Anda di halaman 1dari 17

NIKAH MUT’AH

Makalah

Dibuat Guna Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Perbandingan Hukum


Islam Kontemporer

Dosen Pengampu: Ahmad Zayyadi, S.H.I., M.A., M.H.I.

Oleh:

Awaludin Faozi (17173030)


Bodrohini (17173030)
Okky Elfariana Hidayat (1717303087)
Imam ()

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2020
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Masalah nikah mut’ah atau yang dikenal di Indonesia dengan “kawin kontra
k” tampaknya selalu menarik perhatian bagi semua kalangan, khususnya bagi para
pemerhati Hukum Islam.

Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah
adalah untuk membangn ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yan
g dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan salin
g kasih sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan
untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan a
jaran Islam.

Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyar
akat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita ketika itu lebih dianggap sebagai b
arang yang bisa ditukar seenaknya,, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam mengin
ginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh
karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi
para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagimana zaman jahiliyah. Para wani
ta selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untu
k diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal i
a juga dapat bagian dari harta warisan.

B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Mut’ah
Kata Mut’ah adalah term bahasa Arab yang berasal dari kata ma-ta-‘a yang
secara etimologi mengandung beberapa arti diantaranya:
Kesenangan, seperti dalam firman Allah: (QS. Al-‘Imran: 14) ‫متاع الحياة الدنيا‬
Alat perlengkapan, seperti firman Allah: (QS. Al-Ma’dah: 96) ‫متاعا لكم و للسيارة‬
Pemberian, seperti dalam firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 236) ‫وعلي المقتر قدرة متاعا‬
‫بالمروق‬1
Adapun pengertian mut’ah secara literal sama dengan istimtah, mut’ah juga b
erarti, memungut (mengambil, memetik) hasil atau buah; kesenangan, kenikmataa
n.

Secara terminologi, nikah mut’ah ialah:

Nikah itu ditetapkan dalam waktu-waktu yang diketahui atau tidak ketahui.
Nikah mut’ah adalah sebuah pernikahan yang dinyatakan berjalan selama bat
as waktu tertentu. Disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-mu’aqqat). Me
nurut Sayyid Sabiq, dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bers
enang-senang sementara waktu saja. Mut’ah merupakan perjanjian pribadi dan ver
bal antara pria dan wanita yang tidak terikat pernikahan (gadis, janda cerai maupu
n janda ditinggal mati).

Dalam nikah mut’ah, jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya
mahar yang harus diberikan oleh pihak lakilaki kepada pihak perempuan yang
hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit. Seperti
dinyatakan di muka, tujuan nikah mut‟ah adalah kenikmatan seksual (istimta’),
sehingga berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-
nasl).

Hanya sedikit kewajiban timbal-balik dari pasangan nikah mut’ah ini. Pihak
laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-hari (nafaqah) untuk
isteri sementaranya, sebagaimana yang harus ia lakukan dalam pernikahan

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
1

Unang-Undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2006), 100.


permanen. Sejalan dengan itu, pihak isteri juga mempunyai kewajiban yang
sedikit untuk mentaati suami, kecuali dalam urusan seksual.

Dalam pernikahan permanen, pihak isteri, mau tidak mau, harus menerima
laki-laki yang menikah dengannya sebagain kepala rumah tangga. Dalam
pernikahan mut’ah, segala sesuatu tergantung kepada ketentuan yang mereka
putuskan bersama. Dalam pernikahan permanen, pihak isteri atau suami, baik
mereka suka atau tidak, akan saling berhak menerima warisan secara timbal balik,
tetapi dalam pernikahan mut’ah keadaanya tidak demikian.2
Nikah mut’ah dalam istilah hukum biasa disebutkan: “perkawinan untuk
masa tertentu”, dalam arti pada waktu akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan
sampai masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan
sendirinya tanpa melalui proses perceraian. Nikah mut’ah itu waktu ini masih
dijalankan oleh masyarakat yang bermazhab Syiah imamiyah yang tersebar di
seluruh Iran dan sebagian Irak. Nikah mut’ah itu disebut juga dengan nikah
munqoti’. Sedangkan perkawinan biasa yang tidak ditentukan batas masa
berlakunya disebutkan nikah daim. Bentuk Hakiki dari nikah mut’ah itu
sebagaimana terdapat dalam literatur fiqih Syiah imamiyah adalah sebagai
berikut: (Syarai al-islam)3
1) Ada akad nikah dalam bentuk Ijab dan Qabul antara pihak yang berakad,
baik dengan menggunakan lafaz: na-ka-ha, za-wa-ja yang keduanya
digunakan untuk lafaz akad dalam perkawinan biasa, juga digunakan lafaz
ma-ta-‘a
2) Ada Wali bagi perempuan yang belum dewasa, sedangkan yang telah dewasa
tidak perlu ada Wali; dan wali itu diutamakan laki-laki sebagaimana berlaku
dalam nikah daim.
3) Ada saksi sebanyak 2 orang yang memenuhi syarat sebagaimana yang
ditetapkan dalam syarat perkawinan biasa.

2
Asmal May, Kontroversi Status Hukum Nikah Mut’ah (Analisis terhadap Pendapat Para
Ulama), Asy-Syir’ah, Vol. 46 No.1, Januari-Juni 2012, 179-181.
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 100.
4) Ada masa tertentu untuk ikatan perkawinan, baik diperhitungkan dengan
tahun bulan minggu bahkan bilangan hari yang masa ini disebutkan secara
jelas dalam akad.
5) Ada mahar yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama sebagaimana
yang disyaratkan dalam perkawinan biasa.
6) Tidak ada peristiwa talak, karena putus perkawinan terjadi dengan sendirinya
setelah waktu yang ditentukan berakhir.
7) Bila salah seorang dari suami istri mati dalam masa yang ditentukan tidak
ada saling mewarisi, kecuali bila disyaratkan dalam akad, anak yang lahir
adalah anak sah dan berhak menerima warisan.
8) Perempuan yang telah putus perkawinannya karena berakhirnya waktu mesti
menjalani iddah yang bagi perempuan haid selama 2 kali haid, bagi yang
kematian suami selama 4 bulan 10 hari; sedangkan bagi yang hamil
melahirkan anak.
Dari uraian di atas terlihat bahwa dari segi rukun nikah Tidak ada yang
melanggar, namun dari segi persyaratan ada yang tidak terpenuhi, yaitu ada masa
tertentu bagi umur perkawinan, sedangkan tidak adanya masa tertentu itu
merupakan salah satu syarat dari akad titik perbedaan lainnya dari perkawinan
biasa adalah tidak terbatasnya perempuan yang dapat dikawini secara nikah
mut’ah sedangkan pada perkawinan biasa dibatasi 4 orang dengan syarat dapat
berlaku adil.
Dinamakan juga dengan pernikahan muaqqat atau pernikahan temporal. Yakn
i seorang laki-laki menikahi perempuan sehari, seminggu, atau sebulan. Dinamaka
n dengan mut’ah karena si laki-laki memanfaatkan dan membayar pernikahan unt
uk bersenang-senang hingga batas waktu yang ditentukan. Bentuk perkawinan sep
erti ini telah disepakati oleh ulama tentang pengharamannya. Di antara para imam
madzhab, mereka mengatakan, “Jika terjadi, maka hukumnya batil.”

Adapun dalil mereka adalah:


1. Pernikahan ini tidak mengacu kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Q
ur’an, As-Sunnah, yang berkaitan dengan pernikahan, talak, iddah, warisan, sehin
gga keberadaannya batil; seperti pernikahan batil lainnya.

2. Sesungguhnya banyak sekali hadits yang menerangkan tentang pegharama


nnya. Seperti diriwayatkan dari Sabruh Al-Juhani ra, bahwa dia berperang bersam
a Rasulullah SAW pada waktu Fathu Makkah, maka Rasulullah mengizinkan kep
ada mereka menikah mut’ah. Dia berkata, “Tidak sampai keluar dari Makkah, hin
gga Rasulullah mengharamkannya.” Dalam hadits yang lafaz-nya diriwayatkan ol
eh Ibnu Majah, Rasulullah mengharamkan nikah mut’ah. Beliau bersabda, “Waha
i sekalian manusia sesungguhnya aku pernah memberikan izin kepada kalian unt
uk nikah mut’ah. Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah mengharamkannya samp
ai Hari Kiamat.” (HR. Muslim).

3. Bahwa Umar ra telah mengharamkan nikah mut’ah di atas mimbar, pada m


asa kekhalifahannya dan disepakati oleh para sahabat; dan tidaklah mungkin mere
ka membiarkan Umar dalam keadaan salah, jika memang (pendapatnya) keliru.

Nikah Mut’ah hanyalah semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsu, tidak


untuk menyambung keturunan dan menjaga anak-anak yang merupakan tujuan uta
ma dari pernikahan. Nikah mut’ah sama dengan zina; jika dilihat dari maksudnya
untuk bersenang-senang tanpa ada tujuan yang lainnya; dan ini sangat membahaya
kan bagi wanita yang dianggap sebagai barang dagangan yang dipindah dari satu t
angan ke tangan yang lain; sebagaimana bahayanya bagi anak-anak yang tidak me
nemukan rumah untuk tinggal di dalamnya, untuk dijadikan tempat pendidikan da
n pengajaran.4
A. Hukum Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah pernah terjadi dan di syariat kan di kalangan umat Islam dan
mempunyai landasan hukum dalam Alquran dan hadis nabi. Landasan hukum
dalam Alquran adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 24:
‫فما استمتعتم به منهن فاتو هن اجورهن فريضة‬

4
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, (Jakarta: P
ustaka Al-Kautsar, 2017), 415-416.
Maka karena mut’ah (kesenangan) yang kamu lakukan dengan nya berikanlah
kepada mereka mahar mereka secara pemberian yang ditentukan.5
Zhahir Ayat tersebut menjelaskan muter yang dilakukan dan imbalannya dalam
bentuk mahar yang menjadi dasar adanya syariat mutar. Sebagian ulama, yaitu
ulama ahlussunnah memahami kata dengan arti ‫ استمتعتم‬dalam arti perkawinan.
Dasar hukum dalam sunnah nabi diantaranya sebagaimana terdapat dalam Hadits
Nabi dari Salamah bin al-Akwa’ menurut riwayat muslim yang mengatakan:
‫رخص رسول هللا صلي هللا عليه و سلم عام او طاس في المتعة ثالثة ايام ثم نهي عنها‬
Rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas untuk
melakukan mutar selama tiga hari, kemudian nabi melarangnya.
Yang dimaksud dengan tahun-tahun Authas dalam hadis di atas itu adalah
waktu perang Khaibar, Umroh Qadha, tahun memasuki Mekah, tahun Authas,
perang Tabuk, dan waktu Haji Wada’.6
Berdasarkan ayat Alquran dan hadis tersebut di atas ulama sepakat bahwa
memang telah dibolehkan oleh Nabi dan telah terjadi secara kenyataan
perkawinan mut’ah tersebut pada waktu tertentu. Namun dalam kebolehannya
waktu ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama Ahlussunnah dengan Syi’ah
Imamiyah.
Menurut jumhur ulama Ahlussunnah bahwa kebolehan nikah mut’ah itu
sudah dicabut dengan arti sekarang hukumnya telah haram. Diantara ulama
ahlussunnah yang mengatakan sahnya nikah mut’ah itu adalah sulfat dari
golongan Hanafiyah dengan alasan bahwa nikah tidak batal karena syarat yang
batal. (Ibnu al-Humam; 249) Adapun dasar pencabutan itu di antaranya
sebagaimana terdapat dalam ujung hadis yang disebutkan di atas titik Ibnu al-
Hajar al-‘Aqallaniy menurut yang dinukilkan oleh Muhammad Jawad Mughniyah
mengatakan: Terdapat beberapa Hadits yang Shahih dan secara tegas melarang
perkawinan mut’ah setelah sebelumnya diizinkan. (Jawad Mughniyah)
Ulama Syiah berpendapat bahwa tidak ada hadis nabi yang Shahih yang
mencabut kebolehan itu; dengan arti masih tetap boleh hukumnya sampai

5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 101
6
Amir Syarifuddin, 102.
sekarang. Hadis nabi yang mencabut nikah mut’ah itu yang dijadikan dalil oleh
ulama ahlussunnah tidak diterima keshahihannya oleh ulama Syiah untuk
mencabut hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Alasan selanjutnya yang digunakan ulama Syiah ini ialah bahwa kebolehan
melakukan nikah mut’ah dahulunya sudah merupakan ijma’ ulama dan telah
diyakini bersama kebolehannya, sedangkan adanya dalil yang mencabut
kebolehannya bersifat diragukan; sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dicabut
dengan sesuatu yang diragukan.
Di samping itu, ulama Syiah berargumentasi dengan beberapa riwayat dari
ahli bait, di antaranya Imam al-Shadiq yang ditanya apakah ayat tentang mut’ah
itu telah dicabut. Al-Shafiq menjawab: tiidak sama sekali. (Jawad 246)7
B. Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Nikah mut’ah dinamakan juga nikah sementara (kontrak), yaitu menikah
untuk satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau berapa saja sesuai
perjanjiannya. Keempat madzhab sepakat bahwa nikah mut’ah haram hukumnya.
Bila dalam akad nikah disebut jangka waktu, akad itu menjadi batal dan tidak sah.
Hubungan yang dinikahkan menjadi hubungan pezinahan.8 Nikah mut’ah telah
diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’, dan akal sebagaimana
berikut ini :
1) Dalil Al-Qur’an
QS. Al-Maarij: 29-31 yang artinya “Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas”.
Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan
orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam
peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya
dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 103.


7

8
Mutawalli M. Assya’rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, (Jakarta: Gema Insani
Press,2007), 172.
kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan
ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan
bersama-samanya.

Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya
melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah,
bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan
istri atau budak, sedangkan istri dari perkawinan mut’ah tidak berfungsi sebagai
istri karena:

a. Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh


harta warisan

b. Idah nikah mut’ah tidak seperti nikah biasa

c. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya


dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah

Dengan melakukan mut’ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin


karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri,
sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus
budak, maka termasuklah orang yang melakukan mut’ah itu di dalam firman
Allah.9
2) Dalil As-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mut’ah pada tahun penaklukan
Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya. Ada yang
mengatakan, larangan nikah mut’ah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar
ialah pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar
ialah makan daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata
pada Ibnu Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah mut’ah dan keledai piaraan
sewaktu perang Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar

9
Abd. Shomad, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Predana, 2010 ), 312
ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan
pembatasan salah satu di antaranya dengan perang Khaibar.
Nikah Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya
syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan.
Akan tetapi kemudian diharamkan.
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat
islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada
islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah
islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena
jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian
mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya.
Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan
sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya
berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya.10 Seperti apa
yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
“Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah
SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami
mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan
itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi
perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”.
Menurut Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya mut’ah telah
dinasakh. Hal dinyatakan dalam hadis berikut, yang artinya “Wahai sahabat
sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mut’ah dan
ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka
barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah,
hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah
kamu berikan kepada mereka.” ( HR. Muslim).11

10
Moh Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), 17.
11
Abd. Shomad, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
313.
Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa nikah mut’ah
diperbolehkan pada era Rasulullah saw. dalam keadaan darurat. Akan tetapi
pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh karena itu,
sangat jelas bahwa hukum nikah mut’ah ini haram dan akan berdosa bagi yang
melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari kebangkitan. Untuk menentukan
status hukum tentang nikah mut’ah maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
macam pendapat; yaitu:
a) Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam
alAuzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram”.
pendapat ini didasarkan pada Hadis yang artinya:“Bahwasanya Rasulullah
SAW mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata: hai manusia,
sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut’ah. Maka
sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat”.
(HR. Ibnu Majjah).
b) Imam Zufar berkata: Perkawinan mut’ah hukumnya sah meskipun syaratnya
batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran Islam. Dikatakan sah karena
keterangan hadits yang dikemukakan oleh pengikut kaum Syi’ah
(“bahwasanya ‘Umar berkata: dua macam perkawinan mut’ah (yang pernah
terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan
memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduanya itu) adalah
perkawinan mut’ah terhadap wanita (diwaktu tidak bepergian) dan kawin
mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah hajji. Karena hal itu,
merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu
menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.), tetapi
syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-
lamanya, kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari beberapa
pendapat di atas, pendapat Imam Abu hanifah beserta Imam Madzhab yang
sependapat dengannya, karena memandang bahwa kebolehan kawin mut’ah
telah dihapus oleh larangan melakukannya, sebagaimana keterangan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan An-Nasaa’i di atas.
3) Ijma’
Bila dilihat dari definisi Nikah Mut’ah, pernikahan seperti ini terjadi
kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan
adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas
landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah
kejiwaan yang telah digariskan Allah swt dalam al-qur'an yaitu ketentraman,
kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi
berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia. Seperti Firman
Allah SWT dalam QS. An-Nahl: 76 yang artinya: “Dan Allah membuat (pula)
perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat
sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia
disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat
keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus ?.”12
Nikah mut’ah sangat tidak sesuai dengan nikah yang telah Allah syari’atkan.
Dimana diketahui bahwa, Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian,
Nikah Mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau
faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan talak atau
meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.Selain dibatasi oleh
waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi.
Maka boleh bagi seorang peria menikah lebih dari empat orang istri. Dan ini dapat
dilakukan tampa wali atau tampa persetujuan walinya, dan dalam pernikahan ini
tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan dan pemberian
nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah
terjadi. Bila ditinjau dari segi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil
mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah merupakan. bentuk pelecehan
terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi
yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan
penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya
wali dan saksi

12
Muhammad Saleh Ridwan,”Perkawinan Mut’ah Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Nasional”, Jurnal Al-Qadau,Vol.1, No.1, (2014), 41.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah
Mut'ah, selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan
lilalaamin) dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak
mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun
akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw mengharamkannya, karena didalamnya
terdapat berbagai macam kerusakan.13
C. Pro-Kontra Nikah Mut’ah
Praktek nikah Mutah sekedar bertujuan pelampiasan nafsu syahwat bukan
untuk mendapatkan anak atau memelihara anak serta membangun mahligai rumah
tangga yang adil, yang keduanya merupakan maksud pokok dari pernikahan.
Karena itu nikah mutah disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuannya untuk
semata-mata bersenang-senang. Sementara kita melihat aturan yang ada dalam
nikah mutah, menjadikan wanita laksana barang dagangan yang diperjualbelikan
kehormatannya. Wanita dapat dinikmati untuk kemudian dibuang. Menjual
kesuciannya kepada pria dengan imbalan yang tak seberapa, mengorbankan
kehidupan dan fungsi keberadaannya.14
Disamping itu dengan adanya pernikahan mutah maka lembaga perkawinan
perlahan-lahan akan punah, karena para pemuda tidak merasa perlu untuk
menikah, karena dapat melampiaskan nafsu syahwatnya tanpa harus berumah
tangga. Padahal tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga sakinah,
mawwaddah, warrahmah atau dengan dengan kata lain menuju rumah tangga
yang bahagia sesuai dengan hukum Islam.
Al-Ghazali menyatakan: Bahwa kemaslahatan menurut saya adalah
mewujudkan tujuan-tujuan agama, yaitu menjaga lima hal : agama, jiwa, akal,
keturunan, harta benda. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima
prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menolak kemaslahatan adalah
kerusakan. Menolak kerusakan adalah kemaslahatan. Karena lima hal tersebut

13
Muhammad Saleh Ridwan,”Perkawinan Mut’ah Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Nasional”, 42-43.
14
Haris Hidayatullah, “Pro-kontra Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Maqashid Al-
Syari’ah”, Jurnal Studi Islam, Vol.6, No.1, (April 2015), 97.
sangat penting maka segala hal yang merintangi pemenuhan lima hal itu harus
dihilangkan. Dalam kaidah dinyatakan “Dharurat itu harus dihilangkan”.15
Oleh karena itu jika suatu perkawinan justru akan membawa kemudaratan
bagi yang melakukannya dan untuk keturunannya haruslah dihindari. Sehingga
akibatnya yang paling mendasar dalam perkawinan ini tidak tercapainya tujuan
untuk mewujudkan tujuan utama dari perkawinan, yang ada justru membawa
kemudharatan bagi suami isteri, anak keturunan dan bahkan bagi masyarakat.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa maksud dan tujuan dari nikah mutah
hanya untuk memperoleh kesenangan seksual. Dan tidak ada tujuan untuk
membentuk rumah tangga yang abadi, kekal, sa>kinah, mawaddah wa rah{mah,
dan itu bertentangan dengan tujuan pernikahan yang disyariatkan dalam Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nikah mutah itu menimbulkan banyak
mafsadah sehingga harus dihindari dan dilarang untuk diberlakukanDengan
demikian dapat disimpulkan bahwa nikah mutah itu menimbulkan banyak
mafsadah sehingga harus dihindari dan dilarang untuk diberlakukan.16
D. Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia
Praktek kawin mut’ah yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, adalah
praktek prostitusi terselubung yang dilakukan untuk kepentingan kepuasan nafsu
dan uang tanpa memperhatikan aturan agama dan hukum yang berlaku serta
mengabaikan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Sementara masyarakat
yang miskin dan mempunyai pengetahuan terbatas banyak yang mudah tergiur
dengan janji sejumlah uang sehingga mau dikawini dengan cara seperti itu dan
tidak sedikit orang tua yang mendorong anaknya untuk mau melakukannya.
Beberapa tahun yang lalu, dalam satu acara di salah satu televisi swasta
ditayangkan wawancara dengan beberapa perempuan pelaku nikah mut’ah di
Cisarua. Salah seorang dari mereka, seorang perempuan muda yang masih berusia
22 tahun, dengan tanpa merasa bersalah menyebutkan bahwa ia telah melakukan 8
kali nikah mut’ah yang terlama satu bulan dan yang terpendek empat hari. Dan

15
Haris Hidayatullah, “Pro-kontra Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Maqashid Al-
Syari’ah”, 99.
16
Haris Hidayatullah, “Pro-kontra Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Maqashid Al-
Syari’ah”, 100.
yang empat hari ini dibayar dua juta rupiah. Ketika ditanyakan perasaan dan
alasannya, dengan lugas ia menjawab biasa saja karena itu adalah pekerjaan untuk
mencari uang dengan mudah dan hubungan itu dilakukan melalui proses
perkawinan.17
Berita di pelbagai media, termasuk kompas.com atau merdeka.com,
menyebutkan bahwa praktek kawin mut’ah ini pada umumnya diatur oleh seorang
germo yang memfasilitasi segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan
perkawinan ini, mulai dari mencarikan perempuan yang akan dikawini secara
kontrak, mempertemukan pihak-pihak, mencarikan penghulu yang akan
menikahkan, mengatur jangka waktu, negosiasi harga dan mengurus segala
proses. Untuk itu, 30% sampai 50% uang transaksi akan dipotong oleh germo
untuk biaya dan fee.18

PENUTUP

Isnawati Rais, “Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Islam dan
17

Undang-Undang Perkawinan”, Jurnal Ahkam, Vol.XIV, No.1 (Januari-2014), 99.

Isnawati Rais, “Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Islam dan
18

Undang-Undang Perkawinan”, 100.


DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh


Munakahat dan Unang-Undang Perkawinan. Jakarta: KENCANA
PRENADAMEDIA GROUP.
May, Asmal. Kontroversi Status Hukum Nikah Mut’ah (Analisis terhadap
Pendapat Para Ulama), Asy-Syir’ah, Vol. 46 No.1, Januari-Juni 2012, 179-
181.

Al-Faifi, Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. 2017. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid
Sabiq. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

M. Assya’rawi, Mutawalli. 2007. Anda Bertanya Islam Menjawab. Jakarta: Gema


Insani Press.
Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana Predana.
Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Ridwan, Muhammad Salah. ”Perkawinan Mut’ah Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Nasional”, Jurnal Al-Qadau,Vol.1, No.1, (2014), 41.
Hidayatullah, Haris. “Pro-kontra Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Maqashid Al-
Syari’ah”, Jurnal Studi Islam, Vol.6, No.1, (April 2015), 97.
Rais, Isnawati. “Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum
Islam dan Undang-Undang Perkawinan”, Jurnal Ahkam, Vol.XIV, No.1
(Januari-2014), 99.

Anda mungkin juga menyukai