Anda di halaman 1dari 5

Peraturan

Daerah Bernuansa Syariah dalam Otonomi Daerah


Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang menganut sistem Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang, dan mayoritas penduduk Indonesia
adalah beragama islam.
Terdapat perbedaan makna antara Negara Islam dan Negara Muslim, Negara Islam adalah
Negara yang menggunakan syariat islam sebagai sistem hukum negaranya, seperti arab Saudi,
Brunei Darussalam, dan juga Qatar, sedangkan Negara Muslim hanyalah Negara yang
mayoritas penduduknya adalah Muslim, dan tidak menjadikan syariat Islam sebagai sistem
hukum negaranya, seperti Indonesia dan juga Turki.
Walaupun syariat Islam tidak dijadikan sistem hukum dalam Negara Indonesia,
masyarakat Indonesia pada umumnya sudah menjadikan Syariat Islam layaknya hukum yang
sudah hidup atau bisa dikatakan living law dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terbukti
sejak awal kemerdekaan, dengan lahirnya suatu kesepakatan tentang tujuan pembentukan
Negara yang tercantum dalam piagam Jakarta, yang salah satu kalimatnya menyebutkan
“ketuhanan, dengan menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang pada
akhirnya 7 kata tersebut dihapus dikarenakan masyarakat Indonesia bagian timur yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia yang selanjutnya disebut NKRI,
apabila 7 kata tersebut tidak dihapus. Sehingga kalimat “ketuhanan, dengan menjalankan
syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”diganti dengan Kalimat “Ketuhanan yang maha Esa”.
Umat Islam memberikan kontribusi besar dengan mengikhlaskan penghilangan 7 kata
dalam piagam Jakarta, demi terciptanya suatu bangsa yang plural dalam satu kesatuan. Akan
tetapi karena syariat Islam sudah menjadi living law dalam mayoritas kehidupan masyarakat
Indonesia, maka banyak peraturan daerah yang mengadopsi syariat islam untuk diberlakukan
di daerahnya.
Terlebih lagi Setelah diterapkannya otonomi daerah yang ditandai dengan
diberlakukannya Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejak 1
Januari 2001, yang kemudian diganti dengan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, setiap daerah (provinsi, kabupaten/kota) diberikan kewenangan yang
sangat besar untuk mengatur dan memerintah daerahnya masing-masing.1
Adanya kewenangan daerah untuk mengatur daerahnya masing masing melahirkan
fenomena tentang daerah yang mayoritas muslim membuat peraturan daerah yang
selanjutnya disebut perda, bernuansa Syariah. Bagi kalangan yang pro terhadap Perda
Syariah, mereka beranggapan bahwa Syariat Islam tidak bertentangan dengan Pancasila,
bahkan Pancasila merupakan kristalisasi dari volkgeist bangsa Indonesia sejak zaman
penjajahan hingga kemerdekaan dimana perjuangan kemerdekaan banyak diperjuangkan
oleh pahlawan pahlawan muslim. Sehingga tidak ada salahnya masyarakat daerah
mempunyai aspirasi untuk menerapkan perda bernuansa Syariah, selagi itu tidak
bertentangan dengan Undang-undang yang diatasnya dan juga ideologi Negara.
Namun disatu sisi, terdapat kalangan yang kontra terhadap perda Syariah, kalangan
yang kontra beranggapan bahwa perda bernuasa Syariah tidak sejalan dengan pancasila, dan
juga terdapat diskriminasi hukum, dimana hanya tertuju kepada masyarakat yang beragama


1
Hayatun Na’imah, Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara-Agama dalam Perspektif
Pancasila: Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Vol XV No. 2 (Desember 2016). Hal. 161
Islam. Bahkan ada yang beranggapan bahwa perda syariah adalah langkah awal politik umat
islam untuk menjadikan syariat islam sebagai konstitusi Negara.
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah
apakah Perda Syariah tidak sejalan dengan Pancasila?, bagaimana kedudukan Perda Syariah
dalam peraturan perundang-undangan?. Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut
maka penulis akan berusaha meilhat Perda Syariah dari dua arah.
Pro Terhadap Perda Syariah
Sebelum memasuki pembahasan lebih mendalam, maka penulis akan merefleksikan
dahulu teori yang terdapat dalam aliran filsafat hukum dan juga asas asas pembentukan
perundang-undangan yang baik. Teori yang pertama adalah teori hukum alam, aliran hukum
alam berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan.
John Salisbury salah satu tokoh dari aliran hukum alam, dia berpendapat bahwa “dalam
menjalankan pemerintahannya, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak
tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum hukum allah”.2
Selanjutnya adalah teori asas-asas pembentukan peraturan perudangan-undangan
yang baik. Menurut Van der Vlies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan
perundangan yang baik, dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu asas formal dan asas materil.
Asas formal meliputi: asas tujuan yang jelas, asas/organ lembaga yang tepat, asas perlunya
pengaturan, asas dapat dilaksanakan, dan asas konsesus. Asas-asas materil meliputi: asas
terminology dan sistematika yang jelas, asas dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam
hukum, asas kepastian hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
individual.3
Dari kedua teori diatas, maka penulis akan mencoba mengaitkannya dengan Perda
Syariah, sehingga tulisan ini menjadi tulisan yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah,
bukan tulisan yang hanya berdasarkan asumtif pemikiran belaka.
Perda Syariah adalah peraturan yang isi muatannya berasal dari syariat Islam, contoh
dari perda syariah adalah perda yang ditetapkan di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,
sejak 2001, yaitu melarang menjual dan meminum minuman keras. Meminum Khamar adalah
hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam, QS. Al-Maidah 90-91: “Wahai orang-orang yang
beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi
nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Masyarakat Bulukumba yang mayoritas beragama Islam mempunyai aspirasi untuk
memberlakukan hukum alam (hukum tuhan) yang biasanya tidak tertulis agar dijadikan
hukum yang tertulis dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat di daerah tersebut.
Dampaknya, menurut mantan Bupati Andi P. Pabokori, “Angka pembunuhan dan
pemerkosaan yang dulu tinggi, turun drastis, hingga sekitar 85 perseratus. “Kami memang
membentuk tim yang tugasnya datang ke desa-desa untuk menyadarkan para preman,
diarahkan ke pengajian, maka sekarang tidak ada lagi preman, tidak ada lagi perkelahian
pelajar”4


2
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006). Hal. 103-106.
3
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), Hal. 113-114.
4
Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan hubungannya dengan Konstitusi: , JURNALHUKUM.
VOL.17 No. 1 (JANUARI 2010). Hal. 134
Terbukti dengan adanya Perda Syariah yang melarang meminum dan menjual
minuman keras memperoleh dampak yang positif. Hal ini dikarenakan perda tersebut berasal
dari syariat Islam yang sumbernya adalah dari Allah SWT. Aliran hukum alam berpendapat
bahwa hukum yang berasal dari tuhan adalah hukum yang universal, berlaku untuk semua
manusia, dan hukum tersebut sudah pasti untuk kemaslahatan manusia. Sejalan dengan sila
pertama Pancasila, “ketuhanan yang maha esa”, sila pertama membawa masyarakat
Indonesia akan pentingnya beragama, karena agama merupakan pedoman kehidupan di
dunia.
Chosin Chumaedy, Anggota DPR RI dari fraksi PPP melihat perda bernuansa syariah
dari pendekatan yaitu, (1) demokrasi, yaitu bahwa Perda itu sudah disusun secara
konstitusional, (2) kewenangan, DPRD dan Pemerintah Daerah berwenang membuat Perda,
dan (3) segi kemanfaatan, yaitu bahwa Perda itu justru untuk mendidik generasi bangsa ke
arah kebaikan. 5
Usaha masyarakat muslim menjadikan Syariat Islam menjadi hukum tertulis di dalam
peraturan daerah pun tidak melanggar dari asas asas pembentukan peraturan perundangan-
undangan yang baik. Seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwa perda bernuansa syariah
memenuhi asas asas formal dan materil dari pembentukan perundang-undangan yang baik,
dimulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/ penetepan dan
sampai yang terakhir adalah tahap pengundangan.
Kontra Terhadap Perda Syariah
Pada 13 Juni 2006, sejumlah 56 anggota DPR dari unsur Partai Damai Sejahtera (PDS)
dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyampaikan “memorandum” menolak
dan meminta Presiden mencabut berbagai Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengenai
“antimaksiat” yang diindikasikan bermuatan materi syariat Islam. Pemberlakuan Perda
tersebut dinilai melanggar konstitusi dan Pancasila. Perda yang dinilai bermasalah oleh
sejumlah anggota DPR RI bukan karena alasan menghambat investasi di daerah, tetapi
disinyalir Perda bermasalah karena bermuatan materi syariat Islam.6
Dari kalangan yang kontra terhadap Perda Syariah mereka mengatakan bahwa perda
syariah tidak sejalan dengan konstitusi dan juga pancasila. Mereka beranggapan bahwa
pancasila tidak sama dengan syariat islam. Dengan adanya peraturan daerah yang bernuansa
syariah akan tercipta diskriminasi hukum, yaitu peraturan tersebut hanya menguntungkan
penduduk muslim.
Langkah yang dilakukan oleh umat islam dalam membuat peraturan daerah
bernuasna syariah sejalan dengan teori utilitarianisme dalam aliran filsafat hukum. Teori
utilitarianisme mengatakan bahwa kebahagiaan (kesejahteraan) dapat dirasakan oleh setiap
individu, tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar
kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa)
tersebut (the greatest happiness for the greatest number of people).7


5
Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan hubungannya dengan Konstitusi: JURNALHUKUM
VOL. 17 No. 1 (JANUARI 2010). Hal. 136

6
Lihat Tempo, 14 Mei 2006.

7
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006). Hal. 177.
Teori utilitarianisme diatas tidak sejalan dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Indonesia mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dimana tidak ada perbedaan yang
membawa kesejateraan di satu pihak dan ketidakadilan di pihak lain. Umat Islam berpikir
bahwa dibuatnya perda syariah bisa membuat keadilan dan kesejahteraan masyarakat, pada
faktanya kesejahteraan tersebut bisa membawa ketidakadilan bagi pihak lain. Contoh, Perda
Syariah yang berisikan mengenakan busana muslimah yang tertuang dalam Surat Imbauan
Gubernur Sumatera Barat Nomor 260/421/X/PPr-05. Bagi Umat Islam mengenakan busana
muslimah merupakan suatu kewajiban, tetapi bagaimana dengan kalangan non muslim, yang
tidak ada kewajiban dalam hal menutup aurat?. Peraturan yang mengatur hal moralitas dalam
syariat Islam, seharusnya tidak diperlukan untuk diformalkan dalam peraturan daerah, karena
seharusnya umat islam pun bisa menaati peraturan tersebut dikarenakan sudah tertulis di
dalam al-quran dan hadis, dan atau sumber hukum islam lainnya.
Kesimpulan
Dari pendapat pro-kontra perda bernuansa syariah, faktor yang amat perlu
diperhatikan dalam pembuatan perda adalah (1) mengutamakan keadilan, (2) jangan
bertentangan dengan ketentuan hak-hak dan kewajiban asasi manusia seperti yang tertera di
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (3) berdasarkan
kedaulatan rakyat, artinya yang membuat itu adalah DPRD bersama- sama dengan
Pemerintah, Gubernur, atau Bupati/ Walikota, (4) Perda itu tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya, (5) Perda itu harus bermanfaat bagi masyarakat,
terutama dalam bidang ketertiban dan keamanan. Dan pada faktanya perda bernuansa
syariah sejauh ini terbukti tidak merugikan kelompok agama lain diluar agama islam. Bahkan
memberikan ketertiban umum yang hasilnya dirasakan oleh seluruh masyarakat daerah
tersebut. Dengan demikian perda bernuansa syariah tersebut terbukti turut memberikan
kontribusi dalam pembangunan sistem hukum nasional.
Perda bernuansa Syariah tidak bertentangan dengan Pancasila, dan juga mengikuti
asas asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Sila pertama
ketuhanan yang maha esa mengajarkan bahwa agama adalah pedoman kita dalam
kehidupan, dan umat islam pun berusaha agar menjadikan ajaran ajaran agamanya untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan bernegara dan bermasyarkat. Pengundangan peraturan
daerah bernuansa syariah tidak hanya dilakukan oleh satu pihak ataupun demi kepentingan
politik semata, tetapi muncul dari aspirasi masyarakat daerah tersebut, demi kemaslahatan
dan kesejahteraan bersama.
Apabila memang ada keberatan mengenai peraturan daerah yang bernuansa syariah,
maka bisa dilakukan judicial review ke mahkamah agung, sesuai dengan Undang-undang
nomor 12 tahun 2011, pasal 9 ayat 2 “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.”



Daftar Pustaka
Alim, M.: Perda Bernuansa Syariah dan hubungannya dengan Konstitusi. JURNALHUKUM VOL.17 No.
1 JANUARI 2010.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2006). Hal. 103-106.
Majalah Tempo. 14 Mei 2006.
Na’imah, H.Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara-Agama dalam Perspektif Pancasila. Jurnal
Pemikiran Hukum Islam. Vol XV No. 2. Desember 2016.
Majalah Tempo. 14 Mei 2006.
Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013.

Anda mungkin juga menyukai