Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS FARMASI

HEMORRHOID

OLEH :
REINALDO BOBBY YUWONO
G991902046

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS UNS
SURAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Hemorrhoid atau lebih dikenal dengan nama wasir atau ambeien, bukan
merupakan suatu keadaan yang patologis (tidak normal), namun bila sudah mulai
menimbulkan keluhan, harus segera dilakukan tindakan untuk mengatasinya.
Hemorrhoid dari kata ''haima'' dan ''rheo''. Dalam medis, berarti pelebaran pembuluh
darah vena (pembuluh darah balik) di dalam pleksus hemorrhoidalis yang ada di
daerah anus. Dibedakan menjadi 2, yaitu hemorrhoid interna dan hemorrhoid eksterna
yang pembagiannya berdasarkan letak pleksus hemorrhoidalis yang terkena
(Murbawani, 2006). Hemorrhoid merupakan gangguan sirkulasi darah yang berupa
pelebaran pembuluh (dilatasi) vena. Pelebaran pembuluh vena yang terjadi di daerah
anus sering terjadi. Pelebaran tersebut disebut venecsia atau varises daerah anus dan
perianus. Pelebaran tersebut disebabkan oleh bendungan darah dalam susunan
pembuluh vena. Pelebaran pembuluh vena di daerah anus sering disebut wasir,
ambeien atau hemorrhoid. Hemorrhoid dapat dibagi atas hemorrhoid interna dan
hemorrhoid eksterna. Hemorrhoid dapat disebabkan karena bendungan sentral seperti
bendungan susunan portal pada sirosis hepatic, herediter atau penyakit jantung
koroner, serta pembesaran kelenjar prostate pada pria tua, atau tumor pada rektum
(Patologi F.K.UI, 1999).

Hemorrhoid interna adalah pleksus vena hemorrhoidalis superior di atas


mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Hemorrhoid interna ini merupakan bantalan
vaskuler di dalam jaringan submukosa pada rectum sebelah bawah. Hemorrhoid
interna sering terletak di kanan depan, kanan belakang dan kiri lateral. Hemorrhoid
eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemorrhoidalis inferior,
terdapat di sebelah distal pada mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus
(Sjamsuhidajat,1998).
Hemorrhoid dapat menyebabkan kesulitan untuk defekasi. Hemorrhoid tidak
hanya terjadi pada pria usia tua, tetapi wanita bisa terjadi hemorrhoid. Usia muda
dapat pula terjadi hemorrhoid (Isselbacher, dkk, 2000). Diperkirakan bahwa 50 %
dari populasi yang berumur lebih dari 50 tahun menderita hemorrhoid secara nyata
atau minimal. Kebanyakan dari mereka tidak memberikan keluhan (Robbins, 1995).

Dewasa ini, pola makan masyarakat semakin berubah sesuai dengan tuntutan
keadaan. Banyak para pekerja yang hanya mengutamakan rasa kenyang di banding
gizi dari makanan yang hendak dimakan. Yang penting, cepat dan bisa langsung
kenyang. Kebanyakan makanan-makanan itu sangat rendah kandungan seratnya.
Padahal mengonsumsi makanan rendah serat terlalu banyak dapat menyebabkan
susah buang air besar. Bila sudah mengalami kesulitan dalam buang air besar, maka
pada akhirnya untuk mengeluarkan faeses kita harus mengejan. Hal ini menyebabkan
pembuluh darah di daerah anus, yakni pleksus hemorrhoidalis akan merenggang,
membesar karena adanya tekanan yang tinggi dari dalam. Bila hal ini terjadi secara
terus-menerus, maka pembuluh darah itu tidak akan mampu kembali ke bentuk
semula. Kejadian ini dialami pula oleh wanita yang sedang hamil dan seseorang yang
obesitas. Lama kelamaan, akan terjadi penonjolan hemorrhoid yang tidak dapat
dimasukkan kembali ke dalam anus, sehingga harus dilakukan operasi (Murbawani,
2006). Hemorrhoid yang membesar dapat disertai dengan prolaps yang melalui anus.
Bila prolaps tidak segera diobati dapat menjadi kronik dan bisa terinfeksi atau
mengalami trombosis. Bila prolaps sudah terinfeksi akan menimbulkan rasa nyeri
yang hebat dan akan terjadi pendarahan yang banyak. Penderita hemorrhoid yang
sudah prolaps pada saat defekasi akan keluar darah yang banyak dan rasa nyeri
(Isselbacher, dkk, 2000).

Hemorrhoid dapat dicegah dengan minum air putih yang cukup, makan
sayuran yang banyak, dan buah-buahan yang banyak, sehingga membuat feces tidak
mengeras. Apabila banyak memakan makanan yang mengandung serat dan banyak
minum air putih yang banyak dapat meperlancar defekasi, selain itu ginjal menjadi
sehat (Gotera, 2006). Selain itu hemorrhoid dapat dicegah dengan cara olah raga yang
cukup, duduk tidak terlalu lama dan berdiri tidak terlalu lama (Merdikoputro, 2006).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

Menurut beberapa ahli, pengertian hemoroid adalah:

1. Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di


daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis (Sudoyo, 2006).
2.  Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam plexus hemoroidalis yang
tidak merupakan keadaan patologik (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
3. Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal.
Hemoroid   sangat   umum   terjadi.   Pada   usia   50-an, 50%   individ
u mengalami berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang
terkena (Smeltzer dan Bare, 2002).
4. Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen atau lebih vena-vena
hemoroidales(Bacon). Patologi keadaan ini dapat bermacam-macam,
yaitu thrombosis, ruptur, radang, ulserasi, dan nekrosis (Mansjoer,
2008).

Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa hemoroid


adalah pelebaran dan inflamasi vena di dalam plexus hemoroidalis.

B. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Mansjoer (2008), etiologi dari
hemoroid adalah:
1. Faktor predisposisi:
a. Herediter atau keturunan
Dalam hal ini yang menurun dalah kelemahan dinding pembul
uh darah, dan bukan hemoroidnya.
b. Anatomi
Vena di daerah masentrorium tidak mempunyai katup.
Sehingga
darah  mudah  kembali  menyebabkan  bertambahnya  tekanan  
di pleksus hemoroidalis.
c. Makanan misalnya, kurang makan-makanan berserat.
d.  Pekerjaan seperti mengangkat beban terlalu berat.
e.  Psikis
2. Faktor presipitasi:
a. Faktor mekanis (kelainan sirkulasi parsial dan peningkatan
tekanan intraabdominal) misalnya, mengedan pada waktu
defekasi.
b. Fisiologis
c. Radang
d. Konstipasi menahun
e. Kehamilan
f. Usia tua
g. Diare kronik
h. Pembesaran prostat
i. Fibroid uteri
j. Penyakit hati kronis yang disertai hipertensi portal

C. PATOFISIOLOGI

Menurut Price dan Wilson (2006), serta Sudoyo (2006) patofisiologi


hemoroid adalah akibat dari kongesti vena yang disebabkan oleh gangguan venous
rektum dan vena hemoroidalis. Hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan atau
inflamasi vena hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko/ pencetus dan
gangguan aliran balik dari vena hemoroidalis. Faktor risiko hemoroid antara lain
factor mengedan pada buang air besar yang sulit, pola buang air besar yang salah
(lebih  banyak  memakai  jamban  duduk, terlalu  lama duduk di  jamban sambil
membaca, merokok), peningkatan tekanan intra abdomen karena tumor (tumor usus,
tumor abdomen), kehamilan (disebabkan tekanan janin pada abdomen dan perubahan
hormonal), usia tua, konstipasi  kronik,diare kronik atau diare akut yang berlebihan,
hubungan  seks peranal,  kurang minum air, kurang makan makanan berserat (sayur
dan buah), kurang olahraga/imobilisasi.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena
mesenteric superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis
superior  (bagian dari sistem portal  yang mengalirkan  darah ke hati). Vena
hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga
merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis
superior, media, dan inferior, sehingga tekanan
portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan
mengakibatkan hemoroid (Price dan Wilson, 2006).

D. KLASIFIKASI

1. Hemorrhoid Interna
Pleksus hemorrhoidalis interna dapat membesar, apabila membesar terdapat
peningkatan yang berhubungan dalam massa jaringan yang mendukungnya, dan
terjadi pembengkakan vena. Pembengkakan vena pada pleksus hemorrhoidalis interna
disebut dengan hemorrhoid interna (Isselbacher, dkk, 2000). Hemorrhoid interna jika
varises yang terletak pada submukosa terjadi proksimal terhadap otot sphincter anus.
Hemorrhoid interna merupakan bantalan vaskuler di dalam jaringan submukosa pada
rectum sebelah bawah. Hemorrhoid interna sering terdapat pada tiga posisi primer,
yaitu kanan depan, kanan belakang, dan kiri lateral. Hemorrhoid yang kecil-kecil
terdapat diantara ketiga letak primer tersebut (Sjamsuhidajat, 1998). Hemorrhoid
interna letaknya proksimal dari linea pectinea dan diliputi oleh lapisan epitel dari
mukosa, yang merupakan benjolan vena hemorrhoidalis interna. Pada penderita
dalam posisi litotomi terdapat paling banyak pada jam 3, 7 dan 11 yang oleh Miles
disebut: three primary haemorrhoidalis areas (Bagian Bedah F.K. UI, 1994).

Trombosis hemorrhoid juga terjadi di pleksus hemorrhoidalis interna.


Trombosis akut pleksus hemorrhoidalis interna adalah keadaan yang tidak
menyenangkan. Pasien mengalami nyeri mendadak yang parah, yang diikuti
penonjolan area trombosis (David, C, 1994).

Berdasarkan gejala yang terjadi, terdapat empat tingkat hemorrhoid interna,


yaitu;

Tingkat I : perdarahan pasca defekasi dan pada anoskopi terlihat permukaan dari
benjolan hemorrhoid.

Tingkat II : perdarahan atau tanpa perdarahan, tetapi sesudah defekasi terjadi prolaps
hemorrhoid yang dapat masuk sendiri

Tingkat III : perdarahan atau tanpa perdarahan sesudah defekasi dengan prolaps
hemorrhoid yang tidak dapat masuk sendiri, harus didorong dengan jari.

Tingkat IV : hemorrhoid yang terjepit dan sesudah reposisi akan keluar lagi. (Bagian
Bedah F.K.U.I, 1994).

2. Hemorrhoid Eksterna

Pleksus hemorrhoid eksterna, apabila terjadi pembengkakan maka disebut


hemorrhoid eksterna (Isselbacher, 2000). Letaknya distal dari linea pectinea dan
diliputi oleh kulit biasa di dalam jaringan di bawah epitel anus, yang berupa benjolan
karena dilatasi vena hemorrhoidalis.Ada 3 bentuk yang sering dijumpai:

1. Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea.


2. Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit.

3. Bentuk skin tags.

Biasanya benjolan ini keluar dari anus kalau penderita disuruh mengedan, tapi
dapat dimasukkan kembali dengan cara menekan benjolan dengan jari. Rasa nyeri
pada perabaan menandakan adanya trombosis, yang biasanya disertai penyulit seperti
infeksi, abses perianal atau koreng. Ini harus dibedakan dengan hemorrhoid eksterna
yang prolaps dan terjepit, terutama kalau ada edema besar menutupinya. Sedangkan
penderita skin tags tidak mempunyai keluhan, kecuali kalau ada infeksi.

Hemorrhoid eksterna trombotik disebabkan oleh pecahnya venula anal. Lebih


tepat disebut hematom perianal. Pembengkakan seperti buah cery yang telah masak,
yang dijumpai pada salah satu sisi muara anus. Tidak diragukan lagi bahwa, seperti
hematom, akan mengalami resolusi menurut waktu (Dudley, 1992).

Trombosis hemorrhoid adalah kejadian yang biasa terjadi dan dapat dijumpai
timbul pada pleksus analis eksternus di bawah tunika mukosa epitel gepeng, di dalam
pleksus hemorrhoidalis utama dalam tela submukosa kanalis analis atau keduanya.
Trombosis analis eksternus pada hemorrhoid biasa terjadi dan sering terlihat pada
pasien yang tak mempunyai stigmata hemorrhoid lain. Sebabnya tidak diketahui,
mungkin karena tekanan vena yang tinggi, yang timbul selama usaha mengejan
berlebihan, yang menyebabkan distensi dan stasis di dalam vena. Pasien
memperlihatkan pembengkakan akuta pada pinggir anus yang sangat nyeri (David, C,
1994).

Klasifikasi Derajat Hemoroid

Derajat I : Hemoroid (+), prolaps (keluar dari dubur) (-).

Derajat II : Prolaps waktu mengejan, yang masuk lagi secara spontan.


Derajat III: Prolaps yang perlu dimasukkan secara manual.

Derajat IV: Prolaps yang tidak dapat dimasukkan kembali (Merdikoputro, 2006).

E. MANIFESTASI KLINIK
Hemoroid menyebabkan rasa gatal dan nyeri, dan sering
menyebabkan perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi. Hemoroid
eksternal dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan
edema yang disebabkan oleh trombosis.  Trombosis adalah pembekuan darah dalam
hemoroid. Ini dapat menimbulkan iskemia pada area tersebut
dan nekrosis.  Hemoroid internal tidak selalu menimbulkan nyeri sampai hemoroid
ini membesar dan   menimbulkan perdarahan  atau   prolapse (Smeltzer dan Bare,
2002).
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau “wasir” tanpa ada
hubungannya dengan gejala rectum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang
sekali ada hubungannya dengan hemoroid intern dan hanya
timbul pada hemoroid ekstern yang mengalami thrombosis. Perdarahan
umumnya merupakan tanda pertama hemoroid intern akibat trauma oleh
feses yang keras.  Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak
tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses  atau kertas
pembersih  sampai  pada  perdarahan  yang  terlihat  menetes  atau  mewarnai air
toilet menjadi merah.  Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar berwarna
merah segar karena kaya zat asam. Perdarahan luas dan intensif di pleksus
hemoroidalis menyebabkan darah di vena tetap merupakan “darah arteri”.
Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat
berakibat timbulnya anemia berat.  Hemoroid yang membesar secara perlahan-
lahan akhirnya dapat menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awalnya
penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul oleh reduksi spontan
sesudah selesai defekasi (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Pasien harus memasukkan sendiri setelah defekasi. Pada tahap lanjut,
akhirnya sampai pada suatu keadaan dimana tidak dapat dimasukkan.
Kotoran di pakaian dalam menjadi tanda hemoroid yang
mengalami prolaps permanen. Kulit di daerah perianal akan mengalami
iritasi.  Nyeri akan terjadi bila timbul trombosis luas dengan edema dan peradangan.
Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi defekasi yang keras, yang
membutuhkan tekanan intraabdominal tinggi (mengejan), juga sering pasien harus
duduk berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa nyeri yang merupakan gejala radang
(Mansjoer, 2008).
Hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi, apalagi bila telah terjadi
trombosis. Bila hemoroid interna mengalami   prolaps, maka tonjolan yang ditutupi
epitel penghasil musin akan dapat dilihat pada satu atau beberapa kuadran.
Selanjutnya secara sistematik dilakukan pemeriksaan dalam
rectal   secara   digital   dan dengan anoskopi. Pada
pemeriksaan rektal secara digital mungkin tidak ditemukan apa-apa bila
masih dalam stadium awal. Pemeriksaan anoskopi dilakukan untuk
melihat hemoroid interna yang tidak mengalami penonjolan. Pada
pemeriksaan kita tidak boleh mengabaikan  pemeriksaan umum karena keadaan ini
dapat disebabkan oleh penyakit lain seperti sindrom hipertensi portal (Mansjoer,
2008).

F. PENATALAKSANAAN
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Sudoyo (2006) dan Mansjoer (2008),
penatalaksanaan medis hemoroid terdiri dari penatalaksanaan non farmakologis,
farmakologis, dan tindakan minimal invasive, yaitu:
1. Penatalaksanaan Medis Non Farmakologis
Penatalaksanaan ini berupa perbaikan pola hidup, perbaikan
pola makan dan minum,  perbaiki  pola/  cara  defekasi.  Memperbaiki
defekasi merupakan pengobatan yang selalu harus ada dalam setiap
bentuk   dan   derajat hemoroid. Perbaikan defekasi disebut bowel
management program (BMP) yang  terdiri  dari  diet,  cairan,  serat tambahan,
pelicin feses, dan perubahan perilaku buang air. Pada posisi jongkok ternyata
sudut anorektal pada orang menjadi lurus ke bawah sehingga hanya
diperlukan usaha yang lebih ringan untuk mendorong tinja ke bawah atau
keluar rektum. Posisi jongkok ini tidak diperlukan
mengedan   lebih   banyak   karena   mengedan  dan   konstipasi   akan
meningkatkan tekanan vena hemoroid (Sudoyo, 2006).
2. Penatalaksanaan medis farmakologis
Obat-obat   farmakologis   hemoroid dapat   dibagi   atas   empat,  yaitu :
a. Obat  memperbaiki  defekasi  :  ada  dua  obat  yang  diikutkan  dalam
BMP yaitu suplemen serat (fiber suplement) dan pelicin tinja (stool
softener).  Suplemen  serat  komersial  yang  banyak  dipakai  antara
lain psyllium atau isphagula Husk (missal Vegeta, Mulax, Metamucil,
Mucofalk). Obat kedua yaitu obat laksan atau pencahar antara  lain
Natrium dioktil sulfosuksinat (Laxadine), Dulcolax, Microlac dll.
Natrium dioctyl sulfosuccinat bekerja sebagai anionic surfactant,
merangsang sekresi mukosa usus halus dan meningkatkan
penetrasi  cairan  kedalam  tinja.  Dosis  300  mg/hari (Sudoyo, 2006).
b. Obat simtomatik : Bertujuan menghilangkan atau mengurangi keluhan
rasa gatal, nyeri, pengurangan keluhan sering dicampur
pelumas  (lubricant) vasokontriktor, dan antiseptic lemah. Anastesi
local digunakan untuk menghilangkan nyeri serta diberikan
kortikosteroid.
c. Obat  menghentikan  perdarahan  :  perdarahan  menandakan  adanya
luka pada dinding anus/ pecahnya vena hemoroid yang dindingnya
tipis. Yang digunakan untuk pengobatan hemoroid yaitu campuran
diosmin  (90%)  dan  hesperidin  (10%)  dalam  bentuk Micronized,
dengan nama  dagang  “Ardium”  atau  “Datlon”. Psyllium, Citrus
bioflavanoida yang berasal dari jeruk lemon dan paprika berfungsi
memperbaiki   permeabilitas   dinding   pembuluh   darah   (Sudoyo,
2006).
d. Obat  penyembuh  dan  pencegah  serangan  hemoroid  :  pengobatan
dengan Ardium 500  mg menghasilkan  penyembuhan  keluhan  dan
gejala  yang  lebih  cepat  pada  hemoroid  akut  bila  dibandingkan
plasebo. Pemberian Micronized flavonoid (Diosmin dan
Hesperidin)  (Ardium)  2  tablet  per  hari  selama  8  minggu  pada
pasien hemoroid kronik. Penelitian ini didapatkan hasil penurunan
derajat   hemoroid   pada   akhir   pengobatan   dibanding   sebelum
pengobatan  secara bermakna.  Perdarahan  juga  makin  berkurang
pada akhir pengobatan dibanding awal pengobatan (Sudoyo, 2006).
3. Penatalaksanaan bedah
Hemoroidektomi   atau   eksisi   bedah   dapat   dilakukan   untuk
mengangkat semua jaringan sisa yang terlibat dalam proses ini. Selama
pembedahan,  sfingter  rektal  biasanya  didilatasi  secara  digital  dan
hemoroid  diangkat  dengan  klem  dan  kauter  atau  dengan  ligasi  dan
kemudian  dieksisi.  Setelah  prosedur   operatif  selesai,  selang  kecil
dimasukkan  melalui  sfingter  untuk  memungkinkan  keluarnya  flatus
dan  darah.  Penempatan Gelfoan atau  kassa  oxygel  dapat  diberikan diatas
luka anal (Smeltzer dan Bare, 2002).
Teknik operasi Whitehead dilakukan dengan mengupas seluruh
hemoroidales  interna, membebaskan mukosa dari submukosa, dan
melakukan   reseksi. Lalu usahakan   kontinuitas   mukosa   kembali.
Sedang  pada  teknik  operasi   Langenbeck,  vena-vena  hemoroidales
interna  dijepit radier  dengan  klem. Lakukan  jahitan  jelujur  dibawah klem
dengan chromic gut no. 2/0, eksisi jaringan diatas klem. Sesudah
itu  klem  dilepas  dan  jepitan  jelujur  dibawah  klem  diikat  (Mansjoer,
2008).
4. Penatalaksanaan Minimal Invasive
Penatalaksanaan  hemoroid  ini  dilakukan  bila  pengobatan  non
farmakologis,  farmakologis  tidak  berhasil. Penatalaksanaan  ini  antara lain
tindakan skleroterapi hemoroid, ligase hemoroid, pengobatan hemoroid
dengan terapi laser (Sudoyo, 2006).

BAB III
PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. M
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Karyawan Kantor
Agama : Islam
Alamat : Sukoharjo

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Benjolan di anus
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya benjolan di anus sejak 1 minggu SMRS,
benjolan dirasakan terlebih dahulu keluar sebelum feses, disertai
darah menetes apabila keluar bersamaan dengan konsitensi feses
yang keras dan terasa nyeri. Benjolan masuk secara spontan. Feses
seperti kotoran kambing (-), lendir (-). Pasien belom memberikan
pengobatan apapun untuk mengtasi keluhan yang dirasakan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Diabetes Mellitus : (-)
Sakit jantung : disangkal
Alergi : disangkal
Hipertensi : (-)
Keluhan serupa : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat tumor : (-)
 Riwayat penyakit jantung : (-)
 Riwayat kencing manis : (-)
 Riwayat hipertensi : (-)

5. Keadaan Sosial Ekonomi


 Pasien BAB dengan posisi jongkok
 Pasien minum air putih sebanyak 6 gelas / hari
 Pasien jarang makan makanan berserat
 Pasien bekerja sebagai karyawan kantor dengan aktivitas banyak
duduk
 Pasien memiliki riwayat BAB tidak rutin setiap hari dan kadang
menahan apabila sedang sibuk saat bekerja

. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Sakit ringan, GCS E4V5M6 compos mentis, gizi kesan
cukup
B. Tanda Vital Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 72 x/ menit
Rr : 20 x/menit
SpO2 : 98%
Suhu : 36,6 0C

C. Kulit Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),


kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-), pucat (-)
D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban (-), mudah
rontok (-), luka (-)
E. Mata Mata cekung (-/-), konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), strabismus (-/-)
F. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan
mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
G. Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi
penghidu baik
H. Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), gigi tanggal (-), bibir kering
(-), pucat (-), lidah kotor (+), papil lidah atrofi (-),
stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-), tepi lidah hiperemi
(+)
I. Leher JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi
cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
J. Thorax Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
= kiri, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), pernafasan
torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran KGB
axilla (-/-)
K. Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis teraba di SIC V 1 cm medial linea
medioclavicularis
Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra
→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi HR: 72 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II murni,
intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-). Bunyi
jantung I > Bunyi jantung II, di SIC V 1 cm medial linea
medioklavikula sinistra dan SIC IV linea parasternal
sinistra. Bunyi jantung II > Bunyi jantung I di SIC II linea
parasternal dextra et sinistra.
L. Pulmo :
Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar
(-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar,
retraksi intercostal (-)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan dada
kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi Sonor / Sonor
Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan
wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus
basal paru (-/-), krepitasi (-/-)
M Abdomen :
Inspeksi Dinding perut sejajar dari dinding thorak, distended (-),
venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)
Auscultasi BU (+) normal
Perkusi Timpani, pekak alih (-)
Palpasi nyeri tekan (-).
Abdomen supel, Hepar tidak teraba. Lien tidak teraba.
N. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
O. Ekstremitas Kuku pucat (-), spoon nail (-)

Ekstremitas Akral Dingin : Superior (-/-) Inferior (-/-)


Oedem : Superior (-/-) Inferior (-/-)
Motorik : Superior (555/555) Inferior (555/555)
P. Regio Anorektal Inspeksi : dubur hiperemis, darah (-)
Palpasi :
RT :
- Jepitan Sphincter Ani kuat
- Ampula : kolaps (-)
- Mukosa : licin, teraba benjolan arah jam 3,
konsistensi kenyal, licin, nyeri tekan (+)
- Prostat : tidak teraba
- Jari : feses (+) darah (+)

. RESUME
1. RESUME ANAMNESA
 Benjolan di dubur
 Benjolan dapat masuk kembali
 Rasa nyeri saat BAB, terkadang disertai darah
 Pasien kurang konsumsi makanan serat, riwayat BAB tidak rutin,
pasien sering menahan BAB saat bekerja

2. RESUME PEMERIKSAAN
Vital Sign : Tensi : 110/70 Nadi : 72x/mnt
Suhu: 36,6 oC Respirasi: 20x/mnt
SpO2 : 98%
Pemeriksaan Fisik Regio Anorektal (Rectal Toucher)
- Inspeksi : dubur hiperemis, darah (-)
- Palpasi :
o Jepitan Sphincter Ani kuat
o Ampula : kolaps (-)
o Mukosa : licin, teraba benjolan arah jam 3, konsistensi
kenyal, licin, nyeri tekan (+)
o Prostat : tidak teraba
o Jari : feses (+) darah (+)
E. DIAGNOSA
Diagnosa Kerja
- Hemorrhoid Eksterna Grade II

F.PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
- Konsumsi serat 25-30 gram sehari. Makanan tinggi serat seperti buah-
buahan, sayur-mayur, dan kacang-kacangan
- Minum air sebanyak 30-40 mL/kgBB/ hari gelas sehari.
- Mengubah kebiasaan buang air besar. Segera ke kamar mandi saat
merasa akan BAB, jangan ditahan. Hindari mengedan.
2. Medikamentosa
- Dulcolax tab 3x5mg
- Borraginol N-supp 2x1
- Ardium tab 6x500mg

Penulisan Resep
RS UNS Surakarta
23 Maret 2020
Dokter : dr. X Sp.PD, M.Kes

R/ Dulcolax tab mg 5 No XII


S 3 dd tab 1

R / Borraginol N-supp 10’ supp No XV


S 2 dd sup 1 per rectal

R / Ardium tab mg 500 No XXV


S 6 dd tab 1

Pro : Tn. M (50 tahun)


Alamat: Sukoharjo

G. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Dulcolax
Dulcolax merupakan obat untuk mengatasi sembelit atau susah buang air

besar. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet yang diminum dan kapsul yang

dimasukkan melalui dubur (supositoria). Dulcolax merupakan obat dengan

kandungan bahan aktif bisacodyl. Pada tiap tabletnya, Dulcolax mengandung

5 mg bisacodyl. Sedangkan untuk bentuk supositoria, tiap kapsulnya

mengandung 10 mg bisacodyl.

Indikasi: Digunakan untuk pasien yang menderita konstipasi. Untuk


persipan prosedur diagnostik, terapi sebelum dan sesudah operasi dalam
kondisi untuk mempercepat defeksi.
Kontra Indikasi: Pada pasien ileus, abstruksi usus, yang baru mengalami
pembedahan dibagian perut seperti usus buntu, penyakit radang usus akut
dan hehidrasi parah, dan juga pada pasien yang diketahui hipersensitif
terhadap bisacodyl atau komponen lain dalam produk.
Efek Samping : Rasa tidak nyaman di perut, seperti kram, sakit perut,
dan diare. Reaksi alergi, termasuk kasus angio-edema dan reaksi anafilaktoid
juga dilaporkan sehubungan dengan pemberian dulcolax.
Cara Kerja Obat: Bisacodyl adalah laksatif yang bekerja lokal dari
kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang (hidragogue
antiresorptive laxative), Dulcolax merangsang gerakan peristaltis usus besar
setelah hidrolisis dalam usus besar, dan meningkatkan akumulasi air dan
alektrolit dalam lumen usus besar.
  Dosis dan Cara Pemberian:  
1.      Untuk Konstipasi dengan Tablet Salut Enterik:
a. Dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun: 2 - 3 tablet (10 - 15 mg) sekali
sehari. 
b. Anak-anak 6 - 12 tahun: 1 tablet (5 mg) sekali sehari. 
c. Anak-anak di bawah 6 tahun: konsultasi dengan dokter atau

dianjurkan memakai supositoria anak. 


Tablet salut enterik sebaiknya diminum pada malam hari untuk
mendapatkan hasil evakuasi pada esok paginya. Tablet mempunyai lapisan
khusus, oleh karena itu tidak boleh diminum bersama-sama dengan susu atau
antasida. Tablet harus ditelan dalam keadaan utuh dengan air secukupnya.
. Untuk Konstipasi dengan Suppositoria
a. Dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun : 1 kapsul, dalam sekali
penggunaan
b. Anak usia 6-12 tahun : ½ kapsul, dalam sekali penggunaan
c. Anak-anak dibawah usia 6 tahun : konsultasikan dengan dokter
Kemasan: 20 amplop @ 1 Blister @10 tablet salut enterik
Farmakokinetik:
Bisacodyl mengalami hidrolisis menjadi difenol di usus bagian atas.
Difenol yang diabsorpsi mengalami konjugasi di hati dan dinding usus.
Metabolit ini di ekskresi melalui empedu, selanjutnya mengalami rehidrolisi
menjadi difenol kembali yang akan merangsang motilitas usus besar.
Meningdikasi defekasi dengan merangsang aktivitas peristaltik usus
yang bersifat mendorong (propulsive) melalui iritasi local mukosa/ kerja yang
lebih selektif pada plexus saraf intramural dari otot halus sehingga
meningkatkan motilitas.
Farmakodinamik:
Merangsang mukosa safat intramural atau otot polos sehingga
meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus melalui penghambat Na-K
ATP-ase. Efek pencahar timbul 6-12 jam setelah pemberian oral, dan 15
menit sampai 1 jam setelah pemberian rektal.
B. Borraginol
BORRAGINOL-S SUPPOSITORIA adalah obat yang di gunakan untuk
mengatasi pendarahan dan perlukaan akibat wasir baik yang luar maupun
dalam. Borroginol S Suppositoria mengandung lithospermi radix ekstrak,
prednisolonum, lidocainum, aethyl aminobenzoas, cetrimide, lechitinium ovi.
Tiap gram suppositoria mengandung:
1. Lithospermi radix extractum 0.18 mg
2. Prednisolonum 1 mg
3. Lidocainum 15 mg
4. Aethylis Aminobenzoas 20 mg
5. Cetrimide 2.5 mg
Indikasi: Hemoroid/wasir internal dan eksternal termasuk
yang disertai perdarahan, luka2 di anus & perineum, Prolaps
anus & fistula, peradangan disekitar rektum, Pruritus di anus
Kontraindikasi: Hipersensitivitas
Dosis: 2 x sehari 1 suppositoria, dan jika kasus parah
ditambah 1 x sebelum tidur
Cara Pakai : dimasukkan ke dalam dubur
Kemasan : Dus, 2 strip @5 Suppositoria

C. Ardium
Ardium merupakan tablet herbal yang mengandung
Flavonoid. Ardium digunakan untuk membantu meringankan
gangguan peredaran darah di kaki/varises, serta wasir kronik
dan akut. Ardium mengandung fraksi flavonoid murni
termikronisasi dengan ekstrak citus sinensis pericarpum yang
setara dengan diosmin 450mg dan hesperidin 50mg.
Indikasi: Wasir, perdarahan akut dan kronik, insufisiensi
vena kronik organic dan idiopatik dari ekstremitas bawah,
misalnya rasa berat, nyeri, panas, edema, gangguan
fungsional, dan kram tungkai pada malam hari.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas.
Efek Samping: Gangguan minor pada saluran cerna dan
neurovegetatif.
Dosis:
- Hemorrhoid akut: 6 tablet/hari selama 4 hari, lalu 4 tablet/ hari
selama 3 hari berikutnya.
- Hemorrhoid kronik dan insufisiensi Vena: 2 tablet/hari selama 2
bulan.
Kemasan : Dus, 4 blister @ 15 tablet

Farmakokinetik :
1. Absorbsi
Ardium mengandung 450 mg diosmin dan 50 hesperidin, tersedia
dalam bentuk sediaan mikronisasi. Partikel bahan aktifnya berukuran
kurang dari 2 mikron sehingga muda terabsorbsi dengan cepat dan
baik Absorbsi Ardium mencapai 72%, yaitu mencapai 4 kali lipat dari
sediaan yang tak dimikronisasi. Konsentrasi obat maksimal tercapai
dalam waktu 1 jam. Makanan tidak mempengaruhi absorbsi, bahkan
pada beberapa orang tertentu, pemberiannya dianjurkan bersama
makanan untuk mengurangi gangguan saluran cerna.
2. Distribusi
Ardium terdistribusi secara cepat ke hampir seluruh tubuh seperti
saluran cerna, hati, jantung, otot, dan saluran limfe. Ardium
mempunyai konsentrasi yang tinggi pada jaringan ikat bawah kulit
dan saluran limfe
3. Metabolisme
Ardium dimetabolisme terutama di saluran cerna dan hepar menjadi
beberapa metabolit seperti asam hippuric, hydroksi phenil propionic
dan diosmetin. Khusu diosmetin adalah metabolit yang juga
mempunyai aktivitas plebotropik.

4. Eliminasi
Ardium sebagain besar di eliminasi melalui feses sekitar 80%,
sebagian lagi melalui urin dalam bentuk tidak aktif. Ardium diduga
mengalami siklus enterohepatic dengan waktu parauh 11 jam.

Farmakodinamik:
1. Aktivitas Venotropik
Dua tablet Ardium sehari secara bermaka memperbaiki tonus Vena.
Perbaikan tonus ini terjadi tanpa adanya perubahan pada jantung
maupun arteri. Efek perbaikan tonus vena terjadi dalam waktu 1 jam
sesudah dosis pertama serta bertahan selama 24 jam. Perbaikan
tonus vena diduga errat kaitanya dengan perbaikan sensitivitas vena
terhadap rangsangan non-adrenalin. Ardium menyebabkan vena
lebih peka terhadap rangsangan non-adrenalin, yang akhirnya
menimbulkan kontraksi otot polos vena. Dengan kata lain dibutuhkan
konsentrasi non-adrenalin yang lebih kecil pada vena untuk
berkontraski. Lama sensitivitas juga sejalan dengan perbaikan tonus
vena, yaitu terjadi selama 24 jam dengan pemberian 1 kali sehari.
2. Aktivitas Limfatik
Ardium selain aktif memperbaiki tonus vena, juga bekerja pada
sistem limfatik, terutama pada fungsi drainage. Peneliian
menggunakan Ardium yang dilabel dengan radioaktif menunjukkan
konsentrasi di sistem limfatik. Ardium bekerja meningkakan kontraksi
saluran limfe maupun tekanan limfatik, sehingga dapat memperbaiki
fungsi drainage sistem limfe. Efek ini sesuai dengan kaidah
farmakodinamik, yaitu bersifat “dose dependent” berarti makin tinggi
dosis akan makin baik drainage limfatiknya. Mekanisme kerja pada
sistem limfatik juga berhubungan dengan adanya sensitisasi saluran
limfe terhadap adanya non-adrenalin. Drainage limfatik sangat
bermakna mengatasi limfedema.
3. Sistem Mikrosirkulasi
Mekanise kerja Ardium lainnya terhadap sistem mikrosirkulasi adalah:
a. Perbaikan fungsi kapiler
Dengan cara memperbaiki resistensi kapiler dan mengurangi
fragilitasnya sehingga kapiler tidak mudah rusak. Hal ini
terbukti dengan pengukuran angiosterrogram, dimana
dibutuhkan tekanan yang lebih besar untuk merusakkan
kapiler. Ardium juga mengurangi hipermeabilitas kapiler yang
dapat dievaluasi dengan “radio-labelled albumin”, terlihat
jelas pengurangan kebocoran albumin ke interstitial.
b. Hambatan Pelepasan mediator inflamasi
Ardium terbukti mengurangi pelepasan mediator inflamasi
yang berperan dalam proses peradangan perikapiler pada
insufisiensi vena kronis seperti histamine, bradikinin, dan
leukotrin. Hal ini jelas akan sangat mengurangi inflamasi
perikapiler dan rasa nyeri.
c. Perbaikan Hemorheologi
Aktivitas Ardium pada sistem mikrosirkulasi tercermin dari
perbaikan fungsi hemorheologi, terutama pada eritrosit dan
leukosit, terbukti tetrjadi kenaikan velositas eritrosit dan
leukosit serta menghambat destruksi yang disebabkan oleh
leukosit. Mekanisme kerja pada leukosit terutama dengan
menghambat proses adheis, migrasi, dan trapping. Ardium
juga memperbaiki nutrisi jaringan yang dapat dilihat dari
peningkatan tekanan parsial oksigen darah yang diukur
dengan laser Doppler dan oksimeteri transkutaneus.
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994,“Kumpulan Kuliah Ilmu


Bedah”, Binarupa Aksara, Jakarta, hal. 266-271.
Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999, “Kumpulan
Kuliah Patologi”, Jakarta, hal.263-279.
Brown, John Stuart, 1995, “Buku Ajar dan Atlas Bedah Minor”, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, hal.184-189.
Carpenito, L. J, 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Penerjemah Monica
Ester. Jakarta: EGC
David C, Sabiston, 1994, “Buku Ajar Bedah”, Bagian 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, hal.56-59.
Dermawan, T. R,2010. Keperawatan   Medikal   Bedah   (Sistem   Pencernaan).
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Dudley, Hugh A.F, 1992, “Ilmu Bedah Gawat Darurat”, Edisi 11, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, hal.506-508.
Faisal, 2006, “Wasir”, www. medika. blogspot. com.
Gotera, W, 2006, “Ambeien yang Bandel”, www. balipost. co. id.
Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper 1999, “Harrison Prinsip-Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam”, Volume 1, Edisi 13, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
hal.255-256.
Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper, 2000, “Harrison Prinsip-Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam”, Volume 4, Edisi 13, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
hal.159-165.
Kumar, Robbins, 1995, “Buku Ajar Patologi II”, Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, hal.274-275.
Merdikoputro, D, 2006, “Jalan Kaki Cegah Wasir”, www. suaramerdeka. com.
Murbawani, E.A, 2006 “Wasir Karena Kurang Serat”, www. suaramerdeka. com.
Potter, P. A, 2006. Buku Ajar Fundamental  Keperawatan,  Edisi  4, Volume 2. Jakarta:
EGC
Price, S. A,2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,Volume I.
Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat R, W. d,2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R, Wim de Jong, 1998, “ Buku Ajar Ilmu Badah”, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, hal.910-915.
Sudoyo, A. W,2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Underwood, J.C.E, 1999, “Patologi Umum dan Sistemik”, Volume 2, Edisi 2, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 468, 492.

Anda mungkin juga menyukai