Anda di halaman 1dari 3

SEJARAH BOGOR

Disusun Oleh : Faris Ridha Nugroho


19.03.0553

Bogor berarti tunggul kawung, juga berarti daging pohon kawung yang
biasa dijadikan sagu. Dalam bahsa jawa Bogor disadap, dan dalam bahasa sunda
umum, menurut Coolsma L. Bogor berarti Drougetapte Kawoeng (pohon enau
yang telah disadap).
Adanya kerajaan Galuh Pakuan yang menggaib untuk sebagian
paranormal. Saat mereka sedang membawa barang pusaka akan mampir ke Kebun
Raya Bogor, mungkin ini sebab adanya Istana Kerajaan Galuh Pakuan didalamnya
sehingga khirdam pusaka sowan terlebih dahulu.
Bogor sendiri asal namanya terkadang oleh banyak orang dikaitkan
dengan kata dalam bahasa Belanda yaitu “Buitenzorg”, mungkin dalam bahsa
jawa yaitu “Mboten Jorok”.
Hal ini berbeda pandangan dari paranormal yang ditemui “Bokor”.
Begitulah pendapat paranormal. Karena dulunya di Istana negara tersimpan benda
semacam bokor yagn cukup besar ukurannya. Karena keberadaannya sekarang
hanya dapat dilihat dengan mata bathin atau indera keenam dikarenakan bokor
tersebut telah raib secara gaib. Kata bokor bagi kebanyakan orang sulit untuk
diucap, maka berubah menjadi “Bogor” yang memudahkan untuk pengucapannya.
Bogor mempunyai salah satu peninggalan sejarah yang sangat tersohor
yaitu adalah prasasti Batu Tulis. Prasasti batu tulis sendiri terletak di kelurahan
Batu Tulis, kecamatan Bogor Selatan kota madya Bogor.
Menurut sejarah prasasti tersebut dibangun tahun 1533 oleh Prabu
Surawisesa, sebagai peringatan terhadap ayahandanya yaitu Prabu Siliwangi (Raja
Pajajaran), Prabu Siliwangi sendiri memerintah pada 1482-1521.
Pada komplek area prasasti batu tulis terdapat enam batu didalam
cungkup. Dan yang paling tersohor adalah batu besar lebar yang berisi tulisan
pallawa dan berbahasa sansekerta, konon katanya batu tersebut dibuat akibat
bentuk dari Prabu Surawisesa karena tidak mampu mempertahankan wilayah
pakuan.
Selanjutnya Prasasti Ciaruteun terletak di Desa Ciaruteun Ilir, kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor; tepatnya pada koordinat 6°31’23,6” LS dan
106°41’28,2” BT. Lokasi ini terletak sekitar 19 kilometer sebelah Barat Laut dari
pusat kota Bogor.

Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang
diapit oleh tiga sungai: Ci Sadane, Ci Anten dan Ci Aruteun. Sampai abad ke-19,
tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah
swasta Tjampéa (Ciampea, namun sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Cibungbulang). Tak jauh dari prasasti ini, masih dalam kawasan Ciaruteun
terdapat Prasasti Kebonkopi I.

Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161
disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (wilayah bawahan)
yang dinamai "Pasir Muhara".

Pada tahun 1863 di Hindia Belanda, sebuah batu besar dengan ukiran
aksara purba dilaporkan ditemukan di dekat Tjampea (Ciampea), tak jauh dari
Buitenzorg (kini Bogor). Batu berukir itu ditemukan di Kampung Muara, di aliran
sungai Ciaruteun, salah satu anak sungai Cisadane. Segera pada tahun yang sama,
Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bataaviasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) di Batavia. Akibat
banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke
hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah.
Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula.
Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan
memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir bandang. Selain
itu prasasti ini kini dilindungi bangunan pendopo, untuk melindungi prasasti ini
dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari tangan jahil. Replika berupa
cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum, yaitu Museum
Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri
Baduga di Bandung.

Anda mungkin juga menyukai