302-Article Text-328-1-10-20181216 PDF
302-Article Text-328-1-10-20181216 PDF
ISSN 2527-7154
Abstrak
Vaksin mirip dengan obat yaitu dapat berpotensi menimbulkan reaksi hipersensitivitas baik ringan
maupun berat. Proses pembuatan vaksin harus memperhatikan keseimbangan antara aspek imu-
nogenisitas dan reaktigenisitas. Hampir semua komponen vaksin berpotensi menimbulkan reaksi
hipersensitivitas namun mekanisme alergi hanya sebagian kecil dari seluruh efek samping vaksin.
Reaksi hipersensitivitas terhadap vaksin ada dua jenis yaitu reaksi segera maupun reaksi lambat. Pene-
gakan diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap vaksin mengutamakan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan tes alergi belum terstandar dan tervalidasi. Penanganan reaksi hipersensitivitas
terhadap vaksin hampir sama dengan penanganan reaksi alergi secara umum. Keputusan pemberian
re-vaksinasi sangat individual tergantung kondisi masing-masing pasien.
Katakunci
Hipersensitivitas, Vaksin
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNRAM/RSUP NTB
*e-mail: jurnal.kedokteran.unram@gmail.com
Imunisasi berarti induksi agar terbentuk suatu imunitas Vaksin AE per Vaksin Anafilaksis
dengan berbagai cara baik secara aktif maupun pasif, 100 rb per 100 rb
sedangkan vaksinasi adalah tindakan pemberian vaksin dosis dosis
(antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas Influenza 3 Measles 0,68
(antibodi) dari sistem imun dalam tubuh manusia. 1 Vak- Hepatitis B 11,8 Rubella 0,73
sin merupakan suatu sediaan biologis yang menimbulk- MMR 16,3 Mumps 0,44
an kekebalan terhadap penyakit. Tujuan utama vaksinasi DTaP 12,5 Varisela 1,30
adalah untuk mencegah timbulnya penyakit dan mengu- HPV 2,60
rangi angka kejadian efek samping. 2;3 Faktor terpenting
yang harus diperhatikan dalam pembuatan vaksin adalah
keseimbangan antara imunogenitasnya (daya memben- Tabel 1 menunjukkan angka kejadian reaksi simpang
tuk kekebalan) dan reaktogenisitas (reaksi simpang vak- dan reaksi anafilaksis pada berbagai jenis vaksin.
sin). Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau reaksi
simpang atau Adverse Event Following Immunization
(AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan de-
ngan imunisasi baik berupa efek samping maupun efek 2. Reaksi Hipersensitivitas terhadap
vaksin, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis Vaksin
atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan
Mekanisme alergi hanya sebagian dari seluruh jumlah
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. 2
adverse event yang berhubungan dengan pemberian vak-
Vaksin mirip dengan obat yaitu dapat berpotensi menim-
sin. Gejala klinis hipersensitivitas terhadap vaksin dapat
bulkan reaksi hipersensitivitas baik ringan maupun ber-
muncul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
at. 4;5 Reaksi alergi dapat terjadi terhadap antigen vaksin,
menjadi gejala lokal atau sistemik. Gejala lokal yang
protein telur atau unsur lain yang terkandung di dalam
paling sering terjadi adalah nyeri, eritema dan beng-
vaksin. 6 Secara epidemiologi, reaksi hipersensitivitas
kak pada lokasi suntikan. Sedangkan gejala sistemik
terhadap vaksin sebagian besar bersifat ringan seperti
yang sering dilaporkan adalah demam dan iritabilitas. 10
urtikaria, angioedema dan ruam non-urtika sedangkan
Tabel 2 menunjukkan tipe efek samping yang immu-
reaksi yang lebih berat seperti anafilaksis sangat jarang
ne mediated yang berhubungan dengan vaksinasi. Sis-
dilaporkan. 7–9
tem pengelompokan yang paling berguna untuk reaksi
Secara umum, angka kejadian reaksi hipersensitivas yang diperantarai oleh reaksi imunologi adalah berda-
terhadap vaksin rendah yaitu 0.65-1,53 kasus per sejuta sarkan onsetnya (waktu terjadinya), apakah segera atau
dosis. 8 Post-marketing surveillance dari The National tertunda dan apakah reaksinya IgE-mediated dan non
Vaccination Programs pada anak di Belanda, Australia IgE-mediated. 8;11
dan Amerika melaporkan terdapat 4,8 sampai 8,3 ke-
jadian efek samping per 100.000 pemberian vaksin. 4
40 Yasa
Jurnal Kedokteran
Hipersensitivitas Terhadap Vaksin 41
alergi telur 2% pada anak-anak dan 0,1% pada kompleks imun antara antibodi antidekstran de-
populasi dewasa. Diagnosis alergi telur ditegakk- ngan BCG sebelumnya atau sensitisasi oleh saka-
an melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pe- rida permukaan bakteri. Kadar yang rendah dari
meriksaan IgE spesifik terhadap putih telur (skin antibodi ini dideteksi pada 70% orang sehat. 11;20
prick test atau serum). 15;16 Ovalbumin bertang-
gung jawab terhadap terjadinya alergi atau reaksi 4. Aluminium Garam aluminium berfungsi sebagai
anafilaksis pada individu yang alergi terhadap te- adjuvant dalam vaksin untuk meningkatkan res-
lur. Vaksin seperti measles, mumps dan rubella pon imun. Manifestasi klinik yang paling sering
(MMR), influenza, yellow fever, tick-borne ence- adalah nyeri, nodul pruritik dan nodul subkut-
phalitis (TBF), herpes simplex dan rabies meng- an pada 19% kasus. Nodul ini timbul akibat re-
andung ovalbumin dengan kadar rendah. 17 Wala- aksi non-spesifik terhadap adanya benda asing,
upun secara teori alergi telur dapat menyebabkan hilang dalam beberapa bulan dan besarnya ber-
reaksi alergi terhadap vaksin MMR, anak yang korelasi positif dengan kandungan alumunium. 9
alergi terhadap telur dapat diberikan vaksin MMR Telah dilaporkan beberapa kasus pasien dengan
karena kadar protein telur dalam vaksin tersebut reaksi hipersensitifitas terhadap aluminium seper-
sangat rendah dan reaksi alergi yang ditimbulkan ti dermatitis yang lokal dan generalisata. Peran
oleh vaksin MMR lebih disebabkan oleh alergi pemeriksaan diagnostik tes tempel sangat penting
terhadap gelatin. 8;18 dalam diagnosis eksim yang diduga diakibatkan
oleh alumunium hidroksida. 11
Gelatin adalah protein hewan yang didapat dari
hidrolisa jaringan kolagen pada binatang yang se- 5. Toksoid Toksoid adalah toksin bakteri yang toksi-
ring digunakan sebagai stabilizer vaksin. Gelatin sitasnya telah dilemahkan oleh bahan kimia atau
dalam jumlah tinggi terdapat pada vaksin MMR, temperatur dimana imunogenisitasnya tetap di-
varisela dan yellow fever sedangkan konsentra- pertahankan. Urtikaria, angioedema dan ruam
si rendah pada DTaP. Reaksi IgE-mediated berat dilaporkan pada 5-13% pasien yang menerima
akibat vaksin yang mengandung gelatin sangat vaksin toksoid. Studi imunologi menunjukkan
jarang namun pernah dilaporkan setelah vaksinasi bahwa reaksi yang timbul lebih diakibatkan oleh
MMR, varisela, dan JE. 8;9 Terdapat hubungan an- aktivasi sistem inflamasi nonspesifik akibat ting-
tara alergi gelatin dengan HLA-DR9 khusus pada ginya komponen bakteri. Biasanya toleransinya
populasi asia. 12 baik bila akan diberikan vaksin booster. 9;14
Antigen vaksin Hepatitis B (HBV) dan Human
Papilloma Virus (HPV) didapat dari kultur yeast
Saccharomyces cerevisiae. Bukti menunjukkan
6. Pendekatan Diagnosis Reaksi
bahwa antigen yeast dari vaksin HBV dan HPV Hipersensitivitas terhadap Vaksin
memberikan risiko minimal terjadinya reaksi aler- The Hypersensitivity Working Group of the Clinical Im-
gi pada individu yang sensitif. 19 munization Safety Assessment (CISA) memberikan alur
2. Antibiotik Beberapa vaksin mengandung antibi- diagnosis dan manajemen pasien dengan hipersensitivi-
otika neomisin, streptomisin, polimiksin B, klor- tas terhadap vaksin (Gambar 1). Beberapa pertanyaan
tetrasiklin dan amfoterisin B untuk menghindari yang penting untuk mengklasifikasikan reaksi yang di-
kontaminasi bakteri dan jamur saat proses pembu- induksi oleh vaksin antara lain onset terjadinya gejala,
atan. Terdapat sekitar 1% kejadian alergi terhadap karakteristik dari gejala dan lokasi lesi. Perbedaan an-
neomisin dengan manifestasi dermatitis kontak ti- tara ITR dengan DTR adalah esensial karena tes alergi
pe lambat. Pasien dengan riwayat anafilaksis kare- yang berbeda. Pada ITR skin prick test (SPT) atau peme-
na neomisin hendaknya tidak divaksinasi dengan riksaan IgE spesifik serum dapat membantu menentukan
vaksin yang mengandung neomisin. Akan tetapi agen penyebabnya. Pada DTR, patch test dapat diker-
kandungan neomisin dalam vaksin tidak cukup jakan. Sering kali reaksi yang terjadi sulit dibedakan
untuk menstimulasi terjadinya DTR. Jadi vaksin apakah termasuk tipe cepat atau lambat. Contohnya,
ini dapat diberikan pada pasien dengan reaksi tipe reaksi pembengkakan lokal sekitar tempat injeksi yang
lambat terhadap neomisin. 2;11 nampak seperti urtikaria, urtikaria atau ruam akibat pe-
nyebab lain dan sinkop akibat reflek vasovagal. 8
3. Pengawet dan stabilizer Pengawet dalam vaksin Adanya riwayat atopi penting untuk ditelusuri. Ato-
seperti thiomersal dan 2-penoxyethanol telah di- pi (rinitis alergika, eksim dan asma) adalah reaksi alergi
laporkan sebagai pemicu alergi setelah vaksinasi. yang diperantari oleh IgE. Studi menyebutkan bahwa
Prevalensi hipersensitivitas terhadap thimerosal kejadian anafilaksis pada pasien atopi sangat jarang di-
1-25%. 2 Komponen dekstran dalam vaksin BCG sebabkan oleh antigen yang menginduksi atopinya. Se-
dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas ringan hingga, adanya riwayat atopi pada seseorang bukanlah
sampai berat. Diagnosis ditegakkan dari pemerik- suatu kontraindikasi untuk dilakukan tindakan vaksina-
saan antibodi anti dekstran (IgM/IgG) pada serum si. 11 Pendekatan diagnosis reaksi hipersensitivitas tipe
ibu, darah umbilikus dan darah bayi dalam 3-4 lambat lebih sulit karena gejalanya yang tidak spesifik
minggu setelah reaksi. Reaksi ini timbul akibat dan dapat disebabkan oleh faktor lain seperti infeksi.
Jurnal Kedokteran
42 Yasa
Jurnal Kedokteran
Hipersensitivitas Terhadap Vaksin 43
Pada beberapa kasus, jarak pemberian dapat di- adalah esensial karena tes alergi yang berbeda untuk
perpanjang. Pada kasus terjadi adverse event, ter- konfirmasi diagnosis. Dalam penatalaksanaannya perlu
dapat dua pilihan yaitu pertahankan dosis vaksin dipertimbangkan risk dan benefit dalam memberikan
atau premedikasi dengan antihistamin dan korti- revaksinasi pada penderita dengan hiperensitivitas ter-
kosteroid oral sebelum menaikkan dosis. Setelah hadap vaksin. Pemberian vaksin sebaiknya dilakukan
dilakukan premedikasi (antihistamin dan steroid), oleh tenaga terlatih, memiliki pengetahuan patofisiologi
lakukan injeksi 1/10 dari total dosis. Tiga puluh yang baik dan memiliki sarana yang cukup bila terjadi
menit kemudian diikuti oleh pemberian sisa dosis. kejadian ikutan pasca imunisasi ringan maupun reaksi
anafilaksis.
Tabel 4. Prosedur pemberian vaksin pada pasien dengan SPT
positif dan mutlak membutuhkan vaksin10
a) 0,05 ml dengan pengenceran 1:10 Daftar Pustaka
b) 0,05 ml tanpa pengenceran 1. Djauzi S, Sunggoro A. In: Imunisasi sebagai upa-
c) 0,10 ml tanpa pengenceran ya pencegahan primer. Dalam: Djauzi S, Koesnoe
d) 0,15 ml tanpa pengenceran S, Sari C, Yogani I, eds. Pedoman imunisasi pada
e) 0,20 ml tanpa pengenceran orang dewasa. 2nd. vol. 1. Balai Penerbit FKUI;
f) Vaksin dengan volume 1,0 ml, 0,5 ml sisanya 2009. p. 4–7.
dapat ditambahkan
2. Winulyo E, Mahdi D, Herdiana D. In: Efek Sam-
Pada pasien dengan DTR, pertimbangan pemberian re- ping dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Dalam:
vaksinasi sebaiknya didasarkan pada riwayat reaksi yang Djauzi S, Koesnoe S, Sari C, Yogani I, eds. Pe-
terjadi sebelumnya karena patch test tidak dapat memp- doman imunisasi pada orang dewasa. 2nd. Balai
rediksi risiko ke depan. Keputusan dilakukan revaksina- Penerbit FKUI; 2009. p. 189–198.
si bersifat individual berdasarkan pentingnya revaksinasi
3. Zhou W, Pool J V Iskander, English-Bullard R, Ball
dan beratnya reaksi sebelumnya. Pasien dengan riwayat
R, Wise R. Surveillance for Safety after Immu-
DTR, umumnya dapat diberikan vaksin dosis penuh. 8
nization: Vaccine Adverse Event Reporting Sys-
Vaksinasi pada penderita alergi terhadap telur (oval-
tem (VAERS), United States, 1991–2001. MMWR.
bumin) Algoritme berikut dapat membantu klinisi dalam
2003;.
memberikan vaksin yang mengandung telur pada pasien
yang alergi terhadap telur (gambar 3). 4. Ada G. Vaccines and vaccination. N Engl J Med.
2001;14(345):1042–1053.
Jurnal Kedokteran
44 Yasa
Jurnal Kedokteran