Anda di halaman 1dari 132

Syaf Anton Wr

LANGIT SUASA LANGIT PUJANGGA

2014
Langit Suasa Langit Pujangga

@Kumpulan Puisi
@Syaf Anton Wr

Hak cipta dilindungi Undang-undang


All Right Reserved

Penulis
Syaf Anton Wr

Editor
Mahwi Air Tawar

Desain Cover
Alek Subairi
Tata Letak
Alek Subairi

Cetakan Pertama, Oktober 2014

ISBN: 978-602-1669-29-8 halm: viii+88


14,5 X 21 cm

Diterbitkan oleh
Kalélés Publishing Karangnong,
RT 01. RW. 19. Ambarketawang.
Gamping Kidul. Sleman DI. Yogyakarta
0877 0203 3070

PENGANTAR REDAKSI Langit Suasa, Syaf Anton Madura

PETA kesenian —sastra khususnya—di Madura tidak bisa lepas dari peran
Syaf Anton Wr. Diakui atau tidak, gerakan-gerakan kesenian yang ia lakukan
secara kultural berhasil membangun kantong-kantong kesenian di Madura,
pesantren khususnya. Hal ini bisa dirasakan oleh penyair-penyair yang
sempat dibimbingnya, baik di pondok pesantren Annuqoyah maupun di
Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan Sumenep maupun pokdok pesantren
lainnya
Bagi Syaf Antos Wr, Pesantren merupakan corong kebudayaan Indonesia,
terutama seni sastra yang bernafaskan agama. Perjuangan yang berdarah-
darah lahir dari kepedulian beliau dalam memperjuangkan sastra, sebab dari
keringat dan perjuangan itulah sastra lahir sebagai bentuk bahasa rasa, kata
Abah Yoyok yang menjelma menjadi puisi.
Hingga kini, Syaf Anton masih terus melakukan gerakan kebudayaan
yang tanpa pamrih itu. Ia datangi pesantren-pesantren, kantong-kantong
kesenian yang baru tumbuh dalam rangka membina regenerasi sastrawan di
Madura, atau sekedar bersilaturohmi. Syaf Anton Wr, yang memulai karir
kepenulisannya sejak SLTP, tahun 1973 itu memang tak pernah bosan dan
jenuh meski terkadang gerakan yang lakukan mendapat tanggapan kurang
positif .
Tahun 1984 Syaf Anton Wr. mendirikan Bengkel Seni Primadona.
Bersama beberapa seniman dan Budayawan Sumenep, tahun 1985 ia
mendirikan Sanggar Seni Kembara. Hingga tahun-tahun berikutnya ia terus
bergerak di jalur kesenian, beberapa lembaga, komunitas terus ia dirikan
demi menghimpun dan melakukan gerakan kebudayaan,Sanggar Sastra
Mayang; Forum Bias Jaringan Seniman Sumenep, dan terakhir ia menjabat
sebagai ketua Dewan Kesenian Sumenep (DKS-2001).

***

Kini, zaman terus bergerak perkembangan media sosial terus terdedah-


terbuka. Setiap “penyair, sastrawan” pun terjun bebas menulis dan merintih
perih dalam bentuk puisi baik tentang dirinya yang dikekang tali perasaan
galau maupun tentang lingkungannya yang tak bisa berpaling dari
perkembangan zaman, atau tentang negeri ajaib, Indonesia. Syaf Anton
termasuk di dalamnya.
Syaf Anton yang selalu gelisahpun segera bergerak memanfaatkan media
sosial sebagai gerakan kebudayaan, Lontar Madura, misalnya. Salah satu
media online yang ia dirikan baik untuk sekedar mendokumentasi tentang
perkembangan kesenian, kebudayaan Madura, maupun mendokumentasi
karya-karya sastrawan yang kebetulan lahir dan besar di Madura.

Maka dari, Kalélés, Lembaga Kajian Kebudayaan Madura, merasa perlu


merekam jejak dan puisi-puisinya. Adapun maksud dari pendokumentasian
karya-karya penyair Indonesia yang kebetulan di lahirkan di Madura bagi
kami sangat penting disamping baik sebagai referensi peta kepenyairan
Madura, syukur-syukur bisa menjadi spirit bagi regenarasi Madura.
Kami berharap, penerbitan karya-karya penyair-penyair Madura, yang
menjadi bagian dari agenda Kalélés akan terus berlanjut, untuk itu,
aparesiasi baik berupa kritik maupun masukan-masukan sangat kami
harapkan guna demi perbaikanperbaikan dan peningkatan agar apa yang
kami lakukan lebih berarti, bermanfaat bagi masyarakat luas,
Madura,khususnya.

Yogyakarta, 30 Agustus 2014

Matroni Muserang

Syaf Anton Wr
LANGIT SUASA
LANGIT PUJANGGA

2014
Langit Suasa Langit Pujangga

@Kumpulan Puisi
@Syaf Anton Wr

Hak cipta dilindungi Undang-undang


All Right Reserved

Penulis
Syaf Anton Wr

Editor
Mahwi Air Tawar

Desain Cover
Alek Subairi

Tata Letak
Alek Subairi

Cetakan Pertama, Oktober 2014


ISBN: 978-602-1669-29-8 halm: viii+88
14,5 X 21 cm

Diterbitkan oleh
Kalélés Publishing Karangnong,
RT 01. RW. 19. Ambarketawang.
Gamping Kidul. Sleman DI. Yogyakarta
0877 0203 3070
PENGANTAR REDAKSI Langit Suasa, Syaf Anton Madura

PETA kesenian —sastra khususnya—di Madura tidak bisa lepas dari peran
Syaf Anton Wr. Diakui atau tidak, gerakan-gerakan kesenian yang ia lakukan
secara kultural berhasil membangun kantong-kantong kesenian di Madura,
pesantren khususnya. Hal ini bisa dirasakan segera oleh penyair-penyair
yang sempat dibimbingnya, baik di pondok pesantren Annuqoyah maupun di
Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan Sumenep.
Bagi Syaf Antos Wr, Pesantren merupakan corong kebudayaan Indonesia,
terutama seni sastra yang bernafaskan agama. Perjuangan yang berdarah-
darah lahir dari kepedulian beliau dalam memperjuangkan sastra, sebab dari
keringat dan perjuangan itulah sastra lahir sebagai bentuk bahasa rasa, kata
Abah Yoyok yang menjelma menjadi puisi.
Hingga kini, Syaf Anton masih terus melakukan gerakan kebudayaan
yang tanpa pamrih itu. Ia datangi pesantrenpesantren, kantong-kantong
kesenian yang baru tumbuh dalam rangka membina regenerasi sastrawan di
Madura, atau sekedar bersilaturohmi. Syaf Anton Wr, yang memulai karir
kepenulisannya sejak SLTP, tahun 1973 itu memang tak pernah bosan dan
jenuh meski terkadang gerakan yang lakukan mendapat tanggapan kurang
positif .
Tahun 1984 Syaf Anton Wr. mendirikan Bengkel Seni Primadona.
Bersama beberapa seniman dan Budayawan Sumenep, tahun 1985 ia
mendirikan Sanggar Seni Kembara. Hingga tahun-tahun berikutnya ia terus
bergerak di jalur kesenian, beberapa lembaga, komunitas terus ia dirikan
demi menghimpun dan melakukan gerakan kebudayaan,Sanggar Sastra
Mayang; Forum Bias Jaringan Seniman Sumenep, dan terakhir ia menjabat
sebagai ketua Dewan Kesenian Sumenep (DKS-2001).

***

Kini, zaman terus bergerak perkembangan media sosial terus terdedah-


terbuka. Setiap “penyair, sastrawan” pun terjun bebas menulis dan merintih
perih dalam bentuk puisi baik tentang dirinya yang dikekang tali perasaan
galau maupun tentang lingkungannya yang tak bisa berpaling dari
perkembangan zaman, atau tentang negeri ajaib, Indonesia. Syaf Anton
termasuk di dalamnya.
Syaf Anton yang selalu gelisah pun segera bergerak memanfaatkan
media sosial sebagai gerakan kebudayaan, Lontar, misalnya. Salah satu
media online yang ia dirikan baik untuk sekedar mendokumentasi tentang
perkembangan kesenian, kebudayaan Madura, maupun mendokumentasi
karya-karya sastrawan yang kebetulan lahir dan besar di Madura.

Maka dari, Kalélés, Lembaga Kajian Kebudayaan Madura, merasa perlu


merekam jejak dan puisi-puisinya. Ada pun maksud dari pendokumentasian
karya-karya penyair Indonesia yang kebetulan di lahirkan di Madura bagi
kami sangat penting di samping baik sebagai referansi peta kepenyairan
Madura, syukursyukur bisa menjadi spirit bagi regenarasi Madura.
Kami berharap, penerbitan karya-karya penyair-penyair Madura, yang
menjadi bagian dari agenda Kalélés akan terus berlanjut, untuk itu,
aparesiasi baik berupa kritik maupun masukan-masukan sangat kami
harapkan guna demi perbaikanperbaikan dan peningkatan agar apa yang
kami lakukan lebih berarti, bermanfaat bagi masyarakat luas,
Madura,khususnya.

Yogyakarta, 30 Agustus 2014

Matroni Muserang

v
Daftar Isi

Pengantar Redaksi .................................................................. . iii


Langit Suasa, Syaf Anton Madura
Daftar Isi ......................................................................................... vii

Sebuah Arena ....................................................................................1


Senandung .........................................................................................3
Antara Kalianget-Panarukan ..............................................................4
Doa Penyair .......................................................................................6
Tanah Kelahiran .................................................................................8
Doa Dan Aku ......................................................................................9
Semesta I ........................................................................................ 10
Semesta Ii ....................................................................................... 11
Semesta Iii ...................................................................................... 12
Balon .............................................................................................. 13
Langit Suasa, Langit Pujangga ......................................................... 15
Rudat Pisau ..................................................................................... 17
Sya’ban ........................................................................................... 18
Nyanyian Malam Jahanam Dibayang Silhuit ........................... . 19
Dan Mata-Mata Bulan Yang Tak Sampai ........................................ 19
Laut Berduka .................................................................................. 21
Lalu ................................................................................................. 22

V
i
Begitulah Perjalanan Waktu ........................................................... 23
Di Selat Madura .............................................................................. 24
Lagu Fajar ....................................................................................... 25
Aku Dan Laut .................................................................................. 27
Dzikir ...................................................................................... . 28
Tidur ............................................................................................... 29
Aku Berlayar ................................................................................... 30
Ketika Tangan-Tangan Terangkat ................................................... 32
Perhelatan ...................................................................................... 33
Percakapan Jaman .................................................................. . 34
Tentang Tidur ................................................................................. 35
Rindu Ibu ....................................................................................... 36
Catatan Yang Hilang ....................................................................... 37
Aum ................................................................................................ 38
Angin Kemarau ............................................................................... 39
Potret ..................................................................................... . 40
Tanah Kelahiran .............................................................................. 41
Pasukan Malam Telah Datang ........................................................ 43
Percakapan Ombak ........................................................................ 44
Tentang Sepotong Jantung .................................................... . 45
Ketika Kita Bertanya ....................................................................... 47
Kata Malam .................................................................................... 48
Jadikan Aku..................................................................................... 50
Daun-Daun Cahaya ......................................................................... 52
Pagi-Pagi Ketika Burung Berkicau ................................................... 53
Ingat Kota ....................................................................................... 54
Anak Perahu ................................................................................... 55
Senja Di Taman ............................................................................... 56
Saat Menunggu .............................................................................. 57
Ziarah Di Kota Mati ......................................................................... 58
Matahari Dan Kita .......................................................................... 60
Vii
Belajar Maknai Diri ................................................................. . 62
Skestsa Kesaksian ........................................................................... 64
Bunga Dan Laut .............................................................................. 65
Musik Berguguran .......................................................................... 66
Wajah ............................................................................................. 67
Tanah Pembakaran ......................................................................... 68
Negeri Impian ................................................................................. 70
Upacara Kehidupan ........................................................................ 71
Kota Darah...................................................................................... 72
Menanti Subuh ............................................................................... 73
Obsesi Bunga .................................................................................. 74
Orang-Orang Tersisih...................................................................... 75
Para Petualang ....................................................................... . 76
Lahir Dari Keprihatinan ................................................................... 77
Tubuh Berlumur Darah ................................................................... 78
Merenung Tentang Kemerdakaan .................................................. 79
Takkala Mimpi Tak Berarti Lagi....................................................... 81
Kelahiran Kembali........................................................................... 82
Suara .............................................................................................. 83
Surat Terakhir ................................................................................. 84

tentang penyair .............................................................................. 86


viii
Sebuah Arena

kapan jasad ini terbang saudaraku?

di kutub aku berbaring mengubur matahari


tanpa isarat tanpa doa tanpa siapa-siapa, tidak juga kau! sebuah rumah
dari gumpalan kabut telah menjadikan dermaga yang menggerakkan awan
dan camar
dan laut mencari karang kokoh

berenda-renda anganku di atas kendara


hingga darahku meretas jadi segumpal nanah
nanah menjelma jadi peta
yang tak tampak garis-garisnya

bertangislah saudaraku, lantaran sebentar lagi akan


pertumpahan darah yang menjijikkan

aku paham betul kalimat pelangi


meski belum habis kulalap emosi
atau kau tuangkan saja segelas darah
hingga aku tak kenal lagi siapa luka siapa
lihatlah saudaraku tulang-belulangku remuk
bintang-bintangku jatuh di jantung diperkampungan
tak berpenghuni
1
cidukkan seteguk madu dari liur serigala
hingga berlupa siapa malam siapa matahari
siapa kau siapa aku
dan kita bertarung di padang mencabik-cabik bendera
menyusut lapar dan membual bahwa di arena ini
tak ada lagi perselisihan dan penyelesaian

kapan jasat ini terbang saudaraku ?

sebauh lembah sebuah arena sebuah pertentangan


antara luka dan luka akan berakhir
setelah kita mengenal dimana letak jiwa kita ?

1984
2
Senandung

: untuk isteri dan anakku

bila aku datang, isteriku


tak akan ada lagi lelah
sebab hari-hariku semakin mengenal aku

ada satu cerita


tentang anak-anak kita nanti
yang berpangkal dari jenjang cahaya
matahati

dan kini terjawablah, isteriku


bahwa kita masih ada
dalam keberadaan yang
nyata

1985

3
Antara Kalianget - Panarukan

antara kalianget - panarukan


angin berdecak
aku terbelenggu di lautan

laut bergerak pelan dalam dongeng seorang anak yang


mencari ombak dirinya

aku yang berangkat menebar jala


antara kalianget - panarukan
sejuta misteri bergelantung didadaku

o, nelayan kecil ulurkan temali di rautku


aku adalah ikan yang terperangkap waktu dan
waktuku terbelah menjadi batu

antara kalianget - penarukan


siapa menungguku di sana?

4
bendera usang di dermaga telah meraungkan semangat bahwa
langit dan cahaya
telah berjanji
bercerita tentang hidup dan mati

antara kalianget - panarukan


biarkan aku menempa angin
langit jingga bercahaya

di seruak camar yang datang berbisik:


madura, adalah ombakmu

1985

5
Doa Penyair

petaka bulan di busung kelam


petaka matahari di busung kemarau hum

laut menjadi langit


langit menjadi laut
bumi gemerincing oleh petaka waktu yang
dicipta dari sebilah puisi

hum
berkaca diatas air, aku berkaca
berkaca diraut hari, aku berkaca
berkaca digarang matahari, ombak mendidih anak
jaman berkeliaran memanggul senapan menuding
padaku dengan busung dada hum

hum
doa penyair yang bergetar di seluruh alam
mencabik-cabik gelisahku
membungkam kenangan
perawan

6
anak angin yang diasuk ombak
memburu dan menacap belati didadaku
lantaran di bukit malam tak ada lagi
kunang-kunang yang mengabulkan doanya

kota-kata di muara
kembali bangkit menyoraki malam
dalam hum dalam sunyi
dupa-dupa yang kubakar di atas pusara
telah kau jadikan persinggahan dan pertentangan

hum
kelelawar terbang mematuk bulan
hum
aku terbang di lintar angan
hum
doaku yang kau panggang
telah kujadikan sebait puisi dalam hum

1986

7
Tanah Kelahiran

siapa yang duduk termangu di balik rimbun batu


seorang lelaki perkasa menabur bunga
di atas pusara para pendahulunya
yang gugur dan tak bernisan
kami berangkat dan kembali dalam luka
dan luka kami telah tergadai sejarah
sejuta malam menggusur barak-barak jiwa kami
sejuta tangan meremas dada kami
maka datangkanlah darah moyang kami
kami dahaga dalam waktu yang tersisa

1986

8
Aku dan Doa

(perjalanan menuju surabaya)

kota lama mendulang mega


mengucur airmata
dan bercakap-cakap sambil mengunyah matahari siang
tunduk dan bergetar
di jok mobil yang aku tumpangi
sarat doa tak terhingga

geliat batu-batu adalah simponi


menebar bayang-bayang
dalam tangis anakku
semalam

rindu

1986

9
Semesta I

entah telah berapa kali kugali kuburku


langit tetap juga jingga
darah, mata dan jiwaku
menggantungkan subuh di muara

langit kita langit cahaya :


katamu
laut dan gunung selalu saja bisu

sejuk milik siapa ibu?


kabut: katamu, ada dalam cahaya
dan aku tidak betah lagi
berkubur di laut resah
seperti pualam, engkau mendendam cinta
pada seekor kupu-kupu
dan kupu-kupu itu hinggap di dadaku
bergelayut dan tak berkata apa-apa

1987

10
Semesta II

angin tiba juga di hadang pagi


di dermaga api tak berasap
camar, buritan dan kapal
bersenda dalam gelisah
dini hari bingtangku jatuh
lalu pecah di atas mimpi

turunkan aku ke air


doa itu milik arus
yang berpusar di teluk angan
yang memercik darah: dalam sejuk

bila aku tiba kekasih


lantunkan tembang surgawi
belantara tak kujadikan lagi
ladang buruan, selalu saja sepi

1987

11
Semesta III

ciumlah debur ombak di muara


agar pucuk-pucuk mimpi terbangun dan
tak ada lagi kidung sangsai
yang melumat-lumat matahari

hari ini ombak tetap itu juga


bergulung dan mengobarkan cerita cerita
yang itu-itu juga

bila sampan lewat


mari kita sambut dengan pongah
sebab cinta di sana
berpangkal di jenjang kuasa

1987

12
Balon

burung hantu terbang ke kubang kanal anak


kecil menangis di ceruk karang
menggapai balon sambil berteriak mengejar angin di
pelabuhan melecut ombak di kejauhan
(sebelum awan jadi hujan, sebelum hujan jadi basah tanah kelahiran
diam tak bermakna)

“ombak milik siapa, ibu” tanya anak laut


bergelayutan
anak kecil memanjat tiang meraih balon seraya culik malam
“camar milik siapa, ibu?” tanyanya di karang hari
angin bertingkah di pelabuhan ombak
memecah jadi kata-kata perahu berlayar
menggusur denah
dayung-dayungnya bergerak dan berlaga

ketepak ketèpung, ketèpak kejeddur

demikian angin berderu-deru menyongsong anak di lautan menggulung


gunung di kabut mencercah resah di arus
anak meniup balon sambil menabur bunga dendam di hulu pagi
balon lepas diterjang badai

ketepak ketèpung, ketèpak kejeddur

13
anak gelisah mencari gerak dan suara
angan membuncah mengubur arah dan ibunda badai
bertarung menerjang surya
tak ada ucap yang bersuara
“badai milik siapa, ibu” anak ketakutan
burung camar beterbangan
angan anak gentayangan

ketepak ketèpung, ketèpak kejeddur

balon membumbung ke angkasa raya ibu


bergantung ditikam rasa
burung hantu terbang menyusup petang anak
kecil menangis di buritan
“balon milik siapa, ibu”
anak ternganga
laut berlaga

ketepak ketèpung, ketèpak kejeddur

hurah
balon terbang kian mengencang
bagai kuda menerjang perang anak
kecil tergerang-gerang balon pecah
ditingkap gamang “kepastian milik
siapa, ibu”
tak ada makna yang bertanda balon
hilang tak bertanda

ketepak ketèpung, ketèpak kejeddur

1987
14
Langit Suasa, Langit Pujangga

angin telah berhenti berhembus dimataku


lantaran bibir ombak bergincu malam
dan engkau diamkan cahaya menderaku langit
suasa langit pujangga
diladang ombak kau percik berita
“kenapa aku jadi nista, gusti”
orang-orang kampung yang dulu mencium tanganku
kini mencaci maki dan bertanya-tanya
“kenali tuhanmu”

ketika kulabuh lautmu


kutembang kalam-kalam langit dan bumi yang
mengantarkan seorang anak musafir
dan terdampar di pusaran waktu
lalu kau ajarkan aku bercengkerama walau tanpa kata “duh
gusti, darah nadiku mengalir deras ke muara”

o, anak ombak anak musafir yang


turun di jagat raya
nyalimu terbang ke bukit bara
jemputlah aku, jemput
selendang pelangi kan kugerai sebagai jalanmu
15
o, anak ombak anak musafir
yang tidur berbantal kalamullah
ajari aku bermimpi dan bercita-cita
aku penat mengurai luka dalam doa

o, anak ombak anak musafir


langitmu suasa
langitmu pujangga

1987

16
Rudat Pisau

janji bintang dan sapaan malam


mengaburkan semangatku untuk terbang
kumau seribu serigala mencabikku
sehingga matahari kabur dimataku
atau kau tusukkan saja belati keulu hatiku
agar engkau tidak kenal lagi kuburku

bila kau bintang, bintangkan pula nuraniku


bila kau malam, siangkanlah nyenyak tidurku
aku jenuh diberondong cerita moyang
yang memabukkan dan bertanya-tanya
atau kau gelisahkan aku dalam rudat panjang
yang menggerakkan awan dan cita-cita malam
maka, biarkanlah bila jagat ini runtuh
oleh hingar-bingar rudat pisauku

1987

17
Sya’ban

di daun sajak ada bintang terkatup matahari


di daun sajak ada pujangga tertidur di sahara

suara angin bergaung di depan angan


melantun sajak dihelai pagi
jamrut bumi jadikan bulan
yang jelang dijenjang angan

angin mati di tiang bendera


bulan bergantung di semai sajak
batu-batu terjerat di makam bunda
helai sajak meniti jiwa

orang-orang turun di lantai magrib


menyumpal sajak ruh syahadat
nyalimu bergayut di dalam hati
yang terkapar di lecut derai

bismillah
aku bersujud dalam lelah
di daun sajak ada cahaya menjerit lirih
di daun sajak ada darah membekas didahi

1987

18
Nyanyian Malam Jahanam Dibayang Silhuit dan Mata-
Mata Bulan yang Tak Sampai

petang-petang aku menjemput malam tanpa ketukan pintu malam


terkuak tanpa gerak tanpa suara
ketika gerimis berderai di halaman waktu
debu-debu kembali bersama ruhnya dipekuburan pagi dan
hilang begitu saja tanpa sapa dan kata-kata

betapa matahari sia-sia dipelipis luka


aku berdoa dari doa yatim piatu yang akan kembali
kerahim ibu bapaknya
apabila aku menuai kekuatan
atau sekedar menciumi bidadari-bidadari di tengah telaga

atau dengan semangat menanam pohon rindu di batu-batu engkau


selalu tidur di serambi nenek moyangku
ini kuasa, katamu

ada tiang dermaga tumbang di dekat kali


kali yang bening mengalir begitu saja
di hulu malam
dan benderaku robek dilecut gema
gema yang meluluhkan dari api jiwa
lalu berasap
matahari jelaga kali ini

19
ada wedang jahe diatas meja
ada sesulut api di mata bulan
ada ketiadaan yang tampak
dari merah putihnya berdera

untuk apa aku berdiam


gerimis telah mengajukan pertentangan antara esok dan kemarin? untuk apa
aku mengubur matahari sedang hari-hariku belum juga berdendang di tepian
angin?
untuk apa? dan ketika itu?
aku tak mampu menabur bunga diatas pusaraku sendiri
dan laut masih bersibak seolah melahapku
untuk apa? dan ketika itu?
engkau bernyanyi riang dan nyaring untukmu sendiri untuk
apa?
aku ingin tidur, katamu

1987

20
Laut Berduka

mengaji malam di laut: suaraku bergetar


gelombang yang berapung-apung
mengapungkan bulan

tatkala kuucap salam, langit menyambut geram apa


yang kau cari dikedalaman ini, kekasih
jiwa yang kekal ada di laut tenang
gelombang yang datang adalah suara kematian

mengaji malam diluat, suaraku hilang angin


yang bersiut
mengabarkan bimbang

1987

21
lalu

(ketika kupetik rembulan disela ranting


angin berguguran dan kubiarkan langit tergerai)

lalu tak ada kata-kata yang dapat kusimak


dari segala mesti
lalu kau pastikan
lalu kau tegakkan
lalu kau lecutkan
lalu gagak datang menjumputmu pulang
lalu waktu kau biarkan
lalu aku tidur dalam raga
lalu kau tusukkan ranting ke dada bulan
lalu malam menangis
lalu cahaya menuruniku lewat tangga
yang berlapis-lapis
yang kutahu kemudian
keningku mengucur darah

1988

22
Begitulah Perjalanan Waktu

buruh pagi yang tertidur di halaman kota, bangunlah


raja rimba yang tersesat di sudut belantara, bangunlah
desau angin yang tertancap di bukit, bangunlah
nyanyi kecapi yang terseret waktu, bangunlah

suara-suara datang menghadang di persimpangan


mengangkis nyali penyair
menyongsong kalimat tanpa baris
mengibar selamat tanpa hormat
menyusun hari tanpa mimpi mencipta
hukum tanpa palu mengubur jiwa di
dermaga

begitulah perjalanan waktu

buruh pagi yang terdampar: rengutlah


raja rimba yang terkapar: kafanilah
desau angin yang terlecut: lucutilah
nyanyi kecapi yang sunyi: iramakanlah
tiba-tiba aku terjerembab di jurang waktu
waktu kucabik-cabik hingga berlupa
bahwa sebenarnya aku adalah waktu

1988

23
Di Selat Madura

di selat madura
angin membimbingku menuju langit
matahari angkuh
membusung dada
aku gelisah

1988

24
Lagu Fajar
(catatan kecil buat anak-anakku)

I
kusaksikan bulan bergerak
mengejar percakapan kita
aku berdoa agar fajar menimangmu
engkau lelap dalam sunyi yang agung

kusaksikan fajar meraih jiwa “ayah,


tuhan senyum padaku”

II
begitu awan membopongmu ke bulan
puisi yang kusangkutkan di pundak pelangi
jatuh gemerincing dekat jendela
perjanjian telah tercatat
bahwa cerita cinta bertebar disana

25
III
akhirnya aku gamang
lantaran waktu merangkakiku
di sela-sela bimbang dan keterasingan

IV
tuhan yang telah kau kenal
kini menabur bintang
raihlah meski satu

V
bila cahaya mencengkeram nafasku
biarkan bulan meratap

1989

26
Aku dan Laut

siapa yang labuh di halaman ini


engkau atau aku
camar berkelebat memapaskan salam
engkau diam
aku termangu

ada suasana meradang


galau yang biru
riak yang riuh
ombak yang debur
angin yang siut
menjejal-jejal, menjala-jala di hadapan kita
hingga labuhku terperangkap dekapmu
yang gelisah

barangkali kita gemetar merangkul waktu


mencuci duka dalam kisi-kisi nasib
yang tak pernah selesai
lantaran dalam dalammu
adalah dalam dalamku
: letih dan bisu
(meski telah kurambat perjalanan hari
namun tak terjawab)

lewat kepak camar


kita sambut hidangan pagi
meski bertanya-tanya

1989
27
Dzikir

di tepian subuh, gerimis mengurai


menghadang pekabaran dan tanda tanya

embun yang singgah disudut hati


bernyanyi dan bersembunyi

pesan yang dikutipkan pada matahari


dimana engkau sembunyikan

1989

28
Tidur

saat tidur pertanda hari telah pergi


lantaran bidadari-bidadari bersenggama dengan nafsu

tak ada lagi nina bobo


dan percakapan hari esok

saat tidur kita siap berangkat


menuju negeri asing

1989

29
Aku Berlayar

aku berlayar di atas bidukku


yang kucipta dari keping-keping malam
biduk: yang pernah kusembunyikan di semak, lumpur dan darah
menjelma jaddi buaya
menerkam dan bertanya-tanya

aku berlayar menembus kelamku


bersama bintang-gemintang, angin: resah
bersama bising kota: angkuh dan asing
bersama ruh bersama mimpi bersama nuh
biduk: kukayuh dengan tangan luluh
jiwa yang angkuh

genderang ombak bagai nyanyian setan


tarian perempuan-perempuan telanjang
anak lelaki bermain angka-angka

sebegitu jauh angin berdesing menggugat dan digugat pilar-pilar


kokoh diantara kau dan aku
aku, katamu: elang bermata bara
ribuah cahaya yang tak tampak warna-warnanya
menembus waktu

aku berlayar dari pantaimu


yang sulit kugambar batas dan garisnya
namun aku tahu: pantai adalah batas hati memandang antara
pertanyaan dan kenyataan
seberapa jauh aku berlayar
30
menjejak lautmu melandas bumimu
memintal benang waktu dan kujadikan layar
merebut semangat mataharimu
namun, aku tak pernah tahu; kemana aku harus pergi?

di sini aku masih bertanya-tanya


katamu; kenali bayang-bayang

aku berlayar dalam sujud


mengaji arysmu di lorong-lorong di pasar-pasar
di dermaga di langit di kamar di bumi di antara mimpi dan nyata di
denyut didarah dirasa di riak di gelombang digetar lelakiku di goa
pertapaanku
dimana-mana

seperti kalam; aku adalah kapas yang merasapan warna warna


meski sulit kutebak jenis-jenisnya

aku berlayar dalam penantianmu


dalam dingin dalam panas dalam luka dalam rasa dalam hidup
dalam mati dalam dera dalam haus dan lapar dalam kaca dalam
cinta dalam dosa
dalam dalammu

aku berlayar ke negeri jauh jauh


jauh
jauh
dekat
mu

1990
31
Ketika Tangan-Tangan Terangkat

ketika tangan-tangan terangkat


engkau datang tak bertanya
lagu itu; irama resah yang tercipta di padang
mencabik sunyi gelisahku
merekam amanahmu

(di belantara langit dan bumi aku


berzikir memuja kalimatmu lantang
dan bergetar)

aku ingin seteguk anggur


yang kau sumba darah dan mengalir
ke nadiku

(darah yang menetes di hulu pagi kini


berpaling mencakar langit dan langit
berdarah)

siapa yang berkeluh sunyi


pupus alam merapatkan kenangan
dari sebuah percintaan
seperti sajak-sajakmu
dalam rinduku

1991
32
Perhelatan

sebaiknya kita bersalaman sampai suntuk


sambil memandang laut
menghitung dzikir ombak

beribu malam telah datang


ayo rentangkan tangan

(ketika nelayan memuja kelam laut


berkaca waktu
mengeja langit, awan dan camar)

o, orang-orang yang bernasib bintang


ayo lepas sarung pedangmu
kita bertarung di tengah lautan
dalam sujud yang runtut
dalam sunyi
dalam perhelatan yang tak selesai

(selepas subuh bintang-bintang jatuh berguguran kami


meraihnya satu demi satu)

sumenep, 1993

33
Percakapan Jaman

ayo kita berangkat menjala bintang gemintang di langit


di gunung di laut dan padang dikeramaian kota
orang-orang malam yang menjaga gardu malam kini lelap
tertidur
berselimut resah

o, anak jaman mari kita bertaruh


membendung laut dalam pencakapan matahari
malam telah lumat dan tak mau lagi
mengutuhkan mimpi
ayo kita raih satu demi satu
kekuatan waktu dari rimba belantara
orang-orang yang terbangun kesiangan
biarkan mereka lapar
biarkan mereka bertanya-tanya

seperti pejuang
aku pun merobek dada jaman

sumenep, 1993

34
Tentang Tidur

sebelum tidur
marilah bercakap-cakap
sambil meneguk secangkir kopi

malam kita tak berarti lagi bagi jaman


karena puisi yang kita sangkutkan di pundak bulan telah di
bawa lari oleh kawanan elang
padahal ia adalah warisan nenek moyang

sesaat tidur
jangan kau harap lagi mimpi
mimpi kali ini adalah mimpi para penjudi

1993

35
Rindu Ibu

ibu, aku datang lagi menjenguk rahimmu


masihkah ruang ini berderang
seperti ketika kutemukan arti
dalam puisi abadi

aku kini terseret dalam senyap


yang mengurung ruang dan waktu
hingga aku tertinggal jejakmu
yang konon mengisahkan tentang waktu

ketika orang-orang mengkultuskanmu


aku tak bisa lagi meraba hatimu
yang dulu sejuk, dan kini engkau semakin jauh
entah dimana

dulu engkau tempat berdiam dan bertanya


kini tiada lagi, lantaran telah kau jelmakan
dunia baru – sehingga wajahmu sulit kukenal
engkau adalah meteor mengitari langit peradaban

aku rindu petikan kidung nuranimu


yang dingin berapi-api – yang mengajarkan waktu
aku rindu wujud paras bunga harummu
yang pernah kau suntingkan kedadaku

1995
36
Catatan Yang Hilang

orang-orang yang kehilangan kata


berbaris menuju kota
mereka mencari jati dirinya

1993

37
Aum

maka jadikan percakapan ini


seperti aum harimau
jangan hiraukan percakapan orang-orang lapar
sebab mereka telah kehilangan hatinya sendiri
percakapan kita adalah matahari
yang setiap saat menyulut api
atau membakar kenangan

aum
percakapan tak kan selesai

1993

38
Angin Kemarau

angin kemarau datang berkali-kali


menerpa wajah kita

seribu suit dan derai


meruntuhkan waktu
dan waktuku sembunyi di balik batu

berkali-kali kita bercengkrama


sambil menenun sukma
berkali-kali kita selalu kalah

1993

39
Potret

yang
gerbang malam
yang
kucari

yang terpampang dalam


yang

kekasih

1983

40
Tanah Kelahiran
(sanjung untuk ibu)

memasuki tanah kelahiran


matahari berguguran
beribu kunang-kunang menggelandang gelisahku ke
pekuburan leluhur

ibu, bagaimana aku dapat bertaruh


bila burung-burung camar tak melaut lagi
mereka telah membangun sarang di antena parabola gedung-
gedung perkasa, tower dan etalase
sayap-sayap mereka bergelayut
dan berpendar di layar televisi
seperti sayap-sayap anak kota
selalu dalam gelisah

(dayung sampan yang kau wariskan padaku kini


kutancapkan di tengah kota
orang-orang mengkultuskannya sebagai tugu kemenangan padahal itu
hanya bayanganmu)
41
tanah ini menjadi genit
mereka menyolekinya seribu warna
mereka taburkan ornamen-ornamen bahasa
padahal aku tak pernah tampakkan wajahmu
pada mereka
tatkala aku lahir dari rahimmu
lalu kau lulur bedak
atau kau soleki warna sumba

ibu, aku lahir untuk siapa


orang-orang sering berlabuh menyusuri ufuk namun
tak sampai juga
orang-orang menderap dan mengurai angin dekat ufuk
mengingatkanku ketika kau ajari aku menabur benih jagung hingga
keringatku menyuburkan tanah warisanmu

(ketika kuziarahi kuburmu


engkau menangis gelisah)

1993
42
Pasukan Malam Telah Datang

pasukan malam telah datang


bergerak dan menderap takbir sampai ufuk
orang-orang yang terdampar di kaki bukit
kini bangkit meneriakkan salam
dalam simbah darah dan sejarah

orang-orang yang berdamba


membangun nisan kenangan; mencuri diri
“badai telah usai, lepaskan sayap-sayap elang”

langit subuh telah mengkristal


dan mencair dalam bah; “malam porak-poranda”
lalu kita menyatu dalam tahlil dan tahmid
lalu kita berdoa dalam kibar bendera setengah tiang
(saat itulah orang-orang angkasa luar berdatangan mengenakan baju
hitam sambil meneriakkan lapar dalam pawai dukacita)

orang-orang yang berdamba


biarkan berpeluk keranda
sampai akhirnya akan tiba kabar langit
tentang tempat kita nanti
“aku berdongeng dari negeri asing dan kini berdiri di
simpang jalan mencari arah lubukmu”

1993

43
Tentang Sepotong Jantung

kini sudah saatnya kukabarkan padamu


tentang kebinalan matahari yang tiba-tiba menangkup mata
mendesak panas dalam gerai langit terbuka
kukabarkan padamu; tentang sepotong jantung
yang dilindas bolduzer sejak mula engkau pergi

sampai saat inipun engkau pasti melupakannya


meski jantung yang membelah dada
masih saja berdenyut menapak hitungan sejarah
meneriaki lompatan-lompatan waktu
yang diperdaya musim dampai ajal

sepotong jantung yang kini telah mengering


mulai bertumbuhan benih-benih baru dan berkeliaran
sepanjang jalan raya, simpang waktu, kota-kota
bahkan sampai pada pengkultusan diri

“kau dengar derap mereka, bergerak menuju surya


dalam pesta anggur, darahmu juga”

kukabarkan padamu; tentang benua yang pernah kau impi itu


kini mulai tampak dihalaman peta sejarah
meski masih lembab oleh tetes air matamu
mulut yang tak henti-henti melafal jaman
kini tak lagi dusta
karena nasfasmu terus mendendam bersama darah

“biarkan mereka mengalir menuju masa


menapaki belah jantungmu
setip rongga dada sampai tiba di muara”

1998
44
Percakapan Lembah

bukankah kita telah menemukan arti yang berawal dan berakhir


yaitu nyanyian para nabi yang melahirkan hidup
melahirkan bahasa dan kata; melahirkan makna dan tanya
didalam dada ada lubang dalam yakni miskat menyekat langit-langit
rahim dan cahaya yang melahirkan kita

seperti kelahiran alam kita adalah waktu


sisa dari sebuah karang ceruk yang bersuara ketika kahabisan kata
yang menangis ketika kehilangan makna
di tanah ini orang-orang selalu membincangkan nasib para
pendahulu, membincangkan harkat dan hakikat memperbincangkan
rindu, memperbincangkan hidup memperbincangkan keangkuhan,
kebobrokan dan apa saja dalam pelukan mimpi-mimpi dan rangkaian
angka-angka

adakah diantara kita selalu bertanya tentang suara dan arti kata
hati dan pikiran kita semakin dibelenggu
oleh kemunafikan dan tersesat di tengah belantara nafsu
sedang kita di sini, di tanah ini, anak cucu menangis mengais ufuk
yang hangus dibakar sejarah
atau biarkan saja mereka memamah dirinya dalam sampah kenangan
membusuk dan melantangkan jerit tangis bayi yang belum terlahir
sedang kita di sini, di tanah ini, masih puas bersolek dalam
percakapan hingar bingar nasib sendiri

45
di lembah ini mari bersolek doa meski ajal berdarah
nasib hanya sebatas nafas dan rindu sejarak angan
mari jadikan pertanyaan panjang, pertanyaan yang melahirkan
kemenangan sebelum kita dihukum peradilan yang nyata

kalau kita harus kalah, biarkan langit menangis


karena telaga nurani di sana telah disiapkan untuk minuman kita
dan dicatat di pintu-pintu sejarah
kita hanya tinggal menghitung waktu, sedang waktu sebatas hari ini

1993

46
Ketika Kita Bertanya

sekian kali kita tak bertegur sapa


sekian kali berlumur darah
sekian kali kita menampik suara
sekian kali luka makin nganga

pertama kali kita bertanya


wajah-wajah muram dan nyanyian asing
bergema di pekabaran malam dan kabut
mayat-mayat berselimut daun-daun kering
berguguran bersama ufuk
entah sampai kapan kita bertanya

ketika gelombang tsunami menudung jasat orang tercinta


darah mereka menjadi sunyi mengalir dari waktu ke waktu
dan mencaci tepian sejarah
mengapa engkau diam saudara
entah sampai kapan kita bertanya

setiap kali waktu berkapar, rindu mencair


setiap kali angin berguguran, kita kehilangan arah
setiap kali daun-daun runtuh, betapa sunyi malam ini
setiap kali hati menjerit, oh betapa angkuhnya kita

1994
47
Kata Malam

kata malam engkau lahir dari mimpi


begitu sunyi
aku tak sanggup lagi bercerita
tentang belantara langit, padang-padang, laut dan ombak
nyanyian musafir dan kenangan
karena engkau mengajakku bersembunyi di balik nasib
atau selesaikan saja lewat nafas waktu

kata malam engkau berlari bercadar rindu


betapa angkuh
kita belajar pada waktu, pada musim
atau bernyanyi-nyanyi sambil membakar kenangan yang kian
melelahkan

percakapan kita adalah nafsu adam


sampai kini membujukku untuk bertanya
dalam rindu nganga

48
kata malam engkau datang padaku
tapi aku berlupa
hingga jarak di antara kita makin jauh
jauh
dan kita menangis disetiap hening
aku tak peduli lagi harus bagaimana kurangkai nasib

antarkan aku ke telaga sepimu


untuk kucuci resah
lantaran di tanah ini
tidak ada lagi tempat berbenah
semuanya penuh anyir darah

1994

49
Jadikan Aku

jadikan aku sungai dibuangi sampah


jadikan aku laut tempat berlayar para nakhoda
jadikan aku gelombang tempat bersiut camar-camar
jadikan aku goa tempat orang-orang bertapa
jadikan aku telaga tempat bermandi
orang-orang terluka
jadikan aku oase tempat persinggahan para musafir
jadikan aku mabuk yang tak hirau kata-kata
jadikan aku celah pemantul cahaya

dongeng orang-orang kota makin lelah mengeja waktu


dan tak lagi mampu menulis sejarah
: sejarah telah ditimbuni oleh luapan angka
dan menari-nari sampai ringkih

aku coba untuk mengerti lempang jalan ini; raut wajah


yang kehilangan tanda-tanda; kehilangan makna
betapa piciknya, ketika matahari menerpa ubun-ubun
kita makin dibuai beribu muslihat
seraya menggagahkan diri
sambil menggapai-gapai langit yang kian menjauh

aku coba untuk mengerti makna hari ini


aku coba untuk mengerti ketidak mengertian ini

bila aku sampai tepian – saudaraku


biarkan kuraih cahaya bulan yang berbinar
sebab laut, sungai, telaga dan percikan air
adalah hausku yang purnama
sebab hutangku pada waktu makin menjejal
sebab dari sini persoalan demi persoalan akan berakhir
ketika kubasuh wajah seraya kusapa waktu
begitu sejuknya matahari di padang sahara

aku mencoba meniadakan kesangsian tapakmu


tapi jangan kau tanya,
mengapa tubuhku berlumur darah
lantaran beban bumi ini makin sarat dan berkarat

maka jadikan aku tanah tempat pijakmu

1995
50
51
Daun-Daun Cahaya

jangan kau patahkan ranting-ranting dekat jendela


pohon yang tumbuh itu telah bertahun-tahun terpelihara
disitulah aku belajar makna hidup dan harga diri
sebab orang-orang yang lewat akan menyapanya
dan memetikkan daun untukku

daun-daun yang bercahaya kini mengabdi pada puisi


yang lahir dari keterasingan malamku

1995

52
Pagi-Pagi Ketika Burung Berkicau

pagi-pagi ketika burung berkicau


siapa berdamba di lengang kota ini
di halaman mimpi daun-daun berguguran
bersama embun dan mencair dalam sujud

pagi-pagi ketika burung berkicau


siapa berdamba resah di pojok tanah ini
di kebun-kebun bunga para perempuan desa
memetik kembang dari tangkai hatinya
dan berkobar bara cinta

(di balik awan burung-burung menjuru ke langit mematuk-


matuk ozon sampai berdarah
bunga-bunga di kebun, perempuna desa dan mimpi
menangisi nasib mereka sampai ajal)

siapa yang beruntung memuja alam ini


dialah orang pertama penyejuk puisi

1995

53
Ingat Kota

berjalan di atas duri dan batu


berjalan pulang menuju gua pertapaan

telah sekian kali aku ingatkan; bahwa awan berarak


langit cerah biru adalah tipuan hati sendiri
kita selalu mencoba berpicing mata menggerai
gelisah
meringkik di kota
takkan selesaikan ringkih bumi ini
dari pertempuran nafsu

kini saatnya kita kembali meninggalkan persimpangan


seraya menghitung lembaran kenangan
yang sebagian telah disobek waktu
atau kita bersenda sambil menyulut api birahi sampai
suntuk

berjalan diatas duri dan batu


aku teringat kotaku

1995
54
Anak Perahu

begitu sampai di muara kita kehilangan arah


karena lambai ombak telah menghadang
dan lagupun hilang di pungut camar
di sini angin terbakar oleh sejarah yang kian menyesakkan
o, anak perahu, lautmu telah jadi kota purba
orang-orang di persimpangan kini menjejalkan tangis
nyalang mata dan airmata

baiknya jangan pedulikan ombak


ombak telah menjelma impian bahasa
ombak adalah kata yang tak bermakna
berputar-putar dalam kata
ombak adalah bising kota

o anak perahu, diamkan ufuk dimatamu


sesaat lagi laut ini akan jadi bah lalu mengusikmu
seperti orang-orang kota terusik gumpalan jaman
baiknya kau dendangkan saja nyanyian laut
agar ikan-ikan terpikat mengucap salam
bahwa sebenarnya kaulah penguasa laut

1994-1995
55
Senja Di Taman
arti cinta bagi ayah

senja di taman sambil menghitung bintang


mengingatkan sebuah pertemuan
ketika engkau berbisik dalam harum impian senja
di taman adalah bunga
yang menyisakan kenangan; sunyi abadi

luka sangkur yang terbenam di dadamu


topi baja menguatkan keangkuhan
kini telah menjadi puing sejarah
yang meretaskan airmata

senja di taman, aku ingat ketika kau sulut api


pemberontakan; tajam matamu adalah elang
bukan merpati
lantaran engkau sangat mengerti arti jaman
meski harus berdarah

senja di taman, busung wajah gelisahmu


mengentalkan jihad bahwa perjuangan ini
adalah mata cahaya berkilat dibelati ruhmu

senja di taman, masih kusimpan putih kamboja


mewangikan langkah lunglaiku

1995
56
Saat Menunggu

saat menunggu, langit telah mengantarkan nafas ini sampai jauh;


“aku menemukan kata dari bahasa matahari yang terus menyiratkan
petaka sampai daun berguguran”
nyanyian penziarah dengan khusuk bercerita tentang kemenangan
dan kekalahan
kini tinggalkan kenangan seperti ombak menyisakan arus lalu hilang
begitu saja

orang-orang yang melintasi sepi kini kembali lagi mengisahkan


tentang waktu yang selalu dirundung gelisah
untuk apa kau tinggalkan tanah ini
sedang sabdamu yang menggema seluruh penjuru
tak lebih dari bait-bait puisi orang-orang pinggiran

barangkali masih kau ingat; kebun bunga di halaman rumah


mulai bermekaran dan dikitari oleh ribuan warna
untuk kusuntinngkan pada perawan asing
gelisah menunggu

aku selalu menunggu

1995
57
Ziarah Di Kota Mati

ziarah di kota mati; siapa yang kubangga


sisa arang dari perapian waktu sembunyi
dibalik ketidakberdayaanku kota
runtuh lantaran sengat matahari

disini orang-orang hiruk-pikuk menabur


bunga di pekuburan leluhur memoles wajah
di terik panas hari dan tak mengenal diri
lagi

di kota mati; aku menziarahimu


dupa yang kubakar diantara puing-puingmu
telah menjelma gunung dan sungai
menjaga haus laparku dari terik musim
dan kini orang-orang mengkultuskanmu
seperti ketika kau lahirkan cinta
dari pertemuan padang gelisah

aku larut dalam ekstase kenangan; mabuk birahi


ketika kuciumi anyir darah
di etalase mimpi-mimpi buruk
mewujudkan api pemberontakan
“ini kenangan terakhir bagimu”
58
di kota mati; siapa lagi rindu kedamaian
sebab pendiri kota ini
sekian kali mengelus dada

di kota mati; aku sembunyi


di balik derai tangismu

1996

59
Matahari dan Kita

matahari ini, milik kita mari bagi-bagi


merajut sutra dari helai nafas, betapa nikmat
seperti menyusun abjad yang ditabur nafsu
penghuni rumah-rumah jelaga
perempuan memanggul senapan mencabik buruannya
dikediaman maut, terpelanting jatuh
namun sejarah tak mencatatnya

tak ada yang berani memetik musim


anak-anak bersenda di halaman laut
wajahnya lebam oleh ombak
siapa terenyuh menatap bintang, dadanya akan terbakar

matahari ini adalah kita bersulam emas


dan tak henti-henti memekik kenangan dalam rimba gelap
“kita lahir kembali dibimbing waktu”

60
baju yang kita kena lumat dalam dingin dan basah
seakan menyapaku lagi dalam pelukan darah perempuan
yang kehilangan makna
hati yang kuyup oleh angin, membimbingnya hingga laut
ya laut kita
dan siapkan waktu, akan kurobek baju malammu
dalam bara birahi

bagai serigala, laparku meraung


meski kaki malamku terpincang-pincang
namun aku sanggup mengejar kuda liarmu
sampai mabuk minum darahku sendiri
“jelitaku gelisah fajar berbaik kembali pada kita”

bait puisi yang tertinggal di setiap pojok waktu


kini berbakar dalam ufuk
mari kita buka kembali pintu langit tempat kita berkeluh

1996
61
Belajar Maknai Diri

meski akhirnya tak kupahami juga


mengapa burung yang kuterbangkan untukmu
tak lagi kembali
padahal telah kutoreh langit
agar kau berdiri tegak melafal abjad waktu

seribu cahaya yang tercipta dari percik api


telah kuterjemahkan menjadi bait puisi
yang telah kuajari lewat matahari

“perlawanan ini makin sepi” bagitu katamu


seraya kau campakkan vas bunga ke halaman nurani
vas bungapun pecah dan gerimincing sampai ulu hati
lalu dihembus angin dan engkaupun menjerit
meratapi malam gelisah

kini aku tak sanggup lagi menjerat burung


meski burung-burung yang kurangkai
telah kupersembahkan bidadari
62
“keabadian yang sunyi” katamu lagi
namun siapa yang berani bertaruh melewati padang
sedang lentera di tanganmu menyulut jemarimu
padang menyala-nyala dan engkaupun terjerembab
di jurang kenangan yang busuk

ketika itu kuterbangkan kembali burung-burung malam


namun bintang-bintang berguguran
lalu kuraih dan kusimpan dalam lemari jiwaku

“inikah keabadian yang sunyi”


aku tak sanggup berseru lagi

1996

63
Skestsa Kesaksian

ini perjalana akhir, kenangan bisu


yang celupkan perjanjian atas hitam putih
kita tak perlu lagi tandai hari ini
dengan kata-kata sepi
(sebab puisi yang kusangkutkan di pundak pelangi
kini berjatuhan di penuhi darah kita sendiri)

telunjuk yang menunjuk ke langit


telah terpotong oleh mata belati
hingga hitungan nafas kita makin sesak
: begitupun angin kering menghalau kenangan itu
namun tetap juga kita bertanya-tanya

beribu serigala terlelap dalam igau panjang


dalam kesaksian mata bulan

apakah tanda ini telah tidurkan nurani para


penghuni jagat ini?
: kenangan bisu makin biru; jadi riak, jadi badai,
jadi dentum, jadi ruh, jadi bahasa yang menghanguskan abad
jadi cahaya

aku memandangmu berdiri tegak diantara tugu-tugu


pekuburan moyang-moyangku

kali ini kujelmakan kata puisi


hitam putih kenangan bisu
kesaksian dari perjalanan waktu

1996

64
Bunga dan Laut

kupetik bunga laut dari laut


dan kupersembhakan pada laut
penuh damai. awan dan camar silih berganti
merebut nasib dan berdamba pada laut

bungat laut yang kukenal dari senyum ibuku


telah kusuntingkan padamu
hingga lautku yang berombak
mendebur nasib anak cucuku

aroma bunga yang kucelup dalam laut


kini kembali menggedor pintu-pintu persembahan
lalu kau taburkan aroma itu
ke dalam laut jiwaku

1996

65
Musik Berguguran

sampai kapan benih yang kutanam menjadi bunga-bunga


ketika musim barat, hujan pun berkeluh pada langit
bahwa musim tak memberkati bumi ini

benih itu kini lumat bersama musim


dan membatu dalam darah dan airmata

“jangan kau salahkan ibu melahirkan karena


rahimnya adalah kehidupan bumi ini”

benih yang kutanam telah menjelma beton raksasa


dan musim pun kering
terik yang panjang
bunga-bunga yang akan kupersembahkan padamu justeru
menghanguskan hatiku sendiri

1996

66
Wajah

memoles wajah di terik matahari


siapa tampak di cermin
aku impikan sebuah dunia
yang lahir dari pantulan cahaya
dan berbias ke seluruh waktu

seperti memandang laut


akupun puisi tak bertepi
yang tak lekang oleh terik
yang tak lekang oleh kuyup
karena wajah di cermin adalah
bahasa jati diri

wajah di cermin
adalah wajah kita sendiri?

1996

67
Tanah Pembakaran

kepergianku dari tanah ini


lantaran aku penat melumat luka
setelah sekian kali bersenggama dengan api
yang kian memerahkan matahari

siapa lagi yang akan menuai sisa pembakaran


yang kerap melahirkan perselisihan?
siapa lagi yang berani menancap belati di punggung serigala
yang meraung-raung di celah-celah pagi?

darah dan percakapan hari ini


telah menabur musim dari waktu ke waktu
musim yang merobek-robek tanah leluhur
kemarau panjang
aku tak akan pernah kembali sebelum pucuk-pucuk siwalan
mengabarkan batu nisan moyangku

(petani yang sembunyi di balik rimbun kenangan


memaksakan diri bercengkrama dengan maut dan
meneriakkan kekalahannya
dalam lumur darah)
68
sekian lama tanah ini kehilangan ruh
lantaran waktu telah menidurkan kata puisi
dan menjelma menjadi ruang industri
perkampungan yang sunyi

di tanah ini, siapa bertanya tentang darah


dialah orang pertama
menyusun bata-bata kemenangan
meski tetap bertanya

1996

69
Negeri Impian

negeri impian adalah sungai-sungai yang


mengajarkan air mengalir ke muara
ikan-ikan bersisik emas, gemericik batu-batu,
kicau burung dan pepohonan
kubangun cahaya sebelum subuh menepi

negeri yang kubangun dari bara nurani


kini sarat oleh para petapa mengeja kata-kata
hingga bibirnya pecah-pecah

kekasih, nyalakan perapian


karena sesaat lagi gelap menyergap kita
sebelum negeri ini di telan gulita

1996

70
Upacara Kehidupan

bersama nuh kita berlabuh menuju langit


siapa yang dengar dentum petir
jangan coba sembunyi di atas bukit
karena matahari akan merajamnya

bersama nuh upacara kehidupan terus berlanjut


dari kata sampai bahasa; dan tak pernah selesai
karena perahu nuh adalah puisi
yang meramaikan kehidupan

1996

71
Kota Darah

orang-orang kota mulai sibuk menggali jazatnya sendiri


diantara gedung-gedung beton dan waktu
bayangan gelap menumpahkan birahi gairah
nafsupun makin memburu sampai ujung
mimpi
catatan sejarah jadi gelisah
pematang yang dulu ditanami biji kenangan
kini menjadi perbincangan para peronda yang lelah
terjejali mimpi panjang anak-anak yang tertidur di
pangkuan ibunya menjelma jadi boneka
lalu terlempar ke sudut-sudut kota

bercak darah menghitamkan gelisahku


siapa yang peduli
di atas kota awan berarak
dan sesaat lagi mencurahkan hujan darah

sumenep 97

72
Menanti Subuh

setiap detak jam terus berdenyut mengajarkan


maut dari waktu ke waktu
kapan jalan ini menjadi lapang
mencapai puncak kemenangan
seperti ketika para pendahulu
menghitung abjad sampai larut

kita terlanjur mengurai benang hitam


sementara langit mendesah mengabarkan petaka
bagi para pezalim dan berlupa pada lumut
sehingga kata tak lagi bermakna
kita terlanjur pulang kemalaman

tuhan, kunanti subuhmu


yang tercipta dari embun kehidupan
dalam tahmid dan takbirmu

sumenep, 1997

73
Obsesi Bunga

ya, keindahan itu awalnya dari bunga-bunga


dan kini lumat di pucuk gelisah
bunga-bunga yang tercerapi nafas nafsu
berhembus di meja pertaruhan
para pencipta legenda waktu

kibaran bendera yang beraroma bunga-bunga


makin kering mengundang asap
bunga pun lena dalam belaian angin gurun
ketika bunga-bunga bermekaran
putik yang berjatuhan makin bising
dan selalu mengabdi pada mimpi

bunga-bunga beku jadi batu


burung-burung ababil memungutnya
lalu ditaburkan pada keluh penista

bidadari yang bermandian teluk angan


matanya jelalatan memangut birahi
bunga-bunga tidak lagi membawa berkah
pada nisan tak bernama

sumenep, 97
74
Orang-Orang Tersisih

bukankah kita telah sepakat


bahwa penghuni kelam ini
adalah serpihan cahaya yang terendam waktu
kita telah terlanjur membuai kenangan
meski luka-luka kita bernanah
sebab hitam ini telah mengajarkan
tentang peristiwa lama
tentang buai dan percakapan sunyi

wajah-wajah yang kerap berbasuh di telaga


telah manyatu dengan kita
wajah-wajah cermin
dibinar bulan telanjang

kita adalah orang-orang tersisih dari jaman


sebab jaman ini terlonta dan nestapa
kita adalah orang-orang bersepakat
mengejar cahaya meski harus kalah

sumenep, 98
75
Para Petualang

para petualang datang silih berganti


menuju hulu seraya menyelami batu-batu
lalu menyumbat arus
“aku datang selayaknya laki-laki”

putik bunga di bukit telah bermekaran


mengharumi setiap perawan telanjang
mandi dan membasuhi ketiak waktu
sampai malam pekat
“aku teringat tangis ibuku”
ketika rahimnya pecah disulut waktu

ketakutan ini mengepakkan sayap burung


hingga santapan pagi yang kuhidangkan
kini lumat dimuara
“malam telah lewat jangan hiraukan nasib burung”
sebab kita segera bergegas

seperti beton dan baja


nafasku jadi beku
wajah yang berbinar lantaran percik darah
akupun terhempas dicela waktu
“mari kita pulang”

sumenep 97
76
Lahir Dari Keprihatinan

kapanpun setiap kata yang terucap


adalah bahasa tembaga

baiknya kita melafal dzikir


mengkaji ayat-ayat malam
menguji hijau daun-daun
menggali rawa-rawa retak kemarau panjang
hingga mulut berdarah

api yang terbakar kenangan


hilang dalam senyap
mata sayu para peneduh di persimpangan
mengekalkan abad ini sampai maut

di sana kita melapang dada


meski otak dicemari angka-angka
dalam perhitungan nasib
dan tak henti-henti

saat kita lahir bumi di buai darah


merah itu adalah kata-kata yang terucap
hingga waktu mendesak tubuh menjadi anyir

siapakah yang melahirkan keprihatinan ini


selain kita ?

sumenep 97

77
Tubuh Berlumur Darah

“aku datang pada setiap tubuh berlumur darah seiring


sayangku pada dunia”
meski akhirnya tergilas juga jiwaku
membaca kata-kata sambil memandang langit
bersibak menyemburkan zat
dan lahirlah manusia baru

manusia tak lagi menjadi rahasia


karena janin yang terbungkus selimut rahim
makin pongah mendongakkan wajah
dan menjebol tebing kegairahanku
demikian kuat abad mengikatkan tali temali
angin lembab menghauskan mulut waktu
yang terus menganga

“zat-zat itupun mencair manjadi nanah”


kealpaan siapa ini
sedang kita masih saja mengembara

sumenep 97
78
Merenung Tentang Kemerdakaan
(cerita buat generasi)

dik, ketika tanah ini ranum dan merkah


orang-orang sibuk memperkenalkan diri sebagai penguasa
orang-orang bercermin dalam seribu wajah
orang -orang terjaga menghalau mimpi buta
disinilah bahasa menjadi selogan-selogan purba
retorika yang berhembus nafsu para penista

dik, terasa kompenin dan nipon bersama kita

kita terlanjur mencintai tanah air


meski masih terbata-bata mengucapkan “merdeka”
sebab kemerdaan yang kami minta
bukan parfum para pesolek
bukan kata dan air mata
bukan senapan dan desing peluru di telinga
bukan semarak gedung dan pijar lampu kota
tapi irama tembang percakapan nurani
yang membiaskan cahaya dari hati kehati

79
entah sampai kapan kita bisa memiliki
tanah yang pernah tersimbah darah ini
sampai kini masih terasa
namun tak lagi punya makna

dik, marilah kita merenung sambil mencuci diri


sambil mengucap sumpah
kemerdekaan adalah hak yang harus di pertahankan
walau menjelma dari darah

sumenep 98

80
Takkala Mimpi Tak Berarti Lagi

tadi malam aku bermimpi bintang-bintang berjatuhan


langit hampa melompong
pagi-pagi anak-anakku berebutan meraih bintang-bintang itu
dihalaman rumah
namun semua hangus tak berbentuk lagi

buah apel yang kupetik kemarin dikupasnya dalam rindu


anak-anakku merebusnya dalam api mimpi
dan kemaluannya terus menyeburkan bisa-bisa
yang sesaat lagi meracuni hidup sendiri
“nyalakan lilin dekat tidurku ayah ” kata anakku seraya
mengalungkan bayangan kepermukaan malam

“ternyata mimpi dalam tidur yang paling menakutkan”

1997
81
Kelahiran Kembali

hari ini – ketika fajar terapung


aku lahir kembali dari mimpi
bangkai nasib yang membusuk
keniscayaan telah terjadi

aku ulang kembali sejarah leluhur


kata bapakku “kita telah merdeka”
seraya menunjuk selembar bendera
berlumur darah dari dadanya

(namun aku tidak cerita


bahwa sebenarnya kemendekaan hanya sebatas angan
pejuang meski harus berlumur darah )

aku menangis menghianati bangsa sendiri


kemerdekaan yang ia banggakan
telah hancur oleh penghianatan bangsanya

hari ini – ketika terik memanggang


aku belajar menata diri
merangkai kata – mencuci nasib
lalu kuteriak kan kata “merdeka”
namun tetap saja sepi

(seraya kunikmati siaran televisi


kuraih kegelisahan bangsaku
dan aku tersadar bahwa hari ini
kemerdekaan masih diperjuangkan

mei 98
82
Suara

keinginan saja tidak cukup gelorakan nada biola


kecintaan suara bukan karena akibat datangnya sebab
tapi keterbukaan nurani yang diasah musim dan waktu
sampai akhirnya suara menjadi makna

dengarkan saja, ingin menggesek awan menjadi petir


bagaimana ombak menghantam tebing menjadi debur
atau suara angin yang memburu setiap tonggak menjadi nyanyi
nafsu membentur alam menjadi lengking bayi
tidak ada yang mengajarkan lagu itu
kecuali kebeningan hati melepas sesak dari

sampai kapanpun, segala yang pekik


tidak selamanya menekan telinga
kecuali mampu lagi menggenapi waktu
seperti yang telah diajarkan sebelum mengenal suara

nah, mari tajamkan teliga


dengarkan irama biola
nasib saudara tercinta
yang tak lagi mengenal kata

sumenep 1998
83
Surat Terakhir

surat yang kaukirim padaku


akhirnya kubuang kejurang galianmu
lantaran surat yang kubaca masih tampak
bercak dara

sebab suratmu telah menjelma ayat-ayat


bahasa luka dan berkeluh mengurai masa

siapa yang sanggup meniadakan kebenaran


ketika mulut tak lagi bersuara
orang-orang terjaga menampik subuh
lalu menyulut api memberdayakan diri
hingga ujung bayonet yang kau asah berhari-hari
menusuk jantungku
ketidakberdayaan ini menjelma angan
“yang sebenarnya telah kutitipkan padamu”

“kemenangan tidak lagi berarti


bila tidak mengenal sejarah”
begitu bahasa suratmu yang sempat kubaca
84
akhirnya sepiku makin tersusun rapi mimpi-
mimpi tak lagi cerminkan kata dan suara
karena sajakku telah terlumat oleh waktu

aku telah coba menuntut balas


lewat lolong srigala
tapi siapa yang berani mengucurkan tinta
bila surat yang kan kubalas membaui aroma darah
aku ingin merujuk padamu
meski mulutku tak lagi punya suara

sumenep 97

85
Tentang Penyair

Syaf Anton Wr, lahir di Sumenep, 13 Juni 1956. Selain menulis puisi, cerpen,
novel, essay, juga menekuni teater, dan jurnalistik.
Sejak duduk di bangku SLTP (1973) menyenangi menulis dan membaca
puisi di radio-radio Sumenep setiap program acara apresiasi sastra.
Kemudian mengikuti lomba-lomba baca puisi dan mengirimkan puisi-puisi ke
media remaja, khususnya Surabaya.
Tamat SLTA (1977) hijrah ke Surabaya dengan mengandalkan
kemampuan menulis puisi dan cerpen serta mengirimkan tulisannya ke
berbagai media, baik Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Tahun 1978 diminta
almarhum Suripan Sadi Hutomo, membantu menjaga rubrik “Balada”, Harian
Bhirawa, khususnya rubrik sastra dan cerita mini berbahasa Madura. Sampai
tahun 1981 terus menulis puisi, cerpen, artikel dan jurnalistik dengan
menghasilkan ratusan karya. Akhir 1981, kembali ke kampung halaman di
Sumenep, lalu mendirikan Bengkel Seni Primadona; (1984) bergabung
dengan Sanggar Seni Kembara (1985) ; tahun 1985 mendirikan Sanggar
Sastra Mayang; (1997), mendirikan dan Ketua Forum Bias (Forum kajian
sastra dan budaya) (1994), mengkoordinir seniman dari semua bidang seni,
sekaligus sebagai koordinator Jaringan Seniman Sumenep (JSS) (1999), dan
sejak tanggal 14 Oktober 2000, melalui Musyawarah Budaya, dipercaya
sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Sumenep.
Sejak menetap di Sumenep, ia banyak melakukan gerakan kesenian ke
berbagai kantong-kantong kesenian Sumenep, khususnya wilayah pesantren.
“Gerakan pesantren” ini dilakukan secara kontiniu setiap hari Jum’at (libur
pesantren). Sudah puluhan pesantren, yang besar maupun yang kecil,
dijelajahi dengan melakukan pembinaan kesenian, khususnya sastra dan
memunculkan banyak pelaku seni, baik yang menetap di Sumenep maupun
keluar.
Kumpulan puisi tunggalnya, Cermin (1990) dan Bingkai (1993). Selain itu
beberapa karyanya terangkum dalam antologi bersama, antara lain:Puisi
Penyair Madura (Sanggar Tirta, 1992), Festival Puisi Jatim (Genta, 1992),
Pameran Seni Rupa Keterbukaan (KSRB, 1994), Tanah Kelahiran (Forum Bias,
1994), Nuansa Diam (Nuansa, 1995),
Sajak-sajak Setengah Abad Indonesia (TBS, 1995), Kebangkitan Nasional II
(Batu Kreatif, 1995),Tabur Bunga Penyair Indonesia I (BSB, 1995), Bangkit III,
(Batu Kreatif, 1996), Tabur Bunga Penyair Indonesia II, (BSB, 1996), Api
Pekarangan (Forum Bias, 1996), Negeri Impian (Forum Bias, 1996), Negeri
Bayang-Bayang (FSS, 1996), Langit Qosidah (FKBI Annas, 1996), Antologi
Puisi Indonesia (KSI, 1997), Luka Waktu (TB Jatim, 1998), Memo Putih, (DKJT,
2000) dan sejumlah antologi lainnya yang tidak terdokumentasi.
Dalam perkembangannya ia cenderung lebih memperhatian
kehidupan budaya dan sastra Madura, yang selama ini dinilai mengalami
kemunduran. Selain sering diundang sebagai pembicara dalam forum-forum
sastra maupun terkait kesenian dan kesastraan Madura, sampai kini masih
aktif memberi motivasi kepada generasinya baik secara personal maupun
melalui komunitas-kimunitas sastra.
Sekarang tinggal di Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, serta
mengelola website www.lontarmadura.com, www.okaramadura.com dan
lainnya.
87

Anda mungkin juga menyukai