74 345 2 PB PDF
74 345 2 PB PDF
Abstract
This article is a literature study explain about the study of food, food habits and
nutrition in the Anthropology perspective. The food and nutrition studies reviewed in
this article only suggests some examples, which are considered popular and
represent the themes in food discussion. The discussion starts from the beginning of
anthropologist interest about food in culture until the process it.
Abstrak
Tulisan ini merupakan studi literatur mengenai kajian makanan, kebiasaan makan dan
nutrisi dalam perspektif antropologi. Kajian makanan dan gizi yang diulas dalam
tulisan ini hanya mengemukakan beberapa contoh, yang dianggap populer dan
mewakili tema-tema dalam pembahasan makanan. Pembahasan dimulai sejak awal
ketertarikan beberapa antropolog membahas mengenai makanan dalam kebudayaan
sampai pada perkembangan kajian kekinian.
M
akanan tidak hanya penting untuk Richards pada orang Bantu, Afrika Selatan,
memenuhi kebutuhan manusia akan boleh dikatakan penelitian awal yang cukup
makan, namun makanan juga populer. Hasil penelitian yang telah
terkait erat dengan kebudayaan, termasuk dipublikasikan dalam bukunya berjudul
tekhnologi, organisasi sosial dan juga Hunger and Work in a Savage Society
kepercayaan masyarakat. Makanan tidak (1932) tersebut dimulai dengan pernyataan
akan memiliki makna apa-apa kecuali Richards bahwa nutrisi sebagai suatu
makanan itu dilihat dalam kebudayaannya proses biologis dalam sebuah kebudayaan
atau jaringan interaksi sosialnya. diatur jauh lebih mendasar daripada urusan
3
Kajian mengenai makanan, seks (bandingkan dengan Bates (1958) dan
4
kebiasaan makan dan gizi, terutama aspek Fox, 1994 ). Audrey Richard berusaha
sosial, budaya dan ekonomi makanan pada
berbagai kelompok manusia bukanlah hal
2 dan simbolik sering digunakan dalam ritual
yang baru dalam sejarah antropologi .
untuk menandai status sosial, interval waktu,
dan sumber daya lingkungan yang penting
1
Penulis adalah dosen tetap Jurusan Antropologi secara budaya (Lihat Messer, 1984).
3
FISIP Universitas Andalas Tulisan Marston Bates (1958) Man, Food, and
2
Setidaknya, studi awal antropologi sosial di Sex, yang mengatakan bahwa makanan dan
Inggris telah memfokuskan pada organisasi seks – nutrisi dan reproduksi – adalah dua
sosial dan ekonomi pada masyarakat kebutuhan dasar manusia yang berada di bawah
subsistensi non-industri, secara utama pada kontrol kebudayaan, dan kontrol kebudayaan
sumber daya lokal, dan telah mencatat seringkali memodifikasinya, menghambat dan
bagaimana mencari, menyiapkan, dan mengubahnya melalui berbagai cara.
4
mengkonsumsi makanan yang tersedia dalam Fox (1994: 39) mengatakan bahwa makanan
aktivitas sehari-hari, dan bagaimana dalam lebih penting dari seks. Dorongan seksual
konteks tersebut nilai-nilai makanan emosional untuk memastikan kelangsungan genetik dapat
Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi 1|Page
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356
menjadi kebiasaan makan yang menjadi ciri pengasuhan anak. Namun, jika kehamilan
khas sekelompok masyarakat dan yang kedua terjadi dan kemudian dikaitkan
membedakan dengan kelompok masyarakat dengan pelanggaran tabu (wujudnya adalah
lainnya. kwashiorkor anak), maka mencegah
Kebiasaan makan sebagai kom orangtua untuk merawat/mengasuh anak
pleks kegiatan masak memasak (kulinari) dengan baik (Gerlach, 1964). Contoh lain
terkait dengan bahan makanan, proses misalnya dari Buganda. Orang-orang
pengolahan, serta tekhnologi yang Buganda memahami bahwa kwashiorkor
digunakan. Walaupun kebudayaan menen disebabkan oleh kecemburuan janin yang
tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, belum lahir terhadap saudaranya yang
ketersediaan bahan makanan dan makanan masih menyusui. Janin tersebut marah dan
dipengaruhi juga oleh komponen ekologis membuat si anak sakit. Untuk menghindari
dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, penyakit ketika kehamilan terjadi,
1985). Beberapa tumbuhan dan binatang pengasuhan anak seringkali dipisahkan dari
karena sifatnya tidak dapat dicerna oleh ibunya dan diasuh oleh neneknya atau
manusia, tidak juga dengan menggunakan saudara lain yang kadang-kadang tidak
tekhnologi modern. Oleh sebab itu jenis menyediakan makanan-makanan yang
tumbuhan dan binatang yang tidak bisa bernilai gizi. Maksudnya mau melakukan
dicerna tidak masuk dalam kategori pencegahan, namun tindakan ini justru akan
makanan. Contoh lain, susu tidak banyak mempercepat kwashiorkor. Ketidakcukupan
dikonsumsi pada zone hutan tropis karena makanan, dengan trauma psikologis karena
kondisi ekologisnya tidak menguntungkan dipisahkan dengan ibunya, seringkali
untuk beternak sapi/lembu sebagai memperburuk kondisi (Burgess dan Dean,
penghasil susu. Dan dengan alasan yang 1962; Cravioto, 1966; Amann et al. 1972,
sama gandum bukanlah makanan pokok Jerome, Kandel & Pelto, 1980).
pada masyarakat tropis. Kwashiorkor yang terjadi akibat perpisahan
Kajian lain menekankan pada anak dengan ibunya diistilahkan dengan
pengaruh atau dampak makanan sebagai omusana, di mana diyakini disebabkan oleh
klasifikasi budaya tersebut terhadap malam-malam yang “dingin” yang dilewati
kesehatan atau gizi masyarakat pendu seorang anak yang jauh dari ibunya
kungnya. Jerome, Kandel & Pelto (1980) (Burgess & Dean, 1962:25, Jerome, Kandel
menyebut istilah ini dengan klasifikasi non- & Pelto, 1980).
makanan yang juga berkontribusi terhadap Nampaknya banyak kepercayaan
kasus kurang gizi. Misalnya kajian yang masyarakat yang dihubungkan dengan
dilakukan Gerlach (1964) tentang etiologi hakekat sumber-sumber makanan secara
spritual atau supernatural yang diappli magic dan semimagic yang dikarak
kasikan terhadap penyakit yang kita kenal teristikkan rasional dibalik praktek makan
sebagai penyebab kurang gizi. Di banyak semua orang. Beberapa makanan mengacu
negara berkembang, kekurangan protein- pada prestise (roti putih dan beras halus);
kalori pada anak-anak kecil diyakini sebagai yang lainnya, keamanan (misalnya beras di
keseluruhan persoalan non-makanan dan Asia), dan lainnya sebagai identifikasi
disebabkan oleh pelanggaran tabu atau kelompok (makanan “etnik”) (Jerome, 1970).
melanggar supranatural. Sebagai contoh, Larangan-larangan makan dapat dipandang
diantara masyarakat pesisir timur laut sebagai sebuah ekspresi dari hukum moral
Bantul, dimana kwashiorkor termasuk Tuhan (seperti kashrut, larangan Islam
penyakit endemik (selalu mewabah), kurang terhadap babi, larangan sebelum paskah
gizi menurut mereka disebabkan oleh untuk makan daging, dan tabu totem dari
pelanggaran tabu yang melarang orangtua beberapa wilayah). Kadang-kadang,
melakukan hubungan seksual selama masa kepercayaan terpusat pada hakekat nilai
menyusui atau sebelum seorang anak dari makanan yang dikaitkan dengan masa-
disapih. Ini dipercayai akan menyebabkan masa kritis dalam life cycle, seperti:
terjadinya kehamilan, janin yang belum lahir kehamilan, menyusui, penyakit, dsbnya.
akan “mencuri” air susu ibu, dan perawatan Seringkali, kepercayaan-kepercayaan seper
anak akan terlantar. Sebenarnya tabu ini ti ini berpengaruh netral terhadap gizi
adaptif membatasi kehamilan dan mereka, misalnya, orang Papago melarang
menguntungkan keduanya, ibu dan makan garam dan gula pada ibu sampai tali
pusar bayi lepas (Gonzalez, 1972), atau keluarga mempengaruhi siapa yang
larangan terhadap binatang menjijikkan atau mendapatkan porsi makanan dengan nilai
makanan yang kelihatan menjijikkan untuk gizi baik atau buruk.
melindungi bayi dari pertumbuhan yang Pola-pola seleksi makanan,
jelek (Hughes, 1963). Namun, beberapa distribusi, dan konsumsi bervariasi dalam
tabu makanan juga telah membuang zat-zat tipe-tipe masyarakat yang berbeda. Pada
gizi yang dibutuhkan, khususnya masa- komunitas petani dan pada ekonomi-
masa kritis. Misalnya larangan terhadap ekonomi yang ditandai dengan pertanian
telur dalam makanan wanita usia produktif subsistensi, anggota-anggota keluarga yang
untuk menghindari sterilitas dan komplikasi secara ekonomi sangat produktif sering
kelahiran (HEW, 1973); larangan minum diberikan pilihan pertama memilih lauk yang
susu bagi ibu menyusui; orang Burma berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran
mengurangi daging dan unggas selama ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan
masa kehamilan (Mead, 1955), dan lain aktor kunci dalam proses produksi dan
sebagainya. konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti
Penelitian lainnya menekankan hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione
pada fungsi dan peranan makanan dalam (1980:263) di Jamaica bahwa faktor sosial-
7
masyarakat . Seperti yang ditemukan oleh ekonomi dan faktor sosial budaya
Kahn, et al (1988) di wilayah Melanesia, merupakan penyebab terjadinya gizi buruk
Mikronesia dan Polinesia, bahwa makanan dikalangan anak-anak. Yang merupakan
mempunyai peranan sosial sebagai sarana faktor sosial ekonomi adalah tingkat
adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah subsistensi pertanian, sedangkan faktor
barometer status sosial, dan sebagai sosial budaya meliputi kearifan ibu,
mediator simbolik dalam mendefinisikan dan keharmonisan rumah tangga dan perbedaan
memanipulasi kekerabatan dan hubungan ukuran keluarga yang ideal. Marchione
sosial. Penelitian Davis (1995) di menyimpulkan bahwa keluarga yang
Minangkabau menemukan bahwa makanan harmonis, dan usia ibu di atas 30 tahun
bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai cenderung memiliki anak-anak yang berat
sesuatu yang bermakna dalam komunikasi badannya lebih baik daripada anak-anak
antar kelompok, ekspresi yang penting yang lahir dalam keluarga yang tidak
dalam hubungan-hubungan sosial seperti harmonis dan memiliki usia ibu yang relatif
kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, muda.
konflik, keselarasan, status, dan simbol Kebiasaan makan juga berkaitan
hubungan baru dan berkelanjutan. dengan teknologi, organisasi sosial, dan
Pola-pola distribusi makanan dalam kepercayaan masyarakat. Penelitian
keluarga juga memiliki konsekwensi gizi. Rappaport pada tahun 1968 pada
Masalah makan, identitas atau status masyarakat Tsembaga, merupakan satu
individu dalam sebuah keluarga sering contoh yang baik bagaimana kebiasaan
menentukan dan menjadi pilihan pertama makan berkaitan dengan teknologi,
dalam penyeleksian makanan, dan metode organisasi sosial, dan kepercayaan
menyiapkan makanan untuk anggota masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al,
1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968)
7 pada masyarakat Tsembaga juga dapat
Secara umum Foster dan Anderson mencatat
menjadi contoh bagaimana lingkungan
beberapa peranan makanan pada masyarakat
(termasuk lingkungan fisik dan sosial)
yaitu, makanan sebagai ungkapan ikatan sosial,
mempengaruhi perkembangan kebudayaan.
makanan sebagai ungkapan kesetiakawanan
Kajian ini juga menunjukkan bagaimana
kelompok, makanan dan stress dan simbolisme
teknologi, organisasi sosial, dan ideologi
makanan dalam bahasa (1986: 317). Sementara
bersinergi mempengaruhi pola-pola makan.
Hartog (1995: 8-10), menyebutkan ada 6 fungsi
Masyarakat Tsembaga, yaitu masyarakat
sosial makanan seperti fungsi gastronomi yang
yang hidup dari hortikultura dengan
berkaitan dengan selera, struktur atau tekstur,
membuka hutan dengan tebas bakar di New
sebagai identitas budaya, berfungsi pada aspek
Guinea. Kebun-kebun mereka menghasilkan
religi dan magic, sebagai makna komunikasi,
talas/keladi, kentang, manioc (tumbuhan
sebagai ekspresi kekayaan dan status ekonomi,
yang mengandung zat tepung), sayuran
dan berfungsi melatih pengaruh dan kekuasaan.
hijau, tebu, dan hasil lainnya untuk
dan kompleks. Ketika populasi manusia komersial) dan memang ditanam hanya
berkembang dan terus meningkat, telah sebagai komoditas ekspor dan untuk
menyebabkan pentingnya peningkatan pada mendatangkan keuntungan. Para petani
produksi pangan, peningkatan strategi Irlandia tidak pernah memakannya karena
pertanian, peternakan, dan industri mereka hanya menanamnya untuk tuan
pertanian yang memungkinkan untuk tanah, dan disebabkan juga karena mereka
meningkatkan sumber-sumber makanan. tidak mampu membayar sewa tanah. Harga
Ancaman Malthus yang telah menimbulkan sewa tanah yang amat mahal membuat para
pertanyaan serius tentang kemampuan kita petani tidak bisa menyewa tanah dan
untuk menyediakan makanan untuk populasi semakin terjerat dalam kemiskinan.
dunia yang terus meningkat, membutuhkan Kemiskinan dan ancaman kelaparan
model-model yang lebih komprehensif untuk membuat orang-orang Irlandia saat itu
memahami sistem makanan manusia, melakukan emigrasi ke Amerika atau ke
produksi dan distribusi makanan. Inggris. Menurut George (2007), kelaparan
Kajian-kajian tentang nutrisi dan dan kurang gizi yang terjadi saat ini di
makanan mulai mengarah lebih luas ke Negara-negara Dunia Ketiga mirip dengan
dalam hal politik dan kebijakan pangan. yang terjadi di Irlandia itu. Para petani
Misalnya tulisan Susan George dalam terpaksa mengekspor makanan pada masa
bukunya Food for Beginners (1982, 2007), kelaparan demi keuntungan tuan tanah,
jelas-jelas menolak alasan klise yang terbeban hutang yang melilit dan sewa
menyesatkan tentang penyebab kelaparan tanah yang tinggi, serta ancaman diusir oleh
di dunia ketiga seperti populasi yang terlalu tuan tanah. Sementara itu kebanyakan
padat, iklim dan sistem pertanian yang tidak orang tidak memiliki tanah dan tidak cukup
efisien, dan sebagainya. Yang dibahas tersedia lapangan pekerjaan. Jadi
dalam buku tersebut justru mengetengahkan persoalannya bukan hanya kelaparan
permainan kejam agribisnis multinasional, semata atau kurang pangan semata, namun
metode neo-Malthusian, dan neo- juga penindasan. Ini yang kemudian
Kolonialisme, sekaligus membuka topeng disebutnya dengan ancaman neo-
pemberi dana yang sok suci sekaligus Kolonialisme. Tulisan George ini jelas
membongkar akar eksploitasi. Sebagai menguak ”sisi lain” sebagai penyebab
salah satu contohnya, George (2007) terjadinya kelaparan dan kurang gizi, namun
mencatat bencana kelaparan yang terjadi di permasalahan yang dilihat secara global
Irlandia pada tahun 1846-1850 sebagai tersebut belum tentu bisa dijadikan acuan
salah satu bencana kelaparan terparah yang untuk berbagai kelompok masyarakat yang
12
pernah terjadi di Eropa . Ladang kentang hidup di wilayah tertentu, dengan lingkungan
yang merupakan makanan pokok gagal dan permasalahan/kebijakan pangan yang
panen akibat hama, dan jelas ini merupakan berbeda-beda.
bencana alam, namun kematian sekitar 2
juta orang saat itu jelas bukan bencana B. Kajian Makanan Sebagai Simbol
M
alam. Menurut George (2007: 28), selama emasak dan memakan diilhami
terjadi bencana kelaparan di Irlandia dengan makna-makna khusus.
sebenarnya ada cukup makanan untuk Memasak dan makan berhubungan
memberi makan dua kali jumlah penduduk dengan banyak identitas individual, dan
yang berjumlah 8 juta orang, namun ekspor idiom-idiom serta ideologi-ideologi tersebut
besar-besaran bahan makanan, mulai dari akan mempengaruhi pilihan makan. Simbol-
gandum, oat, barley (jenis gandum yang simbol diciptakan dan diciptakan kembali
dipakai untuk membuat bir), ternak, telur, kapan saja, dengan sebuah pola makna dan
dsbnya, belangsung terus. Karena bahan- signifikansi. Banyak objek, tindakan,
bahan makanan tersebut dianggap sebagai peristiwa, ungkapan/upacara, konsep atau
bahan makanan perdagangan (untuk citra yang mengacu sebagai material
mentah untuk menciptakan simbol, pada
12
banyak tempat, dan waktu. Misalnya,
Seorang sejarawan Eropa mencatat telah karakteristik fisik dari bahan makanan dapat
terjadi 89 kali bencana kelaparan besar-besaran menjadi lambang. Sebagai contoh, tahun
antara abad 10 dan abad 18 – artinya rata-rata 1972-1973 pemerintah Amerika dalam
bencana kelaparan melanda Eropa setiap Program Perdamaian mengirim jagung
sepuluh tahun sekali (George, 2007 : 26).
6|Page Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356
M
kota ke kota kecil atau lingkungan, misalnya akanan juga sebagai pembentuk
bubur Peninsula Upper Michigan, cabe identitas etnis, yang dapat dikenali
Cincinnati Ohio. Makanan juga “membuat” dari jenis masakannya yang
tempat, seperti orang-orang Jepang Amerika memiliki karakterisitik rasa yang khusus.
di camp-camp selama PD II yang Misalnya, masakan Minahasa ditandai
membangun batas teritorial mereka dengan dengan penggunaan cabai (rica) dalam
menggunakan kantin/ruang makan, kebun, jumlah yang banyak dalam mengolah
wajan panas, tofu – membuat fasilitas dan daging, begitu kuatnya rasa cabai sampai-
memori-memori makanan sebagai “ruang” sampai menghilangkan rasa daging itu
13
untuk memperluas aktivitas politik dan sendiri . Begitu juga masakan
menciptakan identitas kolektif. Seringkali Minangkabau, cabai, santan, dan bumbu
makanan disimpan dengan emosi. “Saya rempah-rempah menjadikan makanannya
14
merasa baik jika saya makan banyak jenis khas sebagai makanan Minangkabau .
makanan pada kesempatan khusus”, Makanan juga sebagai pembentuk identitas
pernyataan seseorang. Makanan juga individual yang berkaitan dengan klas dan
sebagai teman, penghibur, dan hobby. gender. Goody (1982) menyebutkan bahwa
Makanan digunakan orang juga sebagai sebetulnya hirarki klass, kasta, ras dan
suatu hadiah. Makanan juga sebagai suatu gender terbentuk melalui differensiasi
15
ekspresi simpati dan dukungan ketika kontrol terhadap akses terhadap makanan .
seorang teman sakit atau ada anggota Pola-pola konsumsi yang berbeda adalah
keluarga yang meninggal. Dalam interaksi satu dari banyak cara yang membedakan
sosial yang melibatkan makanan, individu diri mereka sendiri dengan orang miskin dan
16
sering membuat keputusan tentang dengan membedakan laki-laki dengan perempuan .
siapa dia ingin makan, dengan siapa dia Makanan juga mempunyai peranan sosial
tidak ingin makan. Beberapa studi sebagai sarana adat komunikasi, standar
memperlihatkan orang-orang yang makan kekayaan, sebuah barometer status sosial,
dengan teman mengkonsumsi lebih banyak dan sebagai mediator simbolik dalam
makanan dibanding makan dengan orang mendefinisikan dan memanipulasi
17
asing (Jones, 2007). kekerabatan dan hubungan sosial .
Makanan sebagai simbol-simbol
tertentu akan memiliki makna-makna 13
tertentu dalam banyak aktivitas sosial. Weichart, 2004: 67
14
Misalnya dalam makanan yang digunakan Davis, 2007
15
dalam perayaan adat, upacara adat atau Goody, 1982 dalam Counihan, 1998.
16
upacara perkawinan. Makanan tidak hanya Bennett 1943; Fitchen 1988; Mintz 1985;
sesuatu untuk dimakan, atau sesuatu untuk Weismantel 1988, dalam Counihan, 1998
17
disuguhkan kepada tamu atau anggota Kahn, et al (1988). Penelitian Davis (1995) di
kerabat yang sedang mengikuti perayaan, Minangkabau menemukan bahwa makanan
tetapi makanan, jenis makanan, serta bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai
tatacara penyajiannya menjadi simbol- sesuatu yang bermakna dalam komunikasi
antar kelompok, ekspresi yang penting dalam
Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi 7|Page
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356
D
alam beberapa tahun terakhir, kajian Makanan dan perubahan budaya
makanan menyangkut perubahan- makan sebagai akibat masuknya makanan-
perubahan yang terjadi akibat makanan asing tidak hanya mempengaruhi
masuknya berbagai jenis makanan dari luar, praktik makan sehari-hari, namun juga pada
sebagai akibat perubahan yang disebut acara-acara tradisional seperti perkawinan.
globalisasi. Di seluruh dunia, barang-barang Seperti dikatakan Miele (1999), makanan-
seperti makanan dan pakaian digunakan makanan dimodifikasi sesuai dengan trend
dengan cara yang berbeda oleh kelompok- baru dalam konsumsi, yang oleh Miele
kelompok sosial dan klass sosial yang digambarkan sebagai munculnya arena baru
berbeda (misalnya Bourdieu, 1984). Bahkan makanan pasca modern dan budaya
para ahli antropologi ekonomi telah menjadi konsumsi baru dikalangan konsumen.
semakin tertarik pada hubungan antara Pilihan-pilihan terhadap jenis makanan
konsumsi dan pengalaman sosial, terutama tertentu atau pilihan tatacara terhadap
dalam kaitannya dengan konsumsi konsumsi tertentu pada akhirnya
komoditas global (misalnya tulisan Friedman memunculkan gaya hidup baru, yang
1994; Miller 1995). Dengan menekankan dianggap membawa satu kenyamanan
pada komponen konsumsi, para ahli telah dalam mengkonsumsinya. Sheely (2008),
membawa perhatian pada berbagai variasi mengidentifikasi beberapa hal yang
motivasi untuk mengkonsumsi barang- membuat orang menginginkan kenyamanan
barang tertentu dan kontestasi makna yang dalam memilih makanan yang pada akhirnya
muncul akibat perilaku mengkonsumsi ini. berkontribusi terhadap perubahan tersebut,
Dan, karena adanya makna-makna budaya seperti misalnya perubahan struktur rumah
lokal yang terus menerus melekat pada tangga, tingginya partisipasi perempuan
konsumsi barang-barang dari luar, mereka dalam angkatan kerja dan jam kerja yang
berpendapat bahwa konsumsi tidak lebih panjang, kemakmuran konsumen,
menandakan persaingan dengan budaya keinginan untuk pengalaman baru,
Barat atau dengan kata lain keaslian budaya keterampilan memasak menurun, serta
lokal tidak akan menghilang (Miller 1995; menguatnya nilai uang. Kenyamanan dalam
Wilk 1994). konsumsi makanan ini pada gilirannya
Menurut Friedman (1994), pada mempengaruhi orang untuk beralih dari
dasarnya penerimaan atau peniruan unsur makanan tradisional, yang dimasak sendiri,
budaya luar ini sangat tergantung yang cenderung dianggap merepotkan,
bagaimana sebuah komunitas memahami menghabiskan banyak waktu dan tenaga,
dan menafsir ulang (redefinition) dan lain sebagainya. Makanan asing telah
pengetahuan baru tersebut. Itulah sebabnya bekerja untuk membawa perubahan dan
walaupun budaya global akan selalu kelanjutan preferensi makanan melalui
memiliki kemiripan di berbagai wilayah, mobilisasi-mobilisasi yang berbeda dari
namun sebenarnya tetap mendapatkan ciri identitas kelas.
lokal (local identity) di setiap wilayah yang James (1997) mengkaji isu kelas
ditempatinya. Ini berarti juga bahwa satu dan status sosial di Inggris sebagai bentuk
unsur budaya yang sama bisa mendapatkan perbedaan yang disimbolkan dengan
perbedaan fungsi dan makna di setiap makanan. Dia menjelaskan walaupun di
komunitas yang ditempatinya. Misalnya saja Inggris telah terjadi proses ‘creolisation’
kue pengantin, yang konon berasal dari (percampuran) makanan, terutama dengan
tradisi Romawi Kuno sebagai lambang meningkatnya pertumbuhan restoran pizza
kesuburan juga digunakan dalam dan kebab, makanan pesan antar (take
perkawinan Minangkabau sebagai away) dari restoran Cina dan India, serta
pembawaan dari pihak pengantin pertumbuhan berbagai makanan yang
tersedia di supermarket yg menggambarkan
tradisi-tradisi kuliner lainnya, orang-orang
Inggris tetap kembali kepada gastronomi
hubungan-hubungan sosial seperti regional dan lokal. Kecendrungan kembali
kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, konflik, kepada makanan lokal ini ditinggalkan oleh
keselarasan, status, dan simbol hubungan baru keluarga kelas menengah atas pada abad
dan berkelanjutan.
8|Page Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356
M
selama abad 17 dan 18, para bangsawan asalah kebiasaan makan sebagai
Inggris telah terus hidup dari tanah mereka, suatu bentuk tingkah laku berpola
memakan secara sederhana daging dan yang sangat terkait dengan
puding. Selama Abad 19, ada kebudayaan, yang mencakup juga
pengembangan peningkatan kepercayaan dan pantangan makan yang
ketergantungan pada kuliner Perancis berkembang dalam sekelompok
seperti kaum elit meninggalkan makanan masyarakat. Makanan dengan pengesahan
tradisional dan masakan negaranya dan budaya berarti akan berkaitan dengan
mengadopsi makanan Perancis dan kepercayaan, pantangan, aturan, teknologi,
masakan Perancis. Ini adalah bentuk dan sebagainya yang tumbuh dan
hegemoni Perancis yang diperluas juga di berkembang dalam sekelompok
Eropa dan Amerika Utara, dan masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan
mempengaruhi cara dimana makanan, makan yang menjadi ciri khas sekelompok
tatacara makan menjadi terstruktur (Caplan, masyarakat dan yang membedakan dengan
1997). kelompok masyarakat lainnya. Makanan
Dalam bukunya Distinction (1986, sebagai simbol-simbol tertentu akan
1979 via Caplan, 1997), Bourdieu memiliki makna-makna tertentu dalam
mengatakan bahwa kelas-kelas yang lebih banyak aktivitas sosial. Misalnya dalam
tinggi menggunakan makanan, sama seperti makanan yang digunakan dalam perayaan
mereka menggunakan selera dalam musik, adat, upacara adat atau upacara
seni atau pakaian, untuk membedakan perkawinan. akanan juga sebagai
mereka dengan kelas yang lebih rendah. pembentuk identitas etnis, yang dapat
Kemudian, dalam rangka membedakan dikenali dari jenis masakannya yang
status ini, mereka (kelas yang lebih tinggi) memiliki karakterisitik rasa yang khusus.
mengubah selera, dan terus mengubahnya. Makanan dan perubahan budaya makan
Bourdieu lebih melihat selera sebagai sebagai akibat masuknya makanan-
putusan estetis, yaitu produk dari adanya makanan asing tidak hanya mempengaruhi
perbedaan kelas ketimbang pengakuan atas praktik makan sehari-hari, namun juga pada
standar kualitas. Selera adalah sesuatu acara-acara tradisional seperti perkawinan
yang dikonstruksi secara sosial dalam ruang
sejarah yang konkrit. Apa yang dibaca,
Daftar Pustaka:
Bates, Marston (1984). “Manusia, Makan dan Seks” dalam Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungannya (Parsudi Suparlan, ed). Jakarta: Penerbit Rajawali.
Berg, Alan & Robert J.Muscat (1985). Faktor Gizi. (terjemahan oleh Achmad Djaeni
Sediaoetama). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Bryant, et al. (1985). An Introduction to Food and Society : The Cultural Feast. West
Publishing Co, USA.
Caplan, Pat. (1997). “Approach to the Study of Food, Health and identity”. Dalam
Food, Health and Identity (Caplan, Ed), hal 1-32. London: Routledge.
Cassidy, C.M. (1980) “Nutrition and Health in Agriculturalists and Hunter Gatherers : A Case
Study of two Prehistoric Populations,” Nutritional Anthropology (Jerome, Kandel &
Pelto, ed). Redgrave Publishing Company, USA.
Cassel, John (1977) “Social and Cultural Implications of Food and Food Habits,” Cultural,
Disease and Healing: Studies on Medical Anthropology (David Landy, ed). New
York: Macmillan.
Davis, Carol (1995) “Hierarchy or Complementary? Gendered Expression of Minangkabau
Adat” dalam Indonesia Circle No. 67, hal 273-292.
Den Hartog, et al. (1995). Manual for Social surveys on Food Habits and Consumption in
Developing Countries. Germany: Margraf Verlag.
DeWalt (1993). Agriculture Comercialization and Nutrition. Social Science Medicine, Vol. 36.
Fitzgerald, ed (1977). Nutrition and Anthropology in Action. Van Gorcum & Comp. B.V.
Assen, The Netherlands.
Foster, George M & Barbara G Anderson (1986). Antropologi Kesehatan. Penerjemah
Priyanti S. Pakan dan Meutia F. Swasono). Jakarta: UI Press.
George, Susan (2007). Pangan : Dari Penindasan Sampai Ke Ketahanan Pangan.
Yogyakarta: INSIST Press.
Gerlach, LP. (1964). “Socio-Cultural Factors Affecting the Diet of the Northeast Coastal
Bantu” dalam Journal of the American Dietetic Association 45: 420-424.
James, Allison (1997). “How British is British”?. Dalam Food, Health and Identity.
(Caplan ed). London: Routlegde. Hal 75-88.
Jerome, Pelto, Kandel (eds). 1980. “Introduction”, dalam NutritionalAnthropology (Jerome,
Pelto & Kandel, eds). United States of America : Redgrave Publishing Company.
Joes, Michael Owen (2007). “Food Choice, Symbolism and Identity”. The Board of
Trustees of the University of Illinois.
Kahn, Miriam (1988). “The Fresh and The Canned: Food Choices in Pacific”, dalam Food
and Foodways, 1988. Vol 3, pp 1-18. Harwood Academic Publishers.
Marchione (1980) “Factors Associated with Malnutrition in the Children Of Western Jamaica”
Nutritional Anthropology (Jerome, Kandel & Pelto, ed). Redgrave Publishing
Company, USA.
McElroy, Ann. & patricia K.Townsend. (1994). Medical Anthropology in Ecology Perspective.
Duxbury Press: North Scituate, Massachusetts.
Messer, E (1984). “Anthropology Perspectives on Diet” dalam Annual Review of
Anthropology Vol. 13, pg. 205-249.
Miele, M. (1999). “Short circuits: new trends in the consumption of food and the
changing status of meat” dalam International Planning Studies, Vol. 4(3),
hal. 373-387.
Rappaport, Roy. 1968. Pigs For The Ancerstors: Ritual in Ecology of a New Guinea People.
USA: Yale University.
Messer, E (1984). “Anthropology Perspectives on Diet” dalam Annual Review of
Anthropology Vol. 13, pg. 205-249.
Sheely, M. (2008). “Global adoption of convenience food” dalam American Journal
Agro Economic, Vol. 90(5), hal. 1356–1365.
Sidney W. Mintz & Christine M. Du Bois. 2002. The Anthropology of Food and Eating
Sanjur, Diva (1982). Social and Cultural Perpectives in Nutrition. Prentice Hall, INC,
Englewood Cliffs.
Weichart G. (2004). “Identitas Minahasa – Sebuah Praktik Kuliner” dalam
Antropologi Indonesia, Vol. 28(74), hal. 59-80.
Wilk, Richard (1994). “Consumer Goods as Dialogue About Development: Colonial
Time and Television Time in Belize” dalam Consumption and Identity.
(Jonathan Friedman, ed), hal. 97–109. Chur, Switzerland: Harwood
Academic Publishers.