INTISARI
PENDAHULUAN
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Daerah ini merupakan bagian dari Kawasan Karst
Gunungsewu. Menurut Ford dan Williams (2007), karst didefinisikan sebagai kondisi
hidrologi yang khas pada suatu medan yang merupakan akibat dari batuan yang
mudah larut dan memiliki perkembangan porositas sekunder yang baik. Sebagai
konsekuensi dari kondisi geomorfologi yang tersusun atas batuan gamping, hal ini
menjadikan sebagian kecamatan di Gunungkidul sulit air. Penyebab terbatasnya
ketersediaan air di sebagian daerah Gunungkidul karena batu gamping merupakan
[1]
material yang memiliki nilai permeabilitas rendah. Permeabilitas sendiri dapat
didefinisikan sebagai kemampuan batuan atau tanah dalam melalukan air (Purnama,
2010).
Gunungkidul yang cukup dikenal sebagai daerah yang kering dan tandus
sebenarnya memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar dan sama dengan
bentuklahan lain yang ada. Hal ini dikarenakan di Pulau Jawa memiliki input curah
hujan yang besarnya relatif merata. Hanya saja, selama ini permasalahan yang
dijumpai adalah terkait dengan aksesbilitas terhadap sumberdaya air itu sendiri.
Sumberdaya air permukaan di Gunungkidul sangat sedikit dan berkualitas kurang
baik, sementara air tanah di kabupaten ini bisa dikatakan cukup meilimpah.
Bahasan mengenai hidrologi karst sangatlah menarik. Hal ini mengingat bahwa
karakteristik hidrologi karst sangat unik apabila dibandingkan dengan hidrologi non-
karst. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan
gambaran tentang kondisi hidrologi karst di Kabupaten Gunungkidul baik kondisi air
permukaan maupun air bawah permukaan, serta potensi sumberdaya air yang ada.
Adapun manfaat yang hendak diperoleh adalah mengetahui kondisi hidrologi karst di
Kabupaten Gunungkidul baik kondisi air permukaan maupun air bawah permukaan,
serta potensi sumberdaya air yang ada.
[2]
utamanya bersumber pada sungai permukaan yang masuk melalui ponor. Meskipun
demikian, secara umum batas antara DAS permukaan dan bawah permukaan adalah
tidak sama. Sistem bawah permukaan, utamanya yang memiliki kemiringan muka
airtanah yang rendah dapat mempunyai banyak jalur dan outlet (mataair). Seiring
berjalannya waktu, proses pelarutan semakin berkembang, hal ini menjadikan muka
airtanah, mataair dan jalur sungai bawah tanah di akuifer karst juga dapat berubah-
ubah menurut waktu.
Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan karst yang terkenal identik
dengan kekeringan. Bentang alam Gunungkidul berupa pegunungan kapur serta
dibawahnya terdapat aliran sungai bawah tanah (Rusmanto dkk, 2011). Daerah ini
mempunyai tipologi karst topografi yang merupakan bentukan bentang alam akibat
proses tektonik yang berlanjut dengan adanya pelarutan dan terbentuk celah tempat
air mengalir dan merupakan fenomena khas yang terjadi pada batuan karbonat
utamanya gamping. Tantangan yang dihadapi oleh penduduk Gunungkidul adalah
ketersediaan air yang berada di dalam tanah yang berupa gua-gua atau sungai-
sungai bawah tanah (Nugroho dan Pramantya, 2012).
Perbedaan utama kondisi hidrologi karst dibandingkan dengan kondisi hidrologi
non-karst adalah berkembangnya sungai bawah permukaan yang lebih dominan
daripada sungai permukaan. Terjadinya hal ini dikarenakan proses geomorfologi yang
mengontrol adalah proses pelarutan (White, 1993). Gillieson (1996) mengatakan
bahwa lorong-lorong bawah permukaan dan sungai bawah tanah ini dikenal sebagai
porositas lorong atau sebutan hidrogeologisnya adalah porositas sekunder.
Perbedaan antara porositas batuan di daerah karst dan di daerah non-karst terlihat
pada gambar 1. Porositas memiliki kaitan dengan sortasi batuan. Sortasi sendiri
dapat diartikan sebagai ukuran rata-rata dari batuan, yang mana semakin seragam
ukuran batuannya, maka sortasinya akan semakin baik dan porositasnya pun
semakin baik.
[3]
Berdasarkan gambar 1, dapat terlihat jelas bahwa porositas di daerah karst
(kiri) sangat tergantung pada arah pembentukan lorong. Lorong-lorong tersebut
apabila terisi air akan membentuk sungai bawah tanah yang keberadaannya tidak
terdistribusi merata ke segala arah (anisotropik). Sementara itu, sortasi daerah non-
karst (kanan) dapat dikatakan baik. Hal ini menjadikan porositas di daerah non-karst
tergolong baik dan seragam ke segala arah, sehingga air akan mudah ditemukan di
segala tempat.
Porositas sekunder sangat berpengaruh terhadap sistem hidrologi karst. Hal
inilah yang menyebabkan masuknya air ke dalam sistem aliran bawah tanah dan di
permukaan tanah mengalami kondisi yang kering. Kawasan karst sangat minim
sungai permukaan, namun disisi lain sistem sungai bawah permukaan berkembang
dengan baik yang selanjutnya dikenal dengan sungai bawah tanah (Cahyadi dkk,
2013). Akuifer karst rentan terhadap berkurangnya ketersediaan air tanah secara
cepat, yang disebabkan oleh kondisi musim yang berkepanjangan dan berkurangnya
area resapan air di sekitarnya sehingga perlu adanya upaya perlindungan daerah
resapan air (recharge area) (Satrio dan Sidauruk, 2015).
[4]
tak terhingga bermuara pada suatu pantai. Kondisi yang seperti ini dapat ditemui
pada sistem Kali Suci dan Kali Nggremeng. Sungai permukaan pada perbukitan
karst, beberapa ada yang masuk ke dalam tanah menjadi sink river yang kemudian
menjadi sistem sungai bawah tanah dan pola alirannya biasa disebut dengan pola
aliran basinal (Santosa, 2015).
[5]
oleh sistem drainase bawah permukaan. Contohnya adalah sistem pergoaan yang
kadang kala didapati adanya air dan selanjutnya dikenal sebagai sungai bawah
tanah. Keterdapatan sungai bawah tanah merupakan salah satu ciri khas topografi
karst. Air pada sungai bawah tanah di daerah karst dapat disebut sebagai airtanah
apabila menilik definisi airtanah oleh Todd (1980) bahwa airtanah adalah air yang
mengisi celah atau pori-pori/rongga antar batuan dan bersifat dinamis. Sementara itu,
di kondisi lapangan, air bawah tanah karst juga merupakan air yang mengisi
batuan/percelahan yang banyak terdapat pada kawasan ini, meskipun karakteristik air
bawah tanah karst ini sangat berbeda dibandingkan dengan karakteristik airtanah
pada kawasan lain (Haryono dan Adji, 2004).
Sistem aliran sungai bawah tanah sama halnya dengan sistem aliran pada
sungai permukaan. Sungai bawah tanah yang terdapat di Gunungkidul mengalir
melalui jalur-jalur goa pelarutan batu gamping. Potensi sumber daya air pada sungai
bawah tanah sangatlah besar. Namun, pemanfaatan potensi sumberdaya air yang
besar ini belum diimbangi dengan kemajuan teknologi untuk menjangkaunya,
sehingga sering kali penduduk Gunungkidul terkesan kekurangan air. Secara garis
besar komponen aliran utama yang terdapat pada daerah karst adalah (White, 2004
dalam Adji, 2004):
• Allogenic Recharge : aliran permukaan berupa sungai dari luar daerah karst
yang masuk ke akuifer karst melalui ponor (swallow hole) pada basin karst.
• Internal runoff : aliran permukaan dan hujan yang jatuh ke suatu cekungan
karst tertutup dan kemudian masuk ke akuifer karst melalui sinkhole atau ponor pada
suatu basin karst.
• Diffuse infiltration : air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan kemudian
terinfiltrasi secara perlahan-lahan melalui pori-pori tanah dan kemudian dapat
tersimpan dalam kurun waktu mingguan pada zona epikarst sebelum kemudian turun
kebawah melalui rekahan atau matriks batuan menuju ke sungai bawah tanah.
• Imbuhan dari akuifer yang bertengger (perched aquifer) : imbuhan yang
berasal dari akuifer lokal yang berada di atas akuifer karst yang kemudian dapat
mencapai muka airtanah karst secara perlahan-lahan melaui sistem rekahan yang
tersedia.
Sistem sungai bawah di Kabupaten Gunungkidul yang mendekati lengkap
adalah sistem sungai bawah tanah yang memiliki muara di Baron serta sistem lainnya
adalah Sistem Ngobaran. Sistem Baron terbagi menjadi beberapa subsistem yang
lebih kecil, diantaranya yaitu Subsistem Bribin. Pintu masuk sungai bawah tanah
perenial ada empat, yaitu Kali Suci, Kali Petoeng, Kali Serpeng, dan Kali Teguan.
Secara langsung maupun tidak langsung sungai-sungai bawah tanah mempengaruhi
sistem aliran bawah tanah Baron. Misalnya saja Kali Suci masuk melalui Goa Suci,
[6]
yang selanjutnya bergabung dengan aliran dari Bribin sampai ke Baron (Santosa,
2015). Sungai-sungai yang masuk ke dalam sistem sungai bawah tanah Baron serta
debitnya disajikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Sungai-Sungai dalam Sistem Sungai Bawah Tanah Baron
Nama Sungai Tempat Masuk Debit (liter/detik)
Kali Suci Goa Suci 160
Kali Petoeng Goa Jomblangan 200
Kali Serpeng Goa Serpeng 4
Kali Teguan Goa Semurup 230-260
Sumber : MacDonald, 1984 dalam Santosa, 2015
PENUTUP
Demikianlah bahasan tentang hidrologi karst di Kabupaten Gunungkidul baik
dari air permukaan, air bawah permukaan maupun potensi sumberdaya airnya.
Hidrologi kawasan karst memiliki karakteristik yang khas dan sangat menarik untuk
dipelajari. Air permukaan di Kabupaten Gunungkidul mungkin sangat terbatas, namun
sesungguhnya potensi sumberdaya air bawah permukaannya sangat melimpah
dikarenakan adanya sungai bawah tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Tjahyo Nugroho. 2006. Kontribusi Hidrologi Karst dalam Pengelolaan Kawasan
Karst. Yogyakarta : Fakultas Geografi.
Ashari, Arif. 2012. Konservasi Bukit Karst Sebagai Tindakan Mitigasi Kekeringan di
Daerah Tangkapan Hujan Subsistem Geohidrologi Bribin-Baron-Seropan Karst
Gunungsewu. Jurnal Geomedia Vol. 10 No. 1 : 95-110.
Cahyadi, A., Ayuningtyas, E.A. dan Prabawa, B.A., 2013. Urgensi Pengelolaan
Sanitasi Dalam Upaya Konservasi Sumberdaya Air di Kawasan Karst
Gunungsewu Kabupaten Gunungkidul, Indonesian, J. of Conservation, Vol.2
No.1: 23-32.
Ford, Derek. dan Williams, Paul. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology .
Sussex: John Wiley and Sons.
[7]
Gillieson, D. 1996. Caves: Processes, Development, and Management . Oxford :
Blackwell
Haryono, Eko. dan Day, Mick. 2004. Landform Differentiation Within the Gunungsewu
Kegelkarst Java Indonesia. Journal of Cave and Karst Studies Vol. 66 No. 2:
62-69.
Haryono, Eko. 2011. Introduction Gunungsewu Karst Java-Indonesia. Field Guide
Asian Trans-Disciplinary Karst Conference 2011 . Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta 7–10 Januari 2011.
Haryono, Eko., dan Adji, Tjahyo Nugroho. 2004. Geomorfologi dan Hidrologi Karst
Bahan Ajar. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Jankowski, J. 2001. Hydrogeochemistry. Short Course Note. Sydney : School of
Geology, University Of New South Wales (tidak dipublikasikan).
Mac. Donalds and Partners. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources
Study. London : Overseas Development Administration.
Nugroho, B., dan Pranantya, P.A. 2012. Klasifikasi Geoteknik Gua Sungai Bawah
Tanah Daerah Seropan Wonosari — Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Prosiding Simposium Seminar Geomekanika Ke-1.
Purnama, Setyawan. 2010. Hidrologi Air Tanah. Yogyakarta : KANISIUS.
Rusmanto, T., Mulyono., dan Irianto, B. 2011. Identifikasi Gross β dan Pengukuran
Parameter Air diI Perairan Wonosari, Gunungkidul. Prosiding Seminar
Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir, Pusat Teknologi Akselerator dan
Proses Bahan, Yogyakarta.
Santosa, Langgeng. 2015. Keistimewaan Yogyakarta dari Sudut Pandang
Geomorfologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Satrio., dan Sidauruk, Paston. 2015. Studi Daerah Imbuh Sistem Air Sungai Bawah
Tanah Gunungkidul–Yogyakarta Menggunakan Isotop Stabil δ18O dan δ2H.
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. Vol. 11 No. 2 : 87-98.
Todd, D.K. 1980. Groundwater Hydrology. 2nd Ed. John Wiley & Sons.
White, W.B. 1993. Analysis of Karst Aquifer. New York : Van Nostrand Reinhold.
[8]