Anda di halaman 1dari 30

PROPOSALPRAKTIKUM TEKNOLOGI PENYEMPURNAAN 2

PEMBUATAN KERUDUNG BATIK LANGSAI, TAHAN KUSUT


DAN TOLAK AIR (WATER REPELLENT)

DOSEN :
SUKIRMAN, S.ST., MIL
ASISTEN DOSEN :
DESRIANA
BRILIYAM M. R. R., SST

KELOMPOK :1
DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK :
1. YUTI OSEF PASARIBU 19020001
2. NISWATUL MUKARROMAH 19020002
3. ANGGUN DWI LESTARI 19020003
4. TENDI SETIADI 19020004
5. NENG HELLIN L 19020005
POLITEKNIK SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI TEKSTIL
BANDUNG
2019
A. PENDAHULUAN
Hijab sudah menjadi sebuah kewajiban untuk menutup aurat. hijab digunakan di setiap waktu
di segala aktivitas.
Namun, di saat aktivitas tertentu dengan cuaca terik, para pengguna hijab akan merasa gerah
dan berkeringat. hijab akan basah oleh keringat, dan hal ini dapat mengganggu aktivitas
pengguna hijab. selain keringat, hal yang dapat membuat hijab basah adalah saat aktivitas
wudhu maupun saat diguyur hujan.
Untuk kasus diatas, penulis mencoba untuk melakukan penelitian penyempurnaan kain untuk
hijab dengan sifat bahan yang mampu menolak air. Dalam penelitian ini, penulis akan
menggunakan bahan katun.
Bahan katun jarang digunakan dalam hijab karena sifatnya yang gampang kusut, dan ini akan
berpengaruh terhadap keindahan pemakaian. Untuk hal ini, penulis akan menambahkan sifat
anti kusut pada bahan.

Untuk menambah keindahan pada bahan, sebelum melakukan proses penyempurnaan, terlebih
dahulu bahan akan dilakukan proses pembatikan.

seperti yang kita ketahui, dalam beberapa proses penyempurnaan diatas, pemberian resin tolak
air akan menyebabkan bahan menjadi kaku. maka perlu penambahan resin pelembut agar kain
menjadi lembut dan langsai.
Terakhir, akan dihasilkan kerudung batik langsai yang tahan kusut dan tolak air.

B. TEORI DASAR
1. BATIK
1.1. Teknologi Batik
Pengertian Batik secara umum adalah pembentukan gambar pada kain dengan menggunakan teknik
tutup celup dengan menggunakan lilin atau malam sebagai perintang dan zat pewarna pada kain
(Warsito, 2008 : 12). Seorang sarjana Belanda, J.L.A Brandes (1889) telah menyatakan bahwa ada
10 butir kekayaan budaya yang telah dimiliki bangsa Indonesia (Jawa) yang belum tersentuh oleh
budaya India yang salah satu diantaranya adalah membatik. Kata batik dalam bahasa Jawa berasal
dari akar kata “tik” yang mempunyai pengertian berhubungan dengan suatu pekerjaan halus,
lembut dan kecil yang mengandung unsur keindahan. Membatik berarti menitikkan malam dengan
canting sehingga membentuk corak yang terdiri atas susunan titikan dan garisan. Secara teknis,
batik adalah suatu cara penerapan corak diatas kain melalui proses celup rintang warna dengan
malam sebagai medium perintangnya.
Jenis batik terbagi menjadi 2 yaitu berdasarkan motif dan asal pembuatannya dan berdasarkan
prosesnya. Berdasarkan motif dan asal pembuatannya, jenis batik dibedakan menjadi batik pesisir,
batik keraton, dan batik modern. Berdasarkan prosesnya, jenis batik dibedakan menjadi batik tulis,
batik cap, batik kuas dan batik kombinasi.
Batik tulis adalah batik yang dihasilkan dengan cara menggunakan canting tulis sebagai alat bantu
dalam melekatkan malam pada kain. Perkembangan teknik yang menghasilkan batik tulis bermutu
tinggi di kraton-kraton Jawa ditunjang oleh canting tulis dan kain halus. Ragam hias paling
rumit(detail) mampu di capai oleh canting, sesuai dengan keterampilan pembatik. Perbedaan
ukuran pada tiap corong mampu menghasilkan berbagai jenis rupa pembatikan. Batik jenis ini
harganya mahal, pembuatannya memakan waktu lama, akan tetapi desain yang diperoleh tidak
terbatas. Mengingat pembuatan batik tulis yang cukup lama, maka orang berusaha mencari cara
lain guna menyelesaikan pembatikan dalam waktu yang singkat dan diketemukanlah batik cap.

Gambar 1.1 : Canting Tulis


Canting tulis terdiri dari 3 bagian yaitu badan (1), berbentuk seperti cerek, cucuk (2) berupa saluran
dan tangkai (3) dari bambu atau glagah. Jenis canting tulis yang dikenal adalah canting untuk
klowongan (kerangka motif), canting untuk tembokan, dan canting untuk isen (mengisi gambar).
Canting isen memiliki ujung tunggal, ujung tiga (telu 0, ujung lima, dan sebagainya).
Batik cap adalah batik yang dikerjakan menggunakan cap untuk menerapkan cairan malam pada
kain. Pemalamannya relatif cepat karena proses mengulang (repeat) yang dilakukan. Batik cap
diperoleh dengan menggunakan alat cap yang berupa stempel yang terbuat dari tembaga atau yang
lainnya misalnya kayu, alat cap yang berupa stempel ini disebut canting cap. Cara
menggunakannya adalah canting cap diletakkan diatas malam yang meleleh pada kasa yang
diletakkan diatas panci tembaga/ender kemudian dipindahkan ditempelkan ke kain mori.
Penempelan malam ini juga dapat dilakukan pada satu permukaan atau dua permukaan tergantung
dari kualitas batiknya.

Tangkai Cap

Andang/Rangka

Rangka Motif
Gambar 1.2 : Canting Cap
Batik kuas adalah batik yang pengerjaannya ditorehkan dengan bantuan kuas, layaknya seperti
pelukis ketika menggunakan kuas untuk melukis pada kanvasnya, namun dengan media bahan-
bahan batik sehingga pembatik/pelukis batik harus menyesuaikan urutan prosesnya.
Ender
Panci tembaga/ender adalah tempat untuk melelehkan malam yang akan digunakan untuk
pembuatan batik cap, dan diatas ender biasanya ditempatkan kain kasa agar pada saat penempelan
malam pada canting cap tidak terlalu banyak sehingga kalau dicapkan pada permukaan kain mori
tidak mblobor.

Gambar 1.3 : Ender


Wajan
Wajan adalah tempat untuk melelehkan malam yang terbuat dari tembaga yang akan digunakan
untuk membuat batik tulis menggunakan canting tulis dan biasanya ukurannya lebih kecil dari
ender tetapi bentuknya lebih cekung.

Gambar 1.4 : Wajan


Wangkringan
Wangkringan adalah alat yang terbuat dari bambu yang digunakan untuk tempat bersandar kain
mori yang akan dibatik tulis, sehingga proses pembatikan dapat berjalan lancar.
Gambar 1.5 : Wangkringan
Kompor Minyak
Kompor minyak adalah alat pemanas yang digunakan untuk pemanasan/pelelehan malam dengan
bahan bakar minyak tanah, baik untuk batik cap maupun batik tulis.

Gambar 1.6 : Kompor Minyak


Bak Celup
Bak celup adalah alat yang digunakan untuk mencelup batik yang terbuat dari kayu atau baja tahan
karat, dengan ukuran panjang disesuaikan dengan lebar kain batik dan biasanya untuk
mempermudah proses pencelupan ditengah dilengkapi dengan rol pemberat yang terbuat dari kayu
atau baja tahan karat.
Bak penghilang lilin/malam
Bak penghilang lilin atau malam adalah alat yang terbuat dari logam yang akan digunakan untuk
memanaskan air guna melepas lilin batik yang menempel pada mori batik (nglorod), berbentuk
silinder dan kapasitasnya disesuaikan dengan jumlah batik yang akan dilorod.

1.2. Bahan-bahan batik


Bahan untuk membuat batik meliputi : mori batik, lilin batik, zat warna dan zat pembantu batik.
1.2.1. Kain untuk batik
Kain sebagai bahan yang akan dibuat batik disebut mori, muslim atau cambric. Kata mori berasal
dari “Bombyx mori” yaitu jenis ulat sutera yang menghasilkan sutera putih dan halus, sedangkan
kain untuk batik sifat-sifatnya seperti kain sutera tersebut. Muslim berasal dari kata “muslin”
kependekan dari “moussuline” yaitu nama semacam kain yang sangat halus, terbuat dari sutera atau
katun. Sedangkan cambric artinya “fine linnen” atau kain batis, yaitu kain putih yang ringan dan
halus.
Baerdasarkan kehalusannya mori dibedakan dalam empat golongan yaitu :
1 Mori primissima Golongan mori yang paling halus

2 Mori prima Golongan mori yang kedua, mori golongan ini digunakan untuk
batik halus dan batik cap.

3 Mori biru Merupakan mori kualitas ketiga, biasanya untuk batik kasar dan
sedang.

4 Kain grey atau blaco Kategori bahan batik kualitas kasar


5 Kain sutera Merupakan bahan kain untuk batik, dimana batik dari kain
sutera biasanya untuk batik halus dan harganya mahal.

1.2.2. Malam/Lilin
Malam batik adalah bahan yang digunakan untuk menutup permukaan kain menurut desain
sehingga permukaan yang tertutup tersebut menolak zat warna yang diberikan pada kain. Malam
batik terdiri dari campuran pokok malam yaitu : gondorukem, damar/mata kucing, parafin,
microwax, lemak binatang minyak kelapa, malam tawon dan malam lanceng. Jumlah dan
pemakaiannya bervariasi tergantung tujuan penggunaannya. Pada akhir proses pembuatan batik,
seluruh lilin batik dihilangkan dari permukaan kain, dengan cara kain tersebut dimasukkan kedalam
bak yang berisi air panas, sehingga seluruh lilin batik lepas. Lilin batik pada bak disaring kemudian
didinginkan sehingga akan terbentuk lilin batik yang membeku. Lilin batik sisa lorodan biasanya
dipakai untuk menutup batik yang disebut tembokan yaitu menutup kain batik secara keseluruhan.
Sifat –sifat pokok malam batik adalah sebagai berikut :
1. Malam tawon
Disebut juga kote atau malam klenceng berwarna kuning suram, mudah meleleh, titik didihnya
rendah 590C, mudah melekat pada kain, tahan lama, tak berubah oleh iklim, dan mudah
dilepaskan, penggunaannya banyak dicampurkan pada lilin klowong.
2. Gondorukem
Berasal dari pinus merkusu yang telah dipisahkan terpentin dan airnya. Gondorukem dalam
perdagangan disebut dengan gondo, pabrik pengolahan gondo tersebar di daerah Pekalongan,
Pemalang, Ponorogo dan sebagainya. Dalam pembatikan dikenal beberapa jenis gondorukem
seperti gondorukem Amerika, Hongkong, Aceh, dan Gondorukem Pekalongan.
Sifat-sifat gondorukem yaitu :
 Titik lelehnya yang tinggi sehingga memerlukan waktu sedikit lama untuk melelehkannya.
 Tidak tahan alkali.
 Mudah menembus kain dalam keadaan encer.
 Mudah patah setelah dingin dan melekat.
 Titik lelehnya 700C - 800C.
Penggunaannya dicampurkan dengan malam klowong sehingga menjadi lebih keras dan tidak
mudah membeku.
3. Damar mata kucing
Diambil dari pohon shoria apec, langsung dipecah menjadi kecil-kecil. Sifatnya sukar meleleh,
lekas membeku dan tahan alkali, penggunaannya sebagai campuran malam batik agar malam
dapat membentuk keras yang ajam dan melekat dengan baik.
4. Parafin atau malam BPM
Berwarna putih atau kuning muda, mempunyai daya tolak tembus basah yang baik, mudah
encer dan cepat membeku, daya lekat kecil, mudah lepas dan titik lelehnya rendah.
Penggunaannya dalam campuran malam batik, agar malam mempunyai daya tahan tembus
basah yang baik dan mudah lepas pada waktu dilorod.
5. Microwax atau malam mikro
Adalah jenis parafin yang lebih halus, warnanya kuning muda, sukar meleleh, mudah lepas
dalam rendaman air, sukar menembus kain dan tahan alkali, penggunaannya dalam campuran
malam batik sebagai malam tembok atau campuran malam klowong terutama untuk batik
halus.
6. Lemak binatang/kendal atau gajih.
Disebut juga lemak, warnanya seperti mentega, mudah menjadi encer, penggunaannya sebagai
campuran malam batik dalam jumlah kecil dan berfungsi untuk menurunkan titik leleh,
membuat lemas dan mudah lepas waktu dilorod.
7. Campuran lilin batik
Lilin batik terdiri dari campuran bahan-bahan pokok lilin batik, dengan perbandingan
sedemikian rupa sehingga mencapai sifat-sifat yang dikendaki. Cara membuat campuran lilin
batik dilakukan dengan memperhatikan hal berikut :
 Bahan batik yang mempunyai titik leleh tinggi, dilelehkan terlebih dahulu, kemudaian
berturut-turut yang lebih rendah.
 Dalam pengerjaan mencampur ini, setelah semua bahan pokok dimasukkan dan menjadi
cair, diaduk dengan baik dan rata agar campuran benar-benar homogen.
 Campuran lilin yang masih cair disaring, kemudian dicetak sesuai dengan ukuran yang
diinginkan.

2. PENCELUPAN
2.1. Selulosa
Serat selulosa merupakan serat hidrofil yang strukturnya berupa polimer selulosa, dengan
derajat polimerisasi (DP) bervariasi, contoh DP rayon 500 – 700, sedang DP kapas sekitar
3000. Makin rendah DP daya serap airnya makin besar, contoh : MR rayon 11-13 % sedang
kapas 7-8%.

Gugus –OH primer pada selulosa merupakan gugus fungsi yang berperan untuk mengadakan
ikatan dengan zat warna direk berupa ikatan hidrogen. Serat selulosa umumnya lebih tahan
alkali tapi kurang tahan suasana asam, sehingga pengerjaan proses persiapan penyempurnaan
dan pencelupannya lazim dalam suasana netral atau alkali.
Bahan yang akan dicelup biasanya sudah melalui proses proses persiapan penyempurnaan
seperti pembakaran bulu, penghilangan kanji, dan pemasakan, bahkan untuk pencelupan
warna biasanya sudah dikelantang dan dimerser.

2.2. Zat Warna Reaktif Dingin


Zat warna reaktif adalah suatu zatwarna yang dapat mengadakan reaksi dengan serat sehingga
zat warna tersebut merupakan bagian dari serat. Oleh karena itu, hasil pencelupan zat warna
reaktif mempunyai ketahanan cuci yang sangat baik. Demikian pula karena berat molekul zat
warna reaktif kecil maka kecerahan warnanya akan lebih baik daripada zat warna direk.
Menurut reaksi yang terjadi, zat warna reaktif dibagi menjadi 2 golongan :
Golongan 1 : Zat warna reaktif yang mengadakan reaksi subsitusi dengan serat
Dan membentuk ikatan pseudo ester, misalnya Procion,Cibanon,
Drimaren,dan Levafix.
Golongan 2 : Zat warna reaktif yang dapat mengadakan reaksi adisi dengan serat
Dan membentuk ikatan ester, misalnya : zatwarna Remasol dan Remalan.

Secara molekuler zat warna reaktif mempunyai zat warna asam, akan tetapi ikatannya dengan
serat membentuk ikatan kovalen dan celup. Ikatan kovalen tersebut menurut cara reaksinya
ada cara adisi dan substitusi. Reaksi substitusi ketahanan terhadap alkali lebih baik, tetapi
tidak tahan terhadap asam, Biasanya reaksi ini terjadi pada zat warna reaktif yang sistem
reaktifnya triazin, pirimidin, dan lain-lain. Sedangkan pada reaksi adisi ketahanan terhadap
asam lebih baik, akan tetapi kurang tahan terhadap alkali. Umumnya terjadi pada zat warna
reaktif yang sitem reaktifnya vinil sulfon.

Dalam pencelupan zat warna reaktif selain terjadi reaksi hidrolisa antara zat warna dengan
serat , molekul air juga dapat mengadakan reaksi hidrolisa dengan molekul zat warna.
Sehingga memberikan komponen zat warna yang tidak reaktif lagi. Akan tetapi kecepan
hidrolisa tersebut tidak secepat pemasukan zat warna kedalam serat. Namun kecepatannya
akan lebih besar bila dalam selama proses pencelupan dipengaruhi :
 Suhu optimum
 Waktu optimum
 Alkalinitas optimum

Menurut pembagiannya, zat warna reaktif dapat dibagi menjadi :


 Pemakaian secara dingin (zat warna reaktif dingin), yaitu untuk zat warna reaktif yang
mempunyai kereaktifan tinggi. Dipergunakan pada suhu 40ºC.
 Pemakaian secara panas (zat warna reaktif panas), yaitu untuk zat warna reaktif yang
mempunyai kereaktifan rendah.Dipergunakan pada suhu 70 – 80ºC.

2.2.1 Struktur kimia zat warna reaktif

Pada umumnya struktur zat warna reaktif yang larut dalam air mempunyai bagian-bagian
dengan fungsi tertentu dan dapat digambarkan sebagai berikut:

S–K–P–R–X
S = susunan pelarut, misal gugusan asam sulfonat, karboksilat.
K = Khromofor, misalnya sistem-sistem yang mengandung gugusan azo,
antrakinon dan halosianin.
P = gugusan penghubung antara khromofor dan sistem yang reaktif misalnya
gugusan amina, sulfoamina, dan amida.
R = sistem yang reaktif, misalnya triazin, pirimidin, kinoksianin dan vinil.
X = gugusan reaktif yang mudah terlepas dari sistem yang reaktif misalnya
gugusan klor dan sulfat.

Menurut cara pemakaian zat warna reaktif dikenal dua golongan yaitu zat warna reaktif dingin
dan zat warna reaktif panas.
Kelarutannya dalam air sangat baik dan karena adanya asam yang ditimbulkan, maka jika
terlalu lama setelah dilarutkan tiadak segera digunakan, zat warna ini akan terhidrolisa.
Sehingga untuk mencegah hal tersebut penambahan alkali pada pencelupan dilakukansetengah
jam sebelum pencelupan berakhir.

Cara melarutkan zat warna reaktif yaitu sebagai berikut;


Zat warna reaktif dingin
Zat warna dibuat pasta dengan air dingin, kemudian diencerkan dengan air panas 50 0C
sampai larut. Bilamana perlu untuk konsentrasi zat warna yang cukup tinggi dapat
ditambahkan urea untuk mempertinggi kelarutan.
Zat warna reaktif panas
Seperti zat warna reaktif dingin, hanya air yang digunakan adalah 80 0C. Khromofor zat
warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakinondengan berat molekul kecil,
agar daya penetrasi ke serat tidak besar, sehingga zat warna yang tidak bereaksi dengan
mudah dihilangkan. Gugusan-gugusan penghubung dapat mempengarihi daya tembus dan
ketahanan zat warna terhadap asam atau basa. Gugusan-gugusan reaktif merup[akan
bagian dari zat warna yang mudah lepas, sehingga bagian yang berwarna mudah bereaksi
dengan serat.

Pada umumnya supaya reaksi dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan penambahan
alkali atau asam sehingga mencapai suatu pH tertentu. Disamping terjadi reaksi antara zat
warna dan serat dengan membentuk ikatan primer kovalen yang merupakan ikatan pseudo
ester atau eter, molekul air pun dapat juga mengadakan reaksi hidrolisa dengan molekul
zat warna dengan memberikan komponen zat warna yang tidak reaktif lagi. Reaksi
hidrolisa tersebut akan bertambah cepat dengan kenaikan suhu.

Hasil reaksi zat warna dengan air pada umumnya tidak dapat bereaksi dengan serat,
terutama pada sistem-sistem reaktif yang mengadakan reaksi substitusi kromofor pada
bentuk sederhana seperti molekul zat warna asam celupan rata, sehingga akan
memberikan warna yang cerah san mudah dihilangkan apabila tidak terikat pada serat
selulosa mempunyai gugusan alkohol primer dan sekunder yang kedua-duanya mampu
mengadakan reaksi dengan zat warna reaktif.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pencelupan


 Alkali
Untuk zat warna dapat bereaksi, zat warna memerlukan penambahan alkali yang berguna
untuk mengatur suasana yang cocok untuk bereaksi. Mendorong pembentukan ion selulosa
dan menetralkan asam-asam hasil reaksidan diperlukan untuk fiksasi membentuk ikatan
kovalen.

 Suhu
Suhu dalam pencelupan memberikan pengaruh sebagai berikut:
Mempercepat pencelupan
Menurunkan jumlah zat warna yang terserap
Mempercepat migrasi, yakni perataan zat warna dari bagian-bagian yang tercelup tua
hingga kebagian-bagian yang tercelup lebih muda hingga terjadi keseimbangan.
Mendorong terjadinya reaksi antara serat dan zat warna pada pencelupan zat warna
reaktif.
Kenaikan mempengaruhi reaksi hidrolisa.
 Bentuk dan ukuran zat warna
Daya tembus
Molekul-molekul zat warna yang datar memberikan daya tembus pada serat tetapi setiap
penambahan gugusan kimia yang merusak sifat datar molekul tersebut akan
mengakibatkan daya tembus zat warna berkurang.
Kecepatan celup
Besar kecilnya atau penambahan suatu zat warna akan mempengaruhi kecepatan
celupnya. Molekul zat warna yang memanjang mempunyai daya untuk melewati pori-pori
dalam serat lebih baik daripada molekul-molekul yang melebar.
Ketahanan
Molekul yang besar mempunyai ketahanan cuci yang lebih baik.

 pH
pH dalam pencelupan dengan zat warna reaktif panas sangat berpengaruh, karena zat waran
reaktif memerlukan suasana yang cocok untuk bereaksi.

 Perbandingan larutan
Perbandingan larutan adalah perbandingan antara besarnya larutan terhadap berat bahan tekstil
yang diproses, kenaikan konsentrasi zat warna dalam larutan akna menambah besar
penyerapan untuk pancelupan zat wana diusahakan untuk memakai perbandingan larutan
celup yang kecil sehingga zat warna yang terbuang atau hilang sedikit.

 Elektrolit
Perbandingan elektrolit kelarutan celup untuk memperbesar jumlah zat warna yang terserap
oleh serat, meskipun zat warna yang memiliki kepekaan yang berbeda-beda. Elektrolit yang
ditambahkan berfungsi akan mengurangi atau menghilangkan muatan negatif yang ada pada
zat warna.

3. PENYEMPURNAAN
3.1. PENYEMPURNAAN PELEMASAN
Setiap kain mempunyai cara penyempurnaan tersendiri yang prosesnya dipengaruhi oleh jenis
serat, anyaman, sifat-sifat fisika dan kimia serta tujuan penyempurnaan. Untuk memberikan
efek pegangan yang lebih lembut dan lemas pada kain tertentu, terutama untuk kebutuhan
garmen/konveksi diperlukan penyempurnaan dengan penambahan zat pelumas tertentu
seperti : gliserin, TRO, minyak-minyak dan lain-lain. Penyempurnaan pelemas ini termasuk
penyempurnaan kimia, karena dalam pengerjaannya dipergunakan zat-zat kimia. Sifat yang
dihasilkan ada yang bersifat sementara dan permanen. Bersifat sementara apabila hasilnya
hanya tahan beberapa kali pencucian, yaitu kurang dari 4 kali pencucian, bersifat semi
permanen apabila hasilnya tahan 4-10 kali pencucian dan bersifat permanen hasilnya tahan
lebiih dari 10 kali pencucian.
3.1.1. Zat Pelemas
Zat pelemas adalah zat yang biasa digunakan dalam penyempurnaan untuk memperoleh
kelemasan, kehalusan, pegangan yang penuh dan lembut serta kesupelan bahan tekstil.
Sifat yang dihasilkan pada bahan tekstil dari penyempurnaan tersebut adalah terjadinya
penurunan koefisien gesekan antara serat atau filamen dalam benang. Zat pelemas yang
biasanya digunakan merupakan suatu zat yang mengandung lemak atau minyak. Zat
pelemas ini dapat dipergunakan sebagai zat penyempurnaan sendiri atau ditambahkan
dengan penyempurnaan lain. Pada dasarnya pelemas dibuat dari bahan alam, minyak,
malam dan berbagai jenis sabun. Sejalan dengan perkembangan teknologi, bahan pelemas
dibuat dari bahan sintetik yang penggunaannya lebih praktis dan memberikan hasil yang
lebih baik dari zat pelemas alam. Zat –zat yang dibuat dalam bentuk minyak-minyak
sulfonat yang lebih stabil dalam air sadah, sekarang telah berhasil dibuat suatu senyawa
lemak yang lebih substantif dan dapat digunakan dalam bentuk larutan yang diencerkan
dengan cara pengerjaan secara perendaman. Dua jenis utama dari asam-asam lemak
adalah CnH2n+1 dan CnH2n-1COOH pada umumnya alkohol lemak adalah senyawa
jenuh dengan rumus CnH2n+1OH.

3.1.2. Sifat-sifat Zat Pelemas


Zat pelemas sebagai zat aktif permukaan mempunyai sifat umum seperti sifat-sifat koloid,
kelarutan dan lain-lain. Molekul zat aktif permukaan terdiri dari dua gugus penting, yaitu
gugus liofil (menarik pelarut) dan gugus liofob (menolak larutan). Gugus liofob biasanya
terdiri dari rantai alifatik atai aromatik, atau gugus alkil yang biasanya terdiri dari paling
sedikit 10 atom karbon. Dalam air sebagai media biasanya terdiri dari paling sedikit 10
atom karbon. Dalam air sebagai media pelarut gugus liofil disebut hidrofil dan gugus
lioofob disebut hidrofob. Pada waktu terjadi peristiwa penyerapan pada serat, gugus
hidrofob memberikan sifat-sifat tertentu yang baik, seperti pegangan lemas dan lembut.
Sedangkan gugus hidrofil lebih banyak menentukan sifat-sifat kimia fisika zat aktif
permukaan dari gugus hidrofob tersebut. Pada konsentrasi tinggi partikel koloid akan
menggumpal memberikan agregar yang disebut misel. Ada 2 macam misel yaitu misel
slerik dan misel lamelar.sebagian zat aktif permukaan mempunyai sifat khusus yaitu
pembentukan film pada permukaan. Suatu molekul yang mempunyai struktur polar non
polar seperti juga zat pelemas cenderung membentuk lapisan film pada permukaan.
3.1.3. Penggolongan Zat Pelemasan
Zat pelemas pada pokoknya adalah minyak atau lemak dengan rantai panjang yang
memiliki daya penetrasi. Zat pelemas dapat dibagi menjadi beberapa golongan, sebagai
berikut :
 Emulsi minyak, lemak dan lilin
 Sabun
 Minyak sulfonat
 Sulfat alkohol
 Kondensasi asam lemak
 Rangkaian amonium kuaterner
Melalui penelitian para ahli ternyata bahwa zat pelemas yang paling baik adalah jenis zat
aktif permukaan. Berdasarkan sifat pengionan zat aktif permukaan di dalam air, zat
pelemas terbagi menjadi 4 golongan yaitu : zat pelemas anionik, kationik, non-ionik dan
amfoterik.

3.1.3.1. Zat Pelemas Anionik


Zat pelemas anionik dikenal dalam perdagangan berupa minyak sulfat, seperti minyak
jarak, minyak zaitun, dan minyak kacang kedelai. Zat pelemas ini umumnya dapat dipakai
bersama-sama dengan zat penyempurnaan lainnya walaupun sibtantifitasmya kecil. Zat
pelemas anionik tidak memberikan sifat pelemasan permanen pada serat, karena tidak
bereaksi dengan serat hanya membentuk lapisan film tipis pada permukaan serat sehingga
data tahan cucinya kurang baik. Zat pelemas ini tidak memberikam efek kekuning-
kuningan pada pemakaiannya sehingga dapat disatukan dengan zat pemutih optik dalam
pemutihann serat. Yang termasuk zat pelemas anion adalah yang terbuat dari :
 Sabun pelemas
Sabun untuk pelemas terbuat dari lemak dengan alkali, seperti asam stearat dengan
kalium menjadi sabun kalium.
 Minyak larut
Termasuk dalam golongan ini adalah sulfonat dan minyak sulfat.
 Sulfat alkohol
Hasil reaksi asetil alkohol dengan asam sulfat kemudian dinetralkan dengan natrium
hidroksida.
 Kondensat asam lemak
Kondensat asam lemak dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : kondensat dengan gugus
amini, oksi, dan gugus inti aromatik.

3.1.3.2. Zat Pelemas Kationik


Zat pelemas kationik dapat bereaksi dengan serat, selain melapisi permukaan serat,
pelemas ini dapat memberikan efek kelemasan dan tahan cuci yang baik pada serat akam
maupun sintetik. Sangat baik digunakan untuk bahan yang telah dicelup, terutama untuk
bahan yang dicekup dengan zat warna direk dan asam, sebab akan memperbaiki ketahanan
cuciannya. Kekurangan zat pelemas kation dapat memberikan efek kekuningan pada
bahan. Pelemas kation dapat ditambahkan pada larutan yang agak asam tetapi boleh
dicampur dengan senyawa anion karena akan bereaksi dan tidak reaktif lagi. Yang
termasuk golongan zat pelemas kation adalah :
 Garam amina
 Senyawa amonium kuatener

3.1.3.3. Zat Pelemas Nonionik


Zat pelemas nonionik adalah zat pelemas yang tidak mempunyai muatan ion, zat pelemas
ini merupakan zat pelemas yang tidak reaktif seperti zat pelemas anion sehingga
memounyai tahan cuci yang kurang baik. Pada umumnya banyak digunakan dalam
campuran dengan zat pelemas anion atau kation. Zat pelemas ini tidak dipengaruhi oleh
pH larutan, stabil terhadap elektrolit, tidak terpengaruh oleh air sadah dan tidak
memberikan efekkekuningan. Zat pelemas nonionik dibuat dari lemak dan malam sintetik,
bukan dari lemak dan malam alam. Pada zat pelemas ini seringkali terdapat sejumlah
etilena-oksida untuk memberikan sifat hidrofil dan mempengaruhi kelarutan zat yang
dihasilkan. Yang termasuk zat pelemas golongan ini adalah :
 Polietilena dan emulsi malam
 Senyawa etoksi gliserida, ester dari alkohol sulfonat dan asam
 Berbagai senyawa silikon

3.1.3.4. Zat Pelemas Amfoter


Molekul dari zat pelemas amfoter terdiri dari 1 atau lebih rantai panjang alkil yang diikat
pada inti polar, yang kedua ujungnya mengandung anion dan kation. Jumlah anion dan
kation memberikan sifat kutub yang berlawanan tergantung pada pH larutan, dimana pH
larutan, dimana pada pH yang rendah molekulnya berubah menjadi kation, sedangkan
pada pH yang tinggi molekulnya berubah menjadi anion. Zat pelemas amfoter mirip
dengan zat pelemas kation, mempunyai substantifitas tetapi tidak permanen seperti zat
pelemas kation. Tipe molekulnya adalah subtitusi asam amino atau sulfobetayne.

3.1.4. Mekanisme Pelemasan


Prinsip pelemasan adalah memberikan lapisan lemak atau minyak yang hidrofob
membentuk suatu lapisan tipis pada bahan yang mengakibatkan pengecilan gesekan antara
elemen bahan yang berdampingan. Lapisan lemak yang terbentuk dihasilkan oleh adsorpsi
zat pelemas pada permukaan bahan. Zat pelemas adalah surfaktan yang dapat
mengaktifkan permukaan, cenderung untuk berkonsentrasi pada permukaan atau antar
muka. Suatu molekul pada permukaan atau antar muka mengalami ketidakseimbangan
gaya, maka untuk mendapatkan keseimbangan gaya molekul menarik molekul lain.
Teradsorpsinya molekul lain pada antar muka menyebabkan penurunan tegangan
permukaan sehingga adsorpsi akan berlangsung terus sampai energi bebas minimum.
Mekanisme adsorpsi zat pelemas akan dipengaruhi beberapa faktor antara lain struktur
molekul zat pelemas dan penyusunnya, sifat alamiah dan struktur gugus pada permukaan
padatan, serta lingkungan fasa air. Zat pelemas yang yang merupakan zat aktif permukaan
mempunyai struktur amfifilik yang mempunyai 2 jenis gugus dengan sifat berlawan, yaitu
gugus polar dam gugus non polar. Dalam air pelemas akan larut karena gugus polar akan
membentuk ikatan hidrogen dengan air. Larutan ini larutan nyata karena gugus
hidrokarbon yang tidak polar tidak tertarik oleh air, melainkan membentuk suatu film
dimana gugus karbon menghadap film sedangkan gugus polar mengahap air.
Gaya – gaya yang ditimbulkan oleh sifat dan struktur zat pelemas keluar dari lingkungan
pelarut air dan kemudian teradsorpsi pada permukaan serat, sehingga didapat suatu
keadaan dimana gugus hidrofil zat pelemas akan tertarik masuk oleh gugus hidrofil serat,
sedangkan gugus hidrofobnya tertinggal pada permukaan serat. Gugus hidrofob pada
permukaan ini akan memenuhi prinsip agregasi rantai membentuk kelompok dengan
gugus hidrofob lainnya ke arah panjang horizontal berupa lapisan film menutupi
permukaan. Molekul yang teradsorpsi dapat mengadakat ikatan fisik dengan serat atau
ikatan kimia, tergantung jenis zat pelemas yang digunakan.
Efek pelemasan makin baik bila kedudukan molekul pelemas makin rapat. Pada beberapa
jenis pelemas kerapatan molekul pelemas akan tercapai antara lain dengan bantuan proses
pemanasawetan, karena suhu pemanasawetan yang disertai tekanan seperti pada kondisi
proses pemanasawetan dapat mendesak molekul pelemas ke dalam pori benang.
Mekanisme pembentukan lapisan film yang dapat terjadi dapat diterngkan sebai berikut.
Zat pelemas nonionik dengan gugus hidrofob cenderung mendekati serat (poliester) dan
menempel di permukaan serat tersebut, sedangkan pada gugus hidrofilnya menghadap
keluar. Selanjutna zat pelemas akan bersifat menurunkan tegangan permukaan dimana
posisi molekul zat pelemas tegak lurus sampai titik tertentu, kemudian molekul zat
pelemas akan membentuk lapisan ganda sehingga tekanan permukaan naik. Pada serat
(poliester) yang terjadi adalah interaksi hidrofobik dimana gugus hidrofob mendekati serat
sedangkan gugus hidrofil menghadap ke larutan.

3.2. PENYEMPURNAAN TAHAN KUSUT


Penyempurnaan tahan kusut merupakan salah satu bentuk bentuk aplikasi penyempurnaan
resin yang ditujukan untuk memperbaiki sifat ketahanan kusut kain-kain selulosa seperti kapas
dan rayon yang diketahui memang mudah kusut dalam pemakaian dan berakibat mengurangi
nilai estetikanya. Kain-kain tersebut dipilih karena kenyamanannya. Namun demikian pada
saat yang sama orang juga menginginkan agar perawatannya lebih mudah seperti halnya pada
kain-kain yang terbuat dari serat sintetik semisal poliester.
Zat-zat yang digunakan untuk keperluan ini sering disebut sebagai resin, sehingga
penyempurnaan kimia untuk kain-kain selulosa, yang pada umumnya memeng membutuhkan
penyempurnaan tahan kusut, sering pula disebut penyempurnaan resin. Akan tetapi, tidak
semua penyempurnaan kimia bahkan untuk selulosa sekalipin, merupakan penyempurnaan
resin karena tidak semuanya menggunakan resin untuk mendapatkan efek penyempurnaan
yang diinginkan. Jadi, resin pada dasarnya adalah polimer, dan penyempurnaan resin adalah
istilah umum yang digunakan untuk merujuk kepada pengerjaan-pengerjaan kimia yang
melibatkan polimerisasi untuk mendapatkan efek baru yang diinginkan pada bahan. Meski
demikian orang tidak menyebutnya penyempurnaan tolak air dengan senyawa fluorokarbon,
misalnya sebagai penyempurnaan resin, walaupun disana berlangsung pembentukan polimer
berupa laposan film tipis pada permukaan serat. Istilah “resin” dan “penyempurnaan resin”
sebetulnya lebih sering ditemui dalam teklamayang berkaitan dengan penyempurnaan tahan
kusut.
3.2.1. Kekusutan Dan Struktur Serat
Secara kimia molekul selulosa merupakan polimer yang tersusun atas unit-unit
anhidroglukosa dan masing-masing molekul terdiri dari 600o hingga 7000 unit
anhidroglukosa. Molekul-molekul tersebut ada yang berkelompok tersusun teratur saling
sejajar dan berdekatan serta terikat satu sama lainnya oleh ikatan-ikatan hidrogen dan van
der waals membentuk daerah atau bagian yang sangat rapat yang disebut kristalin.
Sementara itu pula ada yang susunannya kurang teratur, sehingga tidak saling merapat dan
karenanya membentuk ruang antar rantai molekul yang lebih besar. Bagian ini disebut
amorf dan tersebar diantara bagian-bagian kristalin.
Bila serat selulosa mengalami tekukan maka rantai molekul selulosa pada wilayag
terkuaan tersebut akan mendapat gaya tekuk yang besarnya tidak sama untuk masing-
masing rantai tergantung posisi dan orientasinya dan dapat mengakibatkan rantai-rantai
molekul bergesar relatif satu terhadap lainnya.
 Pada daerah kristalin jarak antar rantai-rantai molekulnya begitu dekat sehingga
ikatan yang terbentuk antara satu rantai dengan rantai di dekatnya cukup kuat
untuk menahan pergeseran tersebut, dan bahkan bila terjadi sekalipun, gaya-gaya
ikatan akan menarik rantai-rantai molekul yang bergeser kembali ke posisi semula
bila gaya-gaya yang menyebabkan pergeseran tersebut dilepaskan.
 Pada daerah amorf susunan rantai-rantai molekulnya lebih bejarak dan memiliki
orientasi yang relatif berbeda sehingga gaya-gaya ikatan antar rantai molekulnya
tidak sekuat daerah kristalin dan akan mudah putus oleh gaya-gaya luar seperti
gaya tekuk. Sebagai akibatnya, rantai-rantai molekul pada daerah amorf akan
bergeser relatif satu terhadap lainnya mengikuti arah gaya tekuk, dan selanjutnya
membentuk ikayan-ikatan hidrogen dan van der Waals yang baru yang
mempertahankan susunan rantai pada posisinya yang baru. Ini tercermin dalam
bentuk kusut pada kain yang bersifat permanen kecuali ada energi dan gaya-gaya
luar yang dibrikan untuk memutus ikatan-ikatan baru tersebut dan membawa
rantai-rantai molekul pada posisi baru yang berhubungan dengan keadaan kain rata
(smooth), misalnya dengan penyetrikaan.

3.2.2. Aplikasi Resin Pada Prose Penyempurnaan Tahan Kusut


Resin-resin penyempurnaan tahan kusut tidak digunakan dalam bentuk polimernya,
melainkan dalam bentuk prakondensat, yaitu hasil reaksi polmerisasi kondensasi setengah
jalan antara onomer-monomer penyusun resin, yang memiliki ukuran cukup kecil untuk
berpenetrasi masuk melalui pori-pori ke bagian dalam serat, yaitu bagian amorf. Pada saat
pemanasawetan prakondensat dari jenis reaktan akan bereaksi membentuk ikatanikatan
dengan rantai molekul serat dan menjadi bagian dari polimer serat, sedangkan
prakondensat dari jenis selfcrosslinking (swa-ikat-silang) membentuk polimer tiga-dimensi
yang mengisi ruang antar molekul pada bagian amorf dan mencegah pergeseran relatif
rantai molekul dengan cara menutup ruang geraknya (blocking).
Tahap aplikasi resin untuk penyempurnaan tahan kusut (dan kebanyakan proses
penyempurnaan secara kontinyu pada umunya) adalah seperti berikut:

Pengeringan berfungsi mencegah migrasi zat-zat penyempurnaan, baik secara lateral


maupun dari dalam ke permukaan serat, pada suhu dan waktu yang sesuai dengan teknik
pemanasawetan yang digunakan dan hasil akhir yang diinginkan.
Zat pembantu terpenting pada proses penyempurnaan resin adalah katalis, yaitu suatu
senyawa yang bekerja mempercepat reaksi kimia, dalam hal ini reaksi polimerisasi dan
pembentukan ikatan silang pada saat pemanasawetan. Pemilihan dan pemakaiannya
ditentukan oleh beberapa faktor berikut:
 Jenis dan kereaktifan resin atau pengikat silang
 Jenis serat
 Kondisi pemanasawetan
 Kondisi pemanasawetan
 Sifat-sifat yang diinginkan pada bahan
 Pengaruh terhadap derajat putih atau warna bahan

Teknik-Teknik Pemanasawetan
Teknik Kelembaban kain
Suhu Waktu pH larutan
Pemanasawetan (%)
Kering 0,5-2,0 140-115 4-6 menit 5-6
Kapas: 6-8
Lembab 25-35 16-24 jam 1-2
Rayon: 10-16
Basah 60-80 10-30 16-24 jam <1

Magnesium klorida dan seng klorida merupakan katalis dari jenis garam asam yang paling
banyak digunakan pada penyempurnaan resin, terutama dari jenis reaktan, dengan teknik
pemanasawetan kering untuk kain-kain selulosa dan campurannya dengan serat sintetik.
Keduanya memiliki kestabilan sangat baik di dalam larutan, tidak menimbulkan maupun
mengubah warna kain, serta kompatibel dengan hampir semua pemutih optik. Jumlah
pemakaiannya 12-20% dari jumlah resin.

3.3. PENYEMPURNAAN TOLAK AIR


Penyempurnaan tolak air merupakan salah satu proses penyempurnaan yang tertua dan paling
banyak dilakukan pada penyempuranaan tekstil. Jas hujan, pakaian olahraga, pakaian kerja
dan berbagai macam bahan tekstil untuk kegiatan outdoor bahkan hingga kain pelapis dan
kain-kain berat banyak memerlukan penyempurnaan tolak air. Salah satu prasyarat yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan hasil penyempurnaan tolak air yang baik adalah persiapan
penyempurnaan yang baik, mengingat banyaknya zat-zat pembantu tekstil yang dapat
mempengaruhi efek tolak air. Zat-zat tersebut antara lain adalah surfaktan dan detergen yang
banyak digunakan dalam proses persiapan penyempurnaan dan pencelupan. Sejumlah kecil
surfaktan(0,005%) yang tertinggal pada bahan sudah dapat mengurangi efek tolak air secara
nyata. Ini menunjukkan betapa penting sesungguhnya penghilangan zat-zat tersebut secara
tuntas dan sempurna dari bahan yang akan dikerjakan penyempurnaan tolak air.
Campuran detergen anionik dan non ionik telah terbukti ampuh menghilangkan sisa-sisa zat-
zat hidrofilik yang tidak dapat dihilangkan dari bahan dengan pembilasan biasa. Tergantung
pada tujuan akhir pemakaiannya maka pengujian tolak air dapat dilakukan dengan cara uji
siram atau bundesmaan. Uji siram tidak dapat memberikan hasil secara eksak akan tetapi
memungkinkan dilakukannya evaluasi kemampuan tolak air kain secara sederhana dan cepat.
Cara uji ini hanya sesuai untuk produk dengan daya tolak air cukuohingga sedang, karena cara
ini tidak lagi mampu membedakan antara yang sedang dan baik.
Untuk produk dengan spesifikasi tolak air tinggi cara uji yang digunakan biasanya adalah
bundesman, dan suatu produk dikatakan memiliki daya tolak air tinggi bila rating-nya
mendekati 5. Misalnya untuk jas hujan yang artinya setelah 10 menit uji bundesmanaa (suatu
kondisi yang ekivalen dengan hujan lebat selama 2 jam atau hujan biasa selama 24 jam terus-
menerus) tidak ada tanda basah yang tampak pada kain.
Konstruksi kain memiliki peranan menentukan ketahana-rembes kain. Bila kerapatan kain
dirasa kurang dan masih memungkinkan terjadinya perembesan, maka perlu dipertimbangkan
untuk menggunakan zat pengisi berupa dispersi polimer yang akan bekerja “menambal” pori-
pori kain yang terlalu besar. Namun, demikian, perlu diingatkan bahwa oenutupan pori-pori
tersebut oleh zat pengisi juga berakibat pada berkurangnya daya tembus udara yang dapat
mengurangi kenyamanan pakai kain, dan ini menjadi penting terutama untuk produk-produk
sandang.
Beberapa zat kimia yang dapat digunakan untuk menghasilkan efek tolak air baik yang
permanen atau semi permanen antara lain adlah emulsi parafin yang mengandung garam-
garam alumunium, emulsi parafin yang mengandung garam-garam zirkonium, senyawa N-
metilol urea dengan residu asam lemak tinggi., hidrogenmetil atau dimetil polisiloksan, dan
senyawa fluorokarbon juga memiliki kemampuan untuk menolak minyak.
Dari pemaham kita mengenai peristiwa dan terori pembasahan permukaan bahan dapat
disimpulkan bahwa pembahasn dapat dicegah dengan cara menurunkan tegangan
permukaannya, dan ini dapat dilakukan dengan cara memodifikasi sifat permukaan bahan.
Salah satu caranya adalah dengan melapisi permukaan bahan dengan suatu lapisan film yang
tegangan permukaannya lebih rendah. Cara lain adalah dengan menempelkan secara tegak
lurus molekul-molekul pendek yang salah 1 ujungnya memiliki gugus penolak air pada
permukaan bahan membentuk semacam bulu-bulu molekuler bersifat hidrofobik. Dengan cara
ini sifat-sifat mekanik seperti kelenturan dan kelemasan kain serta daya tembus udara (yang
berhubungan dengan kenyamanan pada kain) tidak terpengaruh. Baik lapisan film maupun
bulu-bulu molekuler, keduanya membutuhkan sifat hidrokarbon (dengan gugus-gugus yang
memiliki tegangan permukaan lebih renfah atau rantai-rantai yang diperfluorinasi) untuk
menurunkan tegangan permukaan serat sehingga mampu menolak air.

4. EVALUASI TEKSTIL
4.1. Pengujian Langsai Kain (Drape)
Sifat-sifat kain dapat diuji dan dinyatakan dalam angka-angka, seperti kekuatan tarik, mulur
kain, ketahanan terhadap zat kimia dan sebagainya. Tetapi ada beberapa sifat kain yang tidak
dapat dinyatakan dalam angka-angkan seperti kenampakan,kehalusan atau kekasaran,
kekakuan atau kelemasan, dan mutu draping yang baik atau yang jelek. Sifat-sifat kain diatas
diperluakn dalam pemilihan kain.
Dalam pemilihan kain ada beberapa hal yang dilakukan seperti memegang, mencoba,
kemudian menentukan mana yang sesuai dengan penggunaannya. Dengan memegang dan
merasakan kain sebenarnya telah dinilai beberapa sifat sekaligus secara subyektif. Menurut
Pierce apabila pegangan kain ditentukan, maka mencakup rasa kaku atau lembek, keras atau
lunak, dan kasar atau halus.
Drape agak berbeda artinya yaitu kemampuan kain untuk memberikan kenampakan indah
waktu dipakai. Tidak semua bahan pakaian harus mempunyai drape yang baik. Kain untuk
Bullet Skirt atau Patti Coat kaku, tidak harus mempunyai drape yang baik. Untuk menentukan
besarnya kekakuan dan drape ternyata terdapat beberapa kesulitan. Penelitian dilakukan untuk
menentukan metode yang bias mengatasi kesulitan dalam penentuan pegangan dan drape.
Untuk itu ada dua hal yang perlu diperhatikan :
1. Pemisahan macam-macam bahan yang memiliki pegangan dan drape, dan disain
instrument yang cocok untuk mengukur sifat-sifat kain secara individu.
2. Menentukan teknik statistic untuk menentukan kesimpulan hubungan antara hasil-hasil
pengujian yang dinilai secara individu dan secara grup oleh tim penilai.

Langsai Kain (Drape)


Kelangsaian (drape) adalah variasi dari bentuk atau banyaknya lekukan kain yang disebabkan
oleh sifat kekerasan, kelembutan, berat kain dan sebagainya apabila kain digantungkan. Drape
factor adalah perbandingan selisih luas proyeksi vertical dengan luas landasan contoh uji
terhadap selisih contoh uji dengan luas landasan contoh uji.
The Fabris Research Laboratories of USA telah mengembangkan suatu metode untuk
mengukur drape, hal ini dilakukan dengan cara menggabungkan karakteristik lusi dan pakan
menghasilkan suatu tekukan seperti terlihat ditoko apabila digantung pada gantungan bulat.
Pengujian dilakukan dengan cara selembar kain contoh uji ukuran diameter 25 cm atau 10
inchi disangga oleh sebuah cakra bulat berdiameter 12,5 cm, dimana bagian kain yang tidak
tersangga akan jatuh (drape) seperti terlihat pada gambar.

A B

Bila tidak ada drape yang terjadi maka proyeksi contoh akan tetap 25 cm,karena adanya drape
maka terlihat seperti gambar B.

F = As – Ad F = koefisien drape
AD – Ad AD = luas contoh
As = luas proyeksi contoh setelah diatas cakra
Ad = luas cakra penyangga

4.2. Pengujian Kemampuan Kain Untuk Kembali Dari Kekusutan Atau Lipatan
Serat selulosa merupakan serat yang mudah kusut dan usaha-usaha untuk memperbaiki
kekurangan ini banyakdilakukan dalam proses penyempurnaan. Wol merupakan serat yang
elastisitasnya sangat baik, sehingga mudah pulih dari kekusutan. Sifat ini menjadi dasar untuk
mengukur sudut kembali dari kekusutan.
Kemampuan kembali dari kekusutan adalah sifat dari kain yang memungkinkan untuk kembali
dari lipatan. Alat uji untuk ketahanan terhadap kekusutan ada dua jenis, yaitu :
1. Pengujian Tootal
Prinsip pengujian dengan cara ini adalah kain dipotong dengan ukuran 4 cm x 1 cm, kemudian
dilipat dan ditekan dengan beban 500 gram untuk mengusutkan selama 5 menit. Kain diambil
dan digantungkan pada kawat selama 3 menit supaya kembali dari kekusutannya, setelah itu
jarak antara dua ujung pita (V) diukur. Untuk wol yang mempunyai mutu crease recovery
yang baik jarak antara kedua ujung pita 33 – 35 mm.

2. Pengujian dengan alat Shirley Crease Recovery Tester


Prinsip pengujiannya sama seperti Tootal tetapi yang diukur adalah sudut (V) nya bukan
jaraknya. Alat terdiri dari beban pemberat dan piringan busur derajat yang dipasang dan dapat
0
berputar pada porosnya. Tepat pada 0 dipasang penjepit untuk menjepit contoh uji. Tepat
dibawah poros piringan, pada dudukan terdapat lempeng penunjuk. Disamping itu terdapat
pula garis penunjuk sudut pada skala.
Prinsip pengujiannya dengan cara kain dipotong berbentuk pita kemudian dilipat dan ditekan
dengan beban tertentu selamawaktu tertentu. Kemudian contoh uji dipasang pada lempeng
busur derajat, dibiarkan pulih dari lipatan dan diatur ujung contoh uji yang bebas lurus dengan
lempeng petunjuk. Setelah waktu tertentu atur kembali penunjuk sesuai arah ujung kain dan
baca sudut kembali dari kekusutan tersebut. Prinsip pengujian dan alat dari Shirley dan
AATCC sama tetapi kondisi pembebanan dan waktu pembebanan serta waktu pembacaan
sudut berbeda.

4.3. Pengujian Tolak Air


Sifat air yang dapat menembus kain dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu :
1. Oleh pembasahan kain, diikuti sifat kapiler yang membawa air menembus kain.
2. Oleh tekanan air yang menekannya melalui rongga-rongga pada kain.
3. Oleh kombinasi kedua cara tersebut diatas.
Apabila kain dibuat sedemikian rapat sehingga tidak ada rongga-rongga diantara benang-
benang, kain masih mungkin tembus air jika air dapat membasahi kain. Misalnya saja yang
terjadi pada kain kanvas dari kapas yang ditenun sangat rapat. Apabila kain tenun biasa dibuat
dari serat yang diberi proses kimia sehingga tidak dapat dibasahi oleh air, maka kain akan
menggelincir dipermukaan kain tanpa menembusnya, tetapi jika air terkumpul dipermukaan
kain dengan ketebalan tertentu atau air menetesi kain dengan tekanan yang lebih kuat, air akan
menembus kain melalui rongga-rongga pada kain. Hal ini terjadi pada kain yang disebut kain
tahan gerimis. Agar kain benar-benar tidak ditembus air, kain harus dilapisi dengan pelapis
yang tidak tembus air, misalnya untuk jas hujan, kain dilapisi karet, atau untuk terpal dilapisi
sejenis ter. Kain yang diberi pelapis juga bersifat tidak tembus udara, sehingga tidak nyaman
dipakai. Sehingga untuk kebutuhan pakaian biasa diperlukan sifat tahan air yang cukup namun
masih bersifat tembus udara dan uap air.
Penjelasan diatas menunjukkan perbedaan sifat kedap air (waterproof), tahan air (water
resistance), dan tolak air (water repellence).
1. Kain kedap air adalah kain yang dilapisi dengan zat tidak tembus air sehingga juga tidak
tembus udara.
2. Tahan air adalah sifat kain untuk mencegah pembasahan dan tembus air, tetapi masih
bersifat tembus udara.
3. Tolak air adalah sifat serat, benang, atau kain yang menolak pembasahan air.
Kain yang bersifat tolak air dapat ditembus udara dan uap air dan masih mungkin ditembus air
dengan tekanan, misalnya tetesan air hujan yang cukup lebat.
Meskipun terdapat hubungan antara tolak air dan tahan air, untuk tujuan masing-masing
diperlukan pengujian yang berbeda, yaitu :
1. Uji siram untuk menilai tolak air.
2. Uji hujan untuk menilai tahan air
3. Uji tekanan hidrostatik untuk menilai kedap air.
Prinsip pengujian Uji Tahan Hujan
Prinsipnya adalah menyiramkan air dengan tekanan tetesan air tertentu pada permukaan kain
dengan kondisi tertentu selama waktu tertentu. Diukur jumlah air yang menembus kain dan
jumlah air yang terserap kain. Kondisi pengujian yang berhubungan dengan tekanan tetesan
air, seperti besar tetesan air, jarak penyiram dari contoh uji, letak contoh uji terhadap arah
tetesan air dan waktu penyiraman berbeda antara standar satu dengan standar lainnya.

C. DIAGRAM ALIR PROSES


D. RESEP
1. BATIK
Resep Batik Cap :
Lilin (malam)

Resep Pelorodan :
- Air = 4000 ml = 4 L

- Kanji 3 g/L = x 4000 = 12 g

2. PENCELUPAN
2.1. Pencelupan Warna Muda (Pencelupan 1)
Resep Pencelupan :
- Vlot 1 : 20
- Zat warna reaktif dingin 1%
- Pembasah 1 ml/L
- NaCl 30 g/ L
- Na2CO3 8 g/L
- Waktu 50 menit
- Suhu 30 0C (suhu kamar)

Resep Pencucian :
- Vlot 1 : 20
- Sabun 2 ml/L
- Na2CO3 1 g/L
- Waktu 15 menit
- Suhu 70 0C

2.2. Pencelupan Warna Tua (Pencelupan 2)


Resep Pencelupan :
- Vlot 1 : 20
- Zat warna reaktif dingin 5%
- Pembasah 1 ml/L
- NaCl 50 g/ L
- Na2CO3 8 g/L
- Waktu 50 menit
- Suhu 30 0C (suhu kamar)

Resep Pencucian :
- Vlot 1 : 20
- Sabun 2 ml/L
- Na2CO3 1 g/L
- Waktu 15 menit
- Suhu 70 0C

3. PENYEMPURNAAN
3.1. Penyempurnaan Pelemasan
Resep Penyempurnaan:
Resep Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3
Leosoft A-301 15 g/L 30 g/L 60 g/L
Silicon AM-25 15 g/L 30 g/L 40 g/L
Vlot 1 : 20 1 : 20 1 : 20

 Suhu & waktu pengeringan : 1000C selama 2 menit


 Suhu & waktu pemanasan : 1600C selama 1 menit
Resep Pencucian :
 Leonil SCR : 0,5 cc/L
 Suhu dan waktu : 800C selama 15 menit
 Vlot : 1:10

3.2. Penyempurnaan Tahan Kusut


Resep Penyempurnaan :
 DMDHEU :40 g/L
 MgCl2 atau ZnCl2 Kristal : 15% dari jumlah DMDHEU
 Vlot : 1:10
 Suhu & waktu pengeringan : 1000C selama 2 menit
 Suhu & waktu pemanasan : 1600C selama 1 menit

3.2. Penyempurnaan Tolak Air


Resep Penyempurnaan
 Repellant KFC : 60g/L
 DMDHEU : 40 g/L
 MgCl2 : 20% dari DMDHEU
 Isobutanol : 15 g/L
 Vlot : 1:10
 Suhu & waktu pengeringan : 800C selama 2 menit
 Suhu & waktu pemanasan : 1500C selama 3 menit
Resep Pencucian
 Pembasah : 2 g/L
 Na2CO3 : 1 g/L
 Suhu dan waktu : 700C selama 30 menit

4. EVALUASI
4.1. Pengujian Langsai Kain (Drape)
4.1.1. Peralatan
1. Drape Tester
2. Alat pengukur contoh uji
3. Gunting
4. Printer
4.1.2. Cara Pengujian
1. Gunting kain contoh uji sesuai pola piringan estándar diameter 25 cmatau 10 inchi
sebanyak 1 lembar. Veri tanda muka dan belakang kain, buat lubang pada titik pusat
lingkaran diameter 3 mm,kondisikan dalam ruangan standar pengujian.
2. Nyalakan komputer.
3. Nyalakan drape tester, dengan cara membuka kaca, kemudian tekan saklar kanan
bawah alat sampai lampunya menyala.
4. Klik icon drape tester, sampai keluar menu drape tester.
5. Pasang contoh uji pada landasan contoh uji, sehingga titik pusatnya berada pada titik
tengah landasan uji.
6. Jalankan alat sehingga contoh uji berputar 30 detik atau 60 detik putaran. Biarkan
beberapa saat.
7. Klik reset, tunggu sampai lampu merah pada alat menyala.
8. Beri nama operator dan nama kain.
9. Klik start untuk memulai pengujian, photo sensor bekerja membaca drape kain,
biarkan sampai pengujian selesai.
10. Klik print untuk mencetak hasil pengujian. Hasil pengujian dapat dibaca pada layar
monitor komputer dan atau pada kertas hasil print.

4.2. Kemampuan Kain Untuk Kembali Dari Kekusutan Atau Lipatan


4.2.1. Pengujian Dengan Alat Shirley Recovery Tester
4.2.1.1. Peralatan
1. Shirley Recovery Tester, yang dilengkapi dengan :
 Beban penekan 800 gram
 Busur derajat pengukur sudut kembali dari lipatan
 Lempeng pemegang contoh uji
 Jarum penunjuk skala
2. Gunting
3. Pinset
4. Mistar
4.2.1.2. Persiapan Contoh Uji
1. Kondisikan kain yang akan diuji dalam ruangan standar pengujian.
2. Gunting kain yang akan diuji dengan ukuran 4 cm x 1,5 cm masing-masing 4 contoh
arah lusi dan pakan.
4.2.1.3. Cara Pengujian
1. Lipat contoh uji menjadi dua bagian kearah panjang.
2. Jepit contoh uji dengan pinset dan letakkan dibawah beban penekan 800 gram dan
biarkan selama 3 menit.
3. Setelah 3 menit, ambil salah satu ujung kain contoh uji dengan pinset, kemudian
ujung lain contoh uji dimasukkan ke dalam penjepit pada alat. Posisi bagian lipatan
menempel tepat pada ujung penjepit dan ujung lainnya menjuntai ke bawah segaris
dengan garis penunjuk vertikal, dan diamkan selama 3 menit.
4. Setelah 3 menit, contoh uji yang menjuntai diatur kembali posisinya segaris dengan
penunjuk vertikal, baca penunjuk sampai derajat terdekat dari busur derajat.
5. Pengujian dilakukan untuk lipatan arah muka dan belakang kain pada contoh uji
yang berbeda.

4.2.2. Pengujian Dengan Alat AATCC Recovery Tester


4.2.2.1. Peralatan
1. AATCC Recovery Tester, yang dilengkapi dengan :
2. Gunting
3. Pinset
4. Mistar
4.2.2.2. Persiapan Contoh Uji
1. Kondisikan kain yang akan diuji dalam ruangan pengujian standar.
2. Gunting kain yang akan diuji dengan ukuran 4 cm x 1,5 cm masing-masing 4 contoh uji
arah lusi dan pakan.
4.2.2.3. Cara Pengujian
1. Pegang pemegang contoh uji dengan tangan kiri, contoh uji diletakkan dengan
menggunakan penjepit diantara lempeng pemegang contoh dan salah satu ujung tepat
berada dibawah garis 18 mm. Dengan menggunakan penjepit ujung yang bebas dilipat ke
belakang sampai tepat pada tanda garis 18 mm pada lempeng logam yang lebih pendek
dan dipegang dengan kuku ibu jari kiri. Harus dicegah agar contoh uji tidak dipegang
didekat daerah pelipatan meskipun menggunakan penjepit. Pada bagian ini tidak boleh
ada pelipatan atau penekanan tetapi harus ada dalam keadaan melengkung.
2. Buka plastik penekan dengan tangan kanan kemudian pemegang dan contoh uji
dimasukkan kedalam plastik penekan sedemikian sehingga lempeng plastik yang
mempunyai tempelan plastik menempel dan sejajar dengan lempeng panjang dan
pemegang contoh. Bagian yang lebih tebal dari lempeng plastik diatur sehingga tepat
berada diatas contoh uji. Ujung lempeng plastik penekan ditutup perlahan-lahan, asal
cukup untuk memegang contoh uji sehingga garis pada lempeng pendek, pemegang
contoh uji, ujung bebas contoh uji,dan ujung plastik penekan terletak satu garis. Cara ini
harus membentuk lipatan kira-kira 1 mm dari ujung lempeng logam.
3. Letakkan penekan bersama-sama contoh uji diatas dan dengan perlahan-lahan pemberat
500 gram diletakkan diatas bagian yang tebal. Setelah 5 menit ± 5 detik pemberat diambil
pemegang bersama penekan diambil bersama-sama, ujung pemegang contoh dimasukkan
pada penjepit yang terpasang pada permukaan piringan alat uji. Plastik penekan segera
dilepaskan. Ujung contoh uji dijaga supaya tidak tergulung dan letak pemegang contoh
uji diatur dengan baik.
4. Lipatan harus tepat terletak pada titik tengah piringan dan bagian contoh uji yang
tergantung harus segaris dengan garis penunjuk vertikal. Pengerjaan-pengerjaan ini harus
dilakukan dengan hati-hati supaya tidak menyentuh atau meniup bagian contoh uji yang
tergantung atau menempelkannya pada permukaan piringan dengan menekan pemegang
contoh uji kebelakang dan pengerjaan tersebut harus dilakukan secepat mungkin.
5. Untuk menghilangkan pengaruh daya tarik bumi, bagian contoh uji yang tergantung
dibiarkan segaris dengan garis penunjuk vertikal selama 5 menit waktu kembali. Apabila
diperlukan hasil yang lebih teliti maka pengaturan setiap 15 detik pada menit pertama dan
selanjutnya setiap 1menit.
6. Setelah 5 menit ± 5 detik dari pengambilan beban (10 menit dari pembebanan) bagian
contoh uji yang tergantung diatur lagi segaris dengan garis vertikal untuk yang terakhir,
dan baca besarnya sudut kembali sampai derajat terdekat dari busur derajat.

4.3. Pengujian Tolak Air (Uji Siram)


4.3.1. Alat-Alat Yang Digunakan
1. AATCC Spray Tester. Terdiri dari corong gelas diameter 150 mm, yang ujungnya
dipasang penyemprot diameter 32 mm, dengan 19 lubang diameter 0,86 mm yang diatur
melingkar. Satu lubang dititik pusat penyemprot, enamlubang melingkar ditengah dan 12
lubang melingkar diluarnya. Penyemprot dipasang diatas penyangga contoh uji sehingga
jarak ujung penyemprot dari permukaan contoh uji 150 mm. Penyangga contoh uji
membentuk sudut 450 dengan bidang datar.
2. Simpai bordir diameter 150 mm.
4.3.2. Persiapan Contoh Uji
 Tiga buah contoh uji berukuran 180 mm x 180 mm dikondisikan dalam ruang standar.
Pengujian selama minimum empat jam. Jika memungkinkan masing-masing contoh uji
tidak mengandung benang lusi dan benang pakan yang sama.
4.3.3. Cara Pengujian
1. Pasang contoh uji pada simpai border sehingga tidak terdapat kerutan-kerutan pada kain.
2. Letakkan simpai beserta contoh uji pada penyangga contoh uji sedemikian sehingga titik
tengah penyemprot tepat diatas titik tengah simpai.
3. Untuk kain-kain keper, gabardine, atau kain sejenis yang mempunyai pola rusuk-rusuk,
letakkan simpai sedemikian sehingga rusuk-rusukmiring terhadap aliran air di permukaan
kain.
4. Tuangkan 250 ml air suling, suhu 27 ± 1 0C kedalam corong penyemprot dan biarkan air
menyemprot contoh uji selama 25-30 detik. Waktu menuang air gelas piala jangan
menyentuh corong.
5. Ambil simpai dengan memegangnya pada satu sisi dan ketukkan sisi lain pada benda
0
keras dengan permukaan kain menghadap ke bawah satu kali.putar simpai 180 dan
ketukkan sekali lagi pada sisi yang semula dipegang.
6. Ulangi pekerjaan tersebut untuk tiga contoh uji.
4.3.4. Cara Evaluasi
Segera setelah contoh uji diketukkan, bandingkan pola titik-titik pembasahan atau bagian
basah kain dengan gambar Penilaian Uji Siram Standar dari AATCC. Nilai uji siram
masing-masing contoh uji didasarkan pada nilai terdekat dengan gambar Penilaian Uji
Siram Standar. Dalam penilaian kain dengan konstruksi kurang rapat seperti voile, air
yang menembus rongga-rongga kain diabaikan. Nilai Uji Siram adalah sebagai berikut :
100 (ISO 5) Tidak Ada Titik-Titik Pembasahan Pada Permukaan Atas.

90 (ISO 4) Sedikit Titik-Titik Pembasahan Secara Acak Pada Permukaan Atas

80 (ISO 3) Pembasahan Permukaan Atas Pada Titik-Titik Tetesan.


70 (ISO 2) Pembasahan Pada Sebagian Permukaan Atas
50 (ISO 1) Pembasahan Seluruh Permukaan Atas
0 Pembasahan Seluruh Permukaan Atas Dan Permukaan Bawah.

E. CONTOH PRODUK JADI

F. DAFTAR PUSTAKA
1. N.M. Susyami Hitariat, Widayat, Totong. 2005. Bahan Ajar Praktek Evaluasi Tekstil III
(Evaluasi Kain). Bandung : Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil.
2. P. Soepriyono, S.Teks, dkk. 1973. Serat-Serat Tekstil. Bandung : Institut Teknologi Tekstil.
3. Wibowo Moerdoko, S.Teks, dkk. 1975. Evaluasi Tekstil bagian Kimia. Bandung : Institut
Teknologi Tekstil.
4. Hendrodyantopo, S., S.Teks. M.M, dkk. 1998. Teknologi Penyempurnaan. Bandung :
Sekolah Tinggi Tekstil.
5. Susyami, N.M., S.Teks., M.Si., dkk. Bahan Ajar Praktek Teknologi Penyempurnaan Kimia.
Bandung : Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil

Anda mungkin juga menyukai