Pendahuluan
Hukum keluarga Islam merupakan aturan hukum yang mengatur mengenai hal-
ihwal seputar keluarga dalam Islam. Hukum keluarga Islam meliputi hukum perkawinan,
perceraian, hadhonah, waris, wakaf dan lain-lain. Aturan-aturan tersebut diambil dari
hasil ijtihad para Ulama yang biasa disebut fiqh. Fiqh inipun merupakan hasil ijtihad para
Ulama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Jadi sebenarnya hukum keluarga islam
ini merupakan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah, yang kemudian
dipahami oleh para Ulama.1
1
lebih kuat untuk membanting tulang menafkahi keluarganya, dari pada istri. Istri yang
bertugas untuk mengurus rumah tangga, merupakan Suatu Yang adil.
- Sebagai Pencipta Keluarga yang Muslim dan Sakinah
Selain dapat keadilan rumah tangga, hukum keluarga juag berfungsi untuk
keluarga yang sakinah. Karena dengan adanya hukum keluarga seorang suami
maupun istr dapat memahami yang merupakan tanggung jawab dari masing-masing.
Hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam, dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.3
3 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004), hlm. 32.
2
akan mempersulit orang yang melakukannya. Ketiga, tingkatan tahsiniyyah. Pada
tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa dan
tidak pula akan mempersulit kehidupan seseorang.
- Memelihara Akal
Tujuan untuk memelihara akal, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni:
pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus
dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini,
mengakibatkan eksistensi akal manusia terancam. Kedua, tingkatan hajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini tidak
dilaksanakan maka tidak akan merusak akal manusia, akan tetapi hanya akan
mempersulit orang yang bersangkutan. Ketiga, tingkatan tahsiniyyah. Pada tingkatan
ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi akal secara
langsung.
- Memelihara Keturunan
Tujuan untuk memelihara keturunan, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan,
yakni: pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer
(harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini,
mengakibatkan eksistensi keturunan manusia akan terancam. Kedua, tingkatan
hajiyah. Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan
ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan manusia,
akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Ketiga, tingkatan
tahsiniyyah. Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam
eksistensi keturunan dan tidak pula akan mempersulit orang yang bersangkutan, hal
ini hanya berkaitan dengan etika dan martabat manusia.
3
mengakui adanya hak Ijbar, dengan alasan kalau ada kekhawatiran bahwa dengan
perkawinan tersebut si anak akan sengsara.4
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13
menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi kebolehannya seorang laki-
laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk
menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta
tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17
yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali
sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan
yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24.
Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya
dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada
lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah
menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada
kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara
hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya
(walinya). Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada
dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak
perempuannya.
Apabila dibandingkan dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab
Hanafi dalam masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan
pemahaman terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap
bahwa perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu
sendiri.
- Wali Nikah dalam Hukum Keluarga di Malaysia
Perundang-undangan (perkawinan) Malaysia juga mengharuskan (wajib) adanya
wali dalam perkawinan, tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Dalam
perundang-undangan keluarga Malaysia, pada prinsipnya, wali nikah adalah wali
nasab. Hanya saja dalam kondisi tertentu posisi wali nasab dapat diganti oleh wali
4 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara:Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim
Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), hlm. 122-123.
4
hakim (di Malaysia disebut wali raja). Sebab-sebab perpindahan wali nasab kepada
wali aqrab dalam ihram haji/umrah, tidak memiliki wali nasab, wali aqrab sengaja
enggan, anak tidak sah taraf, saudara baru yang tiada wali nasab, wali aqrab hendak
menikah dngan pemohon yang tiada wali setingkat, wali tidak jauh (hilang) yang
tidak dapat dikesan, wali nasab berada jauh lebih dari dua marhalah (93km).5
- Wali Nikah dalam Hukum Keluarga di Indonesia
Di Indonesia, masyarakatnya cenderung sependapat dengan mahzab Syafi’i dan
mewajibkan adanya wali dalam pernikahan. Falam agama islam hanya pihka wanita
saja yang memerlukan wali dalam pernikahan dan wali dari wanita tersebut haruslah
pria. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat wali nikah
dalam hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari 3 yakni
wali nasab, wali hakim dan ali mahakkam.
D. Kesimpulan
Dalam makalah ini, kami menyimpulkan bahwa dinamika perbandingan
pengaturan wali nikah di Negara Muslim Indonesia, Maroko, dan Malaysia dipengaruhi
oleh dua faktor, faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari karakteristik
hukum Islam yang dinamis, flexibel serta mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan
faktor eksternal dipengaruhi oleh faktor kondisi sosiologis, politik serta persinggungan
hukum Islam dan hukum Barat.
DAFTAR PUSTAKA
5 Abdul Monir Yaacob, Pelaksanaan Undang-Undang Islam dalam Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil di
Malaysia, (Kuala Lumpur- IKIM, 1995), hlm. 8-9.
5
Cristopher Matt, “Hukum Keluarga Islam :Tujuan dan Aplikasinya”, diakses dari
http://notesnasution.blogspot.com/2014/12/hukum-keluarga-islam-tujuan-dan.html#,
pada tanggal 07 Desember 2014 pukul 21.29