Anda di halaman 1dari 10

Applying Theory to Accounting Regulation

Teori-Teori Peraturan Yang Relevan Terhadap Akuntansi Dan Audit


Terdapat banyak pihak yang terlibat dalam sebuah penyusunan laporan keuangan, mulai dari
Akuntan sebagai penyusun laporan keuangan, Auditor yang memberikan jaminan kepastian akan
kelayakan penyusunan laporan keuangan, sampai dengan pemerintah yang mengeluarkan peraturan
terkait laporan keuangan tersebut. Oleh karena itu, penting kiranya bahwa mengetahui bagaimana
teori akuntansi akan diaplikasikan ke dalam sebuah peraturan. Namun sebelum itu, perlu dipahami
terlebih dahulu arti penting dari Prinsip Akuntansi yaitu:

1. Dasar untuk pedoman penentuan perlakuan akuntansi dalam menyusun maupun


menginterpretasikan laporan keuangan.
2. Pedoman peringkasan dan pengungkapan informasi keuangan.
3. Suatu kesepakatan / aturan main tentang bagaimana laporan keangan disusun agar
terjadi komunikasi yang efektif antara pihak-pihak yang terpisah secarra fisik dan
fungsional

Sebagai dasar penyusunan peraturan terkait pelaporan keuangan

Teori Peraturan Berkaitan Dengan Akuntansi Dan Audit


Meski para ahli teori pasar bebas sudah menyarankan para manajer akan keuntungan penyediaan
informasi akuntansi pada publik, namun peraturan yang dikeluarkan masih tetap dibutuhkan, untuk
memahami peran dari peraturan ini, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk lebih
memahami peraturan akan pelaporan Laporan Keuangan

Teori Pasar Efisien


Teori ini berpendapat bahwa pasar mencapai fungsi nya yang terbaik tanpa campur tangan
pemerintah, dan efisiensi akan tercapai maksimal jika penawaran dan permintaan yang ada
mengarahkan perilaku pasar seutuhnya. palagi pada saat sekarang dimana pertumbuhan pasar
mkodal internasional yang sangat cepat, menyebabkan permintaan dan penawaran mempunyai
peran yang signifikan dalam alur pertukaran informasi dan modal

Intervensi pemerintah dianggap mengganggu tertutama dikarenakan pemerintah berusaha


mengatur bagaimana pasar terbentuk, terutama mengatur pertukaran informasi, yang merupakan
“urat nadi” dari pasar modal. Meski tujuan mulia dari pemerintah adalah sebagai upaya peningkatan
dan pengembanga pasar dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi.

Akuntansi bisa disebut sebagai industri informasi, peran permintaan dan poenawaran terkait
ninformasi ini sungguh kuat, sehingga ketika ada permintaan akan informasi dan adanya penawaran
dari perusahaan dalam bentuk Laporan Keuangan. Secara teoritis hal ini akan menciptakan
keseimbangan dan harga ideal akan tercapai dalam pertukaran informasi ini. Atas peermintaan dan
penawaran ini akan tercipta informasi akuntansi apa yang dibutuhkan dan standar yang
menyertainya
Namun teori pasar bebas ini menuai banyak kritik, diantaranya bahwa teori pasar bebas ini tidak
realistis, dan tidak mungkin dilaksanakan, dan kesetimbangan harga untuk informasi akuntansi tidak
akan tercapai, hal ini dikarenaka. Pertama, Informasi akuntansi tidak bisa disamaratakan dengan
produk lainnya, hal ini dikarenakan informasi akuntansi bersifat ‘barang publik’ dimana ketika
informasi ini sudah keluar dari perusahaan, maka informasi tersebut dapat digunakan oleh orang lain
dengan bebas. Kedua, dikarenakan perusahaan memonopoli secara penuh informasi yang
dimilikinya, maka harga yang ditawarkan terkait informasi tersebut tentu akan dipatok dengan harga
tinggi, bahkan jika pasar bebas benar-benar ada dalam dunia nyata, badan regulasi masih tetap
diperlukan, dikarenakan para pengguna tidak pernah sepakat akan apa yang mereka inginkan
dengan informasi yang disediakan oleh penyedia

Oleh karena itu, peran peraturan yang dikeluarkan oleh pemeerintah menjadi vital. Karena hanya
pemerintahlah yang dapat ‘memaksa’ perusahaan untuk menyediakan informasi tersebut kepada
publik, sehingga akan menciptakan kesetimbangan yanhg nyata antara penawaran dan permintaan
sehingga akan tercipta efisiensi pasar modal

Teori Keagenan
Permintaan atas informasi akuntansi dapat dikategorikan untuk tujuan “stewardship” atau untuk
tujuan pengambilan keputusan. Atkinson dan Feltham menyatakan bahwa teori keagenan
menganggap kebanyakan informasi akuntansi untuk tujuan stewardship. Teori ini berfokus pada
hubungan di mana kekayaan seseorang (misalnya owner/pemilik) dipercayakan kepada orang lain,
atau sang agen (misalnya manajer). Permintaan dari informasi stewardship berhubungan dengan
keinginan untuk:

1. Memotivasi agen
2. Mendistribusikan resiko secara efisien

Permintaan atas informasi dengan tujuan untuk pembuatan keputusan berhubungan dengan peran
informasi itu sendiri pada teori keputusan statistik. Informasi akan bernilai jika mampu
meningkatkan alokasi sumber daya dan resiko ekonomi. Itu dilakukan dengan cara mengurangi
ketidakpastian.

Ketidakpastian sendiri pada teori keagenan dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Ex ante uncertainty (sebelum peristiwa terjadi)

Terjadi pada saat keputusan akan dibuat, seperti ketidakpastian tentang kejadian-kejadian yang
dapat dikendalikan yang akan mempengaruhi produksi. Atau ketidakpastian mengenai skill dari
manajer.

2. Ex post uncertainty (setelah peristiwa terjadi)

Terjadi setelah keputusan telah dibuat dan hasilnya sudah nyata. Ketidakpastian ini hampir sama
sepeti ex ante, kecuali bahwa hal ini dapat dikurangi dengan ex post report atas apa yang
sebenarnya terjadi. Teori keagenan berfokus kepada dampak ex post report alternatif yang
mempengaruhi ketidakpastian ex post.
Atkinson dan Feltham melihat bahwa peran dari standar setting sebagai salah satu
pengindentifikasian situasi di mana peningkatan kesejahteraan akan didapat dari kebijakan yang
telah diberikan pada laporan keuangan. Sebagai contoh Kebijakan A akan lebih disukai daripada
kebijakan B jika dulunya setiap orang setidaknya sama kayanya seperti yang terakhir atau paling
tidak satu orang menjadi lebih baik. Kebijakan A juga akan lebih disukai apabila kebijakan tersebut
menghasilkan alokasi sumber daya dan risiko yang lebih efisien. Sehingga menurut pandangan ini,
dirasa konsekuensi ekonomi dari standar akuntansi memainkan peranan penting.

Teori keagenan memberikan kita sebuah kerangka berfikir untuk mempelajari perjanjian antara
pricipals dan agen serta untuk memprediksi konsekuensi ekonomi standar.

Teori Regulasi

Teori Kepentingan Publik


Alasan ekonomi utama pada awal mula adanya intervensi dari pemerintah pada operasi pasar untuk
kepentingan publik adalah adanya kemungkinan kegagalan pasar (market failure). Dalam kerangka
teori ini, peraturan ditujukkan kepada badan legislatif (pembuat undang-undang) untuk melindungi
kepentingan konsumen dengan cara melakukan peningkatan keamanan penyelenggaraan ekonomi,
dibandingkan dengan situasi yang tidak diregulasi.

Kegagalan pasar berpotensi terjadi ketika ada sebuah kegagalan dari beberapa kondisi yang
dibutuhkan agar pasar berjalan secara kompetitif. Contoh potential failure:

1. Kurangnya kompetisi (monopoli, oligopoli)


2. Adanya hambatan untuk masuk ke pasar
3. Asimetri informasi antara pembeli dan penjual atau sinyal pasar tertentu (misal reputasi
penjual)
4. Sifat alami publik atas suatu produk (seperti informasi keuangan), dimana ketersediaan
suatu produk untuk suatu individu membuat produk tersebut tidak berharga lagi untuk
individu yang lain. Kegagalan pasar di sini terjadi karena – walaupun individu bisa
mendapatkan produk tersebut tanpa bayar – sistem harga normal pada pasar tersebut
tidak bisa berfungsi.

Teori kepentingan publik didasari pada asumsi bahwa pasar ekonomi merupakan subjek dari
beberapa pasar tidak sempurna atau kegagalan transaksi, yaitu, jika tetap dibiarkan, akan
mengakibatkan inefisiensi dan ketidakpatutan outcome. Ini juga berdasarkan asumsi berikut:

1. Kepentingan dari konsumen diterjemahkan dalam tindakan legislatif lewat operasi dari
internal pasar.
2. Ada agen-agen (politisi pengusaha dan kelompok kepentingan publik) yang akan mencari
peraturan dengan mengatas namakan untuk kepentingan publik. Agen-agen ini mungkin
saja akan berusahan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri bukan memenuhi
kebutuhan publik.
3. Pemerintah tidak mempunyai peran yang independen untuk menjalankan peraturan
pemerintah
Teori Pengambilalihan
Teori ini menyatakan bahwa walaupun alasan awal dari regulasi adalah untuk melindungi
kepentingan publik, tujuan ini tidak akan tercapai karena pada proses regulasi, si pembuat
aturan/pengatur akan kemudian mendominasi yang diatur. Ada pandangan bahwa entitas yang telah
diregulasi itu umumnya akan mempengaruhi pembuat undang-undang, memprediksi rangkaian
kejadian di mana tujuan awal yaitu untuk kepentingan publik, akan terhalangi dengan usaha untuk
mencapai tujuan kelompok.

Capture theory mengasumsikan, pertama, bahwa semua anggota dalam masyarakat sosial itu
rasional secara ekonomi, sehingga, tiap orang akan mengejar kepentingannya sendiri, dengan cara
mempengaruhi regulator. Regulasi punya potensi untuk mendistribusikan kembali kekayaan.
Sehingga orang-orang akan mempengaruhi regulasi yang akan meningkatkan kekayaan mereka, atau
mereka akan mempengaruhi untuk memastikan bahwa regulasi tesebut tidak efektif untuk
menurunkan kekayaan mereka. Kedua, teori ini mengasumsikan, dengan adanya teori kepentingan
publik, pemerintah harusnya tidak punya peran independen dalam proses regulasi, dan perang
kepentingan kelompok untuk menguasai memyebakan pemerintah terpacu untuk melakukan
distribusi kekayaan secara merata.

Pengamblialihan akan terbentuk dalam empat situasi berikut, jika entitas yang diregulasi:

1. Mengatur regulator dan agen regulator (regulatory agency).


2. Berhasil menyelaraskan aktivitas pembuat undang-undang dengan aktivitas mereka,
sehingga kepentingan pribadi mereka tercapai.
3. Memastikan tidak adanya pelaksanaan setengah-setengah (mediocre performance).
4. Dalam interaksinya berhasil melakukan mutually shared perspective, sehingga ketentuan
yang mereka cari bisa didapatkan.

Teori Kepentingan Pribadi


Teori ini berasumsi bahwa regulasi terbentuk sebagai akibat dari respon pemerintah terhadap
permintaan publik untuk meralat praktik yang tidak efisien dan tidak adil oleh individu atau
organisasi, yang kemudian ditentang oleh George Stingler. Stingler berpendapat bahwa pemerintah
memiliki satu kekuatan yang bahkan tidak bisa dikalahkan oleh rakyat, yaitu kekuatan untuk
melakukan paksaan. Kekuatan untuk melakukan paksaan ini merupakan suatu ancaman untuk setiap
pelaku bisnis, dengan cara memaksa untuk membayar pajak atau subsidi.

Interaksi dengan para politikus yang bukan merupakan wasit yang netral, seperti politikus yang juga
pengusahan atau bahkan konsumen, akan cenderung terjadi pemenuhan kepentingan pribadi.

Ada 2 alasan dalam kelompok berkepentingan memberi tawaran harga tertinggi agar dapat
memanfaatkan kekuasaan dari pemerintah :

1. terdapat industri yang lebih sedikit dari pada industri diluarnya(minor) jadi mereka
meminta pengaruh politik melalui peraturan untuk melindungi dan menata bisnis
mereka,
contohnya : memberikan batasan bagi suatu bisnis / industri untuk dimasuki (peraturan
yang berbelit)
2. Kelompok yang kepentingan bisa memberi kontribusi pada pejabat yang berpolitik.
Sehingga bisa memberikan insentif yang dapat memberikan keuntungan bagi keduanya,
baik pengusaha maupun pejabat politik

Bagaimana Teori Atas Peraturan Diterapkan Pada Praktik Akuntansi Dan


Audit
Aplikasi Public Interest Theory
Dalam public interest theory ini, pemerintah campur tangan dengan menerbitkan peraturan terkait
pelaporan keuangan dikarenakan adanya kegagalan pasar dan untuk memenuhi kepentingan umum.
Salah satu contohnya adalah diterbitkannya Sarbanes-Oxley Act di tahun 2002 yang merupakan
respon pemerintah terkait kasus Enron Corporation dan KAP Arthur Andersen. Peraturan ini
memperkenalkan pelaporan keuangan yang baru dan kebutuhan tata kelola perusahaan, serta
standard dan struktur baru dalam melakukan audit. Canada, Kuhn, dan Sutton menyatakan bahwa
Sarbanes-Oxley Act ini merupakan alat untuk memenuhi kepentingan umum yaitu sebagai
perlindungan terbesar di pasar keuangan dan perilaku perusahaan.

Contoh lainnya adalah penerbitan Accounting Standards Review Board (ASRB) di tahun 1984 oleh
pemerintah Australia. Peran pemerintah dalam penyusunan standar akuntansi sebagai respon
kegagalan pasar yang dibuktikan dengan adanya beberapa perusahaan yang bangkrut meskipun hasil
auditnya baik. Bangkrutnya perusahaan tersebut dikarenakan adanya ketidaksamaan informasi
(informasi asymmetries) yang diperoleh oleh manajemen perusahaan dan pengguna laporan
keuangan (khususnya investor) yang tidak mengetahui informasi akuntansi apa yang dibutuhkan
dan/atau tidak dapat menentukan nilai dari informasi akuntansi yang diterima. Informasi keuangan
dapat dilihat sebagai barang publik yang telah menyebabkan perbedaan antara biaya marginal dan
manfaat untuk pengguna dan pembuat informasi. Sebelum adanya intervensi dari pemerintah di
mana standar tidak didukung legislasi, public interest theory ini berpendapat bahwa informasi yang
dihasilkan oleh perusahaan belum dapat memenuhi kualitas yang diperlukan untuk pengambilan
keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang optimal dalam perekonomian.

Kerangka umum dari teori ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah dalam proses penyusunan
standar akuntansi adalah untuk memperbaiki kegagalan pasar dengan informasi akuntansi. Dengan
adanya hal ini, kepentingan umum akan terpenuhi dengan munculnya kembali kepercayaan para
investor pada informasi akuntansi yang ada sehingga investor akan kembali aktif di pasar modal.
Namun, teori ini cenderung mengabaikan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa manajer
mempunyai insentif yang kuat untuk dapat memperbaiki kegagalan pasar terkait aktivitas bisnisnya.
Hal yang dapat dilakukan adalah dengan pengungkapan informasi yang lebih luas yang melindungi
pengguna informasi keuangan. Sebagai contohnya adalah kekuatan pasar akan memberikan tekanan
pada perusahaan untuk mengurangi ketidakpastian kualitas produk, kelangsungan hidup
perusahaan, dan kemampuan manajemen untuk meyakinkan tingkat pengembalian yang tepat
kepada investor. Hal ini akan memunculkan biaya tambahan misalnya beban bunga yang lebih tinggi,
peningkatan kebutuhan keamanan untuk pinjaman, dan peningkatan ancaman pengambilalihan oleh
pesaing. Beberapa contoh penerapan public interest theory tersebut tidak berarti teori ini menjadi
satu-satunya penjelasan untuk perilaku yang diamati.
Aplikasi Capture Theory
Menurut Walker, capture theory lebih dapat menjelaskan penerbitan ASRB meskipun pemerintah
Australia mengeluarkan ASRB untuk melindungi kepentingan umum seperti yang telah dikemukakan
di atas. Salah satu fenomena utamanya adalah fakta bahwa ketentuan “due process” yang diabaikan
dalam persetujuan standar yang diajukan oleh Australian Accounting Research Foundation (AARF).
Kemudian, perbedaan antara ASRB dan AARF diselesaikan kemudian dan AARF (yang didanai oleh
kelompok profesi) dan ASRB (yang didanai oleh pemerintah) digabung. Secara formal, ASRB
mempunyai kekuatan untuk mempertimbangkan standar dari sumber manapun. Hal ini merupakan
upaya untuk memperluas penerimaan politis atas standar yang telah disetujui, tetapi hanya 1 dari 23
standar yang bersumber dari luar. Dengan demikian, mekanisme “due process” dalam ASRB gagal
dalam mencapai tujuannya. Pada dasarnya, Walker berpendapat bahwa profesi akuntansi berperan
dalam melegitimasi standar akuntansi dengan memastikan kepatuhan kepada standar tersebut yang
hanya dapat dicapai oleh standar yang memiliki kekuatan hukum karena standar tersebut didukung
oleh Undang-undang. Namun, profesi akuntansi memiliki kepentingan ekonomi dalam
mempertahankan proses penyusunan standar yang mana tidak menyerahkan secara penuh kepada
pemerintah. Satu-satunya adalah dengan melakukan “capture” ASRB, badan yang memiliki
kekuasaan untuk menyusun standar akuntansi untuk perusahaan sehingga intervensi dari peraturan
dalam proses penetapan standar akuntansi dirancang untuk melindungi kepentingan umum. Namun,
Walker menyatakan bahwa profesi akuntansi merupakan kelompok elite yang tidak bertanggung
jawab atas kepentingan umum. Mereka mempunyai kepentingan pribadi yang hanya dibatasi oleh
intervensi pemerintah.

Harmonisasi penerapan akuntansi secara internasional menimbulkan pertanyaan baru terkait teori
ini. Dengan adanya dukungan penuh Australia, penerapan standar internasional sangat
mencerminkan kepentingan perusahaan besar, Australian Securities Exchange (ASX), dan profesi
akuntansi. CLERP 1 mengarahkan penyusun standar untuk memiliki focus komersial dan responsive
terhadap kebutuhan bisnis yang dilihat dari tanggapan pemerintah dalam melobi standar yang
dikeluarkan oleh Australian Accounting Standards Board (AASB). ASX merupakan pendukung yang
kuat dalam penerapan standar internasional ini karena terdapat manfaat bagi ASX dan perusahaan
yang terdaftar jika menggunakan standar internasional. Setelah melihat pengaruh penerapan
standar internasional, pengaruh atas proses pengembangan standar cenderung tidak diperhatikan.
Tidak mungkin bagi pihak-pihak seperti perusahaan besar, profesi akuntansi, dan ASX dapat
mempengaruhi standar akuntansi di Australia di masa depan seperti yang telah terjadi di masa lalu.
Pihak-pihak tersebut tidak dalam posisi dapat mengendalikan proses penyusunan standar setelah
tahun 2005. Setelah Australia dan Eropa memutuskan untuk menerapkan standar internasional dan
misi IASB bahwa standar tersebut diterapkan di seluruh Negara, fokus berpindah ke IASB.

Aplikasi Private Interest Theory


Private interest theory menyediakan pendekatan yang berbeda dalam memahami perilaku pihak-
pihak yang memiliki kepentingan atas pengaruh peraturan terhadap pelaporan keuangan. Rahman
melakukan peninjauan sistematis terhadap organisasi dan fungsi Dewan/Board, dan menegaskan
bahwa Dewan/Board tergantung pada pengaruh beberapa kelompok kepentingan. Rahman
menjelaskan bahwa selain profesi akuntansi, pihak lain juga mempunyai peran dalam
mempengaruhi kegiatan Dewan. Dewan harus beroperasi dengan gagasan bahwa semua standar
akuntansi yang disetujui harus mendapat persetujuan politik. Rahman mengemukakan bahwa
Dewan juga tergantung pada National Companies and Securities Commission (NCSC) dalam rangka
penegakan standar. Ada tidaknya standar yang menghambat administrasi perusahaan yang efisien
bertanggung jawab untuk diperhatikan oleh NCSC, yang sekarang dikenal dengan Australian
Securities and Investments Commission (ASIC). Rahman berpendapat bahwa Walker gagal dalam
menyebutkan keberadaan pihak eksekutif perusahaan dalam Dewan ASRB. Hal tersebut penting
karena sebenarnya manajer dan direksi perusahaanlah yang perlu untuk mematuhi standar
akuntansi. Pada akhirnya, auditor dan profesi akuntansi terpengaruh karena mereka terlibat dalam
penyusunan laporan keuangan. Eksekutif perusahaan yang berada dalam Dewan membantu
mengamankan kepentingan kelompoknya. Dari perspektif ini, profesi akuntansi tidak meng-capture
proses penyusunan standar di Australia. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa kelompok produsen,
baik yang terorganisir maupun profesi akuntansi yang sifatnya menyebar, menjadi terlibat secara
ekstensif dalam perdebatan dalam proses penyusunan standar di tahun 1980an.

Keterbatasan teori dari peraturan ini adalah tidak eksklusif yaitu sebuah peristiwa yang dijelaskan
dengan sebuah teori dapat sama baiknya dijelaskan dengan teori yang lain. Sebagai contohnya,
dalam kaitannya dengan Sarbanes-Oxley Act dapat dikatakan bahwa Pemerintah Amerika Serikat
berkewajiban untuk mengambil tindakan setelah bangkrutnya Enron untuk menunjukkan bahwa
pemerintah mempunyai perhatian yang serius tentang kecukupan tata kelola perusahaan, pelaporan
keuangan, pengawasan, dan audit. Private interest theory dapat digunakan untuk menjelaskan
beberapa peristiwa. Sedangkan public interest theory didukung oleh banyak pihak karena mengakui
kepentingan dasar dari pihak-pihak yang terlibat. Hal ini juga sejalan dengan pandangan bahwa
penyusunan/penetapan standar sebagai proses politik.

Penyusunan Standar sebagai Proses Politik


Penyusunan standar dipandang sebuah proses politik karena dapat mempengaruhi kesejahteraan
dari berbagai kelompok kepentingan. Model perilaku politik merupakan ringkasan dari teori “public
choice”. Hal tersebut digunakan oleh Watts dan Zimmerman untuk berpendapat bahwa proses
politik hanyalah sarana meraih kepentingan pribadi atau kelompok. Kelompok yang berbeda akan
memperoleh pengaruh yang berbeda-beda dari peraturan akuntansi. Sebagai contohnya, standar
yang melarang pengakuan beban piutang tak tertagih disambut baik oleh perusahaan yang
mempunyai utang yang akan jatuh tempo. Di sisi lain, bank besar mungkin menolak standar ini
karena hal tersebut dapat meningkatkan laba, menurunkan tingkat risiko, dan meningkatkan
eksploitasi kepada nasabah. Dengan adanya perbedaan kepentingan tersebut, pembuat keputusan
harus menetapkan keputusan yang seimbang dengan membuat pilihan politik. Agar keputusan
tersebut diterima oleh pihak-pihak terkait, pembuat peraturan membutuhkan mandate untuk
menyusun pilihan sosial yang memerlukan legitimasi politik.

Dengan adanya ketidakpuasan penyusunan standar dari kelompok professional akuntansi,


pemerintah di beberapa Negara membentuk penyusun standar independen dalam upaya untuk
menghasilkan standar dengan kualitas yang tinggi yang memenuhi kebutuhan pengambilan
keputusan dari pengguna laporan keuangan. Penyusunan standar “due process” harus
memungkinkan para pemangku kepentingan untuk berkontribusi dalam penetapan standar, namun
juga harus mencegah salah satu pihak, misalnya profesi akuntansi, dalam mendominasi proses yang
ada. Penyusun standar nasional yang independen telah sukses menyusun standar akuntansi secara
konseptual. Standar baru telah memperbaiki laporan keuangan tradisional dengan menggunakan
metode pengukuran nilai wajar. Namun, ada contoh jelas kemajuan ke arah posisi yang dipilih secara
konseptual menjadi lambat atau di mana lobi politik telah “menggelincirkan” standar akuntansi,
yaitu leasing. Sebuah penelitian di tahun 1936 merekomendasikan kapitalisasi hak yang melekat atas
property pada leasing. IASB/FASB membuat proyek terkait akuntansi leasing, yang melibatkan
peninjauan yang komprehensif dari semua aspek leasing dan diperkirakan akan menyebabkan
perubahan mendasar dalam akuntansi untuk leasing. Tujuan dari proyek ini adalah untuk
mengembangkan pendekatan umum yang baru dalam akuntansi leasing yang akan memastikan
bahwa semua asset dan kewajiban yag timbul dalam kontrak diakui dalam neraca.

Menurut Paul Kerin, investor harus waspada terhadap perusahaan yang mempunyai kontrak sewa
beli/leasing. Banyak asset dan kewajiban perusahaan yang tidak dilaporkan dalam neraca.
Berdasarkan investigasi dari US Securities and Exchange Commission (SEC) diketahui bahwa
perusahaan terdaftar di Amerika Serikat mempunyai kontrak leasing dengan total sebesar $US1,25
triliun dan jumlah tersebut tidak dilaporkan dalam neraca. Sementara itu di Australia, 90% dari
kontrak leasing di Australia juga tidak dilaporkan dalam neraca. Perusahaan yang mempunyai
kontrak leasing sama halnya dengan membeli asset dengan utang. Kewajiban untuk pembayaran
leasing sama dengan kewajiban untuk membayar angsuran dan bunga. Berdasarkan hal ini,
seharusnya laporan keuangan juga disesuaikan dengan adanya leasing tersebut.

Akuntansi membedakan antara capital lease dan operating lease. Jika kontrak leasing dikategorikan
sebagai capital lease, maka perusahaan harus melaporkannya dalam neraca. Namun, jika termasuk
operating lease, maka perusahaan tidak perlu melaporkannya dalam neraca. Standar di Australia
menyatakan bahwa klasifikasi leasing harus didasarkan pad substansinya, kriteria utama adalah
masa sewa yang merupakan sebagian besar dari masa ekonomi suatu asset. Sementara itu standar
di Amerika Serikat menyatakan bahwa kriteria leasing tersebut adalah total pembayaran sewa yang
lebih dari 90% dari nilai asset. Tetapi kriteria tersebut telah menciptakan industry rekayasa keuangan
yang besar dan bagaimana membuat kontrak lease tetapi tidak harus dilaporkan dalam neraca.

Namun, leasing yang tidak dilaporkan dalam neraca tersebut juga mengurangi laba setelah beban
bunga dan pajak (earnings before interest and tax/EBIT) yang dilaporkan, karena hal tersebut
menyebabkan seluruh biaya sewa yang dibebankan. Jika asset dan kewajiban terkait leasing
dilaporkan dalam neraca, beban dapat dipisahkan menjadi beban penyusutan dan beban bunga.

Setelah adanya himbauan dari SEC, International Accounting Standards Board berencana untuk
meninjau akuntansi sewa beli. Namun, standar yang baru tidak akan muncul hingga tahun 2009 dan
tidak perlu pelaporan penuh dalam neraca. Standar saat ini telah membantu perkembangan industry
besar dan memungkinkan perusahaan merekayasa laporan keuangan. Namun, daripada menunggu
terbitnya standar untuk mengharuskan pelaporan leasing dalam neraca, perusahaan sebaiknya
mengambil inisiatif untuk melakukan hal tersebut agar laporan keuangan yang ada tidak
menyesatkan.

Instrumen Finansial (Financial Instrument)


Salah satu contoh pengaruh proses politik pada penetapan satandar akuntansi adalah penerapan IAS
(International Accounting Standard) 39, tentang financial instrument. Penerapan IAS 39 Financial
Instrument – Recognition and Measurement khususnya di negara-negara yang tergabung dalam Uni
Eropa mendapat banyak tantangan oleh badan pembuat stadar selama beberapa tahun. Berawal
dari permintaan penggunaan pengukuran dengan menggunakan fair value di Amerika Serikat. Hal ini
ditujukan agar lebih akurat dalam penggambaran risiko dan keuntungan dalam mengelola financial
instrument. Fair Value measurement dianggap sangat berguna dalam menyajikan informasi yang
relevan untuk pengambilan keputusan bagi para pengguna informasi keuangan. IOSCO (The
International of Securuities Comissions) mengamini pendapat tersebut dan mendorong IASC
(International Accounting Standard Comission) untuk menyertakan stadar instrumen keuangan
dalam standar pokok dengan harapan agar IOSCO dapat segera mengesahkan bagi perusahaan yang
terdaftar.

Pengumuman bahwa IAS akan diadopsi di Eropa pada tahun 2002 mendatangkan banyak perhatian
yang fokus terhadap isi dari standar internasional tersebut. Perusahaan – perusahaan yang listed di
negara Uni Eropa yang semula menerapkan GAAP secara nasional, kemudian diharuskan mengikuti
IAS, setidaknya untuk akun kosolidasi. Dalam area financial instrumen, hal ini tergolong dalam
perubahan yang cukup dramatis. Pada umumnya perusahaan menggunakan historical cost
accounting untuk instrumen finansial mereka, dengan menampilkan pengukuran pada cost atau
amortized cost., memasukkan gain pada laporan laba rugi hanya jika mereka telah direalisasikan.
Hubungannya dengan financial assets dan liabilities, perusahaan memiliki kebijakannya masing –
masing mengenai kapan laba atau rugi dicatat dalam pendapatan. IAS 39 mengharuskan perusahaan
untuk memasukkan unrealised gain or losses dalam instrumen finansial dalam pendapatan saat
terjadinya. Hal ini akan membatasi pilihan perusahaan kapan pengakuan laba atau rugi pada
beberapa instrumen.

Reaksi Eropa terhadap IAS 39 cenderung negatif, karena ide untuk memasukkan unrealised
gains/losses dianggap tidak populer di beberapa negara, seperti Perancis dan Jerman. Kedua negara
ini sebelumnya sangat konservatif dan menggunakan prinsip historical cost sebagai norma, dan
revaluasi terhadap aset atau liabilitas tidak dipraktikkan. Banyak perusahaan yang merasa keberatan
dengan dalih adanya kemungkinan subjektifitas dalam pengukuran akuntansi dan naik
turun/perubahan terhadap pendapatan yang dilaporkan. Lebih jauh, perwakilan perbankan merasa
terpaksa untuk mengikuti aturan tersebut, dan berdalih kebijakan ini tidak dapat mencerminkan
underlying reality bisnis mereka, membuat akuntansi kurang informatif bagi para pengambil
keputusan.

IASB kemudian melunak, dan setelah proses yang panjang pada 2003 mengamandemen draf 2002
tersebut. Desakan dari berbagai pihak termasuk lobi yang dilakukan oleh bank-bank di Jerman dan
Perancis membuat IASB mempertimbangkan kembali penerapan IAS 39. Upaya lobi kepada IASB ini
dilakukan oleh baik perusahaan, perorangan, dan badan perwakilan seperti asosiasi profesional,
grup perwakilan industri, pembuat standar nasional dan badan perwakilan Eropa seperti FEE dan
EFRAG. Namun upaya lobi yang sangat besar datang dari Presiden Perancis saat itu, Jacques Chirac,
yang mengatakan dalam suratnya kepada komisioner European Comission (EC) bahwa beliau
keberatan jika pengukuran derivatif dengan fair value dan mengatakan standar IASB adalah
konsekuensi yang keji terhadap stabilitas keuangan.

IASB merespon berbagai reaksi tersebut, namun tetap berupaya untuk mempertahankan prinsip
pengukuran dnegan menggunakan nilai fair value. Hingga akhirnya ARC (Accounting Regulatory
Committee) mengesah kan semua standar IASB, tetapi memberikan pengecualian terhadap
beberapa ketentuan yang terkandung dalam IAS 39 terutama tentang pengukuran menggunakan fair
value dan lindung nilai. Perusahaan yang diperbolehkan untuk tidak tunduk pada ketentuan ini
adalah saat menyusun akun yang menggunakan IAS/IFRS dari tahun 2005. Hal ini menunjukkan
bahwa aktivitas lobi dan ekonomi yang kuat serta grup politik yang berpengaruh telah sukses dalam
mendikte isi dari standar akuntansi.

Namun banyak pihak yang mengkiritk keputusan ARC ini, dan menganggap pembentukan ‘IAS Eropa’
ini sebagai sebuah kemunduran, jauh dari tujuan utama harmoinisasi laporan keuangan. Salah
satumya adalah penyusun standar akuntansi di Inggris yang tetap menganjurkan perusahaan-
persahaan di sana untuk tunduk pada ketentuan IAS 39 secara penuh.

Aset Tak Berwujud (Intangible Assets)


Adopsi dari IAS 38 Intangible Assets di Australia juga merupakan contoh ilustrasi dari peran politik
dalam penentuan standar akuntansi. AASB tidak menerapkan standar yang spesifik tentang aset tak
berwujud, aibat tidak tercapainya konsensus pada tahun 1992. Oleh sebab itu banyak metode yang
berkembang digunakan dalam menilai aset tak berwujud, digunakan oleh berbagai perusahaan di
Australia. Penerapan standar akuntansi berdasarkan IAS 38 memiliki perbedaan signifikan dengan
apa yang selama ini telah diterapkan di berbagai perusahaan di Australia. Sebagai conoth, aset tak
berwujud yang di kenali secara internal tidak dapat di akui dan aset tak berwujud yang tidak
memiliki pasar aktif tidak dapat dinilai kembali. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan di Audtralia
melakukan lobi,baik kepada AASB, IASB< maupun pemerintah pusat, agar standar ini diperlunak.
AASB kemudian mengajukan permohonan pada IASB agar perusahaan Australia diizinkan untuk
menggunakan nilai aset tak berwujud sejak 1 January 2005. Namun permohonan AASB ini ditolak,
dimana hal ini menunjukkan bahwa AASB tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap IASB.
Kenyataan ini kemudian menunjukkan bahwa IASB harus terlihat kuat dalam independensi terhadap
penyusun standar dari negara mana pun. Pemerintah Australia sendiri memilih untuk tidak ikut
campur dalam proses pengadopsian IAS 38, walalupun telah di desak oleh beberapa perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai