Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radiografi Panoramik

Panoramic imaging adalah suatu teknik yang menghasilkan sebuah


gambaran tomografi dari struktur wajah, meliputi lengkung maksila dan
mandibula, gigi, serta struktur pendukung.Pada pembuatan radiografi ini pasien
dalam keadaan edge to edge.

Indikasi panoramik meliputi gambar tulang wajah dan gigi, pemeriksaan


terhadap intraosseous patologi, seperti kista, tumor, dan infeksi, evaluasi terhadap
sendi temporomandibula, evaluasi terhadap gigi impaksi, evaluasi terhadap erupsi
gigi permanen, trauma dentomaksilofasial, perkembangan tulang maksilofasial.

Keuntungan radiografi panoramik yaitu, mencakup lebih luas dari tulang


wajah dan gigi, dosis radiasi lebih kecil, dapat digunakan pada pasien trismus atau
pasien yang tidak dapat dilakukan radiografi intraoral, cepat dan nyaman bagi
pasien, berguna untuk presentasi dan edukasi kepada pasien. Kerugian radiografi
panoramik adalah detail kurang baik dibanding radiografi intraoral karena resolusi
gambar rendah dan pasien selama penyinaran akan menyulitkan dalam
interpretasi.12

2.2 RadiografiCone Beam Computed Tomography (CBCT)

CBCT dapat digunakan bila anamnesis dan pemeriksaan klinis telah


dilakukan.CBCT diharapkan memberikan informasi baru yang menguntungkan
bagi pasien.Indikasi CBCT diantaranya untuk evaluasi jaringan keras seperti
ekstraksi gigi impaksi molar ketiga rahang bawah yang dekat dengan inferior
alveolar kanal, traksi ortodontik, bedah kompleks, penempatan implan, invasi
tulang rahang dari karsinoma sel skuamosa.Namun, CBCT tidak boleh digunakan
secara rutin untuk mendeteksi karies, kehilangan tulang periodontal, patosis
periapikal, serta diagnosa ortodonti rutin.13
Keuntungan menggunakan CBCT adalah dosis radiasi yang dihasilkan
lebih rendah dibandingkan dengan radiografi konvensional, gambar dengan
resolusi yang lebih baik, pengukuran yang lebih akurat dari ketebalan tulang,
dapat menganalisis posisi dan orientasi struktur disekitarnya dengan lebih baik
(sinus, akar, dan saraf), gambar CBCT dapat direkonstruksi ulang seperti ke
proyeksi panoramik atau sefalometri, waktu pemindaian singkat, nyaman bagi
pasien, aman bagi pasien semua umur. Kerugian CBCT diantaranya resolusi
kontras terbatas karena radiasi hamburan yang relatif tinggi selama akuisisi
gambar, tidak efektif dalam evaluasi jaringan lunak, gerakan terbatas.13

2.3 Systemic Lupus Erithematosus (SLE)

2.3.1 Definisi Systemic Lupus Erithematosus (SLE)

Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun


inflamasi kronis sistemik yang bersifat heterogen dan dapat menyerang berbagai
organ tubuh seperti kulit, persendian, sel darah, ginjal, paru-paru, otak, dan
jantung yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang keliru.2,14

Gejala awal SLE biasanya terjadinya demam, kelelahan, kejang, anemia,


nyeri pada dada ketika menarik nafas panjang, terdapat ruam berwarna kemerahan
pada pipi hingga hidung berbentuk seperti kupu-kupu, sensitif terhadap sinar
matahari, rambut rontok sampai kebotakan (alocepia), sariawan dimulut dan bekas
luka di hidung, serta jari-jari berubah menjadi pucat dan kebiruan ketika dingin.2

2.3.2 Epidemiologi Systemic Lupus Erithematosus (SLE)

Prevalensi SLE di dunia bervariasi, prevalensi paling tinggi berada di


Italia, Spanyol, Martinik, dan United Kingdom Afro-Carribean.Secara umum,
wanita berkulit hitam memiliki resiko lebih tinggi menderita SLE daripada wanita
Asia dan wanita berkulit putih. Di Amerika, wanita berkulit hitam 2-4 kali
beresiko dari wanita berkulit putih. Lebih dari 90% kasus SLE terjadi pada
wanita. Rasio terjadinya SLE wanita dibandingkan pria pada usiareproduktif
adalah 11:1. Hubungan antara usia dan insidensi terjadinya SLE dikaitkan dengan
produksi hormon. Berdasarkan literatur (di Amerika Utara, Eropa, dan Asia)
ditemukan insidensi terjadinya SLE pada anak-anak berkisar 0,36-2,5 per
100.000/tahun dan prevalensi dari 1,89-25,7 per 100.000/tahun. Prevalensi SLE
meningkat pada wanita usia 14-64 tahun. Perhitungan terjadinya SLE di Asia
Pasifik (Taiwan, Vietnam, Korea, China, Jepang) secara kasar mencapai 0,9–3,1
per 100.000/tahun.. 3, yanih I

Jumlah pasti penderita SLE di Indonesia belum dapat dipastikan. Pada


tahun 2010 di RSUP Cipto Manungkusumo, Jakarta, terdapat 1,4% kasus SLE
sedangkan di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 penderita SLE. Menurut
survei yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim di Malang, memperlihatkan
angka sebesar 0,5% terhadap total populasi. Yayasan Lupus Indonesia (YLI)
memberikan informasi yang dibutuhkan, selanjutnya dipakai kata Odapus (Orang
dengan Lupus) untuk mengartikan penderita Lupus agar pasien lupus tidak
diperlakukan sekadar objek (penderita) tetapi sebagai subyek.Komunitas SLE di
Medan disebut Cinta Kupu.Menurut data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
Online 2016 terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit
lupus.Penyakit ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2014
dengan ditemukannya 1.169 kasus baru.Pada tahun 2016 terjadi peningkatan
angka kematian akibat lupus yaitu 25% atau sekitar 550 jiwa sehingga perlu
mendapat perhatian khusus.3, yanih I, kemenkes p2p

2.3.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi Systemic Lupus Erithematosus


(SLE)

SLE merupakan penyakit inflamasi yang etiologinya belum diketahui


secara pasti.Manifestasi klinis perjalanan penyakit dan prognosis SLE sangat
beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduktif dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Namun, ada beberapa faktor predisposisi yang
berperan terhadap terjadinya SLE, antara lain:
a) Faktor genetik
Pada penderita SLE ditemukan peningkatan gen autoimun yang
memicu kelainan respon imun dan inflamasi. Kecenderungan
meningkatnya SLE yang terjadi pada anak kembar identik
menggambarkan adanya kemungkinan faktor genetik sebagai faktor
predisposisi. Namun, keterlibatan faktor genetik hanya 5-10%.18,19
b) Faktor imunologik
1. Antigen
Sel apoptosis pada penderita SLE melepaskan auto antigen
yang dibawa oleh sel dendrit kepada sel T. Sel T yang teraktivasi
membantu sel B memproduksi antibodi dengan melepaskan sitokin
dan kemokin yang menginduksi kerusakan jaringan.
2. Kompleks Imun dan Antibodi
Kompleks imun pasien SLE terdiri dari asam nukleat dan
antibodi yang pada umumnya terdapat pada jaringan yang
rusak.Pasien dengan peningkatan sirkulasi kompleks imun juga
menderita beberapa penyakit terutama ginjal. Kompleks imun juga
menyebabkan kerusakan jaringan di sistem saraf pusat, kulit, dan
paru-paru.18,19
c) Faktor hormonal
Penambahan hormone estrogen dan prolaktin dapat menyebabkan
peningkatan sel B matang yang autoreaktif sehingga memicu respon imun
dan kerusakan jaringan.19.20
d) Faktor lingkungan
1. Infeksi Virus dan Bakteri
Agen infeksius seperti Epstein Barr Virus (EBV),
Streptococcus, Varicella zooster dan Klebsielladilaporkan meningkat
frekuensinya pada pasien SLE. EBV telh diidentifikasi sebagai faktor
yang berperan dalam perkembangan penyakit lupus.18,19
2. Paparan sinar UV
Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan menyebabkan kekambuhan atau
meningkatkan keparahan SLE. Hal ini disebabkan karena sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran darah.18,19
3. Stres
Stres fisik maupun psikis secara berlebihan membuat daya
tahan tubuh menurun.Hal ini terjadi karena stres diduga dapat
mempengaruhi kondisi imunitas individu yang bersangkutan yakni
penurunan imunitas sehingga rentan terkena infeksi virus yang
menyebabkan kekambuhan atau memperparah SLE.18,19
4. Obat-obatan
Obat pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan lupus (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE).Jenis obat yang dapat menyebabkan
Lupus, yaitu jenis demethylating drugs.Berikut ini obat yang
dilaporkan dapat menginduksi terjadinya SLE18,19:
1. Obat yang pasti menyebabkan lupus : kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
2. Obat yang mungkin menyebabkan lupus : dilantin, penisilamin,
dan kuinidin.

2.3.4 Klasifikasi dan Gambaran Klinis Systemic Lupus Erithematosus


(SLE)

a) Klasifikasi Lupus
1. Systemic Lupus Erithematosus
SLE merupakan bentuk lupus paling umum yang dapat bersifat
ringan atau berat. Pada SLE, autoantibodi menyerang nukleus
antigen berupa DNA, RNA, dan protein pengikat asam nukleat
sehingga mengakibatkan deposisi kompleks imun menyebar ke
sistem vaskular dan memberi tanda-tanda pada organ yang tidak
spesifik.Manifestasi penyakit ini dapat berupa demam, radang
sendi, radang pembuluh darah, fenomena Raynaud, ulser mukosa
oral, dan abnormalitas pada ginjal, paru-paru, dan sistem saraf.
20,21,22
2. Lupus Eritematosus Kutaneus
Manifestasi dari lupus ini hanya terdapat pada kulit.Lupus
kutaneus dapat menyebabkan beberapa tipe ruam danlesi.Jenis
yang paling sering terjadi adalah lesi ruam berbentuk diskoid.
Sekitar 50% dari penderita lupus kutaneus memiliki sensitifitas
terhadap cahaya dan dapat berkembang menjadi SLE. Penderita
lupus yang memiliki sensitifitas terhadap cahaya dapat
menimbulkan ruam atau luka pada area yang terkena cahaya.Gejala
lain dari lupus kutaneus ini dapat berupa rambut rontok dan
perubahan pigmen kulit.20,23
3. Lupus Eritematosus Diinduksi Obat
Lupus eritematosus diinduksi obat merupakan penyakit seperti
lupus yang terjadi akibat pemberian obat-obatan tertentu. Gejala
yang ditimbulkan oleh lupus ini mirip dengan gejala yang timbul
pada lupus sistemik dan sangat jarang berefek pada organ utama.
SLE jenis ini biasanya memberi gejala ringan dan efek yang sedikit
pada ginjal dan persarafan. Lupus jenis ini akan hilang setelah
pemberian obat-obatan dihentikan.20,22
4. Lupus Neonatal
Lupus neonatal merupakan lupus yang terdapat pada bayi yang
baru lahir. Lupus ini memberikan gejala berupa makula dan plak
pada wajah dan tungkai. Lupus ini terjadi akibat autoantibodi ibu
yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang dapat
mengakibatkan congenital heart block. Lupus jenis ini akan hilang
secara spontan setelah beberapa bulan.24

b) Gambaran Klinis Lupus


Lupus dapat dideteksi bila terdapat empat atau lebih gejala berupa:
ruam menyerupai kupu-kupu pada malar; sensitif terhadap cahaya ditandai
dengan area yang terpapar cahaya akan mengalami ruam diskoid dan ulser
pada rongga mulut; peradangan sendi non-erosif; serositis (peradangan
pada jaringan pembungkus organ); penyakit ginjal ditandai dengan
proteinuria >0,5 g; masalah hematologi berupa anemia, leukopenia,
limfopenia haemolitik; masalah neurologis seperti kejang dan pskiosis;
peningkatan titer antibodi anti-nuklear; dan gangguan immunologis yang
ditandai dengan peningkatan titer dsDNA atau antibodi anti-Sm dan positif
antibodi antifosfolipid.22

2.3.5 Terapi Sistemik Systemic Lupus Erithematosus (SLE)

Perawatan SLE disesuaikan dengan manifestasi yang timbul pada


penderita serta jenis organ tubuh yang terlibat.Pada kondisi gejala ringan
hingga sedang, direkomendasikan penggunaan obat antimalaria,
glukokortikoid, obat anti-inflamasi non-steroid (misalnya, obat untuk
radang sendi dan serositis) dan juga obat imunosupresif yang digunakan
untuk mengobati penyakit yang persisten.Selain itu, pemilihan obat
imunosupresif juga bertujuan untuk mengurangi penggunaan
glukokortikoid.Pasien yang menderita SLE parah sering menggunakan
obat imunosupresif dan glukokortikoid pada waktu yang bersamaan.Pada
pasien dengan lupus nephritis kelas III dan IV direkomendasikan
penggunaan obat glukokortikoid, azathioprine, siklofosfamid, asam
mikofenol / natrium, dan mycophenolate mofetil (MMF).Untuk terapi
pemeliharaan, direkomendasikan obat glukokortikoid, azathioprine, asam
mikofenolat / natrium, dan MMF. Terdapat lima obat tambahan yang
disarankan untuk pasien dengan SLE, yaitu vitamin D, suplemen kalsium,
dan obat antiresorptif untuk pencegahan osteoporosis, obat antihipertensi,
dan statin.25

Glukokortikoid adalah pilihan obat topikal untuk lesi kulit pada


SLE. Glukokortikoid golongan IV (misalnya clobetasol) dapat digunakan
pada kulit kepala, telapak tangan, dan telapak kaki, sedangkan untuk
daerah lain lebih direkomendasikan penggunan glukokortikoid golongan II
(misalnya methylprednisolone aceponate) dan golongan III (misalnya
mometason furoate).Namun, akibat efek samping yang ditimbulkan
(misalnya atrofi, teleangiectasia, dermatitis perioral) glukokortikoid tidak
dapat diberikan untuk jangka panjang.Alternatifnya adalah penggunaan
obat topikal penghambat kalsineurin (salep tacrolimus, krim
pimecrolimus).Obat ini dapat digunakan sebagai pengobatan jangka
panjang tanpa risiko yang disebutkan di atas terkait dengan penggunaan
jangka panjang glukokortikoid.Luijten et al. melakukan tinjauan sistematis
untuk penggunaan glukokortikoid pada manifestasi SLE yang berbeda.
Penelitiannya mengungkapkan bahwa secara umum, prednison oral dosis
rendah (<7,5 mg setiap hari) biasanya diresepkan untuk manifestasi
ringan, dosis sedang (7,5-30 mg) untuk manifestasi sedang, dan 30–60 mg
atau dosis intravena (> 100 mg) untuk berat atau manifestasi yang
mengancam jiwa.26,27

2.3.6 Efek Samping Terapi Sistemik Terhadap Kondisi Umum Dan


Rongga Mulut
Glukokortikoid berperan penting dalam terapi SLE tetapi memiliki
efek samping, terutama jika diberikan dalam jangka panjang. Efek
samping terhadap sistem endokrin (amenore, azoospermia,
corticosuprarenale hipoplasia), metabolisme (DM, hiperglikemia), tulang,
dermatologis (purpura, jerawat, hirsutisme), ophthalmologi (katarak,
glaukoma reversibel, miopia) psikologis dan kejiwaan (psikosis,
kegelisahan, depresi euforia). Hal ini tergantung pada mekanisme aksi
genomik, dosis, dan lama terapi. Selain itu, efek samping yang dapat
terjadi adalah Pneumonia dengan MRSA karena obat ini memiliki efek
imunosupresif yang mengakibatkan penurunan proses kekebalan tubuh
terhadap agen infeksius. Glukokortikoid pada dosis tinggi menurunkan
kadar estrogen dan testosteron, tetapi infertilitas atau penurunan libido
belum dipastikan, tetapi juga mungkin merupakan kegagalan ovarium
prematur sekunder.28,29

Evaluasi rata-rata dosis prednisone terhadap model fraktur akibat


osteoporosis dan katarakdiperkirakan bahwa setiap peningkatan dosis
prednison 1 mg / hari meningkatkan risiko katarak sebesar 3,8% dan patah
tulang akibat osteoporosis sebesar 4,2%.Dalam sistem muskuloskeletal,
glukokortikoid dapat menyebabkan osteoporosis, osteonekrosis dan
miopati.Osteoporosis adalah salah satu efek samping paling umum dari
penggunaan kronis glukokortikoid, bahkan pada dosis rendah
glukokortikoid menghambat fungsi osteoblastik, menyebabkan penurunan
pembentukan tulang dan kehilangan BMD akibatnya terjadi peningkatan
risiko patah tulang.Kehilangan tulang dimulai pada awal pengobatan
glukokortikoid dan meningkat pada bulan ke 6 tetapi menurun setelah
terapi dihentikan.Hal ini memengaruhi kehilangan tulang terutama tulang
trabekular.Sebuah meta-analisis oleh van Staa et al. menemukan korelasi
yang kuat antara dosis kumulatif dan hilangnya BMD serta antara dosis
harian dan risiko patah tulang. Para peneliti menyimpulkan bahwa dosis
prednisone ≥ 5 mg / hari meningkatkan risiko patah tulang selama periode
pengobatan. Osteonekrosis adalah efek samping parah dari penggunaan
glukokortikoid dengan dosis tinggi.6,30

2.3.7 Efek Samping pada Tulang Alveolar

Obat immunosupresif termasuk kortikosteroid memiliki peran


penting dalam peningkatan kelangsungan hidup pasien
SLE.Glukokortikoid terus digunakan sampai saat ini dan menjadi landasan
dalam pengobatan SLE.glukokortikoid dosis tinggi digunakan untuk terapi
induksi sedangkan glukokortikoid dosis sedang dan rendah digunakan
untuk pemeliharaan remisi.31

Terapi glukokortikoid dilakukan dalam jangka panjang.Gangguan


pembentukan tulang biasanya menjadi efek yang dominan pada tulang
rangka. Hal ini akan mengarah pada pola keropos tulang yang paling
tinngi dalam beberapa bulan pertama penggunaan glukokortikoid, diikuti
oleh pola yang lebih lambat tetapi kehilangan tulang yang stabil dengan
penggunaan kronis. Kehilangan tulang trabekular mendominasi pada
awalnya tetapi seiring waktu juga mempengaruhi tulang kortikal.31

Tulang alveolar merupakan jaringan pendukung gigi yang


terbentuk pada saat pembentukan tulang intramembranous.Tulang alveolar
terdiri dari tulang alveolar proper dan prosesus alveolaris. Tulang alveolar
proper menyediakan tempat pelekatan antara ligamen periodontal dan gigi
sedangkan prosesus alveolaris menyediakan dukungan struktural terhadap
gigi.32

Prosesus alveolaris dibentuk oleh dua lapisan yaitu lapisan dalam


dan luar.Lapisan dalam dibentuk oleh tulang kanselus sedangkan lapisan
luar dibentuk oleh tulang kortikal. Selain pada tulang rangka, tulang
kortikal dan tulang kanselusjuga terdapat pada tulang alveolar sehingga
penyakit osteoporosis dapat juga terjadi pada tulang alveolar.32

Mekanisme secara tepat bagaimana glukokortikoid mempengaruhi


tulang tidak sepenuhnya dipahami, tetapi terdapat beberapa teori yang
memberikan pendapat mengenai mekanisme tersebut.Salah satunya,
glukokortikoid menurunkan penyerapan kalsium usus dan meningkatkan
kehilangan kalsium ginjal dengan menghambat reabsorpsi kalsium tubulus
ginjal. Glukokortikoid juga menekan hormon testosteron, estrogen, dan
hormon pertumbuhan seperti insulin penting untuk pertumbuhan tulang.31

2.4 Struktur Tulang Alveolar

Tulang alveolar adalah bagian dari tulang rahang yang


mengelilingi permukaan gigi maksila maupun mandibula yang membentuk
dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang ini terbentuk sewaktu gigi
erupsi untuk memberikan perlekatan bagi ligamen periodontal yang akan
terbentuk, tetapi akan hilang secara bertahap apabila gigi dicabut.
Tampilannya berupa selapis tipis tulang kortikal radiopak didaerah
sekeliling gigi.Pada gigi anterior, puncak tulang alveolar biasanya
memiliki ujung yang tajam dan mempunyai korteks yang tebal, sedangkan
untuk daerah posterior terlihat lebih mendatar. Pada keadaan normal,
tulang alveolar berada 1-2 mm kearah apikal yang dimulai dari garis
khayal yang menghubungkan Cemento Enamel Junction (CEJ) dari dua
gigi yang bersebelahan.33,34
2.5 Struktur Tulang Alveolar pada Penderita Systemic Lupus
Erithematosus (SLE)

SLE adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang


mempengaruhi jaringan ikat yang ditandai dengan periode remisi dan
eksaserbasi alternatif.SLE dapat memengaruhi banyak organ yang
menyebabkan komplikasi serius, terutama ginjal dan sistem saraf pusat.
Penyakit ini paling sering menyerang anak wanita usiareproduktif,
perkembangannya terkait dengan kecenderungan genetik dan faktor
lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet dan obat-obatan tertentu.
Manifestasi yang paling umum, yaitu radang sendi, kelelahan, dan eritema
malar.35

SLE ditandai oleh hiperaktivasi sel B dan T, peningkatan produksi


imunoglobulin G 49, dan pengendapan kompleks imun, yang dibentuk
oleh autoantibodi terhadap antigen ke dalam jaringan sehingga mengarah
pada kerusakan. Gejala umum dalam rongga mulut meliputi penampilan
dari blazing, xerostomia, kandidiasis,gingivitis dan penyakit periodontal.35

Peningkatan kehilangan tulang alveolar dikaitkan dengan


peningkatan usia, merokok, ras, dan kolonisasi subgingiva oleh P.
gingivalis atau T. forsythia. Meskipun tidak ada korelasi langsung antara
jumlah bakteri dan kerusakan periodontal, ada korelasi positif antara
peningkatan sel-sel inflamasi seperti limfosit, leukosit, dan osteoklas
dengan degradasi jaringan periodontal yang dapat disebabkan oleh
penyakit lupus.35

2.6 Pengukuran Tulang

DMT merupakan cara pengukuran kalsium (mineral tulang) di


dalam jaringan biologis dengan satuan g/cm2 dan berhubungan dengan
kekuatan tulang, kapasitas beban tulang, serta risiko patah tulang.
Penilaian DMT dapat dinyatakan dengan T-skor dengan nilai T-skor –1
sampai dengan –2,5 tergolong ke dalam ostopenia, sedangkan nilai lebih
dari –2,5 tergolong osteoporosis. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
terdapat hubungan terapi glukokortikoid jenis prednisolon dengan nilai
DMT.36

Jahari dkk. (2005), mendapatkan tingginya angka DMT rendah


pada perempuan dewasa muda usia 25-34 tahun. Nilai DMT rendah
meliputi risiko osteoporosis sebesar 4,35% dan osteopenia
37,25%.Penelitian osteoporosis di 3 provinsi (Sulawesi Utara, DI
Yogyakarta dan Jawa Barat) ditemukan tingginya prevalensi nilai DMT
rendah pada usia 25-35 tahun yang meliputi risiko osteoporosis sebesar 5,8
% dan osteopenia 30,1 %.35

Secara umum, tingkat akurasi tes DMT tergolong tinggi, yaitu


antara 89- 99%.Namun, terdapat perbedaan nilai DMT pada tiap tempat
pengukuran di tubuh.Jadi, densitas tulang pada tempat tertentu merupakan
prediktor utama fraktur pada tempat tersebut. Untuk menentukan DMT,
dilakukan pengukuran dengan menggunakan dua skor, yaitu:

1. Skor-T

Skor-T adalah skor yang memfasilitasi klasifikasi wanita kedalam


penderita atau orang yang beresiko terkena osteoporosis atau bahkan
fraktur.Selain itu, skor-T merupakan nilai DMT yang menunjukkan berapa
SD diatas atau dibawah DMT rata-rata kelompok umur dewasa muda (20-
35 tahun).

2. Skor-Z

Skor-Z merupakan nilai DMT yang menunjukkan berapa SD diatas


atau dibawah DMT rata-rata kelompok umur yang sesuai.Jadi, umur
penderita dan umur kelompok referensi harus sesuai. Skor-Z adalah skor
yang digunakan untuk memperkirakan resiko fraktur di masa yang akan
datang sehingga dapat diambil tindakan pencegahan. 36

Tabel 1.1 Kriteria Skor-T Menurut WHO


Skor-T ; Kriteria WHO untuk kejadian Osteoporosis pada Wanita

2.7 Profil BMD pada Penderita SLE melalui Radiografi Panoramik


dan CBCT

BMD merupakan cara pengukuran kalsium (mineral tulang) di


dalam jaringan biologis dengan satuan g/cm2.Pada radiografi panoramic,
porositas pada korteks basal mandibular dapat diperiksa dengan
menggunakan Mandibular Cortical Index (MCI). Menurut beberapa
penelitian terdahulu, MCI dapat digunakan untuk skrining pasien yang
memiliki risiko osteoporosis dan hasilnya akan berbanding terbalik dengan
nilai BMD.39,40

Mandibular Cortical Index (MCI) adalah indeks kualitatif


berdasarkan bentuk mandibular inferior cortex (MIC), distal dari foramen
mental di kedua sisi tulang.41 MCI dinilai dengan mengevaluasi
penampilan tulang kortikal di bawah foramen mandibula, menggunakan
klasifikasi Klemetti et al (1994) . Klasifikasi tersebut adalah sebagai
berikut: C1 = normal, dengan batas endosteal dari kortikal terlihat jelas
dan tajam dikedua sisi; C2 = sedang, dengan batas permukaan endosteal
yang berkurang pada satu atau kedua sisinya dan lacuna berbentuk
semilunar (lacunar resorpsi); dan C3 = parah, dengan lapisan kortikal
mengalami porositas yang terlihat jelas atau terdapat tanda lacuna linear
saat diamati.40

Hasil CBCT dibaca oleh radiologis untuk melihat kelainan tulang


kortikal pada mandibular berdasarkan pengukuran CTI(S), CTI(I), CTMI,
dan CTCI. Istilah-istilah tersebut dimodifikasi dari klasifikasi Ledgertons
pada gambaran panoramic.

 CTI (S) : Computed Tomography Mandibular Index (Superior)


merupakan lebar kortikal inferior terhadap jarak batas margin superior
foramen mental ke batas inferior mandibular
 CTI (I) : Computed Tomography Mandibular Index (Inferior)
merupakan lebar kortikal inferior terhadap jarak batas margin inferior
foramen mental ke batas inferior mandibular
 CTMI : Computed Tomography Mental Index merupakan lebar kortikal
inferior mandibula
 CTCI : Computed Tomography Cortical Index merupakan tipe korteks
mandibular inferior yang terdiri dari Tipe 1, Tipe 2, dan Tipe3
 Tipe 1 : margin endosteal kortikal tampak rata dan regular
 Tipe 2 : Margin endosteal menunjukkan kerusaakan 1-2 lapis
residu endosteal kortikal
 Tipe 3 : lapisan kortikal memiliki > 3 lapisan residu endosteal
dan jelas keropos.42
2.8 Kerangka Teori

Systemic Lupus Erithematosus (SLE)

Defenisi Epidemiologi Etiologi Klasifikasi Gambaran Klinis Terapi Efek

Glukokortikoid

Struktur Tulang Alveolar

Pengukuran Kehilangan dan


Bentuk Kehilangan Tulang

Radiografi Panoramik CBCT

MCI CTCI
2.9. Kerangka Konsep

Panoramik

Pasien Systemic
Analisis Tulang Kehilangan Bentuk
Lupus Erithematosus kortikal Tulang Yang Kerusakan
(SLE) Mandibula Terjadi Tulang

CBCT

Anda mungkin juga menyukai