I. 2 Proses Pembuatan
Proses pembuatan serat staple polyester yang dilakukan di PT Polysindo Eka Perkasa II
Karawang adalah proses kontinyu atau langsung (direct spinning). Proses secara langsung dari cairan
polimer menjadi serat filamen mempunyai keuntungan yaitu dapat menghemat energy sebesar kira-kira ±
25% dar total biaya yang diperlukan untuk memproduksi serat.
Polimer diolah menjadi serat staple polyester melalui proses pembuatan serat yang dilakukan di
Departemen fibre, dimana pada bagian ini terdiri dari dua tahapan proses yaitu:
1. Proses pemintalan leleh (melt spinning)
2. Proses penarikan (draw line)
1
3. Penampungan filament (traversing)
Secara umum proses pemintalah leleh adalah proses pemintalan yang melibatkan pemompaan
lelehan polimer dengan laju yang tetap di bawah tekanan tinggi ke spinneret, dimana cairan
polimermenyembur dari lubang-lubang spinneret ke udara, dan ketika mendingin bahan polimer menyatu
membentuk benang halus. Selanjutnya benang- benang halus polimer ditarik melalui proses take up
(perangkapan dan penarikan filament) dan ditampung dengan satu can dengan daffing time (waktu
pengisian) yang telah ditentukan.
Lelehan polimer dengan suhu tinggi (2850C) dari tanki discharge (A-M20A) Di Departemen
polymer dialirkan melalui suatu system pemipaan ke viscometer yang engontrol viscositas lelehan.
Polimer di pompa ke continuous polymer filter (CPF) untuk menyaring kotoran dan untuk menstabilkan
suhu polimer dalam manifold dipakai pemanas yaitu santoterm yang diselimuti jaket wool disetiap pipa
yang dilalui polimer sampai di manifold.
Selanjutnya lelehan polimer masuk ke unit spinning manifold (terdiri dari gear pump, matering
pump dan pack), Gear pump yang mempunyai kapasitas 30CC mendistribusikan lelehan polimer sebesar
845 gram per menit ke spinning pack yang terdiri dari beberapa set filter dengan diameter lubang berbeda
untuk tiap filter, lalu keluar dalam bentuk filamen dari lubang-lubang spinneret berdiameter 0,25 mm.
Gear pump adalah komponen yang intinya terdiri dari dua logam bergerigi yang mempunyai
volume 30 CC, yang dapat digerakkan sehingga jika polimer masuk akan mendapatkan tekanan yang
besar dan banyak sedikitnya polimer yang keluar tergantung dari kecepatan putaran roda gigi. Putaran
roda gigi ini digerakkan oleh pompa yang berupa motor dengan kecepatan tertentu yang dapat diatur
sesuai kebutuhan. Kecepatan motor ini akan mempengaruhi polimer yang masuk ke dalam spinning pack.
Gambar assembling gear pump 30 CC dapat dilihat pada gambar 1.2.3 halaman 5.
Spinning pack berfungsi sebagai pengubah polimer dari bentuk lelehan menjadi filamen
sebanyak 1360 filamen. Spinning pack ini terdiri dari beberapa set filter, yang besarnya diameter lubang
tiap filter berbeda-eda. Hal ini bertujuan untuk menstabilkan aliran polimer yang masuk ke dalam
spinneret. Susunan filter dalam spinning pack beraturan, mulai dari diameter yangterbesar menuju
diameter yang terkecil. Diameter lubang spinneret mempunyai ukuran 0,25 mm. Lubang-lubang spinneret
harus benar-benar dalam kondisi bersih, karena sangat berpengaruh terhadap kualitas produksi. Pada saat
spinning pack akan diganti, sebelum dipasamh di spinning pack harus dipanaskan terlebih dahulu 4 ham
sebelum dipasang. Gambar susunan spinning pack dapatdilihat pada gambar 1.2.4 halaman 6.
Filamen yang baru keluar dari spinneret masuk ke Quenching Duct untuk dipadatkan dengan
pendinginan oleh arus udara dingin yang laminar dan seragam pada suhu 18-19 0C dan kelembaban relatif
55-70%. Kemudian masuk ke mesin take up melalui spinning tube. Filamen dari masing-masing spinneret
ditarik.
2
Pengeluaran lelehan polimer (melt spinning)
Pendinginan filamen
Proses
Penarikan dan perangkapan filamen (take up) pemintalan
leleh
Perendaman
Proses
Pengeritingan filamen (crimping) pengolahan
lanjut
3
POLY POLY POLY POLY
LINE LINE LINE LINE
A B D E
S S S S S S S S S S S
M M M M M M M M M M M
# # # # # # # # # # #
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
CAN CONVEYING AND CREEL AREA CAN CONVEYING AND CREEL AREA
DL 62 DL 61 DL 60 DL 59 DL 58 DL 57 DL 54 DL 55 DL 56
4
5
6
dengan menggunakan penghisap udara lalu dilewatkan pada cleaner guide untuk mengaitkan filamen agar
kneeling atau kotoran tidak terbawa proses selanjutnya. Kemudian dilumasi oleh rol oil, dipilin oleh
guide keramik dan diarahkan 900 untuk masuk ke horizontal line. Disini filamen mengalami perangkapan
dan penarikan dari beberapa posisi menjadi satu bagian yang disebut sub tow. Tow ditarik melewati mesin
take up oleh enam buah roll capstain masuk ke roda gigi sun fower. Tow yang keluar dari sun flower
ditampung dalam sebuah can dengan waktu pengisian (doffing time) tertentu pada bagian travesing, lalu
ditarik ke draw line dengan bantuan key guide dan eye guide pada bagian creeling.
Secara garis besar, gambar proses penarikan dan perangkapan di mesin take up dapat dilihat pada
gambar 1.2.5 di halaman 8.
7
8
9
10
Setiap jalur pada draw line terdiri dari proses persiapan dan penyusunan sub tow pada creel
(creeling), peregangan awal (pre-tention), perendaman (ammertion bath ) , penarikan (draw stand) ,
pemantapan pans (heat setting), pengeritingan (crimping), pelumasan (oiling), pengeringan(drying),
pemotongan (cutting) dan pengebalan (balling), dimana proses tersebut berjalan secara kontinyu.
Spun tow dari can dengan bantuan key guide dan J-guide disusun pada enam band comb
guide yang masing-masing memiliki 10 posisi dengan jarak antar posisi 6cm. Spun tow kemudian
ditarik melalui pre tension stand (PTS) yang memiliki 7 rol (berdiamer @20 cm) dengan tujuan
menyeragamkan tangan rantai polimer pada spun tow oleh gerakan menyilang. Kemudian dilewatkan
dalam immertiom bath berisi air panas (dari steam 30 psi) melalui 2 rol dan spray finish oil untuk
relaxing dan menyeragamkan sifat fisiknya, karena spun tow dalam cara pertama moisture content
paling rendah/lebih kering, elektrostatik lebih tinggi, sedangkan kohesi dan oil pick up lebih rendah.
Selanjutnya spun tow ditarik oleh draw stand (DS) I dengan 7 rol panas dari steam dengan tekanan
150 psi yang disirkulasikan oleh shell dan tube H.E. Lalu ditarik oleh DS II yang memiliki 7 rol berisi
steap 150 psi dan suhu 1200C dengan wrapping brush sebagai indikator bila terjadi wrapping.
Kemudian dileewatkan dalam steam chest dengan suhu 1400C sebelum dilakukan penarikan terakhir
oleh DS III, dimana akan menentukan sifat-sifat serat yang meliputi denier (kehalusan serat), tenacity
(kekuatan tarik) dan elongation (mulur). Setelah itu spun tow mengalami pemantapan panas secara
bertahap dari heat setter (HS) I sampai HS I yang memiliki masing- masing 4 rol berisi 400 psi,
dimana spun tow memiliki batch water shringkage konstan yang langsung mempengaruhi dye take
up (kemampuan serat dalam menyerap warna) dan dry heat shringkage (mengkeret serat karena
pemanasan). Pada DS IV spun tow didinginkan melalui rol-rol berisi air chiller untuk
mempertahankan sifat fisiknya, sehingga tidak akan berubah oleh perlakuan fisik dibawah suhu
pemantapan panas. Spun tow lalu melewati kiss roll untuk dilumasi finish oil dengan konsentrasi 3%
memenuhi spesifikasi oil pickup standar. Kemudian disusun oleh tow stacker untuk mendapatkan
permukaan kontak yang bagus sesuai dengan desain crimper roll. Sebelum masuk crimper (2 unit
dengan kapasitas 2,1 juta denier per crimper) untuk pembuatan crimp tow dengan standar 12-13 cpi
(crimp per inchi), dilakukan perataan panas dengan steam 20-25 psi melalui connecting duct. Crimp
tow diarahkan oleh tow spreader masuk ke dalam dryer dengan 3 zone pemanasan, untuk
menurunkan MC dari 2 % ke 0,3 %. Kemudian tow ditarik melalui beberapa tension untuk dilakukan
pemotongan dengan panjang tertentu oleh mesin cutter dengan kapasitas 28 kg/menit menjadi serat
stapel. Serat stapel dalam upper gate (tempat penampungan potongan serat stapel dengan kapasitas
maksimum 50 kg) ditampung sementara sebelum dimasukan dalam weigh hopper untuk ditimbang
dengan kapasitas baller 350 kg.
Nomor serat stapel poliester yang dihasilkan terdiri dari enam macam, yaitu 1,4 denier x 32 mm,
1,4 denier x 38 mm, 1,4 denier x 44 mm, 1,4 denier x 51 mm, 1,2 denier x 32 mm, 1,2 denier x 38
mm. Sedangkan tipe serat yang dihasilkan terdiri dari dua jenis yaitu tipe SD (Semi Dull) dan SDOB
11
(Semi Dull Optical Bright). Khusus untuk pembuatan chip poliester terdiri dari tiga jenis, yaitu tipe
Semi Dull (SD), Semi Dull Optical Bright (SDOB), Super Bright (SBR).
12
antara Draw Stand III. Perbandingan kecepatan putaran rol (draw ratio) tergantung pada tipe serat
yang dibuat.
Proses penarikan tow dilakukan secara bertahap dengan tingkat pemanasan yang bertahap pula.
Tow yang keluar dari DS I akan mendapatkan perlakuan panas dengan suhu 70 0C, sehingga molekul-
molekulnya mulai bergerak dan memudahkan proses penarikan pertama oleh DS II. Proses penarikan
di antara DS I dan DS II merupakan proses terbesar yaitu sekitar 80 % dari penarikan.
Setelah tow keluar dari DS II, tow masuk ke steam chest yang bersuhu 125 0C untuk
memanaskan tow sebelum dilakukan penarikan pada DS III dengan dengan besarnya penarikan
sebesar 20 % dari total penarikan. Pada DS III selain tow mendapatkan penarikan juga mendapatkan
panas dari rol sebesar 180 0C untuk mengkondisikan tow sebelum masuk ke heat setter. DS III
merupakan pusat penarikan pada proses draw line dengan kecepatan putaran sebesar 170 mpm.
Pada DS IV, tow yang sudah stabil setelah melalui proses pemantapan panas akan mengalami
relaxing, dan pada saat itu terjadi T 10 yaitu kekuatan tarik pada saat ditarik 10 % dari mulur. Prose
draw line semuanya diatur oleh DCS (Distribution Control System).
13
1.2.2.6. Sub Proses Pengeritingan Filamen (Crimping)
Sun proses crimping adalah suatu proses pengeritingan tow dengan cara melewatkan tow
diantara dua roll (nip roll). Fungsi pengeritingan padatow adalah untuk membuat tow menjadi keriting
sehingga mempunyai sifat yang menyerupai serat alami yang fungsinya untuk menjalin fibre yang
satu dengan fibre yang lain pada proses pembuatan benang dengansatu atu dua macam serat pada
pemintalan benang sehingga kuat. Selanjutnya tow yang telah dijadikan satu bagian dan telah
melewati steam box tersebut ditarik ke dalam crimper dengan cara ditarik dengan mengait.
Selanjutnya, tow akan ditarik/ dijepit oleh nipp roll dan kemudian terjadi pengeritingan, karena
melawan arus balik dari arah jalannya tow. Selain itu, karena adanya pemanasan dengan steam pada
stuffing box dengansuhu 75°C, sehingga tow akan lebih mudah keriting.
Di dalam proses pengeritingan ini dilengkapi juga tow stacker yang berfungsi sebagai
pengatur tegangan tow sebelum tow dimasukkanke crimper.
14
Pengaturan lingkaran pada permukaan pisau melalui tekanan roll yang diset 1/8 inchi dari
pinggir mata pisau. Pada saat tow berada antara ujung pisau dan roll penekan, maka top pada bagian
dalam akan terpotong. Serat yang terpotong berada diantara mata pisau kemudian jatuh ke bawah
melalui alat pemandu dan terbawa oleh hisapan menuju baller.
15
BAB II
TINJAUAN KHUSUS
2.1 Tujuan Pengujian
Tujuan pengujian ini adalah untuk menentukan pengaruh suhu Heat Setter terhadap Dry Heat
Shrinkage (mengkeret karena pemanasan kering) dan besarnya Dry Heat Shrinkage tersebut sesuai
dengan berubahnya kondisi suhu yang diberikan pada serat staple polietser dengan menggunakan
standar pengujian PT. Polysindo Eka Perkasa II Karawang
Bahan yang digunakan untuk menunjang dalam pengujian ini adalah serat filamen polyester nomor
4,2 denier tipe semi dull, sedangkan bahan untuk pengujian adalah hasil akhir proses yaitu polyester
sebelum masuk mesin pemotong dengan nomor 1,4 denier.
2.3 Pengujian
Pengujian serat dilakukan dengan cara mengambil sampel uji setiap pergantian creel baru. Setiap
perubahan suhu yang terjadi pada mesin Heat Setter dapat dilihat pada Direct Control System (DCS)
langsung dicatatt dan diuji persentase Dry Heat Shrinkagenya pada serat yang dihasilkan
2.3.1 Prosedur Pengujian
Prosedur pengujian yang dilakukan adalah :
1. Sampel yang digunakan adalah hasil dari mesin Draw Line.
2. Kondisi proses disesuaikan dengan kondisi operasi standar yang digunakan perusahaan.
3. Pengaturan perubahan suhu Heat Setter dijaga dan diatur di Direct Control System (DCS)
4. Suhu Heat Setter yang sebenarnya dicek menggunakan thermocouple sebelum pengambilan
sample.
5. Pengambilan sampe dilakukan setiap perubahan suhu Heat Setter.
16
SUB TOW DALAM CAN
17
2.3.2 Cara Kerja
Urutan Cara Kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mengambil satu bundle filamen sebelum dipotong menjadi ukuran 38 mm pada mesin Cutter.
2. Merapikan filamen sehingga bundle tersebut menjadi satu kesatuan utuh.
3. Menandai pada jarak 30 cm dengan benang hitam.
4. Menggantungkan salah satu ujung pada paku penyangga sementara ujung yang lain diberi
beban Pretention 10 gram.
5. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang hitam atas, tulis skala yang terbaca
(L01).
6. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang bawah, tulis skala yang terbaca (L 02).
7. Membuat untuk n = 20
8. Meletakan sampel yang telah diuji pada nampan beludru warrna hitam dan memberi identitas
untuk mencegah tertukarnya sampel.
9. Memasukan kedalam oven yang telah dikalibrasi dengan suhu 1800C selama 20 menit.
10. Mendinginkan sampel dalam suhu ruang selama 15 menit.
11. Menggantungkan kembali sampel pada paku penyangga dan dibebani dengan pretetntion 10
gram.
12. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang hitam atas, tulis skala yang terbaca
(L11).
13. Mengarahkan Measuring mikroskop pada tanda benang bawah, tulis skala yang terbaca (L 12).
14. Menghitung data – data yag diperoleh sebelum dan sesudah pengujian dengan perhitungan
sebagai berikut :
Panjang Awal
DHS = x 100%
Panjang AKhir
18
2.4 Data Hasil Pengujian
Tabel Data Hasil Pengujian pada Kondisi Standar dengan Suhu Heat Setter yang Berubah –
rubah pada Kisaran (212± 5 °C)
Grafik Hubungan Antara Suhu Heat Setter terhadar Dry Heat Shrinkage (mengkeret)
serat staple polyester.
19
BAB III
DISKUSI DAN KESIMPULAN
3.1 DISKUSI
Untuk mengetahui pengaruh suhu pemantapan panas, dilakukan percobaan dengan
memvariasikan suhu pemantapan panas kemudian dilakukan pengujian Dry Heat Shrinkage. Dari
pengujiantersebut secara jelas terlihat pengurangan shrinkage serat seiring dengan peningkatan suhu
pemantapan panas. Pada suhu mesin Heat Setter 207,3°C, DHS sebesar 5,26% dan pada suhu
217,3°C, DHS sebesar 3.60%. Seiring dengan kenaikan suhu pemantapan panas sebesar 1°C, DHS
turun sebesar 2,32% pada kondisi proses standar perusahaan.
Dry Heat Shrinkage merupakan salah satu sifat serat staple polyester yang disebabkan oleh
kondisi tow yang semula tegang karena penarikan pada mesin Drwa Stand I sampai III yang
kecepatan rolnya semakin meningkat kemudian masuk ke mesin Heat Setter yang kecepatan putaran
rolnya lebih kecil sehingga memungkinkan tow relaksasi sampai derajat fleksibilitasnya dan kembali
ke kondisi semula. Hal ini juga secara langsung dipengaruhi oleh besarnya suhu yang diberikan.
Pada saat proses pemantapan panas yaitu penarikan dan pemanasan tow menyebabkan derajat
orientasi serat naik sehingga mulur akan turun, kekuatan meningkat dan shrinkage turun.
Pemberian suhu yang berbeda pada Heat Setter akan mempengaruhi Dry Heat Shrinkage (DHS).
Apabila suhu yang diberikan bertambah, maka DHS akan turun. Hal ini terjadi karena peningkatan
suhu akan menyebabkan penyusunan polimer sehingga susunannya menjadi lebih rapat dan
mengurangi pengkeretan karena sedikitnya daerah amorf. Pengendalian DHS ini sangat perlu agar
kain yang menggunakan serat yang dihasilkan tidak menjadi berkurang ukurannya pada saat proses
yang memakai suhu tinggi.
Dari hasil pengujian menunjukan bahwa suhu yang tepat untuk pemantapan panas serat polyester
untuk bahan baku pembuatan kain adalah antara 208 – 216 °C dengan Dry Heat Shrinkage 4 – 5 %.
Hal ini karena sesuai dengan standar yang digunakan oleh perusahaan untuk bahan baku pembuatan
kain adalah kurang dari 5%.
3.3 KESIMPULAN
Dari hasil pengujian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemberian suhu pemantapan panas yang berbeda pada Heat Setter berpengaruh terhadap besar
kecilnya Dry Heat Shrinkage serat stapel polyester.
2. Semakin tinggi suhu pemantapan panas, maka Dry Heat Shrinkage semakin berkurang.
3. Suhu pemantapan panas yang tepat untuk serat polyester yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kain adalah 208 – 216 °C dengan nilai DHS 4 – 5 %.
4. Pada suhu pemantapan panas antara 207,3 °C sampai 217,3 °C terjadi penurunan sebesar
2,32% pada setiap kenaikan suhu sebesar 1°C.
20