Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Manusiasecara normal memiliki suatu kepribadian di dalam dirinya
secara sadar. Dengan kepribadian itu manusia mampu membentuk karakter
khas yang membedakannya dengan manusia yang lain terutama saat
bersosialisasi dengan orang lain. Namun jika seseorang terkena gangguan
identitas disosiatif, maka di dalam tubuh individu tersebut akan terpecah
menjadi lebih dari 2 kepribadian. Menurut DSM-IV, dissociative identity
disorder adalah seseorang yang mempunyai dua ego yang berbeda (alter
ego), di mana masing-masing ego mempunyai perasaan, kelakuan,
kepribadian yang exist secara independent dan keluar dalam waktu yang
berlainan. Salah satucontohkasusgangguaniniadalahkasus Billy
Milligan.William Stanley Milligan (nama panggilan Billy). Berawal dari rasa
sepinya akibat tidak punya kawan bermain di rumah, maka ia lalu
menciptakan tokoh Christene yang kemudian seiring waktu kepribadian
seorang Billy memecah menjadi 24.
Terlahir sebagai anak kedua dari pasangan Dorothy Sand, seorang
penyanyi klub, dan Johnny Morrison, pelawak, di klub yang sama, Billy
tumbuh dalam suasana rumah tangga orangtuanya yang tidak harmonis. Ayah
dan ibunya kerap bertengkar yang mengakibatkan anak-anak mereka menjadi
sasaran kemarahan. Untuk melindungi dirinya dari kemarahan-kemarahan
yang dilampiaskan orangtuanya kepadanya, ia lalu membentuk pribadi-
pribadi yang kuat atau yang tidak peduli, sehingga ia terhindar dari tekanan-
tekanan itu. Keadaan bertambah buruk saat ayahnya meninggal dunia akibat
bunuh diri dan lalu ibunya menikah lagi dengan Chalmer Milligan. Chalmer
ternyata seorang pedofilia yang sangat berbahaya. Maka, terpecah-pecahlah
kepribadian Billy menjadi Arthur yang rasional, Ragen yang jago berkelahi,
Allen si agnostik, Tommy si "Houdini", Danny yang selalu ketakutan, David
bocah penanggung rasa nyeri, Christene si anak sudut, Adalana yang lesbian,
Philip dan Kevin sang kriminal, serta beberapa karakter lagi yang

1
2

kesemuanya muncul secara bergantian sebagai reaksi dari kondisi dan situasi
menekan yang dihadapi Billy sebagai pribadi inti. Semula tak ada yang
menyadari kelainan yang diderita Billy. Hingga suatu hari di bulan Oktober
1977, ia ditangkap dan ditahan polisi dengan tuduhan perampokan dan
perkosaan. Inilah awal terkuaknya kepribadian majemuk Billy Milligan
melalui pemeriksaan psikologis oleh psikolog Dorothy Turner.
Berkali-kali Billy mesti ke luar masuk penjara dan rumah sakit jiwa akibat
perbuatan yang dilakukan di luar kesadarannya. Pemberitaan pers dan
cercaan masyarakat yang menuduhnya bersandiwara, menambah berat
penderitaannya. Billy mempunyai 24 kepribadian, namunjumlah rata-rata
kepribadian yang dilaporkan oleh para klinisi mendekati angka 15 (Ross,
1997; Sacckheim dan Devanand, 1991).
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengeksplorasi secara
lebih mendalam tentang gangguan dissosiative identity disorder, yang selama
ini sering artikan oleh beberapa orang awam sebagai fenomena kesurupan.
Penulis ingin memberikan informasi kepada pembaca mengenai gangguan
Dissosiative Identity Disorder.
3

ISI

A. DEFINISI
Menurut Fiona Angelina (2007), Dissociative Identity Disorder adalah
kelainan mental di mana seorang individu memiliki lebih dari satu
kepribadian berbeda. Sebelumnya Dissociative Identity Disorder diberi nama
Multiple Personality Disorder. Penderita Dissociative Identity Disorder
memiliki kepribadian lebih dari satu dan berbeda. Masing-masing kepribadian
ini bisa saling mengenal, bisa juga tidak saling mengenal. Kepribadian ini
memiliki latar belakang dan sifat masing-masing.
Menurut American Textbooks, Dissosiative Identity Disorder adalah
suatu mekanisme pertahanan diri oleh seseorang dengan cara memisahkan
diri. Salah satu bentuk kronis dari gejala tersebut adalah berpisahnya
kepribadian seseorang menjadi beberapa kepribadian yang berbeda. Hal
tersebut didorong oleh ketidakmampuan, penolakan dan sebagai pertahanan
diri oleh otak terhadap masalah yang diterima dalam tingkat stres yang tinggi.
Dissosiative Identity Disorder, merupakan suatu keadaan di mana
kepribadian individu terpecah sehingga muncul kepribadian yang lain.
Kepribadian itu biasanya merupakan ekspresi dari kepribadian utama yang
muncul karena pribadi utama tidak dapat mewujudkan hal yang ingin
dilakukannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ada
satu orang yang memiliki pribadi lebih dari satu atau memiliki dua pribadi
sekaligus. Kadang si penderita tidak tau bahwa ia memiliki kepribadian
ganda, dua pribadi yang ada dalam satu tubuh ini juga tidak saling mengenal
dan lebih parah lagi kadang-kadang dua pribadi ini saling bertolak belakang
sifatnya (wikipedia).
Menurut DSM-IV, dissociative identity disorder (DID) adalah
seseorang yang mempunyai dua ego yang berbeda (alter ego), di mana
masing-masing ego mempunyai perasaan, kelakuan, kepribadian yang exist
secara independent dan keluar dalam waktu yang berlainan. Biasanya ada satu
4

kepribadian utama, dan penyembuhan penyakit ini biasa dilakukan pada alter
utama. pada umumnya, ada 2 - 4 alters pada saat seseorang terdiagnosa, dan
cukup sering ada alter-alter lainnya lagi yang muncul pada saat treatment.

B. SEBAB – SEBAB
1. Biologis
Seperti pada PTSD, di mana bukti-buktinya lebih solid, hampir
dapat dipastikan adanya kerentanan biologis tertentu dalam Dissociative
identity disorder, tetapi sulit untuk dipastikan. Sebagai contoh, dalam
sebuah studi besar terhadap orang-orang kembar tidak ada varians atau
faktor hereditas atau keturunan semuanya bersifat lingkungan. Ciri-ciri
keturunan seperti ketegangan dan responsivitas terhadap stres akan
mungkin meningkatkan kerentanan. Pada beberapa observasi tentang
aktivitas otak selama terjadinya disosiasi, individu dengan gangguan
neurologis tertentu, terutama gangguan seizure mengalami banyak gejala
dissosiatif (Bowman dan Coons, 2000; Cardena, Lewis-Fernandes, Bear,
Pakianathan, dan Spiegel, 1996 dalam Durand & Barlow, 2006 ).
Devinsky, Feldman, Borrowes, dan Bromfield,1989 dalam Durand &
Barlow, 2006) melaporkan bahwa sekitar 6% pasien dengan epilepsy
lobus temporal melaporkan pengalaman “out of body” (keluar dari tubuh).
Sekitar 50% kelompok pasien lain yang menderita epilepsy lobus
temporal menyebabkan gejala-gejala dissosiatif tertentu (Schenk dan
Bear, 1981 dalam Durand & Barlow, 2006), termasik alternate identities
(identitas-identitas pengganti) atau identity fragments (pecahan-pecahan
identitas).
Untuk membedakan orang yang mengalami DID dengan orang
yang hanya berpura-pura mengalaminya dapat dilakukan dengan
menggunakan prosedur magnetic resonance imaging (MRI) mutakhir,
perubahan-perubahan dalam fungsi otak seorang pasien ketika berpindah
dari satu kepribadian ke kepribadian lain dapat diobservasi.secara
spesifik, pasien ini menunjukkan perubahan pada aktivitas hipokampus
5

dan medial-temporal setelah perubahan terjadi (Tsai, Condie, Wu, dan


Chang, 1999 dalam Durand & Barlow 2006).
Sedangkan dalam penelitian Bethesda Nimh, seorang di bidang
clinical Psychopsychology (dalam film dokumenter Multiple Personality:
Puzzle Produksi Discovery Channel, 2006), menemukan bahwa terdapat
reaksi otak yang berbeda-beda pada setiap alter pada satu individu daat
diberi paparan cahaya, sedangkan pada orang yang berpura-pura
mengidap DID hal ini tidak terjadi. Pada penemuan tersebut, ditemukan
bahwa hipokampus penderita DID (yang juga memilki trauma pada masa
kanak-kanak) mengecil akibat semburan hormon berulang kali sehingga
mengakibatkan memori yang terpecah, tertekan bahkan terpisah.
2. PsikoSosial
Keadaan-keadaan yang mendorong berkembangnya DID tampak
cukup jelas jika dilihat dari satu hal. Hampir setiap pasien yang
menunjukkan gangguan ini melaporkan bahwa pada masa kanak-kanak
mereka mengalami penganiayaan berat yang sering kali tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata (Durand & Barlow, 2006).
Pasien terlalu belia untuk melarikan diri, atau untuk meminta
tolong kepada yang berwajib. Meskipun sakitnya tak tertahankan, pasien
sama sekali tidak tahu bahwa hal itu bukan sesuatu yang tidak lazim atau
sesuatu yang salah. Satu-satunya hal yang dpat dilakukan adalah
melarikan diri dan masuk ke alam khayalan. Di sana pasien dapat menjadi
siapa pun, yang bukan dirinya sendiri. Jika tindakan ini dapat
mengalihkan penderitaan fisik maupun emosional untuk satu menit saja
atau dapat membuat satu jam berikutnya dapat dilewati dengan ringan,
kemunginan besar pasien akan lari lagi. Sebagian besar survey
melaporkan angka trauma masa kanak-kanak yang tinggi pada masa kasus
Dissociative Identity Disorder (Gleaves, 1996; Ross, 1997 dalam Fausiah
& Widury, 2007).
Tema semacam itu telah memunculkan kesepakatan yang luas
bahwa DID berakar dalam kecenderungan untuk lari atau “dissociate”
6

(melepaskan diri) dari afek negative yang terkait dengan penganiayaan


berat (Kluft, 1984, 1991 dalam Fausiah & Widuri, 2007). Kurang atau
tidak adanya dukungan sosial juga berpengaruh. Sebuah studi terhadap
428 remaja kembar menunjukkan bahwa 33% sampai 50% varians dalam
pengalaman disosiatif dapat diartibusikan pada keluarga yang penuh
perselisihan dan tidak saling mendukung. Varians sisanya berhubungan
dengan faktor-faktor kepribadian (Waller dan Ross, 1977 dalam Fausiah
& Widury, 2007).
3. Spiritual
Dalam perspektif islam, pada hakikatnya setiap manusia memiliki
nafs yang menghasilkan tingkah laku. Dalam pandangan Al Quran, nafs
diciptakan Allah Swt dakam keadaan sempurna untuk menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Al Quran
menganjurkan untuk memberi perhatian lebih besar, sebagaimana
diisyaratkan dalam firman Allah Swt (Q.S asy-Syams (91):7-8)
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”
Namun pada diri setiap manusia akan menempuh suatu cobaan
yang penyelesaiannya tergantung pada diri manusia itu sendiri, hal ini
sebagaimana yang diisyaratkan pada firman Allah Swt (Q.S. ar-Ra’d
(13):11)
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu
kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.”
Hal ini mengindikasikan bahwa setiap manusia baik itu penderita
DID akan mengalami setiap masalah atau musibah. Misalnya pada pasien
DID yang mengalami cobaan berupa siksaan di masa kecilnya, jika nafs
7

atau jiwa di dalam tubuhnya belum mampu melewati dan mengerti bahwa
hal tersebut merupakan cobaan Allah serta tidak berserah diri pada NYA
bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluar yang telah diatur oleh NYA
maka jiwanya akan berusaha melarikan diri menjadi jiwa “seseorang yang
lain” karena dengan cara itu dia dapat melupakan rasa “sakit” dan
penderitaan yang dialaminya.

C. PERSPEKTIF ALIRAN – ALIRAN


1. Sudut Pandang Psikoanalitik.
Perspektif psikoanalisa sempat tidak mempercayai gangguan ini
karena Freud tidak pernah mendiagnosa DID. Kemudian pada tahun 1970
kasus Sybil menjadi sorotan karena masyarakat saat itu mulai menyadari
adanya penganiayaan pada anak. Para terapis psikoanalisa meyakini
gangguan ini merupakan produk dari salah satu mekanisme pertahanan diri
yaitu represi yang terjadi pada masa anak-anak dan terus dikembangkan
saat dia tumbuh sehingga membentuk suatu figur yang nyata bagi
penderita yang akhirnya menjadi salah satu alternya.
2. Sudut Pandang Belajar.
Teori ini mengatakan bahwa Dissosiative Identity Disorder
disebabkan oleh pembelajaran reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional
pada masa anak-anak, dengan cara mengimitasi orang tua yang juga
memiliki masalah emosional yang signifikan (Dalam Feist & Feist,
2005) .
3. Sudut Pandang Vulnerability Stress
Kasus dissosiative identitydisorder biasanya selalu terkait dengan
adanya trauma berat di masa anak-anak. Sebagai contoh, pada sebuah
survey yang dilakukan oleh seorang terapis pada kliennya yang
mengalami gangguan ini, 80% kliennya mengalami penyiksaan fisik
semasa anak-anak dan 70% diantaranya mengalami incest. Sebagian besar
individu, cenderung memilih hidup dalam repres dari pada harus terus
menerus mengalami pengalaman yang traumatik dan menyakitkan. Lama-
8

kelamaan fantasi tersebut menjadi kenyataan bagi mereka karena mereka


merasa hal tersebut dapat membantunya menghindari pengalaman yang
menyakitkan dan menakutkan, hal tersebutlah yang memperkuat
munculnya gejala yang nampak pada gangguan ini (Neale, Davidson &
Haaga, 1996) .
4. Sudut Pandang tentang Keluarga.
Menurut teori ini (Dalam Feist & Feist, 2005), Dissosiative Identity
Disorder disebabkan oleh hubungan keluarga yang patologis, yang secara
signifikan meningkatkan stres emosional. Hubungan patologis ini antara
lain dapat berupa:
a. Double-Bind, yaitu keluarga dimana anak menerima pesan yang
bertolak belakang dari orang tua berkaitan dengan perilaku, sikap,
maupun perasaannya.
b. Schisms and Skewed Families. Schisms yaitu perpecahan yang jelas
antara orang tua sehingga salah satu orang tua menjadi sangat dekat
dengan anak yang berbeda jenis kelamin. Sedangkan Skewed yaitu
kelurga dimana terjadi perebutan kekuasaan dan dominasi dari salah
satu orang tua.
c. Pseudomutual and Pseudohostile Families, yaitu keluarga dimana
terjadi suppress ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi
verbal yang bias makna dan sarat permusuhan.
d. Emotion Expression, yaitu sikap terlalu banyak mengkritik, kejam,
dan sangat ingin ikut campur urusan anak.

D. GEJALA
Seseorang dengan dissociative identity disorder akan mengalami
simptoms berikut (Dalam DSM-IV-TR) :
1. Muncul gejala Posttraumatic seperti mimpi buruk, kilasan-kilasan
kejadian (flashback) yang tidak nyaman, dan respon-respon yang
berlebihan.
9

2. Mutilasi diri, percobaan bunuh diri dan berlaku agresif pada diri
sendiri, dan orang lain mungkin muncul.
3. Memilki pola hubungan yang melibatkan penganiayaan fisik dan
seksual.
4. Mungkin mengalami konversi fisik seperti menjadi tahan terhadap
sakit.
5. Muncul gejala-gejala serupa dengan gangguan mood, kecemasan,
tidur, makan, dan seksual.
6. Menjadi impulsif
7. Intensitas yang tinggi dalam perubahan menjalin hubungan.
Perbedaan antara gangguan identitas dissosiatif dengan amnesia
disosiatif menurut Kriteria DSM-IV-TR meliputi amnesia. Tetapi pada
penderita DID disini identitas juga terpecah-pecah.
Fitur-fitur gangguan identitas Dissosiatif meliputi (Durand, Barlow,
2006) :
1. Munculnya dua atau lebih identitas atau kepribadian yang berbeda,
masing-masing dengan pola yang bertahan dalam jangka waktu yang
relative lama
2. Paling tidak dua diantara identitas-identitas atau kepribadian-kepribadian
ini berulang kali mengontrol perilaku individu
3. Ketidak mampuan mengingat informasi penting yang tidak terlalu
ekstensif untuk dapat dikatakan sebagai kelupaan biasa
4. Gangguan bukan diakibatkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi
tertentu (misalnya intoksikasi alcohol) atau kondisi medis secara umum.

E. ONSET
Menurut DSM IV-TR disebutkan bahwa terdapat fluktuasi usia
penderita dalam penelitian psikiatri. Sehingga sangat dimungkinkan
penelitian terkini akan menghasilkan angka yang berbeda. Namun, sampai
tahun 2000, angka usia rata-rata munculnya gejala pertama DID adalah 6
sampai 7 tahun. Gangguan ini mungkin akan berkurang intesitasnya pada
10

usia 40an, tetapi bisa muncul kembali sepanjang episode trauma atau
dengan mengalami penganiayaan.
F. PREVALENSI

Prevalensi dari DID dan semua gangguan disosiatif lainnya dalam


populasi pasien (Kluft, 2003).
Study Percent DID Percent Any
Dissociative
Disorder

Inpatients
Canada
Ross et al. (8) SS5.4 20.7
Horen et al. (9) 6.0 17.0

United States
Saxe et al. (10) 4.0 15.0
Latz et al. (11) 12.0 46.0

The Netherlands
Boon & Draijer (12) 5.0 -----

Norway
Knudsen et al. (13) 4.7 8.2

University Clinic Inpatients


and Outpatients
Turkey
Tutkun et al. (14) 5.0

Chemical Dependency
11

Populations
United States
Ross et al. (15) 14.0 39.0
Leeper et al. (16) 5.1 15.4
Ellason et al. (17) 18.6 56.9
Dunn et al. (18) 7.0 15.0

Dari penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan data


bahwa dari seluruh sampel diketahui bahwa 90 hingga 100% individu dengan
gangguan ini adalah perempuan, namun peneliti memilki keyakinan bahwa
laki-laki yang mengalami gangguan ini tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan
karena kebanyakan laki-laki dengan gangguan ini dimasukkan ke dalam
penjara bukan rumah sakit (Kaplan, Sadock & Grebb, 1994). Di satu sisi, para
peneliti yakin bahwa Dissosiative Identity Disorder ini sangatlah sedikit,
sedangkan di sisi lain par peneliti yakin bahwa gangguan ini belum terdeteksi
secara mendalam, sehinnga mungkin saja populasi individu dengan gangguan
ini sebenarnya cukup besar. Berdasarkan suatu penelitian, berhasil diketahui
bahwa 0,5% - 2% pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa
mengalami gangguan ini dan 5% dari seluruh pasien jiwa (baik yang dirawat
maupun tidak) mengalami Dissosiative Identity Disorder.

G. TERAPI
Beberapa gejala-gejala bisa datang dan pergi (naik-turun) secara
spontan, tetapi gangguan identitas disosiasi tidak hilang dengan sendirinya.
Tujuan pengobatan tersebut biasanya untuk menyatukan berbagai kepribadian
kedalam kepribadian tunggal. Meskipun begitu, penggabungan tidak selalu
mungkin. Pada keadaan ini, tujuan tersebut adalah untuk mencapai interaksi
harmonis diantara kepribadian-kepribadin yang membiarkan berfungsi lebih
normal.
12

Terapi obat bisa meringankan beberapa gejala-gejala coexisting


khusus, seperti gelisah atau depresi, tetapi tidak mempengaruhi gangguan itu
sendiri. Menurut Kluft (2003),
Psikoterapi seringkali sulit dan sangat menyakitkan secara emosional.
Orang tersebut bisa mengalami berbagai krisis emosional yang berasal dari
tindakan kepribadian-kepribadian dan dari keputus asaan yang bisa terjadi
ketika ingatan traumatic teringat kembali selama terapi. Beberapa jangka
waktu opname psikiatris kemungkinan diperlukan untuk membantu orang
tersebut melalui waktu-waktu sulit dan memegang ingatan tertentu yang
sangat menyakitkan. Biasanya, dua atau lebih seminggu sesi psikoterapi
untuk setidaknya 3 sampai 6 tahun diperlukan. Hypnosis kemungkinan sangat
membantu.
Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif
dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat
represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai
teknik psikoanalitik dasar. Hipnotis umum digunakan dalam
penanganan Dissosiatif Identity Disorder (Dalam Kluft, 2003). Secara umum,
pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan
difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan
dialami oleh pasien. Intervensi ini mencakup proses asesmen terhadap alter
yang muncul, mengurangi kecemasan pada klien, menyusun ulang alter pada
klien untuk meningkatkan fungsi kepribadian utama, membuang pikiran-
pikiran yang mengganggu, serta mengajarkan kemampuan untuk mengontrol
gejala disosiatif yang muncul secara spontan. Umumnya seseorang dihipnotis
dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa
kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut
akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari
masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang
sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut.
Terapi Restrukturisasi Kognitif menurut Nijenhuis (Dalam Kluft,
2003) menjelaskan bahwa prosedur untuk membalikkan keadaan dan terapi
13

restrukturisasi kognitif efektif untuk mengubah perpindahan identitas klien


secara bertahap. Namun terapi ini hanya dapat dilakukan setelah terapis
menemukan alter-alter yang dimilki oleh klien. Sebab, klien tidak pernah
menyadari kalau ia memiliki banyak alter yang mungkin muncul.
Terapi DID Terintegrasi, terapi ini menggunakan modal pendekatan
kompreherensif dengan 9 tahapan yang harus dilakukan pada terapi ini
(Kluft, 2006) yaitu:
1. Tahap Psikoterapi
2. Intervensi Preliminary (mendiagnosis alter)
3. Pengumpulan informasi detail mengenai latar belakang masalah
klien
4. Menganalis trauma yang dialami klien
5. Analisis resolusi
6. Integrasi resolusi
7. Mempelajari alternatif kemampuan menghadapi masalah
8. Tindak lanjut terapi
9. Follow up
Terdapat beberapa jenis alat ukur, skala atau instrumen yang dapat
digunakan untuk pemeriksaan psikologis bagi penderita DID (Scroppo dkk,
1998), yaitu :
1. Dissociative Experiences Scale (DES). Instrumen DES ini terdiri
dari 28 aitem yang berupa self report mengenai frequensi dari
beberapa pengalaman disosiatif penderita. Skor dalam instrumen
ini bergerak dari 0 hingga 100. Reliabilitas dan validitas dari
instrumen ini telah diakui oleh masyarakat luas.
2. Dissociative Disorder Interview Schedule (DDIS). Intrumen ini
terdiri dari 131 aitem mengenai jadwal interview yang terstruktur
yang dihubungkan dengan DSM-III yang memungkinkan untuk
dilakukan diagnosis pada kelima gangguan disosiatif dan depresi
mayor, penyalahgunaan obat dan BPD.
14

3. Brief Symptom Inventory (BSI). Intrumen BSI erdiri dari 53 aitem


yang berbenuk self report inventory yang di desain untuk
melakukan asesmen terhadap simptom psikologis dari pasien
medis dan psikologis.
4. Childhood Trauma Questionnaire (CTQ). CTQ didapat dengan
mengembangkan 70 aitem instrumen self report secara mendalam
untuk melihat pengalaman pelecehan pada masa anak-anak dan
juga penolakan yang diterima.
5. Tellegen Absorption Scale (TAS). Instrumen ini terdiri dari 34
aitem self report, skala benar-salah. Semakin tinggi skor yang
didapat pada instrumen ini dikorelasikan dengan kapasitas untuk
pengalaman self altering.
6. The Rorschach Test. Instrumen ini digunakan untuk melakukan
asesmen persepsi, kognitif dan karakteristik emosional yang
mempengaruhi kepribadian dan fungsi sosial penderita.
7. Dissociative-Content Rorschach Scoring System. Intrumen ini
digunakan untuk membedakan antara DID dengan bukan DID.
Labott et al. (1992) mengembangkan dan secara empiris menguji
sistem yang mengukur respon-respon rorschach untuk melihat
adanya konten DID.

H. PREVENSI
Belumditemukansecarapastibagaimanacaramencegahgangguanidentit
asdisosiatifini. Gangguaninidapatmenyerangsiapasaja yang
secarapsikologistidakmampubertahandengansituasi di bawahtekanan yang
berat.Sebagaipenulis kami
menyarankanprevensidarisudutpandangislami.Sebagaimanusia yang
diciptakan Allah Sang MahaPencipta,
kitasemuatidakakandapatmelawansegalaketentuandantakdir yang
telahditetapkanolehNYA. Dan
15

setiapcobaanmerupakanujianuntukmengetahuiseberapaderajatkeimanankitaun
tukbersabar, halinisesuaidengan Q.S. Al-Baqarah 155 yang memilikiarti :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Maka dengan tetap berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaan
terhadap tuhan, seseorang mampu bertahan menjalani setiap ujian kehidupan
karena segala sesuatunya bermula dari Allah, seperti yang disebutkan dalam
Q.S Al-Mulk 67
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun“
Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa untuk mencegah
gangguan identitas disosiatif ini menyerang diri kita, hendaknya kita lebih
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Hal ini akan membawa ketenangan
pada batin (jiwa) sehingga akan menimbulkan rasa ikhlas karena dengan
perasaan ini kita dapat menjalani hidup yang singkat dan hanya sekali saja,
hal ini tercantum pada Q.S Saba 34
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan
kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan
ikhlass) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang
Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak
lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab
yang keras”
Penyebab gangguan DID yang dikarenakan trauma di masa kecil dapat
dicegah dengan menciptakan lingkungan yang positif dan mendukung bagi
perkembangan individu (Hall, 2003).

I. KUALITAS HIDUP
1. Psikososial
Orang-orang yang mengalami Dissosiative Identity Disorder
memiliki kualitas hidup yang dapat dikatakan rendah. Seperti
16

contohnya dalam kasus Billy dan Sybil, penderita Dissosative Identity


Disorder sering kali kehilangan waktu-waktu dalam kehidupan
mereka. Mereka selalu berada di suatu tempat pada suatu waktu lalu
tiba-tiba mereka tersadar dan telah berada di tempat yang lain dan
telah melakukan tindakan yang tidak mereka sadari, dimana tindakan
yang tidak mereka sadari tersebut bisa saja adalah tindakan kriminal,
karena tindakan tersebut dilakukan oleh alter ego mereka yang lain.
Dalam kasus Billy Milligan, ia sampai dipenjara karena dilaporkan
melakukan tindakan perampokan dan juga pemerkosaan. Tetapi ketika
ditangkap, Billy sama sekali tidak melawan dan justru merasa bingung
karena ia tidak merasa melakukan tindakan-tindakan yang dituduhkan
padanya.
Hampir seluruh penderita Dissosative Identity Disorder
mengalami penyiksaan masa kecil yang berujung trauma kronis.
Trauma masa kecil tersebut berdampak hingga si penderita dewasa.
Penderita Dissosiative Identity Disorder (kepribadian inti atau tubuh
inang) kebanyakan tidak memiliki kehidupan sosial diluar keluarga
intinya. Hal tersebut dikarenakan, subjek selalu merasa cemas, was-
was dan ketakutan bila bertemu dengan orang-orang dan situasi yang
baru. Mereka selalu teringat akan peristiwa yang membuatnya trauma
dan hal tersebut membuat si penderita menarik diri dari
lingkungannya. Contohnya dalam kasus Sybil, ia tidak suka disentuh
oleh siapapun bahkan oleh psikolognya karena sentuhan akan
mengingatkannya akan peristiwa mengerikan di masa kecilnya.
Penderita Dissosiative Identity Disorder memiliki
kecenderungan untuk bunuh diri yang cukup tinggi. Hal tersebut
dikarenakan, mereka merasa sebagai pribadi yang lemah, tidak
percaya diri, tidak memiliki kemampuan dan selalu di bayang-bayangi
oleh masa lalu mereka yang traumatis. Padahal jika ditilik dari
beberapa kasus, justru para penderita Dissosiative Identity Disorder
ini adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang menakjubkan
17

(pada alter egonya). Pada kasus Sybil, Sybil merasa dirinya adalah
orang yang tidak berbakat apapun, tetapi sebaliknya alter ego dari
Sybil ada yang pandai berbahasa Perancis, ada yang pandai melukis
dan ada juga ada yang pandai bermain piano. Dari contoh tersebut,
dapat dikatakan bahwa sebetulnya yang memiliki kemampuan adalah
Sybil itu sendiri, karena alter ego sebetulnya adalah perpecahan
kepribadian dari kepribadian inti yang menolak untuk menghadai
situasi yang dianggap traumatik.
2. Spiritual
Padapenderitagangguanidentitasdisosiatifinimemilkikualitashid
up spiritual yang rendah.Walaupunsalahsatuataubeberapa alter
memilikitingkatkeimanan yang tinggi, namunpadadasarnya “pemilik”
tubuhkepribadian yang aslicenderungmemilikisifatpencemas.
Salah satu
penyebabgangguaniniadalahfaktorpsikologismasalalu yang
menyakitkan yang
masihmembekaspadapenderita.Dalampandanganislam, kurangnya rasa
ikhlasuntukmenerimasegalacobaansebagaiujiandari Allah
inidapatmembuatseseorangmencarijalanuntukmelarikandiridaripribadi
yang
memilikimasalahdenganmasalalunyatersebutdenganmembentukkeprib
adianbaru yang dapatmelindungidirinyadariperasaan yang
menyakitkantersebut.

J. TAMBAHAN
1. Hubungan antara DID dengan PTSD
Secara etiologi, DID tampak serupa dengan PTSD. Kondisi
kedua gangguan ini menunjukkan reaksi emosional yang kuat
terhadap trauma yang berat. Namun, tidak semua orang yang akan
mengalami PTSD setelah mengalami trauma yang berat. Hanya orang-
orang yang memiliki kerentanan Biologis dan Psikologis terhadap
18

kecemasan yang beresiko mengembangkan PTSD terhadap trauma


yang tingkatnya mungkin sdang-sedang saja. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa DID adalah salah satu subtipe ekstrim PTSD,
dengan penekanan yang jauh lebih berat pada proses disosiasi
ketimbang gejala kecemasannya meskipun keduanya muncul pada
masing-masing gangguan. Kerentanan terhadap pemganayaan yang
menyebabkan DID adalah mendekati usia 9tahun. sedangkan setelah
usia itu, DID tidak akan berkembang sementara PTSD masih bisa
berkembang.
2. Contoh kasus DID di Indonesia
Pelaku penusukan mahasiswi Universitas Pelita Harapan,
Listya Magdalena, Maysi Nathania didiagnosa memiliki kepribadian
ganda. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Rafli
Amar, dia mengalami gejala-gejala temporal lobiepilepsi atau
kompleks parsial seizure, dan schizophreniform. Schizophreniform
adalah bahasa lain dari jenis penyakit berkepribadian ganda,
sedangkan temporal lobiepilepsi bahasa lain dari gangguan kejiwaan.
Hasil diagnosa itu hasil pemeriksaan kejiwaan, yang dilakukan di
Rumah Sakit Darma Sakti, Jakarta Pusat, dengan pemeriksa dr.
Mikail. Hasil pemeriksaan itu nantinya masih akan dkonsultasikan
dengan tim dokter kepolisian. Pihak Polda Metro Jaya juga
merencanakan untuk memeriksa kesehatan jiwa Maysi, untuk
menguatkan hasil pemeriksaan kesehatan itu. Belum diketahui gejala
penyakit kejiwaan itu sudah berlangsung sejak kapan. Sehingga proses
BAP (Berita Acara Pemeriksaan) belum bisa dilakukan, karena pada
umumnya orang menderita gangguan jiwa keterangannya tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum (inilah.com, 2010).
19

KESIMPULAN

Dari berbagaiteoridefinisigangguanidentitasdisosiatif yangada, kami


memilihDSM-IVkarenadefinisiinimencakupkeseluruhandariteori yang ada.
Menurut DSM-IV, dissociative identity disorder (DID) adalah
seseorang yang mempunyai dua ego yang berbeda (alter ego), di mana
masing-masing ego mempunyai perasaan, kelakuan, kepribadian yang exist
secara independent dan keluar dalam waktu yang berlainan. Biasanya ada
satu kepribadian utama, dan penyembuhan penyakit ini biasa dilakukan pada
alter utama. Pada umumnya, ada 2 - 4 alters pada saat seseorang terdiagnosa,
dan cukup sering ada alter-alter lainnya lagi yang muncul pada saat
treatment.
Beberapafaktorpenyebabgangguanidentitasdisosiatifadalah
1. Biologis
Pada beberapa observasi tentang aktivitas otak selama terjadinya
disosiasi, individu dengan gangguan neurologis tertentu, terutama gangguan
seizure mengalami banyak gejala dissosiatif (Bowman dan Coons, 2000;
Cardena, Lewis-Fernandes, Bear, Pakianathan, dan Spiegel, 1996). Devinsky,
Feldman, Borrowes, dan Bromfield (1989) melaporkan bahwa sekitar 6%
pasien dengan epilepsy lobus temporal melaporkan pengalaman “out of body”
(keluar dari tubuh).
2. PsikoSosial
Hampir setiap pasien yang menunjukkan gangguan ini melaporkan
bahwa pada masa kanak-kanak mereka mengalami penganiayaan berat yang
sering kali tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata baik oleh lingkungan
maupun keluarganya sendiri (Durand, Barlow, 2006). Hal
iniberdampakpadapsikologisberupaperasaan “trauma”
20

sehinggatakjarangpasieninginmelarikandiridarikondisi yang
membuatnyamenderitadengan orang lain yang bisamelindungidirinyasendiri.

3. Spiritual
Dalam perspektif islam, pada hakikatnya setiap manusia memiliki nafs
yang menghasilkan tingkah laku. Dalam pandangan Al Quran, nafs
diciptakan Allah Swt dakam keadaan sempurna untuk menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Al Quran
menganjurkan untuk memberi perhatian lebih besar, sebagaimana
diisyaratkan dalam firman Allah Swt (Q.S asy-Syams (91):7-8).
Untukmenanganigangguankejiwaaninibiasanyadilakukanterapipsikoa
nalisisberupahipnotisataudapatdigunakanTerapi obat yang bisa meringankan
beberapa gejala-gejala coexisting khusus, seperti gelisah atau depresi, tetapi
tidak mempengaruhi gangguan itu sendiri.
21

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Davidson, Gerald, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada Press
Durand,M.W., Barlow, D.H., 2006. ,PsikologiAbnornal.Yogyakarta:
PustakaPelajar
Fausiah, F., Widury, J., 2006Psikologi Abnormal KlinisDewasa.Jakarta: UI
Press.
Guze, B., Richeimer, S., dan Siegel, D.J. (1990). The Handbook of
Psychiatry.
Nevid S.Jeffrey dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Gelora Aksara
Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of
Psychiatric Nursing. (Ed ke-7). St. Louis: Mosby, Inc.
Tomb, David. A. 2000. Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (1996). Synopsis of Psychiatry.
New York: Williams and Wilkins

Jurnal
Eagle, Paula et al., 1998. Identifying Dissosiative Identity Disorder : A self-
report and projective study. Journal of Abnormal Psychology. Vol.
107. 272 – 284.
Kluft, R.P., 2003. Current Issues in Dissosiative Identity Disorder. Bridging
Eastern and Western Psychiatry. Vol. 1. 71 – 87.

Anda mungkin juga menyukai