Anda di halaman 1dari 12

ISBN 978- 979-8636-30-1

POLA ALIRAN SUNGAI DAN KONDISI AIRTANAH DI DAERAH WADO DAN


SEKITARNYA: UNTUK PERENCANAAN KAWASAN RELOKASI BARU

RIVER DRAINAGE PATTERN AND GROUNDWATER CONDITION IN WADO AND


SURROUNDING AREA: IMPLICATION FOR NEW RELOCATION AREA PLANNING

Nandian Mareta1
1
Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karang Sambung
http//www.karangsambung.lipi.go.id
Email: nandianthea@gmail.com, nand015@lipi.go.id

ABSTRAK
Pola aliran sungai adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak
dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Biasanya pola pengaliran yang demikian disebut
sebagai pola pengaliran permanen (tetap). Dari pola pengaliran sungai bisa diketahui karakter geologi daerah
tersebut terutama jika adanya struktur geologi yang berkembang seperti lipatan ataupun sesar. Setiap daerah
mempunyai pola aliran yang khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Daerah Wado, Kabupaten Sumedang
merupakan daerah yang sebagian wilayahnya akan terendam oleh Bendungan Jatigede. Perlu diketahui
ketersediaan air tanah yang ada di daerah tersebut karena akan dijadikan sebagai kawasan hunian baru saat
masyarakat yang tanahnya terendam genangan waduk Jatigede berpindah. Berdasarkan penelitian dengan
metoda pemetaan maka pola aliran yang berkembang di daerah Wado ada lima yaitu dendrito-paralel,
dendritik, anastomotik, radial dan dendrito-rektangular. Dendrito-paralel menempati luas paling besar
sedangkan dendrito-rektangular menempati luas paling kecil. Sedangkan berdasarkan inventaris data sekunder
meliputi kondisi airtanah yang ada di daerah penelitian, maka terdapat lima kondisi yaitu; akuifer produktif
sedang dengan penyebaran luas, akuifer produktif sedang setempat, akuifer produktif setempat, akuifer
produktif kecil setempat berarti dan daerah airtanah langka/tidak berarti.
Kata kunci: Pola aliran sungai, kondisi airtanah, Wado, akuifer

ABSTRACT
The drainage pattern of the river is a collection of a drainage network in an area that is affected or not affected
by rainfall, drainage grooves keep flowing. The drainage pattern usually referred as the drainage pattern of
permanent (fixed). From the pattern of stream flow can be see to and geological character of the area,
(particularly if the developing geological structures such as faults or folds). Each area has a drainage pattern
that is unique and different from other regions. Wado area, Sumedang District is an area that most of the area
to be submerged by the dam Jatigede. Need to know how availability of groundwater in the area because it will
serve as a new residential area as people whose land is submerged dam of Jatigede moved. Based on research
by the method of mapping the flow pattern that developed in the area Wado, there had five pattern that;
dendrite-parallel, dendritic, anastomotic, radial and dendrite-rectangular. Dendrite-parallel keep most large
broad, dendrite-rectangular occupies a total area whereas the least. While based on an inventory of secondary
data include groundwater conditions in the study area, then there are five conditions that; moderately
productive aquifer widespread distribution, being productive local aquifers, local productive aquifers, aquifer
productive means of small local and regional groundwater scarce / insignificant.
Keywords: drainage pattern of river, groundwater conditions, Wado, aquifers
Ketahanan Air

Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 101


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

PENDAHULUAN
Daerah Wado, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat merupakan daerah yang cukup terkenal terutama setelah
dicanangkannya pembangunan Waduk Jatigede yang merupakan waduk terbesar kedua di Jawa Barat setelah
Waduk Jatiluhur. Luas lahan yang akan digenangi Waduk Jatigede sekitar 4983 hektare dengan biaya yang akan
dikeluarkan sebesar Rp. 1,15 triliun. Kemampuan menghasilkan daya listrik menurut PLN ada pada kisaran 110
megawat dengan kemampuan mengairi sawah irigisi dihilirnya sebesar 41.200 hektare. Merupakan mega
proyek yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan belum ada kejelasan tentang kelanjutan jadi tidaknya.
(http://economy.okezone.com/read/2014/12/02/19/1073776/pln-mulai-bangun-plta-jatigede-2x55-mw-
tahun-depan, diakses 28 Mei 2015).
Bendungan Jatigede diperkirakan akan menenggelamkan 28 desa di lima Kecamatan, yaitu Kecamatan
Jatigede, Jatinunggal, Darmaraja, Cisitu dan Wado, dimana penduduk yang mendiami desa-desa tersebut akan
di relokasi ke tempat-tempat lain di luar daerah genangan. Relokasi penduduk yang besar-besaran ini
memerlukan lahan baru yang perlu dikaji terutama ketersediaan sumber daya airnya.
Sumber daya air suatu daerah terdiri dari air permukaan dan air bawah permukaan (air tanah). Air permukaan
terdapat di sungai-sungai, situ, danau, bendungan atau tempat-tempat terbuka lainnya yang diisi oleh air.
Sumber utama dari air permukaan adalah air hujan yang turun di tempat tersebut.
Air tanah adalah air yang terdapat dibawah permukaan pada zona jenuh air, dengan tekanan hidrostatis sama
atau lebih besar dibandingkan tekanan udara. Sebaran air tanah di suatu daerah tidak sama. Ada daerah yang
mempunyai potensi air tanah tinggi dan ada daerah yang mempunya potensi air tanah rendah. Potensi
keberadaan air tanah sangat bergantung pada berbagai hal diantaranya curah hujan, jumlah vegetasi,
kemiringan lereng dan litologinya. Secara umum air tanah akan mengalir melalui rekahan (celah) dan atau
melalui butiran antar butir. Lapisan yang mudah membawa atau menghantarkan air disebut akuifer atau
lapisan pembawa air. Akuifer yang baik biasanya adalah lapisan pasir atau lapisan kerikil-kerakal atau di daerah
tertentu berupa batugamping.
Airtanah akan bergerak dari tekanan yang tinggi menuju ke tekanan yang rendah. Perbedaan ini secara umum
diakibatkan perbedaan gravitasi (perbedaan ketinggian antara daerah pegunungan dengan permukaan laut),
adanya lapisan penutup yang bersifat impermeable, gaya lainnya yang diakibatkan oleh pola struktur batuan
atau fenomena lainnya yang ada dibawah permukaan tanah. Secara umum pergerakan ini disebut gradient
aliran airtanah (potentiometrik). Pola gradien aliran airtanah ini bisa ditentukan dengan menarik kesamaan
muka air tanah yang berada dalam satu sistem aliran air tanah yang sama. Lapisan permeable adalah lapisan
tanah yang didalamnya memungkinan bagi air bergerak leluasa baik itu bergerak secara vertikal dari atas ke
bawah pada saat meresap atau bergerak secara horizontal. Klasifikasi yang berlainan dimungkinkan menurut
pemberian air tanah ke dasar sungai, yaitu sungai efluen, sungai yang menerima air dari airtanah dan sungai
influen, sungai yang mengeluarkan air ke air tanah. (Seyhan, E, 1977).
Air sendiri merupakan salah satu sumber kebutuhan untuk hidup bagi manusia. Manusia akan
mempertimbangkan tempat tinggalnya berdasarkan dari ketersediaan air ini. Jika ketersediaan sumber daya
airnya langka atau kurang, maka akan mempengaruhi keterpilihan tempat tersebut untuk dihuni oleh manusia.
Salah satu fungsi dari dibangunnya Bendungan Jatigede sendiri adalah untuk menampung air permukaan yang
berasal dari Sungai Cimanuk, yang berhulu di Kabupaten Garut dan bermuara di Kabupaten Indramayu dengan
panjang sungai sekitar 337,67 km melewati Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu (Balai Data dan
Informasi SDA, PSDA, Jawa Barat, 2005). Bendungan Jatigede dirancang untuk mempunyai empat fungsi, yakni
sumber air irigasi yang mengairi ribuan hektar sawah dihilirnya, pemasok air baku dengan debit 3.500
liter/detik, pembangkit listrik berkapasitas 110 Mw, serta pengendalian daerah banjir seluas 14 ribu hektare.

LOKASI PENELITIAN
Daerah Wado yang merupakan daerah penelitian kegiatan ini terletak pada koordinat 108º02’30”-108º07’30”
Bujur Timur dan 6º52’30”-6º57’30” Lintang Selatan, termasuk lembar peta topografi seri AMS No. 4622 III,
skala 1:50.000, dengan luas daerah penelitian 100 km2. Secara administratif termasuk kedalam Kecamatan
Ketahanan Air

Wado, Jatinunggal dan Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.

II - 102 Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Gambar 1. Peta lokasi daerah Penelitian Wado dan sekitarnya


(Sumber: google.map. Wado. Sumedang. Jawa Barat, diakses pada 28 Mei 2015)

Gambar 2. Fisiografi Regional Jawa Bagian Barat menurut Van Bemmelen, 1949

Fisiografi Daerah Wado dan sekitarnya termasuk kedalam Zona Bogor, yaitu suatu daerah antiklinorium yang
rumit dan cembung kearah Utara yang memanjang dari Rangkasbitung di Barat sampai ke Majenang (Bumiayu)
di Timur (Van Bemmelen, 1949). Zona ini ditempati oleh pegunungan dan perbukitan dengan lebar kurang
lebih 40 km. Endapannya terdiri oleh akumulasi endapan Neogen yang tebal dengan dicirikan oleh endapan
laut dalam. Umumnya terdiri dari batulempung dan breksi yang merupakan endapan turbidit, disertai intrusi
hipabisal.

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian pola aliran sungai dan kondisi air tanah di daerah Wado dan sekitarnya ini bertujuan untuk
mengetahui pola aliran sungai yang berkembang sehingga diketahui potensi air permukaan di daerah tersebut.
Sedangkan potensi air bawah permukaan (air tanah) didapatkan dari data sekunder berupa Peta Hidrogeologi
Kabupaten Sumedang. Dengan diketahuinya potensi sumber daya air (permukaan dan air tanah) diharapkan
menjadi acuan bagi penduduk sekitar yang akan direlokasi pemukimannya disebabkan oleh pembangunan
Waduk Jatigede. Lokasi Waduk Jatigede sendiri berada di sebelah Utara daerah penelitian ini. Bahkan sebagian
dari daerah penelitian ini termasuk wilayah genangan air waduk tersebut.
Ketahanan Air

Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 103


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Gambar 3. Peta Topografi Daerah Wado dan sekitarnya

METODE
Metode dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan yaitu pendekatan lapangan dan studi literatur.
Pendekatan lapangan dengan melakukan pemetaan geologi lingkungan daerah Wado dan sekitarnya meliputi
kondisi geologi secara umum antara lain: kondisi litologi, struktur geologi, dan morfologi. Sedangkan studi
literatur meliputi kondisi air tanah diambil dari data sekunder terutama dari Peta Hidrogeologi Kabupaten
Sumedang, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, ESDM. Pemetaan Geologi Lingkungan yang penulis lakukan
merupakan bagian dari tugas akhir (skripsi) tahun 2007. Peralatan yang digunakan berupa kompas geologi,
palu geologi, lup, rollmeter, kamera dan HCL 0,1N. Semua data diolah menggunakan software Map Info 12.5
untuk digitasi berbagai peta tematik.
Menurut Howard, 1967 dalam van Zuidam (1983), pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan
pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap
mengalir. Pola pengairan yang demikian disebut sebagai pola pengaliran permanen (tetap). Pola-pola tersebut
dapat dipisahkan dari pola-pola lainnya sebagai pola dasar. Sedangkan pola modifikasi merupakan perubahan
atas pola dasar sebagai kekhasan setempat.

Gambar 4. Bagan alir penelitian


Ketahanan Air

II - 104 Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Bentuk-bentuk pola dasar adalah: Dendritik, Paralel, Trelis, Rektangular, Radial, Multibasinal dan Kontorted.
Sedangkan pola modifikasi antara lain adalah : Subdendritik, Pinnate, Anastomotik, Dikhotomik, Angulate,
Kolinier dan lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sungai utama yang mengalir di daerah Wado dan sekitarnya yaitu Sungai Cimanuk yang mengalir relatif dari
Selatan kearah Utara. Di Utara, sekitar daerah Jatigede, sungai ini dibendung menjadi sebuah waduk yang
bernama Waduk Jatigede. Sungai-sungai besar lainnya yaitu di sebelah Barat Atas mengalir Sungai Citembang
yang alirannya relatif Barat-Timur dan bermuara di Sungai Cimanuk. Di sebelah Barat Tengah mengalir Sungai
Cijarang yang bermuara ke Sungai Cihonje yang alirannya relatif Barat-Timur dan bermuara lagi ke Sungai
Cimanuk. Di Barat Bawah, mengalir Sungai Cikuya yang bermuara ke Sungai Cimuja yang alirannya relatif
Barat-Timur dan bermuara di Sungai Cimanuk. Paling Barat Bawah mengalir Sungai Cijuti yang alirannya relatif
Barat-Timur dan bermuara di Sungai Cimanuk dan terakhir Sungai Cipamoyanan yang alirannya relatif Barat-
Timur dan bermuara di sebelah Selatan Sungai Cimanuk di luar daerah penelitian.
Sungai-sungai besar yang berada di sebelah Timur, alirannya lebih kompleks yaitu ada yang mengalir Timur-
Barat dan ada yang mengalir Selatan-Utara. Sungai-sungai itu adalah: Sungai Cinagari yang alirannya Selatan-
Utara dan bermuara di Sungai Cinambo hampir tegak lurus. Sungai Cinambo alirannya relatif Timur-Barat dan
bermuara di Sungai Cimanuk sebelah Utara (hilir) di luar daerah penelitian. Di bagian Timur Tengah, Sungai
Cicacaban mengalir Timur-Utara dan bermuara di Sungai Cimanuk. Di bagian Timur Bawah, Sungai Cigelong
mengalir dari Selatan-Utara dan bermuara hampir tegak lurus terhadap aliran Sungai Cialing yang mengalir
Timur-Barat dan bermuara di Sungai Cimanuk. Di Timur paling bawah, Sungai Cikara mengalir Timur-Barat dan
bermuara ke Sungai Cigelong hampir tegak lurus yang mana aliran Sungai Cigelong, Selatan-Utara. Sungai-
sungai lain merupakan anak-anak sungai dari sungai-sungai besar tersebut dan tipe sungainya umumnya
sungai intermitten, yaitu sungai yang hanya berair pada musim hujan saja.
Dalam mengelompokkan pola pengaliran sungai di daerah penelitian, penulis memakai acuan pembagian pola
pengaliran sungai menurut Howard, 1967 dalam van Zuidam (1983). Dengan mengamati sifat fisik batuan,
keadaan tofografi, struktur geologi yang berkembang dan disesuaikan dengan pembagian pola pengaliran,
maka penulis membagi pola pengaliran di daerah penelitian menjadi:
A. Pola pengaliran Anastomotik.
B. Pola pengaliran Radial.
C. Pola pengaliran Dendritik.
D. Pola pengaliran Dendrito-Paralel.
E. Pola pengaliran Dendrito-Rektangular.
Pola pengaliran anastomotik, pola pengaliran ini terbentuk di daerah penelitian yang memiliki keadaan
tofografi landai dengan sifat fisik batuan yang homogen. Pola aliran anastomotik ini merupakan pola aliran
modifikasi. Litologi yang ada pada pola pengaliran ini adalah alluvium. Sungai yang membentuk pola ini adalah
sungai dewasa yang dicirikan oleh endapan-endapan bar serta aluvial yang luas. Bentuk sungai berkelok
(meandering) dan sungai tersebut mengalir sepanjang tahun. Erosi secara lateral yang berlangsung karena
kemiringan lereng yang landai menyebabkan terbentuknya lembah sungai berbentuk U, menandakan erosi
sungai pada stadium dewasa sampai tua. Sungai yang membentuk pola pengaliran anastomotik ini adalah
Sungai Cimanuk. Dari segi stabilitas aliran airnya, Sungai Cimanuk ini termasuk kedalam sungai periodik, yaitu
sungai yang mengalir sepanjang tahun tapi pada musim kemarau debit airnya mengecil. Luas penyebarannya
15% dari keseluruhan luas peta.
Pola pengaliran radial, pola pengaliran sungai ini umumnya terbentuk pada daerah perbukitan baik vulkanik
maupun sedimen dengan bentuk pola pengaliran sungai yang menyebar dari satu pusat. Litologi yang ada pada
pola pengaliran ini adalah batupasir dan breksi vulkanik. Pola pengaliran sungai ini terdapat di sebelah
Timurlaut, Timur dan Tengah daerah penelitian. Sungai-sungai yang membentuk pola pengaliran ini adalah
anak-anak Sungai Cinagari, anak-anak Sungai Cicacaban dan anak-anak Sungai Cialing. Lembah sungai
berbentuk V dan di beberapa tempat berbentuk hampir U. Hal ini menunjukkan bahwa erosi vertikal lebih
besar dari erosi lateralnya. Sistem penyebarannya sentrifugal yaitu arah penyebarannya keluar dari pusat
Ketahanan Air

dengan puncak-puncak bukitnya yang berbentuk kerucut. Luas penyebarannya 15% dari keseluruhan luas
peta.

Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 105


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Di sebelah Barat daerah penelitian ditemukan pola pengaliran sungai yang bercabang-cabang seperti daun.
Pola aliran ini menunjukan bahwa kekerasan batuan yang ada di daerah itu relatif sama. Litologi yang ada pada
pola aliran ini adalah breksi vulkanik. Tidak ditemukan adanya struktur geologi. Penulis mengklasifikasikan pola
aliran ini dengan nama pola pengaliran dendritik. Sungai-sungai yang membentuk pola pengaliran ini yaitu;
Sungai Cijuti, Sungai Cipamoyanan, Sungai Cikuya dan Sungai Cimuja dengan anak-anak sungainya. Morfologi
yang ditempati pola pengaliran ini yaitu perbukitan agak curam dan curam dengan memiliki lembah berbentuk
V di bagian hulunya. Luas penyebarannya 20% dari keseluruhan luas peta.
Pola pengaliran Dendrito-Paralel adalah pola pengaliran sungai yang dominan di daerah penelitian.
Keberadaannya ada di sebelah Barat maupun Timur. Dendrito-Paralel adalah pola pengaliran modifikasi yang
penulis namakan untuk sebuah pola pengaliran yang masih memperlihatkan percabangan yang cukup banyak
(Dendrito) yang umumnya dibentuk oleh anak-anak sungainya dengan induk sungainya yang cenderung
berbentuk sejajar. Litologi yang ada pada pola pengaliran ini adalah batulempung, batupasir dan breksi
vulkanik. Pola pengaliran ini berkembang dari morfologi perbukitan landai sampai curam dengan bentuk
lembah V sampai hampir U. Hal ini menunjukan bahwa erosi vertikal lebih dominan dari erosi lateral, sehingga
sungainya masih dalam tahap muda. Karena adanya paralel dalam pola pengaliran sungai ini, maka
kemungkinan besar dipengaruhi oleh struktur geologi baik perlipatan maupun sesar. Sungai-sungai yang
membentuk pola pengaliran Dendrito-Paralel ini yaitu; Sungai Cihonje dengan anak-anak sungainya, Sungai
Citembang dengan anak-anak sungainya, Sungai Cikuya dengan anak-anak sungainya yang terdapat di sebelah
Barat dan Sungai Cialing dengan anak-anak sungainya, Sungai Cigelong dengan anak-anak sungainya, Sungai
Cibobo dengan anak-anak sungainya, Sungai Cijeruk dengan anak-anak sungainya dan Sungai Cicacaban
dengan anak-anak sungainya yang terdapat di bagian Tengah, lalu di sebelah Timur, Sungai Cinambo dengan
anak-anak sungainya dan Sungai Cinagari dengan anak-anak sungainya. Luas penyebarannya 40% dari
keseluruhan luas peta.
Dendrito-Rektangular juga merupakan pola pengaliran sungai modifikasi yang penulis namakan untuk sebuah
pola pengaliran yang masih memperlihatkan percabangan yang banyak (dibentuk oleh anak-anak sungainya)
dengan induk sungainya yang memperlihatkan arah lengkungan menganan dan sejajar dengan arah perlapisan
batuan. Litologi yang ada pada pola pengaliran ini adalah batulempung dan breksi vulkanik. Pola aliran
Rektangular menunjukan adanya struktur geologi yang berkembang seperti lipatan atau sesar. Pola pengaliran
ini terdapat di sebelah Tenggara daerah penelitian dengan sungai-sungai yang membentuknya yaitu; Sungai
Cialing dengan anak-anak sungainya dan Sungai Cikara dengan anak-anak sungainya. Morfologi yang ditempati
pola pengaliran ini perbukitan agak curam sampai curam dengan bentuk lembah V sampai hampir U. Hal ini
menunjukan bahwa erosi vertikal lebih dominan dari erosi lateral sehingga sungainya masih dalam tahap
muda. Luas penyebarannya 10% dari keseluruhan luas peta.
Elevasi Daerah Wado dan sekitarnya antara 200 mdpl sampai lebih dari 400 mdpl. Morfologinya sendiri terbagi
atas tiga satuan yaitu; Pedataran dengan luas paling besar mencapai 50% dari luas keseluruhan, simbol warna
hijau pada peta geomorfologi dengan kemiringan lereng 0-2%, bentuk lembah U, elevasi 200-225 mdpl,
kerapatan kontur yang sangat renggang, pola aliran yang berkembang dendrite-paralel dan anastomotik.
Perbukitan Agak Curam, simbol warna kuning pada peta geomorfologi dengan kemiringan lereng 14-20%,
bentuk lembah U-V, elevasi 225-400 mdpl, kerapatan kontur agak rapat, luas 20%, pola aliran sungai yang
berkembang dendritik dan dendrite-rektangular. Perbukitan Curam, simbol warna merah pada peta
geomorfologi dengan kemiringan lereng 21-55%, elevasi 225 sampai lebih dari 400 mdpl, kerapatan kontur
rapat, luas 30%, pola aliran sungai yang berkembang radial, dendritik dan dendrite-rektangular.
Rencana elevasi dasar Bendungan Jatigede menurut informasi dari berita di Republika
(www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/11/10/nxl9rh351-debit-waduk-jatigede-baru-terisi-31-juta-
kubik, diakses pada 12 Januari 2015), sekitar 164 mdpl, sedangkan ketinggian airnya sekitar 96 meter
diperkirakan pada elevasi 260 mdpl. Melihat elevasi puncak yang akan tergenang maka tempat-tempat di
sebelah Utara Daerah Wado dan sekitarnya yang elevasinya kurang dari 260 mdpl dipastikan akan tergenang.
Adapun jumlah desa yang akan tergenang sebanyak 28 desa yang terbagi dalam 5 kecamatan yaitu; Jatigede (5
desa), Jatinunggal (2 desa), Wado (4 desa), Darmaraja (13 desa) dan Cisitu (4 desa). Kecamatan Darmaraja
merupakan kecamatan yang paling banyak tergenang air Waduk Jatigede.
Ketahanan Air

II - 106 Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Tabel 1. Daftar Kecamatan dan Desa yang akan tergenang Bendungan Jatigede
No. Kecamatan Nama Desa yg tergenang No. Kecamatan
Nama Desa yg
tergenang
1. Jatigede 1. Jemah 4. Jatinunggal 1. Sirnasari
2. Ciranggem 2. Pawenang
3. Mekarasih 5. Darmaraja 1. Cipaku
4. Sukakersa 2. Pakualam
5. Cijeungjing 3. Karangpakuan
2. Wado 1. Wado 4. Jatibungur
2 Padajaya 5. Sarimekar
3 Cisurat 6. Sukamenak
4 Sukapura 7. Leuwihideung
8. Cibogo
9. Sukaratu
3. Cisitu 1 Pajagan 10. Tarunajaya
2 Cigintung 11. Ranggon
3 Cisitu 12. Neglasari
13. Darmaraja
Data diolah dari sumber:http://finance.detik.com/read/2015/08/31/100524/3005341/4/ini-28-desa-yang-
akan-tergenang-waduk-jatigede, diakses 12 Januari 2015

Kondisi air tanah daerah Wado dan sekitarnya berdasarkan Peta Hidrogeologi Kabupaten Sumedang yang
dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Kementerian ESDM ada lima. Kelima jenis akuifer itu
adalah:
1. Akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas yang menempati hampir 30% daerah penelitian.
Terdapat di sebelah Barat, Utara dan di sekitar Sungai Cimanuk. Menempati litologi batupasir dan
batulempung.
2. Akuifer produktif sedang setempat yang menempati hampir 40% daerah penelitian. Terdapat
menyebar dari Timur, Selatan dan Barat, menempati litologi breksi vulkanik.
3. Akuifer produktif setempat dengan penyebaran hampir 15% daerah penelitian terdapat di sebelat
Utara dan Timur menempati litologi batulempung dan breksi vulkanik.
4. Akuifer produktif kecil setempat berarti dengan penyebaran sekitar 10% daerah penelitian terdapat di
sebelah Tengah dan Timur menempati litologi batupasir.
5. Daerah airtanah langka/tidak berarti dengan penyebaran sekitar 5% dari daerah penelitian
menempati litologi batulempung.
Lokasi-lokasi yang disarankan untuk relokasi penduduk yang terdampak genangan berdasarkan potensi
ketersediaan air dan elevasi puncak genangan air Waduk Jatigede yaitu 260 mdpl, maka lokasi-lokasi tersebut
antara lain di Kecamatan Darmaraja adalah Cieunteung, Kametang, Cibarengkok, Cikoja, Cibuah, Cigembor,
Kapudunan, Cinaglang, Cibudah, Cinangsi, Pakapuran, Nyalindung, Lamunseuri. Kecamatan Wado meliputi
lokasi-lokasi Wado Girang, Cimalela, Panamur, Cijeungang. Kecamatan Jatinunggal meliputi lokasi-lokasi
Tarikolot, Sadakembang, Bojongjati, Culangok. Kecamatan Jatigede meliputi lokasi-lokasi Cikandang, sekitar
Pasir Cigintung, sekitar Pasir Pangkerudan, sekitar Pasir Nagasari.

KESIMPULAN DAN SARAN


Ada 5 pola pengaliran yang berkembang di daerah Wado dan sekitarnya, yaitu; Anastomotik, Dendrito-
Rektangular, Dendrito-Paralel, Dendritik dan Radial. Anastomotik, Dendrito-Paralel dan Dendrito –Rektangular
merupakan pola modifikasi dari pola aliran sungai dimana sungai-sungai utamanya membentuk pola Paralel
(sejajar) dan Rektangular dengan anak-anak sungainya yang menunjukan pola dendritik. Pola pengaliran yang
paling banyak penyebarannya adalah Dendrito-Paralel (40%), Dendritik (20%), Anastomotik (15%), Radial (15%)
Ketahanan Air

dan Dendrito-Rektangular (10%).

Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 107


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Morfologi yang berkembang di Daerah Wado dan sekitarnya didominasi oleh pedataran dengan kemiringan
lereng 0-2% dengan luas 50%. Satuan Morfologi Pedataran mempunyai elevasi antara 200-225 mdpl, dan
kemungkinan besar akan tergenang oleh air Bendungan Jatigede. Satuan Perbukitan Agak Curam mempunyai
kemiringan lereng 14-20% dengan luas 20%. Satuan Morfologi Perbukitan Curam mempunyai elevasi antara
225-400 mdpl. Sebagian kecil dari satuan ini akan tergenang terutama yang elevasinya kurang dari 260 mdpl.
Lokasi-lokasi di satuan ini yang tidak tergenang berada pada elevasi lebih dari 260 mdpl dan merupakan
dataran antar perbukitan sehingga bisa digunakan sebagai tempat relokasi penduduk yang tergenang. Satuan
Morfologi Curam mempunya kemiringan lereng 21-55%, dengan luas 30%. Satuan Morfologi Perbukitan Curam
mempunyai elevasi antara 225 sampai lebih dari 400 mdpl. Elevasi yang sama atau kurang dari 260 mdpl
kemungkinan akan tergenang oleh air Bendungan Jatigede. Lokasi-lokasi lain yang elevasinya lebih dari 260
mdpl dengan kondisi air tanah yang baik (Akuifer Produktif Sedang Setempat, Akuifer Produktif Setempat) bisa
dijadikan sebagai pertimbangan untuk relokasi penduduk.
Ada 5 kondisi airtanah (akuifer) di daerah Wado dan sekitarnya, yaitu; Akuifer Produktif Sedang dengan
penyebaran yang luas, simbol warna biru muda dengan luas 30%, sebagian lokasi satuan akuifer produktif
sedang dengan penyebaran luas ini merupakan daerah bermorfologi pedataran dan kemungkingan besar akan
tergenang air Bendungan Jatigede, sehingga tidak bisa digunakan sebagai tempat relokasi. Akuifer Produktif
Sedang Setempat, simbol ungu tua dengan luas 40%, merupakan tempat-tempat yang umumnya bermorfologi
Perbukitan Agak Curam dan Perbukitan Curam, beberapa lokasi yang berelevasi kurang dari 260 mdpl
kemungkinan akan tergenang air bendungan. Akuifer Produktif Setempat, simbol hijau muda dengan luas
15%, umumnya menempati morfologi pedataran dengan elevasi yang kurang dari 260 mdpl. Tempat-tempat di
satuan Akuifer Produktif Setempat ini kemungkinan besar akan tergenang oleh air bendungan. Akuifer
Produktif Setempat berarti, simbol coklat muda dengan luas 10%, umumnya satuan ini bermorfologi pedataran
dengan elevasi yang kurang atau sama dengan 260 mdpl, kemungkinan besar tempat-tempat di satuan ini
akan tergenang air bendungan. Daerah Airtanah langka/tidak berarti, simbol ungu muda dengan luas 5%,
umumnya menempati morfologi perbukitan agak curam dengan elevasi yang lebih besar dari 260 mdpl. Satuan
Akuifer langka/tidak berarti ini tidak disarankan untuk dijadikan tempat relokasi penduduk walaupun
daerahnya aman dari genangan air bendungan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih untuk rekan-rekan peneliti di UPT. BIKK Karangsambung-LIPI yang telah
memberikan masukan, saran dan kritikan, terutama untuk Bapak Edi Hidayat, ST., MT dan Bapak Defri Hastria,
ST atas bimbingan dan masukan-masukannya sehingga tulisan ini mendekati kesempurnaan. Semoga segala
kebaikannya dibalas pahala oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terimakasih juga penulis sampaikan bagi berbagai
pihak baik langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam kelancaran penulisan ini.
.
Ketahanan Air

II - 108 Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Gambar 5. Pola Pengaliran Sungai di daerah Wado dan sekitarnya menurut klasifikasi Howard, 1967 dalam van
Zuidam (1983)

Ketahanan Air

Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 109


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Gambar 6. Peta Geomorfologi Daerah Wado dan sekitarnya


Ketahanan Air

II - 110 Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

Gambar 7. Peta Kondisi Air Tanah (Air bawah permukaan) Daerah Wado dan sekitarnya

Ketahanan Air

Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 111


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”
ISBN 978- 979-8636-30-1

DAFTAR PUSTAKA
Balai Data dan Informasi SDA, PSDA, Jawa Barat, 2005
Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA, General Geology of Indonesia and Adjecnet
Archipelagoes, The Haque Martineus Nijhoff, Netherland.
Djuri, 1995, Peta Geologi Regional Lembar Arjawinangun Jawa Barat, Skala 1:100.000: Direktorat Geologi,
Bandung.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan (GTL), Peta Kondisi Air Tanah dan Curah Hujan Daerah Sumedang
Google.map. Wado. Sumedang. Jawa Barat, diakses pada 28 Mei 2015.
Howard, A.D. and Remson. 1978. Geology in Environmental Planning. Mc Graw-Hill Inc, San Fransisco.
Http://economy.okezone.com/read/2014/12/02/19/1073776/pln-mulai-bangun-plta-jatigede-2x55-mw-
tahun-depan diakses 28 Mei 2015.
Http://finance.detik.com/read/2015/08/31/100524/3005341/4/ini-28-desa-yang-akan-tergenang-waduk-
jatigede, diakses 12 Januari 2015.
Http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/11/10/nxl9rh351-debit-waduk-jatigede-baru-terisi-31-
juta-kubik, diakses pada 12 Januari 2015.
Martodjojo, S. 1984. Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. Disertasi Doktor Geologi, ITB, Bandung, tidak
dipublikasikan.
Peta topografi seri AMS No. 4622 III, skala 1 : 50.000.
Seyhan, E., 1977. Fundamentals of Hydrology. Geografish Institute der Rijksunivirsitie. Utrech
Suganda, A.H.1988. Pertimbangan Aspek Dasar Dalam Perencanaan Kota. Thesis S-2 Fakultas Pasca Sarjana
ITB. Bandung tidak dipublikasikan.
Ketahanan Air

II - 112 Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015


“Meningkatkan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian Melalui Pemberdayaan Kerjasama Ilmiah”

Anda mungkin juga menyukai