ARTIKEL ILMIAH
Diajukan oleh
JOSHUA MAKARIUS
B 61109012
Judul Artikel : Analisis Posisi Fiskal dan Standar Kebutuhan Fiskal Provinsi
Kalimantan Barat
Nama : Joshua Makarius
NIM : B 61109012
Email : jomakaganza@gmail.com
Telpon : 081253389969
Menyetujui nama pembimbing dicantumkan dalam artikel tersebut dan menyetujui untuk dimuat dalam
E-Jurnal PS-ME FEB Untan.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Eddy Suratman, S.E. M.A Sri Kurniawati, S.E. M.Sc
NIP.19670707 199202 1 001 NIP.19760208 200501 2 002
Pontianak
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untan
i
SURAT PERNYATAAN
Demikian pernyataan ini saya nyatakan secara benar dengan penuh tanggung jawab.
Joshua Makarius
B 61109012
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Eddy Suratman, S.E. M.A Sri Kurniawati, S.E. M.Sc
NIP.19670707 199202 1 001 NIP.19760208 200501 2 002
ii
PEMDAFTARAN ARTIKEL ILMIAH
Dosen Pembimbing :
Sri Kurniawati, S.E. M.Sc
II
NIP. : 19760208 200501 2 002
Email : -
Alamat : Jl. Apel Gg Apel I No. 17
Telpon : 0856650876280
iii
ANALISIS POSISI FISKAL DAN STANDAR KEBUTUHAN FISKAL
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Joshua Makarius,
Eddy Suratman,
Sri Kurniawati
Program Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Tanjungpura Pontianak 2018
ABSTRACT
The study entitled Analysis of Fiscal Position and Fiscal Requirement Standards of West
Kalimantan Province, " this aims to know and analyze the level of Local Financial Capability and
calculate the amount of Regional Savings, the type of revenue of Original Revenue that became the
mainstay and superior, Fiscal Position and Fiscal Needs Standards in West Kalimantan Province.
The research method used is descriptive method, data taken from the publication of Directorate
General of Balance, 2009 until 2017. Analyzer used klasen typological.
The results of the analysis show that: (1) the financial capacity of West Kalimantan Province is
still very low, meaning that the level of income dependence on the central government is still high.
Although the proportion of PAD (own revenue) is quite good (average 42.33%). The regional savings
(the ratio of total income and total expenditure) on average is positive or surplus even though in some
years there is a negative (deficit). (2) The type of PAD (own revenue) that is superior (prime) is a
retribution and the results of the management of regional wealth, while the regional taxes are
developing, and other legitimate PAD (own revenue) are still underdeveloped. (3) The fiscal position
(the ratio of PAD and GRDP) averaging are 1.27%. This is a tendency fluctuation from year to year.
This indicates that the financial performance of West Kalimantan Province is still not stable. Whereas
the standard of fiscal needs ( an amount expenditure percapita) is the lowest compared to the provinces
in the area of Kalimantan. The highest are North Kalimantan, East Kalimantan, Central Kalimantan
and South Kalimantan. (4) The constraints faced in financial management are internal institutional,
organization and human resource management (Regional Revenue Service) which are lacking
professional and not solid, regulations that often change, aspects of management, supervision,
administration, collection fees. Ecasternal problems of socio-economic conditions and economic
structure, population growth, unstable inflation rates, supporting facilities and infrastructure. The
several factors that can become obstacles in regional tax and retribution management are public
awareness and public knowledge about taxes / retributions are still low.
Keywords: Standard of fiscal needs, PAD collection effort, regional superior revenue.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah dan desentralisasi telah membuat perubahan dalam sistem pemerintahan dan
pengelolaan keuangan daerah. Otonomi daerah pada prinsipnya adalah penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, baik dilihat dari
aspek administrasi maupun dilihat dari aspek keuangannya. Tujuan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya alam dapat lebih efektif, sebagaimana
dikemukakan Mardiasmo (2002:59) bahwa “tujuan utama otonomi daerah adalah untuk meningkatkan
pelayanan publik (public service) dan untuk memajukan perekonomian daerah, melalui tiga misi utama
yaitu : 1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, 2) menciptakan efisiensi dan efektifitas
pengelolaan sumberdaya daerah, 3) memberdayakan dan menciptakan ruang yang lebih luas bagi
1
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.” Untuk mencapai hal tersebut maka
diperlukan pengelolaan keuangan daerah atau kinerja keuangan yang baik.
Menurut Halim (2007:261) kinerja keuangan yang baik yang ditandai dengan tingginya nilai
PAD dalam APBD adalah sebagai salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal. Banyak kalangan menilai bahwa kinerja keuangan yang baik akan berdampak baik pada
pertumbuhan ekonomi. Walaupun sesungguhnya dana pembangunan dapat diperoleh dari berbagai
sumber, yang terpenting adalah terpenuhinya kebutuhan dan terlaksananya pembangunan serta
banyaknya kegiatan investasi yang dilaksanakan secara efektif dan efisien. Karena dalam ilmu
ekonomi kegiatan investasilah yang akan meningkatkan kegiatan ekonomi dan menghasilkan
pendapatan berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan meningkatnya PDRB.
Selanjutnya dijelaskan Halim (2007:262) bahwa ciri utama suatu daerah mampu atau berhasil
melaksanakan otonomi daerah adalah (1) kemampuan keuangan daerah, (2) ketergantungan pada
pemerintah pusat seminimal mungkin.
Untuk melaksanakan pembangunan diperlukan sumber pembiayaan yang sangat besar, terutama
untuk investasi yang diharapkan berasal dari dana masyarakat. Di negara berkembang seperti Indonesia,
pada umumnya dana investasi dari masyarakat masih sangat terbatas, sehingga diperlukan campur
tangan pemerintah, terutama untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan,
kelistrikan, perhubungan dan lain-lain. Salah satu sumber dana pemerintah daerah yang terpenting dan
potensial adalah Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan terus meningkat. Pendapatan Asli Daerah
belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan daerah oleh karena, pertama, relatif rendahnya
basis pajak/retribusi daerah apalagi dengan diterapkannya UU No. 18 tahun 1997 meskipun sudah
diperbaiki dengan UU Nomor 28 Tahun 2009, beberapa pajak atau retribusi yang ditetapkan untuk
daerah memiliki basis pungutan yang relatif kecil. Kedua, peranannya yang tergolong kecil dalam total
penerimaan daerah, karena sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari pusat. Ketiga,
kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah, akibatnya pungutan pajak
cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. Keempat, kemampuan perencanaan dan pengawasan
keuangan yang lemah mengakibatkan penerimaan daerah mengalami kebocoran (Mahl, 2000: 58-59).
Menurut Kuncoro (1995: 9), untuk sementara dari sisi pembiayaannya, pemerintah daerah masih
dirasakan ketergantungannya kepada pemerintah pusat. Hal ini terlihat jelas dari rendahnya proporsi
Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan daerah dibandingkan subsidi (grants) yang berasal
dari pusat. Rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah ini kurang dari 50 % kecuali untuk DKI, artinya
lebih banyak subsidi dari pusat dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai
pembangunan di daerah.
Insukindro dkk. (1994: 1) mengemukakan bahwa Pendapatan Asli Daerah dapat dipandang
sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada
pemerintah pusat yang pada prinsipnya adalah semakin besar sumbangan Pendapatan Asli Daerah
kepada APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah tersebut adalah persentase
PAD dibandingkan dengan seluruh penerimaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (Fisipol
UGM dan Litbang Depdagri, 1991: 14).
Untuk itu, upaya mobilisasi dana dari sumber daerah sendiri, khususnya yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah jelas sangat penting, mengingat masih besarnya tingkat ketergantungan
keuangan daerah pada pusat di satu pihak, namun di pihak lain peranan Pendapatan Asli Daerah sebagai
sumber pembiayaan pembangunan daerah sangat besar (Alisjahbana, 1998: 45). Kemampuan daerah
dalam mobilisasi Pendapatan Asli Daerah dapat diukur melalui, pertama, peranan Pendapatan Asli
Daerah dalam membiayai pengeluaran rutin atau kedua, perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah
dengan PDRB masing-masing daerah. Besarnya perubahan Pendapatan Asli Daerah terhadap
pengeluaran rutin daerah (dalam persen) sering disebut dengan Indek Kemampuan Rutin (Djojosubroto,
2
1992: 19). Menurut Santoso (1995: 20), meskipun Pendapatan Asli Daerah tidak seluruhnya dapat
membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), proporsi Pendapatan Asli Daerah
terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan daerah suatu
pemerintah, sering juga disebut sebagai kemandirian fiskal.
Selanjutnya untuk melihat seberapa jauh kemampuan keuangan daerah dalam menunjang
pelaksanaan otonomi daerahtingkat kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia yang digambarkan melalui
posisi fiskal dan standar kebutuhan fiskal, beberapa daerah melalui penelitian para pakar dan penggiat
otonomi daerah menunjukan beberapa indikasi sebagaimana berikut ini.
Makhfatih (2000) meneliti tentang kemampuan Daerah Tingkat II menghadapi UU Nomor 25
Tahun 1999 dengan studi kasus Jawa Tengah dan Banyumas menunjukkan bahwa dengan simulasi
terjadi penurunan penerimaan untuk Provinsi Jawa Tengah, sehingga dengan tidak adanya bantuan dari
pemerintah pusat, Jawa Tengah sangat kesulitan atau dengan kata lain Jawa Tengah sangat
mengandalkan dari adanya Dana Alokasi Umum. Sementara Kabupaten Banyumas menunjukkan
adanya peningkatan jumlah penerimaan daerah walau selisihnya tidak terlalu besar. Jadi setiap daerah
memiliki perbedaan karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain dalam kondisi keuangan,
potensi penduduk dan sebagainya yang tentunya berkaitan satu sama lain.
Nazara (1997) meneliti tentang struktur penerimaan daerah tingkat provinsi di Indonesia
menyatakan bahwa hanya 38,88 % penerimaan provinsi di Indonesia yang berasal dari Pendapatan Asli
Daerah sendiri, sehingga menimbulkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
yang sangat tinggi. Koncoro (1995) meneliti tentang desentralisasi fiskal menyimpulkan bahwa
kebijakan fiskal yang sentralistis, memang telah mengakibatkan pembangunan fisik yang cukup pesat,
tetapi di sisi lain ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat juga semakin besar. Ketergantungan
daerah yang tinggi terhadap pusat mengakibatkan kontrol yang ketat oleh pusat kepada daerah.
Intervensi pusat dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan telah
membatasi pemberdayaan masyarakat, prakarsa, kreativitas dan peran serta masyarakat.
Armida S. Alisjahbana (2000) meneliti tentang Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah
Jawa Barat menyimpulkan menjelang implementasi otonomi daerah, kondisi fiskal daerah dengan
mengambil potret Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun 1998/99 ditandai oleh peran PAD terhadap
APBD yang umumnya rendah, dan ketergantungan pada transfer pusat yang sangat tinggi. Bagi banyak
daerah, aspek fiskal otonomi daerah dapat menjadi sederhana, yaitu sampai sejauh mana transfer dana
dari pusat dapat mencukupi kebutuhan daerah dalam melaksanakan otonomi. Namun sampai saat ini, 6
bulan sebelum otonomi daerah direncanakan diimplementasikan secara penuh, masih belum jelas
mekanisme alokasi Dana Perimbangan (bagian daerah, DAU, dan DAK), sementara daerah
kabupaten/kota pada khususnya, harus bersiap-siap menerima pelimpahan kewenangan yang jauh lebih
besar dari sebelumnya. Persoalan lain yang terasa mendesak tidak hanya menyangkut aspek fiskal saja
tetapi meliputi aspek yang lebih luas mulai dari merencanakan dan mengadakan perubahan kelembagaan
serta realokasi personalia sesuai dengan pengalihan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Selanjutnya dari segi pembangunan daerah, pemerintah daerah dapat mengarahkan
investasi di daerah yang memanfaatkan peluang otonomi daerah dan peluang kerjasama antar daerah
dalam bentuk netwroking, antar daerah Kabupaten/Kota dalam satu propinsi atau networking dan
kerjasama antar provinsi agar beberapa pelayanan/jasa publik dapat dilakukan dengan lebih efisien.
Joko Tri Haryanto (2005) meneliti tentang Kemandirian Daerah Sebuah Perspektif dengan
Metode Path Analysis, 26 Daerah Provinsi yang diteliti dari Tahun 2002 – 2004 menyimpulkan bahwa
variabel Pajak Daerah (PD) dan Bagi Hasil Pajak (BHP) memiliki hubungan signifikan terhadap Kapasitas
Fiskal Daerah. Sementara itu variabel Retribusi Daerah dan PDRB jasa tidak terbukti mempengaruhi
Kapasitas Fiskal Daerah secara signifikan.
Nurjanna Ladjin (2008) dalam Tesis yang menganalisis tentang Kemandirian Fiskal Di Era
Otonomi Daerah (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Tengah) menyimpulkan kemandirian keuangan
daerah Provinsi Sulawesi Tengah di era otonomi daerah masih rendah, atau dapat dinyatakan bahwa
3
tingkat ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat masih cukup tinggi. Hal ini ditandai dari proporsi
DAU dan DAK terhadap TPD yang relatif semakin besar. Sebaliknya, kontribusi PAD dan BHPBP
terhadap TPD yang masih sangat rendah.
Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah melalui Pemetaan Kemampuan Keuangan Provinsi
Dalam Era Otonomi Daerah, dengan batasan penelitian pada sisi pendapatan dan berfokus pada aspek
PAD provinsi dengan daerah sampel di tiga provinsi dan di dua kabupaten/kota yang dipilih secara acak,
yaitu: Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten
Badung, dan Kabupaten Sidoarjo, Parameter yang digunakan adalah Perhitungan dan Analisis Kinerja
PAD melalui Ukuran Elastisitas, Share, dan Growth; Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan
Daerah dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks; dan Kebijakan Umum Pengelolaan Keuangan
Daerah di Lima Daerah Sampel yang Terkait dengan Peningkatan PAD dan Investasi. Hasil kajian ini
antara lain menyimpulkan bahwa: (1) dilihat dari indikator kinerja PAD, secara umum provinsi-provinsi
di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mempunyai kemampuan keuangan lebih baik jika dibanding
provinsi-provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI); (2) provinsi yang mempunyai sumberdaya alam
melimpah tidak serta merta memiliki kinerja PAD yang baik. Berbagai upaya telah dilakukan daerah
untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan mendorong potensi ekonomi lokal, melalui
peningkatan PAD dan investasi berdasarkan potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan hasil penelitian dan kajian diatas dapat digambarkan secara umum bahwa
kemampuan keuangan daerah dalam mendukung otonomi daerah pada setiap tingkatan pemerintahan
masih dikatakan masih rendah meski pada daerah tertentu seperti Provinsi DKI dan beberapa
Kabupaten/Kota sudah menunjukan perkembangan yang bagus. Sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang sudah membangun komitmen melaksanakan otonomi luas, kondisi Kalimantan
Barat sangat menarik untuk dilihat gambaran kinerja Kemampuan Keuangannya khususnya pada aspek
posisi fiskal dan standar kebutuhan fiskal serta pengelolaan PAD. Berdasarkan data DJPK, Depkeu.
go.id, 2017, realisasi Total Pendapatan dan Belanja APBD Provinsi Kalimantan Barat, 2009 – 2017
adalah :
Pertum Pertumb Baik pendapatan maupun belanja
Tahun Pendapatan Belanja
buhan uhan menunjukan adanya kenaikan dari
2009 1,577,921.14 1,627,012.30 tahun 2009 sampai dengan 2017. Dari
2010 1,778,927.31 12.74 1,463,136.30 (10.07) sisi pendapatan peningkatan yang
2011 2,202,176.96 23.79 1,995,251.07 36.37 tertinggi terjadi pada tahun 2012
2012 2,932,912.82 33.18 3,043,956.90 52.56 mencapai 33,18% dari tahun
2013 3,262,314.10 11.23 3,296,606.75 8.30 sebelumnya. Sedangkan dari sisi
2014 3,719,768.79 14.02 3,216,973.54 (2.42) belanja peningkatan tertinggi juga
2015 4,073,146.94 9.50 4,123,636.22 28.18 pada tahun 2012 mencapai 52,56%,
2016 4,567,809.37 12.14 4,437,925.00 7.62 dan pertumbuhan terendah terjadi
2017 5,011,648.56 9.72 4,877,171.50 9.90 pada tahun 2010 sebesar -10.07 %.
Rata-
3,236,291.78 15.79 3,120,185.51 16.31
rata
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka dirumuskan pertanyaan permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah ?
2. Jenis-jenis penerimaan Pendapatan Asli Daerah apa yang menjadi unggulan dan andalan di Provinsi
Kalimantan Barat ?
3. Bagaimana posisi fiskal dan standar kebutuhan fiskal Provinsi Kalimantan Barat ?
4. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam pengelolaan keuangan di Provinsi Kalimantan
Barat ?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan menganalisis tingkat kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan
otonomi daerah melalui penghitungan besarnya Tabungan Daerah.
2. Mengindentifkasi dan menganalisis jenis penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang menjadi
unggulan dan andalan di Provinsi Kalimantan Barat.
3. Mengetahui dan menganalisis Posisi Fiskal dan Standar Kebutuhan Fiskal Provinsi Kalimantan
Barat.
4. Mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan keuangan di
Privinsi Kalimantan Barat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi berbagai kajian yang berkaitan dengan
kemandirian keuangan daerah di era otonomi daerah, Indonesia umumnya dan Provinsi Kalimantan
Barat pada khususnya, yang diharapkan dapat memberikan kerangka berpikir serta model
pengembangan dan aplikasinya. Serta memberikan manfaat Praktis (Bagi Pemerintah dan Pengambil
Kebijakan) yaitu :
1. Menjadi sumber informasi dan fakta bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dalam penetapan
dan pengelolaan keuangan di Provinsi Kalimantan Barat.
2. Menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam
menentukan kebijakan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah ;
3. Menjadi masukan dalam menentukan strategi, kebijakan dalam mengidentifikasi dan mengelolan
keuangan daerah di Provinsi Kalimantan Barat.
1. Otonomi Daerah
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 6. “ Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistim Negara Kesatuan Republik
Indonesia ”. Dari pengertian tersebut di atas dapat diartikan bahwa otonomi daerah merupakan
kemerdekaan atau kebebasan menentukan aturan sendiri berdasarkan perundang- undangan yang
berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah.
Otonomi daerah yang sudah berjalan lebih dari tujuh belas tahun diharapkan bukan hanya
pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk menggeser kekuasaan. Hal ini ditegaskan oleh
Kaloh (2002), bahwa otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah bukan
otonomi ”daerah” dalam pengertian wilayah/teritorial tertentu di tingkat lokal. Otonomi daerah bukan
hanya merupakan pelimpahan wewenang tetapi juga peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah.
2. Desentralisasi Fiskal
Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara
berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar belakang atau pengalaman suatu negara,
peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap
perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang
terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan
pelayanan masyarakat yang efektif (Bird dan Vaillancourt, 2000).
5
Secara luas desentralisasi adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah
di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang
oleh pemerintah pusat seperti hubungan luar negeri, pengadilan, moneter dan keuangan serta pertahanan
keamanan (Adisubrata, 2002). Jadi, secara riil desentralisasi merupakan kewenangan daerah yang
dilimpahkan oleh pemerintah pusat, disesuaikan dengan kemampuan nyata dari daerah yang
bersangkutan (seperti sumber daya manusia, pendapatan daerah, Produk Domestik Regional
Bruto(PDRB).
Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan wewenang dibidang penerimaan anggaran
atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur
atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan terjadinya pelimpahan sebagian wewenang terhadap
sumber-sumber penerimaan di daerah, diharapkan daerah-daerah dapat melaksanakan tugas-tugas rutin,
pelayanan publik dan meningkatkan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya. Oleh
karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan
(sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian
peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan
pergeseran beberapa tanggung jawab terhadap pendapatan (revenue) dan/atau pembelanjaan
(expenditure) ke tingkat pemerintahan yanglebih rendah. Faktor yang sangat penting dalam menentukan
desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi kewenangan (otonomi) untuk
menentukan alokasi atas pengeluarannya sendiri. Faktor lain yang juga penting adalah kemampuan
daerah untuk meningkatkan penerimaan mereka (PAD). Tetapi desentralisasi fiskal tidak semata-mata
peningkatan PAD saja tetapi lebih dari itu adalah kewenangan dalam mengelola potensi daerah demi
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
6
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan tersebut maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan
umum pengelolaan keuangan daerah antara lain sebagai berikut :
a. Dalam mengalokasikan anggaran baik rutin maupun pembangunan senantiasa berpegang pada
prinsip-prinsip anggaran berimbang dan dinamis serta efisien dan efektif dalam meningkatkan
produktivitas.
b. Anggaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas pemerintahan dan pembangunan.
c. Anggaran pembangunan diarahkan untuk meningkatkan sektor-sektor secara berkesinambungan
dalam mendukung penyempurnaan maupun perbaikan sarana dan prasarana yang dapat menunjang
peningkatan pembangunan dan kemasyarakatan dengan memperhatikan skala prioritas.
Menurut Peraturan Perundang-Undangan Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai
dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban daerah tersebut dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Disisi lain keuangan daerah adalah sebagai alat fiskal pemerintah daerah, merupakan bagian
integral dari keuangan negara dalam mengalokasikan sumber- sumber ekonomi, memeratakan hasil
pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi selain stabilitas sosial politik. Peranan keuangan
daerah semakin penting, selain karena keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa DAU
dan DAK, tetapi juga karena makin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan pemecahannya
membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan keuangan daerah yang makin
meningkat akan mendorong terwujudnya otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab (Elia
Radianto, 1997).
Untuk memyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab diperlukan
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang merupakan prasyarat dalam sistem
pemerintahan daerah. Sehubungan dengan itu, maka daerah hendaknya memiliki kewenangan yang luas
dan kemampuan yang optimal untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber keuangannya
sendiri.
7
Pendekatan ini didasarkan pada sebagian pendapatan dari sumber-sumber pendapatan oleh pusat
kepada daerah. Pemberian ini dapat berupa kewenangan mengelola sumber-sumber pendapatan tertentu
sepenuhnya yang diserahkan kepada daerah atau kewenangan untuk menikmati sebagian (persentase)
dari pungutan yang dilakukan oleh daerah atas nama pusat.
c. Pendekatan Belanja
Pendekatan ini didasarkan pada kebutuhan pengeluaran biaya-biaya untuk proyek atau untuk
membiayai kegiatan rutin pemerintah daerah. Ada beberapa persyaratan dalam pendekatan ini, yaitu
subsidi pemerintah pusat diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan dan alokasi bantuan pada
masing masing daerah dan kebutuhan biaya-biaya pembanguan tidak boleh ada perbedaan yang
mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.
d. Pendekatan Komprehensif
Pendekatan ini didasarkan pada pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola sumber-
sumber pendapatan sendiri guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah dan mencoba untuk
mempertemukan antara sumber-sumber pendapatan dan target belanja. Selanjutnya dikemukakan pula
bahwa sumber-sumber pendapatan yang boleh dikelola sepenuhnya merupakan sumber pendapatan asli
daerah (PAD). Apabila untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah itu masih kurang (dan
biasanya memang sangat kurang), maka kekurangannya itu akan di subsidi pusat.
Menurut Machfud Sidik (Aswarodi, 2001) perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang
ideal adalah apabila setiap tingkat pemerintahan dapat independen dibidang keuangan untuk membiayai
pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing. Hal ini berarti subsidi dan bantuan dari pemerintah
pusat yang selama ini sebagai sumber utama dalam APBD mulai kurang kontribusinya dan yang
menjadi sumber utamanya adalah pendapatan dari daerahnya sendiri.
Sedangkan menurut Koswara (1999) ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu
berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya, artinya daerah otonom harus memilki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri. Sedangkan
ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi
bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan pembagian keuangan pusat dan daerah
sebagai prasyarat mendasar sistem pemerintahan negara.
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber
penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-
masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 penyempurnaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan
pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 bahwa Pendapatan Asli Daerah
(PAD) bersumber dari :
1. Pajak daerah (TAX)
2. Retribusi daerah (R)
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (PROFT)
4. Lain-lain PAD yang sah (OTHS)
b. Dana Perimbangan
Untuk menambah pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang
menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA)
antara pusat dan daerah. Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, pola bagi hasil penerimaan ini
8
dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin). Bagi hasil
penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak
atas Tanah dan Bangunan(BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor
kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan
tersebut kepada daerah dengan presentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP
Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 84
Tahun 2001.
9
f. Pertambangan panas bumi (Republik Indonesia, 2004b)
d. Pinjaman Daerah
10
melalu kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991 : 68) dalam Halim (2007 ;
262) untuk mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan Derajat Desenralisasi Fiskal (DDF)
antara pemerintah pusat dan daerah antara lain :
Pendapatan Asli Daerah
1.
Total Penerimaan Daerah
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
2.
Total Penerimaan Daerah
Sumbangan dari Pusat
3.
Total Penerimaan Daerah
Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat menggunakan derajat kemandirian
daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan
daerah (Halim, 2001), antara lain:
Pendapatan Asli Dearah
4.
Total Pengeluaran Daerah
Pendapatan Asli Daerah
5.
Pengeluaran Rutin
PAD + Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
6.
Total Pengeluaran Daerah
Menurut Udjianto (2005), untuk mengukur tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memperoleh kondisi keuangan daerah
adalah sebagai berikut :
PADt – PADt −1
TP PADt=¿ x 100 %
PADt −1
Dimana :
TP PADt = Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Tahun Berjalan
PADt = Pendapatan Asli Daerah Tahun Berjalan
PADt-1 = Pendapatan asli Daerah Tahun Sebelumnya
Untuk mengukur Derajat Otonomi Fiskal dengan menggunakan formula :
DOF TPDt
x 100%
= PADt
Dimana :
DOF = Derajat Otonomi Fiskal
PADt = Total PAD Tahun t
TPDt = Total Penerimaan Daerah Tahun t
Semakin tinggi kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu
membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan
derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap
pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.
Dalam sistem“performance budget” pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan
anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja, dimana kinerja tersebut harus
mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik yang berarti harus berorientsi pada
kepentingan publik atau kebutuhan masyarakat di daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi dan
desentralisasi fiskal. Dalam hal ini peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan
pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah.
11
Selanjutnya prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah dengan sistem
performance budget menurut Mardiasmo (2002:68) adalah transparansi, akuntabilitas, dan value for
money.
Transparansi adalah keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan
anggaran daerah. Transparansi memberikan arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak dan akses
yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat,
terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat.
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses
penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan
dan dipertanggung jawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak
untuk mengetahui anggaran tersebut tetapi berhak untuk menuntut pertanggung jawaban atas rencana
ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
Selanjutnya adalah Value for money, yakni sistem penganggaran yang berorientasi pada nilai
uang, artinya dalam proses penganggaran setiap rupiah uang yang digunakan mesti diterapkan tiga
prinsip yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektifitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan
sumber daya dalam jumlah dan fasilitas tertentu pada harga yang paling rendah. Efisiensi berarti bahwa
penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal
(berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target
atau tujuan kepentingan publik.
12
2. Memungkinkan pemerintah pusat merealisasikan tujuan pembangunan tertentu, seperti pencapaian
target dalam standar pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
3. Mengoreksi ketidakseimbangan vertikal. Masalah ini timbul karena akibat adanya mobilitas dasar
pajak antar daerah dengan pusat, sehingga banyak pajak-pajak yang potensial ditarik oleh pusat.
4. Mencapai tujuan pemerataan (horizontal equity), karena perbedaan antara daerah seperti dalam
sumber-sumber dana, luas wilayah, populasi, pendapatan per kapita.
Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan
kapasitas daerah dan menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) adalah melalui pembenahan manajemen
penerimaan daerah. Aspek manajemen penerimaan daerah yang perlu dioptimalkan meliputi Pendapatan
Asli Daerah dan manajemen DAU. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi sekarang ini,
pemerintah daerah tidak perlu membuat dikotomi antara Pendapatan Asli Daerah dengan DAU.
Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang penuh untuk menggunakan kedua sumber penerimaan
tersebut (Mardiasmo, 2001: 11)
Menurut Wiratmo (2001: 8–9), penerimaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi empat
macam klasifikasi.
1. Prima, jika rasio pertumbuhan jenis penerimaan dan proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata
total penerimaan, keduanya lebih besar dari satu. Artinya, kebijaksanaan yang telah diterapkan pada
tahun-tahun sebelumnya dapat tetap digunakan dengan mempertahankan tingkat pertumbuhan dan
kontribusinya.
2. Potensial, jika rasio pertumbuhan penerimaan lebih kecil atau sama dengan satu dan rasio proporsi
atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan lebih besar atau sama dengan satu. Artinya,
upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengintensifkan pemungutan dari sumber penerimaan
yang ada sehingga terjadi pertumbuhan penerimaan.
3. Berkembang, jika rasio pertumbuhan penerimaan lebih besar atau sama dengan satu dan rasio
proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan lebih kecil atau sama dengan satu.
Artinya, upaya peningkatan dilakukan dengan menggali sumber-sumber baru dengan tingkat
pertumbuhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
4. Terbelakang, jika rasio pertumbuhan jenis penerimaan dan proporsi atau sumbangannya terhadap
rata-rata total penerimaan, keduanya lebih kecil dari satu. Artinya, upaya peningkatan dilakukan
dengan menggali sumber-sumber penerimaan yang baru dan meningkatkan penerimaan dari tahun-
tahun sebelumnya dari sumber penerimaan yang ada.
Ada kecenderungan pada negara berkembang menjalankan sistem fiskal terpusat, jika
dibandingkan dengan negara maju. Indonesia untuk alasan ekonomi dan politik menganut sistem fiskal
terpusat (Uppal dan Suparmoko, 1996: 414). Derajat desentralisasi fiskal berbeda antar negara
tergantung pada sistem hubungan fiskal, sistem politik dan struktur perekonomiannya (Ahmad, 1990:
75).
Menurut Devas (1997: 181–182) mengenai masalah otonomi daerah di Indonesia menyatakan
bahwa masih banyak permasalahan didalam pelaksanaan otonomi daerah yang belum terselesaikan.
Beberapa permasalahan tersebut antara lain : pertama, tidak adanya kerangka hukum yang tepat, kedua,
pembagian fungsi yang tidak jelas dan tanggung jawab antar tingkat pemerintah yang tidak jelas, ketiga,
tidak memadainya sumber pendapatan sendiri pemerintah daerah untuk memenuhi tanggung jawab
pembelanjaan mereka (ketidakseimbangan vertikal), keempat, ketergantungan pemerintah terhadap
bantuan, kelima, pengembangan (proliferasi) jalur pendanaan dan pengaturan, keenam, selisih
kebutuhan pembelanjaan dan kapasitas keuangan pemerintah daerah yang sangat jauh
(ketidakseimbangan horisontal) dan tidak adanya usaha yang koheren untuk menyelesaikan hal ini
melalui sistem bantuan (grant)
13
Menurut Kaho (1997: 246–259) untuk mewujudkan kesesuaian antara prinsip dan praktek
penyelenggaraan otonomi daerah maka terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan.
1. Faktor manusia, bahwa penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat diwujudkan pertama-
tama dan terutama ditentukan oleh kapasitas yang dimiliki oleh manusia pelaksananya.
Penyelenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabila manusia
pelaksananya baik, dalam arti mentalitas dan kapasitasnya.
2. Faktor keuangan, bahwa keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari
cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan. Kemampuan keuangan merupakan
salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah.
3. Faktor peralatan, bahwa peralatan merupakan instrumen perantara dan pembantu bagi aparatur
pemerintah daerah dalam melaksakan berbagai tugas pekerjaannya. Untuk memperlancar jalannya
penyelenggaraan tugas pemerintah daerah maka diperlukan sejumlah alat yang memadai, baik
dalam kualitas maupun kuantitasnya.
4. Faktor organisasi dan manajemen, bahwa untuk dapat mewujudkan suatu organisasi yang baik dan
sehat maka dalam setiap organisasi perlu diterapkan asas-asas atau prinsip-prinsip tertentu. Asas-
asas tersebut merupakan sarana perantara guna menciptakan iklim yang favourable bagi
terwujudnya tujuan organisasi secara keseluruhan.
Desentralisasi mempunyai beberapa keuntungan antara lain yaitu : pertama, menyebarkan pusat
pengambilan keputusan (decongestion), kedua, kecepatan dalam pengambilan keputusan (speed),
ketiga, pengambilan keputusan yang realistis (economic and social realism), karena si pengambil
keputusan memahami kondisi sosial dan lokal dimana keputusan tersebut akan diterapkan, keempat,
penghematan (economic effieciency), kelima, keikut sertaan masyarakat lokal (local participation) dan
keenam, solidaritas nasional (national solidarity) (Sidik, 2001: 5–6).
Pemberian subsidi/bantuan yang berlaku saat ini yang berupa Subsidi Daerah Otonom (SDO)
dan bantuan Inpres menjadi penerimaan pokok daerah, karena Pendapatan Asli Daerah sangat terbatas
dan bagi hasil penerimaan negara juga tidak dominan (Siregar, 1998: 3), penulis menambahkan bahwa
subsidi/bantuan selanjutnya disebut dana transfer berupa dana perimbangan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku saat ini. Bantuan/subsidi pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi
kepada unit pemerintah yang lebih rendah adalah untuk memenuhi Kebutuhan Fiskal Daerah (KFD)
dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, di
samping untuk menyeimbangkan alokasi bantuan antar daerah, sehingga setiap penduduk di daerah
dapat memperoleh pelayanan yang relatif sama dari pemerintah. Sebagian lagi dari KFD dipenuhi oleh
Pendapatan Asli Daerah (Ahmad, 1990:178).
14
berada di pusat maupun daerah. Data sekunder ini menyangkut data yang berupa Publikasi Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Departemen KeuanganRI.
Mengacu pada hasil penelitian, maka fokus kebijakan dalam peningkatan PAD dapat dilakukan
pada pengelolaan sumber-sumber PAD yang masih terbelakang yakni lain-lain PAD yang sah. Upaya
lain dalam upaya peningkatan PAD yaitu untuk penerimaan dinas-dinas dan penerimaan lain-lain,
pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat perlu selalu melakukan upaya-upaya untuk
meningkatkannya dengan cara menggali sumber penerimaan yang baru dan meningkatkan penerimaan
dari kajian tahun-tahun sebelumnya dari sumber penerimaan yang sudah ada.
Secara umum potensi PAD masih dapat dikembangkan dari hasil analisis unggulan PAD
diketahui pajak daerah kategori berkembang, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
kategori prima, dan lain-lain PAD yang sah kategori terbelakang. Upaya-upaya yang bisa dilakukan
dalam rangka peningkatan PAD bisa difokuskan pada pengusahaan pengelolaan kekayaan daerah
misalnya dengan pengelolaan BUMD yang lebih baik dan atau perluasan dalam investasi daerah lewat
belanja modal.
Kebijakan peningkatan PAD sebaiknya dilakukan pada program yang tidak langsung artinya
kebijakan yang difokuskan pada kegiatan yang produktif secara ekonomi di sektor riil yang menambah
kapasitas perekonomian daerah, bukan kebijakan yang secara langsung karena akan membebani
masyarakat dan perekonomian secara makro.
Untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi diantaranya perlu dilakukan pengelolaan secara
profesional, standar kompetensi dan keahlian khusus dalam pengelolaan keuangan daerah. Prosedur
15
pengaturan yang baku dan konsisten. Sosialisasi perlu sering dilakukan serta bekerjasama dengan pihak
ketiga/swasta.
5.2. Saran
1. Secara umum potensi PAD masih dapat dikembangkan dari hasil analisis unggulan PADdiketahui
pajak daerah kategori berkembang, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah kategori
prima, dan lain-lain PAD yang sah kategori terbelakang.Upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam
rangka peningkatan PAD bisa difokuskan pada pengusahaan pengelolaan kekayaan daerah misalnya
dengan pengelolaan BUMD yang lebih baik dan atau perluasan dalam investasi daerah lewat
belanja modal.
2. Kebijakan peningkatan PAD sebaiknya dilakukan pada program yang tidak langsung artinya
kebijakan yang difokuskan pada kegiatan yang produktif secara ekonomi di sektor riil yang
menambah kapasitas perekonomian daerah, bukan kebijakan yang secara langsung karena akan
membebani masyarakat dan perekonomian secara makro.
3. Mengacu pada hasil penelitian, maka fokus kebijakan dalam peningkatan PAD dapat dilakukan
pada pengelolaan sumber-sumber PAD yang masih terbelakang yakni lain-lain PAD yang
sah.Upaya lain dalam upaya peningkatan PAD yaitu untuk penerimaan dinas-dinas dan penerimaan
lain-lain, pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat perlu selalu melakukan upaya-upaya untuk
meningkatkannyadengan cara menggali sumber penerimaan yang baru dan meningkatkan
penerimaan dari kajian tahun-tahun sebelumnya dari sumber penerimaan yang sudah ada.
4. Untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi diantaranya perlu dilakukan pengelolaan secara
prosefional, standar kompetensi dan keahlian khusus dalam pengelolaan keuangan daerah. Prosedur
pengaturan yang baku dan konsisten. Sosialisasi perlu sering dilakukan serta bekerjasama dengan
pihak ketiga/swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Armida, (1998), “Potensi dan Prospek Pendapatan Asli Daerah Dati I Jawa Barat”,
Studi Pembangunan, Vol. I, No.1 Januari 1998, 15 – 23.
Arifin, Zaenal (2000), “ Kemampuan dan Kesiapan Daerah Kabupaten/Kota dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah yang Luas, Nyata dan bertanggung Jawab”, Kritis, Vol. 12, Bo. 3, 78 –101.
Aslym, A, (2000), “Beberapa Aspek Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Makalah Seminar, Lustrum
I MEP – UGM, Yogyakarta.
Darumurti, KD dan Umbu Rauta, (2000), “Otonomi Daerah, kemarin, Hari Ini dan Esok”, Kritis, Vol.
XII, No. 3, 1 – 53
Devas, Nick (1997), Indonesia : “What Do We Mean By Decentralization”, Public Administration and
Development, No. 17, 351 – 367.
Dickson, Vaughan dan Weiqiu Yu (2000), “Revenue Structures, The Perceived of Government Output
and Public Expenditure”, Public Finance Review, Vol. 28, No. 1, 48 – 65.
Djojosubroto, Dono Iskandar (1991) Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta.
Fisipol UGM dan Litbang Depdagri (1991), “Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Tingkat II
Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab”, Laporan
Penelitian, Kerja Sama Fisipol UGM dan Litbang Depdagri, Jakarta.
Gaffar, A, (2000), “Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan
Pemerintahan di Masa Mendatang”, Wacana, Edisi 5, Tahun II, 31 – 46.
Halim, Abdul (2007), Seri Bungan Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Pengelolaan Keuangan
Daerah, Edisi II, Unit Penerbit dan Percetakan, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN,
Yogyakarta.
16
Halim, Abdul. (2002), Akuntansi Keuangan Daerah. Cetakan Pertama, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Hirawan, Susianti (1993), “Pengembangan Pola Bantuan daerah Dalam Repelita VI (Pembangunan
Jangka Panjang Tahap II)”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, No. 3, 297 – 298.
Hirawan, Susianti (1987), “Analisis Tentang Keuangan Daerah di Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan
Indonesia, Vol. XXXIV, No.1, 94 –95.
Insukindro, et al, (1994), Peran dan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Usaha Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah, Buku I, Kursus Keuangan Daerah, FE-UGM, Yogyakarta.
Kaho, Josef Rihu, 1997, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa
Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta
Kementerian Dalam Negeri, (2004), Modul Pelatihan Strategi Peningkatan PAD 2004, Modul
Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, Jakarta.
Khusaini, Mohammad (2006), Ekonomi Publik Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, BPFE
Universitas Brawijaya Malang.
Kim, Sung Tai, 1997, “The Role of Local Public Sector in Regional Economic Growth in Korea”, Asian
Economic Journal, Vol.11, No.21, 155 – 168.
Kuncoro, Mudrajad, 1995), “Desentralisasi Fiskal di Indonesia : Dilemma Otonomi dan
Ketergantungan”, Prisma, Vol.4 April, 3 – 16.
Ladjin, Nurjanna (2008), Analisis Kemandirian Fiskal di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Propinsi
Sulawesi Tengah), Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Mahl, R. (2000), “Prospek Desentralisasi di Indonesia Ditinjau Dari Segi Pemerataan Antar Daerah dan
Peningkatan Efisiensi”, Analisis CSIS, No. I, Tahun XXIX, 54 – 56.
Makhfatih, Akhmad (2000), “Perkembangan Struktur Penerimaan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten
Banyumas”, Laporan Penelitian, Yayasan Indonesia Forum, Jakarta.
Mardiasmo (2000), “Implikasi APBN dan APBD dalam Konteks Otonomi Daerah”, Kompak, No. 23,
573 – 587.
Mardiasmo (2001), “Manajemen Penerimaan Daerah dan Struktur APBD Dalam Era Otonomi Daerah”,
Makalah Seminar, Workshop “Manajemen Perencanaan Penerimaan Daerah” yang
diselenggarakan oleh Suistanable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) bekerja sama dengan
STIEKERS, Yogyakarta.
Mardiasmo (2002), Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi Offset; Yogyakarta.
Mardiasmo dan A. Makhfatih (2000), Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi Daerah di Kabupaten
Magelang, Laporan Penelitian, PAU Studi Ekonomi UGM, Yogyakarta.
Miller, Stephen and Russek, (1997), “Fiscal Structures and Economic Growth at The State and Lccal
Level”, Public Finance Review, Vol. 25, No. 2, 213 – 237.
Nazara, Suahasil, (1997), “ Struktur Penerimaan Daerah Tingkat Propinsi di Indonesia”, Prisma, No. 3,
17 – 23.
Pamudji, S, 1982, Pembinaan Perkotaan di Indonesia : Tinjauan dari Aspek Administrasi Pemeritahan,
Ichtiar Baru, Jakarta.
Prabowo, Dibyo, (1999), “Menggali dan Memberdayakan Potensi Sumber Daya Ekonomi dalam Era
Globalisasi”, Makalah Seminar, Upaya Menggali dan Memberdayakan Potensi Ekonomi di
Ponorogo untuk Menyongsong Otonomi Daerah.
Reksohadiprodjo, Sukanto, (1999), Pembiayaan Pembangunan, Buku, MAP – UGM, Yogyakarta (tidak
Dipublikasikan).
Republik Indonesia (1999), Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah, Jakarta.
17
Republik Indonesia (2000), Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta.
Republik Indonesia, (1999), Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Santoso, Bagus, (1995, “Retribusi Pasar Sebagai Pendapatan Asli Daerah, Studi Kasus Pasar Kabupaten
di Sleman”, Prisma, No.4, 19 – 28.
Sidik, Machfud, (2001), “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Proses Otonomi Daerah”,
Makalah Seminar, Workshop “Manajemen Perencanaan Penerimaan Daerah” yang
diselenggarakan oleh Suistanable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) bekerja sama dengan
STIEKERS, 24 Maret 2001, Yogyakarta
Siregar, Soritaon, (1998), Penyusunan dan Pelaksanaan Anggaran., Materi KKD FE-Unand, Padang.
Sriyana, Jaka, (1999), “Hubungan Keuangan Pusat – Daerah, Reformasi Perpajakan dan Kemandirian
Pembiayaan Pembangunan Daerah”, Ekonomi Pembangunan, Vol. IV, No. 1, 104 – 112.
Thoha, Miftah, (1991), Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, M.W. Mandah, Yogyakarta.
Uppal, J.B. dan M. Suparmoko, (1996), “Intergovermental Finance in Indonesia”, Ekonomi dan
Keuangan Indonesia, Vol. 34, 429 – 430.
Wiratmo, Masykur, (2001), “ Manajemen Penggalian Potensi Penerimaan Daerah”, Makalah Seminar,
Workshop “Manajemen Perencanaan Penerimaan Daerah” yang diselenggarakan oleh
Suistanable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) bekerja sama dengan STIEKERS,
Yogyakarta.
Zulkarnain (2014), Analisis Keuangan Daerah Kabupaten Kubu Raya Dalam Rangka Pelaksanaan
Otonomi Daerah Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, TesisProgram Magister Ilmu
EkonomiFakultas EkonomiUniversitas Tanjungpura.
18