Anda di halaman 1dari 8

SUMBERDAYA AIR DI KAWASAN KARST GUNUNGSEWU

Wilayah Kajian Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Nadya Amaliah Husna


Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Email: n.amaliah@mail.ugm.ac.id

INTISARI

Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan


bagian dari Kawasan Karst Gunungsewu. Konsekuensi dari kondisi geomorfologi
yang tersusun atas batuan gamping, menjadikan sebagian kecamatan di
Gunungkidul sulit air. Perbedaan utama antara kondisi hidrologi karst dengan
kondisi hidrologi non-karst adalah berkembangnya sungai bawah permukaan
yang lebih dominan daripada sungai permukaan. Terjadinya hal ini dikarenakan
proses geomorfologi yang mengontrol adalah proses pelarutan. Sistem hidrologi
permukaan pada perbukitan Karst Kabupaten Gunungkidul disebut dengan
authigenic. Sungai-sungai permukaan jarang ditemui pada perbukitan karst.
Apabila ditemui sungai permukaan, maka secara tiba-tiba sungai tersebut akan
menghilang masuk ke dalam luweng menuju sungai bawah tanah lalu kembali
muncul ke permukaan, kemudian masuk lagi, dan keluar lagi, kemudian
seterusnya hingga jauh tak terhingga bermuara pada suatu pantai. Kawasan karst
yang sebagian besar wilayahnya tersusun oleh batuan karbonat mempunyai sifat
banyak rongga percelahan dan mudah larut dalam air. Hal inilah yang
menjadikan sistem drainase permukaan tidak berkembang dan lebih didominasi
oleh sistem drainase bawah permukaan. Keterdapatan sungai bawah tanah
merupakan salah satu ciri khas topografi karst. Sungai bawah tanah yang
terdapat di bwah permukaan inilah yang menjadikan Gunungkidul cukup dikenal
sebagai daerah yang kering dan tandus, namun sebenarnya Gunungkidul memiliki
potensi sumberdaya air yang cukup besar dan sama dengan bentuklahan lain yang
ada.

Kata Kunci : Kabupaten Gunungkidul, Hidrologi Karst, Sumberdaya Air

PENDAHULUAN
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Daerah ini merupakan bagian dari Kawasan Karst
Gunungsewu. Menurut Ford dan Williams (2007), karst didefinisikan sebagai kondisi
hidrologi yang khas pada suatu medan yang merupakan akibat dari batuan yang
mudah larut dan memiliki perkembangan porositas sekunder yang baik. Sebagai
konsekuensi dari kondisi geomorfologi yang tersusun atas batuan gamping, hal ini
menjadikan sebagian kecamatan di Gunungkidul sulit air. Penyebab terbatasnya
ketersediaan air di sebagian daerah Gunungkidul karena batu gamping merupakan

[1]
material yang memiliki nilai permeabilitas rendah. Permeabilitas sendiri dapat
didefinisikan sebagai kemampuan batuan atau tanah dalam melalukan air (Purnama,
2010).
Gunungkidul yang cukup dikenal sebagai daerah yang kering dan tandus
sebenarnya memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar dan sama dengan
bentuklahan lain yang ada. Hal ini dikarenakan di Pulau Jawa memiliki input curah
hujan yang besarnya relatif merata. Hanya saja, selama ini permasalahan yang
dijumpai adalah terkait dengan aksesbilitas terhadap sumberdaya air itu sendiri.
Sumberdaya air permukaan di Gunungkidul sangat sedikit dan berkualitas kurang
baik, sementara air tanah di kabupaten ini bisa dikatakan cukup meilimpah.
Bahasan mengenai hidrologi karst sangatlah menarik. Hal ini mengingat bahwa
karakteristik hidrologi karst sangat unik apabila dibandingkan dengan hidrologi non-
karst. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan
gambaran tentang kondisi hidrologi karst di Kabupaten Gunungkidul baik kondisi air
permukaan maupun air bawah permukaan, serta potensi sumberdaya air yang ada.
Adapun manfaat yang hendak diperoleh adalah mengetahui kondisi hidrologi karst di
Kabupaten Gunungkidul baik kondisi air permukaan maupun air bawah permukaan,
serta potensi sumberdaya air yang ada.

GAMBARAN UMUM KAWASAN KARST GUNUNGSEWU


Karst Gunungsewu merupakan salah satu bentang lahan karst tropis yang
terdapat di Pulau Jawa. Sepanjang 85 kilometer kawasan ini membentang di tiga
provinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan, Jawa Timur dengan
total luas wilayah 1.300 km 2. Kawasan Karst Gunungsewu terbentuk dari batu
gamping Neogen (Miosen Tengah hingga Pliosen Atas) Formasi Wonosari–Punung
(tmwp) (Ashari, 2012). Karstifikasi yang terjadi di kawasan karst ini menghasilkan
kenampakan yang khas dijumpai pada karst tropis yaitu bukit karst/kegelkarst
(Haryono,2011). Menurut Haryono dan Day (2004) bukit karst yang terdapat di
kawasan Karst Gunungsewu dibedakan menjadi bukit karst labirin, bukit karst
poligonal, dan bukit karst residual.

PERBEDAAN HIDROLOGI DAERAH KARST DAN NON-KARST


Tiga komponen utama pada sistem hidrologi karst menurut Jankowski (2001),
yaitu akuifer, sistem hidrologi permukaan, dan sistem hidrologi bawah permukaan.
Apabila di kawasan karst, mencari hubungan antara sungai yang tertelan ( swallow
holes) dan mata air merupakan cara untuk mengidentifikasi cekungan bawah
permukaan. Cekungan bawah permukaan ini dapat berkorelasi dengan cekungan
aliran permukaan (DAS) jika jalur-jalur lorong solusional pada bawah permukaan

[2]
utamanya bersumber pada sungai permukaan yang masuk melalui ponor. Meskipun
demikian, secara umum batas antara DAS permukaan dan bawah permukaan adalah
tidak sama. Sistem bawah permukaan, utamanya yang memiliki kemiringan muka
airtanah yang rendah dapat mempunyai banyak jalur dan outlet (mataair). Seiring
berjalannya waktu, proses pelarutan semakin berkembang, hal ini menjadikan muka
airtanah, mataair dan jalur sungai bawah tanah di akuifer karst juga dapat berubah-
ubah menurut waktu.
Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan karst yang terkenal identik
dengan kekeringan. Bentang alam Gunungkidul berupa pegunungan kapur serta
dibawahnya terdapat aliran sungai bawah tanah (Rusmanto dkk, 2011). Daerah ini
mempunyai tipologi karst topografi yang merupakan bentukan bentang alam akibat
proses tektonik yang berlanjut dengan adanya pelarutan dan terbentuk celah tempat
air mengalir dan merupakan fenomena khas yang terjadi pada batuan karbonat
utamanya gamping. Tantangan yang dihadapi oleh penduduk Gunungkidul adalah
ketersediaan air yang berada di dalam tanah yang berupa gua-gua atau sungai-
sungai bawah tanah (Nugroho dan Pramantya, 2012).
Perbedaan utama kondisi hidrologi karst dibandingkan dengan kondisi hidrologi
non-karst adalah berkembangnya sungai bawah permukaan yang lebih dominan
daripada sungai permukaan. Terjadinya hal ini dikarenakan proses geomorfologi yang
mengontrol adalah proses pelarutan (White, 1993). Gillieson (1996) mengatakan
bahwa lorong-lorong bawah permukaan dan sungai bawah tanah ini dikenal sebagai
porositas lorong atau sebutan hidrogeologisnya adalah porositas sekunder.
Perbedaan antara porositas batuan di daerah karst dan di daerah non-karst terlihat
pada gambar 1. Porositas memiliki kaitan dengan sortasi batuan. Sortasi sendiri
dapat diartikan sebagai ukuran rata-rata dari batuan, yang mana semakin seragam
ukuran batuannya, maka sortasinya akan semakin baik dan porositasnya pun
semakin baik.

Gambar 1. Perbedaan porositas di daerah karst (kiri), dan non-karst (kanan)


Sumber : Adji dkk, 2006

[3]
Berdasarkan gambar 1, dapat terlihat jelas bahwa porositas di daerah karst
(kiri) sangat tergantung pada arah pembentukan lorong. Lorong-lorong tersebut
apabila terisi air akan membentuk sungai bawah tanah yang keberadaannya tidak
terdistribusi merata ke segala arah (anisotropik). Sementara itu, sortasi daerah non-
karst (kanan) dapat dikatakan baik. Hal ini menjadikan porositas di daerah non-karst
tergolong baik dan seragam ke segala arah, sehingga air akan mudah ditemukan di
segala tempat.
Porositas sekunder sangat berpengaruh terhadap sistem hidrologi karst. Hal
inilah yang menyebabkan masuknya air ke dalam sistem aliran bawah tanah dan di
permukaan tanah mengalami kondisi yang kering. Kawasan karst sangat minim
sungai permukaan, namun disisi lain sistem sungai bawah permukaan berkembang
dengan baik yang selanjutnya dikenal dengan sungai bawah tanah (Cahyadi dkk,
2013). Akuifer karst rentan terhadap berkurangnya ketersediaan air tanah secara
cepat, yang disebabkan oleh kondisi musim yang berkepanjangan dan berkurangnya
area resapan air di sekitarnya sehingga perlu adanya upaya perlindungan daerah
resapan air (recharge area) (Satrio dan Sidauruk, 2015).

KONDISI AIR PERMUKAAN HIDROLOGI KARST


Struktur geologi seperti diaklas dan rekahan, kekerasan batuan, serta morfologi
permukaan mengkontrol ketersediaan air permukaan pada perbukitan karst. Besar
kecilnya koefisien aliran dan cadangan air tanah sangat ditentukan oleh struktur
geologi. Sistem hidrologi permukaan pada perbukitan Karst Kabupaten Gunungkidul
disebut dengan authigenic (Mc.Donald and Partners, 1984).
Apabila terjadi hujan, air hujan pada topografi karst tersebut ada yang menjadi
limpasan permukaan dan sebagian yang lain akan meresap ke dalam tanah.
Limpasan permukaan yang terkumpul ini kemudian mengalir sebagai sistem sungai.
Sistem sungai di karst menerima input dari hujan dan juga dari bawah tanah yang
nantinya akan mengalir menuju sistem bawah permukaan. Air hujan yang jatuh
terbagi menjadi 4 bagian, yaitu meresap ke dalam tanah, mengalami
evapotranspirasi, menjadi air bawah tanah, dan masuk ke dalam sistem rekahan. Air
hujan yang meresap ke dalam tanah masuk ke sistem perkolasi authigenic dengan
perantara zona rekahan. Sistem cekungan dan sistem rekahan ini nantinya akan
menuju sistem sungai bawah tanah yang pada akhirnya akan kembali ke permukaan
sebagai mata air dan rembesan di sepanjang pantai (Santosa, 2015).
Sungai-sungai permukaan jarang ditemui pada perbukitan karst. Apabila
ditemui sungai permukaan, maka secara tiba-tiba sungai tersebut akan menghilang
masuk ke dalam luweng menuju sungai bawah tanah lalu kembali muncul ke
permukaan, kemudian masuk lagi, dan keluar lagi, kemudian seterusnya hingga jauh

[4]
tak terhingga bermuara pada suatu pantai. Kondisi yang seperti ini dapat ditemui
pada sistem Kali Suci dan Kali Nggremeng. Sungai permukaan pada perbukitan
karst, beberapa ada yang masuk ke dalam tanah menjadi sink river yang kemudian
menjadi sistem sungai bawah tanah dan pola alirannya biasa disebut dengan pola
aliran basinal (Santosa, 2015).

Gambar 2. Kali Nggremeng (atas) dan Kali Suci (bawah)


Sumber : Dokumentasi pribadi, 2018
Bentuk tubuh air permukaan yang sering kali ditemukan pada bentanglahan
perbukitan karst adalah telaga doline atau yang dapat pula disebut sebagai logva.
Logva dapat diartikan sebagai suatu doline yang memiliki ukuran besar dan terisi air
secara kontinu. Logva merupakan telaga karst yang terbentuk karena dasar pada
gabungan doline atau uvala tertutup oleh bahan kedap air akibat sedimentasi
material. Sedimentasi material ini dapat berupa tanah alvisol atau lempung hasil
rombakan lereng atau dari bahan abu vulkanik (Santosa, 2015). Sifatnya yang kedap
air menjadikan dasar doline yang berupa rekahan batu gamping menjadi tertutup,
sehingga apabila air hujan jatuh akan tertampung. Air yang terdapat pada danau atau
telaga karst ini kemudian dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk kebutuhan
domestik.

KONDISI AIR BAWAH PERMUKAAN HIDROLOGI KARST


Kawasan karst yang sebagian besar wilayahnya tersusun oleh batuan karbonat
mempunyai sifat banyak rongga percelahan dan mudah larut dalam air. Hal inilah
yang menjadikan sistem drainase permukaan tidak berkembang dan lebih didominasi

[5]
oleh sistem drainase bawah permukaan. Contohnya adalah sistem pergoaan yang
kadang kala didapati adanya air dan selanjutnya dikenal sebagai sungai bawah
tanah. Keterdapatan sungai bawah tanah merupakan salah satu ciri khas topografi
karst. Air pada sungai bawah tanah di daerah karst dapat disebut sebagai airtanah
apabila menilik definisi airtanah oleh Todd (1980) bahwa airtanah adalah air yang
mengisi celah atau pori-pori/rongga antar batuan dan bersifat dinamis. Sementara itu,
di kondisi lapangan, air bawah tanah karst juga merupakan air yang mengisi
batuan/percelahan yang banyak terdapat pada kawasan ini, meskipun karakteristik air
bawah tanah karst ini sangat berbeda dibandingkan dengan karakteristik airtanah
pada kawasan lain (Haryono dan Adji, 2004).
Sistem aliran sungai bawah tanah sama halnya dengan sistem aliran pada
sungai permukaan. Sungai bawah tanah yang terdapat di Gunungkidul mengalir
melalui jalur-jalur goa pelarutan batu gamping. Potensi sumber daya air pada sungai
bawah tanah sangatlah besar. Namun, pemanfaatan potensi sumberdaya air yang
besar ini belum diimbangi dengan kemajuan teknologi untuk menjangkaunya,
sehingga sering kali penduduk Gunungkidul terkesan kekurangan air. Secara garis
besar komponen aliran utama yang terdapat pada daerah karst adalah (White, 2004
dalam Adji, 2004):
• Allogenic Recharge : aliran permukaan berupa sungai dari luar daerah karst
yang masuk ke akuifer karst melalui ponor (swallow hole) pada basin karst.
• Internal runoff : aliran permukaan dan hujan yang jatuh ke suatu cekungan
karst tertutup dan kemudian masuk ke akuifer karst melalui sinkhole atau ponor pada
suatu basin karst.
• Diffuse infiltration : air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan kemudian
terinfiltrasi secara perlahan-lahan melalui pori-pori tanah dan kemudian dapat
tersimpan dalam kurun waktu mingguan pada zona epikarst sebelum kemudian turun
kebawah melalui rekahan atau matriks batuan menuju ke sungai bawah tanah.
• Imbuhan dari akuifer yang bertengger (perched aquifer) : imbuhan yang
berasal dari akuifer lokal yang berada di atas akuifer karst yang kemudian dapat
mencapai muka airtanah karst secara perlahan-lahan melaui sistem rekahan yang
tersedia.
Sistem sungai bawah di Kabupaten Gunungkidul yang mendekati lengkap
adalah sistem sungai bawah tanah yang memiliki muara di Baron serta sistem lainnya
adalah Sistem Ngobaran. Sistem Baron terbagi menjadi beberapa subsistem yang
lebih kecil, diantaranya yaitu Subsistem Bribin. Pintu masuk sungai bawah tanah
perenial ada empat, yaitu Kali Suci, Kali Petoeng, Kali Serpeng, dan Kali Teguan.
Secara langsung maupun tidak langsung sungai-sungai bawah tanah mempengaruhi
sistem aliran bawah tanah Baron. Misalnya saja Kali Suci masuk melalui Goa Suci,

[6]
yang selanjutnya bergabung dengan aliran dari Bribin sampai ke Baron (Santosa,
2015). Sungai-sungai yang masuk ke dalam sistem sungai bawah tanah Baron serta
debitnya disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Sungai-Sungai dalam Sistem Sungai Bawah Tanah Baron
Nama Sungai Tempat Masuk Debit (liter/detik)
Kali Suci Goa Suci 160
Kali Petoeng Goa Jomblangan 200
Kali Serpeng Goa Serpeng 4
Kali Teguan Goa Semurup 230-260
Sumber : MacDonald, 1984 dalam Santosa, 2015

PENUTUP
Demikianlah bahasan tentang hidrologi karst di Kabupaten Gunungkidul baik
dari air permukaan, air bawah permukaan maupun potensi sumberdaya airnya.
Hidrologi kawasan karst memiliki karakteristik yang khas dan sangat menarik untuk
dipelajari. Air permukaan di Kabupaten Gunungkidul mungkin sangat terbatas, namun
sesungguhnya potensi sumberdaya air bawah permukaannya sangat melimpah
dikarenakan adanya sungai bawah tanah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih dihaturkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa karena
atas limpahan kasih sayang-Nya makalah ini dapat terselesaikan. Kepada orang tua
yang selalu mendoakan diucapkan banyak terima kasih. Terima kasih kepada teman-
teman yang telah membantu dalam proses penulisan makalah ini. Terima kasih
kepada segenap dosen dan asisten praktikum Geohidrologi 2018 Fakultas Geografi
UGM yang selama ini telah membagikan ilmunya.

DAFTAR PUSTAKA
Adji, Tjahyo Nugroho. 2006. Kontribusi Hidrologi Karst dalam Pengelolaan Kawasan
Karst. Yogyakarta : Fakultas Geografi.
Ashari, Arif. 2012. Konservasi Bukit Karst Sebagai Tindakan Mitigasi Kekeringan di
Daerah Tangkapan Hujan Subsistem Geohidrologi Bribin-Baron-Seropan Karst
Gunungsewu. Jurnal Geomedia Vol. 10 No. 1 : 95-110.
Cahyadi, A., Ayuningtyas, E.A. dan Prabawa, B.A., 2013. Urgensi Pengelolaan
Sanitasi Dalam Upaya Konservasi Sumberdaya Air di Kawasan Karst
Gunungsewu Kabupaten Gunungkidul, Indonesian, J. of Conservation, Vol.2
No.1: 23-32.
Ford, Derek. dan Williams, Paul. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology .
Sussex: John Wiley and Sons.

[7]
Gillieson, D. 1996. Caves: Processes, Development, and Management . Oxford :
Blackwell
Haryono, Eko. dan Day, Mick. 2004. Landform Differentiation Within the Gunungsewu
Kegelkarst Java Indonesia. Journal of Cave and Karst Studies Vol. 66 No. 2:
62-69.
Haryono, Eko. 2011. Introduction Gunungsewu Karst Java-Indonesia. Field Guide
Asian Trans-Disciplinary Karst Conference 2011 . Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta 7–10 Januari 2011.
Haryono, Eko., dan Adji, Tjahyo Nugroho. 2004. Geomorfologi dan Hidrologi Karst
Bahan Ajar. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Jankowski, J. 2001. Hydrogeochemistry. Short Course Note. Sydney : School of
Geology, University Of New South Wales (tidak dipublikasikan).
Mac. Donalds and Partners. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources
Study. London : Overseas Development Administration.
Nugroho, B., dan Pranantya, P.A. 2012. Klasifikasi Geoteknik Gua Sungai Bawah
Tanah Daerah Seropan Wonosari — Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Prosiding Simposium Seminar Geomekanika Ke-1.
Purnama, Setyawan. 2010. Hidrologi Air Tanah. Yogyakarta : KANISIUS.
Rusmanto, T., Mulyono., dan Irianto, B. 2011. Identifikasi Gross β dan Pengukuran
Parameter Air diI Perairan Wonosari, Gunungkidul. Prosiding Seminar
Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir, Pusat Teknologi Akselerator dan
Proses Bahan, Yogyakarta.
Santosa, Langgeng. 2015. Keistimewaan Yogyakarta dari Sudut Pandang
Geomorfologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Satrio., dan Sidauruk, Paston. 2015. Studi Daerah Imbuh Sistem Air Sungai Bawah
Tanah Gunungkidul–Yogyakarta Menggunakan Isotop Stabil δ18O dan δ2H.
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. Vol. 11 No. 2 : 87-98.
Todd, D.K. 1980. Groundwater Hydrology. 2nd Ed. John Wiley & Sons.
White, W.B. 1993. Analysis of Karst Aquifer. New York : Van Nostrand Reinhold.

[8]

Anda mungkin juga menyukai