dewasa pada posisi terlentang sama dengan tekanan CSS
yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak yang bisa menyebabkan atau memperberat iskemia.
Prognosis yang buruk bisa terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20
mmHg, terutama bila menetap. Pada saat terjadi cedera, segera terbentuk
massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih
dalam keadaan normal. Saat pengaliran Cairan serebrospinal dan darah
intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana bisa menerangkan tentang dinamika
TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu
konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Otak mendapatkan
suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output,
untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO)
normalnya ke dalam otak orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar karena tergantung
pada usianya. Aliran darah otak (ADO) bisa menurun 50% dalam 6-12 jam
pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. Aliran Darah
Otak (ADO) akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita
yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak atau TPO
(MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk
meningkatkan ADO.

2. DEFINISI
Menurut Aprilia (2016), cidera kepala merupakan suatu kejadian yang
sering ditemukan di masyarakat dengan tingkat disabilitas tinggi, dimana
cedera kepala dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks.
Gangguan yang ditimbulkan bersifat sementara maupun menetap, seperti
defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fisiologis lainnya..
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
3. KLASIFIKASI
Menurut NANDA (2015): klasifikasi cedera kepala dibedakan
menjadi 2, yaitu:
a) Berdasarkan Patologi
1) Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat
menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di
area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera kepala primer
terjadi saat mengalami cedera atau tumbukan, karena tenaga kinetik
mengenai kranium atau otak. Tenaga kinetik ini diantaranya akselerasi,
deselerasi, akselerasi-deselerasi, dan coup-countercoup. Akselerasi
terjadi ketika objek bergerak membentur kepala yang sedang dalam
kondisi diam (statis). Deselerasi terjadi saat kepala yang sedang
bergerak membentur objek statis (mis, tembok). Akselerasi-deselerasi
terjadi dalam peristiwa tabrakan kendaraan bermotor dengan kecepatan
tinggi atau kendaraan yang menabrak pejalan kaki. Sedangkan coup-
countercoup merupakan akibat dari pergerakan isi intrakranial terhadap
kranium. Cedera coup mengakibatkan kerusakan pada daerah yang
terkena benturan. Sedangkan cedera countercoup menyebabkan
kerusakan pada area yang berlawanan dengan benturan. Cedera primer
dapat dibagi kedalam cidera fokal dan difus. Cedera fokal
menyebabkan luka mikroskopis seperti fraktur tengkorak, laserasi dan
kontusio otak, perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral.
Sedangkan cedera difus menyebabkan cedera mikroskopis seperti
concussion dan diffuse axonal injury. Diffuse axonal injury biasanya
diakibatkan karena tabrakan kendaraan dengan kecepatan tinggi
sehingga terjadi gesekan antara permukaan substansi grisea dan
substansi alba.
2) Cedera Kepala sekunder
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma
sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak
terkendali, seperti respon fisiologis cedera otak, edema serebral,
perubahan biokimia, perubahan hemodinamik serebral, iskemia
serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.
b) Berdasarkan jenis cedera
1) Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus tengkorak dan
jaringan otak sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi diameter.
2) Cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak ringan dengan
cedera serebral yang luas.
c) Berdasarkan Glasgow Coma Scale
1) Cedera Kepala Ringan (Minor), dengan ciri-ciri:
 GCS 14-15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia <30 menit
 Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusia serebral dan hematoma
2) Cedera Kepala Sedang, dengan ciri-ciri:
 GCS 9-13
 Kehilangan kesadaran dan dan amnesia >30 menit namun tidak lebih
dari 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak, contusia serebral, laserasia dan
hematoma intrakranial
3) Cedera Kepala Berat, dengan ciri-ciri:
 GCS 3-8
 Kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam
 Mengalami kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

4. ETIOLOGI
Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:
a. Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak
b. Cedera Deselerasi, yaitu ketika kepala yang bergerak membentur objek
yang diam
c. Cedera akselerasi-deselerasi, sering dijumpai dalam kasus kecelakaan
bermotor dan kekerasan fisik
d. Cedera Coup-countre coup, yaitu ketika kepala terbentur dan menyebabkan
otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak
e. Cedera Rotasional, yaitu benturan/pukulan yang menyebabkan otak
berputar dalam tengkorak, sehingga terjadi peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
Menurut Yasmara dkk (2006) Cidera kepala secara umum disebabkan
oleh beberapa faktor seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi,
pukulan pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak,
atau cidera saat lahir. Menurut Arifin dkk, (2013) menambahkan bahwa
hipoksia dan hipoperfusi merupakan faktor penyebab utama. Penyebab lainnya
adalah eksititixisitas, kerusakan akibat radikal bebas, gangguan regulasi ion,
mediator inflamasi, tekanan tinggi intrakranial dan hipertermia.

5. TANDA DAN GEJALA


Pada pemeriksaan klinis biasanya memakai pemeriksaan GCS yang
dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat. Kondisi
cedera kepala yang dapat terjadi yaitu:
a. Komosio serebri, yaitu kehilangan fungsi otak sesaat karna pingsan < 10
menit atau amnesia pasca cedera kepala, namun tidak ada kerusakan
jaringan otak.
b. Kontusio serebri, yaitu kerusakan jaringan otak dan fungsi otak karna
pingsan > 10 menit dan terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio
serebri lebih sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal
dibandingkan bagian otak lain.
c. Laserasi serebri, yaitu kerusakan otak luas yang disertai robekan durameter
dan fraktur terbuka pada kranium.
d. Epidural hematom, yaitu hematom antara durameter dan tulang. Sumber
perdarahan berasal dari robeknya arteri meningea media. Epidural
hematom biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran dengan
ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan. Jika perdarahan > 20 cc atau
> 1 cm midline shift > 5 mm akan dilakukan operasi untuk menghentikan
perdarahan. Gambaran CT scan didapatkan area hiperdens dengan bentuk
bikonvek atau letikuler antara 2 sutura.
e. Subdural Hematom (SDH), yaitu terkumpulnya darah antara durameter
dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. hematom dibawah lapisan
durameter dengan sumber perdarahan dari bridging vein, a/v cortical, sinus
venous. Gejala-gejalanya antara lain nyeri kepala, bingung, mengantuk,
berpikir lambat, kejang dan udem pupil. Secara klinis dapat dikenali
dengan penurunan kesadaran disertai dengan adanya laterasi yang paling
sering berupa hemiparese/plegi. Gambaran CT scan didapatkan hiperdens
yang yang berupa bulan sabit (cresent).
f. Subarachnoid Hematom (SAH), yaitu perdarahan fokal di daerah
subarachnoid. Gejala klinis hampir menyerupai kontusio serebri. Pada
pemeriksaan CT scan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah girus-
girus serebri didaerah yang berdekatan dengan hematom.
g. ICH (Intracerebral Hematom), yaitu perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak nyang terjadi akibat robekan pembuluh darah yang ada pada jaringan
otak. Pada pemeriksaan CT scan terdapat lesi perdarahan antara neuron
otak yang relatif normal.
h. Fraktur basis kranii (misulis KE, head TC), yaitu fraktur dari dasar
tengkorak (temporal, oksipital, sphenoid dan etmoid). Terbagi menjadi 2
yaitu fraktur anterior (melibatkan tulang etmoid dan sphenoid) dan fraktur
posterior (melibatkan tulang temporal, oksipital dan beberapa bagian
tulang sphenoid). Tanda-tanda dari fraktur basis kranii yaitu:
a) Ekimosis periorbital (racoon’s eyes)
b) Ekimosis mastoid (battle’s sign)
c) Keluar darah berserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(rinore atau otore)
d) Kelumpuhan nervus cranial
Menurut Ulya, dkk (2017) tanda dan gejala secara umum yang dapat
terjadi pada pasien trauma kepala meliputi hal berikut :
1) Mual
2) Muntah
3) Distorientrasi
4) Sakit kepala
5) Perubahan pada ukuran dan reaksi pupil terhadap cahaya.
a) Pinpoint, bilateral, nonreaktif terhadap cahaya (lesi akibat
pendarahan).
b) Dilatasi bilateral, nonreaktif terhadap cahaya (iskemia serebral,
hipoksia, kerusakan otak berat).
c) Miosis, unilateral, tidak reaktif terhadap cahaya (lesi terhadap spinal
cord).
d) Dilatasi, unilateral, tidak reaktif terhadap cahaya (peningkatan TIK,
SDH atau EDH, herniasi otak).
e) Midsize, bilateral, tidak reaktif terhadap cahaya (kontusio, edema otak,
pendarahan otak, laserasi otak).
6) Perubahan kognetif.
7) Perubahan berbicara.
8) Perubahan fungsi motoric.
9) Penurunan tingkat kesadaran.
10) Anamnesia.
11) Paralisis unilateral.
12) Kelemahan pada wajah.

6. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik apabila kebutuhan oksigen dan
glukosa terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
semuanya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak meskipun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolism otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa di dalam tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada
saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan mengalami
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan
asidosis metabolik. Dalam kondisi normal cerebral blood flow (CBF) adalah
50-60 ml/menit/100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac
output. Trauma kepala dapat menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan
udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
berkontraks. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arterida arteriol otak tidak begitu besar (Musliha, 2010).

7. KOMPLIKASI
Menurut Ulya, dkk (2017), komplikasi yang terjadi pada pasien
dengan trauma kepala ada 2, yaitu komplikasi jangka pendek dan komplikasi
jangka panjang.
a. Komplikasi jangka pendek; terjadinya pendarahan serebral, hemattom,
peningkatan tekanan intrakarnial (TIK), infeksi dan kejang.
b. Komplikasi jangka panjang; perubahan perilaku, gangguan fungsi saraf
kranial, dan kecacatan sesuai area otak yang mengalami kerusakan.
Menurut Sari, I. L (2014) komplikasi dari trauma kepala diantaranya
adalah sebagi berikut :
a. Koma. Kondisi penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon. Pada
kondisi ini berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering
membuka mata dan mengerakkannya, menjerit atau menunjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita tetap tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state
bisa lebih dari satu tahun jarang sembuhnya.
b. Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala dapat mengalami
sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah
cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka bisa menyebabkan robekan
membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen
biasanya bisa berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak bisa menyebabkan
kerusakan pada nervus facialis sehingga menyebabkan terjadinya paralysis
dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata
yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda .
e. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian
masalah, proses informasi dan memori merupakan suatu kemampuan
kognitif. Kebanyakan penderita dengan cedera kepala berat mengalami
masalah kesadaran.
a. Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko
perkembangan terjadinya penyakit alzheimer termasuk tinggi dan sedikit
terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung pada frekuensi
dan keparahan cedera.
8. PATHWAY
Terlampir

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Ulya, dkk (2017), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
pada pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut.
a. Laboraturium; darah lengkap, koagulasi, uniralisis, BGA,
skeriningtoksiologi pada urine. Laboratorium
 GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
 Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang
memperberat peningkatan TIK, sedangkan peningkatan laju dari
metabolisme dan diaforesis dapat menyebabkan hipernatremia.
b. EEG diperlukan untuk mengidentifikasi adanya gelombang patologis.
c. CT scan kepala; hasil pemeriksaan ditemukan adanya edema serebral,
pendarahan, fraktur, dan lesi. Pemeriksaan CT scan diindikasikan untuk
pasien dengan GCS <13 pada saat intinial assessment, GCS <15 setelah
dua jam dari onset kejadian, suspect open atau depressed skull
fracture,terdapat gejala fraktrur basis kranii, post traumatic seizure,
defisitneurologi fokal, dan muntah lebih dari satu kali (national institute
for health and care excellence/NICE,2014).
d. X-ray kepala dan spinal; dilakukan dengan tujuan untuk melihat adanya
fraktur.
e. MRI; hasil MRI kemungkinan ditemukan adanya edema dan perdarahan
pada pasien, tetapi MRI jarang di indikasikan untuk pasien yang tidak
stabil,menggunakan ventilator, tidak kooperatif, pasien dalam kondisi
trauma akut.
f. Angiografi; pemeriksan angiografi digunakan untuk melihat adanya
trauma serebvaskuler atau thrombosis.
g. Foto toraks.
h. Pemeriksaan EKG 12 lead.
10. TINDAKAN PENANGANAN
Menurut Ulya, dkk (2017) penatalaksanaan dari trauma kepala yaitu
sebagai berikut :
1. Jalan napas (airway)
a) Lakukan imobilisasi servikal dengan cara jaw thrust atau menggunakan
servical collar.
b) Kaji apakah ada suara gurgling, snoring, dan stridor.
c) Jika terdapat gigi yang lepas atau fragmen tulang di jalan napas akibat
trauma di wajah, segera ambil.
d) Buka jalan napas, jika GCS ≤ 8, maka lakukan intubasi indottrakeal.
e) Lakukan suction jika terdapat darah, saliva, atau muntahan pada jalan
napas.
f) Pasang selang orogastrik untuk dikompresi isi lambung (jangan
gunakan slang nasogastric).
2. Pernapasan (breathing)
a) Pertahankan saturasi oksigen >95% dengan pemberian suplemen
oksigen.
b) Pertahankan frekuensi pernafasan normal (eukapnea) dengan PaCO2
antara 35-38 mmHg.
c) Cegah hiperventilasi kecuali jika terjadi hernisasi.
d) Monitoring end-tidal carbon.
e) Pertimbangkan penggunaan agen blockade neuromuscular jika pasien
mengalami kesulitan ventilasi.
f) Lakukan dekompresi dengan jarum ukuran 12G jika ditemukan tekanan
pneumotoraks (pneumothotorax tension).
g) Jika terdapat kondisi pneumatoraks dan hemotoraks yang mengancam
nyawa, lakukan tindakan drainase pada ICS 5 pada midaksila anterior.
3. Sirkulasi (circulation)
a) Pertahankan status normovolemia pada pasien (jaga tekanan arteri
antara 70-90 mmHg)
b) Pertahankan perfusi serebral > 70 mmHg.
c) Pada pasien dengan trauma penetrasi atau trauma tumpul, tekanan darah
sistolik hendaknya dipertahankan minimal 60 mmHg.
d) Pada pasien dengan trauma selain penetrasi atau trauma tumpul,
tekanan darah sistolik hendaknya dipertahankan minimal 90 mmHg.
e) Berikan tambahan cairan isotonik atau produk darah sesuai dengan
kebutuhan pasien.
f) Jika nadi pasien tidak teraba, maka berikan bolus cairan 250 cc sampai
nadi teraba.
g) Pasang kateter urine untuk monitoring pengeluaran urine (terutama jika
pasien diberikan diuretik).
4. Disability, lakukan monitoring status GCS secara berkala, respon pupil,
nadi, pernapasan, dan tekanan darah.
5. Segera menyiapkan pasien untuk pemeriksaan diagnostic penunjang.
6. Cegah jangan sampai terjadi peningkatan TIK dengan pemberian sedasi
atau analgesik, pemberian diuretik osmotik manitol), posisikan pasien head
elevation 300, manimalisasi stimulasi ekternal.
7. Fasilitasi pasien untuk dilakukan tindakan pembedahan (evakuasi
hematom, lobektomi dan kraniotomi).
8. Cegah jangan sampai terjadi kejang.
9. Pertahankan suhu tubuh normal.
10. Pemberian obat-obatan, antara lain sebagai berikut.
a) Diuretik.
b) Loop diuretik.
c) Analgesik.
d) Antibiotik.
e) Antihipertensi.

Obat-obatan yang digunakan pada pasien trauma kepala antara


lain:
1. Anti konvulsan, mengatasi kejang trauma kepala (harus diberikan sama
orang yang sudah ahli)
2. Kortikosteroid, mengurangi inflamasi edema serebri.
3. Diuretik, mengurangi edema serebri dan tekanan intrakanian.
4. Opioid, mengurangi nyeri (Yunisa, 2010)

Tiap penderita tak sadar, harus dianggap mempunyai saluran


pernafasan yang tak adekuat. Bila ia terlentang sekresi atau muntahan
dapat mengalir ke trakea dan menyebabkan komplikasi paru. Rahang
berelaksasi dan tidak jatuh kebelakang, yang memperberat obstruksi
saluran pernafasan. Biasanya bila rahang dielevasi dan dimajukan, maka ia
menghilangkan obstruksi pernafasan. Tetapi pasien masih tak sanggup
menangani sekresinya sendiri dengan adekuat karena reflek batuknya
tertekan. Orang yang tak sadar karena kecelakaan lalu lintas, atau jatuh,
harus selalu dianggap menderita trauma vertebra versikalis dan saluran
pernafasan harus ditatalaksanakan sesuai dengan itu. Bila saluran
pernafasan terancam, maka kemungkinan cedera vertebra menjadi
pertimbangan sekunder, khusus nya bila penderita tidak bernafas dalam
posisi setengah tengkurup dan mempertahankan kepala dalam posisi netral
membalikkan pasien tiga sampai menghadap ke bawah selama memutar
merupakan metode yang baik dalam menghilangkan obstruksi saluran
pernafasan sebagian pada posisi ini, muntahan dan sekresi cenderung
keluar dan mulut dan tidak menuruni trakea. Lidah, karena gaya berat,
cenderung tertarik menjauh dinding posterior faring. Cara lain untuk
menjamin saluran pernafasan yang adekuat.
Tiap penderita yang menderita trauma kapitis dapat menderita
konvulsi pada saat kecelakaan atau dalam perjalanan ke rumah sakit.
Konvulsi merupakan penyulit serius trauma kapitis, karena lebih
mengancam saluran pernafasan. Tentu saja bila ekstremitas di gerakkan
secara paksa waktu kejang, maka fraktura yang ada bersamaan mungkin
memperberat kerusakan atau perdarahan pada fraktura. Selama kejang,
sulit mempertahankan saluran pernafasan, tetapi biasanya dibantu oleh
posisi setengah tengkurap. Bila mungkin, selipkan spatula lidah yang
diberi bantalan diantara gigi geligi untuk mempertahankan mulut terbuka.
Spatula ini juga mencegah kerusakan lidah dan sisi dalam mulut karena
gerakan rahang.
Obat antikonvulsi berbahaya, dan hanya boleh diberikan oleh
orang yang sudah terlatih memakainya. Untuk menghentikan kejang pada
orang dewasa 70 kg, dapat diberikan 10 mg diazepam (Valium) dalam
waktu dua menit. Obat yang bekerja cepat ini biasanya menghentikan
kejang, tetapi pemberian tidak boleh di ulangi setelah kejang berhenti, bisa
dianjurkan pemberian 50 mg/ml fenitoin (Dilatin) IV, sebagai pencegahan
atau tambahan pada diazepam Fenitoin harus diberikan langsung kedalam
vena atau melalui pipa. Dosisnya, 15 mg/kg berat badan, untuk orang
ukuran rata-rata, berikan 1 gram intravena (dengan kecepatan 50
mg/menit). Penderita yang lebih kecil mendapat dosis yang lebih kecil,
pasien yang lebih berat mendapat dosis yang lebih besar. Denyut nadi
harus diawasi selama pemberian fenitoin pada orang lanjut usia dan yang
dengan penyakit jantung.
Muntah dapat terjadi pada tiap penderita dengan trauma kapitis,
khususnya pada penderita perdarahan epidrual. Ia dapat timbul bila
penderita tidak sadar, dan ini alasan lain pada posisi setengah terlungkup.
Aspirasi kateter atas saluran pernafasan atas sering mencetuskan muntah.
Penderita yang tak sadar sering sulit mentoleransi suhu ekstrim.
Berlawanan dengan penderita trauma medual spinalis, penderita trauma
kapitis cenderung menderita suhu tinggi. Bila suhu udara 70 F atau lebih
maka tak boleh menggunakan selimut.
Pada fraktura terbuka tulang tengkorak, maka jaringan otak lazim
merembes keluar kadang-kadang ia bisa menyeruapai pasta gigi.
Penonjolan otak keluar dapat berguna karena pengurangan tekanan
intrakraneal. Sebaiknya jangan dilakukan manipilasi apapun, kemudian
akan diperlukan reparasi bedah. Pembalut steril pelindung harus dipasang
longgar dan tidak menekan otak.
Tekanan darah rendah jarang terjadi akibat kerusakan otak, dan
harus dianggap disebabkan oleh cedera medula spinalis atau kehilangan
darah. Bila cairan intravena di berikan dilapangan selalu ada
kecenderungan pemberian volume yang banyak untuk waktu singkat. Hal
ini dapat sangat berbahaya pada penderita cedera otak, karena akan terjadi
edema otak, yang menaikkan tekanan intrakranial. Tetapi bila da syok,
maka pemberian cairan intravena tergantung protokol syok bukan karena
cedera otak. Bila tidak, cairan harus diberikan tak lebih dari 1 ml per
menit, untuk mempertahankan saluran intravena terbuka bagi pemberian
obat.
Cairan sereprospinalis yang mengalir dari hidung atau telinga,
tidak membutuhkan terapi pada fase dini penatalaksanaan trauma kapitis
Hidung atau telinga tak boleh di tampon untuk mencegah keluarnya
cairan. Kasa longgar bisa dipasang untuk mencegah kontaminasi. Tetapi
harus dicatat pada catatan ambulan dan bagian gawat darurat bahwa
terlihat kebocoran, karena ia bisa berhenti sebelum pasien tiba dibagian
gawat darurat.
Penderita yang syok karena kawat yang bervoltase tinggi dapat
menderita trauma kapitis karena jatuh, dan syok listrik bisa mencederai
medula spinalis, otak, atau keduanya. Lazim terjadi konvulsi. Jarang syok
listrik menimbulkan perdarahan intrakranial yang membutuhkan gawat
darurat.
Perdarahan di kulit kepala dapat hebat dan bahkan dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Perdarahan hebat dari kulit kepala dapat
dikembalikan dengan teknik sederhana. Bila tak ada fraktura depresi maka
penekanan dengan ujung luka akan menghentikan kebanyakan perdarahan.
Penekanan pada arteri utama kulit kepala dapat efektif untuk
menghentikan.
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan
adalah :
1. Amnesia antegrade /pascatraumatik
2. Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai
berat.
3. Adanya riwayat penurunan kesadaran /pingsan
4. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
5. Adanya fraktur tulang tengkorak
6. Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (ottore/rinorre)
7. Cedera berat bagian tubuh lain
8. Indikasi social ( tidak ada keluarga/ pendamping dirumah)

Dari cedera kepala ringan dapat berlanjut menjadi sedang / berat


dengan catatan bila ada gejala-gejala sbb :
1. Mengantuk dan sukar dibangunkan
2. Mual, muntah dan pusing berat
3. Salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tidak
biasa
4. Kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi dan kejang
5. Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat
6. Bingung, tidak mampu berkonsentrasi, terjadi perubahan personalitas
7. Gelisah
8. Perubahan denyut nadi atau pola pernafasan.
Penanganan awal cedera kepala di tempat kejadian (Pra rumah
sakit)
1. Jangan memijat daerah kepala atau leher
2. Pindahkan penderita dengan cara sejajar dan awasi pergerakan sendi pada
kepala, leher dan tulang belakang (jangan dilakukan sendiri)
3. Baringkan penderita dan pertahankan posisi kepala sejajar dengan leher
4. Bila penderita masih sadar, jangan memberikan minum atau makanan.
5. Segera hubungi pihak berwajib, ambulance dan bawa penderita ke unit
gawat darurat terdekat.
Pasien cedera kepala yang memakai helm:
1. Helm dibiarkan terpasang jika :
a. Pasien sadar
b. Helm cocok pas dan tidak bergerak di kepala pasien
c. Pasien memakai bantalan bahu
d. Pelepasan helm akan menyebabkan cedera lebih lanjut
e. Kepala pasien dapat tetap netral satu garis selama transportasi di papan
tulang belakang
2. Helm harus dilepas jika :
a. ABC tidak dapat dikaji
b. Jika tidak dilepas, menganggu konumsi oksigen
c. Pasien dalam kedan henti nafas dan jantung
d. Ukuran helm tidak pas , dan memungkinkan pergerakan kepala dalam
helm
e. Helm mudah dilepas
f. Ada penolong satu lagi yang menjaga stabilisasi netra satu garis
Prosedur melepas helm yang aman :
1. Langkah 1 :
Penolong 1 mempertahankan kepala dan leher korban dalam posisi netral
satu garis, tangan disetiap sisi helm, jari di rahang korban, hal ini
menghindari slip jika tali helm longgar

2. Langkah 2 :
Penolong kedua meletakkan tangan kiri di belakang leher dan kepala
korban dan ibu jari tangan kanan direntangkan di mandibula kanan korban
dan jari-jari tangan kanan pada mandibula kiri
3. Langkah 3:
Penolong pertama melepaskan helm dari sisi lateral secara hati-hati.
Setelah helm mencapai oksiput , rotasikan helm ke ara anterior ke wajah.
Penolong kedua harus memperhatikan dan mempertahankan stabilitas
kepala, kepala dapat turun saat helm dilepas jika penopang dibagian
belakang oksipital tidak adekuat.

4. Langkah 4 :
Setelah helm dilepas, penolong pertama meletakkan kedua tangan dikedua
sisi kepala dan rahang korban.
Penolong kedua melepaskan pegangan pada korban dan memasang collar
neck.

Pada umumnya trauma kepala terjadi sebagai akibat kecelakaan, baik


kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan lain seperti kejatuhan benda
keras. Pada trauma kepala ada tiga unsur utama yang mengalami cedera
yaitu: kulitr kepala, tulang tengkorak, dan otak.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Data subyektif
Menurut Ulya, dkk (2017), pengkajian meliputi sebagai berikut:
1) Kaji mekanisme injuri
2) Tingkat kesadaran
3) Status mental
4) Gangguan komonikasi
5) Kemampuan motoric
6) Gangguan sensasi
7) Gangguan pengelihatan
8) Nyeri (PQRST)
9) Sakit kepala
10) Kejang
11) Muntah
12) Usaha untuk mengurangi gejala
13) Status imunisasi
14) Untuk pengkajian riwayat pasien bisa dilakukan dengan mengkaji AMPLE
 Allergi (alergi)
 Medication (pengobatan yang sedang dijalani)
 Past medical history (riwayat penyakit lalu)
 Last ate (waktu makan terakhir kapan)
 Exact event (kejadian atau lingkungan yang menyebabkan trauma).

b. Data Objektif
Data yang diperlukan dalam pengkajian data objektif meliputi hal berikut:
1. Kaji kondisi umum
2. Tingkat kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
3. Orientasi ingatan atau memori
4. Verbilisasi saat komunikasi
5. Perubahan perilaku
6. Adanya kejang
7. Tanda-tanda vital terkait MAP
8. Nadi
9. Respirasi
10. Tanda trias Chusing’s (peningkatan tekanan darah sistolik, bradkardi,
pernapasan abnormal)
11. Suhu inti tubuh
12. Lokasi trauma
13. Kontinuitas tulang
14. Ukuran dan reaksi pupil terhadap cahaya
15. Kemampuuan koordinasi motorik
16. Fungsi saraf kranial
17. Adanya cairan serebrospinal (otorea dan rinorea)
18. Tanda meningen
19. Kekuatan otot
20. Respon pupil terhadap cahaya serta diameternya
21. Refleks meliputi refleks kornea (abnormal jika tidak ada respon), reflek
muntah (abnormal jika tidak ada reflek muntah), reflek tendon (abnormal
jika reflek menurun atau tidak ada), reflek babinski (abnormal jika reaksi
positif).
22. Respon sensorik (respon terhadap nyeri atau sentuhan, dan tekanan).
23. Postur tubuh : identifikasi apakah terdapat fleksi abnormal atau ekstensi
abnormal.
Pengkajian Glosgow Coma Scale (GCS)
Buka mata Respon Verbal Respon Motorik
Spontan 4 Terorientasi 5 Mengikuti 6
perintah
Terhadap suara 3 Bingung 4 Melokalisasi nyeri 5
Terhadap nyeri 2 Kata-kata tidak 3 Menarik diri 4
sesuai terhadap nyeri
Tidak ada 1 Kata-kata tidak 2 Fleksi abnormal 3
respon berhubungan
Diam 1 Ekstensi abnormal 2
Tidak ada gerakan 1

Pengkajian Saraf Kranial


Saraf Kranial Pengkajian
I Olfaktori Tidak dilakukan pengkajian secara rutin
II Optik Kemamuan penglihatan
III Okulomotor Pergerakan ekstraokuler, pengkajian pupil
IV Troklear Pergerakan ekstraokuler
V Trigeminal Refleks kornea, sensasi pada wajah
VI Abdusen Pergerakan ekstraokuler
VII Fasial Otot-otot bicara, kemampuan perasa (jarang
dikaji), mengangkat alis, dan tersenyum
VIII Vestibulokoklear Kemampuan pendengaran
IX Glosofaringeal Refleks muntah (gag reflex) dan mengunyh
X Vagus Otot-otot bicara
XI Aksesori spinal Otot bahu
XII Hipoglosal Otot-otot bicara

Kekuatan otot
Skala Deskripsi
0 Tidak ada pergerakan
1 Terdapat kontraksi otot
2 Dapat bergerak tetapi kembali jatuh akibat gravitasi
3 Dapat bergerak melawan gravitasi
4 Dapat bergerak melawan tahanan dengan lemah
5 Mampu melawan tahanan kuat

Menurut Muslihah (2010), pengumpulan data klien baik subyektif


atau obyektif pada gangguan system persarafan sehubungan dengan cedera
kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi
pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati sebagai berikut :
1) Identitas klien dan keluarga atau penanggung jawab
 Nama
 Umur
 Jenis kelamin
 Agama
 Suku bangsa
 Status perkawinan
 Alamat
 Golongan darah
 Penghasilan
 Hubungan klien dengan penanggung jawab
2) Riwayat kesehatan :
 Tingkat kesadaran / GCS (< 15 )
 Konvulsi
 Muntah
 Dyspnea/takipnea
 Sakit kepala
 Wajah simetris/ tidak lemah
 Luka di kepala
 Paralise
 Akumulasi secret pada saluran nafas
 Adanya liquor dari hidung dan telinga
 Kejang
3) Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan system persarafan maupun penyakit system sistemik lainnya.
Demikian pula riwayat penyakit keluarga yang terutama mempunyai
penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut bisa dikaji dari klien atau
keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien (Musliha, 2010).

Menurut Dewanto et al (2009) dalam pemeriksaan pada pasien


trauma kepala bisa dilakukan dengan primary dan secondary survei.
Survei primer mengkaji ABCDE (airway, breathing, circulation, disability,
dan exposure), dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting
pada jam-jam pertama sejak kejadian trauma.
1) Primary Survei
a. Airway : daerah os servical harus diimobilisasi dalam posisi netral
menggunakan stiffneck collar, head block, dan di ikat pada alas yang
kaku ketika ada kecurigaan fraktur servikal. Kaji ada tidaknya subatan
pada jalan napas pasien dengan :
 Look : lihat gerakan nafas dan pengembangan dada, adanya
retraksi sela iga, warna mukosa dan kesadaran.
 Listen : dengar aliran udara pernapasan.
 Feel : rasakan adanya aliran udara pernapasan pasien dengan
menggunakan pipi perawat.
b. Breathing : kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernapasan misalnya
dispneu, bradipneu, takipneu atau ada suara napas tambahan (snoring,
gargling, rhonki, atau wheezing), selain itu kaji mengenai kedalaman
napas pasien. Pastikan oksigenasi dan ventilasi pada pasien.
Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan,
memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-
otot pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas di kedua aksila.
c. Circulation : kaji ada tdaknya peningkatan tekanan darah pasien,
kelainan detak jantung, misal takikardia, bradikardi, dan kaji adanya
sianosis serta capila refil, kondisi akral dan nadi pasien. Berikan
resusitasi cairan IV, yaitu cairan isotonic, seperti Ringers Laktat atau
Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, berikan transfusi darah
10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.
d. Disability : kaji ada tidaknya penurunan kesadaran dengan penilaian
status neurologis, ukuran dan reaksi pupil. Hiperventilasi dapat
menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi
vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah
ke otak dan menurunkan tekanan intracrnial. Penggunaan manitol
dapat menurunkan tekanan intracranial.
e. Exposure : semua pakaian pasien harus di lepaskan untuk memastikan
adanya luka atau trauma pada daerah lain.
2) Secondary Survei
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan yang dilakukan secara
lengkap yaitu secara head to toe, dan kondisi pasien dalam keadaan stabil.
Jika sudah dipastikan tidak ada masalah dengan ABC maka tindakan
selanjutnya adalah penanganan luka yang di alami akibat trauma yang
disertai dengan observasi TTV dan deficit neurologis.

c. Pemeriksaan fisik
Menurut Kristanti (2009), pemeriksaan fisik pada trauma kepala
dilakukan secara head to toe :
a) Kepala atau tengkorak :
 Inspeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala; hal ini penting karena kulit
kepala biasanya tidak terlihat karena tertutup rambut
 Catat adanya perdarahan, laserasi, memar atau hematom
 Catat adanya darah atau drainase dari ntelinga. Inspeksi adanya memar
dibelakang telinga
 Kaji respon dan orientasi pasien akan waktu, tempat dan diri.
 Observasi bagaimana pasien merespons pertanyaan dan berinteraksi
dengan lingkungan
 Catat adanya tremor atau kejang.
b) Wajah :
 Inspeksi dan palpasi tulang wajah
 Kaji ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya.
 Catat apakah lensa kontak terpasang jika ya, lepaskan
 Catat adanya darah atau drainage dari telinga, mata, hidung atau mulut
 Observasi bibir, daun telinga dan ujung kuku terhadap sianosis
 Cek adanya gigi yang tanggal
 Cek adanya gigi palsu. Jika ada dan pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran atau gigi palsu mempengaruhi jalan nafas, lepaskan dan
kemudian beri nama dan simpan ditempat yang aman (lebih baik berikan
pada keluarganya)
 Inspeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma
c) Leher :
 Observasi adanya bengkak atau deformitas di leher
 Cek spinal servikal untuk deformitas dan nyeri palpasi. Perhatian : jangan
menggerakkan leher atau kepala pasien dengan kemungkinan terjadi
trauma leher sampai fraktur servikal sudah dipastikan ! immobilitas leher
 Observasi adanya devisi trakea
 Observasi adanya distensi vena jugularis
d) Dada :
 Inspeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan dan untuk
kesimetrisan pergerakan. Catat adanya segmen flail chest
 Cek adanya fraktur iga dengan melakukan penekanan pada tulang iga pada
posisi lateral, lalu anterior dan posterior, maneuver ini menyebabkan nyeri
pada pasien fraktur iga
 Catat keluhan pasien akan nyeri, dyspnea atau sensasi dada terasa berat
 Catat memar, perdarahan, luka atau emfisema subkutaneus
 Auskultasi paru untuk kualitas dan kesimetrisan bunyi nafas
e) Abdomen :
 Catat adanya distensi, perdarahan, memar, atau abrasi khususnya disekitar
organ vital seperti limpa atau hati
 Kaji kekakuan dan tenderness.
 Selalu auskultasi abdomen untuk bising usus sebelum mempalpasi untuk
mengkaji secara benar peristaltic
f) Genetalia dan pelvis :
 Observasi untuk abrasi, perdarahan, hematoma, edema atau discharge
 Berikan tekanan lembut disetiap iliac crest dengan gerakan gerakan kecil;
pasien fraktur pelvis akan kehilangan rasa (maneuver ini juga akan
menyebabkan nyeri pada pasien)
 Observasi adanya distensi kandung kemih
g) Tulang Belakang :
 Mulai tempatkan satu tangan dibawah leher pasien.
 Dengan lembut palpasi vertebra, rasakan adanya deformitas, dan catat
lokasinya jika terdapat respon nyeri dari pasien
 Perhatian: jangan pernah membalik pasien untuk memeriksa tulang
belakang sampai trauma spinal sudah dipastikan! Jika anda ada keharusan
membalik pasien (misalnya luka terbuka) gunakan teknik log-roll.
 Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika mempalpasi sudut
costovertebral melewati ginjal
h) Ekstermitas :
 Cek adanya perdarahan, edema, pallor, nyeri atau asimetris tulang atau
sendi dimulai pada segmen proksimal pada setiap ekstermitas dan palpasi
pada bagian distal
 Cek pergerakan, ROM dan sensasi pada semua ekstermitas
 Palpasi nadi distal dan cel capillary refill pada ujung kuku.
 Kaji warna kulit pada ekstermitas
 Cek reflex seperti plantar, biseps dan patella
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas, ditandai dengan
dispneu
b. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d penurunan ruangan untuk perfusi
serebral, sumbatan aliran darah serebral
c. Nyeri akut b.d agen cedera biologis kontraktur (terputusnya jaringan
tulang)
d. Gangguan mobilitasi b.d kerusakan kognitif/persepsi, tetapi
pembatasan/kewaspadaan keamanan. Mis: tirah baring, imobilisasi
e. Hipovolemia b.d perubahan keadaan elektrolit serum (muntah)
(Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2015).

3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Kep SLKI SIKI
1 Nyeri akut b.d agen Tingkat nyeri Manajemen nyeri
pencedera fisiologis Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi :
(mis : kram abdomen keperawatan selama 3x24  Identifikasi lokasi,
sekunder terhadap jam diharapkan tingkat karakteristik, durasi,
distensi dinding usus) nyeri menurun dengan frekuensi, kalitas,
No Diagnosa Kep SLKI SIKI
d.d kriteria hasil : intensitas nyeri
DS : mengeluh nyeri - Kemampuan  Identifikasi skala nyeri
DO : menuntaskan aktivitas  Identifikasi nyeri non
 Tampak meringis meningkat verbal
 Bersikap protektif - Keluhan nyeri menurun  Identifikasi faktor yang
(misal : posisi - Meringis menurun memperberat dan
meghindari nyeri) - Sikap protektif menurun memperingan nyeri
 Gelisah - Gelisah menurun  Monitor keberhasilan
 Frekuensi nadi - Kesulitasn tidur terapi komplementer
meningkat menurun yang sudah diberikan
 Sulit tidur - Menarik diri menurun  Monitor efek samping
- Anoreksia menurun penggunaan analgetik
 Tekanan darah
- Uterus terasa membulat 2. Terapeutik
meningkat
menurun  Berikan teknik
 Pola napas berubah
- Ketegangan otot nonfarmakologi untuk
 Nafsu makan
menurun mengurangi rasa nyeri
berubah
- Muntah menurun
 Proses berpikir  Kontrol lingkungan
- Mual menurun
terganggu yang memperberat rasa
- Frekuensi nadi membaik
 Menarik diri nyeri
- Pola napas membaik
 Fasilitasi istirahat dan
- Tekanan darah membaik
tidur
- Proses berpikir membaik
3. Edukasi
- Fungsi berkemih
 Jelaskan penyebab,
membaik
periode, dan pemicu
- Nafsu makan membaik
nyeri
- Pola tidur membaik
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
No Diagnosa Kep SLKI SIKI
 Ajarkan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangir rasa nyeri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, Hanura. 2017. Vol. 8 No. 1, Gambaran Status Fisiologis Pasien Cedera
Kepala Di Igd Rsud Ulin Banjarmasin Tahun 2016 di akses tanggal 20
September 2018 pukul 13:00 WIB
https://www.ojs.dinamikakesehatan.stikessarimulia.ac.id/index.php/dksm/articl
e/view/248/191
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurarif, Amin Huda dan Kusuma Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: MediAction
Ulya, Ikhda, dkk. 2017. Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat pada Kasus
Trauma. Jakarta: Salemba Medika
PPNI. (2019). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPS
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPS
PPNI. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPS

Anda mungkin juga menyukai