Anda di halaman 1dari 52

PEMAHAMAN MANAGEMEN KOTA – SUSTAINABLE CITY

1. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal


sebagai Sustainable Development Goals disingkat dengan SDGs adalah 17 tujuan
dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai
agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi . Tujuan ini
dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada resolusi PBB yang
diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun
2030.  Tujuan ini merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan Pembangunan
Milenium yang ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin dari 189 negara sebagai
Deklarasi Milenium di markas besar PBB pada tahun 2000 dan tidak berlaku lagi sejak
akhir 2015.
2. Agenda pembangunan berkelanjutan yang baru dibuat untuk menjawab tuntutan
kepemimpinan dunia dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim
dalam bentuk aksi nyata. [3] Konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lahir pada
Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB, Rio+20, pada 2012 dengan menetapkan
rangkaian target yang bisa diaplikasikan secara universal serta dapat diukur dalam
menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan; (1) lingkungan, (2) sosial,
dan (3) ekonomi.[3]
3. Agenda 2030 terdiri dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD) atau Tujuan
Global, yang akan menjadi tuntunan kebijakan dan pendanaan untuk 15 tahun ke depan
(2030). [3]
4. Untuk mengubah tuntutan ini menjadi aksi nyata, para pemimpin dunia bertemu pada 25
September 2015, di Markas PBB di New York untuk memulai Agenda Pembangunan
Berkelanjutan 2030.
5. Tujuan ini diformulasikan sejak 19 Juli 2014 dan diajukan pada Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh Kelompok Kerja Terbuka Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan. Dalam proposal ini terdapat 17 tujuan dengan 169 capaian yang meliputi
masalah masalah pembangunan yang berkelanjutan. Termasuk didalamnya adalah
pengentasan kemiskinan dan kelaparan, perbaikan kesehatan, dan pendidikan,
pembangunan kota yang lebih berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim, serta
melindungi hutan dan laut. [4
6.
7. Jadi Tujuan dari Kota yang Berkelanjutan atau identik kota dengan Pembangunan adalah
adanya 17 Tuujuan dengan 169 ketercapain tersebut. Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda
internasional yang menjadi kelanjutan dari Tujuan Pembangunan Milenium
atau Millennium Development Goals (MDGs). SDGs disusun oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan melibatkan 194 negara, civil society, dan berbagai
pelaku ekonomi dari seluruh penjuru dunia. Agenda ini dibuat untuk menjawab
tuntutan kepemimpinan dunia dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan
perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata. SDGs ditetapkan pada 25 September 2015
dan terdiri dari 17 (tujuh belas) tujuan global dengan 169 (seratus enam puluh
sembilan) target yang akan dijadikan tuntunan kebijakan dan pendanaan untuk 15
tahun ke depan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Tujuan dan target
tersebut meliputi 3 (tiga) dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu lingkungan,
sosial, dan ekonomi.
8. hingga menghasilkan suatu resolusi yang dikenal dengan nama "The Future We
Want". isepakati pula dalam konferensi bahwa pembentukan SDGs harus berorientasi
pada tindakan, ringkas dan mudah dikomunikasikan, serta dapat diaplikasikan secara
universal oleh berbagai negara dengan mempertimbangkan kapasitas, tingkat
pembangunan, serta menghormati kebijakan dan prioritas setiap negara.
9. Ini semua adalah kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada MDG. Ada 5 pondasi
dari SDG yaitu (manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian, dan kemitraan).
10. Usulan tersebut terdiri atas 17 tujuan dan 169 target yang menjangkau isu-isu
pembangunan berkelanjutan secara luas. Pada 5 Desember 2014, Majelis Umum PBB
menerima usulan OWG sebagai dasar untuk membentuk agenda pasca-MDGs.
Negosiasi dengan pemerintah berbagai negara dimulai pada Januari 2015 dan berakhir
pada Agustus 2015. Setelah negosiasi, usulan diadopsi ke dalam UN Sustainable
Development Summit pada 25 – 27 September 2015 yang diselenggarakan di New
York, Amerika Serikat.
11. Seperti disebut di atas, ada 17 TPB yang harus dicapai. Di bawah 17 tujuan tersebut,
terdapat 169 target spesifik dan 232 indikator untuk mengukur keberhasilan TPB.
12. Sebelum pelaksanaan Millennium Development Goals (MDGs) berakhir, pada UN
Summit on MDGs 2010 telah dirumuskan agenda pembangunan dunia pasca 2015. Hal
ini diperkuat dengan disepakatinya dokumen “The Future We Want” dalam UN
Conference on Sustainable Development 2012. Kedua hal ini menjadi pendorong utama
penyusunan agenda pembangunan pasca 2015 yang disepakati dalam Sidang Umum PBB
pada September 2015, yaitu Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)
atau  Sustainable Development Goals (SDGs). TPB/SDGs bertujuan untuk menjaga
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga
keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta
pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga
peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

13. Beberapa agenda MDGs yang belum tercapai akan dilanjutkan dalam pelaksanaan
pencapaian SDGs hingga tahun 2030. SDGs merupakan penyempurnaan MDGs karena:
 SDGs lebih komprehensif, disusun dengan melibatkan lebih banyak negara
dengan tujuan yang universal untuk negara maju dan berkembang.
 Memperluas sumber pendanaan, selain bantuan negara maju juga sumber dari
swasta.
 Menekankan pada hak asasi manusia agar diskriminasi tidak terjadi dalam
penanggulangan kemiskinan dalam segala dimensinya.
 Inklusif, secara spesifik menyasar kepada kelompok rentan (No one left behind).
 Pelibatan seluruh pemangku kepentingan: pemerintah dan parlemen,
filantropi dan pelaku usaha, pakar dan akademisi, serta organisasi
kemasyarakatan dan media.
 MDGs hanya menargetkan pengurangan “setengah” sedangkan SDGs
menargetkan untuk menuntaskan seluruh tujuan (Zero Goals).
 SDGs tidak hanya memuat Tujuan tapi juga Sarana Pelaksanaan (Means of
Implementation).

14. Indonesia telah berhasil mencapai sebagian besar target MDGs Indonesia yaitu 49 dari 67
indikator MDGs, namun demikian masih terdapat beberapa indikator yang harus
dilanjutkan dalam pelaksanaan TPB/SDGs. Beberapa indikator yang harus dilanjutkan
tersebut antara lain penurunan angka kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan nasional,
peningkatan konsumsi minimum di bawah 1.400 kkal/kapita/hari, penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI), penanggulangan HIV/AIDS, penyediaan air bersih dan sanitasi di
daerah perdesaan serta disparitas capaian target antar provinsi yang masih lebar.
15. Untuk memudahkan pelaksanaan dan pemantauan, 17 Tujuan dan 169 target TPB/SDGs
dikelompokkan ke dalam empat pilar yaitu;
 Pilar pembangunan sosial: meliputi Tujuan 1, 2, 3, 4 dan 5
 Pilar pembangunan ekonomi: meliputi Tujuan 7, 8, 9, 10 dan 17
 Pilar pembangunan lingkungan: meliputi Tujuan 6, 11, 12, 13, 14 dan 15
 Pilar pembangunan hukum dan tata kelola: meliputi Tujuan 16
Meskipun terbagi dalam masing-masing pilar, namun dalam pelaksanaan keempat pilar tersebut
saling berkaitan dan saling mendukung seperti digambarkan dalam bagan di bawah ini. 
16. Dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan di Rio de Janeiro
(Brasil) pada Juni 2012 dibahas agenda pembangunan berkelanjutan yang
disebut Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan seperangkat tujuan,
sasaran, dan indikator pembangunan yang berkelanjutan yang bersifat universal. SDGs
merupakan kelanjutan dan perluasan dari Millennium Development Goals (MDGs) yang
telah dilakukan oleh negara-negara sejak 2001 hingga akhir 2015.
Delapan MDGs sebagai berikut:

1. Mengurangi kemiskinan dan kelaparan


2. Mencapai pendidikan yang universal;
3. Meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
4. Mengurangi kematian anak
5. Meningkatkan kesehatan maternal
6. Membasmi HIV, malaria, dan penyakit lainnya
7. Menjamin keberlanjutan lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Meskipun beberapa target MDGs berhasil dicapai, banyak tujuan dan target lainnya dinilai
belum tercapai. MDGs bertujuan mengurangi kemiskinan, tetapi gagal memperhatikan dan
mengatasi akar masalah kemiskinan. MDGs tidak secara khusus memperhatikan pentingnya
mencapai tujuan perbaikan pembangunan ekonomi. MDGs kurang memperhatikan sifat holistik,
inklusif, dan keberlanjutan pembangunan. Demikian juga MDGs dinilai kurang memperhatikan
kesetaraan gender dan hak azasi manusia (Gambar 1). Secara teoretis MDGs ingin diterapkan di
semua negara, tetapi kenyataannya MDGs hanya diterapkan pada negara berkembang atau
miskin, dengan bantuan pendanaan dari negara kaya (UN, 2016; Guardian, 2016; Knoema,
2016).
gBeberapa masalah utama yang belum bisa diatasi sampai dengan berakhirnya era MDGs (UN,
2016) sebagai berikut:
1. Masih terdapat jurang yang lebar antara rumahtangga yang miskin dan rumahtangga,
antara daerah pedesaan dan perkotaan
2. Masih terdapat ketidaksetaraan gender (Gambar 1)
3. Banyak terjadi konflik (peperangan dsb,) yang merupakan ancaman nyata bagi
pembangunan manusia
4. Jutaan orang miskin hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, tanpa akses terhadap
pelayanan dasar
5. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan merongrong kemajuan yang diperoleh, dan
kelompok masyarakat miskin terkena dampak yang paling besar

SDGs tidak dirumuskan untuk berdiri sendiri. Terdapat kesepakatan-kesepakatan lain yang
sejalan dan dapat menunjang agenda pembangunan berkelanjutan ini. Diantaranya terdapat
Sendai Framework1 – merupakan kesepakatan dari pertemuan Konferensi PBB ketiga di Sendai,
Jepang – yang menyepakati soal penanganan kebencanaan hingga tahun 2030. Juga terdapat
Addis Ababa Action Agenda (AAAA)2 yakni kesepakatan antara Kepala Negara dan
Pemerintahan, serta Perwakilan dari berbagai Negara untuk mengatasi tantangan pembiayaan
dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan dalam semangat
kemitraan dan solidaritas global. Satu kesepakatan lagi selain Sustainable Development Goals
adalah Paris Agreement3 . Paris Agreement adalah konvensi atau kesepakatan berbagai pihak
(Negara) yang tergabung dalam Konvensi PBB dalam hal perubahan iklim. Fokus kesepakatan
ini adalah upaya bersama untuk mengatasi perubahan iklim yang jika terjadi di satu wilayah
Negara akan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung pada Negara lain.

HLPF sendiri merupakan forum lanjutan dari Commission Sustainable Development (CSD) yang
dibentuk setelah Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) di tahun
1992. Sejak 24 September 2013, HLPF meneruskan tugas CSD dalam hal menindaklajuti agenda
internasional untuk pembangunan berkelanjutan, seperti yang temasuk dalam Rio Declaration on
Environment and Developmentand the Agenda 21 serta Johannesburg Plan of Implementation
(JPOI). HLPF menggunakan mekanisme national voluntary review yang merupakan pelaporan
negara secara sukarela. Setiap tahunnya tidak semua negara yang akan melaporkan
perkembangan pelaksanaan SDGs. Seperti yang terjadi pada HLPF 2016 dimana ada sekitar 22
negara yang memberikan laporan global selama 8 hari. Banyak yang menilai bahwa waktu yang
disediakan tidak cukup untuk menilai progres secara mendasar untuk keseluruhan 193 negara, 17
tujuan, 169 target dan 242 indikator.

Kota adalah pusat ide, perdagangan, budaya, ilmu pengetahuan, produktivitas, sosial,
pengembangan manusia dan ekonomi. Perencanaan kota, sistem transportasi, air, sanitasi,
pengelolaan limbah, pengurangan risiko bencana, akses ke informasi, pendidikan dan
pembangunan kapasitas adalah semua isu yang relevan dengan pembangunan kota yang
berkelanjutan.

Pada 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah, populasi perkotaan global melebihi jumlah
penduduk pedesaan. Tonggak sejarah ini menandai munculnya 'milenium perkotaan' yang baru
dan, pada tahun 2050, diharapkan bahwa dua pertiga dari populasi dunia akan tinggal di daerah
perkotaan. Dengan lebih dari separuh umat manusia yang tinggal di kota-kota dan jumlah
penduduk perkotaan yang bertambah hampir 73 juta setiap tahun, diperkirakan bahwa wilayah
perkotaan merupakan 70 persen dari produk domestik bruto dunia dan karenanya telah
menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi banyak orang. Mengingat
pentingnya topik ini untuk upaya pembangunan global, gerakan terbaru yang mendorong untuk
mengatasi pembangunan berkelanjutan dari perspektif perkotaan telah terjadi di seluruh dunia.
Hasil dari gerakan ini dapat dilihat dalam dimasukkannya tujuan yang berdiri sendiri pada kota
dan pembangunan perkotaan dalam Agenda 2030, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11,
"membuat kota dan permukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan". Ada
juga pengakuan sifat lintas sektoral dari masalah perkotaan, yang berdampak pada sejumlah
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lainnya, termasuk SDG 1, 6, 7, 8, 9, 12, 15, dan 17, antara
lain. Agenda Perkotaan Baru UN-Habitat, yang diadopsi sebagai dokumen hasil dari Konferensi
Habitat III pada tahun 2016, berupaya menawarkan pedoman nasional dan lokal tentang
pertumbuhan dan perkembangan kota-kota hingga tahun 2036. Sebelum adopsi Agenda 2030,
Tujuan Pembangunan Milenium 7, target 11, menyerukan upaya untuk mencapai, "peningkatan
signifikan dalam kehidupan setidaknya 100 juta penduduk daerah kumuh" pada tahun 2020.
Pembangunan pemukiman manusia yang berkelanjutan juga dibahas pada sesi kedua dan
ketiga Komisi Pembangunan Berkelanjutan. "Mempromosikan pembangunan permukiman
manusia yang berkelanjutan" adalah subjek Bab 7 Agenda 21, yang menyerukan 1)
menyediakan tempat berlindung yang memadai untuk semua; 2) meningkatkan manajemen
permukiman manusia; 3) mempromosikan perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan
yang berkelanjutan; 4) mempromosikan penyediaan infrastruktur lingkungan terpadu: air,
sanitasi, drainase, dan pengelolaan limbah padat; 5) mempromosikan energi berkelanjutan dan
sistem transportasi di permukiman manusia; 6) mempromosikan perencanaan dan pengelolaan
pemukiman manusia di daerah rawan bencana; 7) mempromosikan kegiatan industri konstruksi
yang berkelanjutan; dan 8) mempromosikan pengembangan sumber daya manusia dan
pengembangan kapasitas untuk pengembangan permukiman manusia. Paragraf 89 Agenda
2030 menyerukan kelompok-kelompok besar dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk
pihak berwenang setempat, untuk melaporkan kontribusi mereka terhadap pelaksanaan
Agenda. Pemerintah daerah dan daerah memiliki banyak pengalaman berharga dalam
"lokalisasi" Agenda 2030, di mana mereka memberikan kepemimpinan dalam mobilisasi
berbagai pemangku kepentingan, fasilitasi proses "bottom-up" dan inklusif, dan pembentukan
kemitraan multi-pihak.
Dafus
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Tujuan_Pembangunan_Berkelanjutan
2. https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/prinsip-dan-kesepakatan-
internasional/Pages/Tujuan-Pembangunan-Berkelanjutan.aspx
3. https://tanotofoundation.org/id/news/mengenal-tentang-tujuan-pembangunan-
berkelanjutan/
4. http://sdgs.bappenas.go.id/sekilas-sdgs/
5. http://theicph.com/id_ID/id_ID/icph/sustainable-development-goals/
6. https://www.uclg.org/sites/default/files/tujuan-sdgs.pdf
7. http://sejarahjagat.blogspot.com/2016/01/sejarah-lahirnya-sustainable.html
city
8. https://geographyfieldwork.com/BarcelonaPollutionManagement.htm

pelajaran video 1
1. https://www.youtube.com/watch?v=oBNiBS5UaJg. Jacobs has been inspiring healthy
and thriving cities and neighborhoods. Cities have the capability providing something for
everybody, only because, and only when they are created by everybody. Jane jacobs
2. So what set of values should we use to create the city truly for everybody ?
3. And this think start with something we all have in commong, we all want to be happy, the
happy means course something different for each of us and that diversity is a beautiful
thing we have to embrace
4. Kita tahu bhawa bukan satu2nya yang akna membuat kita bahagia. Faktanya tidak ada
yang sendiri atau tunggal that instead that happiness is the combination of subjective and
objective components that influences and change over time.
5. Tiday cotes are strarting to use happiness framework to look at policies neighborhoods
and communities to create places that help us or flourish and thrive
6. Up to 200 million peoploe spending on average 23 hours a day in a human-made space or
a vehicke for the cities to use happines framework and change that scenarion and create
positive impact means to create a restorative values in four dimensions, its personal,
economic, society, and natural system.
7. Video ke dua https://www.youtube.com/watch?v=VUcehM77Dvc. SC cities across the
world they’re signing up to low-carbon targets or sustainability metrics and yet there’s a
massive skill gap they’ve got
8. You will learn the theory ypu will what it is to have a sc. What critical a band theory is
put ypur law searle and how do you integrate sustainable energy technology into a dirty
old power system how do we build sustainable housing on top of the existing few model
that we’ve got you know how do we have new a sutainable transport system or active
mode system when a lot of cities are already car dependent
9. Video ke 3 https://www.youtube.com/watch?v=18MBz9bmw-I. definitions what is really
a sustainable city, a SC is a city where in we could have achived clean air clean water and
clean land primarily we want to make sure that it is livable at the same time the people
are in harmony with nature as well
10. First of all- for clea man we actually focus on how does the city manage their solid waste
so course we know that garbage has always been a very challenging test for the local
government unions they have to lokk into what are the cities doing what are their
programs for example inside san carlos city they have shifted their packaging.
11. Now when you look at clean air, your looking into their programs in term of addresing
smoke belching at the same time promoting walkableilty promoting cycling in the area
12. And for the clean water, we are proposing we are looking inti the wastewater treatment
facilities that is being initiated by the local government
13. The importan case, that this is about the its being initiated by the local government units
14.

Bab III
Menuju kota yang berkelanjutan
Kesimpulan

1. Sejumlah tantangan mengancam kemampuan kota untuk menjadi pilar pembangunan


berkelanjutan yang berkelanjutan. Akses yang tidak merata ke, dan penggunaan layanan publik
yang tidak efisien, juga sebagai kerapuhan finansial dan bahaya yang ditimbulkan oleh bahaya
alam, menuntut suatu integrasi dan tanggapan terkoordinasi di tingkat lokal, nasional dan
internasional.
2. Dominasi kota-kota kecil dan menengah memberikan peluang berinvestasi dalam infrastruktur
hijau, melewati teknologi energi lama, dan sosial pembangunan, sebelum ketidakadilan sosial
menjadi tidak berkelanjutan.
3. Pembangunan pedesaan sangat penting untuk pendekatan terpadu untuk keberlanjutan dan
untuk mengurangi kemiskinan. Memastikan akses yang lebih luas dan inklusif ke layanan publik
dapat dikurangi ketidaksetaraan pedesaan / perkotaan, risiko bencana dan kerawanan pangan,
serta memperkuat jaringan antara kota dan desa.
4. Membangun kota yang berkelanjutan membutuhkan investasi dalam (a) sumber energi
terbarukan, (b) efisiensi dalam penggunaan air dan listrik, (c) desain dan implementasi compact
kota, (d) perkuatan bangunan dan peningkatan area hijau, (e) cepat, andal dan transportasi umum
yang terjangkau dan (f) peningkatan sistem limbah dan daur ulang. Kota di negara-negara miskin
memerlukan sumber daya untuk mendukung transfer teknologi hijau, dan pengembangan
kapasitas, dan untuk meningkatkan akses ke perumahan, air dan perumahan yang dibangun
dengan baik sanitasi, listrik, kesehatan dan pendidikan.
PEMBUKAAN /PENGENALAN

Kota-kota telah menjadi ruang hidup utama manusia. Sejak 2007, lebih dari setengah dari
populasi dunia telah tinggal di daerah perkotaan dan angka tersebut diperkirakan melebihi 70
persen pada tahun 2050. Ini adalah ciri khas transformasi ekonomi manusia dasar dan struktur
sosial, karena sebelumnya, populasi hidup dan bekerja terutama di daerah pedesaan.
Kota dapat memberikan banyak manfaat sosial ekonomi. Dengan memusatkan orang,
investasi dan sumber daya (suatu proses yang dikenal sebagai aglomerasi), kota-kota
meningkatkan kemungkinan untuk pengembangan ekonomi, inovasi dan interaksi sosial. Lebih
spesifik, kota-kota juga memungkinkan untuk menurunkan biaya satuan sehingga menyediakan
layanan publik seperti air dan sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan, listrik, layanan darurat
dan area rekreasi publik (Polèse, 2009; Satterthwaite, 2010). Namun, ini membutuhkan kota
yang berfungsi pemerintah mampu memastikan bahwa manfaat tersebut direalisasikan, dan
untuk mengadopsi berkelanjutan kerangka kerja yang mendorong pertumbuhan kota dalam batas
ekologis. Sepanjang garis ini, kota-kota juga menghadapi tantangan yang mengancam upaya
mereka untuk mencapai keberlanjutan, misalnya, melalui peningkatan akses ke, dan efisiensi
dalam penggunaan, layanan publik, serta pengurangan jejak ekologis dan kerapuhan finansial
mereka, dan pembangunan ketahanan terhadap dampak buruk dari bahaya alam.
Bab ini merekomendasikan strategi terpadu untuk membuat kota berkembang menjadi
pusat pembangunan berkelanjutan dan inovasi. Dimulai dengan menilai apa itu kota, skala dan
kecepatan urbanisasi dalam beberapa dekade terakhir, dan tren dan proyeksi utama pertumbuhan
perkotaan di seluruh wilayah. Tren dan proyeksi yang dianalisis berfungsi sebagai pengantar
dengan konsepsi urbanisasi masa depan sebagai proses yang dapat meningkatkan manfaat kota,
sambil mengurangi ancaman terhadap pembangunan yang lebih seimbang dan berkelanjutan.
Evolusi konsep keberlanjutan perkotaan dijelaskan dan kerangka kerja diusulkan berdasarkan
empat pilar: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, manajemen lingkungan dan
pemerintahan kota yang efektif. Bagian berikut membahas tantangan terkait yang terkait dengan
pemenuhan tujuan-tujuan tersebut oleh berbagai kelompok negara. Bagian terakhir membahas
urbanisasi melalui lensa peluang investasi yang menangani tantangan-tantangan tersebut
melibatkan. Proposal diajukan untuk serangkaian investasi terintegrasi dalam infrastruktur,
layanan publik dan pengembangan kapasitas dilengkapi dengan pemeriksaan yang relevan
pengalaman dunia yang terkait dengan keberlanjutan perkotaan di tingkat sektoral (mis., risiko
bencana pengurangan, perumahan dan infrastruktur hijau) serta kerangka kerja kebijakan untuk
berkelanjutan pembiayaan kota.

Pada 2050, dunia urban populasi bisa mencapai 6,25 miliar, 80 persen dari siapa akan tinggal
mengembangkan daerah, dan terkonsentrasi di kota Afrika dan Asia

Kota dan tren urbanisasi utama


Tidak ada definisi seragam tentang apa yang membentuk sebuah kota, mengingat
keragaman kota realitas di seluruh dunia. Setiap negara mendefinisikan kota berdasarkan kriteria
masing-masing. Itu juga harus dicatat bahwa kesenjangan dan masalah pengukuran terkait
dengan batas data perkotaan keakuratan proyeksi dan perbandingan tingkat urbanisasi dan
internasional ukuran populasi kota. Kotak III.1 membahas berbagai kriteria yang digunakan
dalam mendefinisikan kota dan masalah data.
Kota-kota berbeda dalam hal ukuran, struktur, bentuk spasial, ekonomi, kekayaan,
ketersediaan sumber daya lokal dan dampak ekologis. Menurut ukuran populasi dan kondisi,
pusat kota dapat berupa, mis., kecil, sedang, besar atau mega. Populasi pusat kota dapat berkisar
dari beberapa ribu hingga lebih dari 10 juta orang atau lebih. Menurut penelitian yang relevan,
"pusat kota kecil" memiliki populasi kurang dari atau sama dengan 500.000 orang; pusat kota
menengah, populasi antara 1 juta dan 5 juta orang; dan pusat kota besar, populasi 10 juta atau
lebih (Bersatu Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, Divisi Kependudukan,
2012; Dobbs dan lainnya, 2011b). Untuk perbandingan statistik ukuran dan pengembangan pusat
kota, bab ini menggunakan kategori bersama dengan "pusat kota besar" yang didefinisikan
sebagai aglomerasi dengan 5 juta penduduk atau lebih.

Skala dan ruang lingkup urbanisasi


Pada awal abad kedua puluh, hanya 16 kota yang memiliki 1 juta orang atau lebih,
dengan mayoritas berlokasi di negara industri maju (Montgomery dkk., 2004). Oleh 2010, ada
449 kota dengan 1 juta orang atau lebih, dimana tiga perempatnya berlokasi di negara
berkembang (PBB, Departemen Ekonomi dan Sosial
Urusan, Divisi Populasi, 2012).
Berdasarkan peringatan yang terkait dengan proyeksi populasi perkotaan dicatat dalam
kotak III.1, estimasi berikut harus ditafsirkan sebagai pedoman saja. Selama 2000-2050, daerah
berkembang dapat menambah 3,2 miliar penduduk kota baru, sebuah angka lebih besar dari
populasi dunia pada tahun 1950 dan dua kali lipat populasi perkotaan yang ditambahkan selama
1950-2000. Pada tahun 2050, populasi perkotaan dunia dapat mencapai total 6,25 miliar, 80
persen di antaranya mungkin tinggal di daerah berkembang, dan terkonsentrasi di kota-kota di
Afrika dan Asia. Ada kemungkinan bahwa pusat-pusat kota Afrika akan menampung 1 miliar
orang pada tahun 2050, yang akan menjadi sekitar 3 kali angka untuk populasi perkotaan
Amerika Utara, dua kali angka untuk populasi perkotaan Amerika Latin dan Karibia atau Eropa,
dan sebanding dengan angka untuk populasi perkotaan China di waktu itu. Tren ini akan
menantang kapasitas kelembagaan banyak kota-kota ini untuk menyediakan pekerjaan yang
layak, layanan publik dan lingkungan yang bersih, terutama untuk mereka yang sudah memiliki
jumlah penduduk yang kurang terlayani — yang jumlahnya terus bertambah — dan terus
bertambah di daerah kumuh, dalam kondisi yang tidak aman (Satterthwaite, 2007).
Pertumbuhan populasi perkotaan diperkirakan akan terus menetapkan kecepatan dunia
pertumbuhan populasi, dan dalam 10-15 tahun ke depan, untuk pertama kalinya dalam sejarah,
dunia pedesaan populasi diperkirakan akan menurun (gambar III.1).
Secara global, net 1,3 miliar orang ditambahkan ke pusat-pusat kota kecil selama 1950-
2010, lebih dari dua kali lipat jumlah orang yang ditambahkan dalam medium (632 juta) atau
pusat kota besar (570 juta) .1 Tren ini penting, karena berbagai ukuran kota
permukiman dapat memengaruhi tingkat penyediaan layanan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan populasi yang terus bertambah. Tantangan dan implikasi kebijakan dari
kemungkinan berlanjutnya dominasi pusat kota kecil dan meningkatnya signifikansi pusat kota
menengah dan besar 15 tahun ke depan patut diperhatikan dan akan dianalisis lebih lanjut di
bawah ini.

Sources: United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division
(2011; 2012)
BOX III.1

Definisi masalah kota dan data


Mayoritas negara menggunakan satu karakteristik atau kombinasi administrasi, populasi ukuran
atau kepadatan, karakteristik ekonomi dan perkotaan (mis., jalan beraspal, sistem pasokan air, sistem
pembuangan limbah, dan penerangan listrik) untuk menentukan kota. Batas bawah di atas tempat
penyelesaian perkotaan dianggap sangat bervariasi, antara 200 dan 50.000 penduduk, yang dapat
menimbulkan kesalahan ketika membandingkan populasi perkotaan (dan wilayah perkotaan) di berbagai
negara. Misalnya, jika India otoritas nasional akan mengklasifikasikan populasi 5.000 atau lebih sebagai
perkotaan, negara akan dianggap dominan perkotaan dan bukan pedesaan. Di Angola, Argentina, dan
Ethiopia, semua pemukiman dengan 2.000 orang atau lebih diklasifikasikan sebagai perkotaan. Di Benin,
hanya wilayah dengan 10.000 orang atau lebih dianggap perkotaan. Di Botswana, aglomerasi 5.000
orang atau lebih di mana 75 persenkegiatan ekonomi non-pertanian dapat dianggap perkotaan (Cohen,
2006). Negara-negara tertentu mendefinisikan populasi perkotaan sebagai terdiri dari orang-orang yang
tinggal di dalam pusat administrasi tertentu ataumunicipios (El Salvador) atau di bawah yurisdiksi dewan
kota (Irak). Yang lain mendefinisikan kota sebagai tempat-tempat dengan kotamadya, korporasi kota,
komite kota atau dewan kanton (Bangladeshdan Pakistan).
Populasi pusat kota apa pun dipengaruhi oleh bagaimana batas-batasnya ditetapkan — untuk
misalnya, apakah ditentukan oleh daerah terbangun atau daerah pinggiran kota yang memiliki sedikit
atau tidak sama sekali pembangunan kota termasuk di dalamnya? Ukuran kota dapat dibuat lebih besar
secara signifikan jika pinggiran populasi dimasukkan dalam statistik resmi; banyak kota memiliki batas
yang ditetapkan untuk memasukkan kota dan area besar di sekitar kota yang mungkin termasuk kota-
kota kecil dan populasi pedesaan yang besar. Paling kota-kota besar memiliki lebih dari satu batas —
batas untuk kota pusat, misalnya, untuk keseluruhanarea metropolitan, atau untuk wilayah
perencanaan yang lebih luas yang sering mencakup banyak pemukiman pedesaan. Di umumnya,
populasi perkotaan negara didefinisikan sebagai penduduk yang sumber pendapatan utamanya bukan
dari pertanian atau kehutanan (Satterthwaite, 2010).

Ketidakcukupan perhatian terhadap keterbatasan data telah menyebabkan


kesalahpahaman tentang tren perkotaan yang pada akhirnya dapat mendistorsi
kebijakan perkotaan. Proyeksi populasi perkotaan sering dilakukan tidak termasuk
estimasi varian tinggi dan rendah, yang merupakan tipikal dari proyeksi populasi
dunia diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa - Bangsa (Satterthwaite, 2007;
Perserikatan Bangsa - Bangsa, Departemen Ekonomi dan Urusan Sosial, Divisi
Populasi, 2012). Selain itu, dikotomi tradisional perkotaan / pedesaan telah
menjadi semakin tidak memadai untuk membedakan antara pemukiman
perkotaan dan pedesaan. Peningkatan perdagangan, mobilitas tenaga kerja dan
inovasi dalam komunikasi telah menyebar fungsi dan pengaruh perkotaan wilayah
geografis yang luas, termasuk yang pedesaan. Di beberapa bagian Asia dan
Pasifik, misalnya, intens aktivitas ekonomi di persimpangan antara daerah
perkotaan dan pedesaan telah mengaburkan perbedaan (Cohen, 2006). Namun,
dalam kasus negara-negara di Amerika Latin dan Karibia, sensus dan survei itu
menganggap dikotomi perkotaan / pedesaan masih berlaku karena mereka terus-
menerus menunjukkan ketidaksetaraan sosial hidup antara daerah pedesaan dan
perkotaan (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan
Karibia, 2012). Namun, beberapa ketidaksetaraan sosial yang paling dalam terlihat
di kota atau dalam populasi perkotaan negara.
Untuk meningkatkan konsistensi dan komparabilitas data tentang populasi
perkotaan di seluruh negara dan dari waktu ke waktu, Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, Populasi Division (2012)
menggunakan dua konsep tambahan: (a) aglomerasi perkotaan, yang mengacu
pada "populasi terkandung dalam kontur wilayah yang bersebelahan ”dihuni oleh,
misalnya, 750.000 jiwa atau lebih dan (b) wilayah metropolitan , yang meliputi
wilayah yang bersebelahan dan “wilayah sekitarnya kepadatan pemukiman yang
lebih rendah ”yang berada di bawah pengaruh langsung kota melalui transportasi
yang sering, jalan, perjalanan, dan sebagainya (hlm. 7). Selain itu, ada potensi
untuk penelitian tentang database perkotaan dan mekanisme pengumpulan data
untuk mendukung kebijakan lokal, perencanaan dan keputusan investasi.
Secara umum, kehati-hatian direkomendasikan mengenai interpretasi dan
perbandingan statistik populasi perkotaan antar negara, karena kriteria resmi
yang berbeda untuk mendefinisikan perkotaan daerah, dan menetapkan batas
kota, dan, dalam beberapa kasus, karena kurangnya data sensus.
Beragam jalur dan langkah urbanisasi

Ada keragaman regional yang cukup besar dalam pola urbanisasi dan bahkan yang lebih besar
variasi tingkat dan laju urbanisasi masing-masing negara. Misalnya, pada rata-rata lebih dari tiga
perempat wilayah Amerika Latin dan Karibia sangat tinggi urbanisasi, sedangkan negara-negara yang
paling tidak berkembang dan negara-negara berkembang yang terkurung daratan masih sebagian besar
bertani — meskipun jalur mereka menuju urbanisasi diperkirakan akan meningkat pada dekade
berikutnya (tabelIII.1). Kasus pulau kecil di negara berkembang adalah layak disebut karena mereka
telah mampu mencapai keseimbangan melalui jalur urbanisasi tingkat menengah (60 persen pangsa)
dengan ekonomi yang didasarkan pada industri dan jasa.

Rata-rata, hampir 80 persen populasi di daerah maju tinggal di pusat-pusat kota, berbeda
dengan rata-rata populasi perkotaan di Asia dan Asia Afrika kurang dari 50 persen. Di tingkat negara,
sementara urbanisasi di beberapa Afrika negara-negara seperti Burkina Faso, Burundi, Ethiopia dan
Malawi bisa serendah 20 persen, populasi perkotaan mewakili lebih dari 60 persen dari total populasi di
Afrika Selatan. Selain itu, populasi perkotaan di negara-negara berpenghasilan rendah sangat
terkonsentrasi di wilayah yang sangat sejumlah kecil kota, yang juga kontras dengan pola urbanisasi di
negara maju daerah. Misalnya, 75 persen, 60 persen, dan 47 persen dari populasi perkotaan di Sierra
Leone, Kenya, dan Guinea terkonsentrasi di Freetown, Nairobi dan Conakry, masing-masing (Grübler dan
Buettner, 2013; PBB, 2010b).

Pola dan langkahnya urbanisasi telah beragam dalam pengembangan daerah dan antar
mengembangkan dan daerah maju Pada umumnya, urbanisasi di negara berkembang telah mengikuti
langkah cepat dan sering terkonsentrasi di ibu kota

Namun, "urbanisasi yang terlambat" di Asia dan Afrika diperkirakan akan menambah kecepatan
dan memusatkan mayoritas 3 milyar penduduk urban tambahan selama 2010-2050. Demikian pula,
jumlah aglomerasi perkotaan (750.000 jiwa atau lebih) dan jumlah penduduk per aglomerasi diharapkan
tumbuh secara signifikan di Asia dan Afrika pada tahun 2025 (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen
Urusan Ekonomi dan Sosial, Divisi Kependudukan,2012). Diharapkan bahwa lebih dari 80 persen
populasi perkotaan ditambahkan pada populasi berikutnya 15 tahun akan ditemukan di negara-negara
berpenghasilan menengah seperti Cina, India, Afrika Selatan,Nigeria, Indonesia dan Pakistan (ibid.).

Mengubah pola permukiman perkotaan

Lebih dari 50 persen populasi perkotaan dunia tinggal di permukiman dengan 500.000 orang
atau kurang pada 2010. Meskipun signifikansi mereka akan tetap, bagiannya akan berkurang hingga 42
persen pada tahun 2025 (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, Divisi
Populasi, 2012). Kota menengah (yang berpenduduk 1 juta - 5 juta orang), pada sisi lain, akan
meningkatkan bagian mereka dari populasi perkotaan, dari 21 menjadi 24 persen interval waktu yang
sama. Bagian dari populasi perkotaan di kota-kota besar (yang memiliki lebih banyak dari 5 juta orang),
termasuk kota-kota besar, akan tumbuh paling besar, dari 17 menjadi 22 persen, dengan peningkatan
absolut lebih dari 410 juta orang. Pada 2010, kota-kota besar dari 10 juta penduduk atau lebih hanya
berisi 10 persen dari populasi perkotaan global (ibid.).

Semua jenis kota yang berkembang akan berlokasi sebagian besar di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Di banyak negara berkembang, tantangan utama adalah untuk
menyediakan penduduk perkotaan yang kurang terlayani, termasuk populasi di kota-kota besar, dengan
akses yang terjangkau untuk layanan publik dan peluang kerja yang memadai. Penduduk di pemukiman
miskin kota biasanya berada di pinggiran serta di kota-kota besar tanpa akses yang memadaiair pipa,
pembuangan limbah, listrik dan sekolah yang bagus. Bukti juga menunjukkan tingkat itu kemiskinan dan
kematian bayi dan anak bisa tinggi di kota-kota kecil dan besar, sering menunjukkan kurangnya akses ke
fasilitas kesehatan publik dan kurangnya kemauan politik untuk berinvestasi di dalamnya (Mitlin dan
Satterthwaite, 2012).

Kota-kota di negara-negara berpenghasilan rendah mungkin sering kekurangan kapasitas


kelembagaan mengelola populasi yang tumbuh. Meskipun beberapa pemerintah nasional sedang
berkembang negara telah mulai mendesentralisasi pemberian layanan dan peningkatan pendapatan ke
regional dan tingkat pemerintah daerah, tingkat yang lebih rendah dari pemerintah kota sering tidak
memiliki sumber daya yang cukup dan kapasitas yang memadai untuk mengelola, misalnya, program
kesehatan, pendidikan dan kemiskinan (Montgomery dkk., 2004).

Apakah ada jalur kembar antara urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi?

Kekuatan ekonomi negara terletak di kota-kota; bahkan, produk domestik bruto perkotaan
(PDB) mewakili sekitar 80 persen dari PDB dunia (Grübler dan Fisk, 2013). Kota telah menjadi pusat
penting untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, inovasi dan budaya bertukar. Kota-
kota di banyak negara berkembang (mis., Bangladesh, Brasil, Cina, Honduras, India, Nigeria, Peru, dan
Afrika Selatan) memusatkan inti dari kegiatan produktif modern dan merupakan area yang sangat baik di
mana peluang mendapatkan penghasilan dapat ditemukan (Satterthwaite, 2007). Kota-kota juga
merupakan pusat di mana perempuan menikmati tenaga kerja tertinggi partisipasi, akses kesehatan,
angka melek huruf dan mobilitas sosial ke atas (Cohen, 2006).

Meskipun demikian, pertumbuhan populasi perkotaan telah melampaui pertumbuhan ekonomi


juga sebagai diperlukan peningkatan kompetensi dan kapasitas kelembagaan pemerintah kota di banyak
negara berkembang, yang kontras dengan korelasi yang lebih dekat ditemukan di negara maju (gambar
III.2). Dengan demikian, untuk tingkat yang setara dengan urbanisasi, tingkat pendapatan per kapita di
daerah berkembang beberapa kali lebih rendah. Tren ini, yang mungkin dijelaskan sebagian oleh
berbagai kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan pusat-pusat kota, memiliki implikasi untuk
kapasitas aktual negara-negara miskin untuk membangun kota yang berkelanjutan. Gambar III.2
mengilustrasikan Tren ini berkaitan dengan urbanisasi di wilayah Amerika Latin dan Karibia.

Secara khusus, proses urbanisasi di negara-negara paling tidak maju atau negara-negara Afrika
sub-Sahara mungkin telah terjadi dengan negatif atau hampir tanpa ekonomi pertumbuhan (gambar
III.3), yang pada akhirnya menyiratkan peningkatan kerawanan kehidupan kota. Populasi di daerah
kumuh hampir dua kali lipat di Afrika sub-Sahara antara tahun 1990 dan 2010, meningkat dari 103 juta
menjadi 200 juta (Program Pemukiman Manusia PBB) (UN-Habitat), 2010). Meski begitu, Satterthwaite
(2010) merekomendasikan untuk berhati-hati dalam interpretasi korelasi negatif antara pertumbuhan
ekonomi dan urbanisasi di negara-negara sub Saharan karena kekurangan data, yang dapat mencegah
pengukuran yang akurat. pola urbanisasi (lihat juga, Potts, 2006).

Kota terus berkembang sebagai akibat dari proses dinamis yang meningkat oleh mobilitas
penduduk, pertumbuhan populasi alami, pembangunan sosial ekonomi, perubahan lingkungan dan
kebijakan lokal dan nasional. Tren dan proyeksi dijelaskan di atas berfungsi sebagai dasar untuk
pengantar konsep urbanisasi masa depan sebagai a proses yang dapat meningkatkan manfaat dan
sinergi kota, sekaligus mengurangi ancaman terhadap pembangunan yang lebih seimbang dan
berkelanjutan.

A FRAMEWORK SUSTAINABLE CITY

Dalam suatu kerangka kerja empat pilar, efektif pemerintahan kota dapat dikombinasikan
dengan pencapaian sosial dan ekonomi pengembangan dan lingkungan yang efektif pengelolaan.

Diusulkan bahwa pembangunan kota "hijau" setara dengan pembangunan keberlanjutan


(Beatley, ed., 2012). Banyak negara merencanakan dan terlibat dalam pembangunan kota hijau dan
"kota ramah lingkungan" sebagai titik awal untuk pembangunan pembangunan berkelanjutan. Namun,
penting untuk memahami keberlanjutan kota sebagai konsep yang lebih luas mengintegrasikan
pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, manajemen lingkungan dan tata kota, yang mengacu
pada keputusan manajemen dan investasi yang diambil oleh otoritas kota dalam koordinasi dengan
otoritas dan lembaga nasional. Di dalam Berkenaan dengan itu, Bab II memberikan pedoman untuk
kemungkinan jalur pembangunan berkelanjutan bagi negara-negara di berbagai tahap pembangunan.

Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan tahun 1987, juga dikenal sebagai
Komisi Brundtland, mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi
kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri. Laporan tersebut mencakup bab tentang masalah perkotaan. Pada tahun 1991, the
Program Kota Berkelanjutan Pusat Pemukiman Manusia (UNCHS) berusaha mendefinisikan kota yang
berkelanjutan sebagai kota “tempat pencapaian dalam bidang sosial, ekonomi dan pengembangan fisik
dibuat untuk bertahan lama ”(Program Pemukiman Manusia PBB (UN-Habitat), 2002, hal. 6). Namun,
definisi ini masih terlalu umum dan mengabaikan fakta bahwa kota yang berkelanjutan harus memiliki
jejak ekologis yang rendah dan mengurangi transfer risik (ekonomi, sosial dan lingkungan) ke lokasi lain
dan ke masa depan (Rees, 1992).

Konsep kota berkelanjutan dan kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan miliki telah
dibahas sejak awal 1990-an.2 Kota-kota yang berkelanjutan harus memenuhi "penduduk" mereka
kebutuhan pembangunan tanpa memaksakan tuntutan yang tidak berkelanjutan pada alam lokal atau
global sumber daya dan sistem ”(Satterthwaite, 1992, hal. 3). Dalam pengertian ini, pola konsumsi
kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi perkotaan sebagaimana ditunjukkan dalam bab I dan II
bertanggung jawab atas penggunaan sebagian besar sumber daya yang terbatas di dunia dan
berkontribusi secara signifikan produksi limbah pencemar. Pembangunan berkelanjutan harus fokus
pada kehidupan yang lebih baik dan kondisi kerja bagi masyarakat miskin, termasuk akses yang
terjangkau, dan peningkatan, perumahan, perawatan kesehatan, air dan sanitasi, dan listrik.

Perkiraan pertama untuk konsep keberlanjutan kota yang disebutkan di atas tercermin dalam
Konferensi Rio de Janiero 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations, 1993) dihadiri
oleh lebih dari 178 Pemerintah. Deklarasi Rio 1992 mengintegrasikan dimensi keberlanjutan ekonomi,
sosial, lingkungan, dan kemampuan memerintah dan berdebat untuk penghapusan pola produksi dan
konsumsi yang tidak berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan, dan peran Negara, masyarakat sipil dan
komunitas internasional dalam melindungi lingkungan. Hasil lain dari Konferensi PBB tentang
Lingkungan dan Pembangunan adalah Agenda 21 (PBB, 1993), yang bertujuan untuk mempersiapkan
dunia untuk tantangan abad kedua puluh satu. Agenda 21, yang dibangun di atas konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa berikutnya, mendefinisikan keberlanjutan dalam konteks masalah ekonomi,
sosial, lingkungan dan pemerintahan, mencatat peran yang menentukan dari pihak berwenang dan
sipil.masyarakat di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk penerapan berkelanjutan kebijakan
pembangunan. Namun, Agenda 21 tidak menjelaskan bagaimana konsep keberlanjutan bisa menjadi
dasar terciptanya kota yang berkelanjutan.

Agenda Habitat (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1997), diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa


Konferensi Pemukiman Manusia (Habitat II), yang diadakan di Istanbul dari 3 hingga 14 Juni 1996,
menggemakan keprihatinan yang diungkapkan dalam Agenda 21 sehubungan dengan multidimensi
pembangunan, dan membahas keberlanjutan kota sebagai membutuhkan integrasi yang harmonis
masalah ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada KTT ini, negara - negara melaporkan kemajuan menuju
pencapaian keberlanjutan kota mereka. Namun, Agenda ini masih dibutuhkan untuk memasukkan
perubahan iklim sebagai salah satu ancaman utama untuk membangun kota yang berkelanjutan dan
pengembangan secara umum.

Pada sesi pertama World Urban Forum diadakan di markas Program Pemukiman Manusia PBB
(UN-HABITAT) di Nairobi dari 29 April hingga 3 Mei 2002, diadakan diskusi mendalam tentang urbanisasi
dalam konteks Indonesia pembangunan berkelanjutan. Forum ini menegaskan bahwa menangani
masalah ekonomi, sosial, lingkungan dan pemerintahan merupakan bagian integral dari penciptaan kota
yang berkelanjutan, dan bahwa ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut akan
mencegah pencapaian pembangunan berkelanjutan (Program Pemukiman Manusia PBB (UN-HABITAT),
2002). Pesan-pesan utama Forum dibahas secara komprehensif dan ditegaskan kembali pada KTT Dunia
tentang Pembangunan Berkelanjutan, diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan, dari 26 Agustus hingga
4 September 2002. Baru-baru ini, pendekatan terhadap kota-kota berkelanjutan ini juga digemakan
Deklarasi Rio + 20 (PBB, 2012b, hal.26) dan oleh Sistem PBB Tim Tugas pada Agenda Pembangunan PBB
Pasca-2015 (2012), yang mencakup tata kelola di bawah payung masalah perdamaian dan keamanan
yang lebih luas. Di dunia yang semakin urban yang menuntut cara hidup yang lebih berkelanjutan, tata
kelola perkotaan memerlukan pembinaan perencanaan kota dan manajemen lingkungan, yang meliputi
pengurangan jejak kaki ekologis, dan desentralisasi pengambilan keputusan, dan alokasi sumber daya,
juga sebagai peningkatan koordinasi kebijakan antara otoritas lokal dan nasional.
Dalam konteks ini, mencapai keberlanjutan kota dapat dipahami dengan melibatkan integrasi
empat pilar: pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, manajemen lingkungan, dan tata kelola kota.
Gambar III.4 menyajikan empat pilar untuk mencapai keberlanjutan perkotaan yang mencakup
pencapaian yang seimbang antara sosial dan ekonomi pengembangan, manajemen lingkungan dan
pemerintahan yang efektif. Namun, cara di mana sebuah kota yang mampu membangun keberlanjutan
akan mencerminkan kapasitasnya untuk beradaptasi, dalam konteksnya sejarah tertentu, dengan
prioritas kebijakan dan tujuan yang ditentukan oleh masing-masing pilar.

Integrasi keempat pilar tersebut dapat menghasilkan sinergi, misalnya, antara pengelolaan
limbah dan daur ulang (pengelolaan lingkungan) dan akses ke air dan sanitasi (pembangunan sosial);
antara konservasi kualitas udara dan transportasi umum hijau; dan di antara produksi dan distribusi
sumber energi terbarukan, hijau akses energi, dan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta di
antaranya tujuan mengurangi ketidaksetaraan (tata kelola kota) dan memastikan akses yang memadai
untuk perumahan hijau, pendidikan dan kesehatan (pembangunan sosial). Investasi adalah katalis di
belakang realisasi masing-masing komponen tujuan keberlanjutan perkotaan.

Membangun di atas empat pilar dapat menjadi tantangan bagi banyak kota dan negara. Kota-
kota seringkali berada pada tahap perkembangan yang berbeda dan memiliki respons spesifiknya sendiri
untuk prioritas kebijakan di tingkat lokal dan nasional. Dalam hal ini, set keberlanjutan tantangan yang
harus diatasi oleh kota beragam.

Tantangan terkait dengan membangun kota yang berkelanjutan

Bagian ini menganalisis tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan utama yang terkait dengan
pembangunan kota berkelanjutan di negara berkembang dan maju.
Bagi pemerintah kota, tantangannya termasuk mengamankan sumber daya yang diperlukan
untuk investasi dalam infrastruktur publik tahan bencana, dan sumber energi terbarukan, dan
memberikan insentif kepada sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja yang layak untuk kota
besar populasi yang menganggur dan memiliki akses terbatas ke kondisi perumahan yang baik,air bersih,
sanitasi, drainase, dan sekolah (tabel III.2).

Negara berpendapatan menengah ke atas dan berpenghasilan tinggi dengan populasi perkotaan
itu sudah memiliki akses ke layanan publik dasar menghadapi tantangan menjadi lebih efisien dalam
penggunaan energi dan air, mengurangi timbunan limbah, dan meningkatkan daur ulang mereka sistem.
Pertumbuhan kota sering berjalan seiring dengan meningkatnya penggunaan sumber daya alam dan
sistem ekologi, didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan perubahan ekonomi struktur — dalam hal
pergeseran dari pertanian ke manufaktur dan kemudian ke jasa.Sementara kota dan orang yang lebih
kaya, khususnya, mungkin memiliki sistem sumber daya yang dikelola dengan baik,mereka juga memiliki
dampak ekologis yang lebih besar melalui penarikan sumber daya dari wilayah yang lebih luas. Untuk
contohnya, penduduk yang lebih kaya di New York City, Los Angeles dan Mexico City berkontribusi
sangat terhadap permintaan air tawar dari ekosistem yang jauh, yang kapasitasnya terkena dampaknya
dan yang penggunaannya menghasilkan tingkat polusi dan gas rumah kaca yang signifikan emisi di
tingkat nasional dan global (McGranahan dan Satterthwaite, 2003). Jadi,urbanisasi dapat menjadi
kontributor penting bagi penggunaan sumber daya yang tinggi dan timbulan limbah,keduanya dengan
efek ekologis di tingkat lokal, regional dan global.

Beberapa tantangan paling signifikan terkait dengan pembangunan berkelanjutan kota dibahas
lebih luas di bawah.

Sosial, ekonomi dan tantangan lingkungan mengerahkan langsung dan tidak langsung efek pada kota
dan kehidupan orang-orang di Indonesia mengembangkan dan negara maju

Ketimpangan sosial ekonomi


Ketidaksetaraan antara daerah pedesaan dan perkotaan serta dalam wilayah perkotaan telah
menjadi fitur pembangunan dan urbanisasi di negara-negara berkembang (Cohen, 2006; Baker., ed.,
2012). Kesenjangan antara lingkungan kaya dan miskin dapat menyiratkan perbedaan signifikan dalam
akses untuk peluang kerja dan layanan publik dasar seperti air dan sanitasi, listrik, pendidikan dan
kesehatan, perumahan dan komunikasi. Akibatnya banyak penduduk perkotaan di negara-negara
berkembang menderita berbagai tingkat kesehatan lingkungan masalah yang terkait dengan akses yang
tidak memadai ke air bersih, layanan pembuangan limbah, dan limbah padat pembuangan. Di banyak
kota di negara berkembang, layanan air dan sanitasi memadai sebagian besar disalurkan ke lingkungan
kelas atas dan menengah, sementara berpenghasilan rendah lingkungan seringkali bergantung pada
sumur air yang jauh dan tidak aman serta penjual air swasta yang mengenakan harga lebih tinggi
daripada tarif publik untuk pengiriman air (Cohen, 2006). Orang miskin sering tinggal di rumah yang
sangat padat di gubuk yang tidak memiliki infrastruktur dasar dan jasa. Secara keseluruhan, kurang dari
35 persen kota di negara berkembang memilikinya air limbah yang diolah, sementara secara global, 2,5
miliar dan 1,2 miliar orang kekurangan sanitasi yang aman dan akses ke air bersih, masing-masing
(Program Pemukiman Manusia PBB (UN-Habitat), 2012). Untuk tinjauan umum dan penilaian yang lebih
luas tentang dampak sosial dan ketidaksetaraan ekonomi, lihat juga bab I dan II.
Akses perkotaan yang lebih luas ke layanan publik, peluang penghasilan dan interaksi sosial yang
lebih luas di kota-kota telah mendorong migrasi internal desa-kota di banyak negara berkembang
selama 60 tahun terakhir (Beall, Guha-Khasnobis dan Kanbur, eds., 2012). Kecepatan urbanisasi pada
akhirnya melampaui batas peluang ekonomi yang disediakan oleh kota-kota, menjadikan kemiskinan
sebagai ciri menonjol kehidupan kota. Cohen (2006) menunjukkan bahwa biaya kemacetan di kota-kota
besar mungkin tinggi, karena keuntungan kesejahteraan telah menurun di banyak kota di negara
berkembang sejak tahun 1970-an. Apalagi yang naik ketidaksetaraan perkotaan di, misalnya, Brasil, Cina,
dan Filipina pada 1990-an konsisten dengan adanya pasar tenaga kerja perkotaan yang sangat
heterogen, yang merupakan bagian dari hasil dari eksposur tingkat tinggi mereka ke pasar dunia.

Sosial, ekonomi dan tantangan lingkungan mengerahkan langsung dan tidak langsung efek pada kota
dan kehidupan orang-orang di Indonesia mengembangkan dan negara maju Ketidaksetaraan dalam
akses ke layanan dasar antara daerah pedesaan dan perkotaan serta di dalam kota daerah telah khas
fitur urbanisasi di negara berkembang
Mitlin dan Satterthwaite (2012) menunjukkan bahwa 1 dari 7 orang di dunia hidup dalam
kemiskinan di daerah perkotaan, terutama di permukiman informal di negara berkembang, dengan
persediaan air, sanitasi, perawatan kesehatan dan sekolah yang tidak memadai. Namun, kemiskinan
kota adalah masih diremehkan terutama karena metodologi yang tidak memadai yang digunakan untuk
mendefinisikan dan mengukur kemiskinan. Misalnya, garis kemiskinan $ 1,25 per hari tidak serta merta
lebih tinggi biaya makanan dan barang-barang bukan makanan di kota-kota besar, sementara indikator
peningkatan penyediaan air termasuk keran umum dan pipa tegak yang sering tidak menyediakan air
yang aman dan teratur.
Sekitar 1 miliar orang, tidak memiliki infrastruktur dan layanan dasar, saat ini hidup di daerah
kumuh, yang jumlahnya mungkin berlipat tiga kali lipat pada tahun 2050 jika tidak ada kerangka kerja
kebijakan untuk mengurangi pertumbuhan mereka (Program Pemukiman Manusia PBB (UN-
Habitat),2012). Lebih dari setengah penduduk kota di negara-negara Afrika sub-Sahara dan 40 persen di
Asia tidak memiliki akses ke sanitasi dasar (Baker, ed., 2012). Pertumbuhan kota di Indonesia negara-
negara paling tidak maju, khususnya, sering kali menghasilkan peningkatan jumlah orang hidup dalam
kondisi genting sehubungan dengan mata pencaharian dan pekerjaan mereka, yang efek pada
lingkungan berbahaya melalui penggunaan energi "kotor", mis., kayu dan arang, untuk memenuhi
kebutuhan energi dasar.
Di tingkat regional, data disediakan oleh Pemukiman Manusia PBProgram (UN-Habitat) (2010)
menunjukkan bahwa 62 persen populasi perkotaan di subSaharan Afrika hidup di daerah kumuh, suatu
proporsi yang diperkirakan akan meningkat pada dekade mendatang. Permukiman kumuh di Amerika
Latin dan Karibia serta kawasan Asia menampung sekitar 24 persen dan 30 persen dari populasi
perkotaan, masing-masing.
Lebih jauh, migran internasional yang bekerja di pekerjaan berketerampilan rendah telah
semakin bergabung dengan jajaran orang miskin di kota-kota utama baik yang sudah maju maupun yang
sedang berkembang di suatu negara. Industri dan perdagangan utama seperti produksi dan pemrosesan
makanan, konstruksi dan perbaikan, pemeliharaan gedung, menyetir taksi, industri garmen, layanan
rumah tangga, dan pertanian sering melibatkan sebagian besar pekerja imigran. Sering hidup dalam
kondisi tidak aman dan berkualitas rendah dalam hal perumahan dan layanan publik, banyak imigran
tidak berdokumen dan kehilangan haknya. Di New York City dan kota - kota lain di Indonesia Amerika
Serikat, misalnya, kondisi tenaga kerja yang tidak aman bagi banyak imigran pekerja termasuk jadwal
kerja hingga 60-72 jam per minggu dan tidak ada manfaat sosial seperti perawatan kesehatan dan
jaminan sosial (Orrenius dan Zavodny, 2009; Passel, 2006).
Kapasitas gepeng dan melemah
Banyak kota besar juga mengalami peningkatan yang meningkat selama 50 tahun terakhir, yang
menantang perencanaan Kota. Warga yang lebih kaya telah memilih untuk tinggal di pinggiran kota di
mana mereka menikmati privasi yang lebih besar, memiliki rumah yang lebih besar dan sekolah yang
lebih baik untuk anak-anak mereka, dan sekarang terhindar harus menggunakan transportasi umum dan
menanggung suasana hiruk pikuk kota pusat kota. Sebagai akibatnya, jejak karbon penghuni yang lebih
kaya, rumah tangga dan lingkungan seringkali jauh lebih tinggi daripada penduduk kota lainnya
(McGranahan dan Satterthwaite, 2003).
Kota-kota kecil dengan penduduk kurang dari 500.000 mengalami berbagai jenis kerentanan.
Meskipun ada banyak keragaman dalam struktur ekonomi mereka, banyak kota-kota kecil di negara
berkembang memiliki ekonomi yang sangat lemah dan komunikasi yang tidak memadai dengan kota
yang lebih dinamis secara ekonomi. Kota-kota ini cenderung memiliki infrastruktur yang tidak memadai
untuk penyediaan layanan publik dasar, yang mungkin berkualitas rendah. Akses mungkin memakan
waktu, mahal dan berisiko (dalam kasus, misalnya transportasi umum). Tanah yang buruk manajemen
dan kapasitas perencanaan kota yang lemah adalah bagian dari masalah. Kekurangannya dalam tata
kelola kota, pembangunan institusi dan penyesuaian untuk mengubah pengembangan lahan kondisi
telah mengurangi kemungkinan nyata untuk meningkatkan perencanaan kota (Cohen, 2006).

Akses energi

Bagian ini menyoroti perbedaan antara kebutuhan energi rumah tangga kota miskin dan negara
dengan yang kaya. Akses ke sumber energi yang lebih bersih secara intrinsik terkait untuk
pengembangan, dan sebaliknya. Negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) yang lebih tinggi
per kapita (mis., di atas US $ 4.000) dikaitkan dengan penggunaan listrik hingga di atas 60 persen dari
populasi perkotaan, dan penggunaan kayu dan arang untuk memasak dengan proporsi rendah rumah
tangga perkotaan (mis., 20 persen atau kurang) . Faktanya, kota-kota di sebagian besar negara-negara
berpenghasilan menengah memiliki akses ke listrik, termasuk Amman, Bogota, Buenos Aires, Kairo,
Caracas, Jakarta, Rabat, Rio de Janeiro dan Santo Domingo (Satterthwaite dan Sverdlik, 2013).

Demikian pula, sementara hanya 18 persen penduduk perkotaan di negara-negara berkembang


menggunakan kayu dan arang untuk memasak, proporsi untuk negara-negara berkembang hampir
empat kali lebih tinggi. Secara keseluruhan, ada sekitar 680 juta orang di negara berkembang tanpa
akses ke bahan bakar modern (tabel III.3). Kurangnya akses ke listrik dikaitkan dengan pemukiman
perkotaan informal di mana penghuni biasanya memiliki biaya transportasi tinggi dan perumahan
berkualitas buruk. Penggunaan bahan bakar murah menyiratkan peningkatan deforestasi, polusi, risiko
kesehatan, biaya energi, dan beban waktu. Orang miskin sering harus menghabiskan banyak waktu
untuk itu bepergian untuk membeli atau mengumpulkan bahan bakar tersebut. Sebaliknya, pasokan
listrik biasa sering kali lebih murah dan lebih aman, dan dapat digunakan untuk peralatan rumah tangga
(mis., lampu yang dibutuhkan oleh anak-anak saat mengerjakan pekerjaan rumah dan membaca) dan
perusahaan rumahan.
Efek perubahan iklim memperdalam kerentanan kota-kota di negara-negara miskin dan mengancam
ketahanan dan kapasitas adaptasi kota di negara yang lebih kaya

Dampak umum dan berbeda dari bahaya alam

Dampak buruk ketidaksetaraan sosial pada kesehatan manusia dan lingkungan berlipat ganda
ketika kita memperhitungkan dampak buruk dari bencana "alami". Bahaya alam terkait untuk peristiwa
perubahan iklim juga meningkat dalam intensitas dan frekuensi. Sebagian besar bencana cenderung
terjadi di negara-negara berkembang dan biaya manusia dalam hal jumlah orang yang terkena dampak
dan hilangnya nyawa manusia jauh lebih tinggi di negara-negara ini. Namun, beberapa negara maju juga
sudah mulai terpengaruh walaupun pada umumnya lebih besar ketahanan (Perserikatan Bangsa-Bangsa,
2011b). Mutizwa-Mangiza (2012) menunjukkan bahwa 40 persen dari populasi perkotaan dunia, banyak
dari mereka miskin dan rentan terhadap badai, banjir dan kenaikan permukaan laut (mis., Brasil selatan,
Cina, Vietnam dan Honduras), hidup kurang dari 100 kilometer dari pantai (lihat juga Bank Dunia, 2009).

Dampak gabungan dari kenaikan permukaan laut, banjir, gelombang panas, dan badai telah
mempengaruhi jutaan mata pencaharian, rumah dan kehidupan di berbagai negara, dengan proyeksi
yang menunjukkan bahwa tren akan terus berlanjut dan, dalam beberapa kasus, memburuk (PBB,
2011b). Negara-negara berpenghasilan menengah seperti Cina, India, Indonesia, Filipina, dan Vietnam
Nam memiliki jumlah banjir dan badai tertinggi yang digabungkan selama tahun 2000-2009. Kota-kota
yang terletak di sepanjang Pantai barat Afrika dan garis pantai Asia Selatan, Timur dan Tenggara telah
dipengaruhi oleh kenaikan permukaan laut, banjir dan intrusi garam dalam aliran sungai dan air tanah,
yang membahayakan kualitas air bersih. Morbiditas dan mortalitas endemik akibat penyakit diare
diproyeksikan meningkat di wilayah ini. Pengurangan Andes gletser dan pencairan gletser Himalaya
telah mengganggu produksi reguler pembangkit listrik tenaga air dan berkurangnya pasokan air di
banyak kota (Bank Dunia, 2010a).

Bahkan, kemungkinan bencana besar telah menyita perhatian para pembuat kebijakan,
terutama di negara-negara yang memiliki garis pantai yang panjang, termasuk Australia, Cina, Prancis,
Indonesia, Filipina, dan Amerika Serikat. Perkembangan pesisir di perkotaan pusat cenderung
mempertajam risiko bencana dari kenaikan permukaan laut dan peningkatan intensitas dan frekuensi
badai dan banjir (Lee dkk., 2012). Meskipun risiko bencana seperti kekeringan secara tidak proporsional
mempengaruhi daerah pedesaan, telah terjadi bencana baru-baru ini di perkotaan daerah — seperti
gempa bumi di Jepang (2011), Haiti (2010), Chili (2010) dan Cina (2010); banjir di Cina (2010), Pakistan
(2010), Brasil (2010, 2011) dan Bangkok (2012); dan kerusakan parah yang terjadi di kota-kota di
sepanjang Pantai Timur Amerika Serikat mengikuti Hurricane Sandy (2012) —yang menyoroti fakta
bahwa risiko bencana perkotaan adalah juga kenyataan. Konsentrasi orang dan kegiatan ekonomi di
daerah yang berisiko dari peristiwa cuaca ekstrim atau gempa bumi dapat mengganggu rantai pasokan
global, mengurangi ekonomi output, membalikkan keuntungan pembangunan, dan mempengaruhi mata
pencaharian orang miskin yang sering tinggal di area-area tersebut (Baker, ed., 2012; Kantor PBB untuk
Pengurangan Risiko Bencana, 2013).

Badai yang lebih kuat dan intrusi air laut dalam sistem air telah melemahkan kapasitas adaptif di
kota-kota pesisir baik di negara maju maupun negara berkembang. Kerusakan pada infrastruktur di
bekas dan melemahnya ketahanan di yang terakhir mengancam ruang kebijakan mereka untuk
mengambil langkah-langkah adaptasi yang efektif dan mengembangkan kapasitas untuk membangun
kembali.

Efek terintegrasi dari tantangan yang dijelaskan di atas mengancam ekonomi ketahanan kota
dan meningkatkan kerentanan mereka. Kota-kota harus mulai memahami itu tantangan sebagai peluang
untuk investasi dan membangun kota untuk berfungsi sebagai pilar utama untuk dunia yang
berkelanjutan.

Tantangan juga menawarkan a peluang strategis untuk pendekatan terintegrasi untuk perencanaan kota
dan investasi dalam transformasi industri, infrastruktur, sosial pengembangan dan manajemen
lingkungan

Peluang untuk membangun kota yang berkelanjutan

Seperti ditunjukkan di atas, ada tantangan dan peluang yang terkait dengan membangun kota
yang berkelanjutan. Dampak multidimensi megatren mewakili peluang strategis untuk mengambil
pendekatan terpadu untuk perencanaan kota dan peluang besar untuk investasi dalam transformasi
industri, peningkatan infrastruktur, pembangunan sosial dan manajemen lingkungan. Pembangunan
berkelanjutan di kota-kota berkembang, di negara-negara miskin khususnya, menyiratkan investasi
dalam infrastruktur seperti jalan, air, selokan, listrik dan layanan seperti sekolah, transportasi umum dan
layanan kesehatan. Investasi melompati dalam transformasi industri hijau dapat menghasilkan lapangan
kerja untuk "tonjolan pemuda" dividen yang dialami oleh negara-negara tersebut. Di kota-kota negara
berpenghasilan menengah dan tinggi, investasi dalam produksi dan penggunaan sumber energi
terbarukan, serta dalam renovasi infrastruktur, perkuatan bangunan dan peningkatan efisiensi dalam
penggunaanlistrik dan air, penting. Pada saat yang sama, investasi dalam strategi untuk pengurangan
produksi limbah dan peningkatan sistem pengumpulan dan daur ulang sampah dibutuhkan di sebagian
besar kota di dunia. Tidak dapat dihindari, akan ada pertukaran antara investasi yang menghasilkan
manfaat dalam jangka pendek, mis., Infrastruktur untuk pembangunan, dan yang dengan manfaat dalam
jangka panjang, seperti perlindungan lingkungan dan pengurangan risiko bencana. Kontribusi kota
terhadap pembangunan berkelanjutan dapat berlipat ganda jika lebih banyak negara berkomitmen
untuk tujuan itu dan ketika orang dapat menghasilkan, mengkonsumsi dan mengaturnya perilaku secara
berkelanjutan. Dengan demikian, keberlanjutan kota didefinisikan dalam kerangka kerja dari pendekatan
terpadu global harus mencakup negara maju dan berkembang.

Pendekatan terintegrasi dan terkoordinasi

Pendekatan terpadu untuk urbanisasi akan didasarkan pada pandangan holistik dari
pembangunan sosial,pembangunan ekonomi, manajemen lingkungan (di tingkat lokal, nasional
dantingkat global) dan komponen tata kelola. Ini akan memerlukan koordinasi tujuan dan program di
antara berbagai pemangku kepentingan kota (mis., warga negara, pemerintah, dan bisnissektor), serta
pengembangan hubungan antara dan dalam sektor sosial ekonomi dan aktivitas. Dalam istilah ekonomi,
pendekatan terpadu mencoba untuk meningkatkan sinergi dan efisiensi di antara berbagai kegiatan
seperti transportasi umum, konsumsi energi, keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia.

Selanjutnya, di bawah pendekatan integratif, pemerintah kota akan mengintegrasikan investasi


dalam berbagai jenis infrastruktur dengan pengembangan kapasitas kelembagaan dan manajemen dan
partisipasi aktif semua pemangku kepentingan dalam proses pembangunan kota yang berkelanjutan.
Kota Curitiba di Brasil telah mendapatkan pengakuan dunia untuk memiliki berhasil mengembangkan
pendekatan terpadu semacam itu untuk keberlanjutan selama 40 tahun terakhir tahun. Deskripsi proses
yang relevan yang terlibat dalam Curitiba ditawarkan dalam kotak III.

2.Di tingkat nasional, integrasi sektor pedesaan dan perkotaan sangat penting. Akses yang lebih
luas ke layanan publik dan pengembangan hubungan dengan pengembangan industri dapat
meningkatkan kapasitas sektor pedesaan untuk bertukar sumber daya dan informasi, dan terlibat dalam
interaksi sosial, dengan daerah perkotaan.

Investasi dalam infrastruktur ekonomi dan sosial di permukiman pedesaan dapat katalis
untuk mengurangi migrasi desa-kota. Meskipun setiap area ditandai dengan konfigurasi berbeda
dari penggunaan lahan, sumber daya dan potensi, integrasi sistemik dari desa, kota, dan kota
yang berbeda dalam konteks spesialisasi khusus mereka dan lokasi strategis dapat membawa
pembangunan berkelanjutan ke wilayah perkotaan dan pedesaan. Kotak IV.2 mengilustrasikan
efek positif dari investasi dalam infrastruktur pedesaan di Uganda keberlanjutan pangan.
Bukti empiris menunjukkan bahwa untuk pendorong pembangunan berkelanjutan di
beberapa negara industri baru di Asia Tenggara (Kamboja, Indonesia, Malaysia) dan Vietnam)
dalam 50 tahun terakhir termasuk peningkatan pembangunan sosial di pedesaan sektor,
peningkatan produktivitas pertanian, dan pasokan pangan, dan dukungan pengambilan keputusan
kapasitas petani. Faktanya, stabilisasi makroekonomi adalah penting sejauh ini karena diarahkan
pada pengurangan kemiskinan, yang dipahami terkonsentrasi di daerah pedesaan (Kees van
Donge, Henley and Lewis, 2012). Henley (2012) berpendapat bahwa keberhasilan ekonomi Asia
Tenggara adalah karena pembangunan pertanian yang berpihak pada rakyat miskin dan
konsistensi historis dalam hal investasi di bidang pertanian, seperti yang terjadi di Malaysia
selama periode 1956-1990. Kebijakan sektor pro-pedesaan tidak sama dengan kebijakan pro-
miskin; misalnya, investasi dalam redistribusi tanah belum tentu berpihak pada orang miskin
ketika uang dialokasikan untuk membeli tanah dan bukan untuk mengimplementasikan program
pengurangan kemiskinan, seperti sebelumnya kasus di Kenya selama 1960-an dan 1970-an.
Jalan menuju membangun kota berkelanjutan mencakup dua jenis investasi, yaitu:
a. Investasi dalam pembangunan infrastruktur dan kapasitas untuk menutup
kesenjangan pembangunan sosial terkait dengan masalah akses ke transportasi
umum yang berkualitas baik, air dan sanitasi, kesehatan, pendidikan, perumahan
dan layanan energi di perkotaan dan daerah pedesaan;
b. Investasi dalam ketahanan perkotaan, termasuk transformasi industri menuju
penggunaan sumber energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja yang layak
dalam warna hijau kegiatan produktif, dan adopsi strategi adaptasi dan mitigasi.

Kota dan negara membutuhkan untuk melakukan investasi dalam infrastruktur publik, energi
terbarukan, energi efisiensi, adaptasi, perkuatan bangunan, dan limbah yang lebih baik dan
sistem daur ulang

Box iii 2
Bagaimana Curitiba menjadi titik referensi untuk pembangunan berkelanjutan

Curitiba, sebuah kota di Brasil selatan, memiliki sekitar 3 juta penduduk (termasuk di
metropolitan daerah). Implementasi Rencana Induk Curitiba dimulai pada masa pemerintahan pertama
Walikota Jaime Lerner pada awal 1970-an. Rencana tersebut bergantung pada integrasi fisik dari sistem
transportasi umum, undang-undang penggunaan lahan dan jaringan jalan yang hierarkis. Struktur

pertumbuhan perkotaan ditandai oleh ekspansi linier di lima "sektor geografis struktural" yang
dilayani oleh "ekspres "bis-bis". Ini menghubungkan pusat kota dengan pinggiran dan kota tetangga
lainnya, dengan prioritas diberikan untuk angkutan umum.

Implementasi Master Plan dilakukan secara bertahap, sesuai dengan persepsi desain perkotaan
yang berkelanjutan sebagai proses jangka panjang. Curitiba pertama kali mengembangkan
kesederhanaan sistem rute ekspres dengan jalur bus khusus. Kemudian mencari cara untuk
meningkatkan dan memperluas sistem. Hasilnya adalah sistem jaringan permukaan yang menyediakan
layanan berkualitas tinggi yang sebanding dengan sistem bawah tanah yang terkenal tetapi dengan
biaya modal yang sekitar 200 kali lebih sedikit. Sebagai Hasilnya, angkutan massal hampir seluruhnya
dibiayai oleh ongkos penumpang.

Pendekatan sistematis untuk transportasi perkotaan telah mengurangi waktu perjalanan dan
meningkatkan kenyamanan bagi penumpang dan wisatawan lainnya. Perusahaan swasta
mengoperasikan bus umum yang penggunaan intensif terus berlanjut meskipun fakta bahwa Curitiba
memiliki salah satu mobil tertinggi tingkat kepemilikan di Brasil. Survei pengendara menunjukkan bahwa
setidaknya 20 persen penumpang bus baru sebelumnya diubah oleh mobil. Kota ini telah menggantikan
beberapa jalan pusat kota dengan luas mal dan area perbelanjaan pejalan kaki. Mengurangi lalu lintas
tampaknya menghasilkan penghematan bahan bakar yang substansial serta mengurangi emisi karbon.
Perkiraan berdasarkan informasi dari URBS, publik-swasta perusahaan yang mengelola sistem,
menyarankan bahwa pengurangan lalu lintas mobil telah menghemat 27 juta liter bahan bakar per
tahun.

Sementara Curitiba terkenal karena sistem transportasi publiknya yang inovatif, ini hanya satu di
antara banyak inisiatif yang telah meningkatkan lingkungan dan mengurangi penggunaan sumber daya.
Misalnya, penghuni perumahan berpenghasilan rendah yang bersubsidi memiliki akses mudah ke
transportasi umum yang rute ke arah Curitiba Industrial City, di mana industri pencemar tidak
diperbolehkan. Curitiba memiliki area hijau 60 meter persegi per penduduk, salah satu tingkat tertinggi
di antara semua kota di Indonesia Dunia. Ruang hijau Curitiba terintegrasi dengan pengendalian banjir;
dan danau buatan di banyak tempat umum taman menyediakan sistem pengendalian banjir untuk
seluruh kota. Kebijakan seluruh kota yang ditegakkan secara ketat memastikan bahwa sungai dan aliran
air dilindungi dan air hujan dikumpulkan dan didaur ulang.

Curitiba juga telah mengimplementasikan program limbah padat yang relevan. “Sampah itu
bukan inisiatif sampah,” yang dibuat pada tahun 1989, mempromosikan daur ulang domestik melalui
pengumpulan terpisah lebih dari seribu ton logam, plastik, gelas dan kertas per bulan. Manfaat
tambahan program ini telah memasukkan perubahan positif dalam sikap penduduk terhadap daur ulang
dan perpanjangan umur tempat pembuangan sampah melalui konservasi ruang yang cukup besar . Itu
Tujuan dari program "Pembelian Sampah" adalah untuk membersihkan daerah padat di masyarakat
berpenghasilan rendah (favelas), tempat van pengumpulan sampah tidak memiliki ruang untuk
bersirkulasi. Masyarakat menjual sampah ke kota dalam pertukaran untuk tas makanan, token bus,
notebook dan tiket untuk pertandingan sepak bola dan memainkan. Fitur inovatif dari program ini
adalah integrasi perbaikan lingkungan dengan inklusi sosial Perencanaan kota adalah tantangan yang
berkelanjutan.

Curitiba telah tumbuh lebih dari empat kali lipat dalam 30 tahun terakhir, yang telah
menghasilkan masalah sosial dan tantangan lingkungan yang terkait dengannya lalu lintas dan
transportasi, penggunaan lahan, pengelolaan limbah dan perumahan. Namun, Curitiba terus berdiri
sebagai titik rujukan yang terlihat untuk pembangunan perkotaan terpadu berdasarkan pada prinsip-
prinsip keberlanjutan. Pelajaran yang paling penting adalah bahwa Curitiba telah mengendalikan
nasibnya sendiri dengan merangkul pendekatan keberlanjutan yang telah membawa manfaat penting.
Pada saat yang sama, sudah menjadi inspirasi bagi ribuan kota kecil dan menengah di seluruh dunia yang
akan dibuat pilihan penting untuk masa depan mereka dan masa depan planet ini.

Hhhhh

Bidang investasi pertama berlaku terutama untuk kota-kota yang berlokasi di negara-negara
berpenghasilan rendah dan harus menjadi bagian dari agenda pembangunan yang didukung oleh
internasional. komunitas dengan tujuan untuk memacu keberlanjutan. Secara khusus, dukungan harus
diarahkan terhadap upaya investasi infrastruktur yang dilakukan oleh negara-negara miskin untuk
mengurangi kemiskinan (lihat kotak III.5 untuk contoh investasi dalam infrastruktur pengolahan limbah
(Dhaka)). Area investasi kedua berlaku terutama untuk kota-kota yang terletak di negara berpendapatan
menengah dan tinggi negara. Dalam kasus ekonomi dengan pertumbuhan cepat, misalnya, sumber daya
dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam dekade terakhir dapat berfungsi
sebagai sarana pembiayaan produksi dan penggunaan energi terbarukan serta membangun ketahanan
terhadap bahaya alam. Semua hal dipertimbangkan, membangun kota yang berkelanjutan
membutuhkan pendekatan terpadu untuk investasi dalam :

(a) pembangunan pedesaan dan akses terjangkau ke layanan publik oleh kaum miskin kota,
(b) transportasi umum yang cepat, andal, mudah diakses, dan terjangkau di Indonesia semua
bentuknya,
(c) transformasi industri berdasarkan produksi dan penggunaan energi terbarukan sumber
energi dan penciptaan pekerjaan yang layak,
(d) perkuatan bangunan dan peningkatan jumlah area hijau,
(e) peningkatan efisiensi dalam penggunaan air dan listrik dan
(f) pengelolaan limbah dan sistem daur ulang yang efektif.

Sebuah studi tentang rumah tangga perkotaan di Amerika Serikat oleh Holian dan Kahn (2013)
menunjukkan bahwa investasi dan langkah-langkah efektif untuk mengurangi polusi udara dan
kejahatan di wilayah pusat kota telah menghasilkan kepadatan populasi perkotaan yang lebih tinggi dan
mengurangi karbon per kapita emisi Plan Verde dari Mexico City juga membuat langkah positif dalam
mengurangi urban polusi udara dan emisi karbon (kotak III.3). Investasi hijau di negara-negara miskin
akan memungkinkan mereka untuk melompat penggunaan energi kotor / tinggi-karbon untuk jalur
pengembangan rendah / nol-karbon. Diperlukan investasi dalam renovasi infrastruktur transportasi
serta program pendidikan yang menghargai efisiensi dalam penggunaan layanan publik. Rumah tangga
dan bisnis di kota Jakarta negara-negara berpenghasilan menengah dan tinggi akan perlu terus
berinvestasi dalam meningkatkan kualitas hidup di pusat-pusat kota dan untuk menciptakan insentif
untuk retrofit bangunan dan subsidi untuk memproduksi dan mengkonsumsi sumber energi bersih .
Kotak III.4 mencantumkan 10 hal penting untuk investasi dan langkah-langkah untuk mengurangi risiko
bencana, termasuk investasi dalam infrastruktur kritis, dan sistem peringatan dini, dan keterlibatan
langsung masyarakat dalam menentukan prioritas pencegahan dan rekonstruksi.

Pertukaran antara investasi? Perdagangan atau antara investasi ?

Kota-kota dengan jumlah permukiman informal yang terus bertambah sedang berusaha memenuhi
kebutuhan dasar perkotaan kebutuhan infrastruktur, seperti untuk transportasi umum, air pipa bersih,
sistem drainase dan pengelolaan limbah. Akibatnya, investasi dalam adaptasi terhadap perubahan iklim
dapat terjadi mengambil kursi belakang untuk investasi dalam pengembangan. Selain itu, ketahanan
bangunan telah terkendala oleh infrastruktur yang buruk, institusi yang lemah dan kurangnya
penegakan perencanaan peraturan, mis., di Pakistan. Demikian pula di Narok dan Kisumu (Kenya) dan
Moshi (Bersatu Republik Tanzania), kapasitas terbatas, pengetahuan dan koordinasi kotamadya, dan
prioritas yang bersaing, telah mencegah penerapan strategi pengurangan risiko bencana (Kantor PBB
untuk Pengurangan Risiko Bencana, 2013).

Rekonstruksi pascabencana adalah bidang lain di mana kota-kota sering menghadapi trade-off
antara berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan dan membangun kembali layanan. Seperti yang
diamati oleh Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (2012b), ketegangan sering muncul
sebagai hasil dari permintaan yang bersaing untuk kecepatan pengiriman dan keberlanjutan hasil.
Tanggapan dan dana rekonstruksi cenderung terbatas waktu, seringkali membutuhkan pengeluaran di
dalamnya 12 bulan atau kurang dari saat pencairan, dengan mengabaikan imbalan jangka panjang.
Tekanan semacam itu diperparah oleh kenyataan bahwa banyak lembaga bekerja dengan sumber daya
dan koordinasi yang terbatas. Memang, pertukaran seringkali merupakan produk sampingan dari
pendekatan jangka pendek versus investasi jangka panjang dalam solusi pembangunan berkelanjutan
win-win.

Bahkan, trade-off antara investasi sering dikaitkan dengan apakah atau tidak tidak ada insentif
yang ditetapkan secara formal untuk jenis investasi tertentu. Wu dan yang lainnya (2013) berpendapat
bahwa, di Tiongkok, investasi dalam infrastruktur transportasi, mis., Jalan dan elektrifikasi, cenderung
menarik lebih banyak insentif dan karena itu lebih banyak penghargaan daripada investasi di lingkungan.
Untuk alasan ini, otoritas perkotaan setempat sering memprioritaskan tipe investasi sebelumnya
berdasarkan korelasinya yang lebih tinggi dengan pertumbuhan PDB riil, karier promosi dan pendapatan
kota dari penjualan sewa tanah. Akibatnya, investasi di lingkungan cenderung terkena dampak negatif.

Nox iii

Rencanakan Verde dari Mexico City

Pada tahun 1990, Mexico City memiliki 333 hari di mana tingkat ozon naik di atas standar nasional
Meksiko. Pada tahun 2006, kota ini mengembangkan Plan Verde 15 tahun yang mencakup tujuan
mengurangi gas rumah kaca emisi sebesar 7 juta metrik ton selama 2008-2012, yang dicapai tepat
waktu. Rencana tersebut juga memiliki komponen pendidikan bisnis dan warga. Hampir 20 agen kota
telah bekerja bersama-sama untuk mengoptimalkan penggunaan investasi $ 1 miliar per tahun, yang
mewakili sekitar 7 per sendari anggaran tahunan kota. Pada 2009, jumlah hari dengan tingkat ozon di
atas standar itu turun menjadi 180. Selain itu, jumlah rata-rata jam per hari selama standar ozon itu di
atas norma turun dari 4,9 pada tahun 1990 menjadi hanya 1,5 pada tahun 2009 .Selain meningkatkan
kualitas udara, rencana tersebut mencakup "pilar" lain yang meliputi: tanah konservasi; tempat umum;
pengelolaan dan daur ulang sampah; pasokan air dan sanitasi; iklimperencanaan tindakan; dan
transportasi dan mobilitas. Upaya kota untuk mengendalikan polutan atmosfer termasuk mengganti
taksi yang sudah tua, mikroba, dan armada pemerintah dengan kendaraan rendah emisi,
memperkenalkan program berbagi sepeda, dan membangun sistem angkutan cepat bus. Kota ini
menawarkan insentif pajak 10 persen dari nilai bangunan untuk promosi atap hijau. Pada bulan
Desember 2011, atap hijau seluas 21.000 meter persegi telah dipasang di gedung-gedung publik dan
perusahaan swasta. Kota ini juga telah mengimplementasikan 22 program pada 11.000 hektar lahan
konservasi untuk memperbaiki pengelolaan air dengan mengurangi kehilangan tanah karena erosi air
dan angin. Untuk mengurangi dampak pertumbuhan populasi dan peningkatan armada kendaraan, kota
memiliki rencana untuk mengganti kendaraan pemerintah resmi dengan unit hemat bahan bakar dan
berpolusi rendah. Pada 2012,empat jalur sistem angkutan cepat bus yang menggunakan bahan bakar
diesel sulfur rendah pembakaran rendah telah diresmikan. Kota ini menginvestasikan $ 2 miliar dalam
membangun jalur metro kedua belas dan menyediakan subsidi untuk mengganti taksi tua. Hingga
Desember 2011, 75.000 taksi telah diganti dengan yang lebih banyak kendaraan yang efisien dan 12.695
taksi telah dihapus. Kota ini membatasi penggunaan kendaraan pada tingkat tertentuhari dan di zona
lalu lintas tinggi tertentu sebagai bagian dari program Hoy no circula yang dirancang untukmengurangi
lalu lintas dan emisi. Kota ini juga telah memperkenalkan strategi mobilitas sepeda(EcoBici),yang
mencakup penyewaan sepeda gratis dan pembuatan jalur sepeda baru sepanjang 21 kilometer. Kota ini
memiliki juga membangun infrastruktur parkir sepeda di stasiun kereta bawah tanah metro utama. Pada
Desember 2011, EcoBici telah menyediakan 1.200 sepeda di 90 stasiun sepeda dan memiliki 35.000
pengguna terdaftar, yang telah menggunakannya total 3 juta perjalanan. Dengan berfokus pada
peningkatan kualitas udara di berbagai dimensi termasuk penggunaan lahan,transportasi, pengelolaan
limbah dan perencanaan aksi iklim, kota ini telah menghasilkan efektif program di bidang yang
tampaknya tidak terkait seperti penggunaan dan pasokan air.

Bangunan berkelanjutan kota memerlukan integrasi dan koordinasi di antara sosial, ekonomi dan sektor
lingkungan sebagai serta dalam sektor-sektor tersebut sebagai transportasi

Belajar sambil bekerja dalam membangun kota yang berkelanjutan

Membangun kota yang berkelanjutan memerlukan integrasi dan koordinasi antar sektor.
Sebagai contoh, rencana pertanahan perlu memasukkan ruang untuk industri, perumahan, dan area
hijau, untuk diintegrasikan dengan ruang yang memadai untuk akses ke transportasi umum. Beberapa
tumpang tindih akan ada karena investasi dalam infrastruktur hijau, misalnya, dapat menyiratkan
pengurangan CO2  emisi, sementara perlindungan area hijau dapat mencakup pengelolaan sumber air
tanah.

Demikian pula, integrasi dalam sektor-sektor seperti transportasi akan mencakup


pengembangan hubungan antara berbagai moda transportasi (mis., bus, trem, metro, sepeda, dan
berjalan kaki) untuk mengurangi waktu perjalanan, emisi gas, dan penggunaan mobil pribadi. Cina,
Daerah Administratif Khusus Hong Kong, misalnya, memiliki jaringan luas minibus milik pribadi;
memelihara sistem trem tarif rendah di pusat kota tradisional; dan memiliki hubungan koneksi pejalan
kaki yang efektif dengan bangunan komersial yang berlipat ganda kapasitas pejalan kaki, mengarahkan
orang menjauh dari kebisingan dan asap yang dihasilkan oleh bermotor lalu lintas. Demikian pula,
Bangkok telah mengadopsi bus rapid transit (BRT), “sistem transportasi yang memobilisasi bus
berkapasitas tinggi di sepanjang rute dengan halte terbatas ”(Lim, 2012, hlm. 36).

Dalam hal pengelolaan air, kota menghadapi tantangan akses dan efisiensi. Phnom Penh dan
Cape Town telah mampu menghadapi tantangan dengan menyediakan air bersih dengan harga
terjangkau untuk semua orang, termasuk orang miskin yang tinggal di pinggiran kota. Singapura punya
mengatasi ketergantungan air jangka panjang dengan tindakan multi-cabang yang termasuk
pemasangan pabrik desalinasi dan daur ulang air limbah (Lim, 2012).

Lampiran bab ini menetapkan berbagai profil dan pengalaman kebijakan dari sampel kota dalam
hal membangun keberlanjutan perkotaan. Tidak tergantung ukurannya atau luasnya pengalaman, setiap
kota telah memulai jalannya sendiri menuju keberlanjutan kota. Kota-kota seperti Curitiba, Kopenhagen
dan Freiburg memiliki pengalaman yang lebih besar di membangun keberlanjutan, dan beberapa
pencapaian mereka telah menjadi model untuk kota-kota lain; misalnya, sistem bus terintegrasi Curitiba
telah ditiru oleh Sistem bus TransMilenio di Bogotá, Metrovia di Guayaquil, dan Metrobús di Meksiko
Kota. Kota-kota lain baru saja mulai merancang dan mengimplementasikan rencana keberlanjutan.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kota-kota siap menjadi pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam
pengertian ini, urban tata kelola (gambar III.4) juga dapat mempromosikan pembangunan yang lebih
seimbang dan inklusif untuk memastikan penggunaan sumber daya lokal dan nasional yang lebih efektif.

Sebagai bidang kebijakan, sektor-sektor yang ditunjukkan dalam lampiran menangkap ekonomi,
sosial dan aspek lingkungan dari keberlanjutan perkotaan. Tindakan dan kegiatan khusus terdaftar di
setiap sel tidak harus merupakan semua tindakan yang diambil oleh masing-masing kota; agak, mereka
terutama mencerminkan informasi relevan yang ditemukan dan beberapa inisiatif prioritas yang
disepakati yang telah dilakukan oleh kota. Secara khusus, beberapa kota telah cukup aktif mendukung
infrastruktur hijau (dalam bangunan dan transportasi); energi terbarukan dan pengurangan CO2  emisi;
dan pengelolaan limbah dan daur ulang.
Tantangan keberlanjutan yang dihadapi oleh setiap kota beragam dan mencerminkan ukuran
ekonomi, kapasitas teknologi, dan populasi (mis., Shanghai memiliki 21 juta penduduk, sementara Ilo
memiliki 53.000 penduduk), serta prioritas pengembangannya. Informasi dan teknologi komunikasi (TIK)
dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas hidup; Namun, adopsi TIK
tergantung pada kapasitas untuk meningkatkan dan fleksibilitas untuk implementasi dalam pengaturan
perkotaan yang berbeda. Memang, TIK juga menawarkan kesempatan untuk mengintegrasikan
infrastruktur kota, termasuk utilitas, real estat, transportasi dan layanan publik lainnya (Falconer dan
Mitchell, 2012).
Prioritas kota ditentukan oleh kapasitas perencanaan kota mereka sendiri dan oleh tantangan
pembangunan yang mendesak yang mereka hadapi. Pemangku kepentingan yang berbeda, yang datang,
mis., dari sektor bisnis, profesional, pemerintah dan politik, sering berkumpul untuk berdiskusi
bagaimana membangun keberlanjutan kota tertentu. Pandangan individu mereka tentang keberlanjutan
kota harus disintesis untuk menghasilkan common denominator, mis., Bahasa yang sama dan
pendekatan terpadu untuk implementasi. Survei yang disajikan dalam lampiran mengungkapkan
kesenjangan yang ada dan keragaman prioritas kebijakan yang diadopsi di berbagai kota. Sebagai
contoh, perumahan di Kampala adalah prioritas karena fakta bahwa 60 persen penduduknya tinggal di
daerah kumuh, sementara di Paris satu prioritas adalah memastikan implementasi program isolasi untuk
bangunan tua dalam rangka meningkatkan efisiensi energi rumah tangga. Di sisi lain tangan, itu adalah
Proyek Udara Bersih yang paling penting di Ilo, sebuah kota yang pertambangannya kegiatan telah
menghasilkan "salah satu tingkat polusi udara tertinggi di dunia" (Boon, Alexaki dan Herrera Becerra,
2001, hal. 215). Perbaikan infrastruktur air sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi
penggunaan air di daerah perkotaan besar seperti Mexico City, sementara perlindungan air tanah untuk
memastikan pasokan air minum yang aman dan pengurangan konsumsi air per kapita adalah prioritas
utama di Shanghai dan Freiburg.

Dalam konteks ini, fakta bahwa kota-kota berbeda dalam kompleksitasnya menentang
pendekatan “satu ukuran cocok untuk semua” menuju keberlanjutan, karena perbedaan-perbedaan
seperti itulah yang menyebabkannya prioritas, sasaran dan jalur juga beragam. Dengan demikian,
ukuran kemajuan akan disesuaikan untuk tantangan dan peluang tertentu yang ditentukan dan
diprioritaskan oleh kota-kota ' pemangku kepentingan utama. Namun, penetapan peran pemangku
kepentingan harus mendahului pengembangan a rencana keberlanjutan. Misalnya, Pemerintah harus
mengembangkan standar teknis, mis., membangun kode sambil bekerja erat dengan sektor swasta;
pada gilirannya, sektor swasta harus mengembangkan proses untuk bermitra dengan pemerintah,
akademisi dan organisasi non-pemerintah "untuk memastikan solusi yang fungsional dan layak secara
ekonomi" (Falconer dan Mitchell, 2012). Penting untuk menggarisbawahi pentingnya rencana
perumahan yang ambisius dan integrasi infrastruktur transportasi umum yang sukses di beberapa kota.
Dalam kasus ini, Perlu disebutkan bahwa China berencana untuk membangun hingga 36 juta flat
bersubsidi pada tahun 2015 untuk orang-orang berpenghasilan rendah, terutama untuk pekerja
pedesaan yang datang untuk bekerja sementara di kota dan tidak mampu membeli perumahan yang
layak. Proyek perumahan bersubsidi serupa juga direncanakan di Bangkok dan Kuala Lumpur untuk
mengurangi permukiman kumuh dan liar (Lim, 2012). Tentu saja, kualitas perumahan yang akan
dibangun dalam hal keberlanjutan (berdasarkan, misalnya, pada bahan yang digunakan dan efisiensi
energi) perlu dinilai. Itu tantangan yang dihadapi oleh kota-kota ini dalam hal penyediaan perumahan
yang memadai sangat besar. Misalnya, populasi terapung yang luas beredar di sebagian besar kota di
Cina, yang penting bagi keberhasilan ekonomi mereka, tidak memiliki akses ke layanan Pemerintah
(Mitlin dan Satterthwaite, 2012).

Secara umum, integrasi dan koordinasi berbagai infrastruktur dan moda transportasi umum
menghemat waktu dan energi perjalanan dan mengurangi kemacetan dan emisi karbon; keberhasilan
langkah-langkah ini telah dilaporkan di kota-kota seperti Kopenhagen, Curitiba, Freiburg dan Paris . Kota-
kota lain, seperti Bangkok, Lima, Mexico City dan Singapura, juga berupaya mengintegrasikan berbagai
bentuk mobilitas publik. Di banyak kota-kota ini, tujuannya adalah untuk mengurangi waktu transportasi
antara rumah, kota dan tempat kerja, jadi untuk mengurangi konsumsi energi dan memastikan bahwa
orang memiliki lebih banyak waktu untuk menjadi produktif dan menikmati kehidupan kota.

Copenhagen's Finger Plan 2007 mencakup perlindungan sabuk hijau dan pembatasan
pengembangan gepeng melalui penggunaan lahan kota yang lebih baik, dengan bangunan kompak baru
terletak di dekat transportasi umum dan layanan lainnya. Perlindungan sabuk hijau penting untuk
mengurangi emisi karbon dan mendukung pertanian perkotaan, yang dapat memberikan lapangan kerja
bagi petani lokal, membawa hasil bumi segar ke penduduk kota, dan menstabilkan harga pangan, karena
biaya transportasi dan pengemasan dengan demikian berkurang. Lebih penting, publik langsung
Partisipasi sangat penting untuk perencanaan undang-undang di Kopenhagen, melalui, misalnya, Proyek
Dialog Warga, yang dibiayai melalui anggaran tahunan kota.

Freiburg mempromosikan integrasi dan pencampuran fungsi dalam compact bangunan dan
lingkungan yang meliputi toko, kantor medis, sekolah, gereja dan taman bermain anak-anak, termasuk
ruang hijau terdekat. Produksi energi terbarukan didorong melalui kredit pajak dari Pemerintah federal
dan subsidi dari utilitas regional Badenova; Skema pembiayaan akar rumput juga memungkinkan warga
negara untuk berinvestasi langsung di sumber energi terbarukan.

Penting untuk mencatat tingkat kesadaran yang telah dicapai beberapa kota sehubungan
dengan pengurangan limbah dan daur ulang untuk keberlanjutan kota. Limbah diolah sebagai bahan
baku dan sumber energi di Freiburg, sementara kota-kota seperti Kopenhagen, Curitiba, Kampala,
Shanghai, Singapura dan Stockholm, telah membuat kemajuan signifikan dalam daur ulang dan
mengurangi limbah. Kemitraan swasta-publik sering menjadi kunci pembiayaan dan meningkatkan
pengumpulan dan transformasi limbah. Meskipun oleh banyak akun, Dhaka mencontohkan sebuah kota
dengan pola pertumbuhan yang tidak berkelanjutan, kotak III.5 menunjukkan bahwa, bahkan dalam
keadaan seperti itu, adalah mungkin untuk membangun kemitraan yang efektif di atas solid penanganan
limbah. Terakhir, di banyak kota, penggunaan sepeda menjadi bagian penting transportasi umum.
Pendidikan dan inisiatif untuk mencegah sirkulasi mobil (mis., melalui pengenaan tarif yang lebih tinggi
selama jam-jam sibuk di Singapura dan Hoy no program sirkula di Mexico City), dan penyediaan
infrastruktur yang memadai, seperti taman sepeda di dekat metro dan jalur sepeda, persewaan sepeda
gratis, dan berbagi sepeda, miliki memfasilitasi adopsi cepat sepeda sebagai alat transportasi dan
penyebaran cepat penggunaannya di kota-kota di negara maju dan berkembang.

Box iv
10 hal penting untuk ketahanan perkotaan

1. Menempatkan organisasi dan koordinasi yang diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan
pengurangan risiko bencana, berdasarkan partisipasi kelompok warga dan masyarakat sipil.
Bangun aliansi lokal. Pastikan bahwa semua departemen memahami peran mereka dalam risiko
bencana pengurangan dan kesiapan.
2. Menetapkan anggaran untuk pengurangan risiko bencana dan memberikan insentif bagi pemilik
rumah, keluarga miskin, masyarakat, bisnis dan sektor publik untuk berinvestasi dalam
pengurangan risiko yang mereka hadapi.
3. Menjaga data terkini tentang bahaya dan kerentanan atau selalu up date datanya. Menyiapkan
penilaian risiko, untuk digunakan sebagai dasar untuk rencana dan keputusan pembangunan
perkotaan, dan memastikan hal ini informasi dan rencana untuk ketahanan kota Anda tersedia
untuk publik dan sepenuhnya dibahas dengan mereka.
4. Investasikan dan pelihara infrastruktur penting yang mengurangi risiko, seperti drainase banjir,
disesuaikan di mana diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim.
5. Nilai keamanan semua sekolah dan fasilitas kesehatan dan tingkatkan mereka, jika perlu.
6. Menerapkan dan menegakkan peraturan bangunan yang realistis sesuai risiko dan perencanaan
penggunaan lahan prinsip Identifikasi lahan yang aman untuk warga berpenghasilan rendah dan
perbarui permukiman informal, dimanapun layak.
7. Pastikan bahwa program pendidikan dan pelatihan tentang pengurangan risiko bencana telah
tersedia di sekolah-sekolah dan komunitas lokal.
8. Melindungi ekosistem dan penyangga alami untuk mengurangi dampak banjir, gelombang badai
dan bahaya lain yang mungkin membuat kota Anda rentan. Beradaptasi dengan perubahan iklim
oleh membangun praktik pengurangan risiko yang baik.
9. Pasang sistem peringatan dini dan kapasitas manajemen darurat di kota Anda dan mengadakan
latihan kesiapsiagaan publik secara teratur.
10. Setelah bencana, pastikan bahwa kebutuhan populasi yang terkena dampak ditempatkan di
pusat rekonstruksi, dengan dukungan untuk populasi dan komunitas mereka organisasi dalam
merancang dan membantu mengimplementasikan tanggapan, termasuk membangun kembali
rumah dan mata pencaharian.

Bertindak secara lokal dengan dukungan nasional dan koordinasi global

Untuk memperkuat kapasitas keuangan dan pengambilan keputusan kota, Pemerintah nasional
perlu mengadopsi pendekatan inklusif dan desentralisasi terhadap penggunaan sumber daya dan
pengembangan. Masalah seperti penuaan yang cepat di negara-negara berkembang menimbulkan
tantangan nyata otoritas perkotaan, yang seringkali tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk
merespons dan karenanya membutuhkan sumber keuangan jangka panjang. Otoritas nasional perlu
meningkatkan desentralisasi dan berbagi sumber daya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi
untuk meningkatkan ruang kebijakan administrasi lokal. Dialog yang efektif antara otoritas perkotaan
dan nasional tentang prioritas pembangunan dapat menjadi sarana untuk mengidentifikasi sinergi dan
bidang pembangunan untuk koordinasi nasional, regional dan global.

Strategi pembangunan berkelanjutan nasional harus secara eksplisit mempertimbangkan kota


sebagai pilar utama untuk membangun keberlanjutan. Beberapa negara sudah mulai membangun kota
berkelanjutan di ibu kota negara seperti Kopenhagen, Oslo dan Stockholm dan di kelompok kota yang
dipilih termasuk Tianjin, Chongqing dan Shenzhen (kota ramah lingkungan) di Cina.

Diperlukan respons internasional yang terkoordinasi. Strategi nasional yang berkelanjutan harus
mencerminkan prioritas pembangunan yang konsisten dengan prioritas kota. Untuk contoh, ketahanan
pangan dan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah dua yang paling cepat prioritas di negara-negara
miskin, sementara pemulihan dari kerapuhan keuangan dan langkah-langkah untuk mengurangi dampak
penuaan dapat menjadi prioritas utama di negara-negara kaya. Dalam kedua kasus, dimuka investasi
dalam kegiatan produktif hijau, infrastruktur, dan penggunaan barang publik secara efisien sangat
penting untuk membangun kota yang berkembang dan berkelanjutan.

Urbanisasi akan benar-benar berkelanjutan hanya jika melibatkan komitmen komunitas global.
Untuk mengatasi tantangan dalam membangun kota yang berkelanjutan, identifikasi prioritas
pembangunan kota yang umum dan dibedakan harus dengan sendirinya diprioritaskan dan prioritas
tersebut harus konsisten dengan kesamaan dan perbedaan tanggung jawab untuk mengatasi dampak
perubahan iklim di antara negara-negara. Lebih lanjut, komitmen yang mengikat antar negara untuk
menghadapi tantangan lintas-perbatasan seperti perubahan iklim dapat sangat meningkatkan efektivitas
strategi keberlanjutan kota.

Box v
Kemitraan di Dhaka untuk mengubah limbah organik menjadi sumber daya dan hasilkan kredit
karbon Perkembangan ekonomi, pertumbuhan populasi dan urbanisasi telah menghasilkan peningkatan
volume dan beragam aliran limbah padat kota di Dhaka, sebuah kota dengan infrastruktur dan
kemampuan perkotaan yang terbatas. Kota ini menghasilkan 3.500 metrik ton sampah kota setiap hari,
yang diangkut ke a sanitasi tempat Pembuangan Akhir. Namun, pengisian tanah yang tidak terkendali
telah menjadi praktik umum di kota, yang tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk pengolahan, daur
ulang, dan pembuangan limbah berbahaya, masalah umum di banyak kota di negara-negara miskin.
Delapan puluh persen limbah padat kota dihasilkan di Dhaka bersifat organik, dengan kadar air yang
ideal untuk didaur ulang menjadi kompos.
Waste Concern, sebuah organisasi penelitian non-pemerintah setempat, bekerja dalam
kemitraan dengan Pemerintah, sektor swasta, lembaga internasional dan komunitas lokal untuk
mengimplementasikan pengomposan berbasis masyarakat. Layanannya mencakup pengumpulan
sampah, pemisahan, dan pengomposan. Sejak diluncurkannya proyek pengelolaan limbah padat pada
tahun 1998, Waste Concern telah melayani 30.000 orang di Dhaka dan 100.000 di 14 kota-kota lain di
Bangladesh, termasuk yang rendah dan masyarakat berpenghasilan menengah. Proyek ini telah
menghasilkan peluang kerja baru dan mata pencaharian yang lebih baik di komunitas.
Pengaturan keuangan yang inovatif mencakup keterlibatan masyarakat dan kerja sama swasta.
Masyarakat memanfaatkan layanan pengumpulan dari pintu ke pintu dan berbagi biaya pengumpulan
sampah dengan membayar biaya bulanan berdasarkan keterjangkauan. Pemangku kepentingan sektor
swasta telah mitra usaha patungan yang mencakup Masalah Limbah dan lembaga perbankan. Investasi
yang diperlukan untuk proyek ini adalah 12 juta euro dan mode pembiayaan terdiri dari ekuitas (38 per
persen), pinjaman lunak (45 persen) dan pinjaman dari bank lokal (17 persen).
Perusahaan swasta memastikan penjualan kompos dengan memperkaya kompos dengan nutrisi
dan mempengaruhi distribusi selanjutnya ke pasar (mis. Petani). Hasilnya, 75 persen dari pendapatan
proyek berasal dari penjualan kompos. Kemitraan ini juga terdaftar sebagai Bersih Proyek Mekanisme
Pembangunan di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Iklim Ubah; sebagai hasilnya, 25 persen
sisanya dari pendapatan berasal dari kontribusi masyarakat dalam bentuk biaya pengguna dan
penjualan pengurangan emisi bersertifikat (CER). Proyek ini memiliki beberapa efek positif: (a)
pengurangan anggaran landfilling dari kota; (B) penciptaan pendapatan terjamin selama 10 tahun
melalui penjualan kompos dan CER; (c) penciptaan 800 pekerjaan untuk penduduk miskin perkotaan; (d)
produksi 50.000 metrik ton kompos untuk berkelanjutan pertanian; dan (e) pencapaian pengetahuan
masyarakat kota tentang nilai sumber daya limbah.

Pembiayaan

Membiayai kota yang berkelanjutan Skala dan ruang lingkup keuangan yang dibutuhkan

Membangun kota yang berkelanjutan menimbulkan tantangan keuangan yang signifikan bagi
nasional dan kota pihak berwajib. Ini memerlukan sumber daya yang cukup untuk membiayai biaya
infrastruktur dan penyediaan berbagai layanan publik, dalam konteks tantangan utama seperti penuaan
populasi dan ancaman perubahan iklim. Otoritas perkotaan harus memprioritaskan persyaratan
pembiayaan yang bersaing, biasanya tanpa sumber daya anggaran yang memadai untuk mengatasi
tantangan pembangunan berkelanjutan secara bersamaan.

Sifat timbal balik antara pembangunan ekonomi dan prioritas iklim bervariasi dari kota ke kota.
Untuk kota yang berlokasi di negara miskin (berpenghasilan rendah dan lebih rendah pendapatan
menengah), pembangunan berkelanjutan tergantung terutama pada kapasitas mereka untuk membiayai
investasi dalam infrastruktur hijau dan akses ke layanan dasar. Untuk kota yang lebih kaya negara
(berpenghasilan menengah atas dan berpenghasilan tinggi), pembiayaan diperlukan untuk
restrukturisasi desain, infrastruktur, transportasi kota, dan efisiensi dalam penggunaan air dan listrik.
Demikian pula, dengan meningkatnya jumlah migran internasional dan meningkatnya ketidaksetaraan di
antara negara-negara, kota-kota global dan menengah di negara maju dan berkembang negara
ditantang untuk menyediakan layanan publik yang memadai. Di sisi lain, imigrasi telah sering
merangsang kebangkitan ekonomi dan budaya lingkungan perkotaan dan telah menjadi sumber tenaga
kerja yang vital untuk pertumbuhan dan daya saing kota. Pada saat yang sama, banyak kota di dunia
membutuhkan sumber daya untuk membiayai pemrosesan industri limbah dan peningkatan sistem daur
ulang.

Kerangka kebijakan untuk pembiayaan berkelanjutan

Pembentukan kerangka kerja kebijakan untuk merespons secara efektif terhadap tantangan
pembiayaan keberlanjutan kota membutuhkan kerjasama berlapis-lapis antara nasional dan lokal
komunitas global, termasuk pengembangan kemitraan untuk memanfaatkan publik dan sumber daya
pribadi untuk tujuan yang dijelaskan di atas.

Membiayai investasi dalam infrastruktur publik, termasuk adaptasi ke dan mitigasi perubahan
iklim, adalah tugas yang menakutkan, yang sering kali menuntut sejumlah besar keuangan dimuka dan
penerimaan fakta bahwa pengembalian akan terlihat terutama dalam jangka menengah dan panjang.
Langkah-langkah pengaturan, termasuk mekanisme pasar dan non-pasar, adalah penting untuk
menentukan struktur harga, pajak, dan subsidi untuk rumah tangga dan industri, mis., untuk
pengembangan lingkungan padat dan perkuatan bangunan. Berbagai jenis pajak — termasuk, misalnya,
dalam tarif yang lebih rendah untuk transportasi umum — dapat digunakan untuk membiayai
kesenjangan antara pengeluaran keuangan dan biaya aktual. biaya layanan.

Dengan demikian, untuk kota-kota di negara-negara miskin dan kaya, bagian dari pembiayaan
akan sama harus diarahkan untuk membatasi dampak merusak dari perubahan iklim terhadap
lingkungan, keanekaragaman hayati dan mata pencaharian generasi sekarang dan masa depan. Dalam
arti ini, prinsip tanggung jawab bersama dan berbeda dapat memandu pendirian dari kerangka kerja
sama internasional yang mampu mendukung pembangunan dan ketahanan negara-negara miskin.

Pengekspor minyak dan negara-negara berkembang mengalami ekonomi yang relatif tinggi
pertumbuhan tetapi dengan permukiman perkotaan yang rentan, misalnya, terhadap kenaikan
permukaan laut, badai dan kekeringan, harus menggunakan bagian dari sumber daya yang dihasilkan
untuk membiayai strategi pengurangan risiko kota dan peningkatan infrastruktur untuk adaptasi,
mitigasi dan penyediaan layanan publik.

Contoh strategi pembiayaan


Bank obligasi dan pengumpulan sumber daya dapat menjadi instrumen yang berguna untuk
mengurangi risiko. Pada tahun 1998, Ahmedabad Municipal Corporation mengeluarkan 1 milyar rupee
dalam bentuk obligasi (tanpa Negara garansi) untuk membiayai proyek penyediaan air dan saluran air
kotor. Masalah obligasi meningkatkan keuangan kota (Bank Dunia, 2013).
Kemitraan publik-swasta juga dapat berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan dana
untuk membiayai proyek infrastruktur, terutama di negara berkembang dengan akses terbatas ke kredit
jangka panjang. Kemitraan publik-swasta dapat meningkatkan pemanfaatan aset dan mendukung
pemulihan biaya melalui biaya pengguna. Misalnya saja peningkatan kualitas layanan transportasi
umum melalui keterlibatan sektor swasta dapat dibenarkan biaya yang lebih tinggi (lihat lampiran untuk
informasi tentang kemitraan publik-swasta yang didirikan di Freiburg, Jerman, untuk membiayai
produksi sumber energi terbarukan).
Kota-kota di negara-negara miskin juga dapat memanfaatkan nilai tanah untuk membiayai
infrastruktur. Di Kairo, misalnya, lelang 3.100 hektar lahan gurun pada 2007 menghasilkan $ 3,1 miliar.
Jumlah sumber daya ini akan digunakan untuk mengganti biaya infrastruktur internal dan membangun
jalan raya penghubung ke jalan di sekitar Kairo. Leaseholds juga dapat meningkatkan nilai tanah.
Instrumen ini dapat menghasilkan inisial modal yang diperlukan untuk menutup biaya awal investasi
infrastruktur. Dalam jangka panjang, instrumen lain, seperti pajak properti, dapat membiayai
pemeliharaan dan peningkatan publik investasi. Namun, instrumen pembiayaan berbasis lahan
membutuhkan institusi yang relatif kuat dan efektif serta kerangka hukum yang diartikulasikan dengan
baik.
Vietnam telah mampu membiayai akses universal untuk listrik dan pencapaiannya akses tinggi
ke air dan sanitasi. Di provinsi termiskin, pemerataan telah memungkinkan akses ke layanan dasar. Kota-
kota juga membiayai diri mereka sendiri melalui pajak, tanah sewa, utang jangka pendek, dana investasi
dan subsidi silang dari utilitas publik provinsi perusahaan. Sewa tanah, misalnya, menjadi sumber yang
semakin penting keuangan. Namun, membiayai layanan infrastruktur masih merupakan tugas yang
menantang bagi banyak kota (Bank Dunia, 2013).
Sumber keuangan dapat memiliki derajat stabilitas dan prediksi yang berbeda. Pembiayaan
untuk kota-kota Jerman sebagian besar berasal dari pendapatan pajak yang dikaitkan dengan laba bisnis,
yang bisa jatuh selama masa krisis. Misalnya, karena Berlin bertanggung jawab atas bunga tinggi
pembayaran pinjaman masa lalu, telah meminta keringanan utang dari Pemerintah federal. Di
Sebaliknya, anggaran kota di Perancis dan Italia lebih mengandalkan pajak real estat, sebagian karena
pendapatan lebih stabil dan lebih mudah diprediksi.
Namun, situasi kota di banyak negara miskin lebih bermasalah. Dukungan keuangan dari
Pemerintah nasional dan lembaga donor seringkali minim, dan disediakan, biasanya, hanya untuk
pembangunan awal infrastruktur dan bukan untuk berkelanjutan operasi. Dengan demikian, kota
terutama mengandalkan biaya, tarif, dan pajak properti. Namun, properti penilaian dapat kedaluwarsa
atau tidak lengkap, sementara kapasitas untuk memungut pajak tetap lemah. Penyebaran, khususnya,
dapat melemahkan sistem pajak di kota-kota yang dinamis karena, seringkali, penduduk pinggiran kota
membayar pajak properti bukan di kota tempat mereka bekerja tetapi di tempat yang berbeda — dan
lebih kecil — komunitas (PricewaterhouseCoopers, 2012).
Dalam konteks kebijakan pembatasan fiskal, beberapa pemerintah nasional didesak untuk
memberikan lebih banyak otonomi kepada kota dalam menghasilkan sumber daya dan menentukan
mereka takdir. Misalnya, sejak 1988, pemerintah pusat Tiongkok belum membiayai daerah pengeluaran;
karenanya, pemerintah daerah harus menyediakan dan membiayai layanan publik.

Pemahman kerjsama Suarabaya dengan kitakkyushu


1. Kerjasama yang dilakukan oleh Surabaya dan Kitakyushu dalam kerangkan Sister City hanyalah
pada batasan pertukaran informasi, delegasi, dan kebudayaan. Namun dengan adanya bantuan
luar negeri oleh pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia melalui JICA, ( Japan
International Cooperation Agency ) Surabaya sebagai salah satu kota di Indonesia yang menjalin
kerjasama Green Sister City dengan Kitakyushu Jepang mendapatkan hibah pembangunan
pabrik pengelolahan sampah. Hibah tersebut diberikan kepada pemerintah Jepang malalui JICA
dalam kerjasama JCM ( the Join Crediting Mechanism ) yang ditangani oleh perusahaan swasta
pengelolahan sampah di Kitakyushu yakni Nishihara Cooperation.
2. JICA – salah satu kerjasama diplomatis yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pihak
swasta. Jepang merupakan salah satu negara yang paling banyak memberikan hibah teknologi
melalui bantuannya seperti ODA dan JICA. JICA merupakan program kemitraan yang lazim
disebut JICA Partnership Program atau JPP
3. Terdapat tiga Poin penting Skema Program JPP: 1. Dikategorikan sebagai kegiatan Kerjasama
Teknik 2. Dirancang sebagai suatu program yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hajat
hidup manusia sehingga dapat dirasakan langsung manfaatnya dalam rangka perbaikan dan
peningkatan taraf hidup masyarakat di berbagai negara berkembang, 3 Suatu program yang
memberikan kesempatan bagi anggota masyarakat Jepang untuk meningkatkan pemahamannya
serta partisipasinya dalam kerjasama internasional.
4. JICA memfokuskan perhatiannya pada masalah global yang dihadapi oleh Negara berkemabnag
seperti penyakit menular, perubahan iklim, terorisme dan krisis ekonomi. Kedua, pengetasan
kemiskinan melalui pertumbuhan yang berkeadilan dengan menyediakan dukungan terhadap
pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kapasitas, peningkatan kebijakan dan
institusi, serta penyediaan prasarana social dan ekonomi. Ketiga, peningkatan birokrasi
pemerintah dengan penawaran bantuan bagi peningkatan berbagai pranata/perangkat dasar
yang dibutuhkan oleh sebuah pemerintahan dan berbagai system pelayanan umum yang
berdasarkan atas kebutuhan masyarakat. Keempat, pencapaian ketahanan manusia dengan
mendukung berbagai upaya dalam rangka peningkatan kapasitas social dan intitusi serta
peningkatan kemandirian dan kemampuan diri manusia dalam mengahadapi berbagai ancaman.
5. JICA Patrnership Program memiliki tiga kategori Proyek yakni: a. Kategori Pemerintah Daerah
(Local Government Type): pemanfaatan teknologi dan pengalaman yang dimiliki oleh
pemerintah daerah Jepang. Mendukung peran serta kontribusi berbagai pemerintah daerah
(pemda) di Jepang dalam proses pembangunan di berbagai negara berkembang. (b) Kategori
Dukungan (Support Type): sebagai pemula dalam mengawali kegiatan kerjasama internasional.
Mendukung peran serta para mitra pembangunan Jepang (seperti LSM dan perguruan tinggi)
yang masih berpengalaman terbatas dalam kerjasama internasional. (C). Kategori Mitra (Partner
Type): kontribusi diberikan melalui pemanfaatan pengalaman mendalam di bidang
pembangunan. Mendukung prakarsa para mitra pembangunan Jepang (seperti LSM, perguruan
tinggi, dan perusahaan berbasis publik) yang kaya akan pengalaman dalam kerjasama
internasional.
6. Melalui kerjasama Green Sister City antara Surabaya dan Kitakyushu Jepang, Surabaya
mendapatkan keuntungan melalui proyek pertama JPP yakni Kategori Pemerintah
Daerah.Dengan menggandeng Kitakyushu, Surabaya mendapatkan pemanfaat teknoogi dan
pengalaman yang dimiliki untuk penyelesaian permasalahan lingkungan di Surabaya.

7.
8. JCM merupakan pendekatan yang dikembangkan oleh Jepang dengan Negara mitra
kerjasamanya, dalam kerjasamanya Jepang bermaksud mengajak mitra kerjasamanya untuk
berkontribusi dalam perubahan iklim di dunia dibawah United Nation Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC).. JCM memiliki konsep dasar dalam bekerjasama dengan Negara
kemitraanya yakni Memfasilitasi perluasan teknoligi terkini dan maju untuk rendah karbon,
produk, system, fasilitas dan infrastruktur serta mengimplementasikan aksimitigasi dan
berkontribusi dalam perkembangan Negara berkembang yang berkesinambungan. 2. Untuk
pengevaluasian secara akurat peranan Jepang dalam pengurangan emisi GRK atau pembuangan
secara kuantitatif dengan mengaplikasikan metode Pengukuran, Pelaporan dan Verivikasi (MRV)
dan dapat digunakan untuk pencapaian target pengurangan emisi. 3. Berperan untuk mencapai
tujuan akhir UNFCCC dengan memfasilitasi aksi global pengurangan emisi GRK
pembangunannya.
9. Perjanjian kerjasama bilateral antara Pemerintah Jepang dengan Pemerintah Indonesia
mengenai JCM untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon antara Republik Indonesia dan
Jepangtelah mencapai kesepakatan yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator
Perekonomian Indonesia dan Menteri Luar Negeri Jepang. dimana JCM memberikan jaminan
100% pembiayaan demi menyukseskan kredit karbon di Negara partner JCM. Cakupan
pembiayaan yang ditanggung oleh JCM meliputi biaya desain, mesin dan peralatan, biaya tenaga
kerja, biaya perjalanan dan lain sebagainya
10. Dengan adanya studi kelayakan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, partisipan JCM akan
mendapatkan bantuan dana yang dibiayai oleh Ministry of Environment Japan (MOEJ) atau
Ministry of Economy, Trade, and Industry Japan (METIJ)
11. Kerjasama JCM tidak hanya menyeret pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan swasta
namun, JCM juga aktif dalam menarik pemerintah daerah untuk ikut berpartisispasi dalam
pengembangan kredit karbon guna mengurangi gas emisi tumah kaca.Dalam skema kerjasama
Sister City, JCM meberikan bantuan melalui skema kerjasama kota JCM sebagai berikut:

12.
13. Skema ini mendorong kota di Indonesia melalui kerjasama antar kota dan regional atau yang
biasa disebut Sister City untuk melakukan aktivitas pengurangan emisi gas rumah kaca guna
mewujudkan masyarakat rendah karbon
14. Hingga kini ada 3 kota di Indonesia dan 3 kota di Jepang yang telah melakukan kerjasama di
bawah skema JCM, yaitu Surabaya dengan Kitakyushu, Bandung dengan Kawasaki, dan Batam
dengan Yokohama. Kerjasama 3 kota di Indonesia dengan 3 kota di Jepang ini telah mulai
memasuki tahapan implementasi di bidang efisiensi energi dan manajemen persampahan kota.
Hingga saat ini JCM melalui JICA telah mengeluarkan dana sebesar US$ 41 juta.
15. Keterlibatan Kitakyushu Pada Pengelolahan Limbah Sampah Surabaya. Sister City dalam
pengertiannya bisa disebut juga sebagai kota kembar, dimana kerja sama antar kota bersifat
luas, yang disepakati secara resmi dan bersifat jangka panjang.Di Indonesia, Sister City diatur
dakan Peraturan Meneteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 dimana disebutkan bahwa
kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah di luar negeri (Sister
Province/Siter City), dilakukan dengan negara yang memilki hubungan diplomatik dengan
negara republik Indonesia, tidak menggangu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri, dan
berdasar pada prisip menghormati kedaulatan NKRI, persamaan kedudukan tidak memaksakan
kehendak, memberikan manfaat dan saling menguntungkan serta tidak mengarah pada campur
tangan urusan dalam negeri masing-masing.
16. itakyushu yang telah berhasil dalam pengetasan masalah lingkungan membuat Surabaya optimis
dalam menyelesaikan masalah serupa di Surabaya.
17. Langkah awal kerjasama Surabaya dan Kitakyushu adalah penjernihan sungai Kali
Mas.Kerjasama kini terus berlanjut hingga pada pengelolahan sampah di Surabaya.
18. Salah satu scope kerjasama yang terjalin antara Surabaya dan Kitakyushu adalah pengelolahan
kembali limbah guna mewujudkan masyarakat yang rendah karbon.Melalui kerjasama Green
Sister City ini pemerintah Kitakyushu membantu Surabaya dalam menanggulangi persoalan
sampah
19. Limbah sampah yang terus menumpuk di Surabaya dan 126 tidak dikelola menyebabkan sampah
yang ada di Surabaya tercampur anatara sampah kering dan basah.Melalui kerjasama Green
Sister City dengan Kiatkyushu dan dengan bantuan JICA, Surabaya mendapatkan bantuan dari
perusahaan asing yaitu Nishihara Coporation untuk menangani permasalahan sampah tersebut
20. Indonesia secara langsung mendapatkan bantuan melalui JCM dan pembiayaan dari JICA. Proyek
menejeman persampahan Nishihara dengan dinas kebersihan dan pertamanananatau DKP pada
tahun 2013 telah menggunakan skema JCM
21. Nishiharara Corp. merupakan perusahaan pengelolahan sampah yang berdiri pada Mei tahun
1972.Nishihara merupakan salah satu stakeholder/pihak swasta di Kitakyushu yang memiliki
peran penting dalam kerjasama Sister City kedua kota terutama dalam bidang pengelolaan
sampah
22. Pemberian bantuan pengelolah sampah di Surabaya oleh Nishara merupakan perwujudan upaya
visi Green Sister City Surabaya dan Kitakyushu untuk menjadikan Sarabaya sebagai masyarakat
rendah karbon.Nishihara memberikan bantuan teknis dan hibah teknis melalui pembangunan
Super Depo Sutorejo dan Rumah Composting Wonorejo.
23. Super Depo ini deiresmikan pada tangga 8 Maret 2013 oleh Prof. Dr. Balthasar Kambuya, MBA
(Menteri Lingkungan Hidup RI). Terletak di Kecamatan Mulyorejo, Kelurahan Dukuh Sutorejo,
berada pada lahan seluas -/+ 1,483 m2, dengan kapasitas sebesar kurang lebih 15 ton/hari
dengan memperkerjakan pemulung dan penarik grobak sekitar. Super depo ini melayani sejauh
ini 2 kelurahan yakni52: 1. Kelurahan Dukuh Sutorejo dengan jumlah 9 RW dan jumlah KK
sebanyak 4.253 KK 2. Kelurahan Kalisari dengan jumlah 8 RW dan jumlah KK sebanyak 4.311 kk.
24.
25. Pada tahun 2013, pemilik perusahaan Nishihara dan pemerintah kota Surabaya melakukan
penandatanganan Acceptance Letter antara Nishihara Corporation yang diwakili oleh Yasuhiro
Nishihara dengan 129 Pemerintah Kota Surabaya yang diwakili oleh Kepala DKP Kota Surabaya
perihal Pilot Surveyuntuk diseminasi teknologi UKM untuk daur ulang, pengolahan, serta
pengomposan sampah di Surabaya.
26. Dalam melakukan pengelolahan sampah di Depo Sutorejo, Nishiara menggunakan pemilahan
sampah dengan menggunakan metode 3R (Reuse, Reduce, Recycle).Depo Sutorejo dikelola oleh
perusahaan Beetle dengan mempekerjakan sekitar 10 warga setempat untuk memilah
sampah.Pembiayaan biaya operasional maupun gaji dari tenaga kerja yang berada di Depo
Sutorejo merupakan tanggung jawab dari Nishihara Corporation yang mana uang tersebut
diberikan oleh pemerintah pusat Jepang melalui JICA dan disalurkan ke Nishara Corporation
27. Dalam project ini Pemerintah Kota Surabaya bekerjasama dengan Pemerintah Kota Kitakyushu
dengan dukungan dari Nishihara Co. Ltd., serta pendanaan dari JICA telah melakukan
pengelolaan sampah dengan menerapkan konsep 3R dan melibatkan pemulung serta pengepul.
Salah satu hasil dari kerjasama ini adalah: a. Pada bulan September 2012, telah dilaksanakan
kegiatan pelatihan pemilahan sampah yang melibatkan pemulung dan pengepul di Depo
Sutorejo sebagai langkah awal dari kerjasama pengelolaan sampah ini. Dari kegiatan pemilahan
sampah tersebut diperoleh komposisi sampah sebagai berikut:

28.
29. Melakukan proyek percontohan di Kota Surabaya guna memperbaiki masalah sampah yang
tersebar di Kota Surabaya, dengan berpusat pada pemilahan sampah dan peningkatan sumber
daya pemulung. Untuk itu telah dilakukan pembangunan dan operasional Tempat Pembuangan
Sementara/TPS Depo Sutorejo di Kota Surabaya menjadi pusat pemilahan sampah dan daur
ulang; c. Melaksanakan pembangunan pabrik percontohan fasilitas daur ulang sampah (recycle
centre) di Kota Surabaya dengan kapasitas 50 ton/ hari dengan memberdayakan pemulung
sebagai pegawainya;
30. Pengelolahan limbah sampah di Suarabaya oleh Nisihara secara teknis dilakukan dengan 4 tahap
pengelolahan yakni: 1. Tahap Awal Sampah awal ditimbang dan kemudian dimasukan ke
Coveyer 1 untuk di pilah 2. Tahap ke Dua Conveyor 1, dilakukan pemilahan sampah plastic putih,
plastic wana, kertas dan botol plastik 3. Tahap ke tiga Conveyor 2, dilakukan pemilahan lebih
detail terhadap sampah anorganik yang tidak bisa dimanfaatkan (sampah lain-lain) 4. Tahap ke
empat Conveyor 3, Sampah organik yang tersisa siap masuk ke mesin pencacah sebagai bahan
kompos yang selanjutnya diolah di rumahrumah kompos. Depo ini bisa memproses 700 kilogram
sampah per jam.Dan sampah bisa berkurang sampai 50 persen. Misalnya, kalau ada 100
kilogram sampah yang masuk, 50 kilogram diantaranya bisa dimanfaatkan kembali dalam
bentuk kompos atau plastik daur ulang. Untuk depo ini, seluruh biaya dikeluarkan Kitakyushu,
pemkot hanya menyediakan lahannya saja. Pengelolaan super depo akan ditangani pihak
Kitakyushu sampai akhir 2013.
31. b. melanjutkan pengelolaan kompos center Wonorejo setelah FS berakhir terutama dalam
pengelolaan sampah organic c. Berencana mengembangkan eco park di Surabaya yang
dilengkapi dengan fasilitas pengolahan sampah (pemilahan dan komposting menggunakan
mesin otomatis) dan sarana museum lingkungan yang bermanfaat untuk pendidikan lingkungan
masyarakat
32. peluang dan tantangan kerjasama penegelolaan imbah sampah
33. Diperlukan peran pemerintah serta rencana strategis untuk dapat mengatasi tantangan dan
meningkatkan peluang potensi yang dapat di jalin. Hubungan kerjasama antara pemerintah
Jepang dan Indonesia dimulai pasca terjalinnya hubungan diplomatic pasca perang
34. Implementasi kerjasama Surabaya-Kitakyushu di bidang lingkungan diantaranya adalah
pertukaran staf dan ahli masalah lingkungan, proyek percontohan dalam bentuk rumah kompos
dan keranjang Takakura pada tahun 2004, serta revitalisasi sungai Kalimas pada tahun 2007.
Untuk kerjasama proyek penanganan sampah melalui komposting telah berhasil menurunkan
lebih dari 20% sampah di Kota Surabaya dan juga berhasil memberikan manfaat di bidang
ekonomi pada warga kota telah direplikasi di berbagai kota di Indonesia, Filipina, dan Thailand.
35. Meninjau manfaat besar yang telah diperoleh dari kerjasama tersebut, pihak Pemerintah Kota
Kitakyushu membuka peluang peningkatan kerjasama bidang lingkungan ke arah yang lebih
tinggi dan kompleks, yaitu kerjasama dalam hal “low carbon society”. Sebagai tahap awal dari
rencana tersebut, pada bulan November 2010 delegasi Pemerintah Kota Kitakyushu berkunjung
ke Kota Surabaya untuk melakukan pertemuan dengan beberapa institusi terkait di lingkungan
Pemerintah Kota Surabaya untuk mempresentasikan tentang upaya yang 137 bisa dilakukan
untukmencapai “low carbon society” dan kemungkinan pembentukan kerjasama di bidang
tersebut.

Jurnal selanjutnya
1. Journal of Applied Business Administration Vol 2, No 1,Maret 2018, hlm. 144-151. e-ISSN:2548-
9909 PERAN STRATEGIS PENERAPAN KONSEP SISTER CITY DALAM MENCIPTAKAN SURABAYA
GREEN-CITY Inggang Perwangsa Nuralam Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya,
Malang 65145, email:ing.nuralam@ub.ac.id
2. Kerjasama Surabaya (Indonesia) dengan Kitakyushu (Jepang) banyak fokus pada penciptaan tata
kota yang berwawasan lingkungan atau yang biasa dikenal dengan istilah green city atau eco-
city.
3. Dalam mengantisipasi hal tersebut, kapasitas kota perlu ditingkatkan, salah satunya melalui
perencanaan dan praktik tata kota yang baik. Beatley (2012), Broto dan Bulkeley (2013)
menyadari bahwa kebijakan seperti pengaturan penggunaan lahan hijau, penyediaan
insfrastruktur perkotaan yang baik, dan penyadaran penduduk tentang bahaya alam yang
diakibatkan oleh ulah manusia, perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah lokal. Terutama
pencemaran yang dilakukan dalam keseharian kaum urban berupa sampah.
4. Pertanyaan dalam tulisan ini adalah sejauh mana konsep sister city dapat membantu kota
menjadi kota yang tangguh dan responsiv dalam menangani permasalahan lingkungan. Surabaya
dipilih dalam tulisan ini karena mewakili kota besar di Jawa Timur, dimana dalam beberapa
tahun terakhir Walikota Surabaya giat dalam membangun infrastruktur dalam upayanya
menciptakan green city atau yang biasa dikenal dengan ecocity.
5. Dalam perspektif nilai bisnis, beberapa hal yang bisa kita ambil manfaatnya dalam penerapan
konsep eco-city adalah peningkatan investasi hijau; peningkatan kualitas dan kuantitas
pekerjaan pada sektor hijau; dan penurunan biaya produksi yang disertai dengan peningkatan
revenue. Dengan konsep ini, maka diharapkan pelaku usaha mempu mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan menjadi lebih baik dan berorientasi ramah lingkungan.
6. Pemerintah Pusat membuat beberapa kebijakan dan program, agar Pemerintah Daerah dapat
memanfaatkan hubungan ini sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan
kota/daerah masing-masing. Skema sister city ini belum dikenal dan dipahami secara luas,
bahkan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah hanya memahami skema tersebut.
Padahal, konsep skema yang diinginkan adalah hubungan kemitraan antar komunitas kota.
Dilihat dari sejarah terbentuknya konsep dan skema sister city ini, sesungguhnya skema yang
diinginkan adalah hubungan kemitraan antar komunitas kota, sehingga idealnya dilaksanakan
secara sinergi antar stakeholders kota secara lengkap, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat
7. Atas keberhasilannya ini, kota Kitakyushu kemudian membentuk program kerjasama dengan
berbagai macam kota di Asia berbasis lingkungan hidup. Salah satunya adalah dengan kota
Surabaya, Indonesia. Program yang ditawarkan antara lain adalah program revitalisasi sungai,
pengolahan sampah dan pembangunan lingkungan industri yang ramah lingkungan.
8. Kerjasama ini tertuang dalam rencana Green Sister City, yang fokus dalam permasalah
pengeloaan sampah, peningkatan kualitas air dan pengembangan partisipasi masyarakat.
Pengelolaan sampah direalisasikan dengan pembangunan tempat pembuangan sampah yang
dilengkapi peralatan untuk memilah sampah di Depo Sutorejo, Surabaya, pada tahun 2013. TPS
Sutorejo ini menampung sampah domestik (rumah tangga) dari kecamatan Mulyorejo, Sutorejo
dan Kalisari. Pembangunan ini merupakan hasil pembelajaran dari kota Kitakyushu yang telah
melakukan pengelolaan sampah dengan program 3R (Reuse, Reduce, Recycle). Di TPS Sutorejo
disediakan conveyor untuk membawa sampah yang masuk untuk dipilah oleh petugas TPS.
Pemilahan sampah ini dibagi menjadi sampah organik dan anorganik. Untuk sampah organik
akan dikelola di bagian pengolahan sampah organik, untuk dapat diolah menjadi pupur kompos.
9. Depo Sutorejo ini terbukti dapat mengurangi sampah di wilayah Sutorejo sebanyak 50%. TPS
Sutorejo ini mengadopsi TPS yang berada di Kitakyushu yang dikelola oleh Beetle Nisihara Co.
Ltd., yang telah berpengalaman dalam bidang pengelolaan sampah hingga mendapat sertifikat
ISO 14001 (environmental management system). Beetle Nisihara Co. Ltd. dapat menampung
sampah sejumlah 60 ton per hari, atau setara dengan 20 truk sampah. Namun, pengelolaan
dapat berlangsung cepat karena adanya peran serta masyarakatnya. Masyarakat di Kitakyushu
memiliki kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya serta memilah-milah terlebih
dahulu sampah berdasarkan jenisnya, seperti sampah organik dan anorganik, sampah kertas
atau kardus dan sampah plastik.
10. Selain itu, Kitakyushu juga berencana untuk membuat alat pembangkit listrik dari sampah yaitu
dengan membuat pabrik insicerator di wilayah Surabaya, serta membangun pembangkit energi
di kawasan industri melalui proyek powerplan Kitakyushu & Surabaya Smart Community (KS2C).
Pihak Kitakyushu mengusung metode Co-Generation System yang lebih ramah lingkungan
karena berbahan gas. Pembangkit energi ini akan dapat menghasilkan listrik dan uap. Namun
proyek KS2C ini masih dalam masa penjajakan. Melalui kerjasama dengan Kitakyushu, Surabaya
sudah mengalami perkembangan yang baik. Dari awalnya merupakan kota yang penuh dengan
sampah dan sungai yang tercemar, kemudian menerapkan sistem pengelolaan sampah yang
baik sehingga berhasil mengurangi volume sampah yang ada dan memenangkan piala Adipura
sebagai kota terbersih. Kemudian, Surabaya akan melanjutkan proses kerjasama melalui
rencana program powerplant di kawasan industri (Kitakyushu-Surabaya Smart Community),
program pembangkit listrik tenaga sampah, serta pembangunan instalasi penjernih air.
11. Arti penting dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesamaan antara dua daerah yang
potensial untuk kerjasama antar daerah dan selanjutnya membantu perkembangan mereka.
Hasil penelitiannya adalah untuk membuat hubungan yang baik dan mengambil keuntungan
dengan ini sister city yaitu penataan kota yang berwawasan lingkungan (green city). Beberapa
hal yang bisa disimpulkan dalam penelitian ini adalah: pertama, sister city adalah salah satu
model kerjasama mikro digunakan oleh dua kota di jalur diplomasi bilateral yang berfokus pada
peningkatan pembangunan di kedua kota/negara. Dasar dari konsep sister city dilakukan dalam
atas dasar kesamaan administrasi, karakteristik sosial-budaya atau geografis atau kesamaan
dalam masalah yang dihadapi oleh publik. Dalam era globalisasi, interkonektivitas antar negara
akan menjadi alat untuk mengembangkan potensi lokal dan memecahkan masalah lokal. Kedua,
khusus program kerjasama sister city, inisiatif kerjasama ini tidak hanya dapat dilakukan dari
kota negara lain, tapi dapat juga dilakukan oleh kota di dalam negeri yang setara. Hal ini dapat
dilakukan apabila penjajakan kerjasama sister city mempertimbangkan kepentingan bagi
pembangunan dan pengembangan kota secara menyeluruh. Kementerian Dalam Negeri,
misalnya, pernah menetapkan Kota Surabaya sebagai kota berprestasi dan sukses sebagai best
practice sister city di Indonesia, khususnya dalam perencanaan, prosedur, dan regulasi
kerjasama dengan luar negeri.
12. Pengelolaan Limbah B3 akan dibangun di Tmabak Osowilangon 2018,
13. Beberapa waktu lalu, Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya bersama dinas terkait telah melakukan
kunjungan ke Kitakyushu Jepang Dari kunjungan itu, Risma mendapat dukungan teknologi
pengelolaan limbah B3 berupa alat insinerator dari Pemerintah Kota Kitakyushu.
14. “Nanti dibangun di Tambak Osowilangun. Sudah ada lahan 2,4 hektare. Kebutuhannya sekitar
1,5 hektare,” ujarnya ditemui di kantornya, Rabu (17/10/2018). Kebutuhan pengelolaan limbah
B3 di Surabaya, menurut Eko, cukup mendesak. Perusahaan yang menghasilkan limbah B3 di
Surabaya diperkirakan bertambah. “Hotel, apartemen, belum rumah sakit dan klinik dengan
limbah medisnya. Kami sudah dialog, mereka kesulitan, karena selama ini kan dibuang di
Cileungsi,” ujarnya. Sementara, data DLH Surabaya menyebutkan, setidaknya ada 8-10 ton
limbah medis per hari yang dihasilkan fasilitas kesehatan di Surabaya.
15. https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2018/Pengelolaan-Limbah-B3-akan-Dibangun-di-
Tambak-Osowilangun/
16. Sesi dilanjutkan dengan sosialisasi dari Pemerintah Kota Kitakyushu mengenai
Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk ekowisata. Menurut Hayabe setiap program yang
dilakukan oleh negara maupun pemerintahan haruslah ada integrasi dengan
masyarakat. Hayabe juga memaparkan pentingnya kepedulian akan kebersihan sungai
sebagai kunci suksesnya pemanfaatan Mangrove menjadi ekowisata. Marlisa Ayu
Trisia, International Center for Research and Education in Agriculture, Universitas
Nagora memberi penjelasan akan pentingnya integrasi kedua elemen penting yaitu
akademisi dan masyarakat dalam pencapaian budidaya perlindungan kawasan
Mangrove yang ideal. Beliau juga menjabarkan pentingnya sagu sebagai sabuk hijau
dilingkungan Mangrove guna meminimalisir degradasi tanah dengan memanfaatkan
ketahanan sagu. Para partisipan kemudian berangkat untuk langsung melihat kondisi
lapangan di pintu air wonorejo dan kawasan Mangrove.
17. Setelah kunjungan lapangan dilakukan, para partisipan kembali melanjutkan workshop
dengan pemateri selanjutnya dari Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka yang
memaparkan pentingnya Kawasan Mangrove dan tantangan apa yang dihadapi dalam
upaya pembudidayaan Mangrove seperti banyaknya sampah plastic yang tersangkut di
mangrove muda, tergerusnya Kawasan mangrove oleh pembangunan perumahan
maupun tercemarnya air sungai dengan limbah rumah tangga. Lembaga swadaya
masyarakat Nol Sampah juga turut mengkampanyekan 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
sebagai metode penyelamatan lingkungan. https://kerjasama.surabaya.go.id/workshop-
pelestarian-hutan-mangrove-surabaya-hasil-kerjasama-sister-city-kota-surabaya-kota-
kitakyushu/

18. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2017, 5 (2) 685-700 ISSN 2477-2623 (online), ISSN 2477-
2615 (print), ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2017 KERJASAMA GREEN SISTER CITY
SURABAYA DAN KITAKYUSHU (STUDI KASUS PENGELOLAAN SAMPAH) MELALUI SUPER DEPO
SUTEREJO Monalisa Bonieta Octavia 1
19. Hal tersebut membuat Local Government melakukan kerjasama internasional yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas dari Pemerintah Lokal baik dari segi ekonomi, budaya, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Globalisasi dalam perkembangannya telah memunculkan aktor-
aktor baru dalam kerjasama internasional. Selain itu, adanya Otonomi Daerah membuat Local
Government dapat melakukan hubungan secara langsung dengan pihak asing, baik yang bersifat
antar pemerintah, maupun kerjasama dengan non pemerintah asing.
20. . Pada tahun 2007, Pemkot Kitakyushu memberikan bantuan kepada Pemkot Surabaya guna
mendukung pelaksanaan Program Revitalisasi Kalimas yang meliputi dua hal, yaitu peningkatan
kualitas air dan pengembangan partisipasi masyarakat. Hingga tahun 2012, kedua kota sepakat
untuk memperkuat kerjasama sister city mereka dalam sebuah MoU. Surabaya dan Kitakyushu
memiliki empat proyek kerjasama green sister city yang bertujuan untuk membuat Kota
Surabaya lebih bersih dan dapat mengurangi anyaknya sampah di Kota Surabaya. Super Depo
Sutorejo merupakan salah satu hasil kerjasama pihak Jepang dan Pemerintah Kota Surabaya.
Super Depo suterejo ialah salah satu fasilitas persampahan di Kota Surabaya untuk mengurangi
volume sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan upaya untuk mewujudkan masyarakat
rendah karbon yakni dengan cara pemilahan sampah kering dan sampah organik dimana
sampah-sampah kering akan didaur ulang dan sampah organik akan dijadikan sebagai kompos.
Pihak Jepang memberikan bantuan kepada pihak Pemerintah Kota Surabaya dalam bentuk
bangunan dan alat-alatnya, dan pihak Surabaya cukup menyiapkan tempat dan tenaga kerjanya.
21. Adapun enam langkah siklus model atau kerangka konseptual kemitraan sister city, yaitu : 1.
Strategi; kerangka manajemen dimulai dengan perumusan strategi aliansi. Sebelum mitra
terlibat, sebuah organisasi memerlukan strategi aliansi untuk 2. Menguraikan pemikiran terkait
visi dan tujuan untuk kemitraan, strategi untuk pemilihan mitra, untuk memanajemen, dan cara
menangkap pembelajaran. 3. Identifikasi; dalam mencari mitra strategis, kota atau komunitas
biasanya mendekati lembaga perjodohan internasional dan mungkin juga didekati oleh kotakota
atau masyarakat lain dengan kemiripan permintaan. Permintaan tersebut hanya dapat
dipertimbangkan jika kota tersebut ada dalam parameter strategi kerja sama. 4. Mengevaluasi;
pada tahap ini diperlukan pula investigasi due diligence dan studi kelayakan untuk mengenal
sejarah kerja sama mitra yang potensial. 5. Negosiasi; Tahapan ini terbagi kedalam tiga jenis
yaitu negoisasi dalam pemilihan mitra, negoisasi dalam perencanaan, dan negosiasi dalam
pemilihan membuat kesepakatan (Memorandum of Understanding). 6. Implementasi; Tahap ini
penting karena semua penilaian terhadap rencana yang telah disepakati telah dilakukan dengan
baik sampai saat ini atau tidak. Setelah hubungan diimplementasikan keberhasilan atau
kegagalan perlu ditinjau secara berkala yang hanya dapat dilakukan jika pengukuran spesifik
kinerja telah disepakati dalam tahap perencanaan. 7. Kemampuan aliansi; merupakan titik
keberlanjutan yang menyakini bahwa kota yang memperoleh lebih banyak pengalaman dalam
praktik manajemen aliansi terbaik, maka akan lebih baik dalam hubungan kemitraan.
22. Dalam sister city, Pemerintah daerah tidak hanya memainkan peran sebagai fasilitator yang
penting dalam menetapkan dan memelihara hubungan, tapi juga sebagai ikatan primer yang
dijalin antara masyarakat kedua kota yang menjalin hubungan.
23. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan
secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan
dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang
akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya
24. Konsep pembangunan keberlanjutan mengandung dua dimensi, yaitu : Pertama adalah dimensi
waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan
datang. Kedua adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam
dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek, yaitu pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Ketiga aspek tersebut tidak bisa
dipisahkan satu sama lain, karena ketiganya menimbulkan hubungan sebab-akibat. Aspek yang
satu akan mengakibatkan aspek yang lainnya terpengaruh.
25. Hubungan antara ekonomi dan sosial diharapkan dapat menciptakan hubungan yang adil
(equitable). Hubungan antara ekonomi dan lingkungan diharapkan dapat terus berjalan (viable).
Sedangkan hubungan antara sosial dan lingkungan bertujuan agar dapat terus bertahan
(bearable). Ketiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan Kerjasama Green Sister City Surabaya
dan Kitakyushu (Monalisa Bonieta) 689 lingkungan akan menciptakan kondisi berkelanjutan
(sustainable). Pembangunan kota yang berkelanjutan adalah suatu proses dinamis yang
berlangsung secara terusmenerus, merupakan respon terhadap tekanan perubahan ekonomi,
lingkungan, dansosial. Proses dan kebijakannya tidak sama pada setiap kota, tergantung pada
kota-kotanya. Konsep sustainable development dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman,
yaitu ; 1. Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara continue untuk memelihara keberadaan lingkungan
sekitarnya. 2. Keberlanjutan lingkungan, sistem keberlanjutan secara lingkungan harus mampu
memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi
penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaraman hayati,
stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-
sumber ekonomi. 3. Keberlanjutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem
yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan,
gender, dan akuntabilitas politik
26. Sasaran sustainable development mencakup pada upaya untuk mewujudkan terjadinya : 1.
Pemerataan manfaat hasil-hasil pembangunan antar generasi (intergenaration equity) yang
berarti bahwa pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan pertumbuhan perlu
memperhatikan batas-batas yang wajar dalam kendali ekosistem atau sistem lingkungan serta
diarahkan pada sumber daya alam yang replaceable dan menekankan serendah mungkin
eksploitasi sumber daya alam yang unreplaceable. 2. Safeguarding atau pengamanan terhadap
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada dan pencegahan terjadi gangguan
ekosistem dalam rangka menjamin kualitas kehidupan yang tetap baik bagi generasi yang akan
datang. 3. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam semata untuk kepentingan
mengejar pertumbuhan ekonomi demi kepentingan pemerataan pemanfaatan sumber daya
alam yang berkelanjutan antar generasi. 4. Mempertahankan kesejahteraan rakyat (masyarakat)
yang berkelanjutan baik masa kini maupun masa yang mendatang . 5. Mempertahankan
manfaat pembangunan ataupun pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang
mempunyai dampak manfaat jangka panjang ataupun lestari antar generasi. 6. Menjaga mutu
ataupun kualitas kehidupan manusia antar generasi sesuai dengan habitatnya.
27. Salah satu tantangan terbesar konsep tersebut saat ini adalah menciptakan keberlanjutan,
termasuk didalamnya keberlanjutan sistem politik dan kelembagaan sampai pada strategi,
program, dan kebijakan sehingga pembangunan kota yang berkelanjutan dapat terwujud
28. Di Indonesia, paradiplomasi didukung dengan adanya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,
kewenangan daerah otonom untuk melakukan kerjasama luar negeri ini terdapat dalam pasal 42
ayat (1), bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan
terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditegaskan
pula dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city/province, Pemda juga dapat membuat
perjanjian kerjasama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan
pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan
perundangundangan (Takdir Ali Mukti, 2013).
29. Kerjasama green sister city yang dilakukan oleh Kota Surabaya dan Kota Kitakyushu di Jepang di
sahkan oleh MoU yang ditandatangani pada tahun 2012. Kerjasama dalam bidang lingkungan ini
menjadi dasar Pemerintahan Kota Surabaya mengeluarkan seperangkat aturan mengenai
metode pengelolaan sampah. Dengan Kota Kitakyushu sebagai contoh kota yang berhasil
mengelola sampah dan lingkungannya, Surabaya mengadaptasi mekanisme dari Kitakyushu
untuk mengelola sampah mereka. Salah satu hasil dari kerjasama tersebut adalah Super Depo
Sutorejo, yaitu tempat pemilihan sampah di Kota Surabaya. Dengan metode memilih sampah
ini, penumpukan sampah tidak seburuk sebelum Surabaya melekasanakan kerjasama dengan
Kitakyushu.
30. Dari semua program tersebut, program pengelolaan sampah yang merupakan salah satu
program yang memerlukan waktu dan keterlibatan semua pihak di Surabaya. Untuk mengatasi
masalah sampah, Pemerintah Kota Surabaya meniru mekanisme Kota Kitakyushu dalam
menanggulangi sampah mereka dengan melibatkan seluruh pihak dan warga di Kitakyushu.
Walikota Kitakyushu, Kenji Kitahashi, menyambut baik upaya Pemerintah Kota Surabaya
menyelesaikan permasalahan mengenai sampah dan mengatasi pencemaran lingkungan dengan
bekerjasama dengan Nishihara CO.LTD, salah satu perusahaan pengolah sampah dari
Kitakyushu. Menurut Kenji Kitahashi, langkah mengatasi sampah merupakan dasar menciptakan
lingkungan bersih dan sehat.
31. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya membuat kebijakan dalam hal pengelolaan
sampah yaitu dengan melalukan green sister city dengan Kitakyushu dalam program Super Depo
Suterejo, Kompos Center Wonorejo, rencana Bio Park Wonorejo, dan Bank Sampah Induk
kebijakan ini di ambil oleh DKP kota Surabaya tentunya agar meningkatkan pengurangan
sampah di Kota Surabaya
32. Semenjak tahun 2012, perusahaan pengolahan sampah Nishihara CO.LTD, sudah melakukan
pengolahan sampah di Surabaya. Nishihara CO.LTD merupakan pihak yang ditunjuk langsung
oleh Pemerintah Kota Kitakyushu untuk menjadi wakil dari pelaksanaan kerjasama dengan
Surabaya. Hasil dari kerjasama adalah penempatan dua mesin daur ulang sampah dari Nishihara
di Surabaya, salah satunya di Suterejo. Pengelolaan sampah di Suterejo ini kemudian dikenal
dengan Super Depo Sutorejo. Di areal tempat pembuangan sampah ini, TPS Sutorejo
menampung sampah domestik atau rumah tangga dari wilayah Kecamatan Mulyorejo, Sutorejo
dan Kalisari. Dengan menjalin kerjasama dengan Kota Kitakyushu, Kota Surabaya memperoleh
banyak keuntungan terutama dibidang lingkungan yang menjadi kelebihan kerjasama yang
terjalin diantara dua kota tersebut terbukti dari program kerjasama yang dilakukan seperti
masalah pengolahan sampah, pengairan dan lain-lain yang tentunya akan membuat Kota
Surabaya nantinya jauh lebih baik dari kota-kota lainya di Indonesia.
33. Dalam MoU antara Surabaya dan Kitakyushu tersebut menyebutkan bahwa ruang lingkup
kerjasama merupakan pihak yang melaksanakan MoU sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di masing-masing negara dalam bidang lingkungan sebagai
berikut: 1) Masyarakat Rendah Karbon 2) Daur Ulang Sumber Daya 3) Peningkatan Kapasitas
pejabat masing-masing kota, 4) Bidang-bidang lain yang disepakati oleh Para Pihak secara
tertulis.
34. Sebelum melakukan MoU, Surabaya dan Kitakyushu sebelumnya telah melakukan pernyataan
bersama tentang Kemitraan Lingkungan strategis yang ditandatangani pada 15 Maret 2011.
Kemitraan ini kemudian menjadi salah satu dasar terbentuknya MoU antara kedua kota.
Terdapat empat sektor utama dalam program kerjasama Kerjasama Green Sister City Surabaya
dan Kitakyushu (Monalisa Bonieta) sister city Surabaya-Kitakyushu tersebut dan sektor memiliki
kegiatan dan stakeholder yang berbeda, yaitu :
1. Sektor energi Dalam sektor energi, Surabaya saat ini sedang mengembangkan sistem ko-
generasi di taman industri SIER, mendorong penghematan energi di kantor, mall dan rumah
sakit serta mengganti lampu jalanan dengan LED.
2. Pengelolaan sampah padat Sampah padat adalah segala bahan buangan sampah rumah
tangga: sampah dapur, sampah kebun, sampah pasar dan lainnya. Sampah ini
dikelompokkan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Dalam mengelola sampah
padat, Surabaya meniru Kitakyushu dengan mulai melakukannya dengan gerakan yang lebih
kecil. Dimulai dari individu dan rumah tangga yang menerapkan sistem 3R. Sedangkan dalam
skala besar, pengelolaan sampah ini dilakukan di depo Sutorejo untuk kemudian dipilah dan
dapat dijual kembali.
3. Transportasi Untuk sektor transportasi, program ini mendorong agar kendaraan pribadi dan
publik beralih bahan bakar termasuk kendaraan pengangkut sampah diganti dengan
kendaraan yang rendah emisi. Target utama program ini adalah pengurangan gas emisi di
keempat sektor ini yang akan berimbas terhadap pengurangan emisi secara total yang
ditargetkan mencapai 120,000t-CO2 tiap tahun. Program ini juga melibatkan banyak
stakeholder termasuk pemerintah pusat dan kementerian, pemerintah provinsi, sektor
swasta termasuk perusahaan daerah serta masyarakat sipil seperti universitas, komunitas
dan berbagai lembaga studi.
4. Sumber daya air Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan
mencemari sumber daya air yang ada. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati
sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem
perairan biologis dan merubah struktur air itu sendiri. Oleh karena itu Pemerintah Kota
Surabaya dengan keras melarang membuang sampah ke sungai dan sumber air lainnya.
Selain itu Kitakyushu membantu Surabaya melakukan penelitian untuk melihat sumber air
minum yang aman untuk masyarakat Kota Surabaya.
35. Di awal tahun 2013 sampah yang masuk di Super Depo Suterejo hanya mencapai 73 ton dan
berangsur meningkat sampai dengan akhir tahun 2013 menjadi 142 ton perbulan kemudian dari
pemilahan sampah tersebut 40% dipilah menjadi sampah organik, 7% menjadi sampah
anorganik dan 53% menjadi sampah lain-lain (masuk ke TPA). Kemudian pada tahun 2014
sampah yang masuk di Super Depo Suterejo meningkat menjadi 250 ton sampai dengan 300 ton
perbulan, hal inilah yang membuat hasil pemilahan sampah di Super Depo Suterejo sangat
meningkat, Super Depo Suterejo dapat mengolah sampah organik sebanyak 100 ton perbulan
dan sampah anorganik sebanyak 20 ton perbulannya, dengan pengolahan sampah yang
maksimal di Super Depo Suterejo volume sampah yang masuk ke TPA berkurang sebanyak 50%,
maka dari itu Super Depo Suterejo dianggap suatu program kerjasama green sister city Surabaya
dan Kitakyushu yang berhasil dalam tujuan Pemerintah Kota Surabaya untuk mengurangi
permasalahan sampah
36. Dalam MoU Kemitraan Surabaya dan Kitakyushu terdapat empat sektor utama yang
dilaksanakan dalam program yaitu sektor energi, pengelolaan sampah padat, transportasi dan
sumber daya air.Berdasarkan berita acara serah terima hasil kerjasama Nomor:
415.4/11051/436.6.5/2014, tentang kerjasama pengelolaan sampah di Depo Suterejo dan
pengelolaan sampah organik di IPLT Keputih menetapkan bahwa secara teknis, pelaksanaan
kerjasama pengelolaan sampah antara Pemkot Surabaya dan Kitakyushu yang diwakilkan oleh
Nishihara CO.LTD ini berpusat pada pengelolaan sampah padat yang dilakukan di Super Depo
Sutorejo dan pengelolaan sampah organik di IPLT Keputih. Kerjasama sister city Surabaya dan
Kitakyushu dalam proyek Super Depo Suterjo ini tidak memiliki kendala atau hambatan yang
signifikan hal ini dapat dilihat dari kesadaran warga Surabaya yang sudah cukup tinggi dalam
menyikapi masalah sampah, begitu juga dengan pemerintah Kota Surabaya yang dengan bijak
memberikan sarana dan prasarana terhadap warganya untuk mendaur ulang sampah. Wujud
nyata dari keberhasilan kerjasama green sister city Surabaya dan Kitakyushu adalah adanya hasil
kerjasama yang lain seperti Kompos Center Wonorejo dan Biopark Wonorejo
37. S
38. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah
upaya memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan
ekonomi dan keadilan sosial. Hubungan antara ekonomi dan sosial diharapkan dapat
menciptakan hubungan yang adil (equitable). Hubungan antara ekonomi dan lingkungan
diharapkan dapat terus berjalan (viable). Sedangkan hubungan antara sosial dan lingkungan
bertujuan agar dapat terus bertahan (bearable). Ketiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan akan menciptakan kondisi berkelanjutan (sustainable).
39. Dalam pembangunan keberlanjutan terdapat dua dimensi : Pertama adalah dimensi waktu
karena keberlanjutan adalah menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
Upaya Pemerintah Surabaya untuk melakukan pengelolaan sampah dengan teknologi ramah
lingkungan merupakan bentuk kepedulian mereka terhadap generasi yang akan datang. Dengan
mengangkat konsep green city, pengelolaan sumber daya dan industri di Surabaya bisa ramah
lingkungan, sehingga masalah limbah dan polusi dapat diatasi tanpa merusak lingkungan. Kedua
adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan.
Harmonisasi antara sistem ekonomi dengan sumber daya alam dan lingkungan sangat
diperlukan.
40. Sumber daya alam dan aset lingkungan hidup memberikan kontribusi terhadap perekonomian.
Pengelolaan sumber daya alam yang tepat guna, dengan pertimbangan sumber daya tersebut
harus tetap dipelihara untuk generasi kedepannya akan menciptakan keseimbangan lingkungan.
Limbah dan polusi dari industri juga harus dapat dikelola dengan benar sehingga tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan. Dengan pertimbangan inilah, Pemerintah Kota Surabaya
melakukan pengelolaan lingkungan hidup dengan metode green development. Kesepakatan
kerjasama sister city yang dibangun oleh Kota Surabaya dengan Kota Kitakyushu menghasilkan
kegiatan-kegiatan lainnya yang mendukung upaya pengelolaan sampah. Selain belajar mengenai
pengelolaan sampah di Super Depo Sutorejo, Pemerintah Kota Surabaya juga melakukan
pertukaran delegasi pendidikan (training, seminar, kunjungan sekolah, partisipasi acara) untuk
membangun Model Low Carbon Society untuk menyelesaikan masalah energi dan sampah di
kota Surabaya. Dalam pelaksanaan program green sister city antara Kota Surabaya dengan Kota
Kitakyushu, pihak yang terlibat tidak hanya dari masyarakat setempat, namun juga berasal dari
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, serta pihak swasta. Masyarakat
setempat yang terlibat adalah masyarakat sekitar Super Depo Sutorejo. Untuk LSM yang terlibat
adalah LSM Tunas Hijau dari Universitas Negeri Surabaya serta LSM Pusda kota dari Universitas
Surabaya. Dengan adanya kerjasama semua pihak, Super Depo Sutorejo berjalan lebih efektif
dalam mengelola sampah.

Selanjutnya controling jurnal satunya


1. Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 1
Intensitas Pengawasan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam Peningkatan Kualitas
Pengelolaan Sampah Kota Surabaya Yohana Eveline Sinaga1 Mahasiswa Program Ilmu
Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga
2. dalam pelayanan penanganan sampah terpadu, salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah
Kota Surabaya adalah menetapkan Peraturan Daerah No. 10 tahun 2012 tentang Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Selain itu, Pemerintah melakukan strategi kreatif, seperti
membangun TPS (tempat pembuangan sementara) di tiap-tiap wilayah kota, membangun bank
sampah, gerakan eco school, campus & office, gerakan Merdeka dari Sampah (MDS) serta
Surabaya Green & Clean. Dari berbagai upaya tersebut, hingga saat ini (melalui
www.kominfo.jatimprov.go.id), penerapan metode 3R telah berhasil mereduksi sampah masuk
ke TPA sekitar 17%. Pemerintah telah membangun 17 rumah kompos, sehingga sampah diolah
sendiri oleh warga dan diharapkan mampu menekan volume sampah yang dibuang ke TPA
(Tempat Pembuangan Akhir). Pemerintah Kota Surabaya juga telah membuat 100 bank sampah
aktif yang terbagi ke 28 kecamatan. Pada tahun 2013 (melalui: www.menlh.go.id), rencana
Pemerintah Kota Surabaya bekerjasama dengan Pemerintah Kota Kitakyushu (Jepang) telah
dilaksanakan sebagai upaya mengembangkan pengelolaan sampah dengan cara sampah dikelola
menjadi kompos atau dimanfaatkan menjadi sumber listrik (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).
Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM No.19 Tahun 2013 tentang
Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara dari Pembangkit Listrik Berbasis
Sampah Kota. Sementara pada tahun 2014 (melalui: www.enciety.co), dengan terpilihnya Kota
Surabaya sebagai pilot project “Kota Rendah Karbon (Low Carbon City)” pertama di Indonesia,
kedua negara juga melakukan kerjasama bilateral mengenai Joint Credit Mechanism (JCM atau
Mekanisme Perkreditan Bersama) untuk kemitraan pertumbuhan rendah karbon dengan target
Kota Surabaya mampu melakukan penurunan emisi gas karbon hingga 140.000 ton/tahun.
Pemerintah Kota Surabaya saat ini juga tengah bekerjasama dengan swasta (PT Sumber Organik)
dalam melakukan pengelolaan sampah Kota Surabaya untuk mengubah sampah menjadi gas
metan, pupuk organik, dan listrik.
3. alam UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; Bab III tugas dan wewenang
Pemerintah disebutkan bahwa Pemerintah memiliki peranan dalam menjamin terselenggaranya
pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan serta melakukan koordinasi antara
lembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam
pengelolaan sampah serta melakukan tindakan pengawasan secara serius. Hal ini juga sejalan
dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 10 tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan
Persampahan/Kebersihan, dimana Walikota maupun Kepala Dinas terkait bertanggungjawab
melakukan pembinaan dan pengawasan atas kegiatan penyelenggaraan kebersihan yang berupa
bimbingan dan petunjuk baik teknis maupun operasional. Terkait hal pengawasan tersebut,
sejalan dengan upaya Pemerintah Kota Surabaya dalam mencapai misinya yang ke 4 yaitu
“Menjadikan Kota Surabaya yang semakin layak huni melalui pembangunan infrastruktur fisik
dan sosial secara merata yang Berwawasan Lingkungan”, maka dengan mengacu pada RPJMD
Kota Surabaya (2010-2015) disebutkan bahwa Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas
Kinerja dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas dari instansi pemerintah
kota serta mendorong terwujudnya praktik kepemerintahan yang baik dan bersih.
4. Pada sektor publik, Aime Heene dkk (2005:178) berpendapat bahwa pemanfaatan atau
penggunaan suatu pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan berguna untuk
mengetahui kekurangan, hambatan-hambatan, kelemahan, kesalahan, atapun kegagalan suatu
kegiatan pemerintahan, sehingga memudahkan mencari solusi atau teknik mengatasinya.
5. Manfaat pengawasan menurut Sondang Siagian (2008:258), diharapkan dapat memberi
masukan bagi pengambil keputusan untuk: - Menghentikan atau meniadakan kesalahan,
penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan. - Mencegah
terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan
ketidakadilan tersebut. - Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik
untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi organisasi dan pencapaian
visi dan misi organisasi.
6. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan
Pertamanan telah sesuai dengan ketetapan UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Surabaya tahun 2010-2015
serta Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 10 tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan
Kebersihan/ Persampahan, mulai dari kegiatan pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan
hingga upaya pengurangan dan penanganan sampah. Pihak Dinas Kebersihan dan Pertamanan
telah melakukan berbagai upaya untuk peningkatan pengelolaan sampah mulai dari sosialisasi
kepada masyarakat, pembangunan rumah kompos, dan sebagainya yang membawa pencapaian
tidak hanya dapat dilihat dari sejumlah prestasi yang diperoleh tetapi juga sebagian masyarakat
menerapkan pengelolaan sampah mandiri/rumah tangga dengan baik serta pelayanan yang baik
kepada masyarakat. Namun, Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam melaksanakan
tanggungjawabnya mengalami beberapa kendala utama seperti dalam hal peningkatan jumlah
penduduk dan diikuti dengan sikap sebagian masyarakat yang masih kurang mau berpartisipasi
dalam melakukan pengelolaan sampah mandiri serta dalam hal biaya untuk pengelolaan
sampah yang terbatas.
7. engawasan yang dilakukan dalam pengelolaan sampah di Kota Surabaya sudah cukup baik, hal
ini dapat dilihat dari keseriusan Dinas Kebersihan dan Pertamanan sebagai pihak yang
bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan sampah dan memberikan pelayanan
kebersihan kepada masyarakat, adanya penetapan tugas dan fungsi pada masing-masing bidang
pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan jelas,
adanya partisipasi dari berbagai pihak mulai dari Pemerintah (baik dari internal Dinas
Kebersihan dan Pertamanan maupun instansi pemerintah terkait termasuk Walikota Surabaya).
masyarakat, dan swasta yang cukup aktif membantu pengawasan pengelolaan sampah baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Dari sisi internal Dinas Kebersihan dan
Pertamanan, intensitas pengawasan yang dilakukan sudah terlaksana dengan baik. Pengawasan
yang dilakukan berlangsung setiap hari oleh Kepala Dinas hingga pada masing-masing pegawai
dalam instansi tersebut.
8.

Anda mungkin juga menyukai