Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

NASIONALISME

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pendidikan Kewarganegaraan
Yang diampu oleh Bapak ABD. Muid Aris Shofa, S.Pd, M.Sc

Kelompok 5
Bella Nafila (180543635521) S1 PTBG 2018
Hananul Basyaril Halim (170432622550) S1 EKP 2017
Irvan Ari Nurfaizi (180543635521) S1 PTBG 2018
Audrey Chalvira (180544636015) S1 PTBN 2018

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS TEKNIK
MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih karena telah memberikan
ridho serta hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyusun makalah untuk memenuhi
tugas matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan hingga selesai. Adapun penulisan makalah ini
penulis memahami dan menyadari ini tidak pernah lepas dari bantuan, bimbingan, dorongan,
dukungan dan perhatian dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak ABD. Muid Aris Shofa, S.Pd, M.Sc selaku
dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna tapi penulis
akan membuatnya menjadi mendekati sempurna. Saran dan kritik yang sangat berharga dalam
penyelesaian makala ini sehingga menjadi lebih baik. Penulis berharap agar makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 16 Maret 2020

Tim Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah2
1.3. Tujuan Penulisan2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Nasionalisme3
2.2. Sejarah Nasionalisme Insonesia 5
2.3. Nasionalisme dan Agama15
2.4. Konsep Nasionalisme Dulu dan Sekarang18
2.5. Menuju Integrasi Nasional Berbasis Kultural-Ideologi20
2.6. Contoh Kasus Nasionalisme21

BAB III. PENUTUP


3.1. Kesimpulan23
3.2. Saran23
Daftar Pustaka 24

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nasionalisme merupakan paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan suatu negara dengan cara mewujudkan suatu konsep identitas berasama untuk
sekelompok manusia (Muhammad Takdir Illahi, 2012: 5). Nasionalisme dalam bangsa
menunjukkan bahwa suatu bangsa memiliki identitas serta jati diri yang tidak dimiliki oleh
bangsa lainnya. Nasionalisme memunculkan rasa cinta negara dan suatu kesadaran untuk
menjadi bangsa yang utuh dan merdeka dimana hal ini menciptakan harapan bagi suatu
bangsa unuk bangkit dan berjuang bersama demi mencapai harapan tersebut.
Bangkitnya rasa nasionalisme merupakan suatu titik awal sejarah perjalanan bangsa
dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mana diprakarsai oleh
lahirnya Budi Oetomo 20 Mei 1908. Semangat nasionalisme semakin menyebar dan
mengakar kuat di dalam nurani seluruh bangsa Indonesia kala itu hingga tal ada lagi yang
namanya ‘Bangsa Jawa’, ‘Bangsa Bali’, ‘Bangsa Sunda’, ‘Bangsa Madura’ ataupun bangsa
yang bersifat kedaerahan, semua berintegrasi menjadi bangsa Indonesia.
Hari ini dengan masuknya globalisasi di Indonesia rasa nasionalisme perlahan –
lahan mulai luntur tergerus oleh budaya asing yang diterima dengan mudahnya oleh
generasi muda bangsa Indonesia. Lunturnya rasa nasionalisme menyebabkan terkikisnya
nilai patriotism yang menjadi landasan kecintaan terhadap bumi nusantara.
Semangat nasionalisme diperlukan dalam pembentukan karakter serta ketahanan
mental bangsa Indonesia. Hal ini lah yang menjadi pondasi pembangunan bangsa oleh
generasi muda bangsa Indonesia supaya bumi nusantara tetap lestari di tengah ganasnya
arus globalisasi. Sendi – sendi yang menopang pembangunan bangsa adalah karakter dan
mentalitas rakyatnya, maka dari itu rasa nasionalisme bisa membantu mengokohkan
pondasi tata nilai bangsa Indonesia (Muhammad Takdir Illahi, 2012: 27)

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa itu Nasionalisme ?
2. Bagaimana Sejarah Nasionalisme Indonesia ?
3. Bagaimana Hubungan Nasionalisme dan Agama ?
4. Bagaimana Konsep Nasionalisme Dulu dan Sekarang ?
5. Bagaimana Menuju Integrasi Nasional Berbasis Kultural-Ideologi ?
6. Contoh Studi Kasus Nasionalisme ?

1.3. Tujuan
1. Memahami Pengertian Nasionalisme
2. Menjelaskan Sejarah Nasionalisme di Indonesia
3. Menjelaskan Hubungan Nasionalisme dan Agama
4. Menjelaskan Konsep Nasionalisme Dulu dan Sekarang
5. Menjelaskan Menuju Integrasi nasional Berbasis Kultural-Ideologi
6. Menjelaskan Contoh Kasus Nasionalisme

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Nasionalisme
Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata nation
sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cenderung memiliki
makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno
untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak
tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa
Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan dan sejenisnya.

Kata nation dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan
Latin seperti Perancis, yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau
tanah air. Dan juga bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah
kelahiran”.Dalam bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut
“sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasikan sebagai entitas berdasarkan aspek
sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka”.(The Grolier International
Dictionary: 1992). Pengertian ini jelas mengalami perubahan karena kata nasion dan
nasionalisme diadopsi dan dipakai secara positif untuk menggambarkan semangat
kebangsaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Di bawah pengaruh semangat
pencerahan (enlightenment), kata nasionalime tidak lagi bermakna negatif atau peyoratif
seperti digunakan dalam masyarakat Romawi Kuno. Sejak abad pencerahan (zaman
pencerahan atau zaman Fajar Budi berlangsung selama abad 17–18), kata ini mulai
dipakai secara positif untuk menunjukkan kesatuan cultural dan kedaulatan politik dari
suatu bangsa.

“Kesatuan kultural” dan “kedaulatan politik” merupakan dua kata kunci yang
penting untuk memahami nasionalisme. Nasionalisme dalam pengertian kedaulatan
kultural akan berbicara mengenai semangat kebangsaan yang timbul dalam diri
sekelompok suku atau masyarakat karena mereka memiliki kesamaan kultur. Di sini kita
berbicara mengenai nasionalisme bangsa Jerman atau bangsa Korea atau bangsa-bangsa
di Eropa Tengah dan Timur yang memiliki kesamaan kultur. Semangat kebangsaan atas
dasar kesamaan kultur ini telah terbentuk sebelum terbentuknya suatu negara bangsa.

3
Mengacu pada pengertian ini, Indonesia jelas tidak menganut paham nasionalisme
dalam artian kesamaan kultur. Kita memiliki pluralitas budaya dan etnis yang
memustahilkan kita berbicara mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan
kultur. Masih dalam konteks pengertian ini, sebenarnya wajar saja jika orang Aceh
berbicara mengenai nasionalisme Aceh, demikian pula orang Papua, Maluku, Jawa,
Batak, Bugis, Makassar, Bali, Flores, dan sebagainya. Nasionalisme yang mereka
maksudkan tentu saja adalah semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur ini, dan
semangat ini tidak bisa dikatakan sebagai salah atau benar.

Pengertian kedua adalah nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Berdasarkan


pengertian ini, suatu kelompok masyarakat menentukan sikap politik mereka atas dasar
nasionalisme, entah nasionalisme cultural ataupun nasionalisme politik untuk
memperjuangkan terbentuknya sebuah Negara yang independen. Itu berarti baik
kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan kultur maupun yang multikultur dapat
memiliki nasionalisme dalam artian kedaulatan politik ini. Menurut pengertian ini,
Indonesia termasuk yang memiliki nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Demikian
pula halnya dengan negara-negara lain yang memiliki keragaman kultur.

Nasionalisme adalah kalimat patriotik yang membuat suatu bangsa sesuai dengan
perkembangan zaman. Nasionalisme, pada awal kelahirannya dapat diartikan sebagai
faham atau ajaran yang menuntut penganutnya untuk menyerahkan kesetiaan tertinggi
kepada negara kebangsaannya. Nasionalisme terdiri atas dua unsur, yaitu kondisi atau
kondisi-kondisi obyektif tertentu dan unsur emosi yang bersifat subyektif. Bahasa,
agama, tradisi dan sejarah serta letak geografis adalah sejarah kondisi-kondisi obyektf
yang mungkin mendorong lahirnya nasionalisme. Sedang unsur subyektif dari
nasionalisme adalah kehendak dan tujuan untuk membentuk negara.

Pernyataan bahwa sekelompok manusia mempunyai satu bahasa, satu agama, satu
tradisi, satu kesamaan, sejarah atau bertempat tinggal pada suatu kesatuan geografis dapat
mendorong timbulnya nasionalisme. Keanekaragaman tadi tidak menghalangi lahirnya
nasionalisme, sejauh unsur subyektif (kehendak dan tujuan membentuk negara) dari
nasionalisme telah tumbuh diantara kelompok manusia yang beranekaragam kondisi
obyektifnya itu. Dengan kata lain, kondisi-kondisi obyektif diatas, baru akan mewarnai

4
lahirnya nasionalisme apabila sudah diterjemahkan ke dalam kesadaran diri untuk
membentuk suatu negara.

Nasionalisme didefinisikan sebagai suatu faham tentang sikap loyal yang tulus
dan rasa cinta pada negara dan bangsa dengan bentuk yang disesuaikan dengan
zamannya. Salah satu wujud nyata dari nasionalisme sebagai faham dapat kita lihat pada
saat rumusan sila-sila Pancasila dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dibahas dalam
sidang-sidang BPUPKI maupun PPKI. Proses dalam perumusan sila ataupun pasal-pasal
menunjukkan bagaimana pada akhirnya golongan tua dan golongan muda harus
mengakui kenyataan untuk lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara
ketimbang kepentingan golongan mereka sendiri.

Sementara proses “desak-mendesak” antara kelompok muda dan SoekarnoCs


dalam peristiwa Rengasdengklok memberi gambaran nyata bagaimana nasionalisme
sebagai gerakan telah menjiwai kaum muda di masa itu. Nasionalisme merupakan
kesadaran kolektif kelompok orang (bangsa) untuk bersatu karena merasa terancam pada
diri mereka, sekaligus ada pamrih (merdeka, sejahtera, adil, dan makmur) kepada negara
yang mereka bentuk. Bila pamrihnya terwujud , maka munculah rasa cinta tanah air
(negara).

Nasionalisme sebagai landasan sikap untuk menjadikan kesejahteraan seluruh


warga bangsa sebagai acuan utama dalam berpikir, memilih, dan menentukan kebijakan
maupun dalam bertindak bagi setiap warga bangsa dan lembaga-lembaga bangsa dan
lembaga-lembaga kenegaraan maupun kemasyarakatan tetap kita perlukan saat ini.
Sebab, hanya dengan itulah cita-cita mewujudkan kemerdekaan bangsa dalam artian yang
luas dapat kita wujudkan setahap demi setahap.

2.2. Sejarah Nasionalisme Insonesia


Nasionalisme Indonesia yang dalam perkembanganya mencapai titik puncak
setelah Perang Dunia ke II yaitu dengan di prolkamasikannya kemerdekaan Indonesia
berarti pembentukan nation Indonesia berlangsung melalui proses sejarah yang panjang.
Timbulnya nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda
yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di Indonesia. Usaha untuk menolak
kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan disebut
5
nasionalisme Indonesia. Tahun 1799 pemerintah hindia belanda mengeksploitasi
ekonomi dan penetrasi politik sampai pada tahun 1830 dengan memperkenalkan sistem
administrasi dan birokrasi ”sewa tanah” tetapi mengalami kegagalan. Kemudian diganti
dengan sistem tanam paksa yang mengintensifkan sistem tradisisonal yang terdapat
dalam ikatan feodal, ini terjadi pada pertengahan abad XIX. Kemudian pada awal abad
XX menggantinya dengan “politik balas budi atau politik etis.” Dalam politik etis
terdapat usaha memajukan pengajaran bagi anak-anak indonesia. Sehingga memunculkan
beberapa respons yang positif dari generasi bangsa Indonesia, diantaranya:

a. Budi Utomo
Secara historis, semangat nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa sejak berdirinya Boedi
Oetomo yang merupakan keprihatinan dr. Wahiddn sudiro husodo yang
dikembangkan oleh Sutomo mahasiswa Stovia serta rekan-rekannya untuk
mendirikan Budi Utomo di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908, ini menampilkan fase
pertama dari Nasionalisme Indonesia dan menunjuk pada etno nasionalisme dan
proses penyadaran diri terhadap identitas diri Bangsa Indonesia.

b. Sarekat Islam
Sarekat islam adalah organisasi yang bertujuan menghidupakan kegiatan ekonomi pedagang
islam jawa yang diikat dengan agama yang pengaruhnya jauh lebih besar dari pada
Boedi Oetomo, namun berkembang menjadi gerakan nasionalisme.. Didirikan pada
tahun 1912 oleh H. Samanhudi. Dalam waktu kurang dari satu tahun SI menjadi
organisasi raksasa yang mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda menjadi resah
akan keberadaannya.
Sarekat Islam mengalami percepatan kemajuan yang merata hampir di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, sifat keterbukaan organisasi ini telah memicu terjadinya perpecahan di
tubuh SI sehingga lahirlah “SI Putih” dan “SI Merah”. Jika “SI Putih” tetap
mengutamakan ideologi islam dan Pan-Islamisme sebagai landasan untuk
mempersatukan bangsa maka “SI Merah” di bawah pimpinan Semaun, Darso, dn
Tan Mlaka memiliki kecenderungan yang berbeda.Golongan kiri dalam SI inilah
yang akhirnya menjadi cikal-bakal lahirnya partai komunis Indonesia (23 Mei 1920),

6
dalam hal yang menyangkut dasar partai, PKI berpegang teguh prinsip sosialisme,
internasionalisme,dan menganggap nasionalisme. Sebagai musuh utama. Oleh karena
itu, dalam konperensi SI (Maret 1921), Fahrudin-wakil ketua Muhammadiyah
mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak mungkin berhasil
jika tetap bekerja sama dengan golongan komunis.
c. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Sejarah mencatat bahwa PKI berhasil menempatkan diri sebagai partai terbesar sehingga
mendorongnya melakukan pemberontakan kepada pemerintah Belanda pada 13
November 1926. Pemberontakan PKI ini telah meyebabkan banyak tokoh pergerakan
nasional harus dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, dan Irian Jaya.
Sesudah PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah Belanda, Soekarno
merasakan perlunya bangsa Indonesia memiliki partai sebagai wadah baru yang
mampu menampung gerakan “nasionalisme modern” yang radikal. Pada 4 Juli 1927,
lahirlah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diawali oleh berdirinya Algeemene
Study Club (1925). Ideologi partai ini adalah nasionalisme radikal, sebagaimana
tuisan Soekarno dalam Nasionalisme, Islamisme, dan marxisme (1926). Tulisan
tersebut merupakan respons Soekarno atau tulisan H.O.S Tjokroaminoto
tentang Islam dan Sosialisme. Ketiga kekutan ideologi tersebut, yakni Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme, merupakan landasan pergerakan nasional secara garis
besar, dan oleh Soekarno dianggap sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia. Ketiga
tersebut kemudian terkenal dengan singkatan NASAKOM.
d. Indische Partij
IP adalah organisasi campuran yang menginginkan kerjasama orang Indo dengan orang
Bumiputra. Organisasi ini didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker alias setyabudi di
Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Oganisasi ini melalui kesatuan aksi dpat
mengubah sistem yang berlaku dengan antitesis antara penjajah dan terjajah.
e. Muhammadiyah
Agama Islam adalah lambang persatuan rakyat, makadari itu K.H. Ahmad Dahlan di
yogajakarta pada 18 November 1912 menjadikan Muhammadiah sebagai organisasi
yang bertumpu  pada cita-cita agama dengan aliran modernis islam dan memperbaiki
agama bagi umat islam Indonesia. Organisasi ini melakukan perbaikan melalui 3

7
bidang yaitu, keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Pembaharuan pada
bidang keagamaan adalah memurnika dan mengembalikan sesui pada aslinya (Al-
Qur’an dan Sunnah). Pembaharuan pada bidang pendidikan mencakup perbaikan dan
pembentukan muslim yang berbudi, alim, luas pengetahuan dan faham masalah ilmu
dunia dan masyarakat dengan sistem pendidikan yang menggabungkan cara
tradisional dan cara modern. Perbaikan pada bidang kemasyarakatan dengan
mendirikan rumahsakit, poliklinik, rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga.
Pada tahun 1923 berdirilah Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) yang
merupakan bentuk kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.
Di samping organisasi politik terdapat pergerakan keagamaan bersifat nasionalisme seperti
Muhammadiyah di Jogjakarta pada 18 November 1912 yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan dengan tujuan memajukan pendidikan berdasarkan agama Islam
dengan mendirikan sekolah-sekolah agama, masjid, langgar, dan rumah sakit.
Setelah itu lahir Nahdhatul Ulama di Surabaya pada 31 Januari 1926, organisasi ini
merupakan respon atas maraknya semangat nasionalisme dan respon terhadap
kebijakan dan langkah SI dan Muhammadiyah yang tidak mengikutsertakan
golongan tradsional dalam konggres Islam sedunia di Kairo.
f. Kelompok Katolik lahir Indiche katholieke Partij (IKP)
Pada November 1918 yang bertujuan memajukan bangsa berdasarkan agama katolik. Pada
Setember 1917 lahir Christelijke Ethische Partij (CEP) yang bertujuan menjadikan
agama Kristen sebagai dasar dalam menyusun negara dan memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda. Pada 22 februari 1925, berdiri dari umat Nasrani
Partai Katolik Djawi di Djogjakarta, partai ini terbuka untuk semua Golongan tidak
dibatasi dari orang Jawa saja dengan menjadikan bahasa Melayu, sebagai bahasa
resmi partai.
g. Nahdlotul Ulama’
Berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, sebagai organisasi sosial keagamaan yang
didirikan oleh para ulama’, pemegang teguh salah satu dari 4 madzhab, berhaluan
Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah, bertujuan mengembangkan dan mengamalkan ajarang
islam serta memperhatikan maslah sosial, ekonomi, dan sebagainya dalam rangka

8
pengabdian kepada umat manusia. Pusat-pusat NU ada di Surabaya, Kediri,
Bojonegoro, Bondowoso, Kudus.
h. Perhimpunan Indonesia
Dipimpin oleh Iwa Kusuma Sumantri, J.B.Sitanala, Moh. Hatta, Sastra Mulyono, D.
Mangun Kusumo, dan Majalah “Indonesia Merdeka”. PI bertujuan menyadarkan
para mahasiswa agar mempunyai komitmen yang bulat tentang persatuan dan
kemerdekaan indonesia sebagai Elite Intelektual dan Prfesional harus bertanggung
jawab untuk memimpin rakyat melawan penjajah, membuka mata rakyat belanda
bahwa pemerintah kolonial sangat opresif dan meyakinkan rakyat Indonesia tentang
kebenaran perjuangan kaum Nasionalis, mengembangkan Edeologi yang bebas dan
kuat diluar pembatasan Islam dan komunisme. Empat pikiran pokok PI tahun 1965
yaitu: kesatuan Nasional, solidaritas, Non koperasi, dan suadaya.
i. Kongres pemuda dan Sumpah pemuda
Para pelajar dan mahasiswa dan beberapa organisasi bergabung dalam PPPI
(Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) pada tahun 1926 dan melakukan kongres
pemuda Perdana pada bulan mei 1926 dengan mengesampingkan perbedaan sempit
berdasarkan daerah dan menciptakan kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Kongres
pemuda kedua tanggal 26-28 Oktober 1928 yang dihadiri oleh sembilan organisasi
pemuda beserta sejumlah tokoh politik. Diantaranya Soekarno, Sartono, dan
Sumaryo. Ini merupakan puncak ideologi integrasi Nasional dan peristiwa Nasional
yang belum pernah terjadi terbukti dengan pengucapan sumpah setia dengan bunyi
sebagai berikut:
1) Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia.
2) Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
3) Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa pemersatu, bahasa indonesia.
Dalam penutupan kongres di kumandangkan lagu Indonesia Raya untuk
mengiringi pengibaran bendera merah putih. Tiga sumpah diatas mengandung tiga
pengertian yang merupakan kesatuan yaitu pengertian wilayah, bangsa yang
merupakan massa dan bahasa sebagai alat komunikasi yang homogen. Kesatuan
dalam pluralisme sosial-budaya itulah yang menjadi cita-cita Sumpah Pemuda.

9
Sumpah Pemuda memang tidak identik dengan nasionalisme, tetapi mengintegrasikan
potensi bangsa, yang berarti pula sejalan dengan hakikat nasionalisme sebagai faktor
integratif bagi berbagai potensi kultural masyarakat.
j. Partai Indonesia
Pada tanggal 1 mei 1931 pendirian PARTINDO di bawah pimpinan Sartono
adalah lanjutan PNI yang telah dibubarkan, dengan tujuan mencapai satu negara
Republik Indonesia Merdeka dan kemerdekaan akan tercapai jika ada persatuan
seluruh bangsa Indonesia. PARTINDO adalah partai politik yang menghendaki
kemerdekaan Indonesia yang didasarkan atas prinsip menentukan nasib sendiri,
kebangsaan, menolong diri sendiri, dan demokrasi.
k. Organisasi pemuda dan kepanduan
Kaderisasi pemimpin yang dibutuhkan oleh negara denganciri Regionalisme
sebagai perkumpulan kedaerahan yang terjun kelapangan sosial politik. Trikoro
Darmo didirikan tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta oleh dr. R. Satiman Wiryo Sanjoyo,
Kaderman, dan Sunardi serta beberapa pemuda lainnya yang mempunyai cita-cita
cinta tanah air, memperluas persaudaraan dan mengembangkan kebudayaan Jawa.
Tapi pada tahun 1915 berubah menjadi Jong Java yang orientasinya lebih luas
mencakup Jaya Raya, Milisi, dan pergerakan rakyat pada umumnya. Sedangkan pda
ahir tahun 1928 Jong Java dibubarkan dan diganti dengan Indonesia Muda dengan
maksud menempuh orientasi Nasionalis yang sebenarnya.
Pada tahun 1927 di Bandung, didirikan pemuda Indonesia. Pada 9 Desember 1917 di
Jakarta didirikan Jong Sumatranen Bond dengan tujuan memperkokoh ikatan sesama
murid Sumatra dan mengembangkan kebudayaan Sumatra. Tahun 1918 didirikan Jong
Minahasa dan Jong celebes. Keinginan bersatu dari berbagai organisasi kepanduan adalah
refleksi dari keinginan untuk bersatu guna merealisasikan perasaan kebangsaan, bukan
hanya dikalangan pemuda dan organisasi politik, tetapi juga tampak terang dikalangan
kepanduan.
Era pergerakan Nasional lahir juga organisasi kedaerahan seperti pasundan (1920),
srikat Sumatra (1918), perkumpulan orang Ambon, perkumpulan orang Minahasa
(Agustus 1912), perkumpulan kaum Betawi (1 Januari 1923). Dikalangan pemuda lahir
organisasi para pemuda seperti: Jong Java (7 Maret 1915), Jong Sumatren bond (9

10
Desember 1917), Jong Mina Hasa (1918), Jong Ambon, Jong Cebelles, Jong Islamieten
Bond, dan Perhimpunan Indonesia tahun 1922 di Belanda. Jadi, masa Nasionalis
Indonesia tumbuh dari perasaan senasib dan sependeritaan akibat penjajahan. Walaupun
dari suku, agama, dan ras yang majemuk tetapi satu bangsa dan berusaha membebaskan
diri dari penderitaan tersebut dengan cita-cita mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Nasionalisme pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan  secara umum


dibentuk dengan cara menciptakan suatu common enemy  yakni musuh bersama  bagi
bangsa Indonesia.  Dengan hal tersebut maka rasa memiliki bangsa Indonesia yang ingin
menjaga negaranya dari musuh yag ingin memeceah kesatuan Republik Indonesia akan
terpupuk dan menjadikan semangat nasionalisme.  Bung Karno memaknai musuh
bersama bangsa Indonesia adalah kolonialisme dan neo-kolonialisme. Pada masa awal
kemerdekaan Indonesia bentuk gerakan nasionalisme adalah dalam wujud perlawanan
fisik dan upaya diplomasi bangsa Indonesia dalam upaya untuk mempertahankan
kedaulatan RI.

Adapun bentuk-bentuk dari wujud nasionalisme rakyat Indonesia yaitu: Peristiwa


pertempuran tanggal 10 November 1945 di Surabaya, peristiwa Bandung Lautan Api,
Palagan Ambarawa, Konferensi Linggar Jati, Konferensi Renville, serta KMB. Termasuk
di dalamnya upaya penanggulangan pemberontakan dari dalm negeri seperti: DI/ TII,
PRRI/ Permesta, RMS baik Belanda maupun para pemberontak adalah sama-sama musuh
bersama bangsa Indonesia yang harus dilawan demi menegakkan kedaulatan negera RI.
Pada tahun 1963, Soekarno menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia karena
menganggap itu sebagai proyrk neo-kolonialisme Inggris yang dapat membahayakan
revolusi Indonesia yang belum selesai. Maka pada saat itu bangsa Indonesia di
kondisikan untuk kemudian menganggap Malaysia sebagai musuh bersama bangsa
Indonesia dan harus dilawan, yang kemudian melahirkan ultimatum Ganyang Malaysia.
Tahun 1966, gerakan nasionalisme Indonesia dimanifestasikan dengan menciptakan
musuh bersama PLI dan Orla.
Dalam era Reformasi 1998-2003, gerakan nasionalisme menampakkan wujudnya
dalam wajah yang baru dan berbeda dari model nasionalisme pada masa rezim Soekarno

11
yakni dalam bentuk perlawanan terhadap represi politik rezim yang berkuasa dan dalam
perlawanan daerah terhadap pusat. Tragedi 12 Mei 1998 terjadi penembakan mahasiswa
Trisakti, dan 1 Januari 2001 saat diberlakukannya OTODA merupakan momentum
puncak dari gerakan nasionalisme pada masa transisi menuju demokrasi di
Indonesia. Ada beberapa masa nasionalisme yang dialami Indonesia setelah
kemerdekaan, diantaranya:
a.       Nasionalisme kaum muda pasca kemerdekaan 1945
Gerakan mahasiswa angkatan 1998 orde reformasi adalah penggugatan atas
penyelewengan pemerintahan dan penguasa dalam mengatur negara. Gerakan mahasiswa
tahun 1996 organisasi mahasiswa berorientasi politik berafiliasi dengan partai politik
tertentu dan para aktifisnya memiliki hubungan emosional dan historis dengan para elit
politik nasional, ini terlepas dari gejala yang muncul sejak zaman sistem demokrasi
liberal atau sistem demokrasi parlementer ditahun 1950-1959. Dekrit presiden 1959
dibawah pemerintahan Soekarno pada masa sistem demokrasi terpimpin. Kesatuan aksi
mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 untuk melancarkan
perlawanan terhadap kekuatan PKI dan antek-anteknya sampai puncaknya runtuh pada
rezim Soekarno sebagai orde lama. Tahun 1973 kembali terjadi aksi mahasiswa,
keraguan akan strategi pembangunan orde baru dan berlanjut dengan peristiwa Malari
tahun 1974 dengan isu anti monopoli produksi Jepang.
Gerakan mahasiswa di era 1980-an memunculkan isu lokal sebagai akibat ketidak
adilan dalam pembangunan terhadap rakyat yang diangkat ke permukaan sebagai isu
nasional yang bersifat sporadis dan fragmentaris. Nilai perjuangan pada angkatan 1998
dalam simpul perubahan sejarah politik negara, nilai-nilai perjuangan yang diangkat
lebih kepada isu konkrit berkaitan dengan penyimpangan dan penyelewengan
penyelenggara pemerintah serta pembangunan yang dirasakan masyarakatdengan tidak
bersistem.
b.      Nasionalisme kaum muda di Indonesia era reformasi
Peran mahasiswa sebagai ujung tombak muncul belakangan sebelum gerakan
moral yang dilakukan mahasiswa telah terjadi sebelumnya seperti gerakan mahasiswa
tahun 1971 (aksi penolakan TMII), 1974 peristiwa Malari (aksi penolakan monopoli
Jepang), aksi 1978 (protes atas sidang MPR). Akan tetapi gerakan perubahan sosial oleh

12
angkatan 1998 membuktikan reformasi mengalami mati suri. Keberadaan KAMMI
mengingatkan kita dengan peran HMI pada tahun 1966 saat runtuhnya rezim orde lama
dan tampilnya pemerintahan orde baru, dimana tokoh mahasiswa HMI masuk dalam
dalam gerbong pemerintahan baru sebagai sub ordinasi kekuasaan Suharto.
c.       Penegakan hukum dan HAM sebagai realitas simbolik
Penegakan hukum di Indonesia saat ini baru sebatas slogan belaka dan belum 
dilaksanakan secara optimal. Penyebab utamanya adalah karena pejabat dan aparat
penegak hukum masih terdiri dari orang-orang lama yang mereka sendiri belum bersih
dan juga oarang-orang yang bermasalah. Penegakan huk um semestinya dimulai dari
pucuk pimpinannya dan dari aparat yang bersentuhan langsung dengan persoalan
tersebut. Berkaitan dengan pelanggaran hukum dalam kehidupan sehari-hari (legalisasi
perjudian), seorang muslim yang menjadi pejabat negara harus memiliki sikap untuk
mendahulukan kepentingan masyarakat secara umum. Seorang pemimpin harus
mempunyai ketegasan dalam menjalankan kaidah hukum tanpa pandang bulu. Oleh
karena itu, penegakan hukum dan HAM tidak boleh menjadi realitas simbolik belaka.
Dan untuk menjamin semua itu posisi hukum menjadi sangat penting.
d.      Sparatisme dengan topeng agama
Subjek penelitian berpendapat bahwa konflik Aceh bukanlah konflik agama
melainkan murni termotifasi kepentingan politik dengan topeng agama, yakni konflik
vertikal anatara GAM yang ingin memisahkan Aceh dari pangkuan NKRI. Apalagi Aceh
sudah menjadi sebuah daerah yang istimewa yang bernama Nangrue Aceh Darussalam,
dimana aturan hkum, sosial dan budaya diupayakan sangat Islami. Dan itu adalah bentuk
pemberian hak yang sangat istimewa karena tidak diberikan kepada daerah-daerah lain.
Dengan adanya gerakan sparatisme yang ada di sana tentu sangat mengganggu
mantapnya nasionalisme Indonesia. Dan untuk menyelesaikan kasus sparatis yang ada di
Aceh perlu melakukan dialog dan akomodasi politik anatra kedua belah pihak dengan
tujuan agar kepentingan Indonesia dan kepentingan GAM bisa mendekati titik temu yang
akan melenjutkan solusi konflik di sana. Para Ulama berpendapat bahwa GAM memang
ingin merdeka dan ingin menjadikan Aceh sebagai negara Islam dengan dasar Amar
ma’ruf nahi munkar. Akan tetapi, dalam pandangan para Ulama hal itu tidak perlu
dilakukan dengan cara memberontak dan menebarkan kerusakan.

13
e.       Demokrasi, civil society dan pluralitas: civilian politics yang masih tertunda
Banyak pihak memyamakan istilah civil society dengan masyarakt madani. Akan
tetapi dala prespektif para Ulama menggunaka istilah masyarakat mutammidin
daripapada menyebut masyarakat madani, karena mereka berargumen bahwa terjemahan
yang benar dari civil society adalah kosa kata tersebut (masyarakat tamadun). Adapun
wacana pluralitas, mendasarkan pandangannya pada pernyataan al-Qur’an bahwa Tuhan
telah menciptakan manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Perbedaan antar
komunitas tersebut bukan untuk saling merugikan melainkan agar perbedaan tersebut bisa
menjadi potensi untuk merealisasikan kebijakan.
Sedangkan wacana demokrasi para Ulama sepakat bahwa padananterm demokrasi
dalam Islam adalah kosa kata musyawarah. Mereka mengimplementasikan teknis
demokrasi dalam proses pemilihan seorang pemimpin. Dengan demikian, yang paling
penting dari masalah demokrasi adalah adanya keseimbangan antara kedaulatan rakyat
dan kedaulatan negara. Oleh karena itu diharapkan agar semua pemimpin pemerintahan
dan masyarakat segera meluruskan ulang masalh visi kebangsaan, konsepsi
kewarganegaraan dan penciptaan keadilan sosial secara serius dan lebih transparan dalam
prespektif civilian politics.
f.       Tantangan global dan kepemimpinan kaum muda
Nasionalisme lama cenderung bercorak emosional, tidak rasional, sloganistik,
heroik, reaktif dan konfrotatif. Nasionalisme baru lebih bercorak realistis,
mengedepankan pertimbangan rasional, bersifat komprehensif, solutif, menomorsatukan
aspek kualitas sumber daya manusia, dan kemampuan untuk berkompetisi, khususnya di
arena global di tengah derasnya arus globalisasi dunia. Tantangan inilah yang sedang
dihadapi pemuda Indonesia baik tantangan eksternal maupun tantangan internal.
Tantangan eksternal diantaranya kecenderungan pengaruh negatif ideologi global bagi
kalangan muda terpelajar yang cenderung menjadi birokratis dan menjadi sekrup ideologi
penjajah yang menindas bangsanya sendiri. Isu HAM, demokratisasi, kebebasan,
keterbukaan dan pasar bebas sebagai wujud keinginan perubahan dalam masyarakat,
harus disikapi secara kritis, responsif dan antisispasi dengan kemampuan kita memilih
dan memilah.

14
Dalam menghadapi pengaruh global (politik barat) yang tidak semuanya positif,
kita harus mempunyai nilai-nilai unggulan budaya yang menjadi perhatian untuk
dikembangkan yakni nilai-nilai budaya bangsa yang positif bukan yang negatif termasuk
juga dalam menyerap nilai-nilai budaya dari luar sebagai kenyataan dari prises globalisasi
budaya bangsa yang terus berlangsung dengan perubahan yang begitu cepat dan sangat
bervariasi serta kecenderungan terjadinya disorientasi terhadap budaya bangsa suatu
negara. Tantangan internal idealisme masyarakat Indonesia terkini, mengenai fenomena
dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi karena sulit meraih kesempatan hiduo yang lebih
layak pada berbagai aspek termasuk mendapatkan pendidikan yang baik, masalah
kemiskinan bangsa Indonesia, tekanan budaya yang hedonis, materialisme dan pragmatis
mengakibatkan kaum muda kita untuk mencari jalan keluar dengan cara pola hidup jalan
pintas, menganut budaya tisu dan meraih kenikmatan hidup yang fatamorgana. Melihat
kondisi seperti itu maka posisi dan peran pemuda menghadapi globalisasi adalah dengan
tiga cara:
1) Pemahamn yang baik dan benar akan hakekat dan makna globalisasi, berikut manfaat
dan mudharatnya. Dengan ini diharapkan pemuda dapat mengetahui dimana dan
bagaimana memposisikan diri serta perannya sebagai generasi masa depan bangsa
secara tepat.
2) Kepandaian dan kecerdasan pemuda dalam menyikapi dan memerankan diri ditengah
arus globalisasi yang diharapkan dengan pemahaman yang baik serta mendalam,
muncul pola sikap dan kebijakan yang tepat ketika merespon ekses-eksesnya.
3) Faktor kemampuan pemuda untuk memperkuat jaringan kerjasama yang saling
menguntungkan serta sinergitas dengan berbagai komponen strategis dalam
globalisasi, khusus dengan kalangan elemen pemuda dunia dari berbagai
mancanegara baik di tingkat regional maupun internasional untuk bersama-sama
merumuskan dan mengimplementasikan agenda bersama.

2.3. Nasionalisme dan Agama


Agama dan nasionalisme perlu disejajarkan kedudukannya sebab keduanya secara
politik sangat penting dalam memperkuat kehidupan bernegara. Karena itu tidak salah
jika dikatakan Indonesia dibentuk sebagai negara yang dijiwai oleh agama- (agama) dan

15
nasionalisme. Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok
manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat ketika pola pikirnya mulai
melemah. Ikatan ini terjadi saat manusia hidup bersama dan menetap dalam wilayah
tertentu. Pada saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong
mereka mempertahankan negeri dan tempat menggantungkan diri, terutama ketika
ancaman dari luar datang.

Pada zaman modern, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan


ketentraman yang berlandaskan nasionalisme etnik dan agama. Para ilmuwan politik
biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti
Nazi-isme, dan sebagainya. Namun saat ini, agama dapat menjadi “candu” masyarakat.
Dalam memahami Islam sebagai agama kemanusiaan, hal itu tidaklah mudah dan
kemungkinan dapat dianggap sebagai kesesatan. Agama lebih mudah dihayati sebagai
doktrin yang keras sehingga dapat melunturkan rasa nasionalisme terhadap negara dan
bangsa.

Di Indonesia, perdebatan antara kelompok nasionalis dengan agama tidak kunjung


selesai. Keduanya bertarung memperebutkan kebenaran politik. Para sejarawanan
cenderung menelusuri pertarungan itu sejak Piagam Jakarta, tetapi ada yang mengambil
klaim lebih jauh hingga pertarungan dalam tubuh Sarekat Islam tahun 1910-an. Beberapa
studi sejarah mengenai hal itu, memunculkan anggapan bahwa dalam pertarungan itu,
kelompok nasionalis menjadi pemenang. Klaim ini mungkin benar, tetapi pada beberapa
kasus, kemenangan kelompok nasionalis bukannya tanpa syarat. Terdapat banyak contoh
mengenai pergumulan politik di Indonesia yang telah menghasilkan kultur politik hibrida
dengan mencampurkan ide-ide yang secara prinsip memiliki perbedaan (Didi 2015
www.newhistorian.wordpress.com).

Dengan kata lain, kepentingan “kelompok agama” juga membaur didalamnya.


Adanya kultur hibrida ini menyiratkan konstruksi religiusitas di Indonesia mengalami
proses modifikasi. Dalam arti agama yang datang tidak pernah “taken for granted”,
melainkan mengalami adaptasi dan akulturasi terhadap budaya di mana agama itu
tumbuh. Dalam konteks politik, hal ini tampak ketika muncul ide-ide nasionalisme,

16
demokrasi dan keadilan sosial yang menjadi tren di seantero dunia, dan agama
melibatkan diri untuk hal itu (Didi 2015 www.newhistorian.wordpress.com).

Problem ketegangan ini sebenarnya telah dirasakan oleh para pemikir muslim di
Indonesia. Hasilnya, lahir pemikiran yang menyebutkan nasionalisme dan agama
memiliki kepentingan pararel dan tidak bertentangan (Didi 2015
www.newhistorian.wordpress.com ). Problem fenomena perilaku orang kota di Indonesia
akhir-akhir ini yang merasa sebagai orang Islam, misalnya berkaitan dengan sistem
pendidikan yang tidak mampu menguatkan sentimen kebangsaan. Semangat agama
sebagai bagian pandangan hidup dipersepsikan menjadi sesuatu yang salah dan
bertentangan dengan prinsip kebangsaan. Karena identitas agama dipersepsikan dalam
bentuk penampilan dan simbol, bukan nilai sakral, atau sebatas identitas agama yang
dipraktekkan secara berlebihan sehingga memancing terjadinya konflik (Aldhira 2011).

Masalah konflik identitas agama dan kebangsaan menjadi sesuatu yang biasa bagi
sebagian negara, namun masalah itu seharusnya tidak bagi Indonesia karena dua alasan,
pertama adanya landasan historis perjuangan bangsa dan kedua adalah falsafah
(pandangan dunia) Pancasila (Aldhira 2011). Landasan pertama adalah landasan historis,
yaitu sejarah perjuangan kebangsaan, ketika semangat kebangsaan dan agama berkaitan
erat. Seperti berkobarnya pertempuran di Surabaya, pada saat itu Bung Tomo yang
menggelorakan semangat jihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dan tokoh-
tokoh ulama yang juga mendapat gelar pahlawan nasional, seperti KH Achmad Dahlan,
KH Hasyim Asy’ari, dan HOS Tjokroaminoto, ataupun KH Agus Salim. Dari perjalanan
hidup tokoh-tokoh itu sangat jelas mereka sosok yang mensinergikan identitas
kebangsaan dengan agama. Identitas kebangsaan dipupuk dengan motivasi keagamaan,
sehingga lahir semboyan cinta tanah air bagian dari keimanan (Aldhira 2011). Belum lagi
catatan sejarah jika mengurai keterlibatan agama Hindu di Bali dalam perang revolusi
kemerdekaan dan juga agamaagama lain, seperti Gereja Katholik dan Protestan di masa
awal kemerdekaan Indonesia.

Landasan kedua adalah landasan filosofis Pancasila yang idealnya senantiasa


dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Butirbutir Pancasila tidak membenturkan antara
identitas agama dengan kebangsaan. Pancasila justru mensinergikannya. Falsafah

17
Pancasila menjadikan landasan agama sebagai identitas pokok kebangsaan, seperti pada
sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang menegaskan identitas kebangsaan
Indonesia dilandasi oleh aktivitas religius. Dan dari sila pertama ini menjelaskan prinsip-
prinsip ketuhanan menjadi bagian dari pedoman hidup dalam bernegara dan berbangsa
(Aldhira 2011).
Berdasarkan prinsip Pancasila, nilai-nilai agama memungkinkan menjadi referensi
dalam perundang-undangan selama ia menjadi konsensus nasional yang diterima secara
konstitusi. Identitas agama dalam arti nilai pedoman hidup sangat penting, menjadin
benteng dari sikap amoral, dan menjadi landasan spiritual. Bahkan apabila melihat
kembali perjalanan hidup pahlawan nasional, agama merupakan spirit utama dalam
mempertahankan kedaulatan bangsa (Aldhira 2011).Jika nilai-nilai luhur agama (agama)
dapat memperkuat butir-butir Pancasila, maka sinergitas identitas agama dengan
nasionalisme menemukan titik temunya. Khususnya dalam memperjuangkan tegaknya
keadilan, persatuan, demokrasi dan kemanusiaan di Indonesia sebagaimana yang
termaktub dengan jelas dalam butir-butir Pancasila.

2.4. Konsep Nasionalisme Dulu dan Sekarang


Pada hakikatnya, nasionalisme berproses secara alami dan disesuaikan dengan
keadaan masyarakat. Di Indonesia, unsur nasionalisme yang di tunjukkan dalam diri
bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat dilihat dari adanya rasa
kecintaan terhadap tanah kelahiran, seperti perlawanan rakyat bersama rajanya untuk
menghadapi penjajah, khususnya Belanda. Contoh, Pada masa Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit sudah muncul dan berkembang kecintaan terhadap tanah kelahirannya. Kedua
kerajaan besar itu menyatukan wilayah-wilayah kecil disekitarnya. Perlawanan fisik
terhadap penjajah Belanda merupakan salah satu wujud nasionalisme bangsa untuk
mempertahankan wilayahnya Pada awalnya perlawanan itu masih bersifat kedaerahan
dan terpisah-pisah, karena belum ada koordinasi antara perlawanan satu dengan yang
lainnya. Hal tersebut disebabkan karena nasionalisme perlawanan tersebut sudah
dipatahkan oleh Belanda. Disamping itu karena minimnya teknologi dan persenjataan
yang dimiliki bangsa Indonesia. Penjajah memiliki studi sosial yang lebih maju sehingga
mampu memetakan kondisi masyarakat nusantara. Pemetaan tersebut digunakan untuk

18
melakukan politik pecah belah yang mengadu domba antar kelompok masyarakat
nusantara satu dengan yang lainnya.

Dari pengalaman itu, para pemimpin merubah strategi perlawanan yaitu dengan
perjuangan melalui jalur pendidikan, menumbuhkan persatuan dan kesatuan, penyadaran
perlawanan yang terorganisir. Dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan, dapat
diketahui pada awal tahun 1900-an melahirkan pemuda yang cukup memadai untuk
mewujudkan nasionalisme yaitu membentuk organisasi-organisasi sebagai wadah
perlawanan terhadap penjajah. Berdasarkan sejarah Indonesia, tonggak lahirnya
nasionalisme diyakini sejak lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, yang pada
masa itu merupakan organisasi modern pertama di Indonesia. Setelah itu, bangsa
Indonesia juga menunjukkan rasa nasionalismenya dengan diikrarkannya Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang berisikan Satu Bahasa, Satu Bangsa, Satu
Tanah Air Indonesia.

Seiring dengan berkembangnya zaman, rasa nasionalisme semakin memudar.


Generasi muda tidak lagi mengenal dengan baik jati diri bangsa. Hal ini dibuktikan dari
sikap yang ditunjukkan dalam memaknai berbagai hal penting bagi Negara Indonesia.

Contoh sederhana yang menggambarkan betapa kecilnya rasa nasionalisme,


diantaranya masyarakat Indonesia sekarang adalah:

1. Mengikuti upacara bendera tanpa memaknai arti dari upacara tersebut.


2. Hari-hari besar nasional, seperti Sumpah Pemuda, hanya dimaknai sebagai peringatan
semata tanpa menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme.
3. Masyarakat Indonesia lebih tertarik produk impor dibandingkan dengan produk
buatan dalam negeri.
4. banyak mencampurkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
gengsi
5. Sikap apatis masyarakat khususnya para pemuda pada situasi kondisi bangsa.

Masyarakat, khususnya generasi muda adalah penerus bangsa. Bangsa akan


menjadi maju bila para pemudanya memiliki sikap nasionalisme yang tinggi. Namun
dengan perkembangan zaman yang semakin maju, justru menyebabkan memudarnya rasa

19
nasionalisme. Hal ini dapat mengancam dan menghancurkan bangsa dari dalam karena
ketahanan nasional akan menjadi lemah dan dapat dengan mudah ditembus oleh pihak
luar. Banyak budaya dan paham barat yang memiliki pengaruh negatif dapat dengan
mudah masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Dengan terjadinya hal itu, maka akan
terjadi akulturasi, bahkan menghilangnya kebudayaan dan kepribadian bangsa yang
seharusnya menjadi jati diri bangsa.

Dari aspek perekonomian Negara, dengan memudarnya rasa nasionalisme,


mengakibatkan perekonomian bangsa Indonesia jauh tertinggal dari Negara-negara
tetangga. Saat ini masyarakat hanya memikirkan apa yang Negara berikan untuk mereka,
bukan memikirkan apa yang mereka dapat berikan pada Negara. Dengan keegoisan
inilah, masyarakat lebih menuntut hak daripada kewajibannya sebagai warga Negara.
Sikap individual yang lebih mementingkan diri sendiri dan hanya memperkaya diri
sendiri tanpa memberikan kontribusi nyata pada Negara, mengakibatkan perekonomian
Negara semakin lemah.

2.5. Menuju Integrasi Nasional Berbasis Kultural-Ideologi


Integrasi Nasional berasal dari dua kata, yakni Integrasi dan Nasional. Integrasi
ini berasal dari Bahasa Inggris (integrate) yang memiliki arti menyatupadukan,
mempersatukan atau menggabungkan.

a. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Integrasi memiliki arti pembauran
sehingga menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
b. Secara Politis. Integrasi Nasional secara politis ini memiliki arti bahwa penyatuan
berbagai kelompok budaya dan sosial dalam kesatuan wilayah nasional yang
membentuk suatu identitas nasional.
c. Secara Antropologi Integrasi Nasional secara antropologis ini berarti bahwa
proses penyesuaian diantara unsurunsur kebudayaan yang berbeda sehingga
mencapai suatu kesatuan fungsi di dalam kehidupan masyarakat.

Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan


yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara
nasional. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik
dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi
20
bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau
mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain
menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru.
Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter
atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa
Indonesia.

Indonesia sangat dikenal dengan keanekaragaman suku, budaya, dan agama. Oleh
sebab itu, adanya pengaruh globalisasi yang masuk ke Indonesia membuat masyarakat
Indonesia lebih memilih untuk suatu yang trend walaupun hal tersebut membuat upaya
integrasi tidak terwujud. Masyarakat Indonesia belum sadar akan pengaruh globalilasi
yang ternyata tidak baik bagi masyarakat Indonesia. Selain pengaruh globalisasi,
masyarakat Indonesia bertindak atas wewenang sendiri maupun kelompok sehingga
konflik terjadi dimana-mana seperti pertengkaran antar suku, pembakaran tempat-tempat
ibadah dan lain sebagainya. Konflik tersebutlah yang membuat integrasi nasional susah
diwujudkan. Upaya integrasi terus dilakukan agar Indonesia menjadi satu kesatuan yang
mana disebutkan dalam semboya bhinneka tunggal ika. Adanya upaya mengintegrasikan
Indonesia, perbedaan-perbedaan yang ada tetap harus diakui dan dihargai sehingga
Indonesia menjadi negara yang dapat mencapai tujuannya. Karena itulah digalakkan
integrase berbasis cultural-ideologi yaitu dengan menumbuhkan rasa saling memiliki dan
menghargai antar budaya yang dimiliki antardaerah sehingga menciptakan keselarasan
tujuan yang dimiliki bersama.

2.6. Contoh Kasus Nasionalisme


Akhir akhir ini kita mendengar sebuah gerakan "local pride". Gerakan ini
merupakan lanjutan dari slogan cintailah produk produk indonesia yang sempat digembor
gemborkan 4-5 tahun silam. Local pride sendiri merupakan gerakan membeli sebuah
produk/brand produksi asli indonesia yang berupa sepatu. Gerakan ini dipelopori oleh
beberapa orang, salah satunya yaitu dr.tirta. Dr.tirta membentuk gerakan ini guna
meningkatkan pembelian produk asli indonesia dengan cara mengenalkan bahwa produk
indonesia bagus dan dapat bersaing. Dirinya merupakan pemilik dari shoes and care,
perusahaan cuci sepatu yang sudah buka cabang dimana mana. Hubunganya dengan

21
nasionalisme apa? Nah ini merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat indonesia. Pak
harto pernah bilang bahwa di tahun 2020 produk indonesia akan berjaya. Dengan kita
membeli produk produk indonesia otomatis pendapatan dari sektor produksi akan
semakin bertambah. Dengan bertambahnya pendapatan maka APBN indonesia akan
semakin besar, otomatis pemerintah dapat memeratakan pembangunan di indonesia. Nah
dengan kita bangga akan produk indonesia yang kita beli, produk luar negeri akan dapat
disaingi. Rasa nasionalisme bisa tumbuh dengan cara kita lebih memilih membeli produk
indonesia daripada membeli produk dari luar yang notabene terkadang harga lebih murah.
Dengan semangat nasionalisme melalui pembelian produk buatan indonesia, maka apa
yang dikatakan pak harto dapat terealisasi

22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Nasionalisme didefinisikan sebagai suatu faham tentang sikap loyal yang tulus dan rasa cinta
pada negara dan bangsa dengan bentuk yang disesuaikan dengan zamannya. Salah satu
wujud nyata dari nasionalisme sebagai faham dapat kita lihat pada saat rumusan sila-sila
Pancasila dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dibahas dalam sidang-sidang BPUPKI
maupun PPKI.
Nasionalisme sebagai landasan sikap untuk menjadikan kesejahteraan seluruh warga bangsa
sebagai acuan utama dalam berpikir, memilih, dan menentukan kebijakan maupun dalam
bertindak bagi setiap warga bangsa dan lembaga-lembaga bangsa dan lembaga-lembaga
kenegaraan maupun kemasyarakatan tetap kita perlukan saat ini. Sebab, hanya dengan
itulah cita-cita mewujudkan kemerdekaan bangsa dalam artian yang luas dapat kita
wujudkan setahap demi setahap.
3.2. Saran
a. Untuk menggerakkan pembangunan, maka nasionalisme sebagai modal awal
pembangunan, karena yang akan membangun bangsa dan negara Indonesia adalah
warga negara Indonesia sendiri.
b. Warga negara khususnya generasi muda diharapkan lebih menjiwai, menghargai dan
melestarikan identitas nasional bangsa (bahasa, adat istiadat, lagu kebangsaan dll)
demi menumbuhkan semangat nasionalisme dan tidak terbawa arus negative
globalisasi yang mampu mengikis semangat nasionalisme.

23
DAFTAR RUJUKAN
Didi, History-Social-Culture dalam www.newhistorian.wordpress. com, Diunduh
22 September 2015.

Irfani, A. (2016). Nasionalisme Bangsa dan Melunturnya Semangat Bela


Negara. Jurnal Dakwah Al-Hikmak, 10(2), 135-145.

Kusumawardani, A., & Faturochman, M. A. (2004). Nasionalisme. Buletin


Psikologi, 12(2).

Muhammad Aldhira, Agama dan Nasionalisme, Opini Harian Republika 18-Juni-


2011 dalam http://aldhira.wordpress. com. Diunduh 22 Sepetmber 2015.

Maschan Moesa, Ali. 2007. Nasionalisme Kyai. Jogjakarta: LKIS.


Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional. Jogjakarta: Pustaka pelajar.
Takdir Ilahi, Mohammad. (2012). Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa,
Paradigma Pembangunan & Kemandirian Bangsa. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.

24

Anda mungkin juga menyukai