Anda di halaman 1dari 17

KAJIAN STRUKTUR DAN FUNGSI MANTRA TEMBANG PAMOJI

SEBAGAI PEMANGGIL HUJAN DALAM TRADISI POJIAN HODO DI


SITUBONDO

(Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah: Penulisan Ilmiah)

Dosen Pengajar: Drs. Tubiyono, M.Si

Oleh:

1. Duwi Rachmawati Ketua 121911133034


2. Siti Rohmawati Anggota 121911133009
3. Ahnaf Aprilia Affani Anggota 121911133015
4. Bryan Dimas Jayadinata Anggota 121911133022
5. Siti Aminatus Slikah Anggota 121911133032

Kelas A

PROGAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020

II
ABSTRAK
Mantra merupakan salah satu karya sastra lama yang masuk ke dalam genre puisi.
Mantra juga merupakan produk kebudayaan atau hasil kelompok etnik tertentu yang
diwariskan secara turun-temurun dan membentuk suatu konvensi budaya. Penelitian
ini akan membahas tradisi Pojiyan Hodo yang menggunakan mantra pemanggil hujan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek struktur dan fungsi. Dengan
menggunakan metode pustaka pada jurnal-jurnal yang fokusnya mengenai mantra
pemanggil hujan di Situbondo. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa mantra
Tembang Pamoji meliputi unsur judul, unsur pembuka, unsur sugesti, unsur tujuan,
dan unsur penutup. Tradisi Pojiyan Hodo juga selain berfungsi sebagai pemanggil
Hujan juga berfungsi sebagai hiburan, pendidikan anak, dan alat pengawas agar
norma-norma masyarakat selalu dipatuhi.
Kata kunci: mantra, pemanggil hujan, Pojiyan Hodo

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas karya tulis ilmiah yang berjudul
Kajian Struktur dan Fungsi Mantra Pemanggil Hujan dalam Tradisi Pojian di
Situbondo ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen Drs. Tubiyono, M.Si, pada mata kuliah Penulisan Ilmiah. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Struktur beserta fungsi mantra
pemanggil hujan dalam tradisi Pojian Hodo di Situbondo bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen kami Pak Tubi, selaku dosen
mata kuliah penulisan ilmiah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan, kekompakan, dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna mengingat bahwa sumber-sumber informasi mengenai mantra dalam
tradisi Pojiang Hodo begitu jarang. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 11 Maret 2020


Penyusun

II
DAFTAR ISI

ABSTRAK.................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN DAN ISI..........................................................................................................3
2.1 Tradisi Pojiang Hodo.....................................................................................................................3
2.2 Mantra pemanggil hujan dalam tradisi Pojiang Hodo..............................................................3
2.3 Struktur mantra Tembang Pamoji..............................................................................................4
2.3 Fungsi mantra sebagai pemanggil hujan.....................................................................................8
BAB III PENUTUP................................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................................11
3.2 Saran.............................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................12

III
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara umum sastra merupakan sebuah karya seni yang bermediumkan bahasa,
bersifat inovatif, dan unsur imajinatifnya menonjol. Sastra dibagi menjadi dua bagian,
sastra tulis dan sastra lisan. Sesuai dengan namanya, sastra tulis mengacu kepada
sastra yang dinikmati dengan membaca seperti novel, puisi, dan naskah drama.
Menurut Hutomo (dalam Baruardi,2014:32) sastra lisan dalam pengertian ahli
adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi sastra warga suatu kebudayaan yang
disebarkan secara turun temurun secara lisan.
Perkembangan sastra lisan dalam masyarakat tumbuh pesat karena memiliki
masyarakat yang menggunakannya dalam wadah yang bermacammacam. Di Jawa
Timur terdapat etnis: Using, Madura, dan Tengger. Etnis Madura tersebar di daerah
Jawa Timur terutama di wilayah Tapal Kuda, meliputi Bondowoso, Situbondo,
Jember, dan Banyuwangi. Komunitas masyarakat Madura di Kabupaten Situbondo
adalah masyarakat migran asal Pulau Madura. Tradisi masyarakat migran mirip
dengan tradisi masyarakat Madura. Kemiripan tersebut tampak pada bentuk rumah,
suasana perkampungan, bahasa yang digunakan, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan
mereka (Arifin dalam Wibisono dan Sofyan, 2008:35).
Salah satu bentuk dari tradisi lisan adalah adanya mantra. Di Situbondo ,
Tradisi Pojiyan Hodo meripakan upacara kesenian peninggalan para leluhur Pariopo
yang hanya menampilkan musik dan tarian-tarian saja, akan tetapi Pojiyan Hodo
adalah peninggalan para leluhur setempat yang di dalamnya ada magic religiusnya
yang berfungsi untuk meminta hujan dan juga meminta keselamatan dengan
menggunakan sebuah alunan musik dan tarian. Dalam tradisi tersebut terdapat mantra
yang berjudul Tembang Pamoji.
Di Indonesia pastinya banyak yang yang mendengar istilah pawang hujan.
Pemanggilan hujan dengan menggunakan mantra yang dilakukan oleh pawang hujan
ini merupakan jenis jasa yang populer di Indonesia.
Mantra pemanggil hujan dalam tradisi Pojian Hodo di Situbondo ini mempunyai
makna dan fungsi tersendiri. Hal itu membuat tradisi ini masih tetap ada dalam
masyarakat Situbondo terutama di Dukuh Pariopo. Dengan mengetahui struktur dan
fungsi inilah yang termasuk dalam bentuk upaya untuk melestarikan ritual tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :

1
1.2.1 Bagaimana struktur dalam mantra pemanggil hujan dalam tradisi
Pojian Hodo di Situbondo?
1.2.2 Bagaimana fungsi dalam mantra pemanggil hujan dalam tradisi
Pojian Hodo di Situbondo?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui mengenai struktur dan fungsi mantra pemanggil
hujan dalam tradisi Pojian Hodo di Situbondo.
1.3.2 Untuk menambah wawasan mengenai salah satu budaya sastra
berupa mantra yang ada di Sutobondo.
1.3.3 Melestarikan budaya mantra pemanggil hujan dalam tradisi Pojian
Hodo.
1.3.4 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Ilmiah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi penyusun:
a. Manfaat administratif yaitu administrati penelitian yang
lakukan bisa dijadikan salah satu syarat untuk
memperoleh nilai dari tugas makalah.
b. Manfaat teoritis yaitu menambah wawasan khususnya
tentang masalah yang diteliti, serta meningkatkan nalar
penyusun melalui penganilisisan novel.
c. Manfaat praktis yaitu bertambahnya pengalaman dalam
melakukan penyusunan KTI.
1.4.2 Manfaat bagi pembaca
a. menambah pengetahuan mengenai struktur dan fungsi mantra
dalam tradisi Pojian Hodo di Situbondo.

2
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI

2.1 Tradisi Pojiang Hodo


Tradisi Pojiyan Hodo bukan hanya upacara kesenian peninggalan para
leluhur Pariopo yang hanya menampilkan musik dan tarian-tarian saja, akan tetapi
Pojiyan Hodo adalah peninggalan para leluhur setempat yang di dalamnya ada magic
religiusnya yang berfungsi untuk meminta hujan dan juga meminta keselamatan
dengan menggunakan sebuah alunan musik dan tarian.
Orang yang mencetuskan tradisi Pojiyan Hodo bernama Bujhu’ Mothi’ dan
para sahabatnya, beliau semua berasal dari keluarga pemeluk agama Islam. mereka
mencetuskan tradisi Pojiyan Hodo bukan untuk kesenian atau kesenangan semata,
tetapi beliau mencetuskan hal tersebut lebih dari untuk kesenian, yaitu di dalam
Pojiyan Hodo terdapat hal-hal yang diyakini dapat menurunkan hujan yang membuat
Pedukuhan Pariopo terlihat lebih rindang. sehingga walaupun masyarakat setempat
meminta hujannya dengan menggunakan tarian, mereka tidak lupa memintanya
kepada sang maha kuasa pencipta segalanya dan juga tidak lupa memasukkan unsur-
unsur Islam di dalam ritualnya.
Dalam susunan acaranya terdapat banyak unsur-unsur filosofis di dalamnya
yang mengarah pada kehidupan kita sebagai muslim. Contohnya saja dalam pelaku
ritualnya. Pelaku ritual dalam tradisi Pojiyan Hodo harus tujuh belas orang, yang
mempunyai makna tujuh belas rokaat, dan di antara tujuh belas ada lima penabuh alat
musik yang mempunyai arti rukun Islam ada lima.
Walaupun meminta hujannya dengan seni tari dan alat musik, tetapi
masyarakat setempat tidak lupa memasukkan unsur Islam di dalamnya, seperti di
dalam tariannya, yang mana para pelaku ritual menari sambil menghadap ke atas dan
tangan juga diangkat ke atas yang mempunyai makna meminta kepada Allah SWT.
Mantra-mantra dalam Pojiyan Hodo banyak menyebut lafadz Lailahaillallah
muhammadarrasulullah yang dilafalkan berkali-kali. Jadi tradisi Pojiyan Hodo bisa
dikatakan tradisi yang ada unsur religius di dalamnya.
Yang unik di dalam tradisi ini adalah dalam pembacaan doanya, dalam tradisi
Pojiyan Hodo, membaca doanya diiringi dengan alunan musik dan juga penari-penari,
dan yang memimpin doa tidak hanya berdoa seperti biasa orang-orang lakukan pada
umumnya, tetapi pemimpin doa membaca doanya dengan menggunakan lagu bahasa
Madura, yang biasa disebut di madura adalah “Mamaca”.

2.2 Mantra pemanggil hujan dalam tradisi Pojiang Hodo


Dalam sejarah pencipataan tradisi Pojian Hodo orang-orang melakukannya
dengan menggunakan sebuah tarian yang mana karna kemampuan orang-orang

3
terdahulu yang mempunyai jiwa seni. Maka kemudian dilakukanlah pojiyan-pojiyan
beberapa kalimat-kalimat yang diyakini bisa menurunkan hujan untuk menyuburkan
padukuhan mereka. Dulunya kalimatnya hanya berupa kata-kata seperti “Hodo
Cadeng Depang Geringseng Samporna Kalapar” di dalam kajian bahasa, kata-kata
tersebut namanya arkais. Arkais adalah kalimat yang kita tidak mengerti tetapi itu jadi
kebiasaan dan keyakinan.
Akan tetapi dengan perkembangannya zaman doa-doa tersebut diperbarui agar
tampak lebih baik dan juga di dalamnya ditambahkan kalimat-kalimat toyyibah agar
tidak melenceng dari aturan-aturan agama Islam. Sampai saat ini masyarakat setempat
masih melakukan tradisi tersebut untuk meminta kesuburan dan juga karena takut
akan masalah datang, jika tidak dilakukan tradisi Pojiyan Hodo. Ada juga pendapat
dari tokoh-tokoh lain mengenai asal usul adanya tradisi upacara adat Pojiyan Hodo
yang ada di Dukuh Pariopo Desa Bantal.
“lambe’ arowah e dinna’ mun cakna mbana kaula, lambek arowah tada’
aeng sakale, daddinah oreng mun alakowah arowah sossa, nginummah tade’
aeng, alakowah saba tada’ aeng, alakowah ternak tada’ aeng, Mangkanah oreng
lambe’ mabada Pojiyan Hodo ma’le ta’ panas pole e ka’enja, maleh naong.
Enga’ arowah ca’na mbana kaule lambe’ Panikah Pojiyan Hodo pon bada la
lambe’ pon, abit pon se badea nika. Kaule se kita’ laher pon bada nika.”
2.3 Struktur mantra Tembang Pamoji
Konsep struktur menjadi landasan dalam mengkaji mantra Tembang Pamoji. Mantra
merupakan puisi lama yang terlupakan (Saputra, 2007:1). Kajian diarahkan pada
unsur-unsur yang membentuk struktur mantra pemanggil hujan yang utuh karena
menggunakan pendekatan struktural. Struktur mantra disebut sebagai sastra lisan
karena secara tekstual hal tersebut termasuk dalam puisi lisan. Mantra pemanggil
hujan merupakan puisi lirik yang berisi tentang mistik dan terdapat permohonan
kepada Tuhan untuk mengabulkan permintaan menurunkan hujan.
Bunyi doanya pun dulunya hanya seperti “Hodo Cadeng Depang Geringseng
Samporna Kalapar” itu saja yang mereka ucapkan dan diyakini dapat menurunkan
hujan. Akan tetapi tembang atau doanya saat ini sudah diperbaharui menjadi lebih
baik agar tidak ada unsur syirik di dalamnya dan sangat panjang dan juga banyak
tembangnya yang dibaca saat ini, berdasarkan hasil pengamatan pustaka kami mantra
Tembang Pamoji adalah sebagai berikut:

 Bismillahirrohmanirrahim
(Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan Maha
Penyayang)
 Tembang pamoji kaule
(Tembang pemujaan kami)
 Pamojina socce kalaben ate sepote
(Pemujaan yang suci dengan hati yang bersih)

4
 Kaangguy ngadep Ajunan Gusti
(digunakan untuk menghadap Engkau ya Tuhan)
 Son nak Poto Abididhan Nabi Adam
(Untuk semua anak cucu Nabi Adam)
 Wekasane Nabi Muhammad
(Meneruskan Nabi Muhammad)
 Sengko’ jeneng alif, Alif iku Popocogi
(Akulah zat yang Tunggal, Zat tunggal itulah)
 Sang pangocap Sapa Liwepa
(Mengabulkan siapa yang Dia Kehendaki
 Sengko’ Makhlukka Allah
(Aku adalah makhluk Allah)
 Mandhi-mandhi-mandhi Diye
(mandi-mandi-mandilah disini)
 Sendit Jibril cangking Malaikat
(Dari malaikat Jibril)
 Ondhem dateng-Ondhem deteng-Ondhem dateng mon du
sebennyak-bennyak
(awan datang-awan datang-awan datang)
 Mon Geggere- Mon geggere
(Turunlah-turunlah)
 Lailaha illallah Muhammadurrasulullah
(Dilafalkan berkali-kali)
Struktur mantra pemanggil hujan meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur sugesti,
unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur-unsur yang membentuk struktur mantra
pemanggil hujan berjudul Tembang Pamoji dapat disusun dalam tabel berikut:
Tabel Struktur Mantra Tembang Pamoji
Unsur Struktur Isi Unsur Struktur
Mantra Pemanggil Hujan
Unsur Judul Tembang Pamoji
Unsur Pembuka 1) Bismillahirrahmanirrahim
Unsur Sugesti 2) Tembang pamoji kaula
3) Pamojina socce kalaban ate se pote
4) Kaangghuy ngadep ajunan Gusti
5) Moge-moge karadduwa parnyo’onan ban partobadan
6) Son nak poto abibidan Nabi Adam
7) Wekasane Nabi Muhammad
8) Sengko’ jenneng alif,
9) Alif igu popocogi

5
10) Sang pangocap sapa liwepa
11) Sengko’ makhlukka Allah
Unsur Tujuan 12) Mandi... Mandi... Mandi...
13) Dhiya…
14) Tekka... tekka... tekka..
15) Dhiya…
16) Sendhit Jibril… sakeng Malaekat
17) Ondhem dhateng... ondhem dhateng... ondhem dhateng
18) Mon gaggara.. mon gaggara
19) Amin… amin… amin…
Unsur Penutup 20) Lailaha illallah Muhammadurrasulullah
Unsur Sugesti 21) Dangdangkep sere kakep
22) Mon mayyit mara ngocap
23) Mon manossa mara nyanggigep
24) Somor bandung talaga petteng
25) Sabuhoni moga ondhem
26) Petteng dhateng
27) Malaekat papat tekka dhateng
28) Saksena para wali
29) Wawalina Nabi Muhammad
Unsur Penutup 30) Lailaha illallah Muhammadurrasulullah

Unsur judul dalam mantra biasanya terdiri atas kelompok kata yang
mencerminkan tentang tujuan mantra yang bersangkutan (Saputra,2007: 147). Frasa
tembang pamoji berasal dari kata tembang yang berarti ‘tembang atau lagu’, dan
pamoji yang berarti ‘pemuji atau puji-pujian’. Judul tersebut berkaitan dengan puji-
pujian yang dilakukan oleh seseorang. Puji-pujian tersebut menandakan adanya
sebuah permintaan hamba kepada Tuhannya.
Unsur pembuka yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu kalimat basmalah.
Unsur pembuka yang selalu digunakan oleh keempat dukun yang terdapat di tempat
berbeda menggunakan ucapan Bismillahirrahmanirrahim yang berarti ‘dengan nama
Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang’. Mereka beranggapan bahwa
kalimat basmalah digunakan untuk membuka suatu tindakan agar tindakan tersebut
mendapat barokah dari Tuhan Yang Maha Esa. Unsur sugesti adalah unsur yang berisi
tentang metafora-metafora atau cerita-cerita yang dianggap memiliki daya atau
perasaan tertentu dalam membantu membangkitkan potensi gaib seseorang terhadap
mantra tersebut. Dapat dikatakan, bahwa seseorang yang ingin mencapai inti dari
sebuah mantra akan melewati satu bagian yang berisi tentang sugesti. Unsur sugesti
pada mantra Tembang Pamoji berkaitan dengan eksistensi Tuhan dan nabi. Hal
tersebut terdapat pada larik ke-2 hingga larik ke-11; serta larik ke21 hingga larik ke-
29 dalam mantra Tembang Pamoji. Larik ke-21 menjelaskan tentang daun sirih yang
bersusun rapi. Susunan daun sirih disebut setangkup atau dapat digambarkan dua
lembar sirih yang dikatupkan. Setangkup daun sirih tersebut memiliki makna
semiotik, yaitu seperti dua buah tangan yang dikatupkan. (disatukan seperti dalam
keadaan bertepuk tangan) saat berdoa.

6
Ada dua nama nabi yang disebut dalam unsur sugesti tersebut yaitu Nabi Adam
dan Nabi Muhammad. Dari 19 larik yang berisi tentang unsur sugesti atau ungkapan
analogi (persamaan) ada lima hal (lima larik) yang menjadi inti dan saling berkaitan
dengan eksistensi Tuhan dan para nabi. Dua data yang berkaitan dengan eksistensi
Tuhan adalah di larik ke-4 dan larik ke-8. Data tersebut menyatakan tentang bentuk
metafora dari sengko’ (saya atau si subjek) yang menjadi makhluk ciptaan Tuhan
(Allah). Dia mempercayai bahwa Allah yang menciptakan semua makhluk dan
seluruh jagad raya beserta isinya. Subjek percaya bahwa Allah yang mengabulkan
semua permintaan-permintaan hambanya. Karena hanya dengan doa Allah dapat
mendengar seluruh permohonan makhluknya. Tiga data yang berkaitan dengan nama-
nama nabi terdapat dalam larik ke-6, ke-7, dan ke-29. Ketiga data tersebut berkaitan
dengan nabi yang diturunkan pertama dan terakhir oleh Allah. Nabi Adam merupakan
nabi yang pertama kali diciptakan dan diturunkan ke bumi pertama kali oleh Allah.
Selain itu, data yang berhubungan dengan Nabi Muhammad menyatakan tentang nabi
terakhir yang diturunkan ke bumi oleh Allah untuk menjadi panutan bagi umat Islam.
Unsur tujuan merupakan kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur
yang membentuk struktur mantra. Dalam hal ini tujuan antara mantra satu dengan
yang lainnya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bertujuan untuk meminta turunnya
hujan. Dalam mantra Tembang Pamoji terdapat dalam larik ke-12 hingga larik ke19.
Data tersebut menunjukkan tentang permohonan keinginan hamba agar hujan jatuh ke
bumi khususnya ditempat yang diminta dan diinginkan oleh masyarakat yang ditutup
dengan kata amin (semoga Allah Swt. mengabulkan semua doa) agar keinginan
masyarakat dapat dikabulkan oleh-Nya. Kata amin biasa diucapkan setelah membaca
doa agar doa yang dipanjatkan kepada-Nya diterima dan dikabulkan oleh-Nya. Unsur
tujuan yang terdapat dalam mantra Demmong terdapat dalam data Pateppa’aghi
cacca’anna ‘Betulkan gemburan tanahnya’ dalam larik ke-6. Maksud data tersebut,
jika hujan mulai turun segeralah membetulkan tanah dengan cara mencangkulnya agar
gembur dan air hujan dapat meresap dengan baik ke dalam tanah. Sehingga tanah
dapat menyerap air dengan baik.
Unsur terakhir yang membangun struktur mantra adalah unsur penutup. Unsur
penutup yang terdapat dalam tiap mantra berbeda, tidak seperti unsur pembuka lisan
yang cenderung sama antar mantra satu dan yang lainnya. Mantra pertama atau
Tembang Pamoji memiliki unsur penutup lailahaillallah muhammadurrasulullah
yang berarti ‘tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah’
yang terdapat dalam larik ke-20 dan larik ke-30. Kalimat tersebut juga menunjukkan
keyakinan terhadap Allah Swt. dan Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah Swt.
Larik tersebut diucapkan dua kali dalam mantra, yaitu di tengah dalam larik ke20 dan
di akhir larik ke-30. Perulangan kata lailahaillallah muhammadurrasulullah
merupakan kalimat penegasan agar manusia benar-benar yakin bahwa tidak ada
Tuhan kecuali Allah SWT. Perulangan kata tersebut dipercaya agar mantra lebih
manjur saat tradisi berlangsung.

7
2.3 Fungsi mantra sebagai pemanggil hujan
Dalam memahami fungsi tradisi peneliti menggunakan teori yang dikembangkan
oleh William R. Bascom. Menurutnya, ada empat fungsi sastra lisan, yaitu:
1. Sebagai bentuk hiburan;
2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan;
3. Sebagai alat pendidikan anak;
4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu
dipatuh anggota kolektifnya.
Analisis fungsi yang akan dibahas dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi mantra dan
fungsi ritual. Penerapan teori fungsi untuk menganalisis tradisi Pojiyan Hodo sebagai
berikut.
2. 3. 1 Sebagai Bentuk Hiburan
`Sebagai sebuah tradisi yang turun-temurun, hiburan tradisi pemanggil hujan
menjadi sebuah bentuk hiburan tersendiri bagi masyarakat setempat. “hiburan”
sifatnya langsung merangsang panca-indra atau juga tubuh untuk mengikuti dengan
gerak; mementingkan sifat glamur dan sensasional (Sedyawati, 2006:131). Tradisi
Pojiyan Hodo memiliki keindahan tersendiri baik dari segi mantra dan prosesi ketika
menjalankan ritual. Bagi masyarakat Kabupaten Situbondo, tradisi tersebut
merupakan bentuk kesenian yang menghibur. Hiburan dalam konteks ini bukan hanya
sebuah tontonan. Melainkan alat yang dapat membuat pikiran dan perasaan
masyarakat menjadi lega. Isi mantra dapat memberikan penyegaran jiwa bagi
pembaca mantra. Selain mantra, prosesi adalah hal yang menonjol dan membuktikan
bahwa ritual mantra pemanggil hujan Pojiyan Hodo sebagai bentuk hiburan. Prosesi
dalam ritual Pojiyan Hodo dilakukan dua kali yaitu ketika malam sebelum hari
pelaksanaan ritual berlangsung serta upacara inti keesokan harinya. Hal yang menarik
dalam penyelenggaraan tradisi Pojiyan Hodo adalah nyanyian dan tariannya. Awalnya
tarian dilakukan dengan posisi duduk, kemudian berdiri dan mengelilingi tumpeng.
Urutan tarian yang paling akhir, dilakukan dengan mengikut sertakan penonton untuk
menari bersama dalam prosesi tradisi tersebut. Tarian tersebut dinamakan tarian Suka
Cita, karena menggambarkan tentang kegembiraan masyarakat saat permintaan
terkabul (hujan turun).
2. 3. 2 Sebagai Alat Pengesahan Pranata-pranata dan Lembaga-lembaga
Kebudayaan
Menurut Rahman (2004:101), setiap lembaga kebudayaan memiliki ciri-ciri
spesifik tersendiri. Konvensi di masyarakat tertentu menjadi dasar terbentuknya
lembaga tersebut. Dalam masyarakat religi terdapat sistem social budaya yang berlaku
di dalam tata kehidupannya. Fungsi religi di dalam sistem sosial budaya menjadi
sangat penting dan melekat erat, seakanakan mustahil akan melemah tersisihkan dari
struktur sistem tersebut secara keseluruhan. Fungsi sebagai alat pengesahan pranata-
pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan adalah apabila kegiatan tersebut rutin
dilakukan dan dipentaskan pada acara-acara tertentu. Tradisi Hodo diadakan setahun

8
sekali antara bulan Oktober dan November. Hingga saat ini, pelaksanaan ritual
tersebut dilaksanakan setahun sekali dan sebulan sekali pada malam jumat manis.

2. 3. 3 Sebagai Alat Pendidikan Anak


Filsafat etika mengajarkan tentang apa yang baik dan buruk. Ukuran bagi sesuatu
yang baik dan buruk adalah kata hati. Kata hati itu dipengaruhi oleh faktor-faktor
pembawaan, lingkungan, agama, dan usia (Sulistyorini,2008:75). Setiap individu anak
dan orang dewasaselalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu (yang bersifat
ritual, biologis, dan human atau sosial kultural) untuk mempertahankan hidupnya.
Demikian pula seorang anak, dia selalu berusaha mengatasi semua hambatan dan
menghilangkan ketegangan-ketegangan batinnya sebagai akibat belum terpenuhinya
kebutuhan. Jika pemenuhan kebutuhan itu sudah terlaksana, akan tercapai
keseimbangan batin dan kepuasan (Kartono, 1995:47). Fungsi primer yang terpenting
dari keluarga adalah pewarisan norma kebudayaan dari satu generasi ke generasi
lainnya. Hal-hal religious sudah mulai diajarkan sejak kecil di lingkungan rumah
tangga. Pendidikan ketuhanan akan mempertajam pandangan untuk melihat
gejalagejala pertama dari perkembangan religius yang sebenarnya. Tradisi Pojiyan
Hodo memiliki fungsi sebagai alat pendidik anak, baik dari segi mantra yang
dinyanyikan maupun dari ritual tradisinya.
...
30) Lailaha illallah Muhammadurrasulullah
...
Data tersebut memiliki arti ‘Tiada Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah’. Pengertian tersebut bertujuan agar anak mengerti tentang siapa Tuhan
mereka dan utusanutusan-Nya. Selain itu, anak juga akan mengerti tentang bagaimana
mencintai Allah dan Rosul-Nya. Selain fungsi tersebut, fungsi agamis yang diberikan
oleh tradisi ini cukup besar kepada seorang anak. Hal tersebut dapat dilihat dari cara
untuk mendapatkan sesuatu itu tidak gampang, memerlukan kerja keras serta rasa
berserah diri (tawakkal) kepada Allah.

2. 3. 4 Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas agar Norma-norma


Masyarakat Selalu Dipatuhi Anggota Kolektifnya
Hal yang paling melekat dan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat adalah
norma-norma tertentu yang diturunkan dari masyarakat terdahulu. Norma hukum
yang mengikat masyarakat untuk bertindak baik secara individu maupun kolektifnya.
Ikatan para pelaku tradisi terdapat pada rasa kewajiban untuk melestarikan dan
mengenalkan tentang kebudayaan pemanggil hujan. Tradisi tersebut dilaksanakan
untuk mengingatkan masyarakat untuk selalu tidak melupakan bersyukur dan berdoa
kepada Sang Pencipta (Tuhan). Jika tradisi
tersebut tidak dilaksanakan, maka keimanan masyarakat setempat akan menurun.
Ketika mantra pemanggil hujan mulai didengarkan, maka hal tersebut akan
mengingatkan dan memaksa masyarakat untuk meresapi isi dari mantra tersebut.
Tidak peduli masyarakat tersebut termasuk dalam kategori orang yang berpendidikan
atau tidak, mantra tersebut memaksa orang terhadap keyakinannya. Baik muda

9
maupun tua, mereka tetap hanya bias mengikuti dan tidak bisa menolak mantra
tersebut. Mantra pemanggil hujan merupakan unsur pemaksa berdasarkan isi pada dua
mantra pemanggil hujan yaitu dalam mantra Tembang Pamoji dan Demmong. Kedua
mantra tersebut memaksa penonton untuk menaati perintah agama. Pemaksaan
tersebut berupa anjuran dan ancaman yang ada di mantra pemanggil hujan.
Masyarakat dihimbau untuk selalu berdoa dan meminta kepada Tuhan agar
keinginannya tercapai dan terhindar dari kemarau yang panjang. Data yang
menunjukkan hal tersebut sebagai berikut.
...
2) Tembang pamoji kaula
3) Pamojina socce kalaban ate se pote
4) Kaangghuy ngadep ajunan Gusti
5) Moge-moge karadduwe parnyo'onan
ban partobadan

Mantra tersebut menyatakan tentang hamba yang menginginkan permohonan dan
pertobatannya dikabulkan oleh Allah. Hamba tersebut tidak henti-hentinya memohon
doa agar permintaannya dapat dikabulkan.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tradisi Pojiyan Hodo merupakan peninggalan para leluhur setempat yang di


dalamnya ada magic religiusnya yang berfungsi untuk meminta hujan dan juga
meminta keselamatan dengan menggunakan sebuah alunan musik dan tarian.
Setelah melakukan analisis struktur dan fungsi terhadap mantra Tembang Pamoji,
dapat disimpulkan analisis terhadap mantra pemanggil hujan merupakan analisis
terhadap unsur-unsur struktur yang meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur
sugesti, unsur tujuan, dan unsur penutup.
Frasa Tembang Pamoji berasal dari kata tembang yang berarti ‘tembang atau
lagu’, dan pamoji yang berarti ‘pemuji atau puji-pujian’. Judul tersebut berkaitan
dengan puji-pujian yang dilakukan oleh seseorang. Puji-pujian tersebut menandakan
adanya sebuah permintaan hamba kepada Tuhannya.
Upacara tradisi Pojiyan Hodo jika dilihat sekilas tanpa mengkajinya lebih jauh
hanya sebatas upacara meminta hujan yang berbeda dari biasanya, karna
menggunakan sebuah alunan musik dan tarian. Namun saat ditelaah lebih dalam
ternyata Pojiyan Hodo dapat berfungsi sebagai hiburan, pendidikan anak, dan alat
pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi.

3.2 Saran

Tradisi Pojiyan Hodo yang serat akan makna dan nilai-nilai budaya seharusnya
lebih banyak didokumentasikan dalam literatur ataupun sumber dokumentasi lainnya.
Budaya sastra lisan ialah budaya yang sangat kental di berbagai penjuru Indonesia.
Mantra Tembang Pamoji harus dikenalkan di kalangan anak muda. Jadi bukan hanya
masyarakat Situbondo saja yang mengenal budaya ini. Seluruh lapisan masyarakat
Indonesiapun dapat ikut berpartisipasi dalam melestarikan budaya yang ada di
Indonesia terutama sastra lisan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Baruadi, K. 2014. Sastra Lisan Gorontalo dari Tradisi Lisan Universal. Bahasa Sastra
dan Pembelajaran, 4.
Hasan, Tutik Mabsuth. 2018. Tradisi Pojiyan Hodo dalam Prespektif Filsafat Nilai
Max Scheler. Skripsi. Fakultas Unshuluddin dan Filsafat. Aqidah dan Filsafat
Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Yogyakarta

Ningsih, s., dkk. 2013. Mantra dalam Tradisi Pemanggil Hujan di Situbondo Kajian
Struktur. Formula dan Fungsi. Publika Budaya, 1, 1-15.

Saputra, Heru S. P. 2007. Memuja Mantra. Yogyakarta: lkis

Sedyawati,Edi. 2006. Budaya Indonesia (Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah)

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sulistyorini, Latin. 2008. Perspektif Anak Beserta Permasalahan yang Umum Terjadi

pada Anak dan Remaja. Jember: UNEJ.

Wibisono, dkk. 2008. Perilaku Berbahasa Orang Madura.

12

Anda mungkin juga menyukai