Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tuberkulosis

1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang paling

sering mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis.TB paru dapat menyebar ke setiap bagian tubuh, termasuk

meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2015).

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang peling sering

mengenai parengkinm paru,biasanya disebabkan oleh myobacterium

tuberculosis. TB dapat menyebar hampir kesetiap bagian tubuh ,termasuk

meninges,ginjal,tulang,dan nodus limfe.infeksi awal biasanya terjadi

dalam 2 sampai 10 minggu setelah pajanan (brunner & suddarth,2013).

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar infeksi TB

menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nucleus droplet yang berisikan

organisme basil tuberkel dari seorang yang terinfeksi (Nurarif, AH &

Kusuma, H, 2015).

2. Anatomi Sistem Pernapasan

Menurut Fernandez,G.J.(2018). Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu

Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina, bronchus principalis, bronchus

lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis, bronchiolus

7
8

respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat

Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus

inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo

dextra terdapat fissura horizontal yang membagi lobus superior dan lobus

media, sedangkan fissura oblique membagi lobus media dengan lobus

inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus

superior dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2

yaitu parietalis (luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut

terdapat rongga pleura (cavum pleura).

a. Hidung

Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior

yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan.

Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan

rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis silindris bersilia

bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya ada konka

nasalis superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa

hidung umumnya mengandung banyak pleksus pembuluh darah.

b. Alat penghidu

Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet,

dengan lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis

sel: sel penyokong, sel basal dan sel olfaktoris.

c. Sinus paranasal
9

rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak

yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris,

frontalis, etmoidalis dan sphenoidalis.

d. Faring

Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan

menyatu dan menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke

oesophagus. Pada saat bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada 3

rongga : nasofaring, orofaring, dan laringofaring. 7 Mukosa pada

nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan

laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak

memilki muskularis mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat

elastin. Lapisan fibroelastis menyatu dengan jaringan ikat interstisiel.

Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis gepeng,

mengandung kelenjar mukosa murni.

e. Laring

Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm.

Terletak antara faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan

tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik mengikat laring pada tulang

hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada tulang tiroid dan

krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel

bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada

kelenjar. Fungsi laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea

pada saat menelan (epiglotis). Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara
10

palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah diantara pita

suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan lamina

propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot

rangka). Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N

Laringealis superior.

f. Trakea

Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi

oleh jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang

rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.

g. Bronchus

Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki

primer bercabang menjadi bronki lobar  bronki segmental  bronki

subsegmental. Struktur bronkus primer mirip dengan trakea hanya

cincin berupa lempeng tulang rawan tidak teratur. Makin ke distal

makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang sama sekali.

Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas

lipatan memanjang. Epitel bronkus : kolumnar bersilia dengan banyak

sel goblet dan kelenjar submukosa. Lamina propria : serat retikular,

elastin, limfosit, sel mast, eosinofil.

h. Bronchiolus

Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang

rawan, tidak mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur

dengan jaringan ikat longgar. 8 Epitel kuboid bersilia dan sel


11

bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak mengandung

sel goblet.

i. Bronchiolus respiratorius

peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan : epitel

kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis

(alveoli).

j. Duktus alveolaris

Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat

alveoli bermuara.

k. Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat

terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan

udara yang dihirup. Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat

poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan elastis

halus. Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel

alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I)

jumlahnya hanya 10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar

besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Sel alveolar

gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal

bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan

berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar.

Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir

ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial.


12

Mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit.

Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari

alveolar disebut makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma sel ini

terisi badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah

sel lainnya.

l. Pleura

Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung

serat elastin, fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut

pleura viseral, yang melekat pada dinding toraks disebut pleura

parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfe.

3. Klasifikasi Tuberkulosis

Penyakit TB dapat diklasifikasikan berdasarkan 4 hal yaitu lokasi atau

organ tubuh yang terkena, bakteriologi, tingkat keparahan penyakit, dan

riwayat pengobatan TB sebelumnya (Widyanto, F, C & Cecep, T, 2013) :

a. Berdasarkan organ tubuh yang terkena

1) TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru dan

tidak termasuk pleura (se

2) laput paru) dan kelenjar pada hilus.

3) TB ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh selain paru

seperti pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar

limfe, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Berdasarkan bakteriologi
13

Klasifikasi bakteriologi didasarkan pada hasil pemeriksaan dahak

mikroskopis, yaitu :

1) TB paruBTA positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasil BTA

positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya positif dan foto thoraks dada

menunjang gambaran TB.

c) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik OAT (Obat

Anti TB).

2) TB paru BTA negatif

Semua kasus yang tidak memenuhi kriteria TB paru BTA

positif termasuk pada klasifikasi TB paru BTA negatif dengan

kriteria sebagai berikut :

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

b) Foto thoraks abnormal menunjukkan gambar TB.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik OAT (Obat

Anti TB)..

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

c. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit


14

1) Pembagian TB paru BTA negatif dengan foto thoraks positif

berdasarkan tingkat keparahannnya, yaitu didasarkan pada bentuk

berat dan ringan. Bentuk berat digambarkan dengan foto thoraks

yang memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas. Misalnya

proses “far advanced” dan atau keadaan umum pasien buruk.

2) Sedangkan pembagian TB ekstra paru berdasarkan tingkat

keparahannya yaitu :

a) TB paru ekstra ringan seperti TB kelenjar limfe. Pleuritis

eksudativa unilateral, tulang kecuali tulang belakang, sendi dan

kelenjar adrenal.

b) TB ekstra paru berat TB ekstra paru berat seperti meningitis,

milier, pericarditis, pleuritis eksudative bilateral, TB tulang

belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

d. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1) Baru, yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat

Anti TB). atau sudah pernah menelan OAT (Obat Anti TB)

kurang dari 1 bulan (4 minggu).

2) Kambuh (relaps), yaitu pasien TB sebelumnya pernah mendapat

pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, diagnosis kembali dengan BTA positif melalui apusan

atau kultur.

3) Pengobatan setelah putus obat (default), yaitu pasien yang telah

berobat dan putus obat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
15

4) Gagal (failure), yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan dahak

tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau

lebih selama pengobatan.

5) Pindahan (transfer in), yaitu klien yang dipindahkan dari UPK

yang memiliki registrasi TB lain untuk melanjutkan pengobatan.

6) Lain-lain, yaitu semua kasus yang tidak memenuhi kriteria seperti

kasus kronis yang hasil pemeriksaan BTA masih positif meskipun

telah menyelesaikan pengobatan ulang.

4. Etiologi Tuberkulosis

TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang

dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif

mengeluarkan organisme.Individu yang rentan menghirup droplet dan

menjadi terinfeksi. Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak

diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan

bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa (Smeltzer&Bare,

2015).

Menurut (Smeltzer & Bare 2015), Individu yang beresiko tinggi

untuk tertular virus tuberculosis adalah:

a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB

aktif. b. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan

kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang

terinfeksi dengan HIV).

b. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik.


16

c. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma;

tahanan; etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15

tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).

d. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan

diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).

e. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.

f. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan

aktivitas yang beresiko tinggi.

5. Patogenesis Tuberkulosis

a. infeksi primer (pertama)

infeksi primer adalah waktu pertama kali terinfeksi TB.infeksi TB

primer biasanya menyerang apeks dari paru-paru atau dekat pleura

darilobus bawah. Walaupun infekasi primer,dapatberuopa mikroskopi

(sehingga muncul pada rongten dada) ,namunkelanjutan penyakit

seperti di bawah ini sering ditemui.

Muncul suatu bagian kecil yang terserang bronkopnemonia pada

jaringan paru. TB banyak menginfeksi secara fagositosis (di

pencernaan) oleh makrofag yang beredar.namun,sebelum

berkembangannya hipersensivitas dan imunitas,banyak basilus yang

dapat bertahan hidup dalam sel-sel darah tersebut dan terbawa ke

bronkopulmonalis (hilus) kelenjar getah bening melalui sistem

limfatik.Basilus bahkan dapat menyerang ke seluruh tubuh.Walaupun

infeksi kecil,tapi penyebarangnya sangat cepat.


17

Lokasi infeksi primer dapat atau dapat tidak mengalami proses

degenerasi nekrotik ,yang disebut kaseasi karena menghasilkan rongga

yang terisi massa seperti keju yang berisi batil tuberkel, sel darah putih

mati, dan jaringan paru nekrotik.seiring waktu material ini mencair ,dan

keluar ke dalam saluran trakeobronkial ,dan dapat dibatukkan

keluar,kebanyak TB primer dapat sembuh dlam periode beberapa bulan

dengan membentuk jaringan perut dan kemudian lesi kalsifikasi,yang

disebut sebagai kompleks ghon.lesi-lesi tersebut dapat ,mengandung

basilus hidup yang dapat mengalami reaktivitasi,terutama jika klien

mengalami imunitas,bahkan setelah bertahun-tahun,dan menyebabkan

infeksi sekunder.

Infeksi TB primer akan menyebabkan tubuh mengembangkan reaksi

alergi terhadap basilus tuberkel atau protein. Respons imunitas

dimediasi sel ini muncul dalam bentuk sel-T tersensitas dan dapat di

deteksi sebagia reaksi positif pada uji kulit tuberkulin.munculnya

sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada semua sel tubuh 2 hingga 6

minggu setelah infeksi primer.Sensitivitas ini ada selama basilus hidup

masi berada didala tubuh.Kekebalan yang didapat bisa menghambat

pertumbuhan lebih lanjut dari basil dan perkembangan infeksi aktif.

Sekitar 10% orang yang terinfeksi TB pada akhirnya akan mengalami

penyakit aktif dalam hidup mereka.alasan penyakit TB aktif muncul

pada beberapa klien ( alih-alih dapat dikontrol oleh respons imun yang

didapat sehingga tetap dorman ) masih belum pahami dengan


18

jelas.namun,faktor faktor yang tampaknya berperan pada

perkembangan dari infeksi TB dorman menjadi penyakit aktif

melibatkan hal-hal berikut;

1. kontak ulang dengan orang yang memiliki TB aktif

2. usia lanjut

3. infeksi HIV

4. imunosupresi

5. terapi kortikosteroid jangka panjang

6. tinggal atau bekerja pada area pada berisiko tinggi

(penjara,fasilitas perawatan jangka panjang)

7. berat badan rendah (10% atau lebih dibawah berat ideal)

8. penyelagunaan narkoba

9. adanya penyakit lain (misalnya,diabets melitus,penyakit

ginjal stadium akhir,atau penyakit ganas).

b. infeksi sekunder

penyakit primer progresif ,terinfeksi ulang juga dapat menyebabkan

bentuk klinis TB aktif,atau infeksi sekunder.lokasi infeksi primer yang

mengandung basilus TB mungkin tetap laten bertahun-tahun dan dapat

mengalami reaktivitas jika resintasi klien turun.oleh karena

dimungkinkan terjadinya infeksi ulang dan kerena lesi dormal dapat

mengalami reaktivitas ,maka penting bagi klien dengan infeksi TB untuk

dikaji secara periodik terhadaf bukti adanya penyakit aktif. (M.Black &

Hawks,2014).
19

6. Gejala Klinis Tuberkulosis

Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya.Pada tipe

infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat

berupa gejala neumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala TB, primer

dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau dalam

bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak napas.

Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat sembuh dengan sendirinya,

hanya saja tingkat kesembuhannya 50%. TB postprimer terdapat gejala

penurunan berat badan, keringat dingin pada malam hari, tempratur

subfebris, batuk berdahak lebih dari dua minggu, sesak napas, hemoptisis

akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga

menyebabkan bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah

yang masif, TB postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga

menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis

dengan fenoma papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis

pada kelenjar limfe dileher, yakni berupa skrofuloderma. (Tabrani Rab,

2016)

Tanda-tanda klinis dari tuberkulosis adalah terdapatnya keluhan

berupa (Nurarif, AH & Kusuma, H 2015 ):

1. Demam 40-41 oC,serta batuk darah

2. Sesak nafas

3. Nyeri dada

4. Suara khas pada perkusi dada


20

5. Bunyi dada

6. Malaise

7. Keringat malam

8. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit.

9. Pada anak

a. Berkurangnya berat badan 2 bul;an berturut-turut tanpa sebab

yang jelas atau gagal tumbuh.

b. Demam tanpa sebab jelas,terutama jika berlanjut sampai 2

minggu.

c. Batuk kronik lebih 3minggu.

d. Riwayat kontak dengan TB paru dewsa.

e. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local tumbuh

kurang 7 harisetelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan

sistem skoring TB anak.

7. Faktor Resiko Tuberkulosis

Menurut (Brunner & Suddarth,2013) beberapa faktor resiko TB paru:

a. kontak dengan seseorang yang menderita TB aktif

b. status gangguan imun (misalkan,lansia,kanker, terapi kortikosteroid,

dan HIV).

c. Penggunaan obat injeksi dan alkoholisme.

d. Masyarakat yang kurang mendapat layanan kesehatan yang memadai

(misal,gelandangan, atau penduduk miskin, kalangan minoritas, anak-

ank dan dewasa muda).


21

e. Kondisi medis yang sudah ada, termasukdiabetes, gagal ginjal,

silikosis, dan malnutrisi

f. Imigrasi dari negara dengan insidensi TB yang tinggi (misal,haiti, asia

tenggara ).

g. Institusionalisasi ( misal,fasilitas perawat jangka panjang,penjara).

h. Tinggal dilingkungan yang padat penduduk dan dibawah standar.

i. Pekerjaan 9 misal,tenaga kesahatan, terutama yang melakukan

aktivitas berisiko tinggi ).

8. Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis

Pemeriksan diagnostik menurut (arif muttaqin,2012) yang dilakukan

pada klien dengan tuberkulosis paru, yaitu :

a. Pemeriksaan labolatorium

Pemeriksan diagnostik menurut (arif muttaqin,2012) Diagnosa

terbaik dari penyakit tuberkulosis diperoleh dengan pemeriksaan

mikrologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesis

mycrobacterium antara satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat

koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai

media,perbedaan kepekaan terhadap OAT (Obat Anti TB) dan

kemoterapeutik, perbedaan kepekaan terhadap binatang percobaan, dan

percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen

mycrobacterium. Bahan pemeriksaan untuk isolasi mycrobacterium

tuberculosis berupa:
22

a. sputum klien,sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang

pertama keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum dikumpulkan

selama 24 jam.

b. urine, urine yang diambil adalah urine pertama dipagi hari atau

urine yang dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien

menggunakan kateter mak urine yang tertapung didalam urine bag

dapat diambil.

c. Cairan kumbah lambung. Umumnya bahan pemeriksaan ini

digunakanan jika anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan

sputum. bahan pemeriksaan diambil pagi hari sebelum sarapan.

d. Bahan-bahan lain.misalnya pu,cairan serebrospinal (sumsum tulang

belakang), cairan pleura, jaringan tubunh, fases dan swab

tenggorokan.

Bahan pemeriksaan dapat diteliti secara mikroskopi dengan

membuat sediaan dan diwarnai dengan pewarnaan tahan asam serta

diperiksa dengan lensa rendam minyak.hasil pemeriksaan

mikroskopik dilaporkan sebagai berikut:

1. Bila setelah pemeriksaan teliti selama 10 menit tidak

ditemukan bakteri tahan asam, maka diberika lebel (penanda):”

bakteri tahan asam negatif atau BTA ( - )”.

2. Bila ditemukan bakteri tahan asam 1-3 batang pada seluruh

tubuh sediaan,maka jumlah yang ditemukan harus disebut, dan

sebaiknya dibuat sediaan ulangan.


23

3. Bila ditemukan bakteri-bakteri tahan asam maka harus diberi

label:”bakteri tahan asam positif atau BTA ( + )”.

Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosa TB paru

walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan lanjut endap

darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan

peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.

Pemeriksaan diagnostik menurut (Nurarif, AH &

Kusuma, H, 2015) yang dilakukan pada klien dengan

tuberkulosis paru, yaitu :

a) Laboratorium darah rutin : LED normal/meningkat,

limfositosis

b) Pemeriksaan sputum BTA : untuk memastikan diagnostik

TB paru, namun pemeriksaan ini tidak spesifik karena

hanya 30-70% pasien yang dapat didiagnosis berdasarkan

pemeriksaan ini.

c) Tes PAP (Peroksidase Anti Perodsidase)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat

histogen staining untuk menentukan adanya Ig G spesifik

terhadap basil TB.

d) Tes Mantoux/ Tuberkulin

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat

histogen staining untuk menentukan adanya Ig G spesifik

terhadap basil TB.


24

e) Tehnik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi

dalam meskipun hanya satu mikro organisme dalam

spesimen juga dapat mendeteksi adanya resistensi.

f) Becton Dickinson diagnostik instrument sistem (BACTEC)

Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan

dari metabolisme asam lemak oleh mikobakterium

tuberkulosis.

g) MYCODOT

Deteksi antibody memakai antigen liporabinomanan yang

direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik,

kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai memakai

warna sisir akan berubah

h) Pemeriksaan radiology : Rontgen thorax PA dan lateral

Gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB, yaitu:

a) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atas atau segmen

apikal lobus bawah

b) Bayangan berwarna (Patchy) atau bercak (Nodular)

c) Adanya kavitas, tunggal atau ganda

d) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru

e) Adanya klasifikasi

f) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu

kemudian
25

g) Bayangan millie.

b. Pemeriksaan rontgen thoraks

Pada hasilnya pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan

adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan

sebelumya pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila

pemeriksaan rontgen thoraks menemukan suatu kelainan, tidak ada

gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali lokasi di lobus bawah

dan baisanya berada di sekitar hilus,karakterristik kelainan ini terlihat

sebagai daerah bergaris-bergaris opaque yang ukuranya bervariasi

dengan batas lesi yang tidak jelas.kreteria yang kabur dan gambar yang

kurang jelas ini sering diduga sebagi pnemonia atau suatu proses

edukasi, yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontrak,sebgai

mana gambaran dari penyakit fibrotik kronik, tidak jarang kelainan ini

tampak kurang jelas di bagian atas bawah, memanjang di daerah

klavikula atau satu bagia n lengan atas, dan selanjutnya tidak

mendapatkan perhatiaan kecuali dilakukan pemeriksaan rontgen yang

lebih teliti.

Klien dengan kelainan ini sering didapat tidak terdeteksi hingga

mencapai stadium lanjut, sehingga tidak jarang ditemukan kelainan

yang sudah lanjut dengan gambaran kavitas dan penyebaran

bronkhogenik ke paru lain maupun lobus bawah pada paru yang

bisa.pada klein lainnya, foto polos thoraks menampakkan konsolidasi


26

yang luas pada daerah segmental maupaun lobus paru

yangmenunjukkan adanya pneumonia TB.

Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi

hasil pengobatan dan ini tergantug pada tipe keterlibatan dan

kerentangan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis,apakah

sama sebaiknya dengan respon dari klien.pemyembuhan lengkap sering

kali terjadi di beberapa area daninilah observasi yang dapat terjadi pada

penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak menyolok pada klien

dengan penyakit akut yang relatif dimana prosesnya dianggap berasl

dari tingkat eksudatif yang besar.

Pada klien dengan kelainan progresif yang menyebabkan

nekrosis,penyembuhan yang tidak mungkin terjadi. Pada klien

ini,terjadi fibrosis yang disertai kontraksi dari jaringan parut. Selain

itu,terjadi pula penyusutan volume lobus yang terlibat atau segmen dan

hal ini kadang menurunkan ukuran hemithoraks. Struktur mediastinal

retraksi pada bagian yang terlibat,termasuk didalam hilum tertarik ke

lobus atas yang sakit dan kadang memidiafragma ditinggikan. Lesi

yang berisi jaringan granulasi sama baik dengan lesi kaseosi dan sering

kali di temukan sedikit nodulyang memperlihatkan pengurangan ukuran

secara bertahap. Nodul yang individual dapat lebih jelas diidentifikasi

melalui pemeriksaan ronteng. Demikian pula penyebab fibrosis dan

kontraksi.Tipe lesi ini sering kali menjadi tempat pengendapan kalsium

dan beberapa contoh menjadi klasifikasi yang padat seiring perjalanan


27

penyakit. Banyak dari lesi daerah sentral dengan nekrosis dapat

temukan organisme yang dapat hidup setelah periodi tidak efektif.

c. Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan dilakukang untuk menemukan hubungan

kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran

garis-garis fibrotik ireguler,pita parenkimal,klasifikasi nodul, dan

adenopati,perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskuler,

bronkhiektasis,dan emfisema, perisikatriksial.sebagiaman pemeriksaan

ronteng thoraks,penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya

berdasarkan pada temuan CT Scan pada pemeriksaan tunggal,namun

selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan

pemeriksaan secara serial setiap saat.

Gambaran adanya kavitas sering ditemukan pada klien dengan TB

paru dan sering tampak pada gambar rontgen karena kavitas tersebut

membentuk lingkaran yang nyata atau bentuk oval radiolucent dengan

dinding yang cukup tipis,jika penampakan kavitas kurang jelas,dapat

dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk memastikan atau menyingkirkan

adanya gambar kavitas.pemeriksaan CT Scan sangat bermanfaat untuk

mendekteksi adanya pembentukan kavitas dan lebih dapat diandalkan

dari pada pemeriksaan rontgen thoraks biasa.

d. Radiologi TB paru milier

TB Scan milier terbagai menjadi 2 tipe,yaitu TB paru milier akut

dan TB paru milier subakut ( kronik ). Penyebaran milier terjadi setelah


28

infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh dara secara

masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan

sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT.

Pada bayi dan anak-anak,penyakit ini dapat di sebabkan oleh

penyebaran TB primer dan mengakibatkan manifestasi klinis yang

berat.keadaan ini biasa terjadi pada bayi-bayi dengan gizi buruk atau

penyakit kronis yang biasanya sangat rentang.pada sebgaian besar anak-

anak, jumlah bakteri hamya sedikit dalam tubuhnya ( hospase ), namun

cukup resisten untuk mencegah penyebaran milier sehingga tidak

menimbulkan manifestasi klinis.

Pada orang dewasa ,khususnya orang tua,angka kejadian penyakit

ini cukup tinggi dan sulit sekali diidentifikasi.hasil pemeriksaan rontgen

thoraks tergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.nodul-nodul

dapat terlihat pada rontgen thoraks akibat tumpang tindih dengan lesi

parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul keil. Pada

beberapa klien,didapat kan berupa bentuk granula-granula halus atau

nodu-nodul sangat kecil yang menyebar secara difusi di kedua lapangan

paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus

yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis

tajam.

Pada klien lain,nodul-nodul tersebut dapat berupa garis garis tabel

yang tidak begitu tajam dengan daerah-daerah yang kabut di sekitarnya

.pada beberapa klien TB milier,tidak ada lesi yang terlihat pada hasil
29

rontgen thoraks,tetapi pada beberapa kasus,bentuk milier klasik

berkembang seiring dengan perjalan penyakit.

9. Penatalaksanaan medis Tuberkulosis

Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi

dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga dapat

dibagi menjadi obat utama dan tambahan.

Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana lini

pertama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin, dan

etambutol, yang tersedia dalam tablet tunggal maupun dalam sediaan dosis

tetap (fixed dose combination). Jenis obat lini kedua adalah kanamisin,

kuinolon, dan derivat rifampisin dan isoniazid.

Dosis OAT  adalah sebagai berikut :

a. Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara

oral, atau 10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan

DOT, maksimal 600 mg/hari. Dikonsumsi pada waktu perut kosong

agar baik penyerapannya.

b. Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB oral tidak melebihi

300 mg per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten

pasien dengan berat badan >30 kg diberikan 300 mg oral. Pemberian

isoniazid juga bersamaan dengan Piridoksin (vitamin B6) 25-50 mg

sekali sehari untuk mencegah neuropati perifer

c. Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30

mg/kgBB per hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh
30

melebihi dua gram per hari. Atau dapat diberikan dua kali seminggu

dengan dosis 50 mg/kg BB secara oral

d. Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB.

Sedangkan pada fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30

mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu, atau 45 mg/kgBB diberikan 2

kali seminggu

e. Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra muskular,

tidak melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan dengan dosis

dua kali per minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra muskular, tidak

melebihi 1,5 gram per hari

Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :

a. Kategori 1 : 2RHZE/4RH3

Kategori 1 ; OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu

pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis

klinis, dan pasien TB ekstra paru. OAT kategori 1 diberikan dengan

cara RHZ diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan RH 4 bulan.

b. Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E

Kategori 2 ; OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif

yang sudah diberikan tatalaksana sebelumnya, yaitu pada pasien


31

kambuh, pasien gagal pengobatan dengan kategori 1, dan pasien yang

diobati kembali setelah putus obat.

Terapi MDR-TB Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah

diberikan sebelumnya, dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara

in vitro.  Jangan gunakan obat yang sudah resisten.  Ada baiknya

mengonsultasikan pasien dengan MDR-TB kepada spesialis penyakit

paru.

Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien

dengan MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :

a. Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol,

rifampisin

b. Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin,

streptomisin

c. Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin,

moxifloksasin, ofloksasin

d. Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya:

cycloserine, terizidone, asam para aminosalisilat (PAS),

etionamide, protionamide

e. Grup 5:  obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk

penggunaan rutin karena efektifitasnya masih belum jelas. 

Namun diikutsertakan dengan alasan bahwa bilamana ke 4 grup


32

obat tersebut diatas tidak mungkin diberikan kepada pasien,

seperti pada XDR-TB.

Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan

spesialis penyakit paru.  Contoh obatnya: clofazimine, linezolid,

amoksisilin klavulanat, thiocetazone, imipenem/cilastatin,

klaritromisin, INH dosis tinggi.

Kehamilan ; Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan

tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut

WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali

streptomisin dan kanamisin yang bersifat ototoksik pada janin.

Pemberian kedua obat tersebut akan menyebabkan gangguan

pendengaran dan keseimbangan pada bayi ketika lahir.

Pada ibu hamil yang mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian

piridoksin 50 mg/hari. Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan

dosis 10 mg/hari jika rifampisin digunakan pada trimester ketiga.

Ibu Menyusui :Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu

menyusui tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya.

Semua jenis OAT aman bagi ibu menyusui. Tatalaksana OAT yang

adekuat akan mencegah penularan TB ke bayi. Untuk bayi yang

menyusu dari ibu penderita TB, terapi profilaksis isoniazid dapat

diberikan.
33

rawat inap Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru)

tidak perlu dirawat inap. Namun akan memerlukan rawat inap pada

keadaan atau komplikasi berikut :

a. Batuk darah masif

b. Keadaan umum dan tanda vital buruk

c. Pneumotoraks

d. Empiema

e. Efusi pleural masif/bilateral

f. Sesak nafas berat yang tidak disebabkan oleh efusi pleura

Kriteria Sembuh seseorang pasien Tuberkulosis paru (TB Paru)

dianggap sembuh apabila memenuhi kriteria :

a. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan

akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang

adekuat

b. Pada foto toraks, gambaran radiologik tetap sama atau

menunjukkan perbaikan

c. Apabila dilakukan biakan, ditemukan biakan negatif

Monitoring pada tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan dengan dua

tujuan, yaitu evaluasi pengobatan dan evaluasi komplikasi maupun efek

samping obat.
34

Evaluasi Pengobatan Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik,

radiologik, dan bakteriologik. Pada evaluasi klinik, penderita diperiksa

setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan, kemudian dilanjutkan

setiap 1 bulan. Hal yang dievaluasi adalah keteraturan berobat, respon

pengobatan, dan ada tidaknya efek samping pengobatan. Pada setiap

kali follow up, pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan berat badan diukur.

Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya

konversi dahak. Evaluasi ini dilakukan sebelum memulai pengobatan,

setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan. Evaluasi dilakukan

berdasarkan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) atau biakan apabila

tersedia.

Evaluasi radiologik dilakukan menggunakan foto rontgen toraks.

Evaluasi dilakukan sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif,

dan pada akhir pengobatan. Pada penderita yang telah dinyatakan sembuh,

evaluasi tetap dilakukan selama 2 tahun pertama untuk mendeteksi adanya

kekambuhan. Pemeriksaan BTA dilakukan pada bulan ke-3, 6, 12, dan 24

setelah dinyatakan sembuh. Sedangkan pemeriksaan foto rontgen dada

dilakukan pada bulan ke-6, 12, dan 24 setelah dinyatakan sembuh.

Evaluasi Efek Samping Obat Pasien TB yang diberikan pirazinamid

harus diperiksa baseline serum asam urat dan tes fungsi hati. Sedangkan

pasien yang diterapi etambutol mesti diperiksa baseline ketajaman


35

penglihatannya dan juga secara periodik dilakukan tes buta warna merah-

hijau, menggunakan tes Ishihara

Pasien yang mendapat suntikan streptomisin dimonitor ketajaman

pendengarannya, tes fungsi ginjal secara berkala, dan pemeriksaan

neurologis berkala. Monitoring ini terintegrasi dalam program nasional

bersama WHO, yaitu strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-

course) sejak tahun 1995, yang dalam perkembangannya menghadapi

banyak tantangan, sehingga diperluas pada tahun 2005 menjadi

strategi Stop TB untuk mengoptimalkan mutu DOTS.

Pembiayaan pengendalian program TB yang lebih banyak berpusat

kepada aspek kuratif masih bergantungan pada pendanaan dari donor

internasional selain alokasi APBD yang masih rendah [1].  Khusus warga

DKI Jakarta yang berobat TB melalui puskesmas, pemprov DKI

memberikan subsidi pengobatan TB secara gratis.  Pada tingkat pertama,

pasien yang datang ke puskesmas akan ditangani oleh seorang dokter

umum, dan bilamana dianggap perlu, pasien TB dirujuk ke rumah sakit

setempat yang memiliki fasilitas pemeriksaan spesialistik.

10. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut

menurut (Wahid, A & Suprapto, I, 2013), yaitu:


36

a. Hemomtisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang

dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

tersumbatnya jalan nafas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

c. Bronkiektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)

pada paru.

d. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan :

kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian,

ginjal dan sebagainya.

f. Insufiensi kardio pulmoner.

11. Cara penularan dan pencegahan Tuberkulosis

Cara penularan ,pencegahan penyebaran infeksi dan pencegahan

tuberkulosis paru yaitu :

a. Penularan Tuberkulosis Paru

Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar

dengan bakteri Mycobacterium Tuberculosa yang dilepaskan pada saat

penderita TB batuk. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul

didalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak terutama

pada orang-orang dengan daya tahan tubuh yang lemah dan dapat

menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Sumber


37

penularan adalah penderita TB BTA positif khususnya TB paru

(Maesaroh, S 2009).

Cara penularan (transmisi) TB menurut (Maesaroh, S, 2009), yaitu:

1) Bersifat langsung melalui droplet (percikan dahak) dalam jarak

dekat ketika batuk/bersin,

2) Airborne (melalui udara) ketika droplet yang mengandung kuman

di udara terhirup kesaluran nafas. Droplet yang mengandung

kuman tersebut dapat bertahan di udara bersuhu kamar selama

beberapa jam.

b. Pencegahan Tuberkulosis Paru

Menurut (M.Black & ,H,2014) Selama rawat inap,pengadilan

infeksi yang tepat dan praktif kesehatan dari karyawan rumah sakit

sangat penting.pertama,identifikasi dini klien dengan TB sangat

penting.klien yang mengalami resiko tinggi dan klien dengan

manefestasi klinis pneumonia hrus ditempatkan segera diruang isolasi

hingga hasil apusan AFB.atau kultur yang diterima. Ruangan isolasi

udara harus dijaga dengan tekanan negatif relatif terhadap ruangan

luar,tekanan negatif menegah udara ruangan isolasi mengalir keluar

ketika pintu dibuka, sehingga menghidari penyebaran partikel infeksi

ke luar ruangan.ventilasi tekanan negatif mengirim udara ruangan

langsung ke luar, dengan paling tidak enam kali pergantingan udara

tiap jam. Perlengkapan lain seperti, lampu ultraviolet (terbukti


38

membunuh mikobkteria) dan filter partikulat udara efisiensi tinggi

(HEPA),harus juga digunakan.

Perlengkapan perlindungan pribadi, partikulate respiratori,

diperlukan bagi semua pekerja kesehatan yang memasuki ruangan

isolasi TB. Jika dikenakan dengan tepat,alat ini akan menyaring nuklei

droplet,ketepatan penggunaan partikulate respiratori harus dikaji

ulang jika ada perubahan bentuk wajah penggunannya.

Memonitor status TB tenaga kesehatan juga penting.ujian kulit

harus dilakukan dengan tiap tahununtuk semua tenaga kesehatan yang

mungkin terpapar TB. Uji setengah tahun sekali harus dilakukan pada

area resiko tinggi atau saat konversi positif dari uji kulit TB sering

ditemukan.

Saat klien ditemukan mengalmi TB, petugas kesehatan (sering

kali perawat) akan berbicara dengan klien dengan mengumpulkan

daftar kontak.setiap orang yang pernah memiliki kontak dengan klien

harus diperiksa dengan uji kulit tuberkulit dengan rontgen dada untuk

mengevaluasi infeksi TB.

c. pencegahan penyebaran infeksi TB

menurut (brunner & suddarth 2011).beberapa cara pencegah

penyebaran infeksi TB;

1. Jelaskan dan perlahan kepada pasien tentang tindakan kebersihan

yang penting dilakukan,termasuk perawatan mulut,menutup


39

mulut dan hidung ketika batuk dan bersin,membuang tisu dengan

benar,dan mencuci tangan.

2. Laporkan setiap kasus TB ke deperteman kesehatan sehingga

orang tidak pernah kontak dengan pasien yang tdrinfeksi selam

atadium menular dapat menjalani skrining dan kemungkinan

terapi,jika diindikasikan.

3. Informasikan pasien mengenai resiko menularan TB ke bagian

tubuh lain ( penyebaran atau perluasan infeksi TB kelokasi lain

selain paru pada tubuh dikenal sebagai TB milier ).

4. Pantau pasien secara cermat untuk mengetahui adanya TB

milier;pantau tanda tanda vital dan pantau lonjakan suhu tubuh

serta perubahan fungsi ginjal dan kognitif;beberapa tanda fisik

dapat diperlihatkan pada pemeriksaan fisik dada,tetapi pada

stadium ininpasien mengalami batuk hebat dan

dispnea.penanganan milier sama seperti penanganan untuk TB

pulmonal.

B. Tinjauan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan MDR

1. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan MDR TB

WHO (2014) menyebutkan apablila pen- derita TB tidak patuh

dalam meminum obat anti tuberkulosis, maka hasil akhir yang

dikhawatirkan adalah adanya kegagal- an penyembuhan TB ditambah

dengan timbulnya basil-basil TB yang resisten ter- hadap obat

tuberkulosis. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan ada


40

hubungan langsung antara kepatuhan pasien dalam minum obat

tuberkulosis dengan kejadian MDR TB yang bersifat negatif dan

signifikan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian oleh Hirpa et al.

(2013) yang menyebutkan bahwa faktor yang paling dominan yang

dapat mem- pengaruhi langsung kejadian MDR TB adalah

ketidakpatuhan pengobatan pasien tuberkulosis.

Zhdanov et al., (2017) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan

pengobatan yang sering terjadi pada fase aktif dua bulan per- tama yang

diakibatkan karena pasien sudah merasa enakan dan berhenti pengobatan.

Hal tersebut yang dapat memicu terjadinya kekambuhan maupun

resistensi terhadap obat tuberkulosis. Khan et al., (2017) dan Patel et al.

(2017) menyebutkan bahwa pasien tuberkulosis yang patuh akan peng-

obatan dilaporkan memiliki risiko untuk MDR TB lebih rendah. Hal ini

dapat disebabkan karena dengan pengobatan yang tuntas dan sesuai

anjuran maka tidak terjadi tuberkulosis berulang yang dapat memicu

terjadi kepekaan terhadap obat .

2. Hubungan Merokok dangan MDR TB

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan langsung

antara merokok dengan kejadian MDR yang bersifat positif dan

signifikan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian

sebelumnya yang menyebutkan bahwa terdapat pengaruh antara

kebiasaan merokok saat ini maupun riwayat merokok dengan keadaan

MDR yang terjadi (Molalign and Wencheko, 2015)


41

Ditemukan merokok menyebab kansistem kekebalan tubuh

menjadi turun. Selain dapat memperburuk keadaan tuber- kulosis

menjadi resisten terhadap obat, juga dapat menyebabkan risiko

kekambuh- an ketika tuberkulosis sudah diobati(Mollel and Chilongola,

2017). Akibat tingkat kepa- rahan pada kelompok merokok dapat me-

nyebabkan semakin tingginya risiko resis- tensi obat hingga

meningkatnya angka kematian. Selain itu, hasil penelitian me- nunjukkan

bahwa hampir seperlima beban akibat penyakit tuberkulosis dapat

dicegah dengan mengeliminasi perilaku merokok (Bonacciet al., 2013).

Belchior et al., (2016) menambahkan bahwa merokok dapat

memperburuk manisfestasi penyakit TB.

3. Hubungan status gizi dengan MDR TB

Nutrisi dibutuhkan dalam proses memperbaiki jaringan dan

mencegah penyakit. Hubungan antara TB dan gizi buruk sudah lama

diketahui. Kekurangan gizi memper- lemah kekebalan tubuh, sehingga

mening- katkan kemungkinan TB yang resisten terhadap obat (WHO,

2013). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan langsung antara status

gizi dengan kejadian MDR TB yang bersifat negatif dan signifikan. Hasil

penelitian ini didukung oleh penelitian Hicks et al. (2014) yang

menyebutkan bahwa salah satu faktor mempengaruhi kejadian MDR TB

bahkan berlanjut pada kematian yakni status gizi yang buruk pada pasien

tuberkulosis. Putri et al. (2014) menyebutkan bahwa staus gizi yang

buruk menyebabkan pengobatan pada pasien tuberkulosis menjadi tidak


42

efektif dan menyebabkan tidak terjadinya konversi kultur sputum pada

tahap awal pengobatan MDR TB.

Dijelaskan oleh Park et al. (2016) dan Tang et al. (2013)

bahwa staus gizi yang buruk banyak ditemukan pada pasien yang

mengalami resistensi obat tuber- kulosis karena menurunnya imunitas

tubuh sehingga mengganggu sistem kekebalan terhadap mycobacteruim

tuberculosis. Imunitas tubuh pasien yang tidak baik akan berpengaruh

pada semakin parahnya penyakit atau menjadi resisten terhadap obat

tuberkulosis(Sun et al., 2017).

4. Hubungan Persepsi Kerentanan dengan MDR TB melalui


Kepatuhan Minum Obat

Rosenstock et al., (1988) menyebutkan bahwa HBM merupakan

salah satu model tertua membahas kesiapan untuk melaku- kan perilaku

sehat berdasarkan beberapa keyakinan atau persepsi individu. Hasil

analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara persepsi

kerentanan dengan kejadian MDR TB melalui variabel kepatuhan pasien

dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung antara persepsi

kerentanan dengan kepatuhan minum obat bersifat positif dan signifikan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan sebelumnya yang

menyebutkan bahwa peran keyakinan individu yang pada HBM

berpengaruh terhadap keputusan individu dalam meningkatkan perilaku

sehat salah satunya yakni kepatuhan dalam minum obat tuberkulosis

(Johari et al., 2014; Tola et al., 2016).


43

5. Hubungan Persepsi keseriusan dengan MDR TB melalui kepatuhan

minum obat

HBM menjelaskan mengenai persepsi kese- riusan atau keparahan

yang ada dalam diri individu dan dapat mempengaruhi individu tersebut

dalam bertindak (Simpson, 2015). Hasil analisis menunjukkan bahwa ada

hubungan tidak langsung antara persepsi keseriusandengan kejadian

MDR TB me- lalui variabel kepatuhan pasien dalam minum obat

tuberkulosis. Hubungan langsung antara persepsi kerentanan dengan

kepatuhan minum obat bersifat positif dan signifikan. Tindakan individu

untuk mela- kukan pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong

pula oleh keseriusan penyakit tersebut. Semakin berat risiko penyakit

maka semakin besar kemungkinan individu tersebut merasa terancam.

Ancaman ini mendorong tindakan individu untuk melakukan tindakan

pencegahan dan penyembuhan penyakit (Tang et al., 2015; Woimo et al.,

2017).

6. Hubungan persepsi manfaat dengan MDR TB melalui Kepatuhan


Minum Obat
Sesuai model HBM maka individu memiliki persepsi mengenai

manfaat yang akan dirasakan jika melakukan perubahan peri- laku (Burke,

2015). Hasil analisis menun- jukkan bahwa ada hubungan tidak lang- sung

antara persepsi manfaat dengan ke- jadian MDR TB melalui variabel

kepatuhan pasien dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung

antara persepsi man- faat dengan kepatuhan minum obat bersifat positif

dan signifikan.
44

Hasil temuan ini sesuai dengan penelitian Horne et al.(2013) yang

menyebutkan bahwa pasien yang meyakini bahwa pengobatan yang

dijalani akan berdampak positif bagi dirinya akan lebih patuh dengan

pengobatan yang dijalani. Selain itu, seseorang memiliki persepsi tinggi

terhadap manfaat dari peng- obatan tuberkulosis, maka akan mengu- rangi

segala kendala atau hambatan yang dirasakan. Berdasarkan penelitian

Viegas et al. (2014), persepsi manfaat dapat diting- katkan dengan

adanya komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien

TB. Diharapkan dengan komunikasi yang baik, tenaga kesehatan dapat

mem- berikan edukasi yang tepat mengenai manfaat dan pentingnya

pengobatan yang teratur.

7. Hubungan Persepsi Hambatan dengan MDR TB melalui Kepatuhan

Minum Obat

Berdasarkan konsep HBM bahwa individu memiliki persepsi

mengenai hambatan yang dirasakan sehingga dapat mempengaruhi

individu untuk tidak mengubah perilakunya (Burke, 2015). Hasil analisis

menun- jukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara persepsi

hambatan dengan MDR TB melalui variabel kepatuhan pasien dalam

minum obat tuberkulosis.Hubungan langsung antara persepsi hambatan

dengan kepatuhan minum obat bersifat negatif dan signifikan. Hasil

temuan ini didukung oleh penelitian Baral et al. (2014); Boru et al.

(2017); Herrero et al. (2015) yang memaparkan bahwa keyakinan pasien

tuberkulosis mengenai hambatan dapat menurunkan kepatuhan dalam


45

menjalani pengobatan TB. Secara garis besar hambatan tersebut adalah

hambatan finansial dan hambatan sosial.

Ditambahkan bahwa ketika keyakinan pasien akan hambatan

atau kendala berkurang atau hilang, maka kepatuhan akan meningkat. Hal

ini dibuktikan dengan peningkatan keteraturan pengobatan saat diberikan

bantuan secara gratis selama pengobatan TB. Keteraturan pengobatan

tersebut diharapkan dan diyakini dapat menurunkan kerjadian resistensi

terhadap obat tuberkulosis (Eastment et al.,2017; Tupasi et al.,2017;

Zhang et al.,2015). Shringarpure et al. (2016) menyebutkan bahwa letak

geografis juga berpeng- aruh terhadap kepatuhan pasien dalam pengobatan

tuberkulosis. Medan jalan yang sulit ditempuh ke pelayanan kesehatan,

transportasi yang sulit untuk pergi ke fasilitas kesehatan ataupun karena

jarak yang terlalu jauh membuat pasein tuberkulosis enggan memeriksakan

dirinya ke pelayanan kesehatan yang terpercaya

8. Hubungan dukungan PMO dengan MDR TB melalui kepatuhan

minum obat

Cues to Action merupakan bagian dari HBM yakni segala

sesuatu yang mendorong keputusan dalam mengubah perilaku (Hoorn et

al., 2016). Hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung

antara Dukungan PMO dengan kejadian MDR TB melalui variabel

kepatuhan pasien dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung

antara dukungan PMO dengan kepatuhan minum obat bersifat positif dan

signifikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya


46

yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

dukungan pengawas minum obat selama pengobatan dengan kepatuhan

minum obat. Dipaparkan oleh Craig and Zumla (2015) dan Deshmukh

et al. (2015) bahwa setelah dilakukan wawancara secara mendalam

dengan pasien, ditemukan fenomena bahwa pasien yang tidak memiliki

dukungan atau dorongan dari keluarga untuk minum obat tuberkulosis

maka memiliki kecenderungan untuk mudah putus asa dalam

menjalankan pengobatannya. Pengetahuan yang baik mengenai penya-kit

tuberkulosis perlu diimbangi dengan adanya dukungan orang terdekat atau

PMO agar tidak memperburuk keada- an apabila pasien depresi. Pasien

tuberkulosis yang hidup sendiri dan jauh dari keluarga atau tetangga akan

lebih memung- kinkan untuk menghentikan pengobatan tuberkulosis

sebelum waktunya (Ali and Prins, 2016; Khanal et al., 2017).

9. Hubungan Efikasi Diri dengan MDR TB melalui Kepatuhan Minum

Obat

Self-Efficacy merupakan salah satu kompo- nen dari HBM. Jika

individu tidak percaya atau yakin dapat berhasil melakukan perubahan

perilaku, maka mereka tidak akan dapat melakukannya (Simpson, 2015).

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara

efikasi diri dengan kejadian MDR TB melalui variabel kepatuhan pasien

dalam minum obat tuberkulosis. Hubungan langsung antara efikasi diri

dengan kepatuhan minum obat bersifat positif dan signifikan. Hal ini

didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa


47

kepercayaan diri yang rendah akan berdampak pada ketidakpatuhan

pengobatan (Diefenbach-Elstob et al., 2017; Muhammed et al., 2015).

Ditambahkan oleh Sanchez-Padilla et al.(2014) bahwa

pengetahuan pasien mengenai pengobatan TB perlu didukung dengan

adanya keyakinan pasien TB untuk mampu atau dapat menjalani

pengobatan tuberkulosis dengan patuh agar tidak putus. Kepercaya- an diri

pasien tersebut dapat dibangun dari lingkungan sekitar.

10. Hubungan pengetahuan pengobatan dengan MDR TB melalui

kepatuhan Minum obat

Pengetahuan seseorang dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor

seperti pendidikan pekerjaan dan umur, lingkungan sosial dan budaya.

Pengetahuan yang baik sangat dibutuhkan untuk menanggulangi

terjadinya penyakit tuberkulosis. Semakin tinggi tingkat pengetahuan

yang dimiliki seseorang maka akan memberikan kontribusi yang pada

terbentuknya sikap yang baik termasuk mempengaruhi termasuk

mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien. Semakin baik pengetahuan

pasien tentang tentang kepatuhan maka semakin tinggi pula pasien akan

patuh terhadap pengobatan sesuai jadwal. Salah satu faktor yang

mempengaruhi kepatuhan pasien adalah tingkat pemgetahuan, ketika

pengetahuan tentang pasien rendah maka pasien akan cenderung tidak

patuh dalam pengobatan. Ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan

dapat memperburuk resiko berkembangnya masalah kesehatan atau

memperburuk penyakit yang diderita.


48

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Suyanto dan Sarmen

(2017) menunjukkan bahwa gambaran tingkat pengetahuan penderita

tuberkulosis tentang kepatuhan dalam kategori cukup.

11. Hubungan minum alkohol dengan MDR TB melalui merokok

Kebiasaan minum alkohol dapat berdampak pada kebiasaan atau

perilaku sese- orang untuk cenderung merokok (Pedro et al., 2017). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung antara

minum alkohol dengan kejadian MDR TB melalui variabel merokok.

Hubungan langsung antara minum alkohol dengan merokok bersifat

positif dan signifikan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian

sebelumnya yang menyebutkan bahwa konsumsi alkohol merupakan

salah satu predisposisi perilaku merokok (Kuchuk- hidze et al., 2014;

Zhang et al., 2017).

Berdasarkan hasil temuan Skrahina et al, (2013) bahwa

penyalahgunaan alkohol dan gangguan penggunaan alkohol diketahui

berperan dalam pengembangan TB dan juga hasil pengobatan TB.

Namun, hubung- an antara alkohol dan MDR TB mungkin bukan

hubungan kausal langsung. Gaete and Araya (2017) dan Jawad et al.,

(2014) mendapatkan hasil penelitian bahwa sese- orang yang merokok

setelah ditelusuri merupakan mantan peminum alkohol atau bahkan masih

meminum alkohol. Kon- sumsi alkohol dan perilaku merokok meru-

pakan fenomena yang berdampingan .

12. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan MDR TB melalui Merokok


49

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan tidak langsung

antara tingkat pendidikan dengan kejadian MDR TB melalui variabel

merokok. Hubungan lang- sung antara tingkat pendidikan dengan merokok

bersifat negatif dan signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan sebelumnya, bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang

besar terhadap perilaku merokok. Tingkat pendidikan yang baik maka

diharapkan seseorang memiliki kesadaran bahaya merokok bagi dirinya

sendiri maupun orang lain (Silva et al., 2017). Mereka yang memiliki

tingkat pendidikan rendah memilkiki peluang yang lebih tinggi untuk

menjadi perokok. Hal ini dapat disebabkan karena seseorang dengan

tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menerima dan

menyerap informasi mengenai bahaya merokok (Yaya et al., 2017).

Diperoleh dari hasil studi Pärna et al. (2014) bahwa aktivitas me- rokok

dikalangan pria dan wanita dengan pendidikan tinggi cenderung menurun

secara signifikan.

Anda mungkin juga menyukai