A. Pengantar
Sebelum membahas konsepsi Ketuhanan dalam Islam, ada baiknya memahami terlebih
dahulu konsepsi Ketuhanan berbagai agama dan kepercayaan. Pembahasan pendahuluan ini
dipandang perlu karena seseorang akan lebih bisa mengenal kebenaran jika mengetahui
kebatilan, sebagaimana cahaya dikenal dengan baik jika kegelapan telah dialami sebelumnya.
Orang sehat benar-benar memahami arti kesehatan jika sebelumnya pernah mengalami sakit.
Pentingnya mempelajari kejahiliyahan juga pernah dinyatakan oleh Umar bin Khatthab
radhiyallaahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrok. Beliau
berkata:
" َﻗ ْﺪ َﻋﻠِ ْﻤ ُﺖ َو َر ﱢب ْاﻟ َﻜ ْﻌﺒَ ِﺔ َﻣﺘَﻰ:ﻮل ُ ﯾَ ُﻘ،ﺿ َﻲ اﷲﱠُ َﻋ ْﻨ ُﻪ ِ ْﻦ ْاﻟ َﺨ ﱠﻄ
ِ ﺎب َر َ َﺳ ِﻤ ْﻌ ُﺖ ُﻋ َﻤ َﺮ ﺑ:ﺎل َ َﻗ،ْﻦ ِ ﺼﯿ َ ْﻦ ْاﻟ ُﺤ ﱢ ْ
ِ َﻋ ِﻦ اﻟ ُﻤ ْﺴﺘَ ِﻈﻞ ﺑ
»ﻫ َﺬا
َ ﺎﻫﻠِ ﱠﯿ ِﺔ ِ ِﺞ أَ ْﻣ َﺮ ْاﻟ َﺠ
ْ َوﻟَ ْﻢ ُﯾﻌَﺎﻟ،ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢَ ﻮلَ اﻟﺮ ُﺳ
ﺼ َﺤ ِﺐ ﱠ ْ َ إِ َذا َوﻟِﻲ أَ ْﻣ َﺮ ُﻫ ْﻢ َﻣ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﯾ:ﺗَ ْﻬﻠِ ُﻚ ْاﻟ َﻌ َﺮ ُب
– ﺻﺤﯿﺢ8318[ ﻣﻦ ﺗﻠﺨﯿﺺ اﻟﺬﻫﺒﻲ- ُﺨ ِﺮ َﺟﺎ ُه« ]اﻟﺘﻌﻠﯿﻖ ْ َوﻟَ ْﻢ ﯾ،اﻹ ْﺳﻨَﺎ ِد ْ ُ ﺻ ِﺤ
ِ ﯿﺢ َ ﯾﺚ ٌ َﺣ ِﺪ
Dari Al-Mustadhill bin Al-Hushoin beliau berkata, aku mendengar Umar bin Al-Khattab berkata:
“Sungguh aku telah mengetahui, demi Pemilik Ka’bah, kapan orang-orang Arab itu binasa.
Yakni ketika yang mengurus urusan mereka adalah orang yang tidak menjadi sahabat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan tidak pernah memahami jahiliyah”.[1]
Ibnu Taimiyyah juga menyebut makna ini dengan redaksi yang sedikit berbeda. Dalam
kitabnya; Minhaj As-Sunnah beliau menyitir ucapan umar sebagai berikut:
َ َ ُ إِﻧﱠ َﻤﺎ ﺗُ ْﻨ َﻘ:- ﺿ َﻲ اﷲﱠُ َﻋ ْﻨ ُﻪ
اﻹ ْﺳ َﻼ ِم َﻣ ْﻦ ﻟَ ْﻢ
ْ ْ
ِ اﻹ ْﺳ َﻼ ِم ُﻋ ْﺮ َو ًة ُﻋ ْﺮ َو ًة إِذا ﻧَ َﺸﺄ ِﻓﻲ
ِ ﺾ ُﻋ َﺮى ِ ْﻦ ْاﻟ َﺨ ﱠﻄ
ِ َر- ﺎب ُ ﺎل ُﻋ َﻤ ُﺮ ﺑَ َﻗ
ﱠﺔ ِ ف ْاﻟ َﺠ
َ ﺎﻫﻠِﯿ ِ ﯾَ ْﻌ ِﺮ
Umar bin Al-Khattab berkata: “Sesungguhnya simpul-simpul Islam itu dapat terurai sesimpul
demi sesimpul jika muncul dalam Islam orang yang tidak mengenal jahiliyah.”[2]
Artinya, orang yang tidak mengenal jahiliyah justru berbahaya karena ia tidak akan mengenal
kebenaran Islam. Dia tidak akan bisa membedakan yang haq dan yang batil yang mana hal
tersebut justru bisa menimbulkan syubhat-syubhat. Maka dari itu, mengenal kebathilan menjadi
penting agar seseorang bisa mengenal kebenaran.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Sayyid Quthub dalam kitabnya; Khoshois At-
Tashowwur Al-Islami Wa Muqowwimatuhu. Beliau berkata:
وﺿﺮورة ﻫﺬا اﻻﻧﻔﻜﺎك ﻋﻦ اﻟﻀﻼﻻت اﻟﺘﻲ ﻛﺎﻧﺖ اﻟﺒﺸﺮﯾﺔ،وﻻ ﯾﺪرك اﻹﻧﺴﺎن ﺿﺮورة ﻫﺬه اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ
ﺣﺘﻰ ﯾﻄﻠﻊ ﻋﻠﻰ ﺿﺨﺎﻣﺔ ذﻟﻚ... وﺿﺮورة اﻻﺳﺘﻘﺮار ﻋﻠﻰ ﯾﻘﯿﻦ واﺿﺢ ﻓﻲ أﻣﺮ اﻟﻌﻘﯿﺪة،ﺗﺎﺋﻬﺔ ﻓﻲ ﻇﻠﻤﺎﺗﻬﺎ
واﻟﺸﻌﺎﺋﺮ، واﻷﻓﻜﺎر واﻷوﻫﺎم، واﻟﻔﻠﺴﻔﺎت واﻷﺳﺎﻃﯿﺮ، ﻣﻦ اﻟﻌﻘﺎﺋﺪ واﻟﺘﺼﻮرات، وﺣﺘﻰ ﯾﺮﺗﺎد ذﻟﻚ اﻟﺘﯿﻪ،اﻟﺮﻛﺎم
وﺣﺘﻰ، اﻟﺘﻲ ﺟﺎء اﻹﺳﻼم ﻓﻮﺟﺪﻫﺎ ﺗﺮﯾﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻀﻤﯿﺮ اﻟﺒﺸﺮي ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎن، واﻷوﺿﺎع واﻷﺣﻮال،واﻟﺘﻘﺎﻟﯿﺪ
اﻟﺘﻲ دﺧﻠﻬﺎ اﻟﺘﺤﺮﯾﻒ، اﻟﺘﻲ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺘﺨﺒﻂ ﻓﯿﻬﺎ ﺑﻘﺎﯾﺎ اﻟﻌﻘﺎﺋﺪ اﻟﺴﻤﺎوﯾﺔ،ﯾﺪرك ﺣﻘﯿﻘﺔ اﻟﺒﻠﺒﻠﺔ واﻟﺘﺨﻠﯿﻂ واﻟﺘﻌﻘﯿﺪ
واﻟﺘﻲ اﻟﺘﺒﺴﺖ ﺑﺎﻟﻔﻠﺴﻔﺎت واﻟﻮﺛﻨﯿﺎت واﻷﺳﺎﻃﯿﺮ ﺳﻮاء، واﻹﺿﺎﻓﺎت اﻟﺒﺸﺮﯾﺔ إﻟﻰ اﻟﻤﺼﺎدر اﻹﻟﻬﯿﺔ،واﻟﺘﺄوﯾﻞ
Manusia tidak akan pernah bisa memahami pentingnya risalah Islam ini dan pentingnya untuk
terlepas dari kesesatan yang ummat sekarang ini tengah bingung di tengah kegelapannya,
serta tidak akan mengetahui pentingnya berada dalam keyakinan yang jelas dalam aqidah,
sampai dia bisa memahami besarnya gulungan ketersesatan itu, sehingga ia bisa mencari
ketersesatan itu baik berupa aqidah-aqidah, persepsi-persepsi, filsafat-filsafat, dongeng-
dongeng, pemikiran-pemikiran, ilusi-ilusi, syi’ar-syi’ar, tradisi-tradisi, kondisi-kondisi yang Islam
itu datang dan mendapati hal-hal tersebut sudah menguasai umumnya hati nurani manusia di
setiap tempat. Dia tidak akan memahami itu sampai dia bisa memahami hakikat kekacauan dan
pencampuradukan serta keruwetan dari aqidah-aqidah agama samawi yang kacau,
pengubahan ta’rif dan takwil yang masuk dalam agama mereka serta tambahan-tambahan yang
dilakukan oleh manusia dalam sumber-sumber ilahiyah yang mereka miliki sehingga
tercampurlah keyakinan mereka itu dengan filsafat-filsafat keberhalaan dan dongeng-dongeng.
[3]
Inti dari pernyataan beliau adalah, orang tidak akan mengerti betul pentingnya risalah Islam
kalau tidak mengetahui kekacauan paganisme atau agama non samawi, termasuk pula
memahami kekacauan agama samawi yang dulunya tauhid tetapi kemudian tercampur dengan
pemikiran-pemikiran manusia. Jika seseorang sudah memahami itu semua maka ia akan tahu
betapa agung dan pentingnya risalah Islam dan akan benar-benar memahami apa
sesungguhnya tujuan dari risalah Islam ini.
Untuk memahami berbagai kekeliruan, dalam hal ini adalah kepercayaan yang ada dalam
berbagai agama, tentu idealnya kita mempelajari seluruh kepercayaan yang ada di dunia. Akan
tetapi kita bisa mempelajari tiga konsep Ketuhanan utama yang cukup mewakili berbagai
kepercayaan keliru yang ada di dunia. Tiga konsep Ketuhanan tersebut adalah: 1) konsep
Ketuhanan orang-orang Romawi 2) konsep Ketuhanan agama samawi yang menyimpang, 3)
konsep Ketuhanan orang-orang Arab sebelum Nabi Muhammad diutus
B. Konsepsi Ketuhanan Berbagai Agama & Kepercayaan
1. Konsepsi Ketuhanan Bangsa Romawi
Konsep Ketuhanan orang-orang Romawi mirip dengan konsep Ketuhanan orang-orang
Yunani, hanya saja berbeda dalam penamaan dewa-dewa mereka. Oleh karena itu, konsep
Ketuhanan Romawi ini cukup mewakili untuk memahami konsep kepercayaan tehadap
dewa-dewa yang ada di dunia termasuk di dalamnya kepercayaan agama Hindu.
Menurut keyakinan orang-orang Romawi, Tuhan berjumlah banyak. Setiap urusan
manusia ada Tuhan tersendiri yang mengurusnya. Dalam urusan kesehatan, misalnya, ada
dewa tersendiri yang mengurusnya. Begitu pun dalam hal pengetahuan, cinta, bahkan
menjaga anak sekolah. Namun,diantara Tuhan-Tuhan yang banyak itu, dalam keyakinan
mereka ada satu Tuhan/dewa utama yang diyakini menjadi raja dari seluruh Tuhan, yaitu
Tuhan Yupiter atau Tuhan Zeus dalam kepercayaan Yunani. Dengan meneliti kisah-kisah
seputar dewa/Tuhan mereka, dapatlah dipahami bahwa mereka menggambarkan Yupiter
dan Tuhan-Tuhan lainnya dengan gambaran sifat seperti manusia.
Diceritakan bahwa, suatu hari Yupiter marah kepada dewa pengobatan yang bernama
Asklepios (Aesculapius/ Vediovis) karena dia mengobati orang sakit sampai-sampai bisa
menghidupkan orang yang mati dan mengambil bayaran untuk itu. Yupiter marah sebab hal
itu telah melawan hukum alam karena orang yang mati dan sakit juga diperlukan untuk
menjaga keseimbangan alam.
Selain itu, Yupiter juga marah pada Prometheus yakni dewa pengetahuan dan
kerajinan. Yupiter marah padanya karena Prometheus mengajarkan cara menggunakan api
dan pengetahuan sehingga hal itu membuat manusia mampu melawan Tuhan. Maka dari itu
Yupiter menghukumnya dengan hukuman yang kekal. Ia mengikat dewa Prometheus di
sebuah gunung yang terpencil dan mengirimkan burung-burung ganas yang akan memakan
hatinya. Saat malam tiba, hatinya akan utuh kembali dan siang harinya burung-burung ganas
itu akan datang kembali memakan hatinya. Filosof Hesiodos memberikan cerita versi lain
tentang sebab marahnya Yupiter kepada Prometheus. Konon, suatu hari Yupiter
mengadakan pesta Tuhan. Prometheus mengambilkan makanan untuk Yupiter, namun
makanan yang diambilkannya mengandung tulang yang banyak sedangkan daging dan
lemak yang sedikit. Hal itu membuat Yupiter marah kepada Prometheus karena
mengambilkan makanan yang tidak disukainya. Ironinya, filusuf Hesiodos ini adalah yang
termasuk berusaha mati-matian menggambarkan positif tentang kesucian dan keagungannya
Yupiter, sementara pada saat yang sama ia menggambarkan bahwa Yupiter adalah seorang
yang rakus dan gila makan.
Dalam cerita lain, orang Romawi menggambarkan bahwa Yupiter juga menipu istrinya,
Yuno. Diceritakan bahwa Yupiter adalah dewa yang suka main perempuan sementara
istrinya adalah seorang yang sangat pencemburu. Ia tidak ingin istrinya marah ketika dia
sedang berselingkuh. Maka dari itu ia berkonspirasi dengan dewa awan. Ia meminta agar
dewa menutup matahari dengan awan agar ketika matahari telah terbit dunia tetap gelap
sehingga Yuno tidak bisa menemukannya atau mengagetkannya ketika ia sedang
berselingkuh dengan kekasih-kekasihnya di Olympus[4].
Seperti itulah gambaran ringkas bagaimana orang-orang Romawi menggambarkan
Tuhan-Tuhan mereka. Tentunya masih banyak cerita yang lain. Cerita di atas adalah contoh
dari bagaimana mereka menggambarkan Tuhan tertinggi mereka. Setidaknya ada gambaran
bagi kita bagaimana Tuhan-Tuhan mereka secara umum dengan mengetahui bagaimana
Tuhan tertinggi mereka digambarkan.
Daftar Pustaka
1. Ad-Darimi, Abu Muhammad. 1987. Sunan Ad-Darimi. Beirut: dar Al-Kitab Al-‘Arobi
2. Al-Ashbahani, Abu Nu’aim. 1998. Ma’rifatu Ash-Shohabah. Ar-Riyadh: Dar Al-Wathon.
3. Al-Asyqor, Sulaiman. 1999. Al-‘Aqidah Fi Allah (Cet.ke-12). Urdun: Dar An-Nafais.
4. Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. 1987. Shahih Bukhari. Beirut: Dar Ibni Katsir.
5. Al-Hakim, Abu Abdillah. 1990. Al-Mustadrok ‘Ala Ash-Shohihain. Beirut: Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah.
6. Asy-Syarqowi, Abdullah.1993. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil
7. Ibnu Hisyam, Abu Muhammad. 1955. As-Siroh An-Nabawiyyah. Mishr. Syarikah Maktabah
Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi Al-Halabi.
8. Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 1986. Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah Fi Naqdi
kalami Asy-Syi’ah Al-Qodariyyah. Saudi Arabia: Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-
Islamiyyah.
9. Jewish Publication Society. Tanpa Tahun. English translation of Holy Torah.
http://www.ishwar.com/judaism/holy_torah/. Diakses tanggal 19 Oktober 2014
10. Muslim, Abu Al-Husain. Tanpa Tahun. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ At-Turots.
11. Quthb, Sayyid. 2002. Khoshois At-Tashowwur Al-Islami Wa Muqowwimatuhu (cet.ke-15). Al-
Qohiroh: Dar Asy-Syuruq
[1] Al-Hakim, Abu Abdillah. Al-Mustadrok ‘Ala Ash-Shohihain. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. 1990. Juz 4 hlm 475. Al-
Hakim mengatakan bahwa hadits tersebut shahih sanadnya, begitu pun Adz-Dzahabi.
[2] Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah Fi Naqdi kalami Asy-Syi’ah Al-Qodariyyah.
Saudi Arabia:Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah. 1986. Juz 2 hlm 398.
[3] Quthb, Sayyid. Khoshois At-Tashowwur Al-Islami Wa Muqowwimatuhu (cet.ke-15). Al-Qohiroh:Dar Asy-Syuruq. 2002.
Hlm 25.
[4] Al-Asyqor, Sulaiman. Al-‘Aqidah Fi Allah (Cet.ke-12). Urdun: Dar An-Nafais. 1999. Hlm 278.
[6] Al-Asyqor, Sulaiman. Al-‘Aqidah Fi Allah (Cet.ke-12). Urdun: Dar An-Nafais. 1999. Hlm 281.
[7] Jewish Publication Society. English translation of Holy Torah. http://www.ishwar.com/judaism/holy_torah/. Tanpa Tahun.
Diakses tanggal 19 Oktober 2014
[8] Al-Asyqor, Sulaiman. Al-‘Aqidah Fi Allah (Cet.ke-12). Urdun: Dar An-Nafais. 1999. Hlm 383
[9] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 35.
[10] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 284.
[11] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 35.
[12] Haikal adalah kuil Nabi Sulaiman di Al-Quds
[13] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 36.
[14] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 36.
[15] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 285.
[16] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 36.
[17] Al-Asyqor, Sulaiman. Al-‘Aqidah Fi Allah (Cet.ke-12). Urdun: Dar An-Nafais. 1999. Hlm 286.
[18] Asy-Syarqowi, Abdullah. Al-Kanzu Al-Marshud Fi Qowa’idi At-Talmud. Mishr: Dar Al-Jil. 1993. Hlm 37.
[19] Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih Bukhari. Beirut: Dar Ibni Katsir. 1987. Juz 11 Hlm 347.
[20] Al-Asyqor, Sulaiman. Al-‘Aqidah Fi Allah (Cet.ke-12). Urdun: Dar An-Nafais. 1999. Hlm 287-291.
[21] Ibnu Hisyam, Abu Muhammad. As-Siroh An-Nabawiyyah. Mishr. Syarikah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthofa Al-Babi
Al-Halabi. 1955. Juz 1 halaman 77.
[22] Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih Bukhari. Beirut: Dar Ibni Katsir. 1987. Juz 13 hlm 280.
[23] Ad-Darimi, Abu Muhammad. Sunan Ad-Darimi. Beirut: dar Al-Kitab Al-‘Arobi. 1987. Juz 1 hlm 14.
[24] Muslim, Abu Al-Husain. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ At-Turots. Tanpa Tahun. Juz 12 hlm 24.
[25] Al-Asyqor, Sulaiman. Al-‘Aqidah Fi Allah (Cet.ke-12). Urdun: Dar An-Nafais. 1999. Hlm 292-294.
[26] Al-Quran Al-Karim. Surah Shod ayat 5.