Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apakah etika kefarmasian itu?


Perhatikan kaus-kasus berikut ini, yang sangat mungkin terjadi hampir di
semua negara:

1. Apoteker M menjadi penanggungjawab apotek di Kota W yang sekaligus


sebagai pemilik sarana apotek. Suatu saat ia mendapatkan tawaran untuk
menjadi penanggungjawab PBF PP dan ia menerima tawaran tersebut.
Tanpa melepas status sebagai APA, ia menjadi penanggungjawab PBF PP.
Untuk mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan (PBF PP),
apoteker M melakukan kerjasama dengan apotek miliknya untuk
mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit-
rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2%
faktur penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap
(surat pesanan, faktur pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat
pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek,
pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkandengan
rapi sehingga setiap ada pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya
penyimpangan secara administrasi.
2. P, apoteker praktek di sebuah kota kecil, didekati oleh organisasi
penelitian agar ikut serta dalam uji klinik suatu obat AINS untuk
osteoartritis. Dia ditawari sejumlah uang untuk setiap pasien yang dia ikut
sertakan dalam uji tersebut. Wakil organisasi tersebut meyakinkan bahwa
penelitian ini telah mendapatkan semua ijin yang diperlukan termasuk dari
Komite Etik Kedokteran. Apoteker P belum pernah ikut serta dalam uji
klinik sebelumnya dan merasa senang dengan kesempatan ini, terutama
dengan uang yang ditawarkan. Dia menerima tawaran tersebut tanpa lebih
jauh lagi menanyakan aspek etis dan ilmiah dari penelitian tersebut.
3. dll

Dari setiap kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut


menimbulkan pertanyaan mengenai pembuatan keputusan  dan tindakan
apoteker bukan dari segi ilmiah ataupun teknis seperti bagaimana
menangani resep atau produksi obat ataupun bagaimana melakukan
penelitian yangsesuai dengan ethicalclearence, namun pertanyaan yang
muncul adalah mengenai nilai, hak-hak, dan tanggung jawab. Apoteker
akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini sesering dia menghadapi
pertanyaan ilmiah maupun teknis.  Di dalam praktek kedokteran, tidak
peduli apakah spesialisasinya maupun tempat kerjanya, beberapa
pertanyaan lebih mudah dijawab dibandingkan pertanyaan lain. Jadi
apakah sebenarnya etika itu dan bagaimanakah etika dapat menolong
apoteker berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Secara
sederhana etika merupakan kajian mengenai moralitas – refleksi terhadap
moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan
moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa
mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan
tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata
seperti ’hak’, ’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan
’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’.

1.2 Rumusan Masalah

Mengapa harus belajar etika kefarmasian?


Ini beberapa alasan umum yang dikemukakan untuk tidak memberikan
pelajaran etika kefarmasian di kurikulum farmasi padahal etika
mempunyai peran yang besar dalam kurikulum sekolah pendidikan
apoteker.
1. ”Asalkan apoteker memiliki pengetahuan dan keterampilan,
maka etika tidak akan jadi masalah”
2. ”Etika itu dipelajari di dalam keluarga, tidak di sekolah
kefarmasian”
3. ”Etika kefarmasian dipelajari dengan mengamati bagaimana
apoteker senior bertindak, bukan dari buku atau kuliah”
4. ”........etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi
terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis
terhadap keputusan moral dan perilaku.......”
5. ”Etika itu penting, tapi kurikulum kita sudah terlalu penuh dan
tidak ada ruang untuk mengajarkan etika” 
Sebagian, hanya sebagian saja, yang valid. Secara bertahap sekolah-
sekolah pendidikan apoteker di dunia mulai menyadari bahwa mereka
perlu membekali mahasiswanya dengan sumber dan waktu yang cukup
untuk belajar etika.  Etika merupakan dan akan selalu menjadi komponen
yang penting dalam praktek pengobatan. Etika juga penting dalam
hubungan apoteker dengan masyarakat dan kolega mereka dan dalam
melakukan penelitian kedokteran. Sangat sering,  bahkan etika membuat
standar perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika
memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar hukum yang menyuruh
melakukan tindakan yang tidak etis.
BAB II
ISI

2.1 ETIKA KEFARMASIAN, PROFESIONALISME, HAK ASASI


MANUSIA DAN HUKUM
Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan
setidaknya sejak masa Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani yang
dianggap sebagai pelopor etika kedokteran pada abad ke-5 SM. Dari
Hippocrates muncul konsep pengobatan sebagai profesi, dimana ahli
pengobatan membuat janji di depan masyarakat bahwa mereka akan
menempatkan kepentingan pasien mereka di atas kepentingan mereka
sendiri. Saat ini etika kedokteran telah banyak dipengaruhi oleh
perkembangan dalam hak asasi manusia.
Etika kefarmasian juga sangat berhubungan dengan hukum.
Hampir di semua negara ada hukum yang secara khusus mengatur
bagaimana dokter harus bertindak berhubungan dengan masalah etika
dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan
memberikan ijin praktek apoteker di setiap negara bisa dan memang
menghukum apoteker yang melanggar etika. Namun etika dan hukum
tidaklah sama. Bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi
dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk
melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis.
Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap negara sedangkan etika dapat
diterapkan tanpa melihat batas negara. Namun pengobatan ilmiah memiliki
keterbatasan terutama jika berhubungna dengan manusia secara individual,
budaya, agama, kebebasan, hak asasi, dan tanggung jawab. Seni
pengobatan melibatkan aplikasi ilmu dan teknologi pengobatan terhadap
pasien secara individual, keluarga, dan masyarakat sehingga keduanya
tidaklah sama. Lebih jauh lagi bagian terbesar dari perbedaan individu,
keluarga, dan masyarakat  bukanlah non-fisiologis namun dalam mengenali
dan berhadapan dengan perbedaan-perbedaan ini di mana seni,
kemanusiaan, dan ilmu-ilmu sosial bersama dengan etika, memiliki peranan
yang penting. Bahkan etika sendiri diperkaya oleh disiplin ilmu yang lain,
sebagai contoh, presentasi dilema klinis secara teatrikal dapat menjadi
stimulus yang lebih baik dalam refleksi dan analisis etis dibanding deskripsi
kasus sederhana.
Secara umum apoteker diharapkan dapat mengaktualisasikan
prinsip etika profesi dengan derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain.
Prinsip etika profesi itu meliputi belas kasih, kompeten, dan otonomi.
1. Belas kasih, memahami dan perhatian terhadap masalah orang
lain, merupakan hal yang pokok dalam praktek pengobatan.
Agar dapat mengatasi masalah pasien, apoteker harus
memberikan perhatian terhadapkeluhan/gejala yang dialami
pasien dan memberikan nasehat yang meredakan gejala
tersebut dengan pengobatan dan harus bersedia membantu
pasien mendapatkan pertolongan. Pasien akan merespon
dengan lebih baik jika dia merasa bahwa apotekernya
menghargai masalah mereka dan tidak hanya sebatas
melakukan pengobatan terhadap penyakit mereka.
2. Kompetensi yang tinggi diharapkan dan harus dimiliki oleh
apoteker. Kurang kompeten dapat menyebabkan kematian atau
morbiditas pasien yang serius. Apoteker harus menjalani
pelatihan yang lama agar tercapai kompetensinya. Cepatnya
perkembangan pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian dan kedokteran, merupakan tantangan tersendiri
bagi apoteker agar selalu menjaga kompetensinya.
3. Otonomi, atau penentuan sendiri, merupakan nilai inti dari pengobatan
yang berubah dalam tahun-tahun terakhir ini. Apoteker secara pribadi telah
lama menikmati otonomi pengobatan yang tinggi dalam menetukan
bagaimana menangani pasien mereka. Apoteker secara kolektif (profesi
kesehatan) bebas dalam menentukan standar pendidikan farmasi dan
praktek pengobatan. Selain terikat dengan ketiga nilai inti tersebut, etika
kefarmasian berbeda dengan etika secara umum yang dapat diterapkan
terhadap setiap orang. Etika kefarmasian masih terikat dengan Sumpah
dan Kode Etik Apoteker. Sumpah dan kode etik beragam di setiap
negara bahkan dalam satu negara, namun ada persamaan, termasuk janji
bahwa apoteker akan mempertimbangkan kepentingan pasien diatas
kepentingannya sendiri, tidak  akan melakukan deskriminasi terhadap
pasien karena ras, agama, atau hak asasi menusia yang lain, akan menjaga
kerahasiaan informasi pasien, dan akan memberikan pertolongan darurat
terhadap siapapun yang membutuhkan.

2.2 SIAPAKAH YANG MENENTUKAN SESUATU ITU ETIS?


Etika bersifat pluralistik. Setiap orang memiliki perbedaan
terhadap penilaian benar atau salah bahkan jika ada persamaan bisa
saja hal tersebut berbeda dalam alasannya. Di beberapa masyarakat,
perbedaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal dan ada
kebebasan besar bagi seseorang untuk melakukan apa yang dia mau,
sejauh tidak melanggar hak orang lain.
Jawaban terhadap pertanyaan, ”siapakah yang menentukan sesuatu
itu etis untuk seseorang secara umum?” karena itu bervariasi dari satu
masyarakat dibanding masyarakat yang lain dan bahkan dalam satu
masyarakat sendiri. Dalam masyarakat liberal, setiap individu
memiliki kebebasan yang besar dalam menentukan bagi dirinya sendiri
apakah yang etis, walaupun sepertinya mereka akan sangat dipengaruhi
oleh keluarga, teman, agama, media, dan sumbersumber eksternal lain
yang mereka dapat. Dalam masyarakat yang lebih tradisional, keluarga
dan garis keturunan, pemimpin agama, dan tokoh politik biasanya
memiliki peran lebih besar dalam menentukan apa yang etis dan tidak
etis bagi seseorang. Terlepas dari perbedaan ini, sepertinya sebagian
besar manusia setuju dengan beberapa prinsip fundamental dari etika,
sebut saja, hak asasi manusia yang dinyatakan dalam United Nations
Universal Declaration of Human Rights serta dokumen lain yang
telah diterima dan tertulis secara resmi. Hak-hak asasi manusia yang
terutama penting dalam etika kefarmasian adalah hak untuk hidup,
bebas dari deskriminasi, bebas dari siksaan dan kekejaman, bebas dari
perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak pantas, bebas beropini dan
berekspresi, persamaan dalam mendapatkan pelayanan umum di suatu
negara, dan pelayanan kefarmasian.
Bagi apoteker, pertanyaan ”siapakah yang menentukan sesuatu etis
atau tidak?” sampai saat ini memiliki jawaban yang berbeda-beda.
Selama berabad-abad profesi kesehatan telah mengembangkan standar
perilakunya sendiri untuk anggotanya, yang tercermin dalam kode etik
dan dokumen kebijakan yang terkait. Dalam tingkatan yang global,
IPF (International Pharmachist Federation) telah menetapkan
pernyataan etis yang sangat luas yang mengatur perilaku yang
diharuskan dimiliki oleh apoteker tanpa memandang dimana dan kapan
dia berada dan melakukan praktek. Banyak ikatan apoteker di suatu
negara (jika tidak sebagian besar) bertanggung jawab terhadap
pengembangan dan pelaksanaan standar etis yang aplikatif. Standar
tersebut mungkin memiliki status legal, tergantung pendekatan negara
tersebut terhadap hukum praktek medis. Meskipun demikian,
kehormatan profesi kefarmasian tidaklah bersifat absolut. Sebagai
contoh:
1. Apoteker akan selalu dihadapkan pada hukum yang berlaku
dimana dia berada dan kadang dihukum karena melanggar
hukum.
2. Beberapa organisasi kesehatan sangat kuat dipengaruhi oleh
ajaran agama, yang mengakibatkan adanya kewajiban
tambahan terhadap anggotanya selain kewajiban apoteker
secara umum.
3. Di banyak negara organisasi yang menetapkan standar bagi
perilaku apoteker dan memonitor kepatuhan, mereka memiliki
anggota yang berpengaruh yang bukan apoteker.
Instruksi etis resmi dari organisasi profesi apoteker secara umum
sama, mereka tidak selalu dapat diterapkan di setiap situasi yang
mungkin dihadapi apoteker dalam praktek kefarmasian mereka. Di
dalam kebanyakan situasi, apoteker harus memutuskan untuk
dirinya sendiri apakah yang benar untuk dilakukan, namun dalam
mengambil keputusan tersebut, akan sangat membantu jika mereka
mengetahui apa yang dilakukan apoteker lain dalam situasi yang
sama. Kode etik apoteker dan kebijakan yang berlaku merupakan
konsensus umum bagaimana seorang apoteker harus bertindak dan
harus diikuti kecuali ada alasan yang lebih baik mengapa harus
melanggarnya.

2.3 APAKAH ETIKA KEFARMASIAN DAPAT BERUBAH?


Sampai saat ini apoteker memiliki hak dan tugas untuk memutuskan
bagaimana pasien harus diberi obat dan tidak ada keharusan mendapatkan ijin
tertulis pasien. Namun sejak Declaration on the Right of the Patient tahun
1995 dimulai dengan kalimat: “Hubungan antara dokter, pasien mereka, dan
masyarakat yang lebih luas telah mengalami perubahan yang nyata saat ini.
Walaupun seorang dokter harus selalu bertindak benar menurut pemikirannya,
dan selalu berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien, usaha yang sama juga
harus tetap dilakukan dalam menjamin otonomi dan keadilan pasien”. Saat ini
orang-orang mulai berfikir bahwa diri mereka sendiri merupakan penyedia
kesehatan utama bagi mereka sendiri dan bahwa peran tenaga kesehatan
adalah bertindak sebagai konsultan dan instruktur. Walaupun penekanan
terhadap perawatan sendiri ini jauh dari keumuman, namun sepertinya terus
menyebar dan menggejala dalam perkembangan hubungan pasien-dokter-
tenaga kesehatan lainnya yang memunculkan kewajiban etik yang berbeda
bagi apoteker dibanding sebelumnya. Hingga akhir-akhir ini apoteker
menganggap diri mereka sendiri bertanggung jawab terhadap diri sendiri,
kepada kolega profesi kesehatan mereka, dan terhadap agama yang dianut,
Tuhan Yang Maha Kuasa. Saat ini, mereka memiliki tanggung jawab
tambahan – terhadap pasien mereka, kepada pihak ketiga seperti rumah sakit,
organisasi yang mengambil keputusan medis terhadap pasien, kepada
pemegang kebijakan dan perijinan praktek, dan bahkan sering kepada
pengadilan. Berbagai tanggung jawab yang berbeda ini dapat saling
bertentangan satu sama lain, yang akan terlihat dalam bahasan loyalitas ganda.
Etika kefarmasian juga telah berubah dengan cara yang lain. Ontoh
keterlibatan dalam aborsi dilarang dalam kode etik dokter sampai beberapa
saat yang lalu, namun sekarang dapat ditoleransi dalam kondisi tertentu oleh
profesi kesehatan di beberapa negara. Sedangkan dalam etika kedokteran
tradisional dokter hanya bertanggung jawab terhadap pasien mereka secara
pribadi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis memunculkan
masalah etis baru yang tidak dapat dijawab oleh etika kefarmasian tradisional.

APAKAH ETIKA KEFARMASIAN BERBEDA DI SETIAP NEGARA?


Dalam merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi medis
dan nilai-nilai sosial, maka etika kefarmasian bervariasi dari satu negara
dengan negara yang lain tergantung faktot-faktor tersebut. Suatu contoh pada
kasus euthanasia, terdapat perbedaan yang nyata terhadap opini dari ikatan
dokter di setiap negara. Beberapa organisasi mengutuknya, sedangkan Ikatan
Dokter Kerajaan Belanda memperbolehkannya dalam kondisi tertentu.
Demikian juga yang berhubungan dengan kesempatan memperoleh pelayanan
medis, beberapa ikatan dokter disuatu negara mendukung persamaan hak
untuk semua warga negara, sedangkan di negara lain mentoleransi
ketidaksamaan hak memperoleh pelayanan kesehatan bagi warganya. Di
beberapa negara ada ketertarikan yang besar terhadap masalah-masalah etik
yang muncul karena adanya kemajuan teknologi pengobatan sedangkan di
negara yang tidak memiliki akses terhadap teknologi tersebut, masalah-
masalah etik tentu tidak muncul. Apoteker di beberapa negara cukup yakin
bahwa mereka tidak akan ditekan oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu
yang tidak etis namun di negara lain mungkin akan sulit bagi mereka
memenuhi kewajiban etis, seperti menjaga kerahasiaan pasien jika berhadapan
dengan polisi atau permintaan angkatan bersenjata untuk melaporkan adanya
jejak/luka yang mencurigakan pada seorang pasien.
BAGAIMANA SESEORANG MEMUTUSKAN SESUATU ITU ETIS?
Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mengambil
keputusan etis dan dalam mengimplementasikannya. Bagi apoteker secara pribadi
dan mahasiswa farmasi, etika kefarmasian tidak hanya terbatas pada rekomendasi-
rekomendasi yang dikeluarkan oleh IPF atau organisasi kesehatan yang lain
karena rekomendasi tersebut sifatnya sangat umum dan setiap orang harus
memutuskan apakah hal itu dapat diterapkan pada situasi yang sedang dihadapi
atau tidak dan terlebih lagi banyak masalah etika yang muncul dalam praktek
kefarmasian yang belum ada petunjuk bagi ikatan apoteker. Ada berbagai cara
berbeda dalam pendekatan masalah-masalah etika seperti dalam contoh kasus
pada bagian awal tulisan ini. Secara kasar cara pendekatan penyelesaian masalah
etika dapat dibagi menjadi dua kategori rasional dan non-rasional. Penting untuk
mengingat bahwa non-rasional bukan berarti irrasional namun hanya dibedakan
dari sistematika, dan alasan yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan.

1. Pendekatan-pendekatan non-rasional:
 Kepatuhan merupakan cara yang umum dalam membuat keputusan etis,
terutama oleh anak-anak dan mereka yang bekerja dalam struktur kepangkatan
(militer, kipolisian, beberapa organisasi keagamaan, berbagai corak bisnis).
Moralitas hanya mengikuti aturan atau perintah dari penguasa tidak memandang
apakah anda setuju atau tidak.
 Imitasi serupa dengan kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang
terhadap benar dan salah dan mengambil penilaian orang lain sebagai acuan
karena dia adalah panutan. Moralitas hanya mengikuti contoh yang diberikan oleh
orang yang menjadi panutan.
 Perasaan atau kehendak merupakan pendekatan subjektif terhadap keputusan
dan perilaku moral yang diambil. Yang dianggap benar adalah apa yang dirasakan
benar atau dapat memuaskan kehendak seseorang sedangkan apa yang salah
adalah yang dirasakan salah atau tidak sesuai dengan kehendak seseorang.
 Intuisi merupakan persepsi yang terbentuk dengan segera mengenai
bagaimana bertindak di dalam sebuah situasi tertentu. Intuisi serupa dengan
kehendak dimana sifatnya sangat subjektif, namun berbeda karena intuisi terletak
pada pemikiran dibanding keinginan. Karena itu intuisi lebih dekat kepada bentuk
rasional dari keputusan etis yang diambil dari pada kepatuhan, imitasi, perasaan,
dan kehendak.  Kebiasaan merupakan metode yang sangat efisien dalam
mengambil keputusan moral karena tidak diperlukan adanya pengulangan proses
pembuatan keputusan secara sistematis setiap masalah moran muncul dan sama
dengan masalah yang pernah dihadapi. Walaupun kebiasaan ini sangat berguna,
namun kita tidak boleh terlalu mengandalkannya.

2. Pendekatan rasional:
 Deontologi melibatkan pencarian aturan-aturan yang terbentuk dengan baik
yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan keputusan moral seperti
”perlakukan manusia secara sama”. Dasarnya dapat saja agama (seperti
kepercayaan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah sama) atau juga non-
religius (seperti manusia memiliki gen-gen yang hampir sama).
 Konsekuensialisme mendasari keputusan etis yang diambil karena merupakan
cara analisis bagaimana konsekuensi atau hasil yang akan didapatkan dari
berbagai pilihan dan tindakan. Tindakan yang benar adalah tindakan yang
memberikan hasil yang terbaik. Tentunya ada berbagai perbedaan mengenai
batasan hasil yang terbaik.
 Prinsiplisme, seperti yang tersirat dari namanya, mempergunakan prinsip-
prinsip etik sebagai dasar dalam membuat keputusan moral. Prinsip-prinsip
tersebut digunakan dalam kasus-kasus atau keadaan tertentu untuk menentukan
hal yang benar yang harus dilakukan, dengan tetap mempertimbangkan aturan dan
konsekuensi yang mungkin timbul. Prinsiplisme sangat berpengaruh dalam debat-
debat etika baru-baru ini terutama di Amerika. Keempat prinsip dasar,
penghargaan otonomi, berbuat baik berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien,
tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti pasien serta keadilan merupakan
prinsip dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan etik di dalam
praktek. Prinsip-prinsip tersebut jelas memiliki peran yang penting dalam
pengambilaan keputusan rasional walaupun pilihan terhadap keempat prinsip
tersebut dan terutama prioritas untuk menghargai otonomi di atas yang lain
merupakan refleksi budaya liberal dari Barat dan tidak selalu universal. Terlebih
lagi keempat prinsip tersebut sering kali saling bergesekan di dalam situasi
tertentu sehingga diperlukan beberapa kriteria dan proses untuk memecahkan
konflik tersebut.
 Etika budi pekerti kurang berfokus kepada pembuatan keputusan tetapi lebih
kepada karakter dari si pengambil keputusan yang tercermin dari perilakunya.
Nilai merupakan bentuk moral unggul. Seperti disebutkan di atas, satu nilai yang
sangat penting untuk apoteker adalah belas kasih, termasuk kejujuran, bijak, dan
dedikasi. Apoteker dengan nilai-nilai tersebut akan lebih dapat membuat
keputusan yang baik dan mengimplementasikannya dengan cara yang baik juga.
Namun demikian, ada orang yang berbudi tersebut sering merasa tidak yakin
bagaimana bertindak dalam keadaan tertentu dan tidak terbebas dari kemungkinan
mengambil keputusan yang salah.
Tidak satupun dari empat pendekatan ini, ataupun pendekatan yang lain
dapat mencapai persetujuan yang universal. Setiap orang berbeda dalam memilih
pendekatan rasional yang akan dipilih dalam mengambil keputusan etik. Seperti
juga orang yang memilih pendekatan yang non-rasional. Hal ini dikarenakan
setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Mungkin
dengan mengkombinasikan keempat pendekatan tersebut maka akan didapatkan
keputusan etis yang rasional. Harus dipikirkan juga konsekuensi dari keputusan
alternatif dan konsekuensi mana yang akan diambil. Yang terakhir adalah
mencoba memastikan bahwa perilaku si pembuat keputusan tersebut dalam
membuat dan mengimplementasikan keputusan yang sudah diambil juga baik.
Proses yang dapat ditempuh adalah:
1. Tentukan apakah masalah yang sedang dihadapai adalah masalah etis.
2. Konsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan
kebijakan ikatan apoteker serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana
apoteker biasanya berhadapan dengan masalah tersebut.
3. Pertimbangkan solusi alternatif berdasarkan prinsip dan nilai yang
dipegang serta konsekuensinya.
4. Diskusikan usulan solusi anda dengan siapa solusi itu akan berpengaruh.
5. Buatlah keputusan dan lakukan segera, dengan tetap memperhatikan
orang lain yang terpengaruh.
6. Evaluasi keputusan yang telah diambil dan bersiap untuk bertindak
berbeda pada kesempatan yang lain.

ETIKA

PENGERTIAN ETIKA
Etika merupakan studi tentang nilai dengan pendekatan kebenaran. Kata
etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan
konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi yang berhubungan dengan
nilai kebenaran dan ketidakbenaran yang didasarkan atas kodrat manusia serta
manifestasinya di dalam kehendak dan perilaku manusia. Pelanggaran etika belum
tentu melanggar UU, namun hanya melanggar sumpah (etika). Sedang
pelanggaran UU pasti melanggar etika juga.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup
tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana
seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling
menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler
dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan
masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung
tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah
dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya
etika di masyarakat kita.
Dalam perkembangannya, etika sangat mempengaruhi kehidupan manusia.
Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui
rangkaian tindakan sehari-hari. Ini berarti etika membantu manusia untuk
mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada
akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang
perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat
diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini
dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan
manusianya.
Menurut Sonny Keraf, etika dapat dibagi menjadi :

a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana


manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan
etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi
pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai
baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan
dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum
dan teori-teori.
b. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud :

1)    Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan
dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-
prinsip moral dasar.
2)   Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai prilaku saya
dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi
oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana
manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral
dasar yang ada dibaliknya.

ETIKA KHUSUS dibagi lagi menjadi dua bagian :


a)  Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya
sendiri.
b)Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia
sebagai anggota umat manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia
dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga,
masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan
idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan
hidup.
Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat
dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri
sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi
atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang
paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap sesama
2. Etika keluarga
3. Etika profesi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan
6. Etika idiologi
Ada dua macam etika yang harus kita pahami dalam menentukan baik dan
buruknya perilaku manusia :

1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis


dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia
dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif
memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang
perilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai
sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam
hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian
sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan
diputuskan.

Sistematika etika dapat digambarkan sebagai berikut:


MORAL
Moral merupakan kualitas perbuatan manusia sesuai atau tidak dengan hati
nuraninya. Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia
yang beradab. Menurut etimologi, moral berasal dari kata mores (Bahasa Latin)
yang diartikan sebagai aturan kesusilaan. Kata moral selalu mengacu pada baik
buruknya manusia sebagai manusia. Di sisi lain banyak para ahli menyatakan
bahwa moral dikaitkan dengan sejumlah kewajiban-kewajiban susila, yang
meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik. Kata
susila berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu kata su yang berarti lebih baik dan sila
yang berarti dasar-dasar, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan. Jadi susila
berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
Moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk
perintah atau larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat dimana
manusia itu berada. Dalam perkembangannya, kata moral ini menjadi ”moralis –
moralitas”. Moralitas dipergunakan untuk menyebut perbutan yang memiliki
makna lebih abstrak, dimana apabila dinyatakan moralitas suatu perbuatan berarti
menunjuk baik buruknya suatu perbuatan. Bermoral atau tidaknya suatu perbuatan
tergantung dari kesadaran dan kebebasan kehendak si pelaku (manusia itu
sendiri). Kesadaran dan kebebasan kehendak itu ada alam hati manusia,
sedangkan makhluk primata lainnya tidak memiliki hal tersebut.
Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi untuk berperilaku benar
atau salah, baik atau buruk dan perbuatan yang demikian itu dikehendaki atau
tidak (obyektif) serta perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nuraninya
(subyektif).

ETIKA = / MORAL
Etika  Ethikos (bahasa Yunani)  Adat istiadat / Kebiasaan
Moral  Moralitas (bahasa Latin)  Adat istiadat / Kebiasaan
Moral  : tuntutan perilaku dan keharusan masyarakat,
Etika   : prinsip di belakang keharusan moral
(Thompson & Thompson, 1981)
Etika : sistem dari prinsip prinsp moral atau aturan perilaku
Moral: prinsip-2 yg berkaitan dg perlaku baik dan buruk
(Priharjo, 1995)

ETIKET
Etiket  Etiqutte (bahasa Prancis)  Sopan santun
Etiket  Etiket (bahasa Belanda)  Secarik kertas yang ditempel di barang
Etika (ethics)      = moral
Etiket (etiqutte) = sopan santun
Persamaan etika dan etiket:
1. Menyangkut perilaku manusia
2. Atur prilaku manusia scr normatif artinya memberi norma pd manusia apa
yg hrs dilakukan dan tdk boleh dilakukan

PERBEDAAN ETIKA & ETIKET


Etika Etiket
1. Tdk terbatas cara, namun norma 1. Menyangkut cara perbuatan hrs
perilaku itu sendiri (dg tangan mana dilakukan (memberidan menerimadg
aja bila mencuri tetap salah) tangan kanan)

2. Tdk tergantung ada/tidak ada orang 2. Berlaku dalam pergaulan,tp orang


lain lain tidak ada etiket

3. Bersifat absolut 3. Bersifat relatif

4. Memandang manusia dari sisi 4. Hanya memandang manusia dari


batiniah sisi lahiriah

Bertens, 2005

ETIKA PROFESI
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which
can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan
demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan
mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya
yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian
dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja
dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan
akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan
yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode
etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang
berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan
pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua
keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari
dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi
dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini
jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di
sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun
penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999).
SISTEM PENILAIAN ETIKA
Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik
atau jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah
menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau
budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk
perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah
dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia
lahir keluar berupa perbuatan nyata. Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa
sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat :
1. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi
masih berupa rencana dalam hati, niat.
2. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu
pekerti.
3. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau
buruk.
Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa ETIKA PROFESI
merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika
sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil.
Dan isi dari karsa inilah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal
merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang terjadi :
a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.
b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik.
c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.
d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.

PENGERTIAN PROFESI
Profesi adalah kelompok terbatas dari orang-orang yang mempunyai
keahlian khusus yang diperoleh dari pendidikan tinggi atau pengalaman yang
khusus dan dengan keahlian itu mereka dapat berfungsi dalam masyarakat untuk
berperilaku atau pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan warga
masyarakat lain pada umumnya.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang
berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian,
sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja
yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi.
Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan
hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Sejalan dengan itu, menurut
DE GEORGE, timbul kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri,
sehubungan dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul karena
banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam pengertian
profesi. Berikut pengertian profesi dan profesional menurut DE GEORGE :
PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna
waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang
tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan
mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan
tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama
sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Profesional adalah bekerja dengan tujuan mulia untuk membuat orang lain
menjadi sejahtera.
Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan
“PROFESIONAL” terdapat beberapa perbedaan :
PROFESI:
- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
- Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
PROFESIONAL:
- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
- Hidup dari situ.
- Bangga akan pekerjaannya.
CIRI-CIRI PROFESI:
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini
dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-
tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya
setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi
harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan
selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai
kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan
sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu
ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang
berada di atas rata-rata.

CIRI-CIRI PROFESI:
1. Menjalankan pekerjaan yang memerlukan dasar dari pendidikan tinggi.
2. Bekerja berdasarkan perkembangan standar sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan.
3. Pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan kemanusiaan dan
kemasyarakatan
4. Menaati kode etik profesi beserta kewenangan peradilannya dalam
menjaga kualitas pekerjaan.
5. Menjalin hubungan baik dengan asosiasi/organisasi profesi yang
berwenang norma disiplin di lingkungan intern para anggotanya.

Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain
pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka
kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang
kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan
tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.

PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI:


1. Tanggung jawab
-Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
-Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada umumnya.
2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja
apa yang menjadi haknya.
3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan
di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya.
4.
SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI :
- Melibatkan kegiatan intelektual.
- Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
- Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
- Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
- Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
- Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
- Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
- Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

Pekerjaan yang dapat kita sebut dengan profesi adalah yang mempunyai karakter
sebagai berikut;
  bekerja penuh waktu,
  orientasi kerja lebih untuk melayani daripada sekedar mencari nafkah (komitmen
untuk membantu orang lain, bahkan di luar waktu kerja),
  bekerja berdasar ilmu dan keterampilan yang didapat dari pendidikan khusus,
  bekerja secara otonom (berdasar keputusannya sendiri),
  bekerja berdasarkan etika,
  mempunyai tanda atau simbol identitas
  terorganisir dalam asosiasi profesi
(Latham, 2002).

  Etika pokok profesional kesehatan adalah:


  primum non nocere (Latin)
▪       first, do no harm
▪       primary rule, was to do no harm.
  Tenaga kesehatan yang profesional mengacu prima-facie, yaitu:
  autonomy,
  beneficence,
  non-maleficence
  justice
(Monagle & Thomasma, 1998).

  Prinsip autonomy (self-governance):


  menghormati hak pasien dalam menentukan sikap dan dilindungi kerahasiaannya.
  mencerminkan konsep bahwa professional memberikan layanan mediknya
(pengobatan) berdasarkan kehendak pasiennya.
  mengikutsertakan pasien pada penentuan pengobatan dan tindakan medis,
  harus merahasiakan informasi medis pasiennya.
  Prinsip beneficence (do good):
  meningkatkan kesejahteraan pasiennya.
  mencerminkan konsep bahwa profesional dalam pekerjaannya selalu memberikan
keuntungan bagi pasiennya.
  Prinsip non-maleficence (do no harm):
  menjauhi tindakan yang merugikan pasiennya.
  Kompetensinya harus selalu dijaga tetap tinggi dan selalu diperbarui (up-date),
serta menyadari keterbatasannya.
  Prinsip justice (fairness):
  selalu adil dalam mengobati pasien-pasiennya,
  berusaha agar semua orang mudah mendapatkan pelayanannya
(Jonsen dkk, 1982).

PERANAN ETIKA DALAM PROFESI


Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang
paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika
tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur
kehidupan bersama.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi
landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya
maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini
sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan
tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan
para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku
sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan
yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi
kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah
pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi
dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga
masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
KODE ETIK PROFESI
Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan
atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk
menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode
juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode etik; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok
tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di
tempat kerja. Kode etik: susunan moral yang normatif yang disebut etika/susila
yang dirumuskan.
MENURUT UU NO. 8 (POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN)
Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan
dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi
sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk
mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui
ketentuanketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh
kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; SUMPAH HIPOKRATES, yang
dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter.
Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT
MORAL) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat
menjadi penyeimbang segi segi negative dari suatu profesi, sehingga kode etik
ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus
juga menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakatKode etik bisa dilihat
sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran
etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada,
pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi
sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi
dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat
oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas
yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh
cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali
dapat juga membantu dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri
harus dilakukan oleh profesi yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan
baik, kode etik itu sendiri harus menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan
diri) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan
hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya
hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar.

PERKEMBANGAN KODE ETIK


1. Masyarakat primer bila terjadi pelanggaran moral penyelesaian relatif
lebih mudah
2. Masyarakat sekunder berkembang masalah moral lebih kompleks
penyelesaian lebih sulit menyadari pentingnya pembagian kerja dan upaya
spesialisasi agar semakin terampil dan bermutu untuk pelayanan yang
lebih baik bagi peningkatan kesejahteraan hidup bersama.
3. Ada sebagian ahli ( spesialis) yang bekerja tidak profesional ( amatir).
4. Garis batas demarkasi antara seorang yang profesional dengan yang tidak
profesional menjadi tidak jelas norma moral bagi pekerjaan profesi
terancam.
5. Ancaman bagi pekerjaan profesi perlu diatasi dengan menyusun norma
moral yang mudah dan jelas bagi anggota kelompok spesialis seprofesi
membedakan mana yang profesional dan mana yang tidak professional.
6. Susunan moral yang normatif disebut etika/susiladirumuskan tertulis
kode etik profesi.
TUJUAN KODE ETIK PROFESI:
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.

TUJUAN KODE ETIK:


1. Melindungi anggota organisasi untuk menghadapi persaingan pekerjaan
profesi yang tidak jujur dan untuk mengembangkan tugas profesi sesuai
dengan kepentingan masyarakat.
2. Menjalin hubungan bagi anggota profesi satu sama lain dan menjaga nama
baik profesi.
3. Merangsang pengembangan profesi  kualifikasi pendidikan yang
memadai.
4. Mencerminkan hubungan antara pekerjaan profesi dengan pelayanan
masyarakat dan kesejahteraan social.
5. Mengurangi kesalahpahaman dan konflik baik dari antar anggota maupun
dengan masyarakat umum.
6. Membentuk ikatan yang kuat bagi seuma anggota dan melindungi profesi 
terhadap pemberlakuan norma hukum yang bersifat imperatif sebelum
disesuaikan dengan saluran norma moral profesi.

FUNGSI KODE ETIK

1. Memberikan arahan bagi suatu pekerjaan profesi


2. Menjamin mutu moralitas profesi di mata masyarakat

Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah:


1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip
profesionalitas yang digariskan.
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan3. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi
tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah
dibutuhkan dlam berbagai bidang.
Tuntutan bagi anggota profesi:

1. Keharusan menjalankan profesinya secara bertanggung jawab.


2. Keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain.

KARAKTERISTIK KODE ETIK BAGI PROFESI

1. Merupakan produk etika terapan yang dihasilkan berdasarkan konsep-


konsep pemikiran etis atas suatu profesi tertentu
2. Merupakan hasil ‘self regulation’ dari profesi itu sendiri yang
mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggap hakiki dan pada prinsipnya
tidak pernah dipaksakan dari luar.
3. Dijiwai nilai-nilai dan cita hidup dalam kalangan profesi itu sendiri maka
tidak efektif apabila keberadaannya ditentukan dari pemerintah/instansi
atasan.
4. Bertujuan mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis.
5. Dapat berubah dan diubah sesuai perkembangan iptek.

PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK:

1. Apoteker tidak faham/tidak mengetahui kode etik. Misal: melaporkan


teman sejawat sehingga mencoreng nama profesi, mengadu domba
organisasi.
2. Persaingan kerja. Misal: ingin mendapatkan status, sehingga menerima
gaji tidak sesuai standar.
3. Lemahnya kinerja organisasi profesi dalam pembinaan anggotanya
(kurang komunikasi).
4. Peraturan perUUan dan sistem regulasi yang kurang kondusif
(interpretasi ganda, tumpang tindih).
5. Pekerjaan kefarmasian masih ditempatkan sebagai lahan komersial,
bukan sebagai pelayanan profesi. Misal: Pada PBF dan industri
farmasi, penanggung jawab memang apoteker namun tidak memahami
fungsinya.

Tugas apoteker di PBF:

1. Pengawasan penyimpanan obat, quality control


2. Pengaturan FEFO dan FIFO
3. Pelayanan, memahami kriteria dari masing-masing obat
4. Pemusnahan obat

Tugas apoteker di industri farmasi, antara lain:

Pembuatan obat yang baik dan benar dan Pengawasan pembuatan obat.

SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK:


a. Sanksi moral.
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi.
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu
dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya
adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga
berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika
ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat
logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode ituberasal
dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan
profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi
merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan
dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas
dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya
norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode
etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas
serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang
salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang
profesional.
Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan
bervariasi. Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang
bersifat nasional, misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan
Penasehat HUKUM Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik
Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh organisasi
kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.
Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan
swasta cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin
memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan
karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif.

PRAKTIK PELAKSANAAN “KODE ETIK”


1. . Kewajiban Umum
a. Sumpah apoteker
b. Kode etik
c. Menjalankan sesuai standar kompetensi.
d. Aktif mengikuti perkembangan dibidang kesehatan dan farmasi.
2. Di dalam melaksanakan praktik, apoteker menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan semata bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur kefarmasian.
3. Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh baik bagi orang lain.
4. Tidak ada praktik kefarmasian dengan prinsip ekonomi (melalui usaha
sekecil-kecilnya namun mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya) Tetapi yang terpenting patient safety dengan terapi yang
rasionala dengan harga terjangkau.
5. Apoteker menjadi sumber informasi.

SUMPAH APOTEKER
Nilai norma dari sumpah/janji seorang apoteker mengandung 5 substansi:

1. Tidak mempergunakan pengetahuan kefarmasian untuk sesuatu yang


bertentangan dengan hukum dan perikemanusiaan.
2. Membaktikan hidup guna kepentingan kemanusiaan dalam bidang
kesehatan.
3. Menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.
4. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui karena pekerjaan dan
keilmuan.
5. Dengan sungguh-sungguh berikhtiar agar tidak terpengaruh pertimbangan
keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik/kepartaian dan kedudukan
sosial.

KASUS DAN KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA-3

CONTOH PELANGGARAN ETIKA

DI APOTEK:
1. Dokter menulis resep dengan kode, dan resep tersebut hanya bisa ditebus di
apotek yang ditunjuk dokter.
2. PSA menjual psikotropika dan pada saat membuat laporan bekerja sama
dengan dokter untuk membuatkan resep.
3. Krim malam, krim pagi buatan apotek sendiri, tidak diketahui formulanya.

DI PUSKESMAS ATAU KLINIK:


Yang menyerahkan obat kepada pasien bukan apoteker, melainkan bidan, mantri,
perawat, karena puskesmas tidak memiliki apoteker.

DI RUMAH SAKIT:
Apoteker membuat suatu obat yang isinya campuran dari beberapa obat (oplosan).

DI INDUSTRI:
1. Klaim, saling mengklaim suatu produkmelanggar etika.
2. Kebohongan publikmenginfokan tentang khasiat suatu obat yang tidak
benar.

KASUS PRODUKSI

KASUS I:
Kasus Ia
1. Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat
diterima adalah 90-100% efedrin anhydrat.
2. Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan
50 kg serbuk efedrin anhydrat dengan penambahan berbagai bahan campuran
lainnya.
3. Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi
syarat sehingga barang tersebut diluluskan.
4. Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet.
5. Hasil ini terjadi berulang-ulang.
6. Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.

Kasus Ib
Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk
memproduksi sediaan Tablet Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard
dalam Farmakope Indonesia edisi IV, syarat kadar Captopril tablet adalah 90 s.d.
110%. Guna memproduksi 100.000 tablet Captopril 25 mg, Apoteker S
menimbang 2,300 kg sehingga tiap tablet mengandung rata-rata 96,00%. Obat
dapat diproduksi dan secara peraturan perundang-undangan memenuhi syarat
kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik industri dan mendapat bonus besar
karena produksi Captopril tablet menghasilkan laba yang banyak.
Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?
1. Cari komitmen pimpinan terhadap mutu.
2. Lakukan validasi proses.
3. Bobot keseragaman obat tablet efedrin 50 mg, walaupun range 95-110%, akan
tetapi harus ditimbang 50 mg jangan dikurangi.

KASUS II:
1. Pemerintah telah menetapkan harga jual obat adalah 1- 3 kali harga obat
generiknya. Seorang apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di
suatu industri farmasi mendapati bahwa harga bahan baku glibenclamide naik
sehingga setelah diproduksi menjadi tablet glibenclamide juga harga tinggi
2. Bila mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik mengalami kerugian.
Diketahui bahwa pabrik farmasi yang memproduksi glibenclamide tablet
hanya oleh beberapa pabrik farmasi. 

            Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?

1. Tetap memproduksi Glibenclamide tablet karena sangat diperlukan oleh


masyarakat. Tapi gemana mengatasi kerugian perusahaan? So:
2. Melakukan subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto aja.
3. Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan tambahan
yang lebih murah tapi tidak mengubah kualitas.
4. Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi)
dengan pemerintah terkait regulasi.

KASUS III:
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah
memproduksi OT mengandung BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi
OT TIE dan mengandung BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak
dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).

Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan :

Kajian Pelanggaran Etika Dan Undang-Undang Kefarmasian

Persyaratan usaha industri obat tradisional dan  usaha industri kecil obat


tradisional (SK MENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha
industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional)

Pasal 3
1. Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun
dieksport terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri.
2. Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:
a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan
parem.
b. Usaha jamu racikan.
c. Usaha jamu gendong.
Pasal 6
1. Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.
Pasal 7
“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan
tidak mencemari lingkungan”.
Pasal 8
“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-
kurangnya seorang apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab
teknis”.
Pasal 9
1. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti
pedoman cara pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB).
2. Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat  1 dinyatakan oleh petugas yang
berwenang melalui pemeriksaan setempat.

Pasal 23
Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus
memenuhi persyaratan:
a. Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan
manusia .
b. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan
memenuhi prsyaratan yang ditetapkan.
c. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang
berkhasiat sebagai obat.
d. Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.

UU No. 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 4a
Hak konsumen adalah :
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa.
PP No. 51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan
kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi
Pasal 7 (1)
“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker
penanggung jawab”.
Pasal 9 (2)
“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab”.

KASUS PENGADAAN
Apotek menerima tawaran PBF karena ada pelicin/bonus.
KASUS DISTRIBUSI

KASUS I:
Apotek panel  melanggar UU.

Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari PBF yang menjual
harga murah walaupun tidak legal dengan tujuan agar bisa menjual kembali
dengan harga murah dengan diskon, sehingga mampu bersaing.

KASUS II:
  Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?
Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1.      Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan kertas
sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2
Untuk nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika
No.35/2009)
2.      Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak
sama dengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi
index misalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.

KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa
sesama sejawat tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata
bu Bondan. Yang penting ada SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus,
tapi berdasarkan undang-undang yang penting ada permintaan tertulis dari
apoteker). UU Narkotik tahun 70an memang tidak diperbolehkan, namun UU
Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika No. 35/2009:

Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya
dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
 (4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika
melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh
dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

KASUS PELAYANAN
PELAYANAN RESEP

Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada
Apoteker Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.

Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi
peraturan yang ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981,
Bab III, pasal 10, yang memuat :
1. Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
2. Tempat dan tanggal penulisan resep
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
4. Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah
dan petunjuk pemakaian)
5. Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
6. Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
7. Nama penderita

Bagian-bagian dari resep adalah :


a. Inscriptio (identitas dokter penulis resep, SIP, alamat, kota, tanggal dan R/
b. Praescriptio (Inti resep, terdiri dari nama obat, BSO, Dosis obat dan
jumlah obat)
c. Signatura, tanda yang harus ditulis di etiket obat (nama pasien dan
petunjuk pemakaian).
d. Subscriptio, tanda tangan atau paraf dokter.

Secara Teknis
Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta,
tulisan tangan pada kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan
sesuai dengan peraturan dan per Undang-Undangan yang berlaku.

Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
1. Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter
hewan
2. Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf
oleh Apoteker

Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004


Skrining resep : Persyaratan administratif resep, a.l:
  Nama, alamat dokter, tgl penulisan resep, paraf/td tangan dokter, Nama obat,
potensi, dosis , juml yg diminta,  cara pemakain dan Informasi lainnya.

Faktanya
  Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus
diberikan (Zunilda, 1998).
  Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau
tidak lengkap, apoteker harus menanyakan kepada penulis resep (Hartono, 2003).
  Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin Praktek dokter,
alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter, nama pasien, alamat,
umur, berat badan, nama obat, dosis, jumlah yang diminta, aturan pakai.
  Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh
ada iterasi (ulangan), ditulis dengan nama pasien  tidak boleh m.i.=mihi
ipsi=untuk dipakai sendiri, alamat pasien dan  aturan pakai yang jelas, tidak boleh
ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa, 2000).

Kaidah Penulisan Resep


  Nama obat ditulis dengan jelas. Penulisan nama obat tidak jelas dapat
menyebabkan obat yang keliru diberikan kepada penderita.
  Kekuatan dan jumlah obat ditulis dalam resep dengan jelas
(Zaman, 2001).

  Pemberian obat yang terlalu banyak sebaiknya dihindari karena bisa bahaya.
  Pemberian obat dalam jangka waktu yang terlalu lama sebaiknya dihindari.
(Joenes, 2001).

Pelayanan Resep Obat


  Dalam pelayanan resep ini, resep yang sudah diterima apoteker harus dibaca secara
lengkap dan hati-hati, sehingga tidak ada keraguan dalam resep tersebut
 (Scott, 2000).

Skrining Resep
  Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek dan alamat
dokter, tanggal penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur,
jenis kelamin, berat badan pasien, nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan
cara pemakaian yang jelas.
  Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah terjadi kesalahan,
apoteker harus mengkonsultasikan kepada penulis resep. Hendaknya apoteker
tidak mengartikan maksud dari kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak
diketahui (Scott, 2000).
  Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam penulisan
resep, misalnya masih banyak resep obat yang ditulis tanpa ada penulisan signa
atau aturan pakai, kadang kata signa yang dituliskan kurang jelas atau kurang
lengkap (Zairina dan Himawati, 2003).

Beberapa jenis kesalahan yang terjadi pada resep:


1. Tidak ada umur pasien terutama untuk pasien anak.
2. Tidak ada tanda tangan dokter/prescriber
3. Nama obat tidak jelas karena tulisan yang sulit dibaca.
4. Penulisan obat dengan khasiat sama lebih dari 1 kali dalam 1 lembar resep,
baik dengan nama sama atau merk berbeda.
(Nadeem, 2003).

Pelayanan Resep
  Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau penulisan
resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis
resep.
(Anief, M., 2000).

Kesimpulan
  Resep tidak memenuhi persyaratan/ tidak sesuai dengan kaidah hukum dan teori
yang berlaku.
  Resep tersebut dikonfirmasi dan didiskusikan lebih lanjut kepada dokter penulis
resep
  Bila terdapat resep yang tidak memenuhi aturan-aturan diatas, resep tidak dapat
dilayani, begitu pula resep narkotika yang telah diambil sebagian oleh pasien
diapotek lain.

OWA atau BUKAN


Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep misal Amox adalah obat yang
tidak termasuk OWA, tetapi banyak pasien minta amox tanpa resep dokter.
Apotek A tetap melayani. Sehingga untuk mengantisipasi jika diperiksa oleh
Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka apoteker di apotek tersebut membuat
copi resep sendiri ‘resep putih’ untuk melegalkan transaksi.
So:
o   Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab sehingga
melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan obat selain
OWA, maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien ditanya terlebih
dahulu beserta alasannya.
o   Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya sesuai
benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau prinsipnya.
Menurut bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi (keputusan)
karena kita seorang profesional yang berbasis keilmuan.
o   Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat catatan dan
keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan, keluhan, nama
obat, dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat penyerahan diberikan
informasi dan konseling) dan dibubuhi tanda tangan apoteker sehingga apoteker
tidak perlu membuat dokumen  palsu.
o   Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat judgement
profesi yang bisa kita pertanggungjawabkan.

OBAT RESEP DOKTER DIJUAL KEMBALI


Resep ditulis oleh dokter untuk seorang perawat, ternyata bukan untuk perawat
tetapi untuk dijual kembali.
So:
1. Jika resep sah layani, kecuali kita tau pasti disalahgunakan maka kita dapat
tolak dengan tegas namun sopan dan lembut serta dikomunikasikan kepada
dokter.
2. Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat
judgement profesi yang bisa kita pertanggungjawabkan.

MASUK FORMULARIUM
Produk memiliki kualitas kurang bagus tetapi tetap dimasukkan ke dalam
formularium karena menjadi sponsor/PBF memberikan subsidi besar. Atau
sebaliknya kualitas baik tetapi tidak dicantumkan kedalam formularium, karena
tidak memberikan untung misalnya bonus atau penawaran menarik lainnya.

PERALATAN PENDUKUNG
Apoteker dalam memberikan pelayanan swamedikasi (OTC & OWA) melengkapi
dirinya dengan statoskop, tensi meter, alat tes gula darah dll. So???

Kontennya:
1. Kita harus tau tugas, tanggung jawab dan kewenangan profesi.
2. Tau  kompetensi kita
3. Alat itu batasannya untuk apa dulu kita gunakan. Bukan untuk
diagnosa, namun untuk mendukung swamedikasi pasien dan monitoring
obat/hasil terapi serta hanya memberikan “warning” kepada pasien.

Disini emang terjadi dilema. Disatu sisi resep minta misalnya setengah tube. Jika
dibayar Cuma setengah, kita rugi dunk. Kalau dibayar 1 tube, padahal resep minta
hanya setengah tube.

So, solusi:
Racik obat sesuai dengan resep, lalu komunikasikan kepada pasien, resep dibuat
sekian tapi harga tetap 1 tube, sisanya bisa pasien bawa, nanti kalau ada resep
serupa bawa aja lagi tubenya jadi ntar gag perlu bayar lagi dengan catatan
penyimpanannya benar dan belum ED. Cara menghitung ED obat campuran racik
lihat ED obat paling pendek trus ED campuran adalah ½ dari ED terpendek tadi.
Walaupun ini perkiraan si, sulit ditentukan secara pasti soalnya. Biasanya si kalau
salep steril ED kira-kira 2 bulan setelah dibuka, kalua tetes mata steril githu
sekitar 1 bulan setelah dibuka.

Bagaimana Jika Kasus Diatas Adalah Penggunaan Tablet ?


Jika sisa tablet kita serahkan, kita khawatir disalahgunakan atau digunasalahkan.
So, Solusi:
Tambah aja numero resep asal dalam rentang aman.
Atau subsidi silang aja terhadap keuntungan kita yang lain jadi anggap sedekah
githu.

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/Menkes/Per/X/1993
BAB I Ketentuan Umum

Pasal 1
Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi. Dokter Hewan kepada
Apoteker Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang beriaku.
BAB VI Pelayanan
Pasal 14
(1) Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
(2) Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggungjawab
Apoteker Pengelola Apotik.
Pelanggaran undang-undang:
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen

Hak dan Kewajiban Konsumen


Pasal 4
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.

Kewajiban Pelaku Usaha


Pasal 7
a). beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b). memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c). memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha


Pasal 8 ayat 1
e). tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f). tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

Pelanggaran Sumpah Apoteker

Lafal Sumpah Profesi Apoteker


Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan terutama
dalam bidang Kesehatan

Pelanggaran Etika:

Pasal 1:
Sumpah/janji : Setiap Apoteker/ Farmasis harus menjunjung tinggi, menghayati,
dan mengamalkan Sumpah Apoteker/Farmasis.

Pasal 5:
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri
dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat
dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
UU Pidana terkait kasus:
BAB XXV Tentang Perbuatan Curang
Pasal 382 bis
Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil
perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan
curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika
perbuatan itu dapat enimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau
konguren-konkuren orang lain, karena persaingan curang, dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas
ribu lima ratus rupiah.

Pasal 383
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang
penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:
1. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli;
2. mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan, dengan
menggunakan tipu muslihat.

Kesimpulan
Apoteker di apotek C melanggar  undang-undang perlindungan konsumen,
sumpah dan kode etik profesi apoteker.

Solusi
•     Apoteker harus menjalankan tugasnya sbg “decission maker” dalam hal ini harus
bs memberikan alternatif sediaan yg efisien dan efektif.
•     Apoteker menjalankan tugasnya tidak hanya azas mencari keuntungan pribadi
tetapi memahami dan mengimplementasikan lafal sumpah dalam amanahnya
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kerja merupakan kekhasan manusia, dimana melalui kerja manusia
dapat mengekspresikan dirinya agar lebih dikenal orang lain. Dunia
kerja atau profesi merupakan suatu pekerjaan tertentu yang
dilakukan sebagai kegiatan pokok, dengan mengandalkan
keterampilan khusu, dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah
hidup dan dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang
menndalam. Karena itulah seorang professional pada suatu bidang
kerja tertentu adalah orang yang bener-benar terampil dengan bidang
kerja tertentu adalah orang yang benar-benar terampil dengan bidang
kerjanya, lebih terampil dibandingan dengan masyarakat umum.

3.2. Saran
Seorang yang berprofesi dalam dunia farmasi haruslah berhati-hati
dan memperhatikan kode etik dari profesi jangan sampai kita
melanggar UUD Kefarmasian.

DAFTAR PUSTAKA

https://shadrakathrine.wordpress.com/2012/09/19/makalah-etika-
profesi/

http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.sg/2012/09/makalah-etika-
profesi-bidang-komputer.html
http://muaramasad.blogspot.sg/2013/03/pengertian-etika-profesi-
dan.html

Anda mungkin juga menyukai