Anda di halaman 1dari 11

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol.

19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

KAJIAN MAKANAN DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Yevita Nurti1

Received Article: 08 Mei 2017 Accepted Article: 10 Juni 2017

Abstract

This article is a literature study explain about the study of food, food habits and
nutrition in the Anthropology perspective. The food and nutrition studies reviewed in
this article only suggests some examples, which are considered popular and
represent the themes in food discussion. The discussion starts from the beginning of
anthropologist interest about food in culture until the process it. Keywords: Food
Habits, Nutrition, Ritual, Culture Change, Ethnic

Abstrak

Tulisan ini merupakan studi literatur mengenai kajian makanan, kebiasaan makan dan
nutrisi dalam perspektif antropologi. Kajian makanan dan gizi yang diulas dalam
tulisan ini hanya mengemukakan beberapa contoh, yang dianggap populer dan
mewakili tema-tema dalam pembahasan makanan. Pembahasan dimulai sejak awal
ketertarikan beberapa antropolog membahas mengenai makanan dalam kebudayaan
sampai pada perkembangan kajian kekinian.

Kata-Kata Kunci: Kebiasaan Makan, Gizi, Upacara, Perubahan Budaya, Etnis

A. Pendahuluan (1932) tersebut dimulai dengan pernyataan

M akanan tidak hanya penting untuk


memenuhi kebutuhan manusia
akan makan, namun makanan
juga terkait erat dengan
Richards bahwa nutrisi sebagai suatu proses
biologis dalam sebuah kebudayaan diatur
jauh lebih mendasar daripada urusan seks
(bandingkan dengan Bates (1958)3 dan Fox,
kebudayaan, termasuk tekhnologi, 19944). Audrey Richard berusaha
organisasi sosial dan juga kepercayaan
masyarakat. Makanan tidak akan
memiliki makna apa-apa kecuali makanan dan simbolik sering digunakan dalam ritual
itu dilihat dalam kebudayaannya atau untuk menandai status sosial, interval waktu,
jaringan interaksi sosialnya. dan sumber daya lingkungan yang penting
Kajian mengenai makanan, secara budaya (Lihat Messer, 1984).
kebiasaan makan dan gizi, terutama aspek 3
Tulisan Marston Bates (1958) Man, Food, and
sosial, budaya dan ekonomi makanan pada Sex, yang mengatakan bahwa makanan dan
berbagai kelompok manusia bukanlah hal seks – nutrisi dan reproduksi – adalah dua
yang baru dalam sejarah antropologi2. kebutuhan dasar manusia yang berada di bawah
Penelitian yang dilakukan oleh Audrey kontrol kebudayaan, dan kontrol kebudayaan
Richards pada orang Bantu, Afrika Selatan, seringkali memodifikasinya, menghambat dan
boleh dikatakan penelitian awal yang cukup mengubahnya melalui berbagai cara.
populer. Hasil penelitian yang telah 4
Fox (1994: 39) mengatakan bahwa makanan
dipublikasikan dalam bukunya berjudul lebih penting dari seks. Dorongan seksual
Hunger and Work in a Savage Society
1 Penulis adalah dosen tetap Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas
2 Setidaknya, studi awal antropologi sosial di Inggris telah memfokuskan pada organisasi sosial dan
ekonomi pada masyarakat subsistensi non-industri, secara utama pada sumber daya lokal, dan telah
mencatat bagaimana mencari, menyiapkan, dan mengkonsumsi makanan yang tersedia dalam
aktivitas sehari-hari, dan bagaimana dalam konteks tersebut nilai-nilai makanan emosional
Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi 1|Page
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

untuk memastikan kelangsungan genetik dapat Di Amerika, studi mengenai


mendeskripsikan bagaimana semua aspek kebiasaan makan telah berkembang sejak
kebudayaan yang ada (termasuk tahun 1930-an, terutama untuk tujuan
prosesproses ekonomi) mempengaruhi antropologi terapan. Kebanyakan studi-studi
konsumsi makan orang Bantu. awal tersebut bertujuan untuk mengan
Studi klasik Audrey Richards tentang tisipasi penjatahan dan kekurangan maka
Bemba (sekarang Zambia) di Rhodesia nan masa perang. Kebanyakan para
Utara menyimpulkan bahwa alasan antropolog waktu itu melakukan studi-studi
masyarakat Bemba tidak mau menjadi
pekerja keras (terutama perhatian terhadap
pertambangan British (Inggris) dan minat terpuaskan beberapa kali selama hidup;
ekonomi lainnya) bukanlah sebuah sedangkan desakan biologis untuk memenuhi
pertanyaan yang berkaitan dengan lapar harus dipuaskan setiap hari. Dalam hal
kemalasan namun berkaitan dengan makanan selalu ada kebersamaan, dan
persoalan kurang gizi. Semenjak laki-laki merupakan urusan kelompok, sedangkan
bekerja keras di tambang, urusan seks individual.
perempuanperempuan merasa sangat sulit yang disponsori pemerintah tentang
melakukan tugas pembukaan hutan yang kebiasaan makanan pada suku tertentu,
berat yang secara tradisional biasanya akibatnya terhadap kondisi gizi, dan jika
dilakukan oleh laki-laki. Selama masa itu perlu, bagaimana mengubahnya.
bertahun-tahun ketika perempuan lebih Studi-studi awal tentang makanan
membutuhkan makanan bergizi untuk lebih banyak menyorot masalah kebiasaan
mendukung tenaga dalam membersihkan makan sebagai suatu bentuk tingkah laku
dan menanam di lahan, supplai makanan berpola yang sangat terkait dengan
amat sedikit. Kemudian, akhirnya mereka kebudayaan, yang mencakup juga
terlibat dalam siklus yang terus menerus kepercayaan dan pantangan makan yang
dalam kondisi kurang produksi dan kurang berkembang dalam sekelompok
gizi (Messer, 1984). Orang Bemba sendiri masyarakat3, dan juga berkaitan dengan
kelihatannya mengakui hubungan antara faktor lingkungan sebagai sumber perolehan
intake energy yang rendah dan kekurangan bahan pangan yang utama4. Pada dasarnya
energi untuk melakukan pekerjaan, dan perbedaan-perbedaan makanan pada setiap
secara sadar mereka selalu menghemat budaya ini menjadikan konsep makanan
energi selama masa kurus dan cuaca dingin. berbeda dengan nutrimen. Seperti dikatakan
Richards juga mendeskripsikan dimensi Foster & Anderson (1986), nutrimen
sosial dari produksi, persiapan, distribusi, (nutriment) adalah suatu konsep biokimia,
dan konsumsi makanan, mencatat suatu zat yang mampu untuk memelihara
bagaimana semua hubungan kekerabatan dan menjaga kesehatan organisme yang
dibentuk oleh aturan-aturan sharing yang menelannya, sedangkan makanan (food)
telah ditetapkan; dan bagaimana kewajiban- adalah suatu konsep budaya, sesuatu yang
kewajiban ini dapat rusak dalam waktu dimakan dengan pengesahan budaya. Ini
singkat, ketika orang-orang hanya bisa berarti makanan sebagai konsep budaya
menimbun supplai makanan yang amat akan memiliki makna yang lebih luas
sedikit (Messer, 1984). daripada makanan dalam konsep nutrimen.
Makanan dengan pengesahan budaya

3Tulisan Bryant et al. (1985: 75) misalnya, yang mengatakan di Cina, daging anak anjing dan
daging anak babi yang masih menyusu termasuk ke dalam jenis bahan makanan yang lezat
sementara bagi masyarakat yang mayoritas beragama Islam, daging babi dan daging anjing
termasuk jenis bahan makanan yang tidak boleh dimakan karena kepercayaan yang diyakini
(Bryant at al, 1985:75). Contoh lain, banyak perempuan di India menghindari makan papaya dan
telur karena diyakini akan menyebabkan keguguran (Berg & Muscat, 1985).
4 McElroy dan Patricia K. Townsend mengatakan bahwa pada masyarakat tradisional atau
masyarakat pedesaan, perolehan bahan pangan terutama didapatkan dari sumber-sumber yang
tersedia di lingkungan. Jika sumber daya alam tidak memenuhi maka perolehan pangan dilakukan
melalui pembelian (1985: 46). Lihat juga Jerome, Pelto & Kandel, (1980: 22).
2|Page Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

berarti akan berkaitan dengan kepercayaan, disapih. Ini dipercayai akan menyebabkan
pantangan, aturan, teknologi, dan terjadinya kehamilan, janin yang belum lahir
sebagainya yang tumbuh dan berkembang akan “mencuri” air susu ibu, dan perawatan
dalam sekelompok masyarakat, sehingga anak akan terlantar. Sebenarnya tabu ini
menjadi kebiasaan makan yang menjadi ciri adaptif membatasi kehamilan dan
khas sekelompok masyarakat dan yang menguntungkan keduanya, ibu dan
membedakan dengan kelompok masyarakat pengasuhan anak. Namun, jika kehamilan
lainnya. kedua terjadi dan kemudian dikaitkan
Kebiasaan makan sebagai kom dengan pelanggaran tabu (wujudnya adalah
pleks kegiatan masak memasak (kulinari) kwashiorkor anak), maka mencegah
terkait dengan bahan makanan, proses orangtua untuk merawat/mengasuh anak
pengolahan, serta tekhnologi yang dengan baik (Gerlach, 1964). Contoh lain
digunakan. Walaupun kebudayaan menen misalnya dari Buganda. Orang-orang
tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, Buganda memahami bahwa kwashiorkor
ketersediaan bahan makanan dan makanan disebabkan oleh kecemburuan janin yang
dipengaruhi juga oleh komponen ekologis belum lahir terhadap saudaranya yang
dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, masih menyusui. Janin tersebut marah dan
1985). Beberapa tumbuhan dan binatang membuat si anak sakit. Untuk menghindari
karena sifatnya tidak dapat dicerna oleh penyakit ketika kehamilan terjadi,
manusia, tidak juga dengan menggunakan pengasuhan anak seringkali dipisahkan dari
tekhnologi modern. Oleh sebab itu jenis ibunya dan diasuh oleh neneknya atau
tumbuhan dan binatang yang tidak bisa saudara lain yang kadang-kadang tidak
dicerna tidak masuk dalam kategori menyediakan makanan-makanan yang
makanan. Contoh lain, susu tidak banyak bernilai gizi. Maksudnya mau melakukan
dikonsumsi pada zone hutan tropis karena pencegahan, namun tindakan ini justru akan
kondisi ekologisnya tidak menguntungkan mempercepat kwashiorkor. Ketidakcukupan
untuk beternak sapi/lembu sebagai makanan, dengan trauma psikologis karena
penghasil susu. Dan dengan alasan yang dipisahkan dengan ibunya, seringkali
sama gandum bukanlah makanan pokok memperburuk kondisi (Burgess dan Dean,
pada masyarakat tropis. 1962; Cravioto, 1966; Amann et al. 1972,
Kajian lain menekankan pada Jerome, Kandel & Pelto, 1980).
pengaruh atau dampak makanan sebagai Kwashiorkor yang terjadi akibat perpisahan
klasifikasi budaya tersebut terhadap anak dengan ibunya diistilahkan dengan
kesehatan atau gizi masyarakat pendu omusana, di mana diyakini disebabkan oleh
kungnya. Jerome, Kandel & Pelto (1980) malam-malam yang “dingin” yang dilewati
menyebut istilah ini dengan klasifikasi seorang anak yang jauh dari ibunya
nonmakanan yang juga berkontribusi (Burgess & Dean, 1962:25, Jerome, Kandel
terhadap kasus kurang gizi. Misalnya kajian & Pelto, 1980).
yang dilakukan Gerlach (1964) tentang Nampaknya banyak kepercayaan
etiologi spritual atau supernatural yang masyarakat yang dihubungkan dengan
diappli kasikan terhadap penyakit yang kita hakekat sumber-sumber makanan secara
kenal sebagai penyebab kurang gizi. Di magic dan semimagic yang dikarak
banyak negara berkembang, kekurangan teristikkan rasional dibalik praktek makan
proteinkalori pada anak-anak kecil diyakini semua orang. Beberapa makanan mengacu
sebagai keseluruhan persoalan non- pada prestise (roti putih dan beras halus);
makanan dan disebabkan oleh pelanggaran yang lainnya, keamanan (misalnya beras di
tabu atau melanggar supranatural. Sebagai Asia), dan lainnya sebagai identifikasi
contoh, diantara masyarakat pesisir timur kelompok (makanan “etnik”) (Jerome, 1970).
laut Bantul, dimana kwashiorkor termasuk Larangan-larangan makan dapat dipandang
penyakit endemik (selalu mewabah), kurang sebagai sebuah ekspresi dari hukum moral
gizi menurut mereka disebabkan oleh Tuhan (seperti kashrut, larangan Islam
pelanggaran tabu yang melarang orangtua terhadap babi, larangan sebelum paskah
melakukan hubungan seksual selama masa untuk makan daging, dan tabu totem dari
menyusui atau sebelum seorang anak beberapa wilayah). Kadang-kadang,

Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi 3|Page


JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

kepercayaan terpusat pada hakekat nilai pilihan pertama dalam penyeleksian


dari makanan yang dikaitkan dengan makanan, dan metode menyiapkan
masamasa kritis dalam life cycle, seperti: makanan untuk anggota keluarga
kehamilan, menyusui, penyakit, dsbnya. mempengaruhi siapa yang mendapatkan
Seringkali, kepercayaan-kepercayaan seper porsi makanan dengan nilai gizi baik atau
ti ini berpengaruh netral terhadap gizi buruk.
mereka, misalnya, orang Papago melarang Pola-pola seleksi makanan,
makan garam dan gula pada ibu sampai tali distribusi, dan konsumsi bervariasi dalam
pusar bayi lepas (Gonzalez, 1972), atau tipe-tipe masyarakat yang berbeda. Pada
larangan terhadap binatang menjijikkan atau komunitas petani dan pada ekonomiekonomi
makanan yang kelihatan menjijikkan untuk yang ditandai dengan pertanian subsistensi,
melindungi bayi dari pertumbuhan yang jelek anggota-anggota keluarga yang secara
(Hughes, 1963). Namun, beberapa tabu ekonomi sangat produktif sering diberikan
makanan juga telah membuang zat-zat gizi pilihan pertama memilih lauk yang
yang dibutuhkan, khususnya masamasa berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran
kritis. Misalnya larangan terhadap telur ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan
dalam makanan wanita usia produktif untuk aktor kunci dalam proses produksi dan
menghindari sterilitas dan komplikasi konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti
kelahiran (HEW, 1973); larangan minum hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione
susu bagi ibu menyusui; orang Burma (1980:263) di Jamaica bahwa faktor
mengurangi daging dan unggas selama sosialekonomi dan faktor sosial budaya
masa kehamilan (Mead, 1955), dan lain merupakan penyebab terjadinya gizi buruk
sebagainya. dikalangan anak-anak. Yang merupakan
Penelitian lainnya menekankan faktor sosial ekonomi adalah tingkat
pada fungsi dan peranan makanan dalam subsistensi pertanian, sedangkan faktor
masyarakat5. Seperti yang ditemukan oleh sosial budaya meliputi kearifan ibu,
Kahn, et al (1988) di wilayah Melanesia, keharmonisan rumah tangga dan perbedaan
Mikronesia dan Polinesia, bahwa makanan ukuran keluarga yang ideal. Marchione
mempunyai peranan sosial sebagai sarana menyimpulkan bahwa keluarga yang
adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah harmonis, dan usia ibu di atas 30 tahun
barometer status sosial, dan sebagai cenderung memiliki anak-anak yang berat
mediator simbolik dalam mendefinisikan dan badannya lebih baik daripada anak-anak
memanipulasi kekerabatan dan hubungan yang lahir dalam keluarga yang tidak
sosial. Penelitian Davis (1995) di harmonis dan memiliki usia ibu yang relatif
Minangkabau menemukan bahwa makanan muda.
bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai Kebiasaan makan juga berkaitan
sesuatu yang bermakna dalam komunikasi dengan teknologi, organisasi sosial, dan
antar kelompok, ekspresi yang penting kepercayaan masyarakat. Penelitian
dalam hubungan-hubungan sosial seperti Rappaport pada tahun 1968 pada
kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, masyarakat Tsembaga, merupakan satu
konflik, keselarasan, status, dan simbol contoh yang baik bagaimana kebiasaan
hubungan baru dan berkelanjutan. makan berkaitan dengan teknologi,
Pola-pola distribusi makanan dalam organisasi sosial, dan kepercayaan
keluarga juga memiliki konsekwensi gizi. masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al,
Masalah makan, identitas 1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968)
atau status individu dalam sebuah pada masyarakat Tsembaga juga dapat
keluarga sering menentukan dan menjadi menjadi contoh bagaimana lingkungan

5 Secara umum Foster dan Anderson mencatat beberapa peranan makanan pada masyarakat yaitu,
makanan sebagai ungkapan ikatan sosial, makanan sebagai ungkapan kesetiakawanan kelompok,
makanan dan stress dan simbolisme makanan dalam bahasa (1986: 317). Sementara Hartog (1995:
8-10), menyebutkan ada 6 fungsi sosial makanan seperti fungsi gastronomi yang berkaitan dengan
selera, struktur atau tekstur, sebagai identitas budaya, berfungsi pada aspek religi dan magic, sebagai
makna komunikasi, sebagai ekspresi kekayaan dan status ekonomi, dan berfungsi melatih pengaruh
dan kekuasaan.
4|Page Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

(termasuk lingkungan fisik dan sosial) Kajian Rappaport pada masyarakat


mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Tsembaga tersebut menunjukkan adanya
Kajian ini juga menunjukkan bagaimana hubungan ritual dengan keseimbangan
teknologi, organisasi sosial, dan ideologi alam. Nampaknya Rappaport mengga
bersinergi mempengaruhi pola-pola makan. bungkan prinsip-prinsip ekologi biologi
Masyarakat Tsembaga, yaitu masyarakat dalam studi ekologi kebudayaan, di mana
yang hidup dari hortikultura dengan unsur-unsur kebudayaan sama dengan
membuka hutan dengan tebas bakar di New unsur-unsur biologis, tunduk pada seleksi
Guinea. Kebun-kebun mereka menghasilkan alam, dan akhirnya sekelompok masyarakat
talas/keladi, kentang, manioc (tumbuhan dapat dianggap mampu atau tidak mampu
yang mengandung zat tepung), sayuran menyesuaikan diri.
hijau, tebu, dan hasil lainnya untuk Beberapa penelitian
persediaan makanan. Karena makanan lainnya menekankan pada makanan dan
terdiri dari 99 % sayuran, bagaimanapun, perubahan makan6, walaupun beberapa ahli
tentu kualitas makanan rendah protein. percaya bahwa kebiasaan makan sangat
Dengan demikian protein hanya cukup untuk sulit diubah karena berkaitan
memperoleh keseimbangan nitrogen, namun dengan fungsi dan peranan
dalam kondisi stress seseorang akan mudah sosialnya dan merupakan ekspresi diri7.
terganggu keseimbangan nitrogen nya Beberapa faktor yang dapat mengubah
(kekurangan protein), sehingga kebiasaan makan dan akhirnya
membutuhkan asupan protein lebih. mempengaruhi kondisi gizi tergambar dalam
Masyarakat Tsembaga juga memelihara babi tulisan DeWalt (1993), yang menunjukkan
yang dipakai untuk memenuhi beberapa bahwa perubahan pertanian subsistensi
fungsi. Meskipun babi jarang dimakan, kepada komersialisasi telah menyebabkan
namun babi itu menjalankan fungsi teknologi terjadinya perubahan pada konsumsi makan
dengan baik, yaitu menjaga kebersihan dan status gizi8. Kajian yang dilakukan Eide
& Steady (1980) di daerah rural Afrika
halaman karena memakan sampah dan
tentang perubahan kebiasaan makan yang
kotoran manusia, dan membantu mengorek
disebabkan oleh perubahan peranan ibu
tanah untuk perkebu nan (seperti mesin
turut memperkaya kajian perubahan
pengolahan). Babi akan menimbulkan
kebiasaan makan ini. Penelitian yang
masalah setelah jumlahnya terlalu banyak,
dilakukan Kahn, et al (1988) memperlihatkan
sehingga makanan untuk babi tidak bagaimana masyarakat di wilayah Melanesia
mencukupi lagi. Manusia harus mencari dan Polinesia memilih makanan sebagai
makanan tambahan untuk babi. Di samping akibat beragamnya jenis makanan baru yang
itu, jika jumlah babi mulai banyak maka masuk ke wilayah tersebut.
mereka akan merusak kebun, tidak lagi
berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk
mengatasi hal tersebut, masyarakat
Tsembaga mengembangkan serentetan
upacara ritual (kaiko) yang intinya bertujuan
untuk penyembelihan sejumlah besar babi.
Dengan penyembelihan babi, asupan
protein bagi orang-orang yang membu
tuhkan akan terpenuhi dan masalah
kelebihan babi akan teratasi.

6 Lihat juga Mintz & Christine M. Du Bois (2002).


7 Mead dalam Sanjur (1982: 286) mencatat adanya perbedaan pada bagaimana para
8 DeWalt menjelaskan pengaruh komersialisasi pertanian pada konsumsi makan dan status gizi yang
dilaksanakan lebih kurang dalam rentang 10 tahun. Misalnya penelitian Fleurent & Fleurent (1980)
pada masyarakat Miskito, yang memperlihatkan keseimbangan gizi terjadi sebagai hasil adaptasi
manusia dengan lingkungannya, dan sistem hasil panen tradisional. Ketika terjadi perubahan
pertanian subsistensi menjadi komersialisasi, seringkali merusak konsumsi makan masyarakat dan
status gizi.
Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi 5|Page
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

Agaknya, kajian mengenai “Food terjadi di Irlandia pada tahun 1846-1850


Habit” lama terhenti9 dan mulai kembali sebagai salah satu bencana kelaparan
dengan tuntutan persoalan yang lebih luas terparah yang pernah terjadi di Eropa10.
Ladang kentang yang merupakan makanan
pokok gagal panen akibat hama, dan jelas
imigran mengubah pola makan mereka
ini merupakan bencana alam, namun
berkaitan dengan apakah mereka menyukai
kematian sekitar 2 juta orang saat itu jelas
makanan makanan daerah asal mereka. Para bukan bencana alam. Menurut George
imigran mengubah pakaian dan bahasa mereka (2007: 28), selama terjadi bencana
pertama karena mereka tidak ingin menyolok. kelaparan di Irlandia sebenarnya ada cukup
Tetapi makanan adalah urusan pribadi; oleh makanan untuk memberi makan dua kali
karena itu, kebiasaan makan diubah terakhir. jumlah penduduk yang berjumlah 8 juta
Namun para imigran di tempat baru, orang, namun ekspor besar-besaran bahan
cenderung hanya mengubah makanan pada makanan, mulai dari gandum, oat, barley
hari-hari kerjanya tetapi pada hari minggu/libur (jenis gandum yang dipakai untuk membuat
bersikeras untuk makan makanan asalnya. bir), ternak, telur, dsbnya, belangsung terus.
Lihat juga Foster dan Anderson (1986: 312). Karena bahanbahan makanan tersebut
dan kompleks. Ketika populasi manusia dianggap sebagai bahan makanan
berkembang dan terus meningkat, telah perdagangan (untuk komersial) dan
menyebabkan pentingnya peningkatan memang ditanam hanya sebagai komoditas
pada produksi pangan, peningkatan ekspor dan untuk mendatangkan
strategi pertanian, peternakan, dan industri keuntungan. Para petani Irlandia tidak
pertanian yang memungkinkan untuk pernah memakannya karena mereka hanya
meningkatkan sumber-sumber makanan. menanamnya untuk tuan tanah, dan
Ancaman Malthus yang telah disebabkan juga karena mereka tidak
menimbulkan pertanyaan serius tentang mampu membayar sewa tanah. Harga sewa
kemampuan kita untuk menyediakan tanah yang amat mahal membuat para
makanan untuk populasi dunia yang terus petani tidak bisa menyewa tanah dan
meningkat, membutuhkan model-model semakin terjerat dalam kemiskinan.
yang lebih komprehensif untuk memahami Kemiskinan dan ancaman kelaparan
sistem makanan manusia, produksi dan membuat orang-orang Irlandia saat itu
distribusi makanan. melakukan emigrasi ke Amerika atau ke
Kajian-kajian tentang nutrisi dan Inggris. Menurut George (2007), kelaparan
makanan mulai mengarah lebih luas ke dan kurang gizi yang terjadi saat ini di
dalam hal politik dan kebijakan pangan. Negara-negara Dunia Ketiga mirip dengan
Misalnya tulisan Susan George dalam yang terjadi di Irlandia itu. Para petani
bukunya Food for Beginners (1982, 2007), terpaksa mengekspor makanan pada masa
jelas-jelas menolak alasan klise yang kelaparan demi keuntungan tuan tanah,
menyesatkan tentang penyebab kelaparan terbeban hutang yang melilit dan sewa tanah
di dunia ketiga seperti populasi yang terlalu yang tinggi, serta ancaman diusir oleh tuan
padat, iklim dan sistem pertanian yang tidak tanah. Sementara itu kebanyakan orang
efisien, dan sebagainya. Yang dibahas tidak memiliki tanah dan tidak cukup tersedia
dalam buku tersebut justru mengetengahkan lapangan pekerjaan. Jadi persoalannya
permainan kejam agribisnis multinasional, bukan hanya kelaparan semata atau kurang
metode neo-Malthusian, dan pangan semata, namun juga penindasan. Ini
neoKolonialisme, sekaligus membuka yang kemudian disebutnya dengan ancaman
topeng pemberi dana yang sok suci neoKolonialisme. Tulisan George ini jelas
sekaligus membongkar akar eksploitasi. menguak ”sisi lain” sebagai penyebab
Sebagai salah satu contohnya, George terjadinya kelaparan dan kurang gizi, namun
(2007) mencatat bencana kelaparan yang permasalahan yang dilihat secara global
9 Kajian “Food Habit” yang terhenti sekitar 25 tahun setelah The Committe on Food Habits
ditinggalkan, formulasi kebijakan untuk “feed the world” telah mendorong kajian antropologi gizi
tidak sesederhana untuk kepentingan keilmuan saja, namun meluas pada issu nasional dan global
mengenai produksi, distribusi, dan penggunaan makanan (Jerome, Pelto& Kandel, 1980).
6|Page Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

tersebut belum tentu bisa dijadikan acuan memori-memori makanan sebagai “ruang”
untuk berbagai kelompok masyarakat yang untuk memperluas aktivitas politik dan
hidup di wilayah tertentu, dengan lingkungan menciptakan identitas kolektif. Seringkali
dan permasalahan/kebijakan pangan yang makanan disimpan dengan emosi. “Saya
berbeda-beda. merasa baik jika saya makan banyak jenis
makanan pada kesempatan khusus”,
B. Kajian Makanan Sebagai pernyataan seseorang. Makanan juga

M Simbol emasak dan


memakan diilhami dengan
makna-makna
khusus.
sebagai teman, penghibur, dan hobby.
Makanan digunakan orang juga sebagai
suatu hadiah. Makanan juga sebagai suatu
ekspresi simpati dan dukungan ketika
Memasak dan makan seorang teman sakit atau ada anggota
berhubungan dengan banyak identitas keluarga yang meninggal. Dalam interaksi
individual, dan idiom-idiom serta ideologi- sosial yang melibatkan makanan, individu
ideologi tersebut akan mempengaruhi sering membuat keputusan tentang dengan
pilihan makan. Simbolsimbol diciptakan dan siapa dia ingin makan, dengan siapa dia
diciptakan kembali kapan saja, dengan tidak ingin makan. Beberapa studi
sebuah pola makna dan signifikansi. Banyak memperlihatkan orang-orang yang makan
objek, tindakan, peristiwa, dengan teman mengkonsumsi lebih banyak
ungkapan/upacara, konsep atau citra yang makanan dibanding makan dengan orang
mengacu sebagai material mentah untuk asing (Jones, 2007).
menciptakan simbol, pada banyak tempat, Makanan sebagai simbol-simbol
dan waktu. Misalnya, karakteristik fisik dari tertentu akan memiliki makna-makna
bahan makanan dapat menjadi lambang. tertentu dalam banyak aktivitas sosial.
Sebagai contoh, tahun 1972-1973 Misalnya dalam makanan yang digunakan
pemerintah Amerika dalam Program dalam perayaan adat, upacara adat atau
Perdamaian mengirim jagung kuning ke upacara perkawinan. Makanan tidak hanya
Boeswana untuk didistribusikan ke sekolah- sesuatu untuk dimakan, atau sesuatu untuk
sekolah sebagai bantuan selama masa disuguhkan kepada tamu atau anggota
kekeringan. Memalukan dan dihina dengan kerabat yang sedang mengikuti perayaan,
ber ton-ton jagung kuning yang diberikan tetapi makanan, jenis makanan, serta
pada mereka, pelajar-pelajar di sekolah di tatacara penyajiannya menjadi simbolsimbol
Serowe, membakar mobil kepala sekolah budaya tertentu. Misalnya kajian Mohamed,
dan menghancurkan tumpukan jagung dkk (2010), tentang makanan hantaran
kuning tersebut. Ini disebabkan karena dalam perkawinan Melayu Kelantan.
mereka menganggap hanya jagung putih Kajiannya menunjukkan bahwa makanan-
yang dikonsumsi manusia, sedangkan makanan hantaran dalam upacara
jagung kuning adalah makanan hewan perkawinan pada masyarakat Melayu
(Jones, 2007). Orang-orang mendefinisikan Kelantan merupakan simbol-simbol yang
peristiwa melalui makanan, sepotong hot sarat dengan makna yang diyakini oleh
dog di pantai, coklat panas di rink ice masyarakat sampai sekarang. Pesan-pesan
skating, dan popcorn di bioskop. Makanan yang disampaikan melalui makanan dan
juga memperkenalkan tempat, dari wilayah perilaku makanan ini pada akhirnya
kota ke kota kecil atau lingkungan, misalnya memperluas kajian makanan sebagai
bubur Peninsula Upper Michigan, cabe simbol.
Cincinnati Ohio. Makanan juga “membuat”
tempat, seperti orang-orang Jepang Amerika C. Makanan Sebagai Pembentuk

M
di camp-camp selama PD II yang Identitas Etnis akanan juga
membangun batas teritorial mereka dengan sebagai pembentuk identitas
menggunakan kantin/ruang makan, kebun, etnis, yang dapat dikenali dari
wajan panas, tofu – membuat fasilitas dan jenis masakannya yang memiliki
10 Seorang sejarawan Eropa mencatat telah terjadi 89 kali bencana kelaparan besar-besaran antara
abad 10 dan abad 18 – artinya rata-rata bencana kelaparan melanda Eropa setiap sepuluh tahun
sekali (George, 2007 : 26).
Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi 7|Page
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

karakterisitik rasa yang khusus. Misalnya, motivasi untuk mengkonsumsi


masakan Minahasa ditandai dengan barangbarang tertentu dan kontestasi makna
penggunaan cabai (rica) dalam jumlah yang yang muncul akibat perilaku mengkonsumsi
banyak dalam mengolah daging, begitu ini. Dan, karena adanya makna-makna
kuatnya rasa cabai sampaisampai budaya lokal yang terus menerus melekat
menghilangkan rasa daging itu sendiri11. pada konsumsi barang-barang dari luar,
Begitu juga masakan Minangkabau, cabai, mereka berpendapat bahwa konsumsi tidak
santan, dan bumbu rempah-rempah menandakan persaingan dengan budaya
menjadikan makanannya khas sebagai Barat atau dengan kata lain keaslian budaya
makanan Minangkabau12. Makanan juga lokal tidak akan menghilang (Miller 1995;
sebagai pembentuk identitas individual yang Wilk 1994).
berkaitan dengan klas dan gender. Goody Menurut Friedman (1994), pada
(1982) menyebutkan bahwa sebetulnya dasarnya penerimaan atau peniruan unsur
hirarki klass, kasta, ras dan gender budaya luar ini sangat tergantung
terbentuk melalui differensiasi kontrol bagaimana sebuah komunitas memahami
terhadap akses terhadap makanan13. Pola- dan menafsir ulang (redefinition)
pola konsumsi yang berbeda adalah satu pengetahuan baru tersebut. Itulah sebabnya
dari banyak cara yang membedakan diri walaupun budaya global akan selalu
mereka sendiri dengan orang miskin dan memiliki kemiripan di berbagai wilayah,
membedakan laki-laki dengan perempuan14. namun sebenarnya tetap mendapatkan ciri
Makanan juga mempunyai peranan sosial lokal (local identity) di setiap wilayah yang
sebagai sarana adat komunikasi, standar ditempatinya. Ini berarti juga bahwa satu
kekayaan, sebuah barometer status sosial, unsur budaya yang sama bisa mendapatkan
dan sebagai mediator simbolik dalam perbedaan fungsi dan makna di setiap
mendefinisikan dan memanipulasi komunitas yang ditempatinya. Misalnya saja
kekerabatan dan hubungan sosial15. kue pengantin, yang konon berasal dari
D.Makanan dan Perubahan tradisi Romawi Kuno sebagai lambang

D alam beberapa tahun terakhir,


kajian makanan menyangkut
perubahanperubahan yang terjadi
akibat masuknya berbagai jenis
kesuburan
perkawinan
juga digunakan
Minangkabau
pembawaan dari pihak pengantin
dalam
sebagai

makanan dari luar, sebagai akibat


perubahan yang disebut globalisasi. Di
seluruh dunia, barang-barang seperti hubungan-hubungan sosial seperti kepercayaan-
makanan dan pakaian digunakan dengan kepercayaan, kecurigaan, konflik, keselarasan,
cara yang berbeda oleh kelompokkelompok status, dan simbol hubungan baru dan
sosial dan klass sosial yang berbeda berkelanjutan.
(misalnya Bourdieu, 1984). Bahkan para ahli perempuan kepada pihak pengantin lakilaki.
antropologi ekonomi telah menjadi semakin Makanan dan perubahan budaya
tertarik pada hubungan antara konsumsi dan makan sebagai akibat masuknya
pengalaman sosial, terutama dalam makananmakanan asing tidak hanya
kaitannya dengan konsumsi komoditas mempengaruhi praktik makan sehari-hari,
global (misalnya tulisan Friedman 1994; namun juga pada acara-acara tradisional
Miller 1995). Dengan menekankan pada seperti perkawinan. Seperti dikatakan Miele
komponen konsumsi, para ahli telah (1999), makananmakanan dimodifikasi
membawa perhatian pada berbagai variasi sesuai dengan trend baru dalam konsumsi,

11 Weichart, 2004: 67
12 Davis, 2007
13 Goody, 1982 dalam Counihan, 1998.
14 Bennett 1943; Fitchen 1988; Mintz 1985; Weismantel 1988, dalam Counihan, 1998
15 Kahn, et al (1988). Penelitian Davis (1995) di Minangkabau menemukan bahwa makanan bagi
orang Minangkabau berfungsi sebagai sesuatu yang bermakna dalam komunikasi antar kelompok,
ekspresi yang penting dalam
8|Page Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

yang oleh Miele digambarkan sebagai dilihat mulai abad 19. Identitas kelas Inggris
munculnya arena baru makanan pasca secara ironis dibangun melalui mediasi
modern dan budaya konsumsi baru makanan Perancis (makanan asing).
dikalangan konsumen. Pilihan-pilihan Sebaliknya, berbeda dengan masakan yang
terhadap jenis makanan tertentu atau pilihan sangat rumit yang telah dikembangkan
tatacara terhadap konsumsi tertentu pada dalam masyarakat Perancis selama abad
akhirnya memunculkan gaya hidup baru, 17 dan 18, para bangsawan Inggris telah
yang dianggap membawa satu kenyamanan terus hidup dari tanah mereka, memakan
dalam mengkonsumsinya. Sheely (2008), secara sederhana daging dan puding.
mengidentifikasi beberapa hal yang Selama Abad 19, ada pengembangan
membuat orang menginginkan kenyamanan peningkatan ketergantungan pada kuliner
dalam memilih makanan yang pada akhirnya Perancis seperti kaum elit meninggalkan
berkontribusi terhadap perubahan tersebut, makanan tradisional dan masakan
seperti misalnya perubahan struktur rumah negaranya dan mengadopsi makanan
tangga, tingginya partisipasi perempuan Perancis dan masakan Perancis. Ini adalah
dalam angkatan kerja dan jam kerja yang bentuk hegemoni Perancis yang diperluas
lebih panjang, kemakmuran konsumen, juga di
keinginan untuk pengalaman baru, Eropa dan Amerika Utara, dan
keterampilan memasak menurun, serta mempengaruhi cara dimana makanan,
menguatnya nilai uang. Kenyamanan dalam tatacara makan menjadi terstruktur (Caplan,
konsumsi makanan ini pada gilirannya 1997).
mempengaruhi orang untuk beralih dari Dalam bukunya Distinction (1986,
makanan tradisional, yang dimasak sendiri, 1979 via Caplan, 1997), Bourdieu
yang cenderung dianggap merepotkan, mengatakan bahwa kelas-kelas yang lebih
menghabiskan banyak waktu dan tenaga, tinggi menggunakan makanan, sama seperti
dan lain sebagainya. Makanan asing telah mereka menggunakan selera dalam musik,
bekerja untuk membawa perubahan dan seni atau pakaian, untuk membedakan
kelanjutan preferensi makanan melalui mereka dengan kelas yang lebih rendah.
mobilisasi-mobilisasi yang berbeda dari Kemudian, dalam rangka membedakan
identitas kelas. status ini, mereka (kelas yang lebih tinggi)
James (1997) mengkaji isu kelas mengubah selera, dan terus mengubahnya.
dan status sosial di Inggris sebagai bentuk Bourdieu lebih melihat selera sebagai
perbedaan yang disimbolkan dengan putusan estetis, yaitu produk dari adanya
makanan. Dia menjelaskan walaupun di perbedaan kelas ketimbang pengakuan atas
Inggris telah terjadi proses ‘creolisation’ standar kualitas. Selera adalah sesuatu
(percampuran) makanan, terutama dengan yang dikonstruksi secara sosial dalam ruang
meningkatnya pertumbuhan restoran pizza sejarah yang konkrit. Apa yang dibaca,
dan kebab, makanan pesan antar (take Daftar Pustaka:
away) dari restoran Cina dan India, serta dilihat, dimakan, dan sebagainya bukan
pertumbuhan berbagai makanan yang merujuk pada rasionalitas selera murni, atau
tersedia di supermarket yg menggambarkan tanpa kepentingan, namun selama itu
tradisi-tradisi kuliner lainnya, orang-orang berlangsung di dalam ranah sosial, putusan
Inggris tetap kembali kepada gastronomi estetis, sudah pasti mengusung berbagai
regional dan lokal. Kecendrungan kembali kepentingan, walaupun kepentingan itu
kepada makanan lokal ini ditinggalkan oleh sejauh pada kepentingan simbolik (Blunden,
keluarga kelas menengah atas pada abad 2004). Menurut Bourdieu, hal-hal simbolik
18 dan 19 ketika mereka kembali ke dalam ranah perjuangan kelas dan
makanan Perancis, namun perlu dicatat itu kekuasaan sangatlah strategis, karena
hanya untuk mempertahankan sebuah memiliki legitimasi untuk melakukan
status tinggi, dan makanan dengan harga dominasi.
yang mahal. Mannell (1985) mencatat
bahwa, tradisi makanan di Inggris E. Kesimpulan asalah kebiasaan
berhubungan dengan makanan dan identitas
kelas sosial secara kompleks ditandai dan

Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi


M makan sebagai suatu bentuk
tingkah laku berpola yang sangat

9|Page
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

terkait dengan kebudayaan, yang mencakup memiliki makna-makna tertentu dalam


juga kepercayaan dan pantangan makan banyak aktivitas sosial. Misalnya dalam
yang berkembang dalam sekelompok makanan yang digunakan dalam perayaan
masyarakat. Makanan dengan pengesahan adat, upacara adat atau upacara
budaya berarti akan berkaitan dengan perkawinan. akanan juga sebagai
kepercayaan, pantangan, aturan, teknologi, pembentuk identitas etnis, yang dapat
dan sebagainya yang tumbuh dan dikenali dari jenis masakannya yang
berkembang dalam sekelompok memiliki karakterisitik rasa yang khusus.
masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan Makanan dan perubahan budaya makan
makan yang menjadi ciri khas sekelompok sebagai akibat masuknya makananmakanan
masyarakat dan yang membedakan dengan asing tidak hanya mempengaruhi praktik
kelompok masyarakat lainnya. Makanan makan sehari-hari, namun juga pada acara-
sebagai simbol-simbol tertentu akan acara tradisional seperti perkawinan
Bates, Marston (1984). “Manusia, Makan dan Seks” dalam Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungannya (Parsudi Suparlan, ed). Jakarta: Penerbit Rajawali.
Berg, Alan & Robert J.Muscat (1985). Faktor Gizi. (terjemahan oleh Achmad Djaeni
Sediaoetama). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Bryant, et al. (1985). An Introduction to Food and Society : The Cultural Feast. West
Publishing Co, USA.
Caplan, Pat. (1997). “Approach to the Study of Food, Health and identity”. Dalam Food,
Health and Identity (Caplan, Ed), hal 1-32. London: Routledge.

10 | P a g e Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi


JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10_________________ ISSN 1410-8356

Cassidy, C.M. (1980) “Nutrition and Health in Agriculturalists and Hunter Gatherers : A Case
Study of two Prehistoric Populations,” Nutritional Anthropology (Jerome, Kandel &
Pelto, ed). Redgrave Publishing Company, USA.
Cassel, John (1977) “Social and Cultural Implications of Food and Food Habits,” Cultural,
Disease and Healing: Studies on Medical Anthropology (David Landy, ed). New
York: Macmillan.
Davis, Carol (1995) “Hierarchy or Complementary? Gendered Expression of Minangkabau
Adat” dalam Indonesia Circle No. 67, hal 273-292.
Den Hartog, et al. (1995). Manual for Social surveys on Food Habits and Consumption in
Developing Countries. Germany: Margraf Verlag.
DeWalt (1993). Agriculture Comercialization and Nutrition. Social Science Medicine, Vol. 36.
Fitzgerald, ed (1977). Nutrition and Anthropology in Action. Van Gorcum & Comp. B.V.
Assen, The Netherlands.
Foster, George M & Barbara G Anderson (1986). Antropologi Kesehatan. Penerjemah
Priyanti S. Pakan dan Meutia F. Swasono). Jakarta: UI Press.
George, Susan (2007). Pangan : Dari Penindasan Sampai Ke Ketahanan Pangan.
Yogyakarta: INSIST Press.
Gerlach, LP. (1964). “Socio-Cultural Factors Affecting the Diet of the Northeast Coastal
Bantu” dalam Journal of the American Dietetic Association 45: 420-424.
James, Allison (1997). “How British is British”?. Dalam Food, Health and Identity. (Caplan
ed). London: Routlegde. Hal 75-88.
Jerome, Pelto, Kandel (eds). 1980. “Introduction”, dalam NutritionalAnthropology (Jerome,
Pelto & Kandel, eds). United States of America : Redgrave Publishing Company.
Joes, Michael Owen (2007). “Food Choice, Symbolism and Identity”. The Board of Trustees
of the University of Illinois.
Kahn, Miriam (1988). “The Fresh and The Canned: Food Choices in Pacific”, dalam Food
and Foodways, 1988. Vol 3, pp 1-18. Harwood Academic Publishers.
Marchione (1980) “Factors Associated with Malnutrition in the Children Of Western Jamaica”
Nutritional Anthropology (Jerome, Kandel & Pelto, ed). Redgrave Publishing
Company, USA.
McElroy, Ann. & patricia K.Townsend. (1994). Medical Anthropology in Ecology Perspective.
Duxbury Press: North Scituate, Massachusetts.
Messer, E (1984). “Anthropology Perspectives on Diet” dalam Annual Review of
Anthropology Vol. 13, pg. 205-249.
Miele, M. (1999). “Short circuits: new trends in the consumption of food and the changing
status of meat” dalam International Planning Studies, Vol. 4(3), hal. 373-387.
Rappaport, Roy. 1968. Pigs For The Ancerstors: Ritual in Ecology of a New Guinea People.
USA: Yale University.
Messer, E (1984). “Anthropology Perspectives on Diet” dalam Annual Review of
Anthropology Vol. 13, pg. 205-249.
Sheely, M. (2008). “Global adoption of convenience food” dalam American Journal Agro
Economic, Vol. 90(5), hal. 1356–1365.
Sidney W. Mintz & Christine M. Du Bois. 2002. The Anthropology of Food and Eating
Sanjur, Diva (1982). Social and Cultural Perpectives in Nutrition. Prentice Hall, INC,
Englewood Cliffs.
Weichart G. (2004). “Identitas Minahasa – Sebuah Praktik Kuliner” dalam
Antropologi Indonesia, Vol. 28(74), hal. 59-80.
Wilk, Richard (1994). “Consumer Goods as Dialogue About Development: Colonial Time
and Television Time in Belize” dalam Consumption and Identity. (Jonathan
Friedman, ed), hal. 97–109. Chur, Switzerland: Harwood Academic Publishers.

10 | P a g e

Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi

Anda mungkin juga menyukai