Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 2

MODUL GINJAL DAN CAIRAN TUBUH


SEMESTER 4

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

Luthfi Putra Suseno I1011151050


Heri Irawan I1011161057
Kim Liung I1011181006
Chairunnisa Rida Oktafiani I1011181014
Muhammad Reza Setiawan I1011181020
Agusriani Putri I1011181038
Aura Salsabilla Zakaria I1011181050
Jihan Nabila I1011181053
Verina Chantika Putri Siregar I1011181060
Afifah Marwah AlQadrie I1011181076
Gloria Gianha Langi I1011181088
Abed Nego Kei I1011181192
Clarisa Josevine I1011181097

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Wanita usia 37 tahun , seorang guru di Sekolah Dasar Negeri Kota
Pontianak, mengeluh sering buang air kecil, hingga 10x sehari. Keluhan
dirasakan sejak 3 hari terakhir. Nyeri saat berkemih serta terasa panas
sewaktu berkemih, biasanya di akhir berkemih. Pasien mengeluh rasa tidak
puas setelah buang air kecil (anyang-anyangan). Pasien juga sulit menahan
rasa ingin berkemih. Urin berwarna kuning pekat. Dia juga mengeluhkan
nyeri perut bagian bawah. Tidak ada riwayat demam. Pasien baru pulang
dari bepergian ke luar kota seminggu yang lalu dan beberapa kali buang air
kecil di toilet umum. Pasien juga mengeluh sejak 1 minggu yang lalu timbul
cairan keputihan yang keluar dari vagina kadang terasa gatal.

1.2. Klarifikasi dan Definisi


1. Vagina: saluran genital pada wanita yang memanjang dari vulva ke uteri
serviks
2. Anyang-anyangan: kondisi tidak nyaman atau nyeri saat buang air kecil.
3. Keputihan : kondisi ketika lendir atau cairan keluar dari vagina

1.3. Kata Kunci


1. Wanita 37 tahun
2. BAK 10x sehari
3. Keluhan sejak 3 hari yang lalu
4. Nyeri BAK dan panas
5. Anyang-anyangan
6. Sulit menahan BAK
7. Urin pekat
8. Nyeri perut bagian bawah
9. Demam (-)
10. BAK di toilet umum
11. Timbul cairan keputihan
1.4. Rumusan Masalah
Wanita 37 tahun, dengan keluhan sering BAK hingga 10x sehari (sejak 3
hari), urin berwarna kuning pekat. Nyeri dan panas diakhir BAK, rasa tidak
puas BAK, keputihan disertai gatal sejak 1 minggu, nyeri perut bawah,
namun tidak demam. Riwayat dari luar kota dan pernah BAK di toilet
umum.

1.5. Analisis Masalah

Wanita 37 tahun

Keluhan utama: Anamnesis Riwayat :


1. Poliuria BAK di toilet
2. Frekuensi umum
10x/hari
3. Disuria
4. Urgensi
5. Urin pekat
6. Nyeri perut
bawah
7. (-) Demam Flour Albus
8. Cairan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Laboratorium:
1. Urinalisis
Diagnosis :
Urinary Tract
Infection

Tata Laksana

Edukasi

1.6. Hipotesis
Wanita 37 tahun mengalami infeksi saluran kemih (UTI)

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Patofisiologi Disuria
2. Infeksi saluran kemih
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Patogenesis
e. Manifestasi Klinis
f. Faktor resiko
g. Tatalaksana
h. Pemeriksaan penunjang
i. Komplikasi
j. Prognosis
k. Edukasi
3. Poliuria
a. Definisi
b. Faktor yang mempengaruhi
c. Mekanisme
4. Keputihan
a. Fisiologi
b. Patologis
5. Studi Kasus
a. Hubungan penggunaan toilet umum dengan kejadian UTI
b. Hubungan keputihan dengan kejadian UTI
c. Hubungan Jenis kelamin dengan kejadian UTI
d. Hubungan UTI dengan nyeri perut bagian bawah
BAB II

PEMBAHASAN

3.1. Patofisiologi disuria


Disuria akibat etiologi yang menimbulkan inflamasi seperti infeksi
saluran kemih (UTI) terjadi akibat kontraksi otot kandung kemih dan
peristaltik uretra yang menyebabkan urin bersentuhan dengan mukosa
yang meradang. Kontak tersebut menyebabkan stimulasi saraf sensorik
dan reseptor rasa sakit dan menimbulkan rasa sakit yang bersamaan
dengan rasa terbakar, menyengat, atau gatal. Sensitivitas reseptor tersebut
dapat meningkat selama proses inflamasi atau neuropatik. Terkadang
peradangan dari organ-organ sekitar seperti usus juga dapat menyebabkan
disuria. Disuria dari penyebab non-inflamasi seperti batu, tumor, trauma,
atau benda asing dapat disebabkan tidak hanya oleh iritasi mukosa uretra
atau kandung kemih, tetapi juga oleh penurunan kapasitas dan elastisitas
kandung kemih yang dapat menyebabkan inkontinensia urin dan disuria.1
3.2. Infeksi saluran kemih
3.2.1. Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana
kuman atau mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran
kemih dalam jumlah bermakna. Istilah ISK umum digunakan untuk
menandakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih.2
3.2.2. Etiologi
Infeksi saluran kemih disebabkan oleh mikroorganisme
patogen yang berkaitandengan adanya suatu benda asing didalam
saluran perkemihan. Misalnya,pengggunaan kateter melalui uretra
akan menyediakan rute langsung masuknyamikroorganisme.
Kateter mengganggu mekanisme berkemih normal yangbertindak
sebagai pertahanan melawan organisme yang masuk ke dalam
uretra.Iritasi lokal pada uretra atau kandung kemih nantinya akan
menjadi faktorpredisposisi masuknya bakteri kedalam jaringan.
Kebersihan perineum yang buruk merupakan penyebab umum ISK
pada wanita. ISK yang didapat di institusi kesehatan juga timbul
akibat praktik cuci tangan yang tidak adekuat, kebiasaan mengelap
perineum yang salah yaitu dari arah belakang kedepan setelah
berkemih atau defekasi, cairan irigasi yang terkontaminasi, posisi
kantung drainase yang lebih tinggi dari kandung kemih dan
seringnya melakukan senggama seksual. Setiap gangguan yang
menghalangi aliran bebas urine dapat menyebabkan infeksi.
Sebuah kateter yang diklem, tertekuk, atau terhambat, dan setiap
kondisi yang menyebabkan retensi urine dapat meningkatkan
resiko terjadinya infeksi pada kandung kemih.3
3.2.3. Klasifikasi
Berikut ini klasifikasi infeksi saluran kemih4 :
1. Asimtomatic bacteriuria
Yaitu ditemukannya bakteri pada urin melalui perkemihan
normal yang melebihi batas normal jumlah bakteri namun
tidak ditemukan adanya gejala tanda infeksi saluran kemih.
Hal ini biasanya terjadi pada orang tua, ibu hamil dan pada
anak anak. Pada orang tua bacteriuria asimtomatic ini bersifat
jinak dan tidak mengancam nyawa. Pada ibu hamil gangguan
ini dapat beresiko untuk menjadi urinary tract infection.
2. Lower urinary tract infection
Adalah infeksi yang terjadi pada kandung kemih atau biasa
disebut juga dengan cystitis. Manifestasi klinisnya biasanya
diawali dengan gangguan saat berkemih dan kemudian
berkembang menjadi dysuria, rasa terbakar sebelum, saat atau
sesudah berkemih, volume urin sedikit, rasa tidak enak pada
suprapubic, dan urinary urgency.
3. Acute uretral syndrome
Adalah gangguan dysuria yang tidak diikuti dengan
bacteriuria yang signifikan dan tanpa etiologi yang jelas.
Pemeriksaan terhadap bakterinya dapat dilakukan dengan
kateter suprapubic.
4. Upper urinary tract infection
Adalah gangguan yang biasanya diikuti dengan tanda dan
gejala dari acute pyelonephritis. Manifestasinya adalah
demam, nyeri punggung dan flank pain. Hal ini bisa terjadi
karena adanya inflamasi pada renal pelvic dan parenchyma.
5. Asymptomatic upper urinary tract infection
Adalah gangguan dimana seseorang mengalami urinary
tract infection tanpa diikiti gejala pyelonephritis.
3.2.4. Patogenesis
Kemampuan suatu bakteri untuk bisa menginvasi dan
menimbulkan infeksi pada saluran kemih didasarkan pada dua
factor penentu, yaitu faktor patogenisitas bakteri dan faktor
ketahanan tuan rumah (host).5,6
Peranan bakterial yang dimaksud disini antara lain kemampuan
bakteri tersebut untuk melekat pada lapisan mukosa saluran kemih
dan kekuatan bakteri untuk bertahan dari serangan sistem imun
tuan rumah. Sedangkan peranan tuan rumah antara lain ada
tidaknya factor predisposisi yang meningkatkan kemungkinan
kejadian ISK pada tuan rumah, kelainan anatomis yang
menyebabkan bakteri lebih mudah melakukan invasi,
penggunaan alat kontrasepsi spermisida yang menimbulkan
gangguan pada lapisan epitel saluran kemih sehingga lebih mudah
dihinggapi oleh bakteri, penggunaan kateter urin, dan status
imunologi pasien.5,6
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu infeksi bakteri
yang paling umum terjadi pada wanita, namun tidak menutup
kemungkinan pria juga terinfeksi. Infeksi bakteri pada saluran
kemih (UT) muncul secara klinis dengan berbagai tanda dan gejala
dan dapat disebabkan oleh berbagai organisme. Terutama pada
Uropathogenic Escherichia Coli (UPEC) sebagai agen etiologi
ISK, karena UPEC bertanggung jawab untuk> 80% dari semua
infeksi yang didapat masyarakat.7
Infeksi saluran kemih dapat ditimbulkan melalui dua jalur
infeksi, yaitu infeksi hematogen dan infeksi asending. Infeksi
hematogen biasanya terjadi pada pasien dengan daya tubuh yang
rendah, karena menderita penyakit kronik atau pada pasien yang
mendapatkan imunosupresif. Penyebaran hematogen juga bisa
timbul akibat adanya fokus infeksi di salah satu tempat. Misalnya
infeksi Staphylococcus aureus pada ginjal bisa terjadi akibat
penyebaran hematogen dari infeksi tulang, kulit, endotel, atau di
tempat lain. Salmonella, Pseudomonas, dan Proteus merupakan
bakteri yang menginfeksi secara hematogen.8
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh infeksi
asending berupa kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina yang
disebabkan oleh Escherichia coli.8 Mikroorganisme juga dapat
menginvasi ke kandung kemih. Bakteri yang menyerang saluran
kemih disebut dengan bakteri uropatogen dan dapat berkolonisasi
dan atau pada uroepitel untuk melakukan pengerusakan terhadap
epitel saluran kemih.9
Bakteri yang menginvasi ke kandung kemih dapat naik ke
ginjal karena adanya refluks vesikoureter dan menyebarkan infeksi
dari pelvis ke korteks karena refluks intrarenal. Refluks
vesikoureter adalah keadaan patologis karena tidak berfungsinya
valvula vesikoureter yang didapat baik secara kongenital ataupun
akibat adanya infeksi.10
Mekanisme saluran kemih dalam mencegah timbulnya infeksi
dapat dilakukan secara mekanik melalui pembersihan organisme
serta adanya tekanan urin saat miksi berperan dalam mencegah
masuknya bakteri ke dalam mukosa. Mekanisme lainnya berupa
adanya aktivitas antibakteri intrinsik pada saluran kemih.9
3.2.5. Manisfestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi, dari
tanpa gejala (asimptomatis) ataupun disertai gejala (simptom) dari
yang ringan (panas, uretritis, sistitis) hingga cukup berat
(pielonefritis akut, batu saluran kemih dan bakteremia). Gejala
yang timbul antara lain rasa nyeri pada saluran kemih, rasa sakit
saat buang air kecil atau setelahnya, anyang-anyangan, warna air
seni sangat pekat seperti air teh, nyeri pada bagian pinggang,
hematuria (kencing berdarah), perasaan tertekan pada perut bagian
bawah, rasa tidak nyaman pada bagian panggul serta tidak jarang
pula penderita mengalami panas tubuh. Kasus asimptomatik
berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya infeksi
simptomatik berulang yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih juga bergantung pada
lokalisasi infeksi dan umur penderita. Infeksi saluran kemih atas
pielonefritis yang paling sering dijumpai, ditandai dengan adanya
demam, nyeri perut atau pinggang, mual, muntah, kadang-kadang
disertai diare. Pielonefritis pada neonatus umumnya tidak spesifik
berupa mudah terangsang, tidak nafsu makan dan berat badan yang
menurun, pada anak usia <2 tahun dapat disertai demam.11
3.2.6. Faktor resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya ISK sebagai
berikut12,13,14:
1) Penggunaan kateter
2) Urolithiasis (Batu kandung kemih)
3) Hiperglikemi
4) Usia
5) Pasien dengan keadaan immobilisasi
6) Perubahan hormonal saat kehamilan
7) Pembesaran prostat
8) Jenis kelamin
9) Imunosupresif
10) Personal Hygiene yang kurang
11) Kebiasaan menahan BAK
3.2.7. Tatalaksana
Tata laksana ISK terdiri atas eradikasi infeksi akut, deteksi dan
tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan
saluran kemih, dan deteksi dan mencegah infeksi berulang.15
Tujuan pemberian antibiotik adalah mengatasi infeksi akut,
mencegah urosepsis, dan mencegah atau mengurangi kerusakan
ginjal. Prinsip pemilihan terapi antibiotik untuk ISK sama dengan
panduan yang digunakan untuk memilih antibiotik untuk penyakit
infeksi lain, yakni sensitivitas bakteri, antibiotik spektrum sempit,
toleransi pasien terhadap terapi, toksisitas rendah, dan cost-
effectiveness.16,17 Terapi didasarkan pada lokasi infeksi sehingga
penting membedakan ISK atas dan ISK bawah karena mempunyai
implikasi yang berbeda. Parut ginjal terjadi pada pielonefritis, dan
tidak terjadi pada sistitis, sehingga tata laksana (pemeriksaan
lanjutan, pemberian antibiotik, dan lama terapi) sangat berbeda
antara pielonefritis dan sistitis. Menentukasi tempat infeksi
dilakukan berdasarkan kombinasi klinik, laboratorium, dan
pemeriksaan pencitraan.17 Umumnya, bakteriuria asimtomatik tidak
diterapi dengan antibiotik, sedangkan ISK simtomatik harus segera
mendapatkan antibiotik. Sebelum pemberian antibiotik, sebaiknya
dilakukan biakan urin untuk menentukan jenis bakteridan
sensitivitasnya. Keterlambatan pemberian antibiotik merupakan
salah satu faktor risiko terbentuknya parut ginjal pada pielonefritis.
Dengan demikian, antibiotik harus diberikan secara empirik dan
kemudian disesuaikan dengan hasil biakan urin.17,18
Pada ISK bagian bawah nonkomplikata dan sederhana,
trimetropim- sulfametoksazol (TMP-SMX) dapat digunakan, tetapi
resistensi terhadap TMP- SMX menjadi dua kali lipat dalam
dekade terakhir pada beberapa keadaan. Nitrofurantion juga efektif.
Perempuan hamil dapat diobati dengan sefalosporin generasi
pertama atau kedua. Pada ISK bagian atas, diperlukan pemberian
terapi quinolon selama 14 hari. Pada setiap pasien dengan tanda
sistemik toksisitas, dianjurkan melakukan penggantian terapi yang
dimulai dengan hidrasi intravena ditambah aminoglikosida atau
sefalosporin generasi ketiga diikuti terapi qoinolon parenteral.
Pasien dengan penyakit komplikata, atau yang gagal membaik
dalam 24 jam, harus dirawat di rumah sakit untuk pemberian terapi
antibiotik intravena.19
Berikut ini adalah deskripsi beberapa agen antimikroba yang
umum digunakan dalam terapi ISK19:
1) Kotrimoksazol
2) Amoksisilin
3) Aminoglikosida
4) Sefotaksim
5) Nitrofurantoin
3.2.8. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit
esterase, protein, dan darah. Leukosituria merupakan petunjuk
kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak dipakai sebagai
patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada
anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik,
tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK.
Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa leukosituria m yang terdapat di
dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit
dalam urin.20,21 Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung
terhadap bakteri dalam urin, dalam keadaan normal, nitrit tidak
terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah
menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman gram negatif dan
beberapa kuman gram positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit,
sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin. 20,21
Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji
nitrit.22 Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran
kemih, tetapi tidak dipakai sebagai indikator diagnostik. Protein
dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam
diagnosis ISK.23,24 Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin
(uNGAL) dan rasio uNGAL dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr)
merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-carrier-
protein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan
komponen imunitas innate yang memberikan respon terhadap
infeksi bakteri. Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr > 30
ng/mg merupakan tanda ISK.24 Pada urin segar tanpa dipusing
(uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap lapangan
pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 107
cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya
kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis menandakan
jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Anti coated bacteri
(ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan
fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda
pielonefritis pada remaja dan dewasa muda. 25
b. Pemeriksaan Darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis dan membedakan ISK atas dan
bawah, namun sebagian besar pemeriksaan tersebut tidak spesifik.
Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju
endap darah (LED), C-reactive protein (CRP) yang positif,
merupakan indikator non-spesifik ISK atas.26,27 Kadar pro-
kalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid
untuk pielonefritis akut pada anak dengan ISK febris (febrile
urinary tract infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan protein
kecil yang penting dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan
sitokin proinflamatori (TNF-α; IL-6; IL-1β) mengingkat pada fase
akut infeksi, termasuk pielonefritis akut.28
c. Biakan Urin
1. Cara Pengambilan Spesimen Urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari
kontaminasi, cepat, mudah dilakukan untuk semua umur, murah,
dan menggunakan peralatan sederhana. Pengambilan sampel urin
untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik,
kateter urin, pancar tengah (mid-stream), dan menggunakan urine
collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan
kontaminasi ialah dengan aspirasi suprapubik, dan merupakan cara
pengambilan sampel urin untuk biakan urin. Kateterisasi urin
merupakan metode yang dapat dipercaya terutama pada anak
perempuan, tetapi cara ini traumatis. Teknik pengambilan urin
pancar tengah merupakan metode non-invasif yang bernilai tinggi,
dan urin bebas terhadap kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan
anak kecil, urin dapat diambil dengan memakai kantong
penampung urin (urine bag atau urine collector).29 Pengambilan
sampel urin dengan metode urine collector, merupakan metode
yang mudah dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi
dengan positif palsu hingga 80%.29 Pengiriman bahan biakan ke
laboratorium mikrobiologi perlu mendapat perhatian karena bila
sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari ½ jam,
maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan
hasil biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur dan
memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos
es atau disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam
lemar es pada suhu 40℃,selama 48-72 jam sebelum dibiak.30
d. Interpretasi Biakan Urin
Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media
McConkey. Beberapa bakteri yang tidak lazim menyebabkan ISK,
tidak dapat tumbuh pada media yang sering digunakan dan
memerlukan media kultur khusus. Interpretasi hasil biakan urin
bergantung pada teknik pengambilan sampel urin, waktu, dan
keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan sampel urin dengan cara
aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa bakteriuria
bermakna adalah jika ditemukan kuman dengan jumlah berapa
pun. Namun untuk teknik pengambilan sampel dengan cara
kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat kriteria yang
berbeda-beda. 31
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar
tengah dipakai jumlah kuman ≥ 105 cfu per mL urin sebagai
1,5
bakteriuria bermakna Interpretasi hasil biakan urin bukanlah
suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak faktor yang dapat
menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis
jelas ditemukan ISK.23,24 Cara lain untuk mengetahui adanya kuman
adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara biakan urin yang dapat
dilakukan setiap saat dan di mana saja, tetapi cara ini hanya dapat
menunjukkan ada tidaknya kuman, sedang indentifikasi jenis
kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan cara konvensional.32
3.2.9. Komplikasi
Komplikasi Infeksi Saluran Kemih tergantung dari tipe , yaitu
ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan ISK tipe berkomplikasi
(complicated)33 :
1. ISK sederhana (uncomplicated) atau Sistitis yaitu non-
obstruksi dan bukan perempuan hamil merupakan penyakit
ringan (self limited disease) dan tidak menyebabkan akibat
lanjut.
2. ISK tipe berkomplikasi (complicated) :
a. ISK selama kehamilan : dari umur kehamilan
Infeksi saluran kemih (ISK) bagian bawah jarang
menyebabkan komplikasi, ketika diobati dengan tepat dan
segera. Tapi jika tidak diobati dengan benar, ISK dapat
menjadi suatu infeksi yang serius seperti urosepsis.
b. Komplikasi Infeksi Saluran Kemih Berulang
ISK berulang dapat terjadi terutama pada wanita yang
pernah mengalami ISK lebih dari tiga kali.
c. Komplikasi Infeksi Saluran Kemih pada Wanita Hamil
ISK pada wanita hamil dapat menyebabkan risiko
bayi lahir prematur atau dengan berat badan di bawah
normal.
d. Komplikasi Infeksi Saluran Kemih pada Pria
Striktur uretra dapat terjadi pada pria dengan urethritis
yang sebelumnya mengalami infeksi urethritis gonokokal.
e. Komplikasi pada Infeksi Saluran Kemih Asending ke
Ginjal
Abses ginjal atau infeksi piogenik pada parenkim ginjal
dapat terjadi biasanya akibat bakteri gram negatif dan
biasa terjadi pada ISK rumit dengan faktor risiko seperti
DM, disfungsi kandung kemih neurogenik, dan kehamilan.
Gejala mungkin tidak spesifik berupa demam, menggigil,
nyeri pada pinggang atau perut.
Pielonefritis emfisematus dapat terjadi terutama pada
pasien ISK dengan gangguan kekebalan sistem imun dan
dengan faktor risiko diabetes melitus
dimana E. coli memproduksi karbon dioksida dari
fermentasi gula.
Xanthogranulomatous pyelonephritis (XGP)
merupakan tahap akhir obstruksi ginjal dan ISK, XGP
sangat jarang terjadi. Sering disebabkan oleh Proteus
sp. atau organisme yang berhubungan dengan
pembentukan batu saluran kemih dan inflamasi kronis.
Tatalaksana dengan operasi dan membuang seluruh
jaringan ginjal yang terlibat. Kerusakan ginjal permanen
dapat terjadi terutama pada pielonefritis akut atau kronik
yang tidak diobati. 
3.2.10. Prognosis
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya
baik dengan penyembuhan 100% secara klinik maupun
bakteriologi bila terapi antibiotika yang diberikan sesuai. Bila
terdapat faktor predisposisi yang tidak diketahui atau sulit
dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat menjadi kronik atau PNK.
Pada pasien Piclonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis terlambat
dan kedua ginjal telah mengisut, pengobatan konservatif hanya
semata-mata untuk mempertahankan faal jaringan ginjal yang
masih utuh. Dialisis dan transplantasi dapat merupakan pilihan
utama.34
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh
sempurna, kecuali bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang
lolos dari pengamatan. Bila terdapat infeksi yang sering kambuh,
harus dicari faktor-faktor predisposisi. Prognosis sistitis kronik
baik bila diberikan antibiotik yang intensif dan tepat serta faktor
predisposisi mudah dikenal dan diberantas.34
3.2.11. Edukasi
Ada beberapa edukasi yang dapat diberikan kepada pasien
untuk mencegah ISK yang berulang, diantaranya:
1. Tiga faktor risiko utama dari ISK berulang pada wanita adalah
frekuensi berhubungan seksual, penggunaan spermisida dan
alat kontrasepsi dalam rahim, dan kehilangan efek estrogen
pada struktur vagina dan periuretra.  Modifikasi perilaku yang
berhubungan dengan faktor risiko utama tersebut dapat
dilakukan sebagai upaya pencegahan ISK. Pada Individu yang
aktif melakukan hubungan seksual harus dibiasakan langsung
berkemih setelah berhubungan seksual. Hal ini sebagai
upaya menurunkan risiko masuknya bakteri ke kandung kemih.
Pertimbangkan untuk penggunaan krim spermisida, atau
kondom yang tidak berpelumas sebagai alat kontrasepsi,
karena bahan-bahan tersebut dapat memicu pertumbuhan
bakteri.35
2. Jangan menahan buang air kecil, menahan buang air kecil
selama tiga jam atau lebih memperbesar risiko bakteri
berkembang di saluran kencing. 36
3. Minum banyak air putih, minum banyak air membantu
meningkatkan produksi urin, sehingga bakteri di dalam saluran
kencing dapat lebih banyak dibuang ke luar tubuh. 36
4. Basuh vagina dari depan ke belakang (dari arah vagina ke
anus, bukan sebaliknya), setelah buang air kecil maupun buang
air besar. 36
5. Jaga daerah kemaluan tetap kering dengan mengenakan
pakaian dari bahan katun. Hindari celana jeans ketat atau
busana berbahan nilon, karena dapat membuat kulit menjadi
lembap dan menimbulkan bakteri. 36

3.3. Poliuria
3.3.1. Definisi
Poliuria adalah suatu keadaan dimana volume air kemih dalam 24
jam meningkat melebihi batas 24 jam meningkat melebihi batas
normal yang disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal dalam
mengkonsentrasi air kemih.37
3.3.2. Faktor yang mempengaruhi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi poliuria
pascatransplantasi yaitu peptida natriuretik (ANP, BNP, CNP, dan
urodilatin) yang merupakan biomarker paling berperan dalam
proses natriuresis dan diuresis pascatransplantasi ginjal. Urodilatin
memiliki potensi lebih besar menyebabkan poliuria
pascatransplantasi ginjal dibandingkan ANP, BNP, dan CNP,
namun perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikannya hingga
ke tingkat molekuler. Pemeriksaan RIA untuk peptida natriuretik
dan urodilatin baru dilakukan untuk keperluan penelitian dan
belum digunakan secara luas kepada pasien.37
3.3.3. Mekanisme
Poliuria disebabkan oleh diuresis air atau diuresis osmotik.
Banyak pasien yang mengalami poliuria juga mengalami
hipernatremia karena mereka mengekskresikan volume urin yang
besar dengan konsentrasi natrium (Na+) yang rendah ditambah ion
kalium (K+), misalnya pada pasien dengan diabetes insipidus atau
pasien dengan diuresis osmotik yang diinduksi urea.38
Pada diuresis air, setelah seseorang mengkonsumsi asupan air
dalam jumlah yang mampu menurunkan PNa sehingga cukup untuk
menghambat pelepasan vasopresin, kanal air aquaporin 2 (AQP2)
tidak akan dimasukkan ke dalam selaput luminal sel utama dalam
duktus kolektus. Segmen nefron tersebut sekarang menjadi kedap
air dan volume filtrat yang dikirim ke nefron distal akan
diekskresikan dalam urin (kecuali untuk volume yang diserap
kembali dalam duktus koledikus medula (MDC) bagian dalam
melalui permeabilitas air residual, yang tidak memerlukan
kehadiran vasopresin). Nilai laju aliran urin maksimum pada
manusia dewasa normal adalah 10-15 mL/menit, yang terjadi 60-
90 menit setelah konsumsi air berjumlah besar. Apabila
diekstrapolasi menjadi periode 24 jam, volume urin akan berkisar
antara 15-22 L.38
Pada diuresis osmotik, ekskresi osmol yang tinggi menjadi
penyebab poliuria karena kerja vasopresin. Ketika hal tersebut
terjadi, AQP2 akan hadir dalam membran luminal sel-sel utama
dalam duktus kolektus kortikal dan medular sehingga osmolalitas
dari cairan luminal menjadi sama dengan osmolalitas interstitial
meduler. Laju aliran urin dalam keadaan ini akan ditentukan oleh
tingkat ekskresi osmol, namun tidak semua osmol memiliki
kemampuan yang sama untuk meningkatkan volume urin. Hanya
osmol yang tidak mencapai konsentrasi yang sama di lumen MCD
dan di kompartemen interstitial meduler yang merupakan osmol
yang efektif. Oleh karena itu, laju aliran urin selama diuresis
osmotik ditentukan oleh laju ekskresi osmol efektif dan osmolalitas
efektif dalam kompartemen interstitial meduler.38

3.4. Keputihan
3.4.1. Fisiologis
Keputihan yang terjadi pada wanita dapat bersifat normal dan
abnormal. Keputihan normal terjadi sesuai dengan proses
menstruasi. Gejala keputihan yang normal adalah tidak berbau,
jernih, tidak gatal, dan tidak perih.39 Keputihan merupakan
mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui pengeluaran
cairan disekitar dinding vagina. Cairan normalnya biasanya putih
jernih, bersifat non offensive yang dapat berubah kapan saja.
Biasanya awalnya akan tebal dan lengket pada masa menstruari
namun akan menjadi lebih berair dan jelas pada masa ovulasi.40
Proses menstruasi pada wanita terjadi dalam tiga tahapan, yaitu
proliferasi, sekresi, dan menstruasi. Pada masing-masing proses
mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap endometrium.
Keputihan secara fisiologis terjadi sebelum menstruasi karena
pengaruh dari proses menstruasi yang melibatkan hormon estrogen
dan progesteron.39

3.4.2. Keputihan
WHO menyatakan bahwa masalah kesehatan reproduksi
wanita yang buruk telah mencapai 33% dari jumlah total beban
penyakit yang menyerang para wanita di seluruh dunia. 41
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) dalam
Leo, mengemukakan keputihan sebagai gejala yang sangat sering
dialami oleh sebagian besar wanita.42,43 Keputihan (fuor albus,
leukorea, vaginal discharge) adalah istilah keluarnya cairan dari
genitalia seorang wanita yang bukan darah. Secara epidemiologi,
fluor albus patologis dapat menyerang wanita mulai dari usia
muda, usia reproduksi sehat maupun usia tua dan tidak mengenal
tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya.44 Pada keadaan
normal, cairan yang keluar berupa mukus atau lendir yang jernih,
tidak berbau mencolok, dan agak lengket.Pada keadaan patologis
terjadi perubahan cairan genital dalam jumlah, konsistensi, warna,
dan bau.45 Suatu penelitian menyatakan sekitar 90% remaja putri di
Indonesia berpotensi mengalami keputihan karena Indonesia
adalah daerah yang beriklim tropis, sehingga jamur, virus dan
bakteri mudah tumbuh dan berkembang yang mengakibatkan
banyaknya kasus keputihan pada remaja putri Indonesia. Ini
menunjukkan remaja putri mempunyai risiko lebih tinggi terhadap
infeksi atau keputihan patologis.46
Keputihan (fluor albus) dapat merupakan suatu keadaan yang
normal (fisiologis) atau sebagai tanda dari adanya suatu penyakit
(patologis). Keputihan yang normal biasanya bening sampai
keputihan, tidak berbau dan tidak menimbulkan keluhan.
Keputihan yang patologis biasanya berwarna
kekuningan/kehijauan/keabu-abuan, berbau amis atau busuk,
jumlah sekret umumnya banyak dan menimbulkan keluhan seperti
gatal, kemerahan (eritema), edema, rasa terbakar pada daerah
intim, nyeri pada saat berhubungan seksual (dyspareunia) atau
nyeri saat berkemih (dysuria.), penyebab patologis terjadi karena
infeksi jamur, infeksi bakteri, infeksi parasit jenis protozoa dan
infeksi gonorhoe 47
Keputihan yang terjadi tersebut cenderung disebabkan oleh
masih minimnya kesadaran untuk menjaga kesehatan terutama
kesehatan organ genitalia. Selain itu, keputihan sering dikaitkan
dengan kadar keasaman daerah sekitar vagina, bisa terjadi akibat
pH vagina tidak seimbang. Sementara kadar keasaman vagina
disebabkan oleh dua hal yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor eksternal antara lain kurangnya personal hygiene, pakaian
dalam yang ketat, dan penggunaan WC umum yang tercemar
bakteri Clamydia.48

3.5. Studi kasus


3.5.1. Hubungan penggunaan toilet umum dengan kejadian UTI
Sebuah studi menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kejadian UTI dan vaginitis terhadap personal hygiene dan sanitasi
toilet pada murid di sebuah residen.1 Toilet umum termasuk ke
dalam tempat yang sering menjadi sumber penyakit. Toilet umum
sering tidak diperhatikan kebersihannya sehingga sering menjadi
tempat pertumbuhan berbagai bakteri seperti E. Coli, S. Aureus,
Enterococcus, dan lain-lain.2 E. Coli dan merupakan bakteri
penyebab tersering pada kejadian uncomplicated UTI.39
3.5.2. Hubungan keputihan dengan kejadian UTI
Vagina merupakan organ reproduksi wanita yang sangat rentan
terhadap infeksi. Hal ini disebabkan batas antara uretra dengan
anus sangat dekat, sehingga kuman penyakit seperti jamur, bakteri,
parasit, maupun virus mudah masuk ke liang vagina. Infeksi
juga terjadi karena terganggunya keseimbangan ekosistem di
vagina, di dalam vagina terdapat berbagai macam bakteri,
95% Lactobacillus, 5% patogen. Dalam kondisi ekosistem vagina
seimbang, bakteri patogen tidak akan mengganggu. Bila
keseimbangan itu terganggu, misalnya tingkat keasaman menurun,
pertahanan alamiah akan turun, dan rentan mengalami infeksi.
Ketidakseimbangan ini mengakibatkan tumbuhnya jamur dan
kuman-kuman yang lain. Padahal adanya flora normal dibutuhkan
untuk menekan tumbuhan yang lain itu untuk tidak tumbuh subur.
Kalau keasaman dalam vagina berubah maka kuman-kuman lain
dengan mudah akan tumbuh sehingga akibatnya bisa terjadi infeksi
yang akhirnya menyebabkan fluor albus, yang berbau, gatal,
dan menimbulkan ketidaknyamanan.33,50
Fluor albus (leukorea, keputihan, white discharge) adalah
nama gejala yang diberikan pada cairan yang keluar dari vagina
selain darah. Fluor albus bukan merupakan penyakit melainkan
salah satu tanda gejala dari suatu penyakit organ reproduksi wanita.
Gejala ini diketahui karena adanya sekret yang mengotori celana
dalam . Fluor albus merupakan manifestasi klinis berbagai infeksi,
keganasan, atau tumor jinak reproduksi. Gejala ini tidak
menimbulkan mortalitas, tetapi morbiditas karena selalu
membasahi bagian dalam wanita dan dapat menimbulkan iritasi,
terasa gatal sehingga mengganggu.51
Pada penggunaan toilet umum, wanita dapat lebih mudah
terinfeksi oleh bakteri, jamur dan lain lainnya. Keputihan menjadi
salah satu hal yang dapat menyerang wanita dalam penggunaan
toilet umum. Keputihan dapat disebabkan oleh bakteri Gardnella,
Treponema pallidum atau pun parasite Trichomonas vaginalis.10
3.5.3. Hubungan Jenis kelamin dengan kejadian UTI
Secara umum, 40% wanita mengalami infeksi saluran kemih
(ISK) pada titik tertentu dalam hidup mereka. Di Singapura, 4%
wanita dewasa muda mengalami ISK dengan insidensi yang
meningkat menjadi 7% pada usia 50 tahun. Wanita dewasa
memiliki kemungkinan 30 kali lebih tinggi dibandingkan pria
untuk mengalami ISK, dengan hampir setengah dari mereka
mengalami setidaknya satu episode ISK selama masa hidup
mereka. Studi lain melaporkan bahwa satu dari tiga wanita
mengalami episode ISK pertama pada usia 24 tahun. ISK paling
sering terlihat pada wanita muda yang aktif secara seksual.
Walaupun wanita memiliki peluang yang lebih tinggi untuk
mengalami infeksi saluran kemih, pria lebih cenderung di rawat
inap, terutama pria lanjut usia dan pria yang memiliki infeksi ginjal
akut yang memerlukan perawatan dengan antibiotik intravena.
Jarak yang lebih pendek dari anus ke uretra pada wanita
dihipotesiskan menjadi penyebab mengapa wanita berisiko lebih
tinggi untuk mengalami infeksi saluran kemih dibandingkan pria.52
3.5.4. Hubungan UTI dengan nyeri perut bagian bawah
Nyeri perut bagian bawah atau disebut dengan flank pain
merupakan gangguan yang sering dialami pada beberapa gangguan
urinary tract seperti obstruksi akut dan obstruksi kronik urinanry
tract ataupun adanya inflamasi pada renal.53 Kita menghipotesiskan
bahwa yang diderita oleh pasien pada kasus adalah infeksi saluran
kemih yang merupakan salah satu penyebab terjadinya flank pain
tersebut. flank pain juga sering ditemukan pada infeksi saluran
kemih bagian atas.54

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Wanita 37 tahun mengalami infeksi saluran kemih bawah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta P, Reddivari AKR. Dysuria. [Updated 2019 Nov 12]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549918/
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Unit Kerja Koordinasi (UKK).
Jakarta: Nefrologi; 2011.
3. A Potter, & Perry, A. G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC;2006
4. Johnson MD, C. C. (1991). Definitions, Classification, and Clinical Presentation
of Urinary Tract Infections. Medical Clinics of North America, 75(2), 241–252.
doi:10.1016/s0025-7125(16)30451-5 
5. Achmad IA, dkk. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih
(ISK) dan Genetalia Pria. Jakarta.2007.hal.1
6. Ginting Yosia. Antimicrobial Usage of UTIs in Elderly in Abstracts Book
8th. JADE. Jakarta : Divisi penyakit tropis dan Infeksi IPD-RSCM ;
2007.h.18
7. McLellan, Lisa K, and David A Hunstad. “Urinary Tract Infection:
Pathogenesis and Outlook.” Trends in molecular medicine vol. 22,11
(2016): 946-957. doi:10.1016/j.molmed.2016.09.003
8. Adib,M.. Infeksi Tersering Pada Penderita Infeksi Saluran Kencing Di
Laboratorium Klinika Surabaya. Jurnal Adib Baru, Akademi Analis
Kesehatan, Malang. 2011.
9. Semaradana,W.G.P . Infeksi Saluran Kemih akibat Pemasangan Kateter –
Diagnosis dan Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Denpasar, Bali. CDK-221. 2014 : 41(10)
10. Tessy, Ardaya dan Suwanto. Infeksi Sluran Kemih dalam Suyono,H.S,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ketiga. Mikrobiologi
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.
11. Dharma, P.S. 2015. Penyakit Ginjal : Deteksi Dini Dan Pencegahan. CV
Solusi Distribusi, Yogyakarta.
12. Setyorini H, Tjempakasari A, dan Mardiana N. Risk Factor for Urinary
Tract Infection in Hospitalized Patients. BHSJ ; 2019 : 2(01) :p. 4-8.
13. Ramzan M, Bakhsh S, Salam A, Khan GM, Mustafa G. Risk Factors in
Urinary Tract Infection. GJMS ; 2004 : 2(02) : p. 50-53.
14. Irawan E dan Mulyana H. Literature Review Faktor-Faktor Penyebab
Infeksi Saluran Kemih (ISK). Prosiding Seminar Nasional dan Diseminasi
Penelitian Kesehatan ; 2018 : p. 89-100.
15. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus
infeksi saluran kemih pada anak. UKK Nefrologi IDAI. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2011.
16. Jantausch B, Kher K. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK, Schnaper
HW, Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2.
London: Informa Health Care; 2007;h.553-73.
17. Goldberg B, Jantausch B. Urinary tract infection. Dalam: Kher KK,
Schnaper HM, Breenbaum LA, penyunting. Clinical pediatric nephrology.
Edisi ke-3. New York: CRC PRESS;2017;h.967-91
18. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infection. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric
nephrology. Edisi ke-6. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2009.h.1229-
310.
19. Greenberg, M. I., 2008, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Jakarta,
Erlangga.
20. Lambert H, Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam:
Webb NJA, Postlethwaite RJ, penyunting, Clinical Paediatric Nephrology,
edisi ke-8, Oxford, Oxford University Press, 2010,h.197-225.5.
21. Smellie JM. Management and investigation of children with urinary tract
infection. Dalam: Postlethwaite RJ, penyunting, Clinical Paediatric
Nephrology, edisi ke-7. Oxford: Butterworth-Heinemann, 2011:h.160-
74.30.
22. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A,
Mulazimoglu M, dkk. Early prediction of urinary tract infection with
urinary neutrophil gelatinase associated lipocalin. Pediatr Nephrol
2009;24:2387-92.
23. Jones KV, Asscher AW. Urinary tract infection and vesico-ureteral reflux.
Dalam: Edelmann CM, Bernstein J, Meadow SR, Spitzer A, Travis LB,
penyunting. Pediatric Kidney Disease edisi ke-9. Boston: Little Brown,
2012;h.1943-91.
24. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infection. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric
Nephrology, edisi ke-6, SpringerVerlag, Berlin Heidelberg, 2009,h.1229-
310.7.
25. Kanellopoulos TA, Salakos C, Spiliopoulou I, Ellina A, Nikolakopoulou
NM, Papanastasiou DM. First urinary tract infection in neonate, infants,
and young children: a comparative study. Pediatr Nephrol 2009;21;1131-7.
26. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F. dkk.
Age-related renal parenchymal lesions in children with first febrile urinary
tract infections. Pediatrics 2009;124:23-9.
27. Garin EH, Olavarria F, Araya C, Broussain M, Barrera C, Young L.
Diagnostic significance of clinical and laboratory findings to localize site
of urinary infection. Pediatr Nephrol 2011;22:1002-6.
28. Rodriquez LM, Robles B, Marugan JM, Suarez A, Santos F. Urinary
interleukin-6 is useful in distinguishing between upper and lower urinary
tract infections. Pediatr Nephrol 2009;23:429-33.28.
29. Levy I, Comarsca J, Davidovits M, Klinger G, Sirota L, Linder N. Urinary
tract infection in preterm infants: the protective role of breastfeeding.
Pediatr Nephrol 2009;24:527-31
30. Stamm WE. Urinary tract infection. Dalam: Greenberg A, Cheny AK,
Coffman TM, Falk RJ, Jennette JC, penyunting, Primer on kidney
diseases: San Diego: National Kidney Foundation, Academic Press,
2010;h.243-6
31. Paschke AA, Zaoutis T, Conway PH, Xie D, Keren R. Previous
antimicrobial exposure is associated with drug-resistant urinary tract
infections in children. Pediatrics 2010;125:664-72.
32. American Academy of Pediatrics, Committee on quality inprovement,
subcommittee on urinary tract infection. Practice parameter: The
diagnosis, treatment, and evaluation of the initial urinary tract infection in
febrile infants and young children. Pediatrics 2011,103:843-52.
33. Sukandar, E. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2004.
34. Sukandar E. Neurologi klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
(PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD; 2006.
35. Tan, C. & Chlebicki, M. NCBI. Urinary tract infections in adults.
Singapore Medical Journal. 57(9), pp. 485–490. 2016
36. U.S. Department of Health & Human Services Office on Women’s Health.
Urinary Tract Infections. 2018.
37. Yunanto A, Rodjani A. Biomarker Prediktor Kejadian Poliuria pada
Resipien Pascatransplantasi Ginjal. 2015;3(3).
38. Halperin ML, Kamel KS. Fluid, Electrolyte, and Acid-Base Physiology: A
Problem-Based Approach. 5th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2017.
39. Marhaeni GA. Keputihan Pada Wanita. Jurnal Skala Husada. Denpasar.
2016;13: 30-38.
40. Vanishree L Rao. Vaginal discharge. Elsevier.2019
41. WHO. Mental Health Aspects of Women’s Reproductive Health: A Global
Review of the Literature. Geneva: WHO Press; 2009:1
42. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI. 2008.
43. Widyastuti, Yani, Anita Rahmawati, Yuliasti Eka Purnamaningrum.
Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya; 2009.
44. Setiani, Tri Indah, Tri Prabowo, Dyah Pradnya Paramita. Kebersihan
Organ Kewanitaan dan Kejadian Keputihan Patologi pada Santriwati di
Pondok Pesantren Al Munawwir Yogyakarta. JKNI. 2015;3(1):39-42
45. Zubier, Farida. Edkasi Sabun Ekstrak Sirih Merah dalam Mengurangi
Gejala Keputihan Fisiologis. Jurnal Kedokteran Indonesia. 2010:10
46. Kusmiran, Eny. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta:
Salemba Medika; 2012.
47. Supriyatiningsih. Monograf Penggunaan Vaginal Douching terhadap
Kejadian Candidiasis pada Kasus Leukorea.Yogyakarta. LP3M
Universitas Muhamamdiyah. 2015.
48. Katharini, Kusrini, Yuliawati Prasetyowati. Hubungan Personal Hygiene
dengan Kejadian Keputihan pada Siswi SMU Muhammadiyah Metro
Tahun 2009. Jurnal Kesehatan “Metro Sai Wawai”. 2009;2(2):45-51
49. Mpotane T, Ntswabule V, Mcpherson C, dan Botes E. The Role of Toilet
in Transmission of Vaginal and Urinary Tract Infection in Huis
Welgemoed, Cut Campus. Interim : Interdisciplinary Journal ; 2013 :
12(01): p. 26-31
50. Prince, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Volume 2. Jakarta: EGC; 2012. p. 918-924,1321.
51. Khuzaiyah, S., Krisiyanti, R., Mayasari, C. M. Karakteristik Wanita
dengan Flour Albus. Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK). 2015 :VII (1)
52. Tan CW, Chlebicki MP. Urinary tract infections in adults. Singapore Med
J. 2016;57(9):485-90.
53. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations.
3rd edition.
54. Jawets melnick medical microbiology ed 27

Anda mungkin juga menyukai