Pendahuluan Refarat
Pendahuluan Refarat
Penyakit batu saluran kemih dapat menyerang penduduk di seluruh dunia dan tidak
terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai
belahan bumi. Di negara-negara berkembang, banyak dijumpai pasien batu buli-buli
sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas.
Hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari. Di Amerika
Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia, rata-rata
terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih. Penyakit ini merupakan salah
satu dari tiga penyakit terbanyak di bidang urologi disamping infeksi saluran kemih dan
pembesaran prostat benigna1.
Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah
pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia
belum dapat ditetapkan secara pasti. Dari data dalam negeri yang pernah dipublikasi
didapatkan peningkatan jumlah penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-
Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847
pasien pada tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat
pemecah batu ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy) yang secara
total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan operasi terbuka) ( PDPI,
2006 ). Selain batu ginjal, batu saluran kemih lain yang sering adalah batu pada kandung
kemih yang disebut vesicolithiasis. Tindakan bedah yang diikuti dengan penanganan secara
konservatif hasilnya lebih memuaskan. Untuk penanganan batu saluran kemih secara
konservatif harus diketahui patogenesis, jenis batu dan ketepatan diagnosis2.
TINJAUAN PUSTAKA
2. Fisiologi
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF (cairan
ekstraseluler) dalam batas – batas normal. Komposisi dan cairan ekstrasel ini dikontrol oleh
filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus. Ginjal mengekskresikan bahan – bahan
kimia asing tertentu (misalnya obat – obatan), hormone dan metabolit lain, tetapi fungsi
yang paling utama adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas normal.
Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan
filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan yang tinggi.
Pembentukan renin dan eritropoetin serta metabolism vitamin D merupakan fungsi non-
ekskretor yang penting. Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan
pembentukan sekelompok senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu
prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi oleh sel – sel
tubulus ginjal. Akibatnya penderita diabetes yang menderita payah ginjal membutuhkan
insulin yang jumlahnya lebih sedikit3.
Prostaglandin merupakan hormon asam lemak tidak jenuh yang terdapat banya
dalam jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang merupakan
vasodilator potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting pada pengaturan aliran darah
ginjal, pengeluaran renin dan reabsorpsi Na+. Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut
dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada sekarang
ini masih kurang memadai3.
2. Faktor Risiko
Faktor intrinsik2,8
1. Herediter (keturunan)
Studi menunjukkan bahwa penyakit batu diwariskan. Untuk jenis batu
umum penyakit, individu dengan riwayat keluarga penyakit batu memiliki
risiko dua kali lipat lebih tinggi menjadi batu bekas. Ini risiko yang lebih tinggi
mungkin karena kombinasi dari predisposisi genetik dan eksposur lingkungan
yang sama (misalnya, diet). Meskipun beberapa faktor genetik telah jelas
berhubungan dengan bentuk yang jarang dari nefrolisiasis, (misalnya,
cystinuria), informasi masih terbatas pada gen yang berkontribusi terhadap
risiko bentuk umum dari penyakit batu5.
2. Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun. Untuk pria,
insiden mulai meningkat setelah usia 20, puncak antara 40 dan 60 tahun. Untuk
wanita, tingkat insiden tampaknya lebih tinggi pada akhir 20-an pada usia 50,
sisa yang relatif konstan selama beberapa dekade2.
3. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan2.
. Faktor Ekstrinsik2,8
1. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih
yang lebih tinggi dari pada daerah lain, sehingga dikenal sebagai daerah stone
belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak
dijumpai penyakit batu saluran kemih.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet
Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih.
5. Pekerjaan
Sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk dan kurang
aktifitas atau sedentary life.
3. Patogenesis2,9
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urin), yaitu pada
sistem kalises ginjal atau buli-buli. Banyak teori yang menerangkan proses
pembentukan batu di saluran kemih, tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana
yang paling benar. Beberapa teori pembentukan batu adalah :
a. Teori Nukleasi
Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus).
Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlalu jenuh
(supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran
kemih.
b. Teori Matriks
Matriks organik terdiri atas serum/ protein urine (albumin, globulin, dan
mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal
batu.
c. Penghambatan kristalisasi
Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal,
antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa
peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan
memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih. Ion magnesium
(Mg2+) dikenal dapat menghambat pembentukan batu karena jika berikatan
dengan oksalat, membentuk garam magnesium oksalat sehingga jumlah
oksalat yang akan berikatan dengan kalsium (Ca2+) untuk membentuk
kalsium oksalat menurun. Beberapa protein atau senyawa organik lain
mampu bertindak sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan
kristal, menghambat agregasi kristal, maupun menghambat retensi kristal.
Senyawa itu antara lain :
i. Glikosaminoglikan (GAG)
ii. Protein Tamm Horsfall (THP) / uromukoid
iii. Nefrokalsin
iv. Osteopostin.
4. Komposisi Batu10
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur : kalsium oksalat atau
kalsium fosfat (75%), asam urat (8%), magnesium-amonium-fosfat (MAP) (15%),
xanthyn, dan sistin, silikat dan senyawa lain (1%)6.
1. Batu Kalsium
Batu jenis ini dijumpai lebih dari 80% batu saluran kemih, baik yang berikatan
dengan oksalat maupun fosfat.
2. Batu Struvit
Batu ini disebut juga batu infeksi karena pembentukannya disebabkan oleh
adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab adalah kuman golongan
pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan
mengubah pH urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak,
seperi pada reaksi : Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium,
amonium, fosfat dan karbonat untuk membentuk batu magnesium amonium
fosfat (MAP). CO(NH2)2 + H2O → 2NH3 + CO2
Gambar 2. Gambaran
bentuk batu struvit
Sumber : Dasar Dasar Urologi Ed. 2. Sagung Seto
Penyakit ini banyak diderita oleh pasien dengan penyakit gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien yang mendapatkan terapi antikanker, dan yang banyak
menggunakan obat urikosurik, seperti sulfinpirazone, thiazide, dan salisilat.
Obesitas, peminum alkohol, dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar
untuk mendapatkan penyakit ini. Asam urat relatif tidak larut dalam urine,
sehingga pada keadaan tertentu mudah sekali membentuk kristal asam urat, dan
selanjutnya membentuk batu asam urat.
Faktor yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah :
1. urine yang terlalu asam (pH urine < 6),
2. volume urine yang jumlahnya sedikit (< 2 liter/hari) atau dehidrasi,
3. hiperurikosuri atau kadar asam urat yang tinggi.
Batu asam urat bentuknya halus dan bulat, sehingga seringkali keluar spontan.
Bersifat radiolusen, sehingga pada pemeriksaan PIV tampak sebagai bayangan
filling defect pada saluran kemih sehingga harus dibedakan dengan bekuan
darah.
b. Gejala
1) Rasa nyeri waktu miksi (disuria, stranguria), dirasakan refered pain pada
ujung penis, skrotum, perineum, pinggang, sampai kaki.
2) Hematuria diserta urine yang keruh
3) Pancaran urine tiba-tiba berhenti dan keluar lagi pada perubahan posisi
4) Polakisuria (sering miksi)
5) Pada anak nyeri miksi ditandai oleh kesakitan, menangis, menarik-narik
penis, miksi mengedan sering diikuti defekasi atau prolapsus ani2.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urin rutin untuk melihat eritrosituri, lekosituria, bakteriuria (nitrit),
pH urin dan kultur urin. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, lekosit, ureum
dan kreatinin. Urinalysis : pH > 7.5 : lithiasis karena infeksi, pH < 5.5 : lithiasis
karena asam urat
d. Pemeriksaan Radiologi
- Foto polos/BNO : tampak opak (90%) dan radiolusen (batu asam urat), lebih
baik dilanjutkan dengan IVP untuk mengetahui ada atau tidak kerusakan pada
ginjal
- IVP : untuk dapat melihat batu di lain tempat, anatomi saluran kencing
bagian atas
- PV (Pem Postvoid) : mengetahui pengosongan kandung kemih
- USG : gambaran acoustic shadow2.
Pemeriksaan IVP tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien berikut :
a. Dengan alergi kontras media
b. Dengan level kreatinin serum > 200μmol/L (>2mg/dl)
c. Dalam pengobatan metformin
d. Dengan myelomatosis
e. Penatalaksanaan2
Pada saat ini ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menangani kasus
batu kandung kemih. Diantaranya : vesikolitolapaksi, vesikolitotripsi dengan
berbagai sumber energi (elektrohidrolik, gelombang suara, laser, pneumatik),
vesikolitotomi perkutan, vesikolitotomi terbuka dan ESWL7.
Vesikolitolapaksi
Merupakan salah satu jenis tindakan yang telah lama dipergunakan dalam
menangani kasus batu kandung kemih selain operasi terbuka.
Kontraindikasi :
1. kapasitas kandung kemih yang kecil,
2. batu multiple,
3. batu ukuran lebih dari 20 mm,
4. batu keras,
5. batu kandung kemih pada anak dan
6. akses uretra yang tidak memungkinkan.
Vesikolitotripsi
1. Elektrohidrolik (EHL)
Merupakan salah satu sumber energi yang cukup kuat untuk menghancurkan
batu kandung kemih. Masalah timbul bila batu keras maka akan memerlukan
waktu yang lebih lama dan fragmentasinya inkomplit. EHL tidak dianjurkan
pada kasus batu besar dan keras. Angka bebas batu : 63-92%. Penyulit :
sekitar 8%, kasus ruptur kandung kemih 1,8%. Waktu yang dibutuhkan : ±
26 menit.
2. Ultrasound
Litotripsi ultrasound cukup aman digunakan pada kasus batu kandung kemih
dapat digunakan pada batu besar, dapat menghindarkan dari tindakan ulangan
dan biaya tidak tinggi. Angka bebas batu : 88% (ukuran batu 12-50 mm).
Penyulit: minimal (2 kasus di konversi). Waktu yang dibutuhkan : ± 56
menit.
3. Laser
Yang digunakan adalah Holmium YAG. Hasilnya sangat baik pada kasus
batu besar, tidak tergantung jenis batu. Kelebihan yang lain adalah masa
rawat singkat dan tidak ada penyulit. Angka bebas batu : 100%. Penyulit :
tidak ada. Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.
4. Pneumatik
Litotripsi pneumatik hasilnya cukup baik digunakan sebagai terapi batu
kandung kemih. Lebih efisien dibandingkan litotripsi ultrasound dan EHL
pada kasus batu besar dan keras. Angka bebas batu : 85%. Penyulit : tidak
ada. Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.
Vesikolitotomi perkutan
Merupakan alternatif terapi pada kasus batu pada anak-anak atau pada
penderita dengan kesulitan akses melalui uretra, batu besar atau batu
multipel. Tindakan ini indikasi kontra pada adanya riwayat keganasan
kandung kemih, riwayat operasi daerah pelvis, radioterapi, infeksi aktif pada
saluran kemih atau dinding abdomen. Angka bebas batu : 85-100%.
Penyulit : tidak ada. Waktu yang dibutuhkan : 40-100 menit.
Vesikolitotomi terbuka
Diindikasikan pada batu dengan stone burden besar, batu keras, kesulitan
akses melalui uretra, tindakan bersamaan dengan prostatektomi atau
divertikelektomi. Angka bebas batu : 100%.
ESWL
o Merupakan salah satu pilihan pada penderita yang tidak
memungkinkan untuk operasi. Masalah yang dihadapi adalah migrasi
batu saat tindakan.
o Adanya obstruksi infravesikal serta residu urin pasca miksi akan
menurunkan angka keberhasilan dan membutuhkan tindakan
tambahan per endoskopi sekitar 10% kasus untuk mengeluarkan
pecahan batu.
o Dari kepustakaan, tindakan ESWL umumnya dikerjakan lebih dari
satu kali untuk terapi batu kandung kemih.
o Angka bebas batu : elektromagnetik; 66% pada kasus dengan
obstruksi dan 96% pada kasus non obstruksi. Bila menggunakan
piezoelektrik didapatkan hanya 50% yang berhasil.
f. Pedoman pilihan terapi
Dari sekian banyak pilihan untuk terapi batu kandung kemih yang dikerjakan
oleh para ahli di luar negeri maka di Indonesia hanya beberapa tindakan saja
yang bias dikerjakan, dengan alasan masalah ketersediaan alat dan sumber daya
manusia. Penggunaan istilah ‘standar’, ‘rekomendasi’ dan ‘opsional’ digunakan
berdasarkan fleksibilitas yang akan digunakan sebagai kebijakan dalam
penanganan penderita.
Pedoman untuk batu ukuran kurang dari 20 mm.
1. Litotripsi endoskopik
2. Operasi terbuka
Pedoman untuk batu ukuran lebih dari 20 mm.
1. Operasi terbuka
2. Litotripsi endoskopik
Pedoman untuk batu buli-buli pada anak.
1. Operasi terbuka
2. Litotripsi endoskopik
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Jakarta. 2006.
2. Purnomo, B, Basuki. Dasar-dasar Urologi. Ed-2. Jakarta : CV.Sagung Seto, 2009. 57-68
3. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology:From Cells to System. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Cetakan I. Jakarta.
4. Hassan, Rusepno. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta : Penerbit UI,
1985. 840-843.
5. Shires, Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Ed-6. Jakarta : EGC, 2000. 588-
589
6. Reilly, R.F. 2000. The Patient with Renal Stones in Schrier, R.W., (eds). Manual of
Nephrology. 5th ed., Lippincolt, William and Willkins, Philadelphia, pp : 81-90.
7. Brunner. Sudarth. 2003. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
8. AT, Soepriatno., Muslim, Rifki. 2005. Pola Penderita Batu Saluran Kencing di RSUP
Dr.Kariadi Tahun 1996-1998 Naskah lengkap MABI XII
9. Kajander OE, and Ciftcioglu N. Nanobacteria: An alternative mechanism for pathogenic
intra-and extracellular calcfication and Stone Formation. Proc. Natl.Ac. Science, Vol
95:14 (1998), 8274-8279
10. Ciftcioglu N, Bjorklund M, Bergsom K., and Kajander OE. Nanobacteria: an infections
causes kidney stone formation. Http: //www.nanobac.com/klin%20lab/