Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PEMBUATAN SERAT POLIESTER


I. 1 Bahan Baku dan Bahan Pembantu
1.1.1. Bahan Baku
Bahan baku utama yang digunakan yang digunakan untuk membuat serat polister adalah asam
tereftalat murni (Purified terepthalic Acid) dengan etilena glikol (Ethylene Glycol), serta bahan tambahan
(additives) yang teriri dari:
 Titanium dioksida (TiO2) yang berupa pigmen
 Antimony asetat (SbAc3) sebagai katalis
 Kobal asetat (CoAc2) sebagai additive
 Asam posfat (H3PO4) sebagai stabilizer

1.1.2. Bahan Pembantu


Bahan pembantu dalam proses pembuatan serat polyester diberikan finish oil atau pelumas yang
fungsinya sangat penting yaitu untuk melemaskan, menghindari terjadinya slip, menghilangkan sifat
kohesi antar filament dan menghilangkan sifat elektrostatik pada serat. Pelumas yang digunakan pada
proses spinning adalah campuran takemoto 105 (TX 105) dan Takemoto 106 (TX 106). Sedangkan untuk
proses draw line adalah campuran TX 105 dan TX 120. Air yang digunakan untuk campuran finish oil
adalah demineralize water.

I. 2 Proses Pembuatan
Proses pembuatan serat staple polyester yang dilakukan di PT Polysindo Eka Perkasa II
Karawang adalah proses kontinyu atau langsung (direct spinning). Proses secara langsung dari cairan
polimer menjadi serat filamen mempunyai keuntungan yaitu dapat menghemat energy sebesar kira-kira ±
25% dar total biaya yang diperlukan untuk memproduksi serat.
Polimer diolah menjadi serat staple polyester melalui proses pembuatan serat yang dilakukan di
Departemen fibre, dimana pada bagian ini terdiri dari dua tahapan proses yaitu:
1. Proses pemintalan leleh (melt spinning)
2. Proses penarikan (draw line)

1.2.1. Proses Pemintalan Leleh


Lelehan polimer dari reactor finisher yang didistribusikan ke bagian spinning akan diolah menjadi
flamen melalui tiga proses,yaitu:
1. Pelelehan polimer
2. Penarikan dan penggabungan filamen (take up)

1
3. Penampungan filament (traversing)
Secara umum proses pemintalah leleh adalah proses pemintalan yang melibatkan pemompaan
lelehan polimer dengan laju yang tetap di bawah tekanan tinggi ke spinneret, dimana cairan
polimermenyembur dari lubang-lubang spinneret ke udara, dan ketika mendingin bahan polimer menyatu
membentuk benang halus. Selanjutnya benang- benang halus polimer ditarik melalui proses take up
(perangkapan dan penarikan filament) dan ditampung dengan satu can dengan daffing time (waktu
pengisian) yang telah ditentukan.
Lelehan polimer dengan suhu tinggi (2850C) dari tanki discharge (A-M20A) Di Departemen
polymer dialirkan melalui suatu system pemipaan ke viscometer yang engontrol viscositas lelehan.
Polimer di pompa ke continuous polymer filter (CPF) untuk menyaring kotoran dan untuk menstabilkan
suhu polimer dalam manifold dipakai pemanas yaitu santoterm yang diselimuti jaket wool disetiap pipa
yang dilalui polimer sampai di manifold.
Selanjutnya lelehan polimer masuk ke unit spinning manifold (terdiri dari gear pump, matering
pump dan pack), Gear pump yang mempunyai kapasitas 30CC mendistribusikan lelehan polimer sebesar
845 gram per menit ke spinning pack yang terdiri dari beberapa set filter dengan diameter lubang berbeda
untuk tiap filter, lalu keluar dalam bentuk filamen dari lubang-lubang spinneret berdiameter 0,25 mm.
Gear pump adalah komponen yang intinya terdiri dari dua logam bergerigi yang mempunyai
volume 30 CC, yang dapat digerakkan sehingga jika polimer masuk akan mendapatkan tekanan yang
besar dan banyak sedikitnya polimer yang keluar tergantung dari kecepatan putaran roda gigi. Putaran
roda gigi ini digerakkan oleh pompa yang berupa motor dengan kecepatan tertentu yang dapat diatur
sesuai kebutuhan. Kecepatan motor ini akan mempengaruhi polimer yang masuk ke dalam spinning pack.
Gambar assembling gear pump 30 CC dapat dilihat pada gambar 1.2.3 halaman 5.
Spinning pack berfungsi sebagai pengubah polimer dari bentuk lelehan menjadi filamen
sebanyak 1360 filamen. Spinning pack ini terdiri dari beberapa set filter, yang besarnya diameter lubang
tiap filter berbeda-eda. Hal ini bertujuan untuk menstabilkan aliran polimer yang masuk ke dalam
spinneret. Susunan filter dalam spinning pack beraturan, mulai dari diameter yangterbesar menuju
diameter yang terkecil. Diameter lubang spinneret mempunyai ukuran 0,25 mm. Lubang-lubang spinneret
harus benar-benar dalam kondisi bersih, karena sangat berpengaruh terhadap kualitas produksi. Pada saat
spinning pack akan diganti, sebelum dipasamh di spinning pack harus dipanaskan terlebih dahulu 4 ham
sebelum dipasang. Gambar susunan spinning pack dapatdilihat pada gambar 1.2.4 halaman 6.
Filamen yang baru keluar dari spinneret masuk ke Quenching Duct untuk dipadatkan dengan
pendinginan oleh arus udara dingin yang laminar dan seragam pada suhu 18-19 0C dan kelembaban relatif
55-70%. Kemudian masuk ke mesin take up melalui spinning tube. Filamen dari masing-masing spinneret
ditarik.

2
Pengeluaran lelehan polimer (melt spinning)

Pendinginan filamen

Pemberian pelumas (oiling)

Proses
Penarikan dan perangkapan filamen (take up) pemintalan
leleh

Penampungan filamen (traversing)

Penyusunan tow / creeling

Perendaman

Penarikan filamen (drawing)

Pemantapan panas (heat setting)

Proses
Pengeritingan filamen (crimping) pengolahan
lanjut

Pelumasan filamen (oiling)

pengeringan filamen (drying)

Pemotongan filamen (cutting)

Gambar Diagram Alir Proses Pembuatan Serat Stapel Poliester


Sumber : Departemen Fibre PT Polysindo Eka Perkasa II Karawang

3
POLY POLY POLY POLY
LINE LINE LINE LINE
A B D E

Lelehan polimer Lelehan polimer Lelehan polimer Lelehan polimer

Chip Chip Spinning Chip Spinning Chip


Spinning Spinning
Granulator Granulator Granulator Granulator

S S S S S S S S S S S
M M M M M M M M M M M
# # # # # # # # # # #
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12

CAN CONVEYING AND CREEL AREA CAN CONVEYING AND CREEL AREA

DL 62 DL 61 DL 60 DL 59 DL 58 DL 57 DL 54 DL 55 DL 56

Gambar Distribusi Polimer Poliester


Sumber : Departemen Fibre PT Polysindo Eka Perkasa II Karawang

4
5
6
dengan menggunakan penghisap udara lalu dilewatkan pada cleaner guide untuk mengaitkan filamen agar
kneeling atau kotoran tidak terbawa proses selanjutnya. Kemudian dilumasi oleh rol oil, dipilin oleh
guide keramik dan diarahkan 900 untuk masuk ke horizontal line. Disini filamen mengalami perangkapan
dan penarikan dari beberapa posisi menjadi satu bagian yang disebut sub tow. Tow ditarik melewati mesin
take up oleh enam buah roll capstain masuk ke roda gigi sun fower. Tow yang keluar dari sun flower
ditampung dalam sebuah can dengan waktu pengisian (doffing time) tertentu pada bagian travesing, lalu
ditarik ke draw line dengan bantuan key guide dan eye guide pada bagian creeling.
Secara garis besar, gambar proses penarikan dan perangkapan di mesin take up dapat dilihat pada
gambar 1.2.5 di halaman 8.

1.2.2. Proses Pengolahan Lanjut Pada Area Penarikan (Draw Line)


Dari bagian creeling, filamen-filamen tersebut dioleh lanjut di bagian draw line untuk dijadikan
serat stapel poliester. Draw line sendiri bertujuan membentuk filamen dengan denier akhir sebagai hasil
penarikan maksimumnya dan pembentukan crimp serat.
Departemen Fibre sendiri mempunyai dua jens mesin, yaitu :
1. Mesin Eastmen (teknologi Amerika) terdiri dari D/L 54, D/L 55, D/L 56, D/L 57, D/L 58, D/L59,
D/L 60.
Dengan pengelompokkan proses sebagai berikut :
 Proses dari D/L 54 dan D/L 55 berasal dari SM #5A dan SM 5B
 Proses dari D/L 56, D/L 57 dan D/L 58 berasal dari SM #1, SM #2, SM#3 dan SM #4
 Proses dari D/L59 dan D/L 60 berasal dari SM#7, SM#8, SM#9
Gambar skema prose pengolahan mesin lanjut menggunakan mesin Draw Line merek Eastment
dapat dilihat pada gambar 126 halaman 31.
2. Mesin Fleissner (teknologi Jerman) terdiri dari D/L 61, dan D/L 62 dan prosesenya berasal dari
SM#11 dan SM #12
Gambar skema proses pengolahan mesin lanjut menggunakan mesin Draw Line merek Fleissner dapat
dilihat pada gambar 127 halaman 32

7
8
9
10
Setiap jalur pada draw line terdiri dari proses persiapan dan penyusunan sub tow pada creel
(creeling), peregangan awal (pre-tention), perendaman (ammertion bath ) , penarikan (draw stand) ,
pemantapan pans (heat setting), pengeritingan (crimping), pelumasan (oiling), pengeringan(drying),
pemotongan (cutting) dan pengebalan (balling), dimana proses tersebut berjalan secara kontinyu.
Spun tow dari can dengan bantuan key guide dan J-guide disusun pada enam band comb
guide yang masing-masing memiliki 10 posisi dengan jarak antar posisi 6cm. Spun tow kemudian
ditarik melalui pre tension stand (PTS) yang memiliki 7 rol (berdiamer @20 cm) dengan tujuan
menyeragamkan tangan rantai polimer pada spun tow oleh gerakan menyilang. Kemudian dilewatkan
dalam immertiom bath berisi air panas (dari steam 30 psi) melalui 2 rol dan spray finish oil untuk
relaxing dan menyeragamkan sifat fisiknya, karena spun tow dalam cara pertama moisture content
paling rendah/lebih kering, elektrostatik lebih tinggi, sedangkan kohesi dan oil pick up lebih rendah.
Selanjutnya spun tow ditarik oleh draw stand (DS) I dengan 7 rol panas dari steam dengan tekanan
150 psi yang disirkulasikan oleh shell dan tube H.E. Lalu ditarik oleh DS II yang memiliki 7 rol berisi
steap 150 psi dan suhu 1200C dengan wrapping brush sebagai indikator bila terjadi wrapping.
Kemudian dileewatkan dalam steam chest dengan suhu 1400C sebelum dilakukan penarikan terakhir
oleh DS III, dimana akan menentukan sifat-sifat serat yang meliputi denier (kehalusan serat), tenacity
(kekuatan tarik) dan elongation (mulur). Setelah itu spun tow mengalami pemantapan panas secara
bertahap dari heat setter (HS) I sampai HS I yang memiliki masing- masing 4 rol berisi 400 psi,
dimana spun tow memiliki batch water shringkage konstan yang langsung mempengaruhi dye take
up (kemampuan serat dalam menyerap warna) dan dry heat shringkage (mengkeret serat karena
pemanasan). Pada DS IV spun tow didinginkan melalui rol-rol berisi air chiller untuk
mempertahankan sifat fisiknya, sehingga tidak akan berubah oleh perlakuan fisik dibawah suhu
pemantapan panas. Spun tow lalu melewati kiss roll untuk dilumasi finish oil dengan konsentrasi 3%
memenuhi spesifikasi oil pickup standar. Kemudian disusun oleh tow stacker untuk mendapatkan
permukaan kontak yang bagus sesuai dengan desain crimper roll. Sebelum masuk crimper (2 unit
dengan kapasitas 2,1 juta denier per crimper) untuk pembuatan crimp tow dengan standar 12-13 cpi
(crimp per inchi), dilakukan perataan panas dengan steam 20-25 psi melalui connecting duct. Crimp
tow diarahkan oleh tow spreader masuk ke dalam dryer dengan 3 zone pemanasan, untuk
menurunkan MC dari 2 % ke 0,3 %. Kemudian tow ditarik melalui beberapa tension untuk dilakukan
pemotongan dengan panjang tertentu oleh mesin cutter dengan kapasitas 28 kg/menit menjadi serat
stapel. Serat stapel dalam upper gate (tempat penampungan potongan serat stapel dengan kapasitas
maksimum 50 kg) ditampung sementara sebelum dimasukan dalam weigh hopper untuk ditimbang
dengan kapasitas baller 350 kg.
Nomor serat stapel poliester yang dihasilkan terdiri dari enam macam, yaitu 1,4 denier x 32 mm,
1,4 denier x 38 mm, 1,4 denier x 44 mm, 1,4 denier x 51 mm, 1,2 denier x 32 mm, 1,2 denier x 38
mm. Sedangkan tipe serat yang dihasilkan terdiri dari dua jenis yaitu tipe SD (Semi Dull) dan SDOB

11
(Semi Dull Optical Bright). Khusus untuk pembuatan chip poliester terdiri dari tiga jenis, yaitu tipe
Semi Dull (SD), Semi Dull Optical Bright (SDOB), Super Bright (SBR).

1.2.2.1. Sub Proses Penyusunan Subtow (Creeling)


Pada proses ini, ujung cable atau subtow yang telah disimpan selama ± 5 jam dalam can
diambil satu persatu, lalu dikaitkan pada pengait J guide supaya subtow dari can yang satu dengan
subtow dari can yang lain mempunyai tegangan yang sama dan tidak bersatu satu sama lain, dari J
guide subtow dimasukkan ke eye board yang terdapat pada bar guide. Bar guide yang digunakan ada
empat tipe. Setelah dari bar guide, subtow dimasukan ke stand guide yang tingginya sama dengan J
guide. Setelah dari stand guide, subtow dilewatkan pada home guide, untuk mengatur subtow yang
akan digabung menjadi tow (filamen) rata. Untuk mengatur tegangan, maka tow dilewatkan pada rol
pretention sebelum tow dimasukan ke dalam bak perendaman awal (pre-tention bath). Banyaknya tow
yang dikaitkan pada proses creeling ditentukan oleh kapasitas crimper yaitu 2,2 juta denier tiap line.

1.2.2.2. Sub Proses Perendaman dan Pelumasan Filamen


Proses perendaman dilakukan dengan demineralize water (biasanya disebut water
demineralize atau WD), yqng dicampur dengan finish oil dengan konsentrasi 3%.
Tow dalam can telah disimpan lama sehingga kandungan finish oil dalam tow yang berada
pada dasar can lebih banyak dari tow yang berada pada permukaan can. Maka untuk menyeragamkan
kandungan finish oil tersebut, tow dibilas dengan WD dimana dimana penggunaan spray WD
menjelang akhir creel diperbanyak. Pembilasan tow dengan spray WD dapat menyebabkan
kandungan finish oil yang terlalu sedikit atau terlalu banyak yang akan menyebabkan slip pada draw
stand I (DS I) sehingga penarikan tidak rata. Untuk mencegah hal tersebut, maka setelah melewati
spray WD tow masuk ke bak perendaman awal pre water bath untuk pemberian finish oil sehingga
kandungan oil subtow rata dan proses selanjutnya berjalan lancar.
Proses perendaman selanjutnya terjadi setelah tow keluar dari DS I, yaitu hot water bath.
Kondisi proses berlangsung pada suhu 70 0C untuk mengkondisikan tow agar molekul-molekulnya
mulai bergerak dan memudahkan proses penarikan awal.
Perendaman selanjutnya terjadi pada quenching bath yaitu setelah proses pemantapan panas
menggunakan WD yang ditambahkan finish oil. Kondisi proses berlangsung pada suhu 15-20 0C
supaya tow terbentuk menjadi stabil dan mantap setelah pemanasan yang tinggi. Selain pada proses
spray WD dan finish oil digunakan pada saat tow keluar dari mesin crimper.

1.2.2.3. Sub Proses Penarikan Filamen (Drawing)


Proses penarikan filamen (tow) dimaksudkan untuk membentuk serat dengan nomor denier
tertentu dan juga meningkatkan orientasi molekul serat sehingga kekuatan serat meningkat. Proses
penarikan tow (drawing) terjadi di antara Draw Stand I (DS I) dan Draw Stand II (DS II) serta di

12
antara Draw Stand III. Perbandingan kecepatan putaran rol (draw ratio) tergantung pada tipe serat
yang dibuat.
Proses penarikan tow dilakukan secara bertahap dengan tingkat pemanasan yang bertahap pula.
Tow yang keluar dari DS I akan mendapatkan perlakuan panas dengan suhu 70 0C, sehingga molekul-
molekulnya mulai bergerak dan memudahkan proses penarikan pertama oleh DS II. Proses penarikan
di antara DS I dan DS II merupakan proses terbesar yaitu sekitar 80 % dari penarikan.
Setelah tow keluar dari DS II, tow masuk ke steam chest yang bersuhu 125 0C untuk
memanaskan tow sebelum dilakukan penarikan pada DS III dengan dengan besarnya penarikan
sebesar 20 % dari total penarikan. Pada DS III selain tow mendapatkan penarikan juga mendapatkan
panas dari rol sebesar 180 0C untuk mengkondisikan tow sebelum masuk ke heat setter. DS III
merupakan pusat penarikan pada proses draw line dengan kecepatan putaran sebesar 170 mpm.
Pada DS IV, tow yang sudah stabil setelah melalui proses pemantapan panas akan mengalami
relaxing, dan pada saat itu terjadi T 10 yaitu kekuatan tarik pada saat ditarik 10 % dari mulur. Prose
draw line semuanya diatur oleh DCS (Distribution Control System).

1.2.2.4. Sub Proses Pemantapan Panas Filamen (Heat Setting)


Sub proses pemantapan panas adalah proses pemberian panas dengan suhu yang tinggi pada
rol-rol yang dilewati tow.
Fungsi pada pemberian panas adalah untuk menstabilkan atau memantapkan tow setelah
ditarik maksimum sehingga tidak kembali/menyusut apabila tow tersebut dilepas dari posisi
penarikan. Selain itu tow-tow yang sudah mengalami penarikan maksima, maka tow tersebut tidak
akan berubah/menyusut setelah menjadi fibre pada suhu di bawah suhu pemanasan.
Sub proses pemantapan panas dilakukan di draw line sebelum tow dilakukan penarikan, hal
ini untuk memberikan pemuaian sehingga tow tidak putus. Pemberian panas selain pada water bath
dan rol-rol draw stand, juga pada steam duct yang letaknya antara draw stand I dan draw stand II,
draw stand II dengan draw stand III yang fungsinya sama sebagai pemuaian.

1.2.2.5. Proses Pemberian Oil (Oiling)


Sub proses oiling adalah suatu proses pemberian oil pada tow dengan konsentrasi tertentu.
Pada proses ini permukaan tow diberi oil dengan konsentrasi Tertentu sesuai dengan produk yang
diproses, jadi oil yang dipakai tidak sama antara denier yang satu dengan yang lainnya
(konsentrasi oil tiap deniernya berlainan). Dalam proses ini tidak sama dengan proses di
water bath atau dengan cara perendaman, tetapi yang direndamadalah rol nya (kiss roll)
dengan cara berputar karena adanya tekanan dan gesekan dari tow yang melewati roll
tersebut.

13
1.2.2.6. Sub Proses Pengeritingan Filamen (Crimping)
Sun proses crimping adalah suatu proses pengeritingan tow dengan cara melewatkan tow
diantara dua roll (nip roll). Fungsi pengeritingan padatow adalah untuk membuat tow menjadi keriting
sehingga mempunyai sifat yang menyerupai serat alami yang fungsinya untuk menjalin fibre yang
satu dengan fibre yang lain pada proses pembuatan benang dengansatu atu dua macam serat pada
pemintalan benang sehingga kuat. Selanjutnya tow yang telah dijadikan satu bagian dan telah
melewati steam box tersebut ditarik ke dalam crimper dengan cara ditarik dengan mengait.
Selanjutnya, tow akan ditarik/ dijepit oleh nipp roll dan kemudian terjadi pengeritingan, karena
melawan arus balik dari arah jalannya tow. Selain itu, karena adanya pemanasan dengan steam pada
stuffing box dengansuhu 75°C, sehingga tow akan lebih mudah keriting.
Di dalam proses pengeritingan ini dilengkapi juga tow stacker yang berfungsi sebagai
pengatur tegangan tow sebelum tow dimasukkanke crimper.

1.2.2.7. Sub Proses Pengeringan (Drying)


Proses pengeringan filament dilakukan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat dalam
tow, sehingga dapat diatur moisture content serat yang diinginkan.
Temperature yang digunakan untuk mesin dryer line 61 (Fleissner) terdiri dari tiga zona
pemanasan, yaitu :
- Zona I (heating) dengan suhu 100 ± 5 °C, adalah fasa dimana dilakukan pemanasan awal sampai
pada temperature uapnya dan biasanya telah terjadi sedikit penguapan.
- Zona II (evaporating) dengan suhu 95 ± 5 °C, adalah pasa penguapan pada kandungan air di
permukaan.
- Zona III (cooling) dengan suhu 75 ± 5 °C, adalah pengeringan lanjutan untuk mendapatkan
temperature tow yang diinginkan.
Suhu pada masing-masing zona dapat dikontrol sesuai spesifikasi MC yang dikehendaki.
Pengaturan MC dimaksudkan untuk mendapatkan kualitas fibre yang diinginkan sehingga
mempermudah proses pengepakan dan pembuatan benang di spinning mills.

1.2.2.8. Sub Proses Pemotongan Filament (cutting)


Pada proses ini tow masuk pada alat pemotong yang dibantu oleh sejumlah alat pembantu
yang berbentuk plat. Tow yang masuk k cutter kemudian ditarik sampai tegang. Pemotongan
dilakukan secara berputar oleh sejumlah mata pisau yang terdapat pada kepala cutter yang berbentuk
piringan.untuk merubah ukuran panjang serat staple agar sesuai dengan yang diinginkan, tinggal
mengganti kepala cutter yang sesuai dengan ukuran panjang serat yang akan dibuat dan menset jarak
antara satu pisau cutter terhadap pisau cutter yang lainnya sesuai dengan ukuran panjang serat staple,
misalnya 32, 38, 44, 51 mm. Jarak pemanasanpisau cutter pada kepala cutter tersebut menunjukkan
panjang serat yang dihasilkan.

14
Pengaturan lingkaran pada permukaan pisau melalui tekanan roll yang diset 1/8 inchi dari
pinggir mata pisau. Pada saat tow berada antara ujung pisau dan roll penekan, maka top pada bagian
dalam akan terpotong. Serat yang terpotong berada diantara mata pisau kemudian jatuh ke bawah
melalui alat pemandu dan terbawa oleh hisapan menuju baller.

1.2.2.9. Sub Proses Pengepakan Stapel (Balling)


Sub proses balling adalah suatu proses pengepakan dari hasil akhir staple fibre berupa bal-bal
dengan berat standar tertentu. Fungsi dari balling adalah untuk mempermudah pemindahan produk ke
tempat lain dan untuk memperlancar jalannya proses. Hasil pemotongan di mesin cutter kemudian
dimasukkan kedalam feed roll, dan ditimbang secara otomatis dengan mesin balling press sampai 350
kg. Setelah itu balling press akan memutar secara otomatis. Setelah staple tersebut berbentuk bal-bal,
selanjutnyadilakukan proses pengecapan atau pelabelan sesuai dengan data yang diperoleh dari
proses-proses sebelumnya. Data tersebut mencakup berat dalam satu bal, kehalusan serat, ukuran
panjang, jenis grade serat, dan lai-lain.

1.3. Jenis Produksi


1. Asam Tereftalat Murni (Purified Terepthalic Acid)
Asam tereftalat murni yang dikenal dengan PTA dihasilkan dalam bentuk serbuk putih dengan
kapasitas produksi PTA sekitar 300 ton per hari dimana hasil produksi sebagian dikemas untuk dijual
dan sisanya ditransfer ke dpartmen Polymer.
2. Chip Poliester
Chip polyester merupakan lelehan yang telah dikeringkan dengan potongan ukuran 4 x 2,5 x 1,5
mm. chip polyester yang dihasilkan ada tiga jenis , yaitu semi dull, semi dull optical bright, dan super
bright. Kapasitas masing-masing tipe polimer polyester untuk chip polyester dapat dilihat pada table
dibawah ini.
Tabel 1 KAPASITA PRODUKSI MASING-MASING TIPE POLIMER
POLIESTER PT POLYSINDO EKA PERKASA II KARAWANG
POLY A POLY B POLY D POLY E
Jenis polimer polyester SD SD SD-OB S-BR
Kapasitas Terpasang (Ton) 200 200 200 200
Produksi (Ton/hari 180 ˟ 180 ˟ 180 ˟ 60
Spinning Line 11,12 Line 7,8,9 Line 1,2,3,4 Line 5a,5b
Produksi (Ton/hari) 100 100 100 Project
Fibre Line 61,62 Line 59,60 Line 57,58,59 Line 55,56
Produksi (Ton/hari) 100 100 100 Project
Kehalusan serat (Denier) 1,4 1,4 1,4
Sumber : Departemen Fibre PT Polysindo Eka Perkasa II Karawang
Catatan : Tanda (*) menunjukkan bahwa 80 Ton dari kapasitas produksi dibuat menjadi chip
polyester pada bagian granulator.

15
BAB II
TINJAUAN KHUSUS
2.1 Tujuan Pengujian
Tujuan pengujian ini adalah untuk menentukan pengaruh suhu Heat Setter terhadap Dry Heat
Shrinkage (mengkeret karena pemanasan kering) dan besarnya Dry Heat Shrinkage tersebut sesuai
dengan berubahnya kondisi suhu yang diberikan pada serat staple polietser dengan menggunakan
standar pengujian PT. Polysindo Eka Perkasa II Karawang

2.2 Alat dan Bahan


Dalam melakukan pengujian ini alat yang digunakan adalah :
1. Oven
2. Measuring Mikroskop
3. Papan penyangga berpaku
4. Pinset
5. Pretention 10 gram
6. Benang hitam
7. Nampan beludru warna hitam
8. Thermocouple (alat untuk memeriksa suhu actual pada mesin)

Bahan yang digunakan untuk menunjang dalam pengujian ini adalah serat filamen polyester nomor
4,2 denier tipe semi dull, sedangkan bahan untuk pengujian adalah hasil akhir proses yaitu polyester
sebelum masuk mesin pemotong dengan nomor 1,4 denier.

2.3 Pengujian
Pengujian serat dilakukan dengan cara mengambil sampel uji setiap pergantian creel baru. Setiap
perubahan suhu yang terjadi pada mesin Heat Setter dapat dilihat pada Direct Control System (DCS)
langsung dicatatt dan diuji persentase Dry Heat Shrinkagenya pada serat yang dihasilkan
2.3.1 Prosedur Pengujian
Prosedur pengujian yang dilakukan adalah :
1. Sampel yang digunakan adalah hasil dari mesin Draw Line.
2. Kondisi proses disesuaikan dengan kondisi operasi standar yang digunakan perusahaan.
3. Pengaturan perubahan suhu Heat Setter dijaga dan diatur di Direct Control System (DCS)
4. Suhu Heat Setter yang sebenarnya dicek menggunakan thermocouple sebelum pengambilan
sample.
5. Pengambilan sampe dilakukan setiap perubahan suhu Heat Setter.

16
SUB TOW DALAM CAN

Penyusunan dan perangkapan sub tow

Melewatkan tow pada Hot Water Bath

Penarikan tow pada Draw Stand I sampai III

Pemantapan panas pada Heat Setter dan mengecek suhu sebenarnya

Pelumasan dengan konsentrasi finish oil 3%

Pengeritingan tow dengan Stuffer Box

Pengeringan tow pada Dryer

Pemotongan tow menjadi sampel

Pengambilan sampel uji

Pengujian Dry Heat Shrinkage (mengkeret)

Diagram Alir Percobaan

17
2.3.2 Cara Kerja
Urutan Cara Kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mengambil satu bundle filamen sebelum dipotong menjadi ukuran 38 mm pada mesin Cutter.
2. Merapikan filamen sehingga bundle tersebut menjadi satu kesatuan utuh.
3. Menandai pada jarak 30 cm dengan benang hitam.
4. Menggantungkan salah satu ujung pada paku penyangga sementara ujung yang lain diberi
beban Pretention 10 gram.
5. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang hitam atas, tulis skala yang terbaca
(L01).
6. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang bawah, tulis skala yang terbaca (L 02).
7. Membuat untuk n = 20
8. Meletakan sampel yang telah diuji pada nampan beludru warrna hitam dan memberi identitas
untuk mencegah tertukarnya sampel.
9. Memasukan kedalam oven yang telah dikalibrasi dengan suhu 1800C selama 20 menit.
10. Mendinginkan sampel dalam suhu ruang selama 15 menit.
11. Menggantungkan kembali sampel pada paku penyangga dan dibebani dengan pretetntion 10
gram.
12. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang hitam atas, tulis skala yang terbaca
(L11).
13. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang bawah, tulis skala yang terbaca (L 12).
14. Menghitung data – data yag diperoleh sebelum dan sesudah pengujian dengan perhitungan
sebagai berikut :

Panjang Awal
DHS = x 100%
Panjang AKhir

Panjang Awal (mm), ditulis sampai 3 digit = L01 – L02


Panjang Akhir (mm), ditulis sampai 3 digit = L11 – L12

18
2.4 Data Hasil Pengujian

Tabel Data Hasil Pengujian pada Kondisi Standar dengan Suhu Heat Setter yang Berubah –
rubah pada Kisaran (212± 5 °C)

Grafik Hubungan Antara Suhu Heat Setter terhadar Dry Heat Shrinkage (mengkeret)
serat staple polyester.

19
BAB III
DISKUSI DAN KESIMPULAN
3.1 DISKUSI
Untuk mengetahui pengaruh suhu pemantapan panas, dilakukan percobaan dengan
memvariasikan suhu pemantapan panas kemudian dilakukan pengujian Dry Heat Shrinkage. Dari
pengujiantersebut secara jelas terlihat pengurangan shrinkage serat seiring dengan peningkatan suhu
pemantapan panas. Pada suhu mesin Heat Setter 207,3°C, DHS sebesar 5,26% dan pada suhu
217,3°C, DHS sebesar 3.60%. Seiring dengan kenaikan suhu pemantapan panas sebesar 1°C, DHS
turun sebesar 2,32% pada kondisi proses standar perusahaan.
Dry Heat Shrinkage merupakan salah satu sifat serat staple polyester yang disebabkan oleh
kondisi tow yang semula tegang karena penarikan pada mesin Drwa Stand I sampai III yang
kecepatan rolnya semakin meningkat kemudian masuk ke mesin Heat Setter yang kecepatan putaran
rolnya lebih kecil sehingga memungkinkan tow relaksasi sampai derajat fleksibilitasnya dan kembali
ke kondisi semula. Hal ini juga secara langsung dipengaruhi oleh besarnya suhu yang diberikan.
Pada saat proses pemantapan panas yaitu penarikan dan pemanasan tow menyebabkan derajat
orientasi serat naik sehingga mulur akan turun, kekuatan meningkat dan shrinkage turun.
Pemberian suhu yang berbeda pada Heat Setter akan mempengaruhi Dry Heat Shrinkage (DHS).
Apabila suhu yang diberikan bertambah, maka DHS akan turun. Hal ini terjadi karena peningkatan
suhu akan menyebabkan penyusunan polimer sehingga susunannya menjadi lebih rapat dan
mengurangi pengkeretan karena sedikitnya daerah amorf. Pengendalian DHS ini sangat perlu agar
kain yang menggunakan serat yang dihasilkan tidak menjadi berkurang ukurannya pada saat proses
yang memakai suhu tinggi.
Dari hasil pengujian menunjukan bahwa suhu yang tepat untuk pemantapan panas serat polyester
untuk bahan baku pembuatan kain adalah antara 208 – 216 °C dengan Dry Heat Shrinkage 4 – 5 %.
Hal ini karena sesuai dengan standar yang digunakan oleh perusahaan untuk bahan baku pembuatan
kain adalah kurang dari 5%.

3.3 KESIMPULAN
Dari hasil pengujian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemberian suhu pemantapan panas yang berbeda pada Heat Setter berpengaruh terhadap besar
kecilnya Dry Heat Shrinkage serat stapel polyester.
2. Semakin tinggi suhu pemantapan panas, maka Dry Heat Shrinkage semakin berkurang.
3. Suhu pemantapan panas yang tepat untuk serat polyester yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kain adalah 208 – 216 °C dengan nilai DHS 4 – 5 %.
4. Pada suhu pemantapan panas antara 207,3 °C sampai 217,3 °C terjadi penurunan sebesar
2,32% pada setiap kenaikan suhu sebesar 1°C.

20

Anda mungkin juga menyukai