Anda di halaman 1dari 10

Perubahan Degeneratif Rongga Mulut Pada Lansia

Dengan bertambahnya usia, lapisan epitel yang menutupi mukosa mulut cenderung mengalami penipisan, berkurangnya keratinisasi,
berkurangnya pembuluh darah kapiler dan suplai darah, serta serabut kolagen yang terdapat pada lamina propria akan mengalami
penebalan.(Hasibuan, 1998)
Secara klinis mukosa terlihat lebih pucat, tipis dan kering, proses penyembuhan menjadi lambat, mukosa mulut lebih mudah mengalami
iritasi terhadap tekanan ataupun gesekan. Hal ini karena berkurangnya aliran saliva pada lansia. (Hasibuan, 1998))

Kelainan sistemik juga dapat berakibat kelainan yang menimbulkan manifestasi di dalam rongga mulut.(Ernawati, 1997)
Perubahan –perubahan pada gigi dan mulut yang sering terlihat pada lansia adalah:
2.2.1. Gigi
Dengan bertambahnya usia email akan berwarna gelap dentin akan menjadi rapuh pada akar gigi yang disebut translucent dentin.
Pengecilan ruang pulpa sehingga sulit diidentifikasi dan terkadang terjadi hipersementosis atau menyatunya tulang dengan akar gigi.
Volume pulpa berkurang, pada usia 75 tahun ruang pulpa menhilang secara total.
Atrisi pada gigi akibat cara menyikat gigi yang salah menjadikan rasa ngilu pada gigi yang disebabkan email yang terkelupas

2.2.2. Keratosis
Ditandai dengan adanya penebalan berwarna putih pada mukosa mulut, tidak dapat dihapus dengan sapuan kapas maupun jari. (Franks
and Hedegard, 1973) biasa dijumpai dan sering dapat dibuktikan berhubungan dengan cengkeraman gigi tiruan, tepi yang kasar dari
gigi tiruan atau fraktur gigi, pada perokok berat dan juga pada mukosa bukal yang berhadapan dengan gigi.( Ernawati, 1997)
Keratosis sebagian besar bersifat jinak tetapi dapat berpotensi menjadi ganas (Ernawati, 1997). Prevalensinya laki-laki lebih banyak
daripada perempuan. (Franks and Hedegard, 1973).

2.2.3. Lidah
Pada orang tua membran mukosa menjadi atropi, epitel lebih tipis dan kurang berdiferensiasi disertai peningkatan jaringan kolagen.
Permukaan punggung lidah cenderung menjadi lebih licin dan papila mengalami atropi dan sering terbentuk disura yang dalam dan
ekstensif (Bates dkk, 1984).

Sensasi rasa dalam mulut akan berkurang sesuai dengan usia. Jumlah putik kecap tidak berkurang secara bermakna tetapi ambangnya
meningkat terhadap rasa asin dan pahit. Tidak ada perubahan terhadap rasa manis dan asam
2.2.4. Temporo mandibular joint (TMJ)
Permukaan sendi TMJ menjadi licin akibat proses degeneratif, kondilus mandibula mengecil sehingga pergerakan sendi menjadi lebih
lemah. Selain itu aktifitas proprioseptif pada otot menurun yang menyebabkan pengaturan gerakan pada sendi temporomandibular.

2.2.5. Saliva
Di dalam rongga mulut terdapat tiga pasang kelenjar saliva yaitu, kelenjar parotis, submandibula dan sublingual. Serta beberapa
kelenjar kecil seperti kelenjar labial, palatal, dan bukal dengan fungsi primer sebagai penghasil saliva.
Saliva memegang peranan penting dalam kesehatan mulut karena memiliki komponen anti bakteri dan antifungi yang sangat berguna
untuk mempertahankan keseimbangan flora dalam mulut. Selain itu, saliva berperan dalam mempertahankan pH dalam rongga mulut
secara langsung melindungi gigi geligi.
Saliva mengandung Kalsium, garam fosfat, dan berbagai protein yang membantu remineralisasi gigi.

Dengan berubahnya usia terjadi perubahan histologik secara kualitatif dan


kuantitatif antara lain atropi jaringan akinar, proliferasi elemen duktus, dan
perubahan degeneratif lainnya. Sehingga sekresi saliva menurun dengan
bertambahnya usia, sehingga mudah terjadi karies gigi, gigi mudah tanggal,
mukosa mulut terasa kering, dan mudah terjadi infeksi.
Pembentukan dan pergerakan makanan di dalam mulut menjadi lebih sukar sehingga menimbulkan disfagia dan nikmat makanan pun
menjadi berkurang. Akhirnya berbagai keadaan tersebut menyebabkan gangguan pola makan yan sering menimbulkan kekurangan gizi.
Aliran saliva menurun pada usia di atas 60 tahun, bahkan pada wanita sudah mulai berkurang sesudah menopause. Rangsangan
makanan dapat memberikan penetrasi terhadap mukosa sehingga menimbulkan rasa panas terbakar, gataldan diduga sebagai penyebab
terjadinya karsinoma.

2.2.6. Gusi
Pada usia di atas 65 tahun sering ditemukan radang gusi dan kantong gusi yang dalam disekitar gigi (Bates dkk,1984). Dengan
bertambahnya usia, gusi secara bertahap menyusut, sehingga akar gigi terbuka.sehingga akan terasa ngilu. Respon Jaringan Periodontal
Ada berbagai perubahan terkait usia yang terjadi pada imunitas tubuh dan respon peradangan yang dapat mempengaruhi ketahanan
periodonsium terhadap bakteri plak. Respon imun terhadap plak berkurang pada lansia. Gambaran klinis perubahan jaringan
periodonsium pada pasien geriatric :

1.Epitel mulut bertambah tipis, kurang berkeratin, dan terdapat peningkatan kepadatan sel.
2.Komponen serabut dan sel pada ligamen periodontal berkurang dan strukturnya tidak teratur. Sehingga mengakibatkan
ligament periodontal melebar dan meningkatnya mobilitas gigi.
3.Terjadinya peningkatan ketebalan dan ketidakteraturan permukaan sementum di gigi, sehingga memudahkan terjadinya
penumpukan plak.
4.Tulang alveolar menunjukkan perubahan yang mencakup meningkatnya jumlah lamella interstitial, menghasilkan septum
interdental yang padat, dan menurunnya jumlah sel pada lapisan osteogenik pada fasia kribosa.

2.3. Penyakit di dalam rongga Mulut


Pada lansia dengan kebersihan mulut kurang terpelihara, dapat timbul karies pada bagian akar gigi, begitu juga dengan yang aliran
salivanya berkurang.
Lansia yang memakai gigi tiruan, dapat terjadi resorpsi tulang. Sering terjadi trauma pada mukosa tempat gigi tiruan berada Atropi pada
lidah sering menyebabkan keadaan glositis superfisial (geographic tongue). Keadaan ini tidak berhubungan dengan sistemik.

Berbagai tumor dapat terjadi pada orang tua seperti tumor jinak misalnya keratoachantoma. Lesi berupa plak putih pada mukosa
dengan terutama usia 50-80 tahun.

Perhatian terhadap kesehatan rongga mulut lansia sangatlah penting dimana


peningkatan kualitas kesehatan dan usia harapan hidup. Saat ini jumlah lansia
menjadi bertambah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan masalah lansia ini
akan dialami oleh setiap manusia yang akan berkemBAng menjadi masalah yang
lebih kompleks.
Kelompok lansia ini memerlukan perhatian yang khusus, karena makin tua usia pertahanan dan perbaikan jaringan tubuh secara
bertahap menjadi kurang efektif
Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi organ tubuh sesuai dengan peningkatan usia , seperti penurunan fungsi saluran
pernapasan, pembuluh darah, jantung, tulang, ginjal kulit, mata dan telinga.

  Mulut adalah tempat segala rasa dan awal masuknya makanan. Kesehatan
rongga mulut menjadi penting karena berpengaruh pada asupan gizi yang
dimakan oleh lansia. Kemampuan mengunyah tidak hanya terletak pada gigi.
tetapi juga organ lainnya seperti TMJ, lidah, saliva, dan mukosa.
Temporomandibular join yang disingkat TMJ saling terkait dengan komponen lainnya untuk proses mengunyah. Penyebab dislokasi TMJ
adalah akibat keausan pada condyl dan kehilangan gigi geraham untuk mengunyah, mengharuskan lansia mengunyah dengan gigi
depan yang masih ada .
Kelainan TMJ ini sebenarnya dapat ditanggulangi dari promosi yang dilakukan oleh dokter gigi pada saat sedini mungkin. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh lengkapnya gigi geligi. Sehingga penyuluhan dapat dimulai pada masa sekolah dasar. Sehingga gigi dapat bertahan
sampai lanjut usia. Minimal dalam rongga mulut masih ada 18 gigi karena dalam kondisi ini proses mengunyah maksimal.
Kelainan pada TMJ ini dapat dikurangi dan diatasi dengan pembuatan gigi tiruan sehingga proses fungsional mengunyah dapat lebih baik
sehingga asupan gizi pada lansia mencukupi dan dislokasi mandibula dapat di minimalisir.
Lidah pada lansia mengalami atropi akibat efek degeneratif. Papila pada lidah menjadi tumpul yang mengakibatkan rasa pengecapan
berkurang bahkan rasa panas seperti terbakar.
Kebersihan rongga mulut pada lansia sering terabaikan sehingga timbul kelainan pada gusi. Yang menyebabkan bau mulut dan
kerusakan pada gusi sehingga kualitas hidup lansia berkurang.
Keganasan pada rongga mulut yang biasanya terjadi pada lansia yang mempunyai kebiasaan buruk seperti merokok. Menjadi faktor
predisposisi keganasan.
Kelainan yang timbul akibat usia tua memberikan dampak sosio ekonomi yang berupa perawatan yang kadang-kadang memerlukan
waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar. Hal tersebut tidak hanya menjadi masalah bagi lansianya saja tetapi juga
keluarganya.

Osteoarthritis ( OA )
1. Osteoartritis (OA)
2. Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi dengan karakteristik menipisnya rawan sendi
secara progresif lambat, disertai dengan pembentukan tulang baru pada trabekula
subkondral dan terbentuknya rawan sendi dan tulang baru pada tepi sendi (osteofit)
(Soeroso et al., 2006)
 

1. Etiologi
Osteoartritis seringkali terjadi tanpa diketahui sebabnya, hal itu disebut dengan osteoartritis
idiopatik. Pada kasus yang lebih jarang, osteoartritis dapat terjadi akibat trauma pada sendi,
infeksi atau variasi herediter, perkembangan, kelainan metabolik dan neurologik yang disebut
dengan osteoartritis sekunder. Onset usia pada osteoartritis sekunder tergantung pada
penyebabnya. Maka dari itu, penyakit ini dapat berkembang pada dewasa muda, dan bahkan
anak-anak, seperti halnya pada orang tua (Woodhead, 1989, Sunarto, 1990, Rahardjo, 1994,
Soeroso et al., 2006).
7

Persentase orang yang memiliki osteoartritis pada satu atau beberapa sendi meningkat
dibawah 5% dan orang-orang dengan usia antara 15-44 tahun sekitar 25%, pada orang-orang
dengan usia 45-64 tahun menjadi 30%, dan mencapai 60%-90% pada usia diatas 65 tahun.
Selain hubungan erat ini dan pandangan yang luas bahwa osteoartritis terjadi akibat
proses wear & tear yang normal dan kekakuan sendi pada orang-orang dengan usia diatas 65
tahun, hubungan antara penggunaan sendi, penuaan, dan degenerasi sendi masih sulit
dijelaskan. Terlebih lagi, penggunaan sendi selama hidup tidak terbukti menyebabkan
degenerasi. Sehingga osteoartritis bukan merupakan akibat sederhana dari masalah
penggunaan sendi (Soeroso, 2006)
Osteoartritis merupakan suatu penyakit inflamasi dan ada beberapa bukti sering terjadi
sinovitis, inflamasi bukan merupakan komponen utama dari kelainan yang terjadi pada
pasien. Tidak seperti kerusakan sendi yang disebabkan oleh inflamasi sinovial, osteoartritis
merupakan sekuen retrogresif dari perubahan sel dan matrik yang berakibat kerusakan
struktur dan fungsi kartilago artikuler, diikuti dengan reaksi perbaikan dan remodeling tulang.
Karena reaksi perbaikan dan remodeling tulang ini, degenerasi permukaan artikuler pada
osteoartritis tidak bersifat progresif, dan kecepatan degenerasi sendi bervariasi pada tiap
individu dan sendi. Osteoartritis sering terjadi, tapi pada sebagian besar kasus osteoartritis
berkembang lambat selama bertahun-tahun, meskipun dapat menjadi stabil atau bahkan
membaik dengan spontan dengan restorasi parsial yang minimal dari permukaan sendi dan
pengurangan gejala (Harul & Herlambang, 2008)
Kartilago sendi merupakan organ sasaran utama osteoartritis (Brandt, 2000). Titik awal
terjadinya OA adalah kerusakan atau hilangnya kartilago (Adnan, 2000 cit Isbagio, 1988). OA
terbentuk pada dua keadaan, yaitu :
1) Sifat biomaterial kartilago sendi dan tulang subkondral normal, tetapi terjadi beban
berlebihan terhadap sendi sehingga jaringan rusak.

2) Beban yang ada secara fisiologis normal, tetapi sifat bahan kartilago atau tulang kurang
baik (Brandt, 2000).

Jejas mekanis dan biokimiawi diduga merupakan faktor penting yang merangsang
terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi
yang mengakibatkan terjadi inflamasi, kerusakan kondrosit, dan nyeri (Soeroso et al., 2007).
 

1. Tanda dan Gejala


Secara klinis, osteoartritis dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :

1. Subklinis : pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda klinis lain. kelainan baru
terbatas pada tingkat seluler dan biokimiawi sendi.
2. Manifes : pada tingkatan ini biasanya penderita datang ke dokter karena mulai
merasakan keluhan sendi. Kerusakan kartilago artikularis bertambah luas disertai
reaksi peradangan.
3. Dekompensasi : kartilago artikularis telah rusak dan bahkan ada yang sampai terjadi
deformitas dan kontraktur. Pada tingkatan ini biasanya diperlukan tindakan bedah
(Azhari, 2008).
Tanda dan gejala umum yang sering dialami penderita osteoartritis antara lain adalah :

1. Nyeri sendi, disebabkan oleh peradangan dan gangguan mekanik. Nyeri karena
peradangan biasanya betambah di pagi hari atau setelah lutut menetap pada satu
posisi dalam waktu lama dan berkurang saat bergerak. Sedangkan nyeri mekanik
akan lebih terasa saat melakukan aktivitas lama dan berkurang saat istirahat,
kemungkinan hal ini berhubungan dengan kerusakan kartilago yang sudah parah.
2. Kaku atau keterbatasan gerak pada sendi, hal ini hampir dirasakan semua penderita
OA, terutama pada pagi hari, namun dapat juga terjadi setelah istirahat agak lama.
Kekakuan osteoartritis biasanya terjadi kurang dari 30 menit.
3. Pembengkakan sendi, merupakan reaksi peradangan sehingga terjadi penggumpalan
cairan dalam ruang sendi. Pada inflamasi aktualitas tinggi, pembengkakan dapan
disertai nyeri tekan, gangguan gerak, peningkatan temperatur lokal dan warna
kemerahan.
4. Perubahan pola jalan, hampir semua penderita mengalami perubahan pola jalan
dimana fase weigh bearing pada sisi yang sakit akan lebih cepat (analitic gait)
5. Gangguan fungsi, merupakan akumulasi dari problem-problem diatas. (Azhari, 2008).
 

1. Faktor Resiko
2. Usia
Usia merupakan faktor resiko terbesar terjadinya OA (Markenson, 2004). OA hampir tidak
pernah terjadi pada anak-anak dan jarang terjadi dibawah 40 tahun dan sering terjadi diatas
usia 40 sampai 60 tahun (Soeroso, 2007). Pada penuaan terjadi perubahan morfologi dan
fungsi kondrosit. Perubahan ini menyebabkan degradasi kartilagoimmature yang cepat saat
dirangsang oleh interleukin-1 (IL-1) (Thobias & Sharif, 2003).
1. Jenis Kelamin
Osteoarthritis lebih banyak terjadi pada wanita, hal ini menunjukkan adanya peran hormonal
(Soeroso et al., 2007). Insiden kejadian OA pada wanita meningkat tajam bersamaan dengan
menopouse (Jordan, 2006). Pada saat menopouse terjadi penurunan sekresi estrogen (Jones,
2002). Reseptor estrogen dapat mengenali permukaan osteoblas dan osteoklas dan pada
penelitian in vitrodidapatkan hasil bahwa hormon seks wanita mampu memodifikasi kondrosit
pada kondisi kultur (American Academy of Orthopedic, 2004).
1. Suku Bangsa
Osteoarthritis dua kali lebih sering dijumpai pada orang kulit hitam dari pada orang kulit putih
(Kasjmir, 2003). Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan
pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan (Soeroso et al., 2007).
1. Genetik
 Faktor genetik berperan dalam kerentanan terhadap osteoarthritis, terutama pada kasus
yang mengenai tangan dan panggul (Carter, 2006). Adanya mutasi dari gen prokalogen II
atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur kartilago sendi seperti kolagen tipe IX dan XII,
protein pengikat ataupun proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya
kecenderungan familiar pada OA tertentu (Soeroso et al.,2007).
1. Biomekanik dan metabolik
Beban biomekanik berperan penting dalam terjadinya progresivitas OA. Biomekanik yang
terjadi akan merusak permukaan rawan sendi dan menyebabkan terjadinya kerusakan rawan
sendi. Berat beban yang dapat menimbulkan OA lutut adalah beban lebih dari 50 lbs atau
sekitar 25 kg (1 lbs = 453,59 gram) dengan masa kerja 17,14 tahun atau lebih, serta
frekuensi kerja dengan beban adalah 4 kali seminggu. Kondisi geografi yang berbukit pada
daerah kerja dengan mengangkat beban juga merupakan faktor risiko yang mempunyai
pengaruh besar (Angelika, 2007)

Pada penelitian di Universitas IOWA dilaporkan bahwa 13,9% dari mereka yang pernah
mengalami trauma lutut, termasuk trauma pada meniskus, ligamentum, ataupun tulang pada
masa dewasa muda berkembang menjadi OA lutut, dan mereka yang tidak pernah
mengalami trauma lutut hanya 6,0% yang mengalami OA lutut. Studi longitudinal oleh
Framingham tahun 1999 menyebutkan bahwa laki-laki dengan pekerjaan fisik dan berat,
mempunyai risiko tinggi terjadi OA lutut, dibandingkan dengan pekerjaan tanpa beban lutut.

Pada keadaan obesitas, resultan gaya tersebut akan bergeser ke medial sehingga beban
yang diterima sendi lutut tidak berimbang. Pada keadaan yang berat dapat timbul perubahan
bentuk sendi menjadi varus yang akan makin menggeser resultan gaya tersebut ke medial
(Isbagio, 2000 cit Solomon & Halfet, 1982).
Sudut Quadriceps Angle (Q-Angle), Q-Angle adalah sudut yang dibentuk dari dua garis sudut
lancip antara segmen (1)Tuberositas Tibia dengan mid patella, (2) mid patella dengan SIAS,
pada orang dewasa sudut normal Q-angel terbentuk sekitar 15 derajat, besar kecilnya sudut
tersebut sangat terpengaruh kedua garis segmen tersebut. Pada sudut 15 derajat  inilah
resultan beban tubuh terletak tepat disentral patella. Penelitian menunjukkan pada penderita
obesitas, terjadi penambahan sudut beberapa derajat, dampaknya adalah resultan beban
akan berpindah dari sentral patela bergeser ke sisi medial (Huberti & Hayes, 2000).
Dari segi metabolik, penelitian yang dilakukan pada tikus yang diberi makanan mengandung
asam lemak jenuh, akan lebih banyak menderita OA dibanding tikus yang diberi makanan
yang banyak mengandung asam lemak tak jenuh (Moskowitz, 1995 cit Mankin, 1989). Asam
lemak jenuh yang tinggi juga meningkatkan kadar kolesterol darah, hal ini menyebabkan
penumpukan trombus dan kompleks pada pembuluh darah subkondral. Proses ini berlanjut
menjadi iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut (Gosh, 1992 cit Broto 2008).
1. Trauma mekanis (pekerjaan dan olahraga)
Trauma adalah faktor sekunder resiko OA (Markenson, 2004). Kerusakan sendi dapat terjadi
saat trauma atau sesudahnya, bahkan kartolago yang normal akan mengalami degenerasi
bila sendi tidak stabil (Brandt, 2000). Trauma yang merusak meniskus dan ligamen krusiatum
merupakan penyebab OA lutut (Shipley et al., 2005). Aktivitas tertentu dapat menjadi
predisposisi OA cidera traumatik yang dapat mengenai sendi lutut (Soeroso et al., 2007).
Peningkatan resiko perkembangan OA lutut dapat dijumpai pada atlet sepak bola, pelari jarak
jauh, dan pemain tenis (American Academy of Orthopedic Surgeons, 2004).
 

1. Patofisiologi
Osteoarthritis sendi lutut merupakan gangguan dari persendiandiatrodial yang dicirikan oleh
fragmentasi dan terbelah-belahnya kartilago persendian. Lesi permukaan itu disusul oleh
proses pemusnahan kartilago secara progresif. Melalui sela-sela yang timbul akibat proses
degenerasi fibrilar pada kartilago, cairan sinovial dipenetrasikan ke dalam tulang di bawah
lapisan kartilago yang akan menghasilkan kista-kista. Kartilago yang sudah hancur
mengakibatkan sela persendian menjadi sempit, disamping itu tulang bereaksi terhadap lesi
kartilago yaitu dengan pembentukan tulang baru (osteofit) yang menonjol ke tepi persendian
(Sidharta, 1984).
Menurut Parjoto (2000), pada OA sendi lutut terdapat proses degradasi, reparasi, dan
inflamasi yang terjadi pada jaringan ikat, lapisan rawan, sinovium, dan tulang subkondral.
Pada saat aktif salah satu proses dapat dominan atau beberapa proses terjadi bersama dalam
tingkat intensitas yang berbeda. Perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut:

a)      Sendi normal

Pada sendi normal, terdapat tulang rawan sendi (kartilago) yang sehat, terminyaki oleh cairan
sinovial, bantalan sendi (bursa) sehingga sendi mudah digerakkan.

b)      Degradasi tulang rawan

Degradasi timbul akibat dari ketidakseimbangan antara regenerasi dengan degenerasi rawan
sendi, melalui beberapa tahap yaitu fibrilasiperlunakan, perpecahan, dan pengelupasan
lapisan rawan sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat atau lambat, yang cepat pada kurun
waktu 10 sampai 15 tahun, sedangkan yang lambat sekitar 20 sampai 30 tahun. Akhirnya
permukaan sendi tidak mempunyai lapisan rawan sendi.
c)      Osteofit

Merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk memperbesar permukaan tulang dibagian


bawah tulang rawan sendi yang telah rusak. Bersama timbulnya dengan degenerasi rawan,
timbul regenerasi berupa pembentukan osteofit di tulang subkondral. Dengan menambah
luas permukaan tulang di bawahnya diharapkan distribusi beban ditanggung sendi tersebut
dapat merata.

d)     Sklerosis subkondral

Pada tulang subkondral terjadi reparasi berupa sklerosis, yaitu pemadatan atau penguatan
tulang tepat dibawah lapisan rawan yang mulai rusak.

e)      Sinovitis

Sinovitis adalah inflamasi dari sinovuim yang terjadi akibat proses sekunder degenerasi dan
fragmentasi. Matrik rawan sendi yang putus terdiri dari kondrosit yang
menyimpan proteoglycan yang bersifat immunogenik dan dapat mengaktivasi leukosit.
Sinovitis dapat meningkatkan cairan sendi. Pada tahap lanjut terjadi tekanan tinggi dari
cairan sendi terhadap permukaan sendi yang tidak mempunyai rawan sendi, sehingga cairan
ini akan didesak ke dalam celah-celah subkondral dan akan menimbulkan kantong yang
disebut kista subkondral (Parjoto, 2000).
 

1. Gambaran Radiografi
Gambaran radiografi menegakkan diagnosa OA adalah penyempitan celah sendi yang
seringkali asimetris, densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada sendi,
dan perubahan struktur anatomi sendi lutut (Soeroso et al., 2007)
 

1. Diagnosis
Diagnosa OA ditegakkan dari pemeriksaan klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gerak, dan
gambaran radiologi.

Untuk diagnosa OA sendi lutut digunakan kriteria dan klasifikasi dariAmerican Collage of
Reumatology (ACR) dengan langkah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Kriteria dan klasifikasi OA

(American Collage of Reumatology, 2008)


Klinik dan Klinik dan
laboratorik Radiografik Klinik

Nyeri lutut +
5 sampai 9
kriteria
berikut :

1. Umur Nyeri lutut + minimal 3 dari 6


> 45 kriteria berikut :
tahun
2. Kaku 1. Umur > 45 tahun
pagi 2. Kaku pagi hari < 30
hari < menit
30 3. Krepitasi
menit 4. Nyeri tekan
3. Krepit Nyeri lutut 5. Pembesaran tulang
asi + minimal 1 6. Sedikit hangat saat
4. Nyeri dari 3 palpasi
tekan kriteria  
5. Pemb berikut :
esara
n
tulang 1. Umu
6. Sediki r>
t 45
hanga tahu
t saat n
palpas 2.  Kak
i u
7. LED < pagi
40mm hari
/jam < 30
8. RF < meni
1:40 t
9. Analisi 3. Krep
cairan itasi
sendi +
norma oste
l ofit

Anda mungkin juga menyukai