Anda di halaman 1dari 3

Arena Wati Malaysia

Oleh Mubha Kahar Muang

Arena Wati adalah salah seorang dari sembilan Sastrawan Negara Malaysia ketika itu.
Sastrawan Negara ialah sastrawan Malaysia yang telah menerima Anugerah Sastra Negara
dari Kerajaan Malaysia. Anugerah ini merupakan penghormatan tertinggi kerajaan terhadap
sastrawan yang telah memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan
kesusasteraan kebangsaan.

Arena Wati memperingati ulang tahunnya yang ke-80 pada tanggal 31 Juli 2005 dan
dirayakan dengan sebuah seminar di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur,
dirangkaikan ramah tamah yang dihadiri dan diberi sambutan oleh istri Wakil Perdana
Menteri Malaysia, Ny. Dato Sri Rosmah Mansyur. Kehadiran istri Wakil Perdana Menteri
Malaysia ini bermakna amat penting karena selain sebagai representasi tingginya apresiasi
kalangan pemerintahan terhadap para sastrawan, juga karena Ny.Rosmah Mansyur sendiri
memiliki wawasan sastra yang aktual. Dalam sambutannya terungkap, bagaimana seharusnya
para sastrawan bersikap terhadap ancaman kebudayaan populer yang agaknya dapat
menyisihkan karya kanon sastra dari peradaban besar dunia.

Anugerah Sastra Negara ini adalah gagasan Perdana Menteri Tun Hussein Onn yang
menginginkan pemberian penghargaan sastra yang berprestasi dan dimaksudkan untuk
mengangkat martabat sastra di Malaysia. Pertama kali di anugerahkan pada tahun 1981
kepada Dr Kamaluddin Muhammad atau Keris Mas. Kemudian berturut-turut tahun 1982
dianugerahkan kepada Prof Emeritus Dato Dr Shahnon Ahmad, 1983 kepada Datuk Dr
Usman Awang, 1985 Datuk Dr A Samad Said, 1988 Dr Muhammad Dahlan Abdul Biang
atau Arena Wati, 1991 Prof Dr Muhammad Haji Salleh, 1993 Datuk Noordin Hassan, 1996
Datuk Abdullah Hussain, 2003 Prof Madya Dr Syed Othman Syed Omar atau S Othman
Kelantan. Bagi sastrawan penerima anugerah Sastrawan Negara oleh pemerintah, selain
mendapat hadiah yang cukup lumayan juga diberi jaminan hidup dan berkarya kepada
saatrawan dimaksud untuk seumur hidup termasuk kemudahan menerbitkan karya-karyanya.

MERANTAU dan menjadi sastrawan, boleh jadi hal unik dalam tradisi rantau masyarakat
khususnya dari Bugis Makassar, karena di tanah rantau, lazimnya lebih banyak memilih
profesi bisnis dan pedagang. Tapi keunikan itulah yang terjadi pada Arena Wati, lelaki
kelahiran Kalumpang, Jeneponto, Sulawesi Selatan 30 Juli 1925 yang terlahir dengan nama
Muhammad Dahlan Abdul Biang.

Kisah perantauan lelaki yang menjadi salah satu penulis penting di Malaysia saat ini, dapat
dilacak dari karya-karya yang ditulis dan dipublikasikannya, terutama dalam memoarnya,
Enda Gulingku (1991), dan karya-karya lainnya yang berupa 24 buah novel, 87 cerita pendek,
6 antologi cerpen, 23 esei dan kritik sastra, 9 buku kajian sastra, 12 buku puisi dan sebuah
autobiografi, yang dalam hitungan Universitas Kebangsaan Malaysia berjumlah kira-kira
18.000 halaman.

Rantau dalam pengertian Arena Wati yang unik itu, telah melampaui sekadar migrasi dari
kampung halaman menuju wilayah yang jauh, karena migrasi yang terjadi pada Arena Wati
yang menerima Anugerah Sasterawan Negara dari Pemerintah Kerajaan Malaysia (1988),
adalah migrasi kesadaran dalam sebuah penjelajahan kultural yang amat penting, tidak saja
bagi tanah kelahiran, tetapi juga bagi tanah rantau pemukimannya saat ini. Sebuah rantau
yang menyatupadukan, kalau tidak dapat dianggap telah dan “menjembatani” banyak aspek

1
kebudayaan Indonesia dan Malaysia. Arena Wati menjadi warga negara Malaysia
diperkirakan sekitar tahun 1962 dan atas nama Malaysia pula telah menerima beasiswa
persahabatan dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, Universitas Leiden, Belanda dan
Universitas Kyoto, Jepang. Arena Wati juga telah memperoleh anugerah SEA Write Award
dari pemerintah Thailand (1985).

ARENA Wati memulai kiprah kepengarangannya di Makassar, setelah cerpen pertamanya


“Impian dan Kenyataan” dimuat harian Pedoman Rakyat pada 1952. Pendidikan awalnya
sendiri dilewatkan dengan sempurna melalui HIS, MULO dan HBS, sekolah Belanda yang
ada di Makassar dan setelah kemerdekaan menempuh pendidikan SMA, tamat 1953.
Dorongan menjadi penulis seperti diakuinya datang antara lain dari neneknya, Daeng Kunde,
yang senang menuturkan kisah-kisah dan dongeng yang dituturkan sang nenek pada masa
kecilnya. Ayahnya sendiri, adalah seorang pemilik perahu padewakang, dengan armada yang
melayari nusantara.Dari sinilah kemudian Arena Wati, setamat sekolah, memulai perantauan
dengan menjadi pelaut.Hal ini dapat dilacak dari novel pertamanya yang terbit di Singapura
1959, Kisah Tiga Pelayaran.

Dalam dunia pelayaran, sebagai pelaut, Arena Wati hampir dikatakan adalah pelaut yang
sempurna setelah semua strata dalam pelayaran telah dilaluinya sampai ke tingkat nahkoda.
Kemudian menjadi Pegawai Perencanaan Harian Dinas Angkutan Angkatan Darat
Territorium VII di Makassar yang mengelola pengiriman pasukan dan logistik ke seluruh
Sulawesi, Bali, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara dan Maluku. Kemudian Arena Wati mulai
bekerja pada perusahaan penerbitan di Singapura sekitar tahun 1962 setelah itu pindah ke
Johor Baru, Brunei, hingga tahun 1974 bertugas di Pustaka Antara Kuala lumpur.

Pengalaman menjadi pelaut inilah agaknya yang memberi bahan yang lebih dari cukup bagi
Arena Wati dalam kiprah kepengarangannya. Penerima Anugerah Mastera I, di Brunei
Darussalam 2003 ini, pun umumnya menulis berdasar latar belakangnya sebagai pelaut dan
tentu dalam hal ini, perantau, dalam proses kreatifnya. Novel-novelnya yang kental bernuansa
biografis, membuktikan bahwa sebuah perantauan adalah proses ulang alik kesadaran antara
tanah kelahiran dan tempat tujuan dalam sebuah proses menyilang, saling melengkapi dan
menumbuhkan sehingga melahirkan hal-hal baru yang memperkaya. Para perantau, akan
senantiasa merekam dengan indah manusia dan budaya asal bahkan cenderung
meromantisirnya, untuk kemudian turut mengintegrasikannya dengan kenyataan di tanah
rantau. Ini antara lain dapat dibaca dalam novel karyanya yang terbit tahun 2005 ini, Warna
Sukma Usia Muda.

Dan dalam hal Arena Wati, yang karya-karyanya juga dapat dipandang bersemangat
romantik, telah melakukan sebuah pekerjaan agung dengan memperkenalkan,
mensosialisasikan bahkan mensintesakan budaya Bugis Makassar dengan budaya Melayu di
Malaysia. Hampir dalam setiap karyanya, Arena Wati senantiasa menyisipkan kata Makassar,
baik dalam format cetak miring maupun tidak, untuk menegaskan maksud dan makna yang
ingin disampaikannya.

Bahkan dalam prasaran yang disampaikannya dalam memperingati 80 tahun kelahirannya


hasil kerjasama Gabungan Penulis Nasional (GAPENA), Penerbit Universitas Kebangsaan
Malaysia, Utusan Publication, Dewan Bahasa dan Pustaka, yang dirangkaikan dengan
peluncuran 6 buah buku terbarunya, makalah Arena Wati sangat kental dengan kata-kata
Makassar. Sebagai tanda terima kasih kepada lembaga-lembaga penting kebahasaan dan
sastra Malaysia itu, Arena Wati menulis :

2
“ ... saya mohon diizinkan mengungkapkan satu rangkap kelong (tanpa hurup miring)
Mangkasarak atau pantun Makassar ... :
Sitamparang Pangngainnu – Selebar lautan kasih sayangmu
Sidolangang pangngukrangingku – Sedalam samudera kenanganku
Kubolik mintu – Kusimpanlah itu
Majannang ri bolotingku – Abadi di ulu hatiku”

Atau baca juga kalimat ini, dalam makalah yang sama :

“ ... masih teringat patunruk kana Mangkasarak (tanpa cetak miring) yang berbunyi ;
balanga sala dekdek (dengan cetak miring), maknanya belanga salah canai. Itu
ditujukan kepada salah laku kanak-kanak, salah laku remaja, salah laku jejaka, salah
laku teruna dara sebagai belanga salah cenai ... baik patunruk kana Mangkasarak
mahu pun bidalan Melayu kedua-duanya bahu-membahu menggalas maksud
didaktik ...”

Artinya, kiprah Arena Wati sebagai sastrawan di rantau, sekali lagi, telah memperkaya kedua
kultur, Melayu, Bugis Makassar dan Indonesia. Dalam ungkapan langsung dapat dikatakan
bahwa khasanah bahasa Melayu telah diberi imbuhan kosa kata Makassar oleh Arena Wati
melalui karya tulisnya.

Jakarta, 10 September 2007

Anda mungkin juga menyukai