RAHMAYATUL FILLACANO-fkik PDF
RAHMAYATUL FILLACANO-fkik PDF
SKRIPSI
Dosen Pembimbing :
OLEH :
RAHMAYATUL FILLACANO
109101000054
Skripsi denganjudul
DISUSLIN OLEH:
AI ROSIDAH
1 07 1 04000286
Perlbimbing I Pembimbing II
@,1
Ns. Yanti Rivantini.M.Kep-.Sp. Kep.An Ns. Waras Budi Utomo.S.Ke
JAKARTA
1433 W20t2
PENGESAHAN SIDANG SKRIPSI
Skripsi denganjudul
Ai Rosidah
NrM 107104000286
Jakarta,Mei2012
Penguji I
@.1
Ns. Yanti Riyantini.M.Kep.Sp. Kep.An
NIP. 196507 061989032002
NIP. 19790s
Pengrrji III
Irma Nurbaeti.M.Kep.Sp.Mat
NIP. 19700s01 1996012001
SURAT PERNYATAAN
NIM : 107104000286
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan skripsi yang
berjudul:
Apabila suatu saat terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan
menerima sangsi yang telah ditetapkan.
2009 – 2013
Environmental Health, Public Health, State Islamic University (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
2006 – 2009
High School 100,Cipinang, East Jakarta
2003 – 2006
Junior High School 202 , Pondok Bambu East Jakarta
1997 – 2003
Elementary School 10 ,Duren Sawit East Jakarta
iii
1. Practical Work at PT.CPI (Chevron Pacific Indonesia) on Departement
of Health Environmental and Safety (HES), Minas,Riau 2013.
2. Job Orientation at PT.YAMA ENGINEERING Oil and Gas Services
Company as Departement HSE, BSD 2012
3. Field Trip to PT. Chevron Gheothermal Indonesia at Garut 2012
4. Field Trip to Chevron Pacific Indonesia at Balikpapan 2012
5. Field Trip to Pertamina Balikpapan,2012
6. Work at PT.Melia Sehat Sejahtera, Jakarta (until now)
7. Field Learning Experience at Puskesmas Pondok Aren Kabupaten
Tangerang Selatan (2012).
Seminar :
1. Seminar Nasional “Menuju Indonesia Bebas Kaki gajah dan Sosialisasi
Flu Burung”, BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Srarif
Hidayatullah Jakarta, 2009
2. Seminar Profesi Gizi “Regulasi Keamanan Pangan Minuman Isotonik
di Indonesia”, Auditorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
3. Seminar Profesi K3 “Sudah Amankah Anda Berkendara?”, Auditorium
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
4. Seminar Profesi Kesehatan Lingkungan “Ecodriving”, Auditorium FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2012
Organization :
1. Corporate Social Responsibility (CSR)” Kemitraan antara PT. YAMA
Engineering dengan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012
2. Member of Environmental Health Student Association (ENVIHSA)
Indonesia, UIN 2009-2013
3. OSIS in Junior High School as Public Relation 2006
iv
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 1 Desember 2013
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
dialami oleh balita dengan gejala seperti batuk, pilek dan panas selama 2 minggu
terakhir. Berdasarkan Data Dinkes Tangsel 2012 ISPA menempati urutan pertama
dari 10 penyakit yang lain. ISPA pada balita paling banyak diderita di Puskesmas
Ciputat. ISPA bisa diakibatkan oleh faktor internal/lingkungan dalam rumah yang
meliputi faktor individu balita, lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor sosial-
demografi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 51,5% atau sebanyak 45
balita mengalami ISPA dan 43 balita 48,9% tidak mengalami ISPA. Selanjutnya
berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa terdapat tiga variabel independen
yang berhubungan terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, yaitu kepadatan
hunian dengan nilai p=0,029, ventilasi dengan nilai p=0,019 , dan pendidikan orang
tua dengan nilai p=0,019. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu status
gizi, kebiasaan merokok, kelembabab, dan pemberian Asi Ekslusif.
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergratuated Thesis, 17 December 2013
ABSTRACT
Acute Respiratory Infections (ARI) is a disease that often suffered by children
under the age of five with symptoms such as cough, cold and heat that last throughout
the fortnight. Based on Tangsel Health Agency Data year 2012, ARI was the lead
cases out of ten other diseases that found in Tangsel, and those cases mostly found in
Ciputat health-care center. ARI could be caused by many factors in the environment
that surrounded the child under five, thus environment known as a micro
environment, which include the child-individual factor, physical factor, behavior
factor, and socio demographic factor.
This research was a descriptive analytic with Cross Sectional approach. This
study sought to examine the association between domestic environment and Acute
Respiratory Infections (ARI) among children under five. Dependent variable in this
study was an ARI among children under five in Ciputat subdistrict, whereas the
independent variable were nutritional status, humidity, exclusive breast-feeding,
smooking behavior, ventilation, occupant density, and parents education level. This
research being held in September 2013 with total sample of 88 children under five
with their parents as a respondent.
The results showed that 51.5% or approximately 45 children under five suffered
an ARI, while the other 43 child (48,9%) were not. Furthermore, bivariate analysis
showed that there are 3 independent variables that were positively associated with
Acute Respiratory Infections (ARI) that were found among children under the age of
five in Ciputat subdistrict. Those variables are occupant density (p = 0,029),
ventilation (p = 0,019), and parents education level (p = 0,019). In contrast, variables
such as nutritional status, smoking behavior, humidity, and exclusive breast-feeding
were negatively associated with ARI.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta
ridho-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta salam
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke
zaman yang terang saat ini. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai syarat untuk
mendapat gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi saya
untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Kedua Orang Tua saya yang selalu memberikan doa dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini serta kepada Kakak dan Adik saya yang smemacu saya
beserta Dosen yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama proses belajar
v
3. Bapak Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah
4. Ibu Ela Laelasari SKM,M.Kes selaku dosen pembimbing utama yang telah
5. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, MKM, Phd selaku pembimbing kedua, yang telah
6. Kepala Puskesmas Kelurahan Ciputat beserta staf atas bantuan dan kesempatan
7. Kepada Bapak Lurah Ciputat yang telah memberikan bantuan serta fasilitas untuk
8. Kepada seluruh ibu balita sebagai responden dalam penelitian ini yang telah
ini serta 4 sahabat sekaligus teman seperjuangan mulai dari semester awal hingga
akhir kepada Rahmi Hidayati, Roya Selaras Cita, Srikandi Fajarini, Ardilla
10. Kepada Herisma Yanti yang membantu dan menemani saat pengambilan data di
lapangan.
vi
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan penelitian selanjutnya
yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai topik tersebut. Semoga Allah SWT
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Abstrak ................................................................................................................................. i
Abstract................................................................................................................................. ii
Daftar Bagan........................................................................................................................ xv
BAB I
PENDAHULUAN
viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ix
BAB III
3.3 Hipotesis................................................................................................................ 44
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.2.1 Populasi............................................................................................................ 45
4.2.2 Sampel.............................................................................................................. 46
BAB V
HASIL PENELITIAN
x
5.2.6 Gambaran Ventilasi....................................................................................... 56
BAB VI
PEMBAHASAN
xi
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan............................................................................................................... 85
7.2 Saran......................................................................................................................... 87
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR BAGAN
xv
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut WHO, setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200 ribu kematian
akibat pencemaran udara yang menimpa daerah perkotaan, dimana 93% kasus terjadi
berasal dari alat transportasi yang cenderung terus meningkat sejak tahun 2000
(BPS, 2003). Pada program lingkungan PBB, tahun 2002 tercatat beban pencemaran
udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta untuk cemaran debu sebesar 15.977,3
satunya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Pengertian ISPA adalah infeksi
saluran pernapasan akut yang berlangsung sampai 14 hari yang terjadi didalam organ
juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun terutama pada bayi, balita dan orang
lanjut usia (Lindawaty, 2010). ISPA merupakan salah satu penyebab utama rawat
jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan
anak (WHO, 2008). Di Indonesia proporsi kematian yang disebabkan oleh ISPA
mencakup 20%-30% dari seluruh kematian anak balita (Depkes, 2002). Survei
mortalitas yang dilakukan oleh sub Direktorat ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA
1
(Pneumonia) sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan persentase
22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2007). Prevalensi berdasarkan jenis
kelamin antara anak laki-laki dan perempuan relatif sama (Depkes RI, 2008). Hasil
prevalensi ISPA pada anak usia <1 tahun sebesar 38,7% dan pada anak usia 1-4tahun
ISPA terjadi di seluruh provinsi dan kota di Indonesia, salah satunya di Provinsi
Banten. Berdasarkan hasil laporan bulanan penyakit dari seluruh puskesmas selama
tahun 2011 tercatat jumlah kasus ISPA sebanyak 37.186 dari 131.860 jumlah balita
dan bayi (Dinkes, 2011). ISPA masuk dalam urutan 10 besar dari 30 besar penyakit
yang paling sering diderita masyarakat dengan jumlah kasus ISPA paling tinggi
berada pada wilayah kerja Pukesmas Ciputat yakni mencapai 2336 kasus ISPA dari
5.874 balita (Dinkes, 2012). Data Laporan Bulanan Puskesmas Ciputat pada tahun
2012 sesuai golongan umur, hampir sekitar 16%-25% dari masing-masing jumlah
kasus yang ada setiap bulan diderita pada umur 1-5 tahun.
tingginya pencemaran udara di luar rumah balita yang bersumber dari hasil
Particulat (TSP)). Diketahui pada penelitian oleh BPLH Tangerang Selatan pada
tanggal 5 Juni 2012 terdapat kadar TSP di Ciputat melebihi ambang batas yakni
268,64 µg/m³ dari ambang batas yang ditetapkan sebesar 230 µg/m³ (BPLHD, 2012).
2
Hasil penelitian yang dilakukan Lindawaty (2010) menyatakan bahwa nilai TSP
Namun, bila dilihat dari aktivitas balita yang lebih sering melakukan kegiatan
didalam rumah bersama orang tua/anggota keluarga, ISPA yang terjadi pada balita
bisa disebabkan oleh lingkungan dalam rumah balita yang tidak memenuhi syarat
yaitu faktor lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor individu, faktor sosial-
ekonomi (Depkes, 2004). Faktor lingkungan fisik rumah salah satunya yaitu ventilasi
memiliki ventilasi minimum 10% dari luas rumah untuk memenuhi persyaratan
rumah sehat. Pada penelitian Lindawaty (2010) ventilasi rumah yang tidak memenuhi
syarat akan menyebabkan ISPA pada balita dengan resiko 3,07 kali lebih besar
Selain itu, variabel dari faktor perilaku seperti yaitu kebiasaan merokok.
Kebiasaan merokok anggota keluarga menjadikan balita sebagai perokok pasif yang
selalu terpapar asap rokok. Menurut penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa
perokok pasiflah yang mengalami resiko kesakitan lebih besar dari perokok aktif.
meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita
3
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Kelurahan Ciputat masih
banyak ibu yang ketika balita mengalami gejala ISPA tidak langsung membawa ke
Puskesmas dengan alasan bahwa gejala tersebut sering dialami anak dan akan hilang
diselesaikan oleh orang tua balita. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suptiaptini
(2007) menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan
Berdasarkan uraian diatas, penyebab terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari
lingkungan luar rumah dengan melihat kadar TSP dimasing-masing lokasi penelitian
yang dinginkan. Namun harus diperhatikan apakah ada penyebab dari lingkungan
dalam rumah yang meliputi faktor lingkungan fisik rumah, sosial, faktor balita, dan
faktor perilaku dalam lingkup kecil yang paling dekat dengan balita setiap hari yang
berpotensi menyebabkan balita terkena ISPA. Hal ini supaya program pencegahan
yang ingin dilakukan diawali dari lingkup kecil menuju pencegahan yang bersifat
lebih luas terhadap penyebab munculnya ISPA. Oleh karena itu, dalam studi ini
peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara pengaruh lingkungan dalam
rumah (faktor lingkungan fisik rumah, sosial, faktor balita, faktor perilaku) terhadap
4
1.2 Rumusan Masalah
tahun 2011 tercatat jumlah kasus ISPA sebanyak 37.186 dari 131.860 jumlah balita
dan bayi (Dinkes, 2011). ISPA masuk dalam urutan 10 besar dari 30 besar penyakit
yang paling sering diderita masyarakat dengan jumlah kasus ISPA paling tinggi
berada pada wilayah kerja Pukesmas Ciputat yakni mencapai 2336 kasus ISPA dari
5.874 balita (Dinkes, 2012). Tingginya angka kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat
mungkin bisa disebabkan oleh faktor lingkungan luar rumah seperti tingginya kadar
debu (Total Suspended Particulat (TSP)) akibat polusi udara. Namun mungkin bisa
disebabkan oleh faktor lingkungan dalam rumah dimana balita lebih banyak
mempengaruhi ISPA yaitu faktor lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor
faktor lingkungan dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di Kelurahan
Ciputat yang meliputi faktor perilaku, faktor lingkungan dalam rumah, faktor
tahun 2013.
5
2. Bagaimana gambaran faktor individu balita (status gizi, dan Asi Ekslusif) di
6. Apakah ada hubungan faktor individu balita (asi ekslusif, status gizi) terhadap
ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
7. Apakah ada hubungan faktor perilaku orang tua ( kebiasaan merokok) terhadap
ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
8. Apakah ada hubungan faktor sosial orang tua (pendidikan orang tua) terhadap
ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
6
2. Mengetahui gambaran faktor lingkungan fisik rumah balita (ventilasi,
5. Mengetahui gambaran faktor sosial orang tua balita (pendidikan orang tua) di
dan kepadatan hunian) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota
tahun 2013.
7
1.5 Manfaat Peneliti
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian
yang lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau
diwilayah lain.
dalam rumah sebagai faktor resiko gangguan saluran pernafasan pada anak
8
yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat,
Selatan tahun 2013 pada bulan September 2013 yang bertujuan untuk mengetahui
hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat,
variabel dependen yaitu ISPA dan variabel independen yaitu faktor individu (status
gizi dan pemberian ASI eksklusif), faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi,
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
(ARI)(Depkes RI, 2000). Menurut Depkes RI, 2007 ISPA adalah infeksi saluran
berlangsung sampai 14 hari dengan keluhan batuk disertai pilek, sesak nafas dengan
atau tanpa demam. ISPA dibedakan menjadi dua yaitu saluran pernafasan bagian atas
seperti rhinitis,fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti
2. Saluran Pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
11
3. Infeksi Akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
ISPA menderita batuk-pilek yang tidak menunjukan gejala frekuensi sesak nafas dan
tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Depkes
RI, 2000). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena
sistem pertahan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk pilek pada balita
di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti seorang balita rata-
rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Geturdis,
2010). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti
batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic, namun demikian
anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotic
Etiologi ISPA terdiri atas bakteri, virus dan ricketsia. Penyebab ISPA dapat
berupa bakteri maupun virus. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus
12
ISPA disebabkan oleh virus (Depkes R.I, 2008b). Keanekargaman penyebab ISPA
tergantung dari umur, kondisi tubuh dan kondisi lingkungan. Di Amerika Serikat
anak yang berumur 1 bulan hingga 6 tahun penyebab terbesarya adalah Streptococus
hingga 2 tahun kejadian ISPA antara 60-70% disebabkan oleh bakteri (Wattimena,
penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan
lingkungan baik polusi di dalam rumah berupa asap maupun debu dan sebagainya
atau tanpa tarikan dada bagian bawah ke dalam yang kuat. Disamping itu
ada beberapa tanda klinis yang dapat dikelompokan sebagai tanda bahaya
13
b. Bukan pneumonia, bila batuk pilek tanpa disertai nafas cepat
a. Pneumonia berat, jika batuk disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas.
b. Pneumonia biasa, batuk dengan tanda-tanda tidak ada tarikan dinding dada
c. Bukan Pneumonia, batuk pilek biasa dan tidak ditemukan tarikan dinding
ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC, droplet dan melalui
tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan faringitis terjadi melalui
droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan limfoid
polimorfonuklear. Pada sinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan
kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan
14
virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya
berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus
menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.
berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di
daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan
cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan
terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret
menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi,
Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang pada
yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan
kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk
penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap
15
Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar
debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk.
pernafasan :
1. Batuk
Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan
timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks
saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam bentuk
2. Dahak
Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel
goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan
pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang
berdegenerasi.
3. Sesak nafas
Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran
16
menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak nafas
4. Bunyi mengi
Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA
5. Rumah harus mendapatkan udara bersih dan sinar matahari yang cukup serta
Balita adalah anak berusia dibawah umur lima tahun yang sedang mengalami
17
dipengaruhi oleh kesehatan yang baik, status gizi yang baik, lingkungan yang sehat,
serta keluarga (termasuk pengasuh) yang baik dalam merawat balita (Depkes RI,
2008).
Balita sering terpajan oleh beberapa jenis polutan dan virus dengan mudah
terutama polutan yang berasal dari dalam rumah karena sekitar 80% balita
menghabiskan waktu didalam rumah. Selain itu, ditambah lagi dengan daya tahan
tubuh yang berbeda setiap balita menyebabkan balita lebih rentan terhadap penyakit
beberapa area yang berbeda yakni didalam rumah, lingkungan tetangga, dan
komunitas dilingkungan yang lebih luas . Terdapat dua faktor kesehatan pada balita
(WHO, 2007) yaitu perumahan dan tempat tinggal (seluruh aspek ketersediaan dan
kualitas perumahan, kepadatan hunian, kondisi rumah yang berbahaya dan tidak
aman, kelembapan dan ventilasi yang buruk), dan polusi udara dalam ruangan(
misalnya asap dari pemanasan dan proses memasak, perabotan yang mengeluarkan
asap, asap rokok di lingkungan sekitar dan zat polutan dari luar ruangan yang masuk
ke dalam ruangan).
Konsep hidup sehat menurut H.L Blum (Notoadmojo, 2003) dapat digunakan
18
secara holistik mulai dari kondisi fisik hingga sosial dalam masyarakat. Dalam teori
ekonomi, politik, budaya maupun fisik, kimia,, biologi), faktor pelayanan kesehatan
(jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor
tersebut saling saling berinteraksi dan yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan
manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar di
tanggulangi dan disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena
menguraikan bahwa kejadian ISPA disebabkan oleh agen biologi yang dapat berupa
virus maupun bakteri. Bakteri yang dapat mengakibatkan ISPA adalah Streptoccous
yang dapat mengakibatkan ISPA antara lain Rhinovirus, RSVs, Parainfluenza, dan
Menurut Depkes (2002) kejadian ISPA dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
resiko antara lain pendidikan dan pengetahuan ibu, sosial ekonomi, pelayan kesehatan
19
BBLR, status gizi buruk, status ASI eksklusif, vitamin A, pemberian makan dini,
mikroorganisme (agent), daya tahan tubuh, kepadatan tempat tinggal dan kondisi fisik
rumah. Kondisi fisik rumah yang dapat menyebabkan ISPA antara lain jenis atap,
jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian, penggunaan anti nyamuk bakar, jenis
bahan bakar memasak yang digunakan dan perokok di dalam rumah. Sedangkan hasil
kejadian ISPA yaitu umur, status gizi, pendidikan ibu, bahan bakar memasak,
perokok dalam rumah, jenis lantai dan polusi udara (debu). Faktor lainya yang dapat
tinggal untuk berlindung dari bahaya lingkungan luar seperti perubahan iklim dan
makhluk hidup lainnya (Depkes RI, 2000). Rumah yang baik bagi penghuni atau
sebuah keluarga dapat dilihat dengan beberapa kriteria seperti (Safitri, 2010) :
a. Kepadatan Hunian
sebagai tempat tinggal. Namun terkadang dalam satu rumah yang seharusnya hanya
20
bisa menampung beberapa orang saja, dipaksakan untuk menampung melebihi
kapasitas rumah. Hal ini mengakibatkan terjadinya kepadatan dalam rumah yang
rumah dikatakan padat penghuni apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan
dengan jumlah penghuni lebih kecil dari 10m2/org, sedangkan ukuran untuk kamar
penyakit (misalnya penyakit pernafasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lain minimum 90cm dan sebaiknya kamar tidur tidak dihuni lebih dari 2
antara kepadatan hunian dengan terjadinya ISPA seperti penelitian Irianto (2006)
yaitu besarnya anak terkena ISPA adalah 2,27 kali lipat dari rumah yang padat
b. Ventilasi
Ventilasi dalam rumah berfungsi sebagai sirkulasi udara atau pertukaran udara
dalam rumah karena udara yang segar dalam ruangan sangat dibutuhkan manusia.
didalam rumah tidak bisa tertukar dan mengendap sehingga ventilasi diharuskan
21
memenuhi syarat Menkes RI Nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 yakni luas
Rumah yang mempunyai ventilasi yang tidak berfungsi dengan baik akan
adanya bahan organik beracun yang mengendap dalam rumah. Menurut hasil
terhadap kejadian ISPA pada balita dan resiko balita mengalami ISPA 3,07 kali lebih
besar pada ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan
ventilasi yang memenuhi syarat. Oleh karena itu, memperoleh udara yang segar
1. Ventilasi Alamiah
pintu ataupun lubang angin yang sengaja dibuat untuk masuknya udara kedalam
rumah. Ventilasi yang baik dalam suatu ruangan mempunyai persyaratan yaitu :
22
2. Ventilasi Buatan
Ventilasi buatan yaitu sebuah alat yang digunakan didalam rumah untuk
membersihkan udara yang bersifat portable seperti AC, exhauster, kipas angin, air
purifing.
c. Pencahayaan
dalam rumah misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu,
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk
cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang
terdapat di dalam ruangan rumah. Menurut WHO kebutuhan standar minimun cahaya
alami yang memenuhi syarat kesehatan untuk kamar keluarga dan kamar tidur yaitu
60-120 lux.
d. Kelembapan
uap yang terkandung di udara bervariasi tergantung cuaca dan suhu (Gertrudis, 2010).
antara 65% - 95%. Bila kelembaban udara ruang kerja > 95% perlu menggunakan alat
dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja < 65% perlu menggunakan
23
rumah adalah berkisar antara 40 - 60% (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita. kelembaban dalam rumah
dapat dipengaruhi oleh konstruksi rumah yang tidak baik, ventilasi yang kurang, serta
kelembapan rumah balita terhadap kejadian ISPA didapatkan bahwa rumah yang
dengan kelembaban tidak memenuhi syarat beresiko 2,98 kali lebih besar bagi balita
terkena ISPA dibanding dengan rumah balita yang memenuhi syarat. Kelembaban
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan rumah yang tidak memenuhi
syarat atau oleh cuaca. Pada musim hujan kelembaban akan meningkat namun bila
kondisi rumah baik seperti cahaya matahari dapat masuk, tidak terdapat genangan air,
(Lindawaty, 2010)
e. Suhu
yang tinggi menyebabkan tubuh akan kehilangan garam sehingga akan terjadi kejang
atau kram dan terjadinya perubahan metabolisme dan sirkulasi darah. Suhu dapat
Suhu udara dalam rumah dapat berubah jika terjadi beberapa faktor seperti
24
bahwa rumah dengan suhu tidak memenuhi syarat beresiko 36,49 kali menderita
f. Letak dapur
memasak dan timbul panas, asap, atau debu sehingga dapur mempengaruhi kualitas
udara dalam rumah. Penataan ruangan dalam rumah harus memperhatikan letak posisi
dapur karena jika letak dapur berdekatan dengan ruang istirahat anak/ kamar anak
akan mempengaruhi kesehatan anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Citra (2012)
yang menyatakaan bahwa balita yang tinggal didalam rumah dengan letak dapur
dibandingkan dengan balita dengan letak dapur terpisah. dan diperburuk dengan
ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan terjadinya gangguan saluran pernafasan
g. Jenis Lantai
Lantai merupakan media yang sangat baik bagi perkembang biakan bakteri.
Lantai yang baik adalah lantai yang dalam kondisi kering dan tidak lembab dan harus
kedap air sehingga mudah dibersihkan. Jadi lantai seharusnya sudah diplester bahkan
lebih baik lagi jika sudah di beri ubin/keramik. Menurut Ditjen PPM dan PL, 2002
rumah yang mempunyai lantai yang terbuat dari tanah cenderung menimbulkan
lembab, dan pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan
25
debu yang berbahaya bagi penghuni rumah. Rumah sehat memiliki lantai yang
terbuat dari marmer, ubin, keramik, sudah diplester semen (Keputusan Menteri
yang tidak sehat mempunyai lantai yang berjenis lainya. Hasil uji statistik pada
penelitian Lindawaty, 2010 menunjukkan bahwa jenis lantai yang tidak memenuhi
syarat beresiko 2,15 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan balita
h. Jenis Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung rumah yang terbuat dari berbagai bahan
seperti bambu, triplek, batu bata, dan dari berbagai bahan tersebut yang paling baik
yaitu yang terbuat dari batu bata atau tembok. Dinding yang terbuat dari tembok
bersifat permanen, tidak mudah terbakar dan kedap air. Rumah yang menggunakan
dinding berlapis kayu, bambu akan menyebabkan udara masuk lebih mudah yang
rumah bila terhirup terus-menerus terutama balita. Balita yang jenis dindingnya masih
terbuat dari bahan yang tidak permanen seperti triplek, bambu, batu bata beresiko
1,51 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA ( Lindawaty, 2010).
kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima segala informasi
26
dengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga kesehatan anak serta gizi
yang baik untuk anak. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan prilaku
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Citra (2011) dan Suptiaptini (2007)
pengetahuan ibu terhadap ISPA pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah (<SMA)
cenderung tidak mengetahui gejala-gejala ISPA yang dialami oleh balita dan
menganggap hal tersebut tidak terlalu berbahaya. Namun, menurut Fitri (2004) tidak
ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita. Baik
pendidikan tinggi maupun rendah hampir sama dalam menanggapi dan merespons
serta mengambil tindakan ketika salah satu keluarga mengalami ISPA atau penyakit
lain.
pemerikasaan balita ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Orang tua yang
biaya yang mahal. Selain itu asupan gizi yang diberikan pada balita tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi yang seharusnya didapatkan oleh balita. Hal ini akan
berpengaruh terhadap gizi balita yang cenderung menurun dan imnitas yang tidakk
27
terbentuk menyebabkan balita mudah terkena penyakit salah satunya penyakit saluran
a. Umur Balita
Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak
mudah sakit. Umur bayi kurang dari 1 tahun lebih cenderung mudah terkena ISPA
dibanding dengan balita umur lebih dari 1 tahun (DepKes, 2000). Untuk keperluan
kedewasaan, interval lima tahun dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo,
2003).
energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi
badan menurut tinggi badan (weight-for-height), lingkar lengan atas kiri (left mid-
28
tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein-Energy Malnutrition (PEM)
yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut umur. Nilai rendah angka
indikator berat badan menurut umur mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap
gangguann gizi jangka panjang dan jangka pendek. Defisit pertumbuhan linier yang
diindikasikan ukuran antropometri tinggi badan menurut umur baru akan terjelma
manakala defisiensi telah berlangsung lama sehingga tidak termanifestasi semasa bayi
(DepKes, 2002). Balita yang mengalami kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan tubuh dan respons imunologis terhadap penyakit dan keracunan
(Soemirat, 2000). Pada hasil penelitian yang dilakukan Gertrudis, 2010 diperoleh
bahwa balita beresiko 2,5 kali lebih besar mengalami ISPA dengan status gizi kurang
karena daya tahan tubuh akan berbagai virus lemah. Pada keadaan balita mengalami
gizi kurang, balita cenderung mengalami ISPA berat dan seranganya lebih lama (
DepKes RI, 2006). Sebaliknya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhedir
(2002), dan Irianto (2004) mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status
gizi balita dengan kejadian ISPA. Menurut Almatsler (2003), timbulnya gizi kurang
tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit.
Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya
dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup
makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang
penyakit.
29
c. Imunisasi Balita
sejak lahir hingga umur 5 tahun (Depkes, 2005). Terdapat 2 imunisasi, yaitu
imunisasi aktif adalah dimana tubuh anak sendiri yang membuat zat anti yanhg akan
bertahan selama bertahun-tahun. Dan imunisasi pasif adalah tubuh anak tidak
membuat sendiri zat anti, tetapi didapatkan dari luar tubuh dengan cara penyuntikan
zat anti dari ibunya semasa dalam kandungan (Mudehir, 2002). Pemberian imunisasi
bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat beberapa penyakit
yakni TBC, Difteri tetanus, Batuk rejan, Poliomelitis, Tifus, Campak, Hepatitis B dan
demam kuning (Nur, 2004). Menurut hasil penelitian Wattiimena (2004) anak yang
imunisasi belum lengkap mempunyai resiko 1,18 kali lebih besar untuk terkena ISPA
dibandingkan dengan anak yang telah di imunisasi campak atau pernah menderita
campak. Dengan imunisasi campak dan imunisasi pertusis (DPT) yang efektif sekitar
11% dan 6% kematian penumonia balita dapat dicegah. Infeksi virus campak pada
dan pneumonia. Oleh karena itu, berikut beberapa vaksin yang harus dilengkapi bagi
30
a) Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan
dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin
konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada
potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan
dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat
suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20C
b) Vaksinasi DPT
pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah
dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis
penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang
berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang
timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal
tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi,
hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).
31
c) Vaksinasi Polio
Untuk kekebalan terhadap poliomyelitis diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang
mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari suku Sabin. Vaksin yang diberikan
melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu
d) Vaksinasi Campak
Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan dan dalam
bentuk bubuk kering atau freeseried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang
telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan
dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Dinegara berkembang imunisasi campak
mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi
lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu
dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian.
Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak berumur 9 bulan (Depkes
RI, 2005).
melihat hubungan faktor individu (status gizi dan status imunisasi) menunjukkan
32
adanya hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada Balita
dimana balita dengan status gizi kurang mempunyai resiko 2,5 kali untuk mengalami
kejadian ISPA dibanding dengan status gizi baik. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Mudehir (2002), Wattimena (2002), Kristina (2011) bahwa ada
hubungan status gizi terhadap ISPA pada balita. Balita yang mempunyai status gizi
yang kurang mudah terserang oleh bakteri, virus yang masuk melalui saluran
pernafasan dan menyebabkan gangguan pernafasan pada balita salah satunya ISPA.
d. Pemberian ASI
ASI merupakan makanan utama bagi bayi yang bersifat alamiah. ASI
mengandung bebagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan
Manfaat yang dapat diberikan dari pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu dapat
melindungi bayi dari penyakit diare, infeksi pernafasan, kegemukan, infeksi kandung
infeksi dan mengandung rangkaian asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih
dan aman bagi bayi. Pada penelitian Rahayu, 2011 terdapat hubungan antara bayi
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil studi
yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian ISPA
33
yaitu pada penelitian Sinaga (2012) yang mengatakan bahwa ASI memiliki daya
Pencemaran udara dalam rumah terjadi akibat adanya polutan dalam rumah
rumah (DepKes RI, 2011). Pencemaran udara dalam rumah terjadi akibat prilaku
penghuni rumah yang tidak sehat. Faktor perilaku dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita lebih efektif dilakukan oleh
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu atau keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
Keluarga sangat mempengaruhi munculnya penyakit didalam rumah. Bila salah satu
Peran keluarga sangat penting dalam menangani ISPA karena penyakit ISPA
masyarakat. Hal ini menjadi fokus perhatian keluarga karena penyakit ISPA sangat
sering diderita oleh balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga uang sebagian
besar dekat dengan balita harus mengetahui gejala-gejala balita terkena ISPA. Dalam
kategori yaitu perawatan oleh ibu balita, tindakan yang segera dan pengamatan
kesehatan. Sebagian besar keluarga tidak mengetahui dari kebiasaan yang sering
34
dilakukan dapat menimbulkan pencemaran udara dalam rumah dan berpengaruh
a. Kebiasaan merokok
istirahat seperti menonton tv, membaca koran dan sebagainya. Asap rokok yang
dikeluarkan adalah gas beracun dari hasil pembakaran produk tembakau yang biasa
kesehatan (DepKes RI, 2011). Asap rokok yang di keluarkan oleh seorang perokok
mengandung bahan toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta
menambah resiko kesakitan dari bahan toksik tersebut (Kusnoputranto, 2000). Dari
mengalami resiko lebih besar daripada perokok aktif. Anak-anak yang keluarganya
dengan anak-anak yang bukan keluarga perokok. Pada hasil uji statistik penelitian
Lindawaty (2010) menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penguni yang
merokok beresiko 2,04 kali lebih besar terkena ISPA dibanding dengan balita yang
tidak terdapat penghuni rumah yang merokok. Oleh karena itu untuk melindungi
bayi/anak-anak dari asap rokok perlu diusahakan untuk tidak merokok didalam
rumah, atau menyediakan tempat khusus bagi keluarga yang merokok supaya asap
35
Asap rokok dari seseorang yang merokok dalam rumah, tidak saja merupakan
bahan pencemaran dalam ruang yang serius melainkan juga akan menyebabkan
kesakitan dari toksik yang lain dan anak-anak yang terpapar asap rokok dapat
Pernapaasan Akut dan gangguan paru-paru pada waktu dewasa nanti ( Avrianto,
ISPA pada balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya
tidak merokok.
mulai dari penggunaan minyak tanah, gas, atau listrik. Saat ini penggunaan kayu
masih menggunakan bahan bakar selain gas cenderung takut dikarenakan ledakan gas
yang sering terjadi sehingga memilih bahan bakar yang aman seperti minyak tanah
dan kayu bakar bagi pedesaan. Namun akibat penggunaan bahan bakar tersebut, dapat
Keadaan tersebut diperburuk dengan tidak adanya ventilasi dalam rumah sehingga
asap sisa pembakaran atau debu yang dihasilkan tidak keluar melainkan mengendap
didalam rumah (DepkKes RI, 2011). Partikel debu yang dihasilkan dari pembakaran
36
cadmium dimana jika terhirup atau masuk langsung ke pernafasan dapat menempel
diparu-paru. Paparan partikel dengan kadar yang tinggi akan menimbulkan edema
bahan bakar dimungkinkan berperan walaupun kecil. Rumah dengan bahan bakar
minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar balita terkena ISPA
cenderung menggunakan obat nyamuk yang terbuat dari bahan insektisida yang
disemprot dan obat nyamuk bakar. Semakin maraknya merk-merk obat penghilang
dengan berbagai merk obat nyamuk membuat konsumsi akan obat nyamuk hampir
disetiap rumah warga. Walaupun tujuan dari obat nyamuk tersebut baik, namun
terdapat dampak yang harus diperhatikan oleh penguni rumah. Obat nyamuk
mengandung bahan-bahan kimia yang sulit terurai dalam waktu cepat. Jika obat
nyamuk itu mengendap setiap hari di bantal-atau tempat tidur manusia dan terhirup
akan berdampak pada gangguan kesehatan baik bersifat kronik ataupun akut.
37
Hasil Penelitian Safwan (2003) yang menyatakan bahwa balita yang tingga
didalam rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau kayu berpeluang
menderita ISPA sebanyak 2,235 kali lebih tinggi dibanding dengan balita yang
tinggal didalam rumah yang menggunakan bahan bakar gas. Selain itu,menurut
Wattimena (2004) mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dalam
rumah terhadap ISPA pada balita. Rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan
merokok dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita sebsar
7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok
didalam rumah.
38
2.4 Kerangka Teori
Faktor Perilaku :
a. Kebiasaan merokok
Faktor Lingkungan
b. Bahan bakar masak
a. Rumah :
c. Penggunaan obat nyamuk.
Kepadatan Hunian
Ventilasi udara
Pencahayaan rumah
Kelembapan
INFEKSI SALURAN
Suhu dalam ruang PERNAFASAN AKUT(ISPA)
Letak dapur
Lantai rumah
Dinding rumah
Faktor Individu Balita :
b. Sosial-Ekonomi
a. Umur Balita
a. Pendidikan orang tua
b. Status Gizi Balita
b. Pekerjaan orang tua
c. Imunisasi Balita
d. Pemberian ASI
Bagan 2.1
Kerangka Teori
39
BAB III
Berdasarkan kerangka teori yang ada, dalam studi ini peneliti ingin melihat hubungan
faktor pelayanan kesehatan/individu balita, lingkungan fisik rumah, faktor perilaku dan faktor
sosial terhadap ISPA pada balita. Berdasarkan teori H.L Blum derajat kesehatan sesorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni pelayanan kesehatan genetik, lingkungan dan perilaku.
Variabel yang diambil dari keempat faktor tersebut adalah variabel yang paling berhubungan
atau signifikan yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yakni status gizi, pemberian
ASI ekslusif menurut Mudehir (2002); kepadatan hunian, kelembapan ,ventilasi menurut Cahya
(2011) ; kebiasaan merokok berhubungan dengan polusi udara dalam rumah menurut Avrianto
(2006); kemudian pendidikan orang tua terkait pengetahuan yang didapat megenai penyakit
ISPA dan cara penanggualnganya penyakit pada anak. Oleh karena itu, peneliti mengambil
menunjukkan bahwa ada hubungan masing-masing variabel dengan kejadian ISPA pada balita.
40
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Faktor individu balita :
Status gizi
Pemberian ASI
eksklusif
Rumah :
Kepadatan Hunian
Rumah
Ventilasi rumah
Kelembaban udara
ISPA
Faktor Perilaku :
Kebiasaan merokok
Faktor Sosial:
41
3.2 DEFINISI OPERASIONAL
Variabel Dependen
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori
1. ISPA pada Balita yang mengalami gangguan wawancara kuisioner Ordinal 0= Mengalami ISPA
Balita penyakit infeks saluran pernafasan 1=Tidak Mengalami ISPA
akut atas pada anak berusia 1-5 tahun
(Depkes RI, 2007)
Variabel Independen
1. Kelembaban Persentase kandungan uap air udara Pengu- Hygrometer Ordinal 0=Tidak memenuhi syarat (TMS), jika
dalam ruangan tempat balita tidur kuran kelembaban dalam ruang kelas <40%atau
(Keputusan Menteri Kesehatan RI >60% (DepKes RI, 2011)
Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999) 1=Memenuhi syarat (MS), jika
kelembaban dalam ruang kelas 40-60%
(Permenkes RI
No.1077/MENKES/PER/V/2011)
2. Kepadatan Perbandingan luas lantai rumah(m2 ) Pengu- Kuisioner dan Ordinal 0=Tidak memenuhi syarat(TMS)
hunian rumah dengan jumlah orang penghuni kuran dan rollmeter (10m2/orang)
rumah. (Kepmenkes,1999) wawancara 1=Memenuhi syarat(MS) (.>10m2 /orang)
42
3. Ventilasi Perbandingan luas lantai kamar Observasi rollmeter Ordinal 0=Tidak memenuhi syarat (TMS), jika
dengan luas jendela dan lubang angin dan luas ventilasi<10% dari luas lantai
kamar balita dan lubang angin yang pengukuran 1=Memenuhi syarat (MS), jika luas
dapat menghubungkan udara dalam ventilasi≥10% dari luas lantai
rumah dengan udara luar di ruangan
tidur balita .(Kepmenkes,1999).
4 Status Gizi Keadaan gizi anak balita saat Wawancar, Timbangan Ordinal 0= Gizi Kurang(-3,0 SD s/d -2SD)
dilakukan penelitian diukur pengukuran dan daftar 1= Gizi Baik (-2,0 SD s/d +3SD)
berdasarkanBB/U. pertanyaan
(1995/MENKES/SK/XII/2010)
5. Kebiasaan Ada atau tidaknya anggota keluarga Wawancara Daftar Ordinal O= Ada
merokok yang merokok didalam rumah. pertanyaan 1= Tidak
6. Pendidikan Pendidikan formal yang sudah Wawancara Daftar Ordinal 0=Rendah ( Tidak Sekolah, Tamat SD,
orang tua diselesaikan orang tua. pertanyaan SMP, SMA)
1=Tinggi ( Tamat D3, Sarjana)
7. Pemberian Asi Pemberian Asi yang dilakukan oleh Wawancara Daftar Ordinal 0= Tidak ( kurang dari 6 bulan)
Ekslusif ibu selama kurun waktu 6 bulan pertanyaan 1= Ya (6 bulan atau lebih)
tanpa disertai makanan tambahan.
43
3.3 HIPOTESIS
1. Ada hubungan antara ventilasi terhadap ISPA di Kelurahan Ciputat, Kota
Tangerang Selatan tahun 2013.
2. Ada hubungan antara kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013..
3. Ada hubungan antara kelembaban terhadap ISPA pada balita di Kelurahan
Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
4. Ada hubungan status gizi terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat
Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
5. Ada hubungan pemberian ASI ekslusif terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahunn 2013.
6. Ada hubungan kebiasaan merokok terhadap ISPA pada balita di Kelurahan
Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
7. Ada hubungan pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita di Kelurahan
Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
44
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan yaitu survei analitik atau penelitian yang
dengan efek atau akibat dari adanya faktor resiko. Faktor resiko adalah faktor-faktor
yang mengakibatkan terjadinya efek (pengaruh). Dalam penelitian ini, faktor resiko
yang disebut sebagai variabel independen meliputi kebiasaan merokok, status gizi,
pemberian asi ekslusif dan status imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi rumah,
kelembapan dan pendidikan orang tua. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross
resiko dan efek dengan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat/
4.2.1 Populasi
Populasi pada studi ini adalah semua balita dengan umur 1-5 tahun yang
berada di kelurahan Ciputat periode bulan Agustus tahun 2013 dengan responden ibu
balita.
45
4.2.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak balita yang berumur 1-5 tahun yang
dikelurahan Ciputat. Perhitungan jumlah sampel balita yang akan diambil diperoleh
dengan rumus besar sampel menurut Lemeshow (1997) dengan menggunakan rumus
Keterangan :
P : Rata-rata proporsi
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5%=1,96
46
(Fidiani,2006) 5 90 16
10 12
1 24
Status Gizi 0,821 0,435 5 80 18
P1: Gizi Kurang 10 13
P2: Gizi Baik 1 30
(Wattimena,2004) 5 90 38
10 19
1 25
Ventilasi 0,714 0,353 5 80 23
P1: Tidak Memenuhi Syarat 10 17
P2:Memenuhi Syarat 1 37
(Wattimena,2004) 5 90 31
10 24
1 48
Kebiasaan Merokok 0,602 0,341 5 80 44
P1: Ada 10 32
P2:Tidak Ada 1 71
(Irianto,2006) 5 90 60
10 46
1 91
Berdasarkan hasil perhitungan sampel pada tabel diatas, jumlah sampel yang
akan diambil adalah yang paling besar yakni 44 orang (P1: kebiasaan merokok
didalam rumah balita yang mengalami ISPA dan P2: Proporsi kebiasaan tidak
merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA) pada α : 5% dan β : 80%).
menggunakan perbandingan dari hasil Lindawaty, 2003 yaitu hasil dari responden
44 =
N=
N = 88 balita
47
Jadi total keseluruhan sampel yang akan diambil yaitu 88 balita di seluruh
kelurahan Ciputat.
di Kelurahan Ciputat.
Agustus 2013.
1. Data primer adalah data yang dikumpulkan peneliti yang diperoleh secara
wawancara.
2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari instansi (pihak tertentu) melalui
data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Data Puskesmas Ciputat, Data
48
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
bulan Agustus-September 2013 mulai dari tahap pengumpulan sampai laporan hasil.
yakni:
Semua data yang telah terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan
(0/1).
49
3. Setelah semua hasil dimasukan, kemudian lakukan analisis univariat untuk
persatu variabel yang akan dilihat kemudian akan muncul di output spss.
1. Analisis Univariat
menggunakan data kategorik maka hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan
faktor lingkungan fisik rumah, faktor individu balita, faktor prilaku, faktor sosial
sebagai variabel independen terhadap ISPA pada balita. Uji yang digunakan yaitu
Apabila nilai p<α maka hasilnya bermakna secara statistik atau terdapat
hubungan antara variabel dependen dengan independen ,sedangkan bila nilai p> α
50
maka hasilnya tidak bermakna atau tidak terdapat hubungan antara variabel
51
BAB V
HASIL PENELITIAN
Ciputat Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah Kelurahan Ciputat ±183,34 Ha/km2
yakni laki-laki sebanyak 9.780 jiwa dan perempuan sebanyak 9.100 jiwa dengan
jumlah total yakni 18.880 jiwa. Jumlah RW dikelurahan Ciputat sebanyak 15RW,
Kelurahan Ciputat bekerja sebagai karyawan swasta sebanyak 20% , dan buruh
sebanyak 16,6%.
52
5.2 Hasil Analisis Univariat
variabel dependen dan independen pada 88 balita yang berasal dari hasil statistik data
Tabel 5.1
Distribusi ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013
Balita Frekuensi Presentase
Jumlah 88 100%
Pada tabel 5.1 didapat presentase balita yang mengalami ISPA sebesar 45 balita
53
Tabel 5.2
Distribusi Status Gizi di Kelurahan Ciputat tahun 2013
Status Gizi Frekuensi Presentase
Jumlah 88 100%
Pada tabel 5.2 didapatkan bahwa sebanyak 14 balita (15,9%) mengalami gizi
Tabel 5.3
Distribusi Status Imunisasi di Kelurahan Ciputat tahun 2013
Status Imunisasi Frekuensi Presentase
Tidak Lengkap 7 8%
Lengkap 81 92%
Jumlah 88 100%
imunisasi dasar lengkap yakni BCG, DPT, Polio, dan campak dan 7 balita (8%)
54
5.2.4 Gambaran Asi Eksklusif
Tabel 5.4
Distribusi Pemberian Asi Eksklusif pada Balita di Kelurahan Ciputat
tahun 2013
Asi Ekslusif Frekuensi Presentase
Tidak 69 78,4%
Ya 19 21,6%
Jumlah 88 100%
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan bahwa dari 88 balita, 69 balita (78,4%) tidak
Tabel 5.5
Distribusi Kelembaban kamar tidur Balita di Kelurahan Ciputat
tahun 2013
Kelembaban Frekuensi Presentase
Jumlah 88 100%
55
Hasil penelitian pada tabel 5.5 menunjukan bahwa dari 88 kamar balita
memenuhi syarat yakni 40% - 70% & 75 balita (85,2%) memiliki kelembaban
Tabel 5.6
Distribusi Ventilasi Rumah Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013
Ventilasi Frekuensi Presentase
Jumlah 88 100%
Hasil uji statistik pada tabel 5.6 diperoleh gambaran sebesar 51 rumah balita
(58%) memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat (<10% dari luas rumah) dan 37
rumah balita (42%) memiliki ventilasi yang memenuhi syarat yang ditentukan yakni
56
Tabel 5.7
Distribusi Kepadatan Hunian Rumah Balita di Kelurahan Ciputat
tahun 2013
Kepadatan Hunian Frekuensi Presentase
Jumlah 88 100%
memenuhi syarat yang ditetapkan yakni <10m2/org dan 30 (34,1%) rumah balita
Tabel 5.8
Distribusi Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah di Kelurahan Ciputat
tahun 2013
Kebiasaan Merokok Frekuensi Presentase
Ada 54 61,8%
Jumlah 88 100%
57
Pada tabel 5.8 terlihat sebanyak 54 rumah balita (61,4%) terdapat penghuni
rumah yang merokok dan 34 rumah balita (38,6%) tidak terdapat penghuni rumah
yang merokok.
Dari hasil uji statistik yang dilakukan pada variabel pendidikan orang tua balita
Tabel 5.9
Distribusi Pendidikan Orang Tua Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013
Pendidikan Orang Tua Frekuensi Presentase
Rendah 47 53,4%
Tinggi 41 46,6%
Jumlah 88 100%
rendah (tidak sekolah, tamat SD, dan SMP) dan 41 orang tua balita (46,6%)
58
Tabel 5.10
Distribusi Penggunaan Bahan Bakar dalam rumah Balita di Kelurahan Ciputat
tahun 2013
Bahan Bakar Frekuensi Persentase
Gas 84 95,5%
Jumlah 88 100%
Didapat hasil perhitungan sampel pada tabel 5.10 diperoleh data sebanyak 4
rumah (4,5%) ibu balita masih menggunakan minyak tanah dan 84 rumah (95,5%)
Dibawah ini hasil persentase yang dilakukan pada variabel penggunaan obat
Tabel 5.11
Distribusi Penggunaan Obat Nyamuk Bakar di Kelurahan Ciputat tahun 2013
Bahan Bakar Frekuensi Per sentase
Menggunakan 9 10,2%
Jumlah 88 100%
menggunakan obat nyamuk bakar setiap hari dan 79 rumah (89,8%) tidak
59
5.3 Hasil Analisis Bivariat
hunian, kebiasaan merokok, pendidikan orang tua) dan variabel dependen (ISPA
pada Balita) dengan menggunakan uji chi square. Hasil hubungan variabel
independen dan variabel dependen pada penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
Hasil analisis hubungan antara status gizi terhadap ISPA pada balita di
Tabel 5.12
Analisis Hubungan antara Status Gizi terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan
Ciputat Tahun 2013
Balita
Total p-value OR
Mengalami Tidak Mengalami
Status Gizi
ISPA ISPA
N % N % N %
60
Pada Tabel 5.12 didapat hasil hubungan antara status gizi terhadap ISPA pada
balita yaitu sebanyak 4 dari 14 (28,6%) balita gizi kurang mengalami ISPA serta 33
dari 74 (44,6%) balita dengan gizi baik tidak mengalami. Berdasarkan hasil uji chi
square diperoleh nilai p= 0,121 (p-value >0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan bermakna antara status gizi terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 0,3
(95%CI : 0,09-1,1) yang berarti bahwa balita dengan status gizi kurang mempunyai
peluang 0,3 kali untuk mengalami ISPA dibanding balita gizi baik.
Hasil analisis hubungan antara pemberian asi eksklusif terhadap ISPA pada
Tabel 5.13
Analisis Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Terhadap ISPA pada Balita
di Kelurahan Ciputat Tahun 2013
Balita
61
Berdasarkan tabel 5.13 menunjukkan hasill analisis hubungan antara pemberian
asi eksklusif terhadap ISPA pada balita sebanyak 38 dari 69 balita (55,1%) yang
tidak diberikan asi ekslusif mengalami ISPA dan sebanyak 12 dari 19 (63,2%) balita
yang diberikan asi ekslusif tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square
diperoleh nilai p = 0,251 (p-value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan bermakna antara pemberian asi ekslusif terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis diperoleh pula OR sebesar 2,1
(95%CI : 0,7-5,9) yang berarti bahwa balita yang tidak diberikan ASI Eksklusif
Tabel 5.14
Analisis Hubungan Ventilasi Rumah Terhadap ISPA pada Balita
di Kelurahan Ciputat Tahun 2013
Balita
Mengalami ISPA Tidak Total
Ventilasi p-value OR
Mengalami ISPA
N % N % N %
62
Pada tabel 5.14 menunjukkan hubungan antara ventilasi rumah terhadap ISPA
pada balita yaitu sebanyak 32 dari 51 (62,7%) ventilasi rumah yang tidak memenuhi
syarat dan balita mengalami ISPA. Sedangkan sebanyak 24 dari 37 (18,1%) ventilasi
rumah memenuhi syarat dan balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi
square diperoleh nilai p = 0,019 (p-value <0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan bermakna antara ventilasi rumah terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis diperoleh pula OR sebesar 3
(95%CI : 1,1-7,2) yang berarti bahwa balita dengan ventilasi rumah tidak memenuhi
Tabel 5.15
Analisis Hubungan Kelembaban Dalam Kamar Terhadap ISPA pada Balita di
Kelurahan Ciputat Tahun 2013
Balita
Total p-value OR
Mengalami ISPA Tidak
Kelembaban
Mengalami ISPA
N % N % N %
63
Tabel 5.15 menunjukkan hubungan kelembaban kamar terhadap ISPA pada
balita yaitu sebanyak 5 dari 43 (38,5%) kelembaban kamar balita yang tidak
memenuhi syarat (TMS) dan balita mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 35 dari
45(46,7%) kamar balita dengan kelembaban kamar memenuhi syarat (MS) balita
tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,49 (p-value >0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kelembaban
kamar terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis
ini pula diperoleh nilai OR sebesar 0,5 ( 95%CI : 0,3-1,9) yang berarti bahwa kamar
balita dengan kelemaban tidak memenuhi syarat beresiko 0,5 kali lebih besar
mengalami ISPA.
Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita di
Tabel 5.16
Analisis Hubungan Kepadatan Hunian Rumah Terhadap ISPA pada Balita
di Kelurahan Ciputat Tahun 2013
Balita
Kepadatan Total p-value OR
Mengalami ISPA Tidak
Hunian Mengalami ISPA
N % N % N %
64
Tabel 5.16 menunjukkan hubungan kepadatan hunian terhadap ISPA pada
balita yaitu sebanyak 35 dari 58 (60,3%) rumah balita memiliki kepadatan hunian
tidak memenuhi syarat (TMS) dan balita mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 10
dari 30(33,3%) rumah balita dengan kepadatan hunian memenuhi syarat (MS) balita
tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,029 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan hunian terhadap ISPA
pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis ini pula diperoleh
nilai OR sebesar 3,0 ( 95%CI : 1,2-7,6) yang berarti bahwa kamar balita dengan
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat beresiko 3 kali lebih besar mengalami
ISPA.
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut
Tabel 5.17
Analisis Hubungan Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah Terhadap ISPA pada
Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013
Balita
Total p-value OR
Kebiasaan Mengalami ISPA Tidak Mengalami
Merokok ISPA
N % N % N %
65
Tabel 5.17 menunjukkan hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok
penghuni rumah terhadap ISPA pada balita diperoleh sebanyak 30 dari 51 (55,6%)
rumah dengan penghuni yang merokok dan balita mengalami ISPA. Sementara itu,
sebanyak 19 dari 37 (55,9%) penghuni rumah yang tidak merokok dan balita tidak
mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,409 (p-value >0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan
merokok penghuni rumah terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun
2013. Dari hasil analisis didapat nilai OR sebesar 1,7 ( 95%CI : 0,7-4) yang berarti
bahwa balita yang tinggal dengan penghuni yang merokok beresiko 1,7 kali
mengalami ISPA.
Hasil analisis hubungan antara pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita
di Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut :
Tabel 5.18
Analisis Hubungan Pendidikan Orang Tua Terhadap ISPA pada Balita di
Kelurahan Ciputat Tahun 2013
Balita
Total p-value OR
Pendidikan Mengalami ISPA Tidak Mengalami
Orang Tua ISPA
N % N % N %
Rendah 26 65 14 35 40 100
0,019 3 (1,2-7,3)
Tinggi 19 39,6 29 60,4 48 100
66
Pada tabel 5.18 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pendidikan orang
tua terhadap ISPA pada balita yaitu sebanyak 26 dari 40 (65%) orang tua balita
dengan status pendidikan rendah dan balita mengalami ISPA. Sedangkan sebanyak
29 dari 48 ibu balita (60,4%) dengan pendidikan tinggi, balita tidak mengalami ISPA.
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,019 (p-value <0,05) sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara pendidikan orang tua
terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis
didapat nilai OR sebesar 2,8 ( 95%CI : 1,2-7,3) yang berarti bahwa balita dengan
67
BAB VI
PEMBAHASAN
1. Desain yang digunakan yaitu studi cross sectional dimana semua variabel
yang diteliti diambil dalam satu waktu yang sama mengingat jadwal posyandu
tidak memungkinkan dari segi biaya untuk menelusuri lebih jauh tentang
Pada penelitian ini, balita dikatakan mengalami ISPA dan tidak mengalami
ISPA berdasarkan adanya tanda dan gejala seperti pilek, batuk-batuk, demam, dan
sukar bernafas yang terjadi dalam kurun waktu 2 minggu terakhir yang terjadi dari
68
mulai rongga hidung sampai gelembung paru yang bersifat akut (Depkes, 2007).
Dari hasil penelitian terhadap 88 anak balita di Kelurahan Ciputat didapatkan hasil
angka kejadian ISPA yaitu sebesar 51,1% mengalami ISPA dan 48,9% tidak
mengalami ISPA. ISPA bisa diakibatkan oleh virus maupun akibat polusi udara.
Ciputat merupakan daerah yang paling sering dilalui oleh kendaraan karena
sebagai jalur penghubung antara Jawa Barat dan Jakarta (Salman, 2012) sehingga
dimungkinkan nilai total partikulat semakin tinggi dan terjadi pencemaran udara.
Hal ini didukung oleh penelitian BPLHD Tangerang Selatan pada tanggal 5 Juni
2012 terdapat Total Suspended Partikulat (TSP) melebihi ambang batas yakni
268,64 µg/Nm³dari ambang batas yang ditetapkan sebesar 230 µg/Nm³. Menurut
urban lebih sering terpapar polusi dari industri dan kendaraan bermotor yang
Hamidi (2002) menyatakan bahwa kadar debu yang masuk kedalam rumah dan
melebihi 70µg/Nm³ dapat menyebabkan bayi dan balita yang tinggal didalamnya
rumah yang memnuhi syarat. Namun, tidak dipungkiri bahwa ISPA bisa terjadi
akibat penularan virus dari penderita ke balita yang lain. Hasil observasi
sehingga kemungkinan besar virus penyebab ISPA pada penderita menyebar lebih
69
6.3 Analisis Bivariat
antara BB dan umur yaitu SD 2 dan apabila nilai SD -2 maka dikatakan status gizi
kekuatan daya tahan tubuh dan respons imunoligis terhadap penyakit dan
keracunan.
Pada tabel 5.2 didapat bahwa dari 88 balita, 14 balita (15,9%) memiliki status
gizi kurang dan 74 balita (84,1%) berstatus gizi baik. Menurut Almatsler (2003)
timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang
kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi
sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula
pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya
Berdasarkan hasil uji chi square pada penelitian ini disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara status gizi terhadap kejadian ISPA pada
balita dengan nilai p= 0,121 (p>0,05). Balita dengan gizi kurang beresiko 0,3 kali
mengalami ISPA dibanding dengan balita gizi baik . Hal ini sejalan dengan
70
penelitian menurut Muhedir (2002), Irianto (2004), dan Citra (2010) yang
mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian
ISPA. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Geturdis (2010)
dimana terdapat hubungan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA dimana
balita yang gizi kurang beresiko 2,5 kali lebih besar mengalami ISPA karena daya
Tidak adanya hubungan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA bisa
saja terjadi karena ISPA tidak hanya disebabkan oleh gizi kurang atau gizi buruk
dari balitanya, melainkan oleh banyak faktor salah satunya faktor lingkungan.
Walaupun status gizi balita dalam kondisi baik, dimungkinkan balita terkena ISPA
Dari 88 balita pada penelitian ini ternyata hanya ada 14 balita yang
mempunyai gizi kurang. Walaupun persentase kecil, tetap perlu di lakukan upaya-
upaya perbaikan status gizi balita karena perbaikan gizi masyarakat harus dimulai
dari perbaikan gizi pada masa bayi dan balita (Notoatmodjo, 2007) seperti :
mengandung gizi baik dengan harga yang tidak terlalu mahal tapi
71
mempunyai nilau asupan gizi yang tinggi sehingga tidak memberatkan ibu
balita.
ASI merupakan makanan utama bagi bayi yang bersifat alamiah. ASI
mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan
Manfaat yang dapat diberikan dari pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu dapat
Hasil penelitiaan pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa balita yang tidak
diberikan ASI ekslusif sebanyak 69 (78,4%) dan yang tidak diberikan ASI
besarnya balita yang tidak diberikan ASI ekslusif disebabkan beberapa hal yakni
bekerja, tidak bisa mengeluarkan ASI, serta beberapa ibu masih mengikuti
72
kepercayaan lama dengan langsung memberikan makanan selain ASI pada saat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pemberian asi ekslusif
terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Balita yang diberikan
ASI Eksklusif beresiko mengalami ISPA 2,1 kali lebih besar dibanding yang
diberikan asi ekslusif. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Citra (2010) bahwa
tidak ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian ISPA pada
balita. Namun jika pada bayi kemunginan terdapat hubungan antara ISPA dengan
Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
pemberian Asi Ekslusif terhadap kejadian ISPA di kelurahan Ciputat, tetap perlu
diberikan Asi Ekslusif supaya mencegah berbagai penyakit lain yang mungkin
b. Alternatif bagi ibu yang bekerja agar tetap bisa memberikan Asi
Ekslusif.
bayi.
73
6.3.3 Hubungan Ventilasi terhadap ISPA pada Balita
udara dalam rumah karena udara yang segar dalam ruangan sangat dibutuhkan
karena kuman didalam rumah tidak bisa tertukar dan mengendap sehingga
memenuhi syarat (<10% dari luas rumah) dan 37 rumah balita (42%) memiliki
ventilasi yang memenuhi syarat yang ditentukan yakni >10% dari luas tanah.
Berdasarkan hasil obervasi, jarak antara rumah satu dengan yang lain sangat
berhimpitan dan cenderung ventilasi rumah hanya berada di bagian depan saja
Hasil uji chi square diperoleh nilai p= 0,019 (p<0,05) sehingga dapat di
simpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara ventilasi rumah terhadap ISPA
dan di dapat bahwa rumah yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat bersiko
3 kali lebih besar balita terkena ISPA di banding dengan rumah dengan ventilasi
memenuhi syarat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lindawaty (2010) yang
74
menyatakan ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita.
Balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi tidak memenuhi syarat beresiko
sebesar 3,07 kali mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal dirumah dengan
Ventilasi yang baik dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen
karena dengan adanya ventilasi, udara bertukar secara terus menerus. Ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan indikator bahwa kurangnya
pemahaman mengenai rumah sehat dengan ventilasi yang sesuai ketentuan yakni
minimal 10% dari luas rumah. Ventilasi berfungsi untuk memberikan memberikan
udara segar dan sehat bagi balita dan penghuninya. Berdasarkan hasil observasi
Selain itu, sebagian besar ventilasi selalu ditutupi gorden sehingga cahaya
matahari sulit masuk kedalam rumah. Rumah yang sedikit cahaya matahari masuk
dan udara yang tidak bagus akan menyebabkan ruangan menjadi lembab. Ruangan
mikroorganisme penyebab penyakit dalam rumah tidak dapat keluar sehingga akan
75
membahayakan penghuni rumah terutama balita yang rentan terhadap penyakit
Untuk menekan angka kejadian ISPA pada balita akibat ventilasi rumah
yang tidak difungsikan dengan baik, maka perlu dilakukan program penyuluhan
kepada masyarakat pentingnya memiliki ventilasi minimal 10% dari luas lantai.
Bagi masyarakat perlu diberi himbauan agar tidak menutup ventilasi dengan kain
dikatakan padat/ tidak memenuhi syarat apabila luas rumah dibagi jumlah
penghuni adalah <10m2. Pada tabel 5.16 didapat jumlah rumah yang padat
penghuni dengan balita mengalami ISPA sebanyak 35 balita (60,3%) dan rumah
dengan kepadatan hunian memenuhi syarat dengan balita tidak mengalami ISPA
sebanyak 20 balita (66,7%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita dengan
nilai p=0,029 dimana balita yang tinggal dengan kepadatan hunian tidak
memenuhi syarat beresiko 3 kali mengalami ISPA. Penelitian ini sejalan dengan
Irianto (2006) bahwa ada hubungan kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita.
Balita yang tinggal dengan rumah padat penghuni berisko 2,27 kali dibandingkan
76
Hasil observasi di lapangan menunjukkan sebanyak 51 rumah dengan tingkat
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat diakibatkan karena luas rumah tidak
sesuai dengan jumlah penghuni yang tinggal. Terdapat rumah yang terdiri dari
beberapa kepala keluarga, dan terdapat pula warga yang bahkan menempati 1
rumah dengan 8-12 orang. Alasan beberapa warga tetap tinggal satu rumah karena
penularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat. Rumah yang
padat penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara tidak baik, pertukaran oksigen
kurang sempurna dan diperburuk apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat.
Hal ini sangat berbahaya apabila ada anggota keluarga yang menderita gangguan
pernafasaan yang disebabkan oleh virus, akan cepat menyerang anggota keluarga
lain akibat menghirup udara yang sama dan sudah tercemar. Semakin padat
penghuni dalam rumah maka akan semakin mudah penularan penyakit pada balita
77
dapat tumbuh. Menurut Mudehir (2002) kelembaban dalam rumah dapat di
pengaruhi oleh konstruksi rumah yang tidak baik, ventilasi yang kurang, serta
balita yang tidak memenuhi syarat dan menyebabkan ISPA sebanyak 5 (38,5%)
dan kamar balita dengan kelembaban yang memenuhi syarat dan tidak mengalami
ISPA sebanyak 46,7%. Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan bahwa nilai
p=0,49 yang artinya tidak ada hubungan bermakna antara kelembaban kamar
terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat. Penelitian ini sejalan dengan
Lindawaty (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban
dengan kejadian ISPA pada balita namun beresiko 2,98 kali lebih besar balita
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mudehir (2002) dimana terdapat
yang tidak memenuhi syarat atau oleh cuaca. Pada musim hujan kelembaban akan
meningkat namun bila kondisi rumah baik seperti cahaya matahari dapat masuk,
tidak terdapat genangan air, ventilasi udara yang cukup dapat mempertahankan
78
Hasil observasi di lapangan, sebagian besar kamar balita tidak tertutup pintu,
hanya bersekatan dengan ruang tamu dan warga tidak banyak menggunakan AC di
dalam kamar sehingga kelembaban ruangan tidak terlalu rendah dan tidak terlalu
tinggi. ISPA pada balita di kelurahan Ciputat mungkin bisa disebabkan oleh faktor
lain seperti mungkin dari penularan penghuni kamar yang sedang mengalami ISPA
perlu diadakan upaya penyehatan kelembaban ruang tidur balita seperti yang
1) Bila kelembaban udara kurang dari 40%, maka dapat di lakukan upaya
udara)
2) Bila kelembaban udara lebih dari 60%, maka dapat dilakukan upaya penyehatan
antara lain :
79
humidifier (alat pengatur kelembaban udara)
toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik tersebut (Kusnoputranto, 2000). Hasil penelitian pada
tabel 5.8 yang dilakukan di kelurahan Ciputat menunjukkan sebagian besar balita
tidak tinggal dengan penghuni yang merokok. Tingginya jumlah balita yang
besar balita sering terpapar dan menghirup bahan toksik yang berbahaya untuk
kesehatan.
Asap rokok adalah sebuah campuran asap yang di keluarkan dari hasil
(PAHs) dan berbahaya bagi kesehatan (Depkes, 2011). Manusia yang menghirup
asap rokok bisa disebut perokok pasif dan berisiko lebih besar pada kesehatan. Hal
ini sesuai dengan penelitian Citra (2012) bahwa perokok pasif yang lebih rentan
Hasil uji chi square pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya
ISPA pada balita dengan nilai p=0,409 (p>0,05). Namun, diketahui bahwa balita
yang tinggal di rumah dengan penghuni merokok mempunyai resiko 1,7 kali
80
mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal di rumah tanpa penghuni merokok.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Budiaman (2008) yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara responden yang rumahnya ada yang
ini berbeda dengan Lindawaty (2010 ) yang menyatakan bahwa balita yang tinggal
bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali lebih besar terkena ISPA
dibanding dengan balita yang tidak terdapat penghuni rumah yang merokok.
dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini dimungkinkan karena wawancara
dilakukan hanya menanyakan ada atau tidak penghuni yang merokok tanpa
menanyakan lebih spesifik tentang kebiasaan merokok di dalam atau di luar rumah
pada perokok serta seberapa banyak jumlah rokok yang di habiskan dalam sehari.
Semakin banyak jumlah rokok yang di konsumsi perokok yang merokok di dalam
rumah kemungkinan besar balita terpapar asap rokok lebih banyak sehingga
meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah
balita yang penghuninya tidak merokok dalam rumah. Begitu pula dengan
81
perokok terhadap kejadian ISPA pada balita lebih besar sehingga perlu di lakukan
Pada penelitian ini tingkat pendidikan ibu dibagi dalam 2 kategori yakni
pendidikan rendah (tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP) dan tinggi (SMA, D3,
S1). Distribusi tingkat pendidikan ibu berdasarkan tabel 5.9 sebanyak 40 ibu yang
termasuk dalam kategori pendidikan rendah atau setengah dari jumlah sampel
yang ada. Hasil pernyataan ibu-ibu yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi mulai dari sudah ingin menikah, tidak mempunyai biaya sehingga dituntut
Hasil uji statistik pada tabel 5.18 didapat sebanyak 26 ibu (65%) yang
tinggi dan memiliki balita yang mengalami ISPA sebanyak 19 ibu (39,6%).
82
Berdasarkan uji chi-square diperoleh nilai p=0,019 sehingga disimpulkan bahwa
terdapat hubungan bermakna antara pendidikan orang tua terhadap ISPA pada
balita di kelurahan Ciputat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah
mempunyai resiko untuk menderita ISPA lebih besar dibandingkan dengan ibu
balita yang berpendidikan tinggi. Namun hal ini bertolak belakang dengan
penelitian Fitri (2004) dimana tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua
tujuan agar ibu yang tidak tahu menjadi tahu bagaimana tanda-tanda gejala ISPA
keluarga.
83
pendidikan rendah cenderung hanya membiarkan balita yang mengalami tanda-
tanda ISPA seperti batuk, pilek atau gejala ISPA sebagai penyakit biasa dan akan
hilang dengan sendirinya. Selain itu, ibu berasumsi bahwa penyebab balita terkena
ISPA akibat sering makan permen, atau es yang menyebabkan batuk-batuk pada
anak. Tidak ada tindak lanjut terhadap ISPA yang diderita oleh balita. Sementara
itu, ibu yang termasuk dalam kategori pendidikan tinggi lebih sedikit peduli
Pentingnya pendidikan bagi ibu atau anggota keluarga yang lain mengenai
dimana lebih rentan terhadap penyakit. Jika ibu memiliki pengetahuan tinggi,
diharapkan balita yang mengalami ISPA atau gejalanya dapat segera di lakukan
beresiko sebesar 2,8 kali balita terkena ISPA sehingga perlu diupayakan tindakan
84
BAB VII
7.1 Kesimpulan
1. Gambaran balita terhadap kejadian ISPA pada kurun waktu 2 minggu pada
rumah balita (58%) memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat (<10%
2.2 Kelembaban kamar tidur balita pada 88 sampel yaitu 13 kamar balita
85
syarat yang ditetapkan yakni <10m2/org dan 30 (34,1%) rumah balita
3.1 Status gizi balita dari 88 sampel di kelurahan Ciputat yaitu 14 balita
baik.
4. Gambaran faktor perilaku orang tua yaitu kebiasaan merokok penghuni rumah
(61,8%) terdapat penghuni yang merokok dan 34 rumah balita (38,6%) tidak
terdapat perokok.
5. Gambaran faktor sosial seperti pendidikan orang tua yaitu sebesar 47 orang
tua balita (46,6%) berpendidikan rendah atau tidak sekolah, tamat SD, dan
SMP dan 41 orang tua balita (46,6%) berpendidikan tinggi atau lulus SMA,
D3, S1.
6. Faktor lingkungan fisik yang berhubungan terhadap kejadian ISPA pada balita
86
7. Tidak terdapat hubungan antara faktor individu balita : status gizi dan
pemberian asi ekslusif (nilai p>0,05) terhadap kejadian ISPA pada balita di
8. Tidak terdapat hubungan antara faktor perilaku orang tua : kebiasaan merokok
(nilai p<0,05) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013.
9. Terdapat hubungan antara faktor sosial : pendidikan orang tua (nilai p<0,05)
7.2 Saran
2. Masyarakat mengetahui pentingnya memiliki ventilasi 10% dari luar rumah dan
3. Masyarakat dapat lebih memperhatikan tanda-tanda atau gejala ISPA pada balita
menggunakan bantuan tenaga medis untuk mendiagnosis lebih dalam sebab penyakit
ISPA.
87
6.Penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain untuk
melakukan penelitian selanjutnya yang lebih dalam dengan sampel yang lebih besar.
atau di harapkan dapat membantu dan memperbaiki rumah yang layak tinggal dengan
88
Daftar Pustaka
Frequencies
Statistics
statusgizi
N Valid 88
Missing 0
Mean .84
Median 1.00
Std. Deviation .368
Minimum 0
Maximum 1
statusgizi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid gizi kurang 14 15.9 15.9 15.9
gizi baik 74 84.1 84.1 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=KejadianISPA
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
KejadianISPA
N Valid 88
Statistics
KejadianISPA
N Missing 0
Mean .49
Median .00
Std. Deviation .503
Minimum 0
Maximum 1
KejadianISPA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Mengalami ISPA 45 51.1 51.1 51.1
Tidak Mengalami ISPA 43 48.9 48.9 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=statusimunisasi
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
statusimunisasi
N Valid 88
Missing 0
Mean .92
Median 1.00
Std. Deviation .272
Minimum 0
Maximum 1
statusimunisasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak lengkap 7 8.0 8.0 8.0
lengkap 81 92.0 92.0 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=asieksklusif
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
asieksklusif
N Valid 88
Missing 0
Mean .22
Median .00
Std. Deviation .414
Minimum 0
Maximum 1
asieksklusif
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak 69 78.4 78.4 78.4
iya 19 21.6 21.6 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=kelembaban
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
kelembaban
N Valid 88
Missing 0
Mean .85
Median 1.00
Statistics
kelembaban
Std. Deviation .357
Minimum 0
Maximum 1
kelembaban
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TMS 13 14.8 14.8 14.8
MS 75 85.2 85.2 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=kebiasaanmerokok
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
kebiasaanmerokok
N Valid 88
Missing 0
Mean .39
Median .00
Std. Deviation .490
Minimum 0
Maximum 1
kebiasaanmerokok
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ada 54 61.4 61.4 61.4
tidak ada 34 38.6 38.6 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=obtnymkbakar
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
obtnymkbakar
N Valid 88
Missing 0
Mean .90
Median 1.00
Std. Deviation .305
Minimum 0
Maximum 1
obtnymkbakar
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid menggunakan 9 10.2 10.2 10.2
tidak menggunakan 79 89.8 89.8 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=bhnbakarmemasak
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
bhnbakarmemasak
N Valid 88
Missing 0
Mean .95
Median 1.00
Std. Deviation .209
Minimum 0
Maximum 1
bhnbakarmemasak
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kayu/minyak tanah 4 4.5 4.5 4.5
gas 84 95.5 95.5 100.0
Total 88 100.0 100.0
FREQUENCIES VARIABLES=ventilasi
/NTILES=4
/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Statistics
ventilasi
N Valid 88
Missing 0
Mean .42
Median .00
Std. Deviation .496
Minimum 0
Maximum 1
Percentiles 25 .00
50 .00
75 1.00
ventilasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TMS 51 58.0 58.0 58.0
MS 37 42.0 42.0 100.0
Total 88 100.0 100.0
Statistics
kepadatanhunian
N Valid 88
Missing 0
Mean .34
Median .00
Std. Deviation .477
Minimum 0
Maximum 1
Percentiles 25 .00
50 .00
75 1.00
kepadatanhunian
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid TMS 58 65.9 65.9 65.9
MS 30 34.1 34.1 100.0
Total 88 100.0 100.0
Frequencies
Statistics
pendidikanorgtua
N Valid 88
Missing 0
Statistics
pendidikanorgtua
Mean .47
Median .00
Std. Deviation .502
Minimum 0
Maximum 1
Percentiles 25 .00
50 .00
75 1.00
pendidikanorgtua
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Rendah 47 53.4 53.4 53.4
tinggi 41 46.6 46.6 100.0
Total 88 100.0 100.0
GET
FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SKRIPSI MAYA FIX\SPSS\spss.sav'.
DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.
GET
FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SKRIPSI MAYA FIX\SPSS\spss.sav'.
DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.
GET
FILE='C:\Users\Reni\Desktop\SPSS\spss.sav'.
DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.
CROSSTABS
/TABLES=statusgizi BY KejadianISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED ROW
/COUNT ROUND CELL
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
statusgizi * KejadianISPA 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
statusgizi gizi kurang Count 4 10 14
Expected Count 7.2 6.8 14.0
% within statusgizi 28.6% 71.4% 100.0%
gizi baik Count 41 33 74
Expected Count 37.8 36.2 74.0
% within statusgizi 55.4% 44.6% 100.0%
Total Count 45 43 88
Expected Count 45.0 43.0 88.0
% within statusgizi 51.1% 48.9% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,84.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is -1,831.
Risk Estimate
GET
FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav'.
DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.
CROSSTABS
/TABLES=asieksklusif BY KejadianISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED ROW
/COUNT ROUND CELL
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
asieksklusif *
KejadianISPA 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
asieksklusif tidak Count 38 31 69
Expected Count 35.3 33.7 69.0
% within asieksklusif 55.1% 44.9% 100.0%
iya Count 7 12 19
Expected Count 9.7 9.3 19.0
% within asieksklusif 36.8% 63.2% 100.0%
Total Count 45 43 88
Expected Count 45.0 43.0 88.0
% within asieksklusif 51.1% 48.9% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,28.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is 1,400.
Risk Estimate
CROSSTABS
/TABLES=kelembaban BY KejadianISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED ROW
/COUNT ROUND CELL
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kelembaban *
KejadianISPA 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
kelembaban TMS Count 5 8 13
Expected Count 6.6 6.4 13.0
% within kelembaban 38.5% 61.5% 100.0%
MS Count 40 35 75
Expected Count 38.4 36.6 75.0
% within kelembaban 53.3% 46.7% 100.0%
Total Count 45 43 88
Expected Count 45.0 43.0 88.0
% within kelembaban 51.1% 48.9% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,35.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is -,985.
Risk Estimate
CROSSTABS
/TABLES=ventilasi BY KejadianISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED ROW
/COUNT ROUND CELL
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
ventilasi * KejadianISPA 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
ventilasi TMS Count 32 19 51
Expected Count 26.1 24.9 51.0
% within ventilasi 62.7% 37.3% 100.0%
MS Count 13 24 37
Expected Count 18.9 18.1 37.0
% within ventilasi 35.1% 64.9% 100.0%
Total Count 45 43 88
Expected Count 45.0 43.0 88.0
% within ventilasi 51.1% 48.9% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,08.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is 2,543.
Risk Estimate
CROSSTABS
/TABLES=kebiasaanmerokok BY KejadianISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED ROW
/COUNT ROUND CELL
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kebiasaanmerokok *
KejadianISPA 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
kebiasaanmerokok * KejadianISPA Crosstabulation
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
kebiasaanmerokok Ada Count 30 24 54
Expected Count 27.6 26.4 54.0
% within
kebiasaanmerokok 55.6% 44.4% 100.0%
tidak ada Count 15 19 34
Expected Count 17.4 16.6 34.0
% within
kebiasaanmerokok 44.1% 55.9% 100.0%
Total Count 45 43 88
Expected Count 45.0 43.0 88.0
% within
kebiasaanmerokok 51.1% 48.9% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16,61.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is 1,039.
Risk Estimate
CROSSTABS
/TABLES=pendidikanorgtua BY KejadianISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED ROW
/COUNT ROUND CELL
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pendidikanorgtua *
KejadianISPA 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
pendidikanorgtua Rendah Count 30 17 47
Expected Count 24.0 23.0 47.0
% within
pendidikanorgtua 63.8% 36.2% 100.0%
tinggi Count 15 26 41
Expected Count 21.0 20.0 41.0
% within
pendidikanorgtua 36.6% 63.4% 100.0%
Total Count 45 43 88
Expected Count 45.0 43.0 88.0
% within
pendidikanorgtua 51.1% 48.9% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,03.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is 2,536.
Risk Estimate
CROSSTABS
/TABLES=kepadatanhunian BY KejadianISPA
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED ROW
/COUNT ROUND CELL
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kepadatanhunian *
KejadianISPA 88 100.0% 0 .0% 88 100.0%
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
kepadatanhunian TMS Count 35 23 58
Expected Count 29.7 28.3 58.0
% within
kepadatanhunian 60.3% 39.7% 100.0%
MS Count 10 20 30
Expected Count 15.3 14.7 30.0
% within
kepadatanhunian 33.3% 66.7% 100.0%
Total Count 45 43 88
kepadatanhunian * KejadianISPA Crosstabulation
KejadianISPA
Tidak
Mengalami Mengalami
ISPA ISPA Total
Total Expected Count 45.0 43.0 88.0
% within
kepadatanhunian 51.1% 48.9% 100.0%
Chi-Square Tests
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,66.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is 2,389.
Risk Estimate