Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEBIDANAN MASA NIFAS

PADA NY C P2A2 DENGAN MASTITIS

DI RSU HAJI SURABAYA

Disusun Oleh :

Fadliana Hidayatu R.U.H (P27824417019)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA


KESEHATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

PRODI DIV KEBIDANAN SUTOMO

TAHUN AJARAN 2019/2020


Lembar Pengesahan

Laporan individu yang disusun oleh Fadliana Hidayatu R.U.H mahasiswa semester VI
prodi DIV Kebidanan Surabaya Poltekkes Kemenkes Surabaya tahun akademik 2019/2020,
disusun berdasarkan kasus semu dikarenakan pandemi corona

Tempat Praktik :

Tanggal Praktik : 16 Maret – 11 Mei 2020

Pembimbing Klinik

Pembimbing Pendidikan

NIP. NIP.

Mengetahui,

Ketua Program Studi D4 Kebidanan

Dwi Purwanti, S.Kp. SST.,M.Kes

NIP.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini merupakan tugas individu
bagi mahasiswa program studi D4 Kebidanan Sutomo Poltekes Kemenkes Surabaya Semester
6 dalam rangka penugasan mata kuliah praktik klinik kebidanan komprehensif selama wabah
corona berlangsung.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada para pembimbing yang telah membimbing


penulis dalam menyelesaikan laporan ini

1. Astuti Setyani, SST.,M.Kes selaku kedua jurusan Kebidanan Poltekes


Kemenkes Surabaya
2. Dwi Purwanti, S.Kp.SST.,M.Kes selaku ketua program studi D4 Kebidanan
Poltekes Kemenkes Surabaya
3. Sherly Jeniawati, SST, M.Kes selaku pembimbing pendidikan
4. Dr. Sri Utami, SKp, M.Kes selaku pembimbing pendidikan

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan bersama

Magetan, 14 April 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mastitis merupakan infeksi pada parenkim payudara yang dapat terjadi pada masa
nifas. Mastitis biasanya terjadi pada salah satu payudara dan dapat terjadi pada minggu
pertama sampai ketiga atau keempat setelah melahirkan. Kejadian mastitis berkisar antara
2-33% pada ibu menyusui. Pada mastitis lebih kurang 10% kasusnya dapat berkembang
menjadi abses dengan gejala yang lebih berat (Prawirohardjo, 2013).
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus infeksi pada
wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrokistik terus meningkat, dimana 12%
kasus diantaranya merupakan infeksi payudara yang disebabkan oleh mastitis pada wanita
post partum. Indonesia sebagai negara berkembang di dunia dengan presentasi kasus
mastitis mencapai 10% pada ibu post partum (WHO, 2005; 2008). Berdasarkan laporan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2008-2009 menunjukkan
bahwa 55% ibu menyusui mengalami mastitis dan puting susu lecet, hal tersebut
kemungkinan disebabkan karena perawatan payudara yang tidak benar. Pengetahuan
tentang perawatan payudara sangat penting untuk diketahui pada masa nifas, ini berguna
untuk menghindari masalah dalam proses menyusui. Masalah dan gangguan pada
payudara pada waktu menyusui akan mengganggu produksi ASI (Depkes RI, 2007).
Pada masa nifas bendungan ASI dapat menjadi awal terjadinya mastitis. Bendungan
ASI disebabkan karena pengosongan payudara yang tidak sempurna, karena teknik
menyusui yang tidak benar, pemakaian bra yang terlalu ketat, dan pengisapan bayi yang
kurang kuat. Mastitis dapat terjadi akibat kuman, dimana kuman penyebab tersering
mastitis yaitu bakteri Staphylococcus aureus (Prawirohardjo, 2013).
Staphylococcus aureus merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri ini biasanya
terdapat di hidung pada 20-50% manusia, dan sering ditemukan pada pakaian dan juga
pada barang lain yang terkontaminasi pada lingkungan manusia. Setiap orang biasanya
akan mengalami beberapa jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus, seperti keracunan makanan atau infeksi kulit minor dan juga bisa sampai pada
infeksi berat yang mengancam jiwa. Infeksi Staphylococcus aureus dapat terjadi akibat
kontaminasi langsung pada luka (Brooks et al, 2010). Mastitis dapat berasal dari puting
susu yang pecah atau terdapat fisura menjadi jalan masuknya bakteri Staphylococcus
aureus. Sumber bakterinya dapat berasal dari tangan ibu atau tangan orang yang merawat
ibu dan bayi, bayi, atau dari sirkulasi darah (Varney et al, 2007).
Penanganan terbaik untuk mastitis adalah dengan pencegahan. Pencegahan yang dapat
dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun, mencegah bendungan ASI dengan
menyusui sejak awal dan sering, teknik menyusui yang benar, dan menghindari kontak
dekat dengan orang yang menderita Staphylococcus (Varney et al, 2007). Perawatan
puting susu pada saat menyusui juga merupakan usaha yang penting untuk mencegah
mastitis. Perawatan yang dapat dilakukan yaitu dengan membersihkan puting susu
sebelum dan setelah menyusui untuk menghilangkan kerak dan susu yang mengering
(Prawirohardjo,2007).
Pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat teknik menyusui yang kurang benar
merupakan penyebab yang penting, tetapi pada kenyataannya saat ini masih banyak
petugas kesehatan yang menganggap bahwa mastitis masih sama dengan infeksi payudara.
Mereka sering tidak mampu membantu pasien mastitis untuk terus menyusui, dan mereka
bahkan mungkin menyarankan pasien tersebut untuk berhenti menyusui, yang sebenarnya
hal tersebut tidak perlu.
Makalah ini disusun untuk menyajikan informasi tentang konsep dasar dan asuhan
kebidanan pada mastitis laktasional, untuk menuntun penatalaksanaan praktik yang tepat
sehingga pasien mastitis masih dapat mempertahankan agar tetap dapat memberikan ASI
kepada bayinya secara eksklusif.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan dan melaksanakan Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas
dengan mastitis menggunakan manajemen kebidanan 7 Langkah Varney dan
manajemen SOAP

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Melakukan pengkajian data pada Ny. C dengan mastitis
2. Menginterpretasikan data yang meliputi diagnosa kebidanan, masalah dan
kebutuhan pada Ny. C dengan mastitis
3. Menentukan diagnosa potensial yang timbul pada Ny. C dengan mastitis
4. Menerapkan tindakan segera pada Ny.C dengan mastitis
5. Menyusun rencana asuhan kebidanan pada Ny. C dengan mastitis
6. Melaksanakan tindakan asuhan kebidanan pada Ny. C dengan mastitis sesuai
pelayanan secara efisien dan aman.
7. Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan yang telah dicapai pada kasus Ny. C dengan
mastitis dan melakukan dokumentasi dengan SOAP

1.3 Pelaksanaan
Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan mastitis ini dilakukan pada
Waktu :
Tempat :
1.4 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan asuhan kegawatdaruratan ini, dengan sistematika sbb :
 Bab I : Pendahuluan
Menguraikan tentang latar belakang, tujuan, pelaksanaan dan sistematika
penulisan
 Bab II : Landasan Teori
Menguraikan tentang konsep teori yang mendukung penelitian berisi
pengertian, ciri-ciri dll serta menjelaskan teori asuhan kebidanan
 Bab III : Tinjauan Kasus
Menguraikan tentang keseluruhan asuhan kebidanan yang telah dilaksanakan.
Asuhan dilakukan sesuai dengan teori dari pengkajian hingga pencatatan
 Bab IV : Kesimpulan
Merupakan sintesa hasil dari bahasan yang dapat menjawab permasalahan
dan tujuan penyusunan studi kasus

DAFTAR PUSTAKA

`
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum Tentang Masa Nifas

2.1.1 Pengertian

a. Masa nifas (puerperium) adalah masa setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa
nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Saleha 2009, 2)
b. Masa nifas adalah masa sesudah kelahiran bayi, plasenta, serta selaput yang
diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum
hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu (Muhaeminah 2003, 2).
c. Periode Pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin
(menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus
reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil (Varney 2007, 958).
d. Masa Nifas (puerperium) adalah masa nifas mulai setelah partus selesai
dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu. Akan tetapi, seluruh alat genital
baru pulih kembali seperti sebelum ada kehamilan dalam waktu 3 bulan
(Wiknjosastro 2006, 237).
d. Masa nifas (puerperium) adalah dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, dan
berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Saifuddin 2006, 122).

2.1.2 Tujuan Asuhan Masa Nifas

Asuhan kebidanan masa nifas adalah penatalaksanaan asuhan yang


diberikan pasien mulai dari saat setelah lahirnya bayi sampai dengan
kembalinya tubuh dalam keadaan seperti sebelum hamil atau mendekati
keadaan sebelum hamil. Adapun tujuan dari pemberian asuhan kebidanan
pada masa nifas adalah sebagai berikut :

a. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologik.


b. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah,
mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi.
c. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan diri, nutrisi, keluarga
berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan
bayi sehat.
d. Memberikan plelayanan keluarga berencana (Saifuddin 2006, 122).

2.1.3 Tahapan Masa Nifas

Tahapan yang terjadi pada masa nifas ada 3 periode :

a. Periode immediate post partum


Yaitu masa segera setelah plasenta lahir sampai 24 jam. Pada masa ini
sering terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena atonia uteri.
b. Periode early post partum (24 jam-1 minggu)
Pada fase ini bidan memastikan involusio uteri dalam keadaan normal,
tidak ada pendarahan, lokhia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c. Periode late post partum (1 minggu-5 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan seharihari
serta konseling KB
2.1.4 Peran Bidan pada Masa Nifas
Peran bidan pada masa nifas adalah sebagai berikut :
a. Memberikan dukungan yang terus menerus selama masa nifas yang baik dan
sesuai dengan kebutuhan ibu agar mengurangi ketegangan fisik dan
psikologis selama perasalinan dan nifas
b. Sebagai promotor hubungan yang erat antara ibu dan bayi secara fisik dan
psikologis.
c. Mengkondisikan ibu untuk menyusui bayinya dengan cara meningkatkan
rasa nyaman.
2.1.5 Perubahan Fisiologis pada Masa Nifas
1. Perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi
a. Involusio atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus
kembali ke kondisi sebelum hamil dengan berat sekitar 60 gram. Proses
ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot polos
uterus.
b. Lochia adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina
dalam masa nifas.
- Lochia Rubra (Cruenta)
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa,
lanugo dan mekonium selama dua hari masa persalinan.
- Lochia Sanguilenta
Berwarna coklat, sedikit darah dan lender. Hari ketiga sampai ketujuh pasca
persalinan.
- Lochia Serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari ketujuh sampai empat
belas pasca persalinan.
- Lochia Alba
Cairan putih setelah 2 minggu pasca persalinan (Muchtar 1998, 116).
c. Uterus
Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira-kira setinggi pusat, segera
setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri ± 2 jari dibawah pusat dan
beratnya kira-kira 200 gram. Pada hari ke 5 post partum uterus kurang
lebih setinggi 7 cm diatas simfisis dan beratnya ± 500 gram dan setalah
12 hari uterus tidak dapat diraba lagi di atas simfisis dan beratnya
menjadi 300 gram, setelah 6 minggu post partum, berat uterus menjadi 40 – 60
gram (Wiknjosastro 2006, 238).

d. Serviks
Setelah persalinan bentuk serviks agak menganga seperti corong
berwarna merah kehitaman. Setelah bayi lahir, tangan masih bisa
masuk ke rongga rahim, setelah 2 jam dapat dilalui 1 jari (Mochtar
1998, 116).
e. Vulva dan vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat
besar selama proses persalinan dan akan kembali secara bertahap dalam
6 – 8 minggu post partum. Penurunan hormon estrogen pada masa post
partum berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae.
Rugae akan terlihat kembali sekitar minggu ke – 4. (Wulandari 2009, 80)
f. Endometrium
Perubahan pada endometrium adalah timbulnya thrombosis, degenerasi,
dan nekrosis di tempat implantasi plasenta. Pada hari pertama tebal
endometrium 2,5 mm, mempunyai permukaan yang kasar akibat
pelepasan desidua, dan selaput janin setelah tiga hari mulai rata,
sehingga tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas implantasi
plasenta (Saleha 2009, 56).
g. Rasa sakit (after pains)
Hal ini disebabkan kontraksi rahim, biasanya berlangsung 2 – 4 hari
pasca persalinan. Perlu diberikan pengertian pada ibu mengenai hal. ini
dan bila terlalu mengganggu dapat diberikan obat – obat anti sakit dan anti mules
(Mochtar 1998, 116).
2. Perubahan yang terjadi pada Payudara
Pada semua wanita yang telah melahirkan proses laktasi terjadi secara
alami. Proses menyusui mempunyai dua mekanisme fisiologis, yaitu
sebagai berikut :
Selama Sembilan bulan kehamilan, jaringan payudara tumbuh dan
menyiapkan fungsinya untuk menyediakan makanan bagi bayi baru lahir.
Setelah melahirkan ketika hormon yang dihasilkan plasenta tidak ada lagi untuk
menghambatnya kelenjar pituitary akan mengeluarkan prolaktin (hormone
laktogenik). Sampai hari ketiga setelah melahirkan, efek prolaktin pada payudara
mulai bisa dirasakan. Pembuluh darah payudara menjadi bengkak terisi darah
sehingga timbul rasa hangat, bengakak dan rasa sakit. Sel-sel acini yang
menghasilkan ASI juga mulai berfungsi. Ketika bayi mengisap puting, reflex saraf
merangsang lobus posterior pituitary untuk menyekresi hormone oksitosin. Oksitosin
merangsang reflex let down (mengalirkan), sehingga menyebabkan ejeksi ASI
melalui sinus laktiferus payudara ke duktus yang terdapat pada putting. Ketika
ASI dialirkan karena isapan bayi atau dengan pompa sel-sel acini terangsang untuk
menghasilkan ASI lebih banyak. Reflex ini dapat berlanjut sampai waktu yang cukup
lama (Saleha 2009 58).
3. Perubahan tanda-tanda vital
a. Tekanan darah
Segera setelah melahirkan, banyak wanita mengalami peningkatan
sementara tekanan darah sistolik dan diastolic yang kembali secara
spontan ke tekanan darah sebelum hamil selama beberapa hari. Bidan
bertanggung jawab dalam mengkaji resiko preeklamsia pascapartum, komplikasi
yang relative jarang tetapi serius, jika peningkatan tekanan darah signifikan.
b. Suhu
Suhu maternal kembali normal dari suhu yang sedikit meningkat selama periode
intrapartum dan stabil dalam 24 jam pertama pascapartum.
c. Nadi
Denyut nadi yang meningkat selama persalinan akhir, kembali normal
setelah beberapa jam pertama pascapartum. Hemoragi, demam selama
persalinan dan nyeri akut atau persisten dapat mempengaruhi proses ini.
Apabila denyut nadi di 100 selama puerperium, hal. tersebut abnormal
dan mungkin menunjukkan adanya infeksi atau hemoragi pascapartum
lambat.
d. Pernapasan
Fungsi pernapasan kembali pada rentang normal wanita selama jam pertama
pascapartum. Nafas pendek, cepat atau perubahan lain memerlukan evaluasi
adanya kondisi-kondisi seperti kelebihan cairan, eksaserbasi asma dan embolus
paru (Varney 2007, 961).
4. Perubahan pada Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami obtipasi setelah melahirkan anak. Hal ini disebabkan karena
pada waktu melahirkan alat pencernaan mendapat tekanan yang menyebabkan kolon
menjadi kosong, pengeluaran yang berlebihan pada waktu persalinan (dehidrasi),
kurang makan, haemorroid, laserasi jalan lahir. Supaya buang air besar kembali
teratur dapat diberikan diit atau makanan yang mengandung serat dan pemberian
cairan yang cukup. Bila usaha ini tidak berhasil dalam waktu 2 atau 3 hari dapat
ditolong dengan pemberian huknah atau gliserin spuit atau diberikan obat laksan
yang lain. (Wulandari dkk. 2009, 80).
5. Perubahan pada Sistem Perkemihan
Hendaknya buang air kecil dapat dilakukan sendiri secepatnya. Kadang-kadang
puerperium mengalami sulit buang air kecil, karena sfingter uretra ditekan oleh
kepala janin dan spasme oleh iritasi muskulus sfingter ani selama persalinan, juga
oleh karena adanya edema kandung kemih yang terjadi selama persalinan. Kadang-
kadan oedema dari trigonium menimbulkan obtruksi dari uretra sehingga sering
terjadi retensio urin. Kandung kemih dalam puerperium sangat kurang sensitife dan
kapasitasnya bertambah, sehinga kandung kemih penuh atau sesudah buang
air kecil masih tertinggal urin residu (normal ± 15 cc). Sisa urin dan trauma
pada kandung kencing pada waktu persalinan memudahkan terjadinya infeksi
(Wulandari dkk. 2009, 81).
6. Perubahan pada Sistem Musculoskeletal
Ligament, fasia dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu persalinan. Setelah
bayi lahir, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tidak
jarang uterus jatuh kebelakang dan menjadi rettrofleksi, karena ligament rotundum
menjadi kendor. Stabilisasi secara sempurna terjadi pada 6 – 8 minggu setelah
persalinan. Sebagai akibat putusnya serat-serat elastic kulit dan distensi yang
berlangsung lama akibat besarnya uterus pada saat hamil, dinding abdomen masih
lunak dan kendur untuk sementara waktu. Pemulihan dibantu dengan latihan (Saleha
2009, 59).
7. Perubahan pada Sistem Endokrin
a. Oksitosin
Oksitosin dikeluarkan dari kelenjar otak bagian belakang (posterior), bekerja
terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Selama tahap persalinan, oksitosin
menyebabkan pemisahan plasenta. Kemudian seterusnya bertindak atas otot yang
menahan kontraksi, mengurangi tempat plasenta dan mencegah pendarahan. Pada
wanita yang memilih menyusui bayinya, isapan sang bayi merangsang keluarnya
oksitosin lagi dan ini membantu uterus kembali kebentuk normal dan membantu
pengeluaran ASI (Wulandari 2009, 83).
b. Prolaktin
Menurunnya kadar estrogen menimbulkan terangsangnya kelenjar pituitari bagian
belakang untuk mengeluarkan prolaktin, hormon ini berperan dalam pembesaran
payudara untuk merangsang produksi ASI. Pada wanita yang menyusui bayinya,
kadar prolaktin tetap tinggi dan pada permulaan ada rangsangan folikel dalam
ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui bayinya, tingkat
sirkulasi prolaktin menurun dalam 14 – 21 hari setelah persalinan, sehingga
merangsang kelenjar bawah depan otak yang mengontrol ovarium ke arah
permulaan pola produksi estrogen dan progesteron yang normal, pertumbuhan
folikel, ovulasi dan menstruasi (Saleha 2009, 60).
c. Estrogen dan progesterone
Untuk wanita yang menyusui dan tidak menyusui akan memparuhi lamanya ia
mendapatkan menstruasi. Seringkali menstruasi pertama itu bersifat anovulasi
yang dikarenakan rendahnya kadar estrogen dan progesterone. Diantara wanita
laktasi sekitar 15% mempengaruhimenstruasi selama 6 minggu dan 45% setelah
12 minggu. Diantara wanita yang tidak laktasi 40% menstruasi setelah 6 minggu,
65% setelah 12 minggu dan 90% setelah 24 minggu. Untuk wanita laktasi 80%
menstruasi pertama anovulasi dan untuk wanita yang tidak laktasi 50% siklus
pertama anovulasi. (Wulandari dkk. 2009, 83).
8. Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler
Pada persalinan pervaginam kehilangan darah sekitar 300 – 400 cc. Bila kelahiran
melalui sectio caesaria kehilangan darah dapat dua kali lipat. Perubahan terdiri dari
volume darah dan haemokonsentrasi. Apabila pada persalinan pervaginam
haemokonsentrasi akan naik dan pada sectio caesaria haemokonsentrasi cenderung
stabil dan kembali normal setelah 4 –6 minggu. Setelah melahirkan shunt akan hilang
dengan tiba-tiba. Volume darah ibu relatife akan bertambah. Keadaan ini akan
menimbulkan beban pada jantung dan dapat menimbulkan dekompensasi kordis pada
penderita vitium cordial. Untuk keadaan ini dapat diatasi dengan mekanisme
kompensasi dengan timbulnya haemokonsentrasi sehingga volume darah kembali
seperti sediakala. Umumnya hal. ini terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima post
partum (Wulandari dkk. 2009, 85 – 86).
9. Perubahan hematologi
Selama minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta
faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama post partum, kadar
fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan
peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.
Leukositosis yang meningkat dimana jumlah sel darah putih dapat meningkat
mencapi 15000 selama persalinan akan tetap tinggi dalam beberapa hari pertama dari
masa post partum. Jumlah sel darah putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25000
atau 30000 tanpa adanya kondisi patologis jika wanita tersebut mengalami
persalinan lama. Jumlah hemoglobin, hematokrit dan eritrosit akan sangat bervariasi
pada awal-awal masa post partum sebagai akibat dari volume darah, volume plasenta,
dan tingkat volume darah yang berubah-ubah. Semua tingkatan ini akan dipengaruhi
oleh status gizi dan hidrasi wanita tersebut. Kira-kira selama kelahiran dan masa post
partum terjadi kehilangan darah sekitar 200 – 500 ml. Penurunan volume dan
peningkatan sel darah pada kehamilan diisolasikan dengan peningkatan hematoktrit
dan hemoglobin pada hari ke 3 – 7 post partum dan akan kembali normal dalam
4 – 5 minggu post partum (Wulandari dkk. 2009, 86).
2.1.6 Perubahan Psikologis pada Masa Nifas
Secara psikologis, setelah melahirkan seorang ibu akan merasakan gejala-gejala
psikiatrik demikian juga pada masa menyusui. Meskipun demikian, adapula ibu yang
tidak mengalami hal ini. Agar perubahan psikologi yang dialami tidak berlebihan, ibu
perlu mengetahui tentang hal yang lebih lanjut. Wanita banyak mengalami perubahan
emosi selama masa nifas sementara ia menyesuaikan diri menjadi seorang ibu. Penting
sekali sebagai seorang bidan untuk mengetahui tentang penyesuaian psikologis yang
normal sehingga ia dapat menilai apakah seorang ibu memerlukan asuhan
khusus pada masa nifas ini, suatu variasi atau penyimpangan dari penyesuaian yang
normal yang umum terjadi (Wulandari dkk. 2009, 87). Hal-hal yang membantu ibu
dalam beradaptasi pada masa nifas adalah sebagai berikut :
a. Fungsi yang mempengaruhi untuk sukses dan lancarnya masa transisi menjadi
orangtua.
b. Respon dan dukungan dari keluarga dan teman dekat.
c. Riwayat pengalaman hamil dan melahirkan sebelumnya.
d. Harapan, keinginan, dan aspirasi ibu saat hamil juga melahirkan. Periode ini
diekspresikan oleh Reva Rubin yang terjadi pada tiga tahap berikut :
1. Talking In Period
Terjadi 1 – 2 hari setelah persalinan, biasanya masih pasif dan sangat bergantung
pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih mengingat
pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, serta kebutuhan tidur dan
nafsu makan meningkat.
2. Talking Hold Period
Berlangsung 3 – 4 hari post partum, ibu lebih berkonsentrasi pada
kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap
perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitife, sehingga
membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan
yang dialami ibu.
3. Letting Go Period
Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu mulai secara penuh
menerima tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau
merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya (Saleha 2009, 63-
64).
2.1.7 Perawatan dan Pengawasan Masa Nifas
A. Perawatan masa nifas
1. Ambulasi dini
Ambulasi dini adalah kebijaksanaan agar secepat mungkin bidan membimbing
ibu post partum bangun dari tempat tidurnya dan membimbing ibu secepat
mungkin untuk berjalan. Keuntungan early ambulation adalah :
- Ibu merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation.
- Faal dan kandung kemih lebih baik.
- Early ambulation memungkinkan kita mengajarkan ibu cara merawat
anaknya selama ibu masih di rumah sakit. Misalnya memandikan, mengganti
pakaian, dan memberi makan.
- Lebih sesuai dengan keadaan Indonesia (sosial early ambulation ekonomis),
menurut penelitian-penelitian yang seksama, tidak mempunyai pengaruh yang
buruk, tidak menyebabkan pendarahan yang abnormal, tidak mempengaruhi
penyembuhan luka episotomy atau luka di perut, serta tidak memperbesar
kemungkinan prolapsus. Early ambulation tentunya tidak dibenarkan pada
ibu post partum dengan penyulit, misalnya anemia, penyakit jantung,
penyakit paru-paru, demam, dan sebagainya. Penambahan kegiatan dengan
early ambulation harus berangsur-angsur, jadi bukan maksudnya ibu segera
bangun dibenarkan mencuci, memasak dan sebagainya.
2. Nutrisi dan cairan
Pada masa nifas masalah diit perlu mendapat perhatian yang serius, karena
dengan nutrisi yang baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan sangat
mempengaruhi susunan air susu. Diet yang diberikan harus bermutu, begizi
tinggi, cukup kalori, tinggi protein dan banyak mengandung cairan.
Ibu yang menyusui harus memenuhi kebutuhan agar gizi sebagai berikut:
a. Mengkomsumsi tambahan 500 kalori tiap hari menjadi ± 2700 –
3000 kalori.
b. Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral,
dan vitamin yang cukup.
c. Minum sedikitnya 3 liter air tiap hari.
d. Pil zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi, setidaknya
selama 40 hari pasca persalinan.
e. Minum kapsul vitamin A 200.000 unit agar dapat memberikan
vitamin A kepada bayi melalui ASI.
3. Personal hygiene
Pada masa nifas, seorang ibu sangat rentan terhadap penyakit infeksi. Oleh
karena itu kebersihan diri sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi.
Kebersihan tubuh, pakaian, tempat tidur dan lingkungan sangat penting untuk
menjaga kebersihan dari ibu nifas adalah :
- Anjurkan kebersihan seluruh tubuh, terutama Perineum.
- Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan sabun
dan air. Pastikan bahwa ibu mengerti untuk membersihkan daerah disekitar
vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, kemudian membersihkan
daerah sekitar anus. Anjurkan ibu untuk membersihkan vulva setiap kali
setelah BAB atau BAK.
- Sarankan ibu untuk menggati pembalut atau kain pembalut setidaknya 2 kali
sehari. Kain dapat digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik dan
dikeringkan di bawah matahari dan disetrika.
- Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum
dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
- Jika ibu mempunyai luka episiotomy atau laserasi, sarankan kepada
ibu untuk menghindari menyentuh daerah tersebut.
4. Istirahat dan tidur
Hal yang bisa dilakukan pada ibu untuk memenuhi kebutuhan istirahat
dan tidur adalah :
1. Anjurkan ibu agar istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang
berlebihan.
2. Saran ibu untuk kembali pada kegiatan-kegiatan rumah tangga
secara perlahan-lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi bayi
tidur.
3. Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal.
*Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi.
*Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak
pendarahan
*Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi
dan dirinya sendiri.
5. Aktivitas seksual
Aktivitas seksual yang dapat dilakukan oleh ibu masa nifas harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
- Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah
merah berhenti dan ibu dapat memasukkan satu dua jari ke dalam
vagina tanpa rasa nyeri, maka ibu aman untyuk memulai melakukan
hubungan suami istri kapanpun ibu siap.
- Banyak budaya yang mempunyai tradisi menunda hubungan suami istri
sampai waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu setelah
persalinan. Keputusan ini bergantung pada pasangan yang bersangkutan.
6. Eliminasi
A. BAK
Ibu diminta untuk buang air kecil (BAK) 6 jam post partum, jika dalam 8 jam
post partum belum dapat berkemih atau sekali berkemih belum melebihi 100 cc,
maka dilakukan kateterasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih penuh,
tidak perlu 8 jam untuk kateterisasi.
B. BAB
Ibu post partum diharapkan dapat buang air besar (BAB) setelah hari kedua post
partum. Jika hari ketiga belum juga BAB, maka perlu diberi obat pencahar per
oral atau per rectal. Jika setelah pemberian obat pencahar masih belum bisa
BAB, maka dilakukan klisma (huknah) (Saleha 2009, 71 – 75).
7. Perawatan payudara
Menjaga payudara tetap bersih dan kering serta menggunakan BH yang
menyokong payudara, jika puting susu lecet oleskan colostrum atau
ASI yang keluar pada sekitar puting susu setiap kali selesai menyusui
dan tetap menyusukan pada putting susu yang lecet, apabila lecet sangat berat
istirahatkan selama 24 jam dan untuk menghindari nyeri dapat minum
parasetamol 1 kaplet setiap 4 – 6 jam (Saifuddin 2006,128).
8. Latihan
Diskusikan pentingnya mengembalikan otot-otot perut dan panggul kembali
normal. Ibu akan merasa lebih kuat dan ini menyebabkan otot perutnya menjadi
kuat. Jelaskan bahwa latihan tertentu beberapa menit setiap hari sangat
membantu seperti:
- Dengan tidur telentang dengan lengan di samping, menarik otot
perut selagi menarik nafas, tahan nafas kedalam dan angkat dagu ke
dada : tahan satu hitungan sampai 5. Rileks dan ulangi 10 kali.
- Untuk memperkuat tonus otot vagina (latihan kegel) (Saifuddin
2006, 127).
B. Pengawasan masa nifas
Pengawasan masa nifas dilakukan untuk menilai keadaan ibu dan bayinya untuk
mencegah, mendeteksi dan menangani masalah. Hal-hal yang perlu dipantau pada
masa nifas adalah:
1. Kunjungan I (6 – 8 jam setelah persalinan)
- Mencegah pendarahan masa nifas karena atonia uteri
- Mendeteksi dan merawat penyebab lain pendarahan: rujuk bila pendarahan
berlanjut.
- Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana
mencegah pendarahan masa nifas karena atonia uteri.
- Pemberian ASI awal.
- Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir.
- Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia.
2. Kunjungan ke – 2 (6 hari setelah persalinan)
- Memastikan involusia uteri berjalan normal : uterus berkonsentrasi, fundus di
bawah umbilicus, tidak ada pendarahan abnormal, tidak ada bau.
- Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau pendarahan abnormal.
- Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan istirahat.
- Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan
tanda-tanda penyulit.
- Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali
pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari
3. Kunjungan ke – 3 (2 minggu setelah persalinan) Seperti pada kunjungan ke – 2 (6
hari setelah persalinan).
4. Kunjungan ke – 4 ( 6 mingu setelah persalinan)
- Menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ibu atau bayi alami.
- Memberikan konseling keluarga berencana secara dini, imunisasi, dan tanda-
tanda bahaya yang dialami oleh ibu dan bayi (Saifuddin 2006, 123)
2.2 Tinjauan Tentang Mastitis

2.2.1 Pengertian

Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara. Biasanya
terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri biasanya masuk melalui
puting susu yang pecah-pecah atau terluka.Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, dapat
terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis adalah reaksi
sistematik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan sebagai komplikasi
sumbatan saluran air susu (Masjoer, 2001).

Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai
infeksi.Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau
mastitis puerperalis.Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal bila tidak diberikan
tindakan yang adekuat. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di dalam payudara,
merupakan komplikasi berat dari mastitis. Keadaan inilah yang menyebabkan beban penyakit
bertambah berat (Sally I, Severin V.X, 2003 dalam Anonim, 2013).

Sumber lain menyebutkan bahwa mastitis adalah infeksi dan peradangan pada payudara
yang terjadi melalui luka pada puting, dapat berasal dari peredaran darah. Tanda–tanda
mastitis yang dirasakan ibu adalah rasa panas dingin disertai kenaikan suhu, ibu merasa lesu,
tidak nafsu makan, payudara membesar, nyeri perabaan, mengkilat dan kemerahan pada
payudara, dan terjadi pada 3–4 minggu masa nifas. Hal ini dapat diatasi dengan
membersihkan puting sebelum dan sesudah menyusui; menyusui pada payudara yang tidak
sakit; kompres dingin sebelum menyusui;menggunakan BH untuk menyokong payudara,
berikan antibiotik dan analgetik, istirahat yang cukup dan banyak minum (USU, tanpa tahun).

Mastitis adalah infeksi yang disebabkan karena adanya sumbatan pada duktus hingga
puting susu mengalami sumbatan. Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga
pasca kelahiran.Penyebab penting dari mastitis ini adalah pengeluaran ASI yang tidak efisien
akibat teknik menyusui yang buruk.Untuk menghambat terjadinya mastitis ini dianjurkan
untuk menggunakan bra atau pakaian dalam yang memiliki penyangga yang baik pada
payudaranya (Sally I, 2003 dalam Anonim, 2013).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat di tarik suatu kesimpulan mastitis
adalah suatu infeksi atau peradangan pada jaringan payudara yang diakibatkan karena adanya
bakteri (staphylococcus aureus) yang masuk melalui puting susu yang pecah-pecah atau
terluka.
Mastitis diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: mastitis puerparalis epidemic, mastitis
aninfeksosa, mastitis subklinis dan mastitis infeksiosa. Dimana keempat jenis tersebut muncul
dalam kondisi yang berbeda-beda. Diantaranya adalah sebagai berikut (Bertha, 2002 dalam
Djamudin, 2009):
1. Mastitis Puerparalis Epidemik
Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi dan ibunya
terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau verulen. Masalah ini paling sering terjadi
di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau bekesinambungan strain resisten.
2. Mastitis Noninfesiosa
Mastitis moninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau seluruh
payudara, produksi ASI melambat dan aliran terhenti. Namun proses ini membutuhkan
waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2–3 minggu. Untuk sementara waktu,
akumulasi ASI dapat menyebabkan respons peradangan.
3. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat disertai dengan
pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat berkurang yaitu kira-
kira hanya sampai di bawah 400 ml/hari (<400 ml/hari).
4. Mastitis Infeksiosa
Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh faktor imun
dalam ASI dan oleh respon–respon inflamasi. Secara normal, ASI segar bukan merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

2.2.2 Faktor Resiko


Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko mastitis (Prasetyo, 2010),
yaitu:
a. Umur
Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada wanita di bawah
usia 21 tahun atau di atas 35 tahun.
b. Serangan sebelumnya
Serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini merupakan akibat teknik menyusui
yang buruk yang tidak diperbaiki.
c. Melahirkan
Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis, walupun penggunaan oksitosin
tidak meningkatkan resiko.
d. Gizi
Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi terjadinya
mastitis. Wanita yang mengalami anemia akan beresiko mengalami mastitis karena
kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan tubuh mengalami
infeksi (mastitis). Antioksidan dari vitamin E, vitamin A dan selenium dapat mengurangi
resiko mastitis.
e. Faktor kekebalan dalam ASI
Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme pertahanan dalam payudara.
f. Pekerjaan di luar rumah
Interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan waktu dalam pengeluaran ASI yang
adekuat sehingga akan memicu terjadinya statis ASI.
g. Trauma
Trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat merusak jaringan kelenjar dan
saluran susu dan haltersebut dapat menyebabkan mastitis.

2.2.3 Etiologi
Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan pada kulit
yang normal yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri ini seringkali berasal dari mulut bayi yang
masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di kulit pada puting
susu.Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering terjadi dalam
waktu 1-3 bulan setelah melahirkan.Sekitar 1-3% wanita menyusui mengalami mastitis pada
beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
Soetjiningsih (1997) menyebutkan bahwa peradangan pada payudara (Mastitis) di
sebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya tejadi mastitis.
b. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi payudara bengkak.
c. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement sehingga
jika tidak disusu secara adekuat bisa erjadi mastitis.
d. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan mempermudah terkena infeksi.

Pada wanita pasca menopause, infeksi payudara berhubungan dengan peradangan menahun
dari saluran air susu yang terletak di bawah puting susu.
Perubahan hormonal di dalam tubuh wanita menyebabkan penyumbatan saluran air susu oleh
sel-sel kulit yang mati. Saluran yang tersumbat ini menyebabkan payudara lebih mudah
mengalami infeksi.Dua penyebab utama mastitis adalah stasis ASI dan infeksi.Stasis ASI
biasanya merupakan penyebab primer yang dapat disertai atau berkembang menuju
infeksi.Guther pada tahun 1958 menyimpulkan dari pengamatan klinis bahwa mastitis
diakibatkan oleh stagnasi ASI di dalam payudara, dan bahwa pengeluaran ASI yang efisien
dapat mencegah keadaan tersebut.Ia menyatakan bahwa bila terjadi infeksi, bukan primer,
tetapi diakibatkan oleh stagnasi sebagai media pertumbuhan bakteri.
Thomsen,dkk pada tahun 1984 menghasilkan bukti tambahan tentang pentingnya
stasis ASI. Mereka menghitung leukosit dan bakteri dalam ASI dari payudara dengan tanda
klinis mastitis dan mengajukan klasifikasi berikut, yaitu:
a. Stasis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal ini terjadi
jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap saat jika bayi tidak
mengisap ASI, kenyutan bayi yang buruk pada payudara, pengisapan yang tidak efektif,
pembatasan frekuensi/durasi menyusui, sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang
sangat berlebihan dan menyusui untuk kembar dua/lebih. Statis ASI dapat membaik hanya
dengan terus menyusui, tentunya dengan teknik yang benar.
b. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis noninfeksiosa)
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut: Adanya bercak
panas/nyeri tekan yang akut, bercak kecil keras yang nyeri tekan, dan tidak terjadi demam
dan ibu masih merasa baik-baik saja.Mastitis non infeksiosa membutuhkan tindakan
pemerasan ASI setelah menyusui.
c. Mastitis infeksiosa
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut: lemah, nyeri kepala
seperti gejala flu, demam suhu > 38,5 derajat celcius, ada luka pada puting  payudara, kulit
payudara tampak menjadi kemerahan atau mengkilat, terasa keras dan tegang, payudara
membengkak, mengeras, dan teraba hangat, dan terjadi peningkatan kadar natrium
sehingga bayi tidak mau menyusu karena ASI yang terasa asin. Mastitis infeksiosa hanya
dapat diobati dengan pemerasan ASI dan antibiotik sistemik. Tanpa pengeluaran ASI yang
efektif, mastitis non infeksiosa sering berkembang menjadi mastitis infeksiosa, dan mastitis
infeksiosa menjadi pembentukan abses.

2.2.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala dari mastitis ini biasanya berupa:
a. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras dan kadang terasa
nyeri.
b. Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting teregang menjadi rata.
c. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk
menghisap ASI sampai pembengkakan berkurang.
d. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala demam, rasa
dingin dan tubuh terasa pegal dan sakit.
e. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan
payudara yang terkena.
Gejala yang muncul juga hampir sama dengan payudara yang membengkak karena
sumbatan saluran ASI antara lain :
a. Payudara terasa nyeri
b. Teraba keras
c. Tampak kemerahan
d. Permukaan kulit dari payudara yang terkena infeksi juga tampak seperti pecah–pecah, dan
badan terasa demam seperti hendak flu, bila terkena sumbatan tanpa infeksi, biasanya di
badan tidak terasa nyeri dan tidak demam. Pada payudara juga tidak teraba bagian keras
dan nyeri serta merah.
Namun terkadang dua hal tersebut sulit untuk dibedakan, gampangnya bila didapat
sumbatan pada saluran ASI, namun tidak terasa nyeri pada payudara, dan permukaan kulit
tidak pecah – pecah maka hal itu bukan mastitis. Bila terasa sakit pada payudara namun tidak
disertai adanya bagian payudara yang mengeras, maka hal tersebut bukan mastitis (Pitaloka,
2001 dalam Anonim, 2013).

2.2.5 Patofisiologi
Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat terjadi karena proses
infeksi ataupun noninfeksi. Namun semuanya bermuara pada proses infeksi. Mastitis akibat
proses noninfeksi berawal dari proses laktasi yang normal. Namun karena sebab-sebab
tertentu maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan pengeluaran ASI atau yang biasa
disebut sebagai stasis ASI. Hal ini membuat ASI terperangkap di dalam ductus dan tidak
dapat keluar dengan lancar. Akibatnya mammae menjadi tegang. Sehingga sel epitel yang
memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan permeabilitas jaringan ikat meningkat, beberapa
komponen (terutama protein dan kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam
ASI dan jaringan sekitar sel memicu respon imun. Terjadi inflmasi hingga sehingga
mempermudah terjadinya infeksi. Kondisi ini membuat lubang duktus laktiferus menjadi port
de entry bakteri, terutama bakteri Staphylococcus aureus dan Strepcococcus sp.
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis yang terjadi akibat
proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat timbul fisura/robekan/perlukaan pada puting
yang terbentuk saat awal laktasi akan menjadikan port de entry/tempat masuknya bakteri.
Proses selanjutnya adalah infeksi pada jaringan mammae.
2.2.6 Komplikasi dan Prognosis
A. Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
a. Abses payudara
Abses payudaramerupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba
keras, merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus
memikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian
mastitis berlanjut menjadi abses.Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk
mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan
dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi,
bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial/berlanjut. Pada abses
yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini
dilakukan, ibu harus mendapatkan terapi medikasi antibiotik. ASI dari sekitar
tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan
jenis kumannya.
b. Mastitis berulang/kronis
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak
adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, mengonsumsi
makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis
berulang karena infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik dosis rendah
(eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.
c. Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti
candida albicans.Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi
antibiotik.Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa
terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui
permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Pada
kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan pengobatan. Pengobatan terbaik
adalah mengoles nistatin krim yang juga mengandung kortison ke puting dan
areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada
saat yang sama.
B. Prognosis
Prognosis baik setelah dilakukan tindakan kepeerawatan dengan segera. Dan
keadaan akan menjadi fatal bila tidak segera diberikana atau dilakukan tindakan yang
adekuat.

2.2.7 Penatalaksanaan
Setelah diagnosa mastitis dipastikan, hal yang harus segera dilakukan adalah pemberian
susu kepada bayi dari mamae yang sakit dihentikan dan diberi antibiotik. Dengan tindakan ini
terjadinya abses seringkali dapat dicegah, karena biasanya infeksi disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Penicilin dalam dosis cukup tinggi dapat diberikan sebagai terapi
antibiotik.Sebelum pemberian penicilin dapat diadakan pembiakan/kultur air susu, supaya
penyebab mastitis benar-benar diketahui. Apabilaada abses maka nanah
dikeluarkan,kemudian dipasang pipa ke tengah abses agar nanah dapat keluar terus. Untuk
mencegah kerusakan pada duktus laktiferus, sayatan dibuat sejajar dengan jalannya duktus-
duktus tersebut.

Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah:


1. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyakwanita merasa sakit dan
membuat frustasi.Selain dalam penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri,
wanita membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali tentang
nilai menyusui, yang aman untuk diteruskan, bahwa ASI dari payudara yang terkena
tidak akan membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan pulih, baik bentuk
maupun fungsinya. Klien membutuhkan bimbingan yang jelas tentang semua
tindakan yang dibutuhkan untuk penanganan, dan bagaimana meneruskan
menyusui/memeras ASI dari payudara yang sakit. Klien akan membutuhkan tindak
lanjut untuk mendapat dukungan terus menerus dan bimbingan sampai kondisinya
benar-benar pulih.
2. Pengeluaran ASI dengan efektif
Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain:
a. Bantu ibu memperbaiki kenyutan bayi pada payudaranya
b. Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa
pembatasan
c. Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai menyusui dapat
dimulai lagi
3. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik diindikasikan pada:
a. Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta menunjukkan infeksi
b. Gejala berat sejak awal
c. Terlihat puting pecah-pecah
d. Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI diperbaiki
maka Laktamase harus ditambahkan agar efektif terhadap Staphylococcus
aureus. Untuk organisme gram negatif, sefaleksin/amoksisillin mungkin paling
tepat. Jika mungkin, ASI dari payudara yang sakit sebaiknya dikultur dan
sensivitas bakteri antibiotik ditentukan.

Antibiotik Dosis
Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam
Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin (sic) 250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam

e. Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain:


1. Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap 6 jam
selama 10 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10
hari.
2. Bantulah ibu agar tetap menyusui
3. Bebat/sangga payudara
4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak dan
nyeriyaitu dengan memberikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam
dan lakukan evaluasi secara rutin.

Pengobatan yang tepat dengan pemberian antibiotik, mintalah pada dokter antibiotik yang
baik dan aman untuk ibu yang menyusui, selain itu bila badan terasa panas, ibu dapat minum
obat turun panas, kemudian untuk bagian payudara yang terasa keras dan nyeri, dapat
dikompres dengan menggunakan air hangat untuk mengurangi rasa nyeri.
Bila tidak tahan nyeri, dapat meminum obat penghilang rasa sakit, istirahat yang cukup
amat perlu untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi sehat kembali. Disamping itu, makan
dan minum yang bergizi, minum banyak air putih juga akan membantu menurunkan demam,
biasanya rasa demam dan nyeri itu akan hilang dalam dua atau tiga hari dan ibu akan mampu
beraktivitas seperti semula

4. Terapi simtomatik
Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen dipertimbangkan sebagai obat
yang paling efektif dan dapat membantu mengurangi inflamasi dan nyeri. Parasetamol
merupakan alternatif yang paling tepat. Istirahat sangat penting, karena tirah baring
dengan bayinya dapat meningkatkan frekuensi menyusui, sehingga dapat memperbaiki
pengeluaran susu. Tindakan lain yang dianjurkan adalah penggunaan kompres hangat
pada payudara yang akan menghilangkan nyeri dan membantu aliran ASI, dan
yakinkan bahwa ibu cukup minum cairan. Dilakukan pengompresan hangat pada
payudara selama 15-20 menit, 4 kali/hari. Diberikan antibiotik dan untuk mencegah
pembengkakan, sebaiknya dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada
payudara yang terkena.
a. Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan)
 Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila diberikan sebelum
terbentuk abses biasanya keluhannya akan berkurang.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
 Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS.
 Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.
b. Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang
kemerahan).
 Diperlukan anestesi umum.
 Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak mendorong
saluran ASI.
 Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari tangan.
 Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.
 Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.
 Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.
 Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari.
Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah, serta
dianjurkan untuk berhenti menyusui.Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat pereda
nyeri (misalnya acetaminophen atau ibuprofen).Kedua obat tersebut aman untuk ibu menyusui
dan bayinya.

2.2.8 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya mastitis dapat dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut
(Soetjiningsih, 1997):
a. Menyusui secara bergantian antara payudara kiri dan kanan
b. Untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan payudara
dengan cara memompanya
c. Gunakan teknik menyusui yang baik dan benar untuk mencegah robekan/luka pada
puting susu
d. Minum banyak cairan
e. Menjaga kebersihan puting susu
f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.
Tindakan-tindakan berikut ini juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya mastitis,
yaitu:
a. Perbaikan pemahaman penatalaksanaan menyusui
 Menyusui sedini mungkin setelah melahirkan;
 Menyusui dengan posisi yang benar;
 Memberikan ASI On Demand dan memberikan ASI eklusif;
 Makan dengan gizi yang seimbang;
b. Pemberian infotentang hal-hal yang mengganggu proses menyusui, membatasi,
mengurangi isapan proses menyusui dan meningkatkan statis ASI antara lain:
 Penggunaan dot;
 Pemberian minuman lain pada bayi pada bulan-bulan pertama;
 Tindakan melepaskan mulut bayi dari payudara pertama sebelum bayi siapuntuk
menghisap payudara yang lain;
 Beban kerja yang berat atau penuh tekanan;
 Kealpaan menyusui bila bayi mulai tidur sepanjang malam
 Trauma payudara karena tindakan kekerasan atau penyebab lain.
c. Pemberian infotentang penatalaksaan yang efektif pada payudara yangpenuh dan kencang.
Adapun hal-hal yang harus dilakukan yaitu:
 Ibu harus dibantu untuk memperbaiki kenyutan pada payudara oleh bayinya untuk
memperbaiki pengeluaran ASI serta mencegah luka pada punting susu.
 Ibu harus didorong untuk menyusui sesering mungkin dan selama bayi menghendaki
tanpa batas.
 Perawatan payudara dengan dikompres dengan air hangat dan pemerasan ASI
d. Pemberian informasi tentang perhatian dini terhadap semua tanda statis ASIIbu harus
memeriksa payudaranya untuk melihat adanya benjolan, nyeri/panas/kemerahan:
 Bila ibu mempunyai salah satu faktor resiko, seperti kealpaan menyusui.
 Bila ibu mengalami demam/merasa sakit, seperti sakit kepala.
 Bila ibu mempunyai satu dari tanda-tanda tersebut, maka ibu perlu untuk:beristirahatdi
tempat tidur bila mungkin, sering menyusui pada payudara yang terkena, mengompres
panas pada payudara yang terkena, berendam dengan air hangat/pancuran, memijat
dengan lembut setiap daerah benjolan saat bayi menyusui untuk membantu ASI
mengalir dari daerah tersebut, mencari pertolongan dari nakes bila ibu merasa lebih baik
selanjutnya.
e. Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain
Ibu membutuhkan bantuan terlatih dalam menyusui setiap saat dan ibu mengalami
kesulitan yang dapat menyebabkan statis ASI, seperti:
 Nyeri/puting pecah-pecah
 Ketidaknyaman payudara setelah menyusui
 Kompresi puting susu (garis putih melintasi ujung puting ketika bayi melepaskan
payudara)
 Bayi yang tidak puas, menyusu sangat sering, jarang atau lama
 Kehilangan percaya diri pada suplay ASInya, menganggap ASInya tidak cukup
 Pengenalan makanan lain secara dini
 Menggunakan dot
f. Pengendalian infeksi
Petugas kesehatan dan ibu perlu mencuci tangan secara menyeluruh dan sering sebelum
dan setelah kontak dengan bayi. Kontak kulit dini, diikuti dengan rawat gabung bayi
dengan ibu merupakan jalan penting untuk mengurangi infeksi rumah sakit.

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang


Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan
fisik meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pada ibu nifas dengan mastitis tidak
dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen (Wiknjosastro, 2005). Namun World Health
Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada beberapa
keadaan yaitu bila:
a. pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari;
b. terjadi mastitis berulang;
c. mastitis terjadi di rumah sakit; dan
d. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung
ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu
dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi
dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.

2.3 Pengkajian data

A. Data Subyektif

1) Identitas

 Nama
Mengenal pasien agar tidak keliru dengan pasien lain
 Umur
wanita yang berumur 21-35 tahun lebih sering mengalami mastitis daripada
wanita yang berumur dibawah 21 tahun dan di atas 35 tahun. Umur <21 tahun
diperkirakan bahwa alat-alat reproduksinya masih belum matang, mental dan
psikisnya juga belum siap. Sedangkan umur >35 tahun akan rentan sekali
untuk terjadi perdarahan dalam masa nifas. Hal tersebut akan memicu
terjadinya mastitis ini.
 Suku
Berpengaruh pada adat istiadat/kebiasaan sehari-hari, khususnya dalam hal
teknik menyusui dan perawatan payudara.
 Pendidikan
Biasanya wanita yang status pendidikannya rendah akan banyak yang
mengalami penyakit ini dikarenakan mereka tidak mengetahui tentang
penyakit serta pengobatan dan teknik perawatan payudara yang benar untuk
kesehatan. Selain itu aspek pendidikan juga akan mempengaruhi dalam
tindakan keperawatan yang akan diberikan, sehingga bidan dapat memberi
asuhan kebidanan dan konseling yang sesuai dengan kondisi pasien.
 Pekerjaan
Wanita yang bekerja di luar rumah (sebagai wanita karier) saat mempunyai
kewajiban untuk menyusui anaknya adalah termasuk kelompok yang berisiko
tinggi mengalami mastitis. Hal itu disebabkan oleh kesibukan kerjanya ini
akan menjadi penghambat pengeluaran ASI sehingga menimbulkan
terjadinya stasis ASI yang dapat menjadi salah satu pencetus penyakit
mastitis ini. Selain itu juga aspek pekerjaan ini untuk mengetahui dan
mengukur tingkat sosial ekonomi pasien, karena hal itu dimungkinkan dapat
mempengaruhi dalam pemenuhan gizi pasien yang memungkinkan timbulnya
penyakit mastitis ini.
 Alamat
Mengetahui lingkungan ibu dan kebiasaan masyarakatnya tentang kehamilan
serta untuk kunjungan rumah jika diperlukan
2) Keluhan Utama
Pada kasus mastitis keluhan yang muncul yaitu payudara bengkak, payudara keras dan
berbenjol benjol, nyeri seluruh payudara/nyeri lokal, kemerahan pada seluruh
payudara/hanya lokal, panas badan dan rasa sakit umum (Bahiyatun, 2008)

3) Riwayat Menstruasi
a. Menarche
Usia pertama kali mengalami menstruasi yang pada umumnya wanita Indonesia
mengalami menarche pada usia sekitar 12-16 tahun
b. Siklus Menstruasi
Jarak antara menstruasi yang dialami dengan menstruasi sebelumnya. Ada 2
siklus, yang pertama siklus pendek, berlangsung selama 28-31 hari. Yang kedua
siklus panjang berlangsung 32-35 hari
c. Volume
Pengeluaran darah saat mentruasi. Normalnya 30-100 cc
4) Riwayat Obstetri Yang Lalu

Persalinan BBL Nifas KB


Hamil
No Tempa Penolon Kompli Usia
Ke JK BB PB Laktasi
t g kasi Anak
5) Riwayat Persalinan yang lalu
Hal ini perlu dikaji untuk mengetahui apakah proses persalinan mengalami
kelainan/tidak yang bisa berpengaruh pada masa nifas
6) Riwayat Kesehatan Ibu
Data ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya riwayat atau penyakit
akut, kronis seperti jantung, ginjal, asma/TBC, hepatitis, DM, hipertensi, dan epilepsi
yang dapat mempengaruhi masa nifas (Retna, 2008)
7) Riwayat Kesehatan Keluarga
Diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit penyakit dari keluarga
yang diturunkan terhadap gangguan kesehatan kesehatan ibu dan janin (Mochtar,
2008)
8) Riwayat Psikososial
Keadaan mental ibu nifas dengan mastitis adalah cemas, sulit tidur, merasa bersalah,
mudah tersinggung, pikiran negatif terhadap bayinya (Manuaba, 2007)
9) Pola Kebutuhan sehari hari
a. Nutrisi
Nutrisi dikaji tentang nafsu makan, jenis makanan yang dikonsumsi sehari hari
haarus bermutu, bergizi tinggi, cukup kalori dan tinggi protein, porsi makan dan
ada pantangan atau tidak, bagi ibu nifas peningkatan jumlah kalori 500-600 kalori,
minum 3 liter/hari, 2 liter didapat dari air minum dan 1 liter didapat dari kuah
sayur dan tambahan minum vitamin A untuk mempercepat pemulihan keadaan ibu
dan meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI (Bahiyatun, 2008)
b. Eliminasi
BAB harus ada dalam 3 hari postpartum. BAK harus dilakukan dalam 6 jam post
partum (Sarwono, 2005)
c. Istirahat
Bagi ibu nifas dengan mastitis diperlukan istirahat yang cukup untuk mempercepat
pemulihan kondisi ibu (Varney, 2007)
d. Personal hygiene
Dikaji untuk mengetahui apakah ibu selalu menjaga kebersihan tubuh terutama
daerah genetalia (Ambarwati dan Wulandari, 2008).
e. Kebiasaan
1. Merokok
Efeknya adalah kelainan BBLR, kematian perinatal, peningkatan DJJ
(Kurniyati, 2000)
2. Alkohol&kafein
Membahayakan jantung & merusak janin
3. Kebiasaan minum jamu
Membahayakan tumbuh kembang janin (cacat, abortus, BBLR, asfiksia dll)
B. Data Subyektif
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum
Pada ibu nifas dengan mastitis keadaan umum adalah cukup (Saiffudin, 2002)
b. Kesadaran
Pada ibu nifas dengan mastitis kesadaran adalah compos mentis (Saifuddin,
2002).
2. Tanda Tanda Vital
a. Tekanan Darah
Untuk mengukur faktor hipertensi atau hipotensi (Saifuddin, 2005), batas
normal antara 90/60 mmHg sampai 130/90 mmHg dan peningkatan diastolik
tidak lebih dari 150 mmHg dari keadaan pasien normal (Wiknjosastro, 2005).
b. Nadi
Untuk mengetahui nadi pasien yang dihitung dalam 1 menit, normalnya 60-
100x/menit. Apabila lebih dari 100x/menit dicurigai ada cemas, anemia,
perdarahan, gangguan tiroid, gangguan jantung (Romauli, 2011).
c. Suhu
Suhu badan wanita setelah partus dapat terjadi peningkatan suhu badan yaitu
tidak lebih dari 37,2°C dan pada ibu nifas dengan mastitis akan meningkat
sampai 39,5°C (Wheeler, 2004)
d. Pernafasan
Pada ibu nifas dengan mastitis respirasi > 30x/menit.
e. Tinggi badan
Apabila tinggi badan <145cm beresiko panggul sempit atau cephalo pelvic
disproportion (CPD) (Winknjosastro, 2006)
f. Berat badan
Selama kehamilan, ibu hamil mengalami pertambahan berat badan sekitar
12,5kg. IMT diklasifikasikan dalam 4 kategori :
1. IMT Rendah (<19,8) ; penambahan BB : 12,5 – 18KG
2. IMT Normal (19,8 – 26) ; penambahan BB : 11,5 – 16kg
3. IMT Tinggi (26 – 29) ; penambahan BB : 7 – 11,5kg
4. IMT obesitas (>29) ; penambahan BB : ≥7kg

(Sarwono, 2010)

3. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Biasanya ibu dengan mastitis mengeluh nyeri kepala seperti gejala flu.
b. Muka
Wajah terlihat meringis kesakitan.
c. Mata
Pada ibu dengan mastitis konjungtiva terlihat anemis. Dimana anemia
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya mastitis, karena seseorang
dengan anemis akan mudah mengalami infeksi.
d. Kalenjar getah bening
Pada kelenjar bening yang terdapat pada area ketiak terjadi pembesaran.
pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan payudara
yang terkena mastitis.
e. Mammae
Pada daerah panyudara terlihat kemerahan atau mengkilat, gambaran
pembuluh darah terlihat jelas di permukaan kulit, terdapat lesi atau luka pada
puting panyudara, panyudara teraba keras dan tegang, panyudara teraba
hangat, terlihat bengkak, dan saat di lakukan palpasi terdapat pus.
f. Abdomen
Apakah ada luka bekas operasi/tidak, pada palpasi yang diperiksa meliputi
kontraksi, TFU dan kandung kemih
g. Genetalia
Untuk mengetahui daerah genetalia eksterna yang meliputi ada atau tidak
varises dan oedema, pembesaran kelenjar bartholini, dan cairan yang keluar
berbau busuk atau tidak (Saifuddin, 2005).
h. Ekstremitas
Apakah terdapat oedema atau tidak, adakah varises, betis merah atau lembek
atau keras, reflekpatella positif atau negatif (Wiknjosastro, 2006).

4. Data Penunjang
Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapt diketahui dengan pemeriksaan
fisik meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pada ibu nifas dengan
mastitis tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen (Winkjosastro, 2005)

C. Interpretasi Data
1. Diagnosa Kebidanan
Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan bidan dalam lingkup
praktek kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan
(Salmah et al, 2006). Diagnosa kebidanan ditulis dengan lengkap berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan data penunjang antara lain: umur, gravida, para,
abortus, jumlah anak hidup, dan diagnosa medis. Diagnosa kebidanan yang dapat
ditegakkan pada kasus ibu nifas dengan mastitis yaitu Ny.... umur ... tahun P A
umur kehamilan ... minggu mastitis

2. Masalah

Keadaan mental ibu nifas dengan mastitis adalah cemas, sulit tidur, merasa
bersalah, mudah tersinggung, pikiran negatif terhadap bayinya (Manuaba, 2007)

3. Kebutuhan
Pada ibu nifas dengan mastitis adalah memberikan dukungan, informasi, dan
support mental (Varney, 2007)
D. Diagnosa Potensial
Diagnosa potensial ditegakkan berdasarkan diagnosa atau masalah yang telah
diidentifikasi (Varney, 2007). Data potensial pada nifas dengan mastitis adalah abses
payudara (Varney, 2007)
E. Tindakan Segera
Antisipasi dalam kasus ibu nifas dengan mastitis yaitu melibatkan seorang dokter serta
memberikan antibiotik, pinisilin jenis Penicillinase resisten atau Cephatosporin.
Erythromicin dapat digunakan jika wanita alergi terhadap pinisilin (Varney, 2007)
F. Penatalaksanaan
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan langkah
sebelumnya. Semua perencanaan yang dibuat harus berdasarkan pertimbangan yang
tepat, meliputi pengetahuan, teori yang up to date, berdasarkan bukti (evidence based
care) serta divalidasikan dengan asumsi mengenai apa yang diinginkan dan tidak
diinginkan. Dalam penyusunan perencanaan sebaiknya pasien dilibatkan karena
keputusan terakhir dalam perencanaan harus disetujui oleh pasien.
BAB III

TINJAUAN KASUS

 Pengkajian

Tgl/Jam Pengkajian : 15 April 2020/ 12.00 WIB

Pengkaji : Fadliana Hidayatu R.

Tempat : RSU Haji Surabaya

No : 45656

A. Data Subyektif
1. Biodata
 Nama : Ny C / Tn A
 Umur : 30 th/ 35 th
 Agama : Islam/islam
 Pendidikan : SMA/SMA
 Pekerjaan : Swasta/swasta
 Alamat : Gubeng Kertajaya

2. Keluhan Utama
Ibu mengatakan payudaranya bengkak, terasa nyeri, merah meradang dan badannya
panas dingin (menggigil)
3. Riwayat Menstruasi
- Menarche : 14 tahun
- Siklus : 28 hari
- Lama : 6-7 hari
- Sifat darah : kental
- Disminorhae : kadang kadang

4. Riwayat Kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu


N Tangga Tempa Usia Jenis Penolong Penyulit JK/PB/B Keadaan
o l Partus t Keh Persali Persalina B Anak
partus amil nan n Sekarang
an
1. 12 Des PMB 39/ Normal Bidan - L/49cm/ Hidup
2015 40 Spt-B 3500gr usia 5
mgg tahun

2. 2 April PMB 39/ Normal Bidan - L/49cm/ Hidup


2020 40 Spt-B 3000gr usia 13
mgg hari

5. Riwayat Pernikahan

- Pernikahan ke :1

- Lama : 7 tahun

6. Riwayat KB & Rencana KB

Ibu mengatakan menggunakan KB IUD setelah melahirkan anak kedua

7. Riwayat Persalinan Sekarang


Ibu mengeluh kenceng kenceng sejak pukul 09.00 WIB tgl 2 April 2020 lalu segera
dibawa ke PMB Fadliana. Bayi lahir jam 20.00 WIB normal spt B, menangis kuat, BB
3000gr, PB 49 cm, kulit kemerahan, anus +, tidak ada kelainan kongenital. Plasenta
lahir jam 20.06 WIB. Perdarahan 300cc, laserasi derajat 1.
8. Riwayat Kesehatan Ibu
Ibu mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit akut, kronis seperti jantung, ginjal,
asma/TBC, hepatitis, DM, hipertensi, dan epilepsi
9. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ibu mengatakan bahwa keluarga dari pihak ibu maupun suami tidak pernah menderita
penyakit menular seperti HIV/AIDS, menurut seperti hipertensi dan DM, dan penyakit
menahun seperti stroke

10. Pola Kebiasaan Sehari hari dirumah

- Nutrisi : Makan 3xsehari dengan porsi sedang; 1 piring nasi, sayur, tempe dan telur

Minum ± 8 gelas, jenis; air putih, susu dan air teh


- Eliminasi
BAB : 1x/hari, warna kuning kecoklatan, bau khas feses, konsistensi lunak
BAK : 4-5x/hari, warna jernih kekuningan, bau khas urin
- Istirahat
Malam : ±6 jam/hari
Siang : ±1,5 jam/hari
- Personal Hygiene :
Mandi 2x/hari, ganti baju 2x/hari

B. Data Obyektif
1. KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
2. Tanda tanda Vital
TD : 120/70 mmHg
N : 88x/menit
S : 38°C
RR : 20x/menit
3. Antropometri
BB : 56kg
TB : 155 cm
4. Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Bersih, tidak ada ketombe
- Wajah : Tidak pucat, tidak oedema, tidak ada cloasma gravidarum
- Mata : Konjungtiva merah muda, sklera putih
- Mulut : Bersih, tidak ada stomatitis dan karies
- Leher : tidak ada pembesaran pada kalenjar limfe
- Payudara : Ada pembengkakan pada payudara sebelah kanan, nyeri tekan,
terlihat mengkilat, puting susu lecet, ASI +/+,
- Abdomen : TFU tidak teraba, tidak ada luka bekas operasi, tidak ada nyeri
tekan
- Genital : Bersih, luka perineum sudah kering, perdarahan ± 20cc pada
softex
- Ekstremitas
Atas : tidak ada varises, tidak oedema, reflek patella +/+
Bawah : Tidak ada varises, tidak oedema, reflek patella +/+
5. Data Penunjang
Tidak dilakukan
C. Analisa Data
Dx kebidanan : Ny C P2A2 umur 30 tahun dengan mastitis
Masalah : Ibu mengatakan merasa cemas dengan masa nifasnya karena
payudaranya terasa nyeri dan berat sebelah serta badannya terasa
demam panas dan dingin
Kebutuhan : Beri dukungan moril pad aibu dan beri informasi pada ibu mengenai
keadaan masa nifasmya dengan mastitis
D. Diagnosa Potensial
Potensial terjadi abses payudara
E. Tindakan Segera
-
F. Penatalaksanaan
Tgl 15 April 2020 Jam 12.30 WIB

1. Memberikan informasi pada ibu dan keluarga tentang hasil pemeriksaan meliputi
keadaan umum, ttv, hasil usg dan informasi tentang mastitis

e/ Ibu dan keluarga mengerti dan paham tentang hasil pemeriksaan dan mastitis

2. Menganjurkan ibu untuk tetap menyusui bayinya dan mengosongkan payudara

e/ Ibu bersedia untuk tetap menyusui bayinya dan mengosongkan payudara

3. Menganjurkan ibu untuk menggunakan bra yang menyangga payudara tetapi tidak
terlalu sempit, jangan menggunakan bra dengan kawat di bawahnya

e/ Ibu bersedia menggunakan bra yang menyangga payudara dan tidak ada kawatnya

4. Menganjurkan ibu untuk menjaga payudaranya agar tetap bersih dan kering terutama
pada puting susu

e/ Ibu bersedia mengikuti anjuran bidan

5. Menganjurkan ibu untuk banyak istirahat di tempat tidur ketika bayinya tidur

e/ Ibu bersedia istirahat ketika bayinya tidur

6. Menganjurkan ibu untuk makan sedikit tapi sering


e/ Ibu bersedia mengikuti anjuran

7. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi antibiotik


- Amoxicilin 500mg 3x1 selama 3 hari
- parcetamol 500 mg 3x1 selama 3 hari
- CTM 500 mg 3x1
- Dexamethason 500 mg 3x1 selama 3 hari sebanyak 10 tablet

Serta menganjurkan minum obat secara teratur

e/ Ibu bersedia minum obat secara teratur


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan apa yang penulis dapatkan dalam studi kasus dan pembahasan pada asuhan
kebidanan pada Ny. C dengan mastitis di RSU Haji Surabaya, maka penulis mampu
mengambil kesimpulan yaitu:

1. Asuhan kebidanan pada Ny. N dengan mastitis dapat diterapkan melalui pendekatan
manajemen kebidanan menurut tujuh langkah Varney dengan baik sebagai berikut:

a. Pengkajian telah dapat dilaksanakan dengan mengumpulkan semua data menurut


lembar format yang telah tersedia melalui teknik wawancara dan observasi
sistemik. Data subyektif khususnya pada keluhan utama yaitu ibu nifas Ny. C
dengan mastitis yaitu ibu mengatakan payudaranya terasa nyeri dan berat serta
badannya juga terasa panas dan dingin. Data obyektif yaitu keadaan umum baik,
kesadaran composmentis, tekanan darah 120/ 70 mmHg, nadi 80 x/ menit,
respirasi 20 x/ menit, suhu 38°C, tinggi badan 155 cm, BB sekarang 56 kg,
terdapat pembengkakan pada payudara kanan, terlihat mengkilat dan lecet pada
puting. Pada langkah pengkajian ini penulis tidak menemukan hambatan yang
berarti, dikarenakan adanya respon yang baik selama melakukan anamnesa dan
pengkajian.

b. Berdasarkan data subyektif dan obyektif, penulis dapat menginterpretasikan data


menjadi diagnosa kebidanan yaitu Ny. C P2A2 umur 30 tahun dengan mastitis.
Dengan masalah ibu merasa cemas, sulit tidur, merasa bersalah dan mudah
tersinggung. Kebutuhan yang dapat diberikan adalah beri informasi pada ibu
mengenai keadaan masa nifasnya dengan mastitis.

c. Pada kasus mastitis ini potensial terjadi abses payudara, namun pada kasus ini
tidak terjadi karena adanya penanganan yang baik dan tepat.

d. Perencanaan yang diberikan pada kasus ini yaitu anjurkan ibu untuk menyusui
bayinya sesering mungkin, anjurkan ibu untuk memakai bra dengan penyangga,
anjurkan ibu untuk menjaga payudara agar tetap bersih dan kering terutama pada
puting susu, anjurkan ibu untuk melakukan perawatan payudara pasca persalinan,
anjurkan ibu untuk banyak istirahat, anjurkan ibu untuk tetap mengkonsumsi
makanan yang bergizi dan meningkatkan asupan cairan dan anjurkan ibu untuk
minum obat secara teratur, antara lain: Amoxillin 500 mg 3 x 1 selama
3 hari, Paracetamol 500 mg 3 x 1 selama 3 hari, CTM 500 mg 3 x 1 selama 3 hari,
dan Dexametason 500 mg 3 x 1 selama 3 hari.

e. Pelaksanaan pada ibu nifas dengan mastitis akan dilakukan sesuai rencana, untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.

f. Evaluasi dari kasus ini setelah dilakukan pengawasan dan pelaksanaan rencana
tindakan pada ibu nifas dengan mastitis, serta adanya kerjasama yang baik dari
pasien, keluarga, dokter spesialis dan tenaga medis yang lain

4.2 Saran

1. Bagi Institusi

a. Pendidikan

Diharapkan studi kasus ini dapat dijadikan acuan untuk menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan khususnya tentang ibu nifas dengan mastitis.

b. Rumah Sakit

Disarankan agar RSU Haji Surabaya dapat lebih meningkatkan mutu pelayanan
dalam memberikan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan mastitis secara
optimal melalui penanganan segera pada kasus ibu nifas.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan diharapkan dapat lebih mengidentifikasi tanda-tanda mastitis,


sehingga dapat melakukan antisipasi atau tindakan segera, merencanakan asuhan
kebidanan pada ibu nifas dengan mastitis.

3. Bagi Pasien

a. Perlu pemahaman tentang tanda bahaya mastitis masa nifas.

b. Ibu diharapkan segera memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan setempat


jika ibu mengalami tanda dan gejala mastitis.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati dan Wulandari. 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia

Saleha, S. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba

Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Setyaningrum, 2008. Hubungan antara Praktik Perawatan Payudara dengan Kejadian


Mastitis Pada Ibu Nifas Tahun 2009 di BPS Nunuk Desa Bandengan Kabupaten
Jepara. Jurnal JIKK Vol. 2, No 2 STIKES Muhammadiyah Kudus

WHO. 2003. Mastitis. Jakarta: Widya Medika

Djamudin, syahrul. 2009. Askep Nifas Pada Ibu Dengan Infeksi Payudara. [serial online].
http://healthycaus..com/ (diakses pada 15 April 2020).\

Sarwono.2010.Ilmu Kandungan.Jakarta

Nani Lia Dewi,Vivian.2012.AsuhanKebidananPadaIbuNifas.Jakarta: SalembaMedika

Anda mungkin juga menyukai